HUBUNGAN DUKUNGAN PSIKOSOSIAL KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT PASIEN GANGGUAN JIWA DI UNIT RAWAT JALAN RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT
TAHUN 2009 Lela Juariah dan Arum Yulianti Stikes A.Yani Cimahi ABSTRAK Di Indonesia diperkirakan sekitar 50 juta (25%) dari 220 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, tetapi tidak semua pasien gangguan jiwa mau datang untuk berobat ke rumah sakit jiwa. Kepatuhan pasien gangguan jiwa untuk berobat ke rumah sakit jiwa belum optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktornya adalah dukungan psikososial keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan psikososial keluarga terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif melalui metode korelasi dengan pendekatan studi potong lintang (cross sectional). Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen berbentuk kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien gangguan jiwa yang datang mengantar pasien ke Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, maka jumlah responden yang diperoleh sebanyak 88 responden. Analisa data dilakukan melalui dua tahapan yaitu analisa univariat kemudian dilakukan analisa bivariat. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 46 (52,3%) responden memberikan dukungan psikososial terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa; dan sebanyak 59 (67.0%) responden patuh berobat ke uit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa provinsi Jwa Barat. Setelah dilakukan analisa bivariat, maka terdapat hubungan signifikan antara dukungan psikososial keluarga dengan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat dengan p-value 0,034. Dari hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan kepada pihak rumah sakit jiwa agar memberikan informasi kepada keluarga tentang pentingnya dukungan psikososial dan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa melalui pendidikan kesehatan atau penyebaran leaflet. Sehingga keluarga termotivasi untuk memberikan dukungan dalam hal kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa guna meningkatkan kualitas hidup pasien gangguan jiwa. Selain itu untuk penelitian selanjutnya yang dapat dilakukan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Kata Kunci
: Cross Sectional, Dukungan Psikososial Keluarga, Kepatuhan Berobat
Kepustakaan
: 29, 1992-2009.
A. PENDAHULUAN
Diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari 220 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa, tetapi tidak semua mau datang untuk berobat ke rumah sakit jiwa. Umumnya, yang datang ke rumah sakit jiwa itu, ketika pasien sudah dalam taraf gangguan jiwa berat .Mereka yang datang ke rumah sakit jiwa umumnya mulai dari gejala gangguan kejiwaan ringan sampai berat. Sementara itu, upaya pengobatan pasien yang mengalami gangguan jiwa secara keseluruhan tidak mungkin dilakukan. Terhadap para penderita gangguan jiwa, Jurnal Kesehatan Kartika
59
hanya 30 sampai 40% pasien gangguan jiwa bisa sembuh total, 30% harus tetap berobat jalan, dan 30% lainnya harus menjalani perawatan institusional, atau diinapkan di panti-panti rehabilitasi. (http://www.diskukmjabar.go.id/jabar/public diperoleh 30 April 2009) Meskipun penyakit gangguan jiwa belum dapat disembuhkan 100%, tetapi para penderita gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara manusiawi. Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Tetapi, pada kenyataannya banyak penanganan klien gangguan jiwa di masyarakat yang salah. Sebagai contoh, masyarakat melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa, dan memperlakukan dengan tidak manusiawi. Bahkan keluarga dengan sengaja mengasingkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa , karena menampakkan gejala gangguan jiwa, dan dianggap kemasukan roh halus. Tingginya masalah kesehatan jiwa yang ada dimasyarakat tidak terlepas dari banyaknya faktor-faktor penyebab. Penyebabnya sangat kompleks, mulai dari permasalahan biologis, psikologis, dan sosiobudaya. Gangguan fisik, biologis, atau organik antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi. Faktor kedua yaitu mental, kejiwaan atau psikologi, misalnya hubungan yang patologis diantara anggota keluarga akibat frustasi, konfliks. Faktor yang ketiga gangguan sosial atau lingkungan misalnya faktor keluarga. (Ririn, 2007). Status sehat-sakit anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Keluarga merupakan hal yang utama bagi kesehatan dan konsep-konsep penyakit, serta perilaku sehat. Dalam hal tertentu, keluarga cenderung terlibat dalam pembuatan keputusan dan proses terapeutik pada setiap tahap sehat dan sakit anggota keluarganya, mulai dari keadaan sehat (ketika mulai diajarkan pengenalan kesehatan dan strategi-strategi kesehatan) sampai diagnosa, tindakan, dan penyembuhan. Penderita gangguan jiwa dalam masa rehabilitasi yang dirawat oleh keluarga sendiri di rumah atau rawat jalan memerlukan dukungan untuk mematuhi program pengobatan. Jadi, keluarga memegang suatu peranan yang bersifat mendukung selama masa penyembuhan/pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang (Friedman,1998). Bahkan menurut Morgan et al,(dalam C. Abraham & E. Shanley 1997) mengatakan bahwa dukungan psikososial dan hubungan saling percaya yang kuat penting untuk melindungi orang dari depresi setelah kejadian hidup yang berat. Dukungan psikososial merupakan hubungan interpersonal yang dapat melindungi seseorang dari efek stress yang buruk. Pada umumnya jika seseorang memiliki sistem pendukung yang kuat, kerentanan terhadap penyakit mental akan rendah. (Kaplan & Sadock, 1994). Pilisuk dan Park (dalam Friedman 1998) menyatakan bahwa dukungan psikososial keluarga memiliki peranan penting untuk membantu seseorang dengan keadaan terpuruk Jurnal Kesehatan Kartika
60
karena keluarga merupakan suatu unit pelayanan dan masalah keluarga saling berkaitan serta saling mempengaruhi antar sesama anggota keluarga. Dukungan psikososial tergantung pada lingkungan sosial dimana individu tersebut berada dalam keluarga dan komunitasnya. Seseorang dengan dukungan psikososial keluarga tinggi mempunyai keyakinan bahwa mereka dicintai, diperhatikan dan menjadi bagian dari keluarga. Kesembuhan dan kekambuhan penderita gangguan jiwa sangat dipengaruhi oleh peran atau dukungan psikososial keluarga terhadap penderita gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang kurang tentang bentuk-bentuk dukungan yang dapat diberikan pada penderita gangguan jiwa ini dapat dilihat dari ketidaksiapan keluarga dalam memberikan dukungan pada penderita gangguan jiwa. (Indarini Dyah SS, 2003, 16, http://skripsistikes.wordpress.com, diperoleh tanggal 15 April 2009) Sarafino (1994) Mengelompokkan bentuk dukungan psikososial menjadi empat kategori yaitu: dukungan emosi, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Menurut Lazarus, et al (1984) faktor-faktor yang mengacu pada dukungan psikososial adalah seringnya berinteraksi, kedekatan, dan kultur sosial. Jika dilihat dari faktor-faktor yang mengacu pada dukungan psikososial keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan dukungan psikososial. Dukungan psikososial yang dapat diberikan oleh keluarga meliputi memberikan rasa nyaman, aman, diperhatikan, dan dihargai. Kemudian memberikan informasi, arahan, nasihat, dan memberi pertolongan yang nyata dalam bentuk tenaga dan materi. Dukungan dapat datang dari beberapa sumber yang berada, misalnya keluarga, teman, teman sekerja, ataupun organisasi masyarakat (Siswono, 2001). Kepatuhan berobat adalah perilaku penderita untuk menyelesaikan menelan obat sesuai dengan jadwal dan dosis obat yang dianjurkan sesuai kategori yang telah ditentukan, tuntas jika pengobatan tepat waktu dan tidak tuntas jika tidak tepat waktu. http://www.aidsrspiss.com/articles.php?lng=in&pg=245, diperoleh 20 April 2009). Kepatuhan melakukan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal terdiri dari: pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi. Sedangkan faktor eksternalnya terdiri dari: dukungan psikososial keluarga, status ekonomi, jarak rumah dan rumah sakit, sarana atau fasilitas yang dimiliki rumah sakit (Notoadmodjo, 1993). Menurut Cramer (dalam Chairil A. 2002) Karakteristik kepatuhan klien dapat dibedakan menjadi : apabila dikatakan patuh; klien tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan, melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk. Dan dikatakan tidak patuh; bila penderita yang berobat teratur tetapi tidak memakai obat secara teratur, penderita yang berobat tidak teratur, penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali. Jurnal Kesehatan Kartika
61
Kepatuhan pasien dalam melakukan pengobatan merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan pengobatan, disamping faktor-faktor lain, yaitu ketepatan diagnosis, ketepatan pemilihan obat, ketepatan aturan dosis dan cara pemberian dan faktor sugestif atau kepercayaan penderita terhadap dokter maupun terhadap obat yang diberikan. Namun ironis sekali kenyataan, bahwa pihak ketelitian pemeriksaan dan diagnosis semakin modern, namun dilain pihak ketaatan untuk melakukan pengobatan ke rumah sakit dari pihak pasien sering kali rendah sekali. (Suryati,2008 6, http://www.farklin.com.diperoleh tanggal 25 maret 2009) Rumah sakit jiwa adalah salah satu organisasi kesehatan yang dengan segala fasilitas kesehatannya diharapkan dapat membantu pasien dalam meningkatkan kesehatan dan mencapai kesembuhan baik fisik, psikis, maupun sosial. Tujuan kesehatan tidak hanya memulihkan kesehatan pasien secara fisik tetapi sedapat mungkin diupayakan menjaga kondisi emosi dan jasmani pasien menjadi nyaman, namun kemajuan yang pesat dalam teknologi medis belum diiringi dengan kemajuan yang sama pada aspek-aspek kemanusiaan dari perawatan pasien. Kepala Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat menegaskan evaluasi atas penderita penyakit jiwa yang dilayani melalui RSJ Provinsi Jawa Barat selama tahun 2006 mengalami kenaikan sebesar 20%. Berdasarkan perhitungan pelayanan pengobatan, semula rata-rata 20 orang per hari, di tahun 2006 meningkat 30 orang per hari, bahkan 50 orang per hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik rumah sakit jiwa Provinsi Jawa Barat yang paling banyak pengunjung pasien rawat jalan di RSJ provinsi jawa barat adalah bulan Agustus 2008 yaitu sebanyak 1315 orang dengan angka pasien baru 562 orang, pasien lama 753 orang. Hal ini menunjukan masih banyak masyarakat luar kota dan sekitarnya mengalami gangguan jiwa tetapi ada juga pasien gangguan jiwa yang putus obat (Drop Out) pada pengobatannya. Berdasarkan studi pendahuluan pada bulan April 2009 diperoleh data pengunjung pasien ganguan jiwa yang kontrol sebanyak 737 orang di unit rawat jalan RSJ Provinsi Jawa Barat. Juga masih ada pasien gangguan jiwa yang Drop Out yaitu 71 orang atau berkisar 9,63 %. Drop Out dipengaruhi oleh dukungan keluarga yang kurang dengan berbagai alasan keluarga karena faktor ekonomi yang kurang, malas/bosan untuk mengantarkan klien berobat ke rumah sakit dan kurangnya dukungan dari keluarga untuk penyembuhan klien. Berdasarkan studi pendahuluan didapatkan hasil wawancara kepada 10 orang keluarga klien yang sedang mengantar klien menjalani pengobatan. Terbukti dari 10 orang yang di wawancara ada 6 orang keluarga mengatakan kurangnya memberikan motivasi pada klien karena merasa malas dan bosan untuk mengantarkan klien berobat ke rumah sakit dan keluarga merasa malas memperhatikan klien untuk minum obat sesuai petunjuk setiap hari dan keluarga tidak memberikan dorongan kepada klien supaya sembuh sehingga klien Jurnal Kesehatan Kartika
62
mengalami putus obat dan harus menjalani pengobatan ulang karena tidak patuh dalam pengobatan dengan alasan keluarga tidak mampu untuk menjangkau pelayanan kesehatan karena letaknya terlalu jauh untuk di jangkau, serta tidak mempunyai cukup biaya untuk pengobatan klien secara teratur dan kurangnya dukungan keluarga untuk penyembuhan klien. B. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk menelaah hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Sedangkan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan data dikumpulkan dengan kuesioner dan checklist. Artinya dalam penelitian ini baik variabel independen (dukungan psikososial keluarga) atau variabel dependen (kepatuhan berobat) dikumpulkan secara bersamaan. (Notoatmodjo, 2005). Adapun kerangka konsep pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan: 1. Faktor Instrinsik • Motivasi • Pengetahuan • Persepsi/sikap 2. Faktor Ekstrinsik • Status ekonomi • Jarak rumah & RS • Sarana/fasilitas RS • Dukungan Psikososial Keluarga : Dukungan emosi Dukungan Penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan Informasi
Patuh Kepatuha n berobat Tidak Patuh
T P
Gambar 3.1 : Kerangka konsep (Sumber : Sarafino,1994; Health Psycology) Jurnal Kesehatan Kartika
63
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga pasien gangguan jiwa yang datang mengantar pasien ke unit rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 737 orang. Maka besaran sampel yang diperoleh dengan tingkat kepercayaan 90% adalah 88 responden. Adapun teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik purposive sample, dimana responden memenuhi kriteria sebagai berikut: bersedia menjadi responden, usia responden > 20 tahun, responden yang tinggal serumah dan bertanggung jawab dan terlibat dalam perawatan dan pengobatan pasien di rumah. Adapun jumlah responden yang memenuhi kriteria tersebut sebanyak 88 responden. Dalam analisa data, dilakukan melalui dua tahap analisa, yaitu tahap analisa univariat dan analisa bivariat. Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dan persentase dari tiap variabel dan analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara varibel, dengan menggunakan analisa Chi-Square (χ2). C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Analisis Univariat a. Gambaran dukungan psikososial keluarga Tabel 1 Distribusi Dukungan Psikososial Keluarga di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat Dukungan Psikososial Keluarga Jumlah Presentase Tidak Mendukung 42 47,7 Mendukung 46 52,3 Total
88
100
Berdasarkan hasil analisa tabel 1, dapat diketahui bahwa dari 88 responden, sebanyak 46 (52.3%) responden keluarga memberikan dukungan psikososial terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Namun masih ada yang tidak mendukung terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa yaitu sebanyak 42 (47.7%) responden. Dukungan psikososial keluarga adalah mekanisme hubungan interpersonal yang dapat melindungi seseorang dari efek stress yang buruk. Pada umumnya jika seseorang memiliki sistem pendukung yang kuat, kerentangan terhadap penyakit mental akan rendah (Kaplan dan Saddock, 1994). Menurut Morgan et al, (dalam C. Abraham dan E.Shanley. 1997) mengatakan bahwa dukungan psikososial dan hubungan saling percaya yang kuat penting untuk melindungi orang dari depresi setelah kejadian hidup yang berat. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Oleh karena itu asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan klien tetapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga tersebut.
Jurnal Kesehatan Kartika
64
Pilisuk dan Parks (dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa dukungan psikososial keluarga memiliki peranan penting untuk membantu seseorang dengan keadaan terpuruk karena keluarga merupakan suatu unit pelayanan dan masalah keluarga saling berkaitan serta saling mempengaruhi antar sesama anggota keluarga. Dukungan psikososial tergantung pada lingkungan sosial dimana individu tersebut berada dalam keluarga dan komunitasnya. Seseorang dengan dukungan psikososial keluarga tinggi mempunyai keyakinan bahwa mereka dicintai, diperhatikan dan menjadi bagian dari keluarga. Berdasarkan pada apa yang dikatakan friedman (1998) bahwa fungsi afektif keluarga adalah memberikan dukungan psikososial keluarga kepada anggotanya, sehingga anggota keluarga tersebut merasa nyaman dan dicintai, jika fungsi yang penting ini tidak adekuat maka individu akan merasa diasingkan dan tidak diharapkan lagi oleh keluarga. Sudiharto (2007) mengungkapkan bahwa ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan dan keperawatan termasuk kondisi kritis seperti kurangnya pengetahuan akan berdampak pada kondisi sehat-sakit salah satu anggota keluarga. Sehingga memberikan informasi yang jelas kepada pasien dan keluarga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan (Suryawati,2009,¶7, http://www.farklin.com diperoleh tanggal 10 juni 2009). Menurut Sarafino (1994) ada 4 bentuk dukungan psikososial yang dapat diberikan sebagai bagian dari sistem pendukung diantaranya Dukungan Emosi: dukungan ini penting untuk menghadapi masalah yang tidak dapat dikontrol, seperti yang diungkapkan oleh Cobb (dalam sarafino.1994) bahwa individu yang menerima kasih sayang dan penguatan serta empati dari keluarga tidak rentan terhadap gangguan jiwa. Dukungan Penghargaan; bentuk dukungan ini membantu individu membentuk harga diri dan kompetensi. Dukungan Instrumental; bentuk dukungan ini dapat mengurangi beban individu saat menghadapi keadaan yang tidak dapat dikontrol. dan Dukungan Informasi; bentuk dukungan ini dapat membantu individu dalam memecahkan masalah dengan lebih mudah. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebanyak 52,3% keluarga memberikan dukungan psikososial pada pasien gangguan jiwa. Hal ini sesuai dengan teori-teori yang dikeukakan di atas bahwasanya dukunga psikososial keluarga sangat penting dalam kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Rasa aman dan nyaman keluarga akan membuat pasien gangguan jiwa merasa dicintai dan disayangi oleh lingkungan sekitarnya. Walaupun tingkat kesembuhan pasien gangguan jiwa tidak mungkin dapat disembuhkan 100%, namun dengan adanya dukungan psikososial keluarga minimalnya pasien gangguan jiwa dapat meningkatkan kualitas hidupnya dengan segala ketidakmampuan dan keterbatannya beradaptasi dengan lingkungan dan permasahannya. Pada penelitian ini masih ditemukan keluarga yang tidak mendukung terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Padahal pada pasien dengan gangguan jiwa yang mengalami gangguan bukan saja kognitif, afektif bahkan sampai psikomotornya. Sehingga untuk dapat memaksimalkan kemampuan pasien gangguan jiwa perlu ada generator dari luar diri pasien yang dapat membangkitkan kognitif, afektif dan bahkan
Jurnal Kesehatan Kartika
65
psikomotor pasien gangguan jiwa. Keluargalah yang harus menjadi generator atas ketidakmampuan dan keterbatasan pasien gangguan jiwa. Keluarga yang tidak mendukung ini menurut asumsi peneliti, dikarenakan banyak faktor terutama faktor pegetahuan keluarga tentang kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa, karena selama pasien gangguan jiwa belum lepas dari obt yang dtentukan oleh dokter, maka pasien harus terus mengkonsumsi obat tersebut. Untuk itu perlulah kiranya pihak rumah sakit memberikan informasi seakurat mungkin tentang pengobatan pasiennya. b. Gambaran Kepatuhan Berobat Pasien Gangguan Jiwa
Tabel 2 Distribusi Kepatuhan Berobat Pasien Gangguan Jiwa di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat Kepatuhan Berobat Tidak Patuh Patuh
Jumlah 29 59
Presentase 33,0 67,0
Total
88
100
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa dari 88 responden, sebanyak 59 (67.0%) responden patuh terhadap pengobatan, dan sebanyak 29 (33%) tidak patuh terhadap pengobatan pasien gangguan jiwa. Kepatuhan berobat adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pengobatan sesuai petunjuk medik. Artinya dosis, waktu, dan cara pemberian tepat. Medikasi yang harus dilakukan untuk jangka panjang. Kepatuhan berobat sangat penting karena merupakan faktor yang menentukan efektivitas suatu pengobatan, Ketidakpatuhan berobat bisa meningkatkan biaya berobat dengan mahalnya harga obat dan lamanya perawatan di rumah sakit atau hospitalisasi. Kepatuhan berobat adalah perilaku penderita untuk menyelesaikan menelan obat sesuai dengan jadwal dan dosis obat yang dianjurkan sesuai kategori yang telah ditentukan, tuntas jika pengobatan tepat waktu dan tidak tuntas jika tidak tepat waktu. Kriteria kepatuhan menurut Cramer (dalam Chairil A. 2002) kepatuhan berobat klien dapat dibedakan menjadi : patuh, pada keadaan ini pasien tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang di tetapkan, melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk. Sedangkan dikatakan tidak patuh bila pasien yang berobat teratur tetapi tidak memakai obat secara teratur, penderita yang berobat tidak teratur dan penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali. Kepatuhan adalah tingkat kemampuan pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter dan tim kesehatan yang lain. (Sarafino,1994). Hasil penelitian telah sesuai dengan perilaku klien dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat akan berpengaruh terhadap kesembuhan pada pasien gangguan jiwa. Kepatuhan melakukan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh: faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi.
Jurnal Kesehatan Kartika
66
Selain faktor internal, ada pula faktor eksternal, yaitu faktor selain dari diri individu seperti dukungan psikososial keluarga, status ekonomi, jarak rumah dan rumah sakit, sarana atau fasilitas yang dimiliki rumah sakit (Notoadmojo, 1993). Faktor eksternal kepatuhan pengobatan pda pasien dengan gangguan jiwa akan sangat mendominasi, karena pada pasien gangguan jiwa tidak hanya kognitif dan afektif saja yang mengalami gangguan bahkan psikomotor pun dapat mengalami gangguan pada psien gangguan jiwa. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini sebanyak 46 (67%) pasien gangguan jiwa patuh berobat ke rumah sakit jiwa. Hal ini sesuai dengan beberapa teori yang dikemukan di atas bahwasanya kepatuhan berobat seseorang sangat penting dalam kesembuhan penyakit yang dideritanya. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang patuh berobat, kepatuhan berobat pada pasien gangguan jiwa sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, karena tidak menutup kemungkinan pada pasien gangguan jiwa tidak hanya kognitif, afektif bahkan psikomotornya pun mengalami gangguan akibat gangguan jiwa yang dialaminya. Pada peneitian ini, masih ada pasien yang tidak patuh berobat ke rumah sakit jiwa, yaitu sebanyak 29 (33.0%) responden. Menurut asumsi peneliti hal ini disebabkan karena banyak faktor, namun yang paling mendominasi antara lain kurangnya pengetahuan dan faktor sosial-ekonomi keluarga ditambah pula dengan jauhnya jarak antara rumah dan rumah sakit yang menyebabkan keluarga tidak mendukung terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. 2. Analisa Bivariat
Tabel 3 Hubungan Dukungan Psikososial Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Gangguan Jiwa Di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat Kepatuhan Berobat Dukungan Psikososial Keluarga Tidak Patuh Patuh n % n % Tidak Mendukung 19 45,2 23 54,8 Mendukung 10 21,7 36 78,3 Total 29 33,0 59 67,0
Total n 42 46 88
P Value % 100 100 100
0.034
Dari hasil analisis hubungan antara dukungan psikososial keluarga dengan kepatuhan berobat diperoleh bahwa keluarga yang tidak mendukung, sebanyak 23 (54.8%) responden patuh berobat, dan diantara keluarga yang mendukung, sebanyak 36 (78.3%) responden patuh berobat. Hasil uji stastistik didapatkan p value = 0,034 yang berarti kurang dari alpa 0,05 maka dapat disimpulkan hipotesa nol ditolak sehingga ada
Jurnal Kesehatan Kartika
67
hubungan yang signifikan antara dukungan psikososial keluarga dengan kepatuhan berobat pada klien gangguan jiwa. Kepatuhan berobat adalah kemampuan seseorang untuk melakukan pengobatan sesuai petunjuk medik. Artinya dosis, waktu, dan cara pemberian tepat. Medikasi yang harus dilakukan untuk jangka panjang. Kepatuhan berobat sangat penting karena merupakan faktor yang menentukan efektivitas suatu pengobatan, Ketidakpatuhan berobat bisa meningkatkan biaya berobat dengan mahalnya harga obat dan lamanya perawatan di rumah sakit atau hospitalisasi. Kepatuhan berobat adalah perilaku penderita untuk menyelesaikan menelan obat sesuai dengan jadwal dan dosis obat yang dianjurkan sesuai kategori yang telah ditentukan, tuntas jika pengobatan tepat waktu dan tidak tuntas jika tidak tepat waktu. Kepatuhan melakukan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh: faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi. Selain faktor internal, ada pula faktor eksternal, yaitu faktor selain dari diri individu seperti dukungan psikososial keluarga, status ekonomi, jarak rumah dan rumah sakit, sarana atau fasilitas yang dimiliki rumah sakit (Notoadmojo, 1993). Faktor eksternal kepatuhan pengobatan pada pasien dengan gangguan jiwa akan sangat mendominasi, karena pada pasien gangguan jiwa tidak hanya kognitif dan afektif saja yang mengalami gangguan bahkan psikomotor pun dapat mengalami gangguan pada pasien gangguan jiwa. Dukungan psikososial keluarga merupakan mekanisme hubungan interpersonal yang dapat melindungi seseorang dari efek stress yang buruk. Pada umumnya jika seseorang memiliki sistem pendukung yang kuat, kerentangan terhadap penyakit mental akan rendah (Kaplan dan Saddock, 1994). Menurut Morgan et al, (dalam C. Abraham dan E.Shanley. 1997) mengatakan bahwa dukungan psikososial dan hubungan saling percaya yang kuat penting untuk melindungi orang dari depresi setelah kejadian hidup yang berat. Pilisuk dan Parks (dalam Friedman, 1998) menyatakan bahwa dukungan psikososial keluarga memiliki peranan penting untuk membantu seseorang dengan keadaan terpuruk karena keluarga merupakan suatu unit pelayanan dan masalah keluarga saling berkaitan serta saling mempengaruhi antar sesama anggota keluarga. Dukungan psikososial tergantung pada lingkungan sosial dimana individu tersebut berada dalam keluarga dan komunitasnya. Seseorang dengan dukungan psikososial keluarga tinggi mempunyai keyakinan bahwa mereka dicintai, diperhatikan dan menjadi bagian dari keluarga. Berdasarkan pada apa yang dikatakan friedman (1998) bahwa fungsi afektif keluarga adalah memberikan dukungan psikososial keluarga kepada anggotanya, sehingga anggota keluarga tersebut merasa nyaman dan dicintai, jika fungsi Jurnal Kesehatan Kartika
68
yang penting ini tidak adekuat maka individu akan merasa diasingkan dan tidak diharapkan lagi oleh keluarga. Menurut Sarafino (1994) ada 4 bentuk dukungan psikososial yang dapat diberikan sebagai bagian dari sistem pendukung diantaranya Dukungan Emosi: dukungan ini penting untuk menghadapi masalah yang tidak dapat dikontrol, seperti yang diunngkapkan oleh Cobb (dalam sarafino.1994) bahwa individu yang menerima kasih sayang dan penguatan serta empati dari keluarga tidak rentan terhadap gangguan jiwa. Dukungan Penghargaan; bentuk dukungan ini membantu individu membentuk harga diri dan kompetensi. Dukungan Instrumental; bentuk dukungan ini dapat mengurangi beban individu saat menghadapi keadaan yang tidak dapat dikontrol. dan Dukungan Informasi; bentuk dukungan ini dapat membantu individu dalam memecahkan masalah dengan lebih mudah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara dukungan psikososial keluarga tehadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa, hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (1993), bahwasanya dukungan sosial keluarga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pasien gangguan jiwa patuh berobat ke rumah sakit jiwa. Mengingat pasien gangguan jiwa yang mengalami gangguan tidak hanya kognitif dan afektifnya saja bahkan motorik pasien gangguan jiwa pun dapat mengalami gangguan/kerusakan akibat penyakit yang di deritanya. Namun masih ada responden yang tidak mendukung kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa, hal ini tentunya tidak hanya faktor dukungan sosial saja, namun ada faktor lain yang ikut mempengaruhi kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. Peneliti berasumsi bahwa ada keluarga beralasan ketidakmampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan karena letaknya terlalu jauh untuk dijangkau dari rumah, serta tidak mempunyai cukup biaya untuk pengobatan klien secara teratur. Hal diatas menunjukan bahwa responden yang tidak mendukung kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa bukan berarti tidak patuh berobat, tetapi ada faktor lainnya yang menyebabkan ketidakpatuhannya. Sehingga dukungan psikososial keluarga bukanlah satu-satunya faktor yang bertanggung jawab terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa. D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data serta pembahasan mengenai hubungan psikososial keluarga dengan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, maka dapat disimpulkan: a. Sebanyak 46 (52.3%) responden memberikan dukungan psikososial keluarga terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat.
Jurnal Kesehatan Kartika
69
b. Sebanyak 56 (67.0%) reponden patuh berobat pada pasien gangguan jiwa di Unit Rawat Jalan RSJ Provinsi Jawa Barat. c. Terdapat hubungan signifikan antara dukungan psikososial keluarga dengan kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dengan p value 0.034 (< 0,05). 2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut: a. Bagi Penelitian Selanjutnya Dari hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan baru bagi perawat professional masa depan mengenai ilmu dan teori yang menjelaskan tentang pentingnya dukungan psikososial keluarga terhadap kepatuhan berobat pada pasien gangguan jiwa. Selain itu pula, penelitian ini dapat dijadikan sumber data untuk penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat klien gangguan jiwa. b. Bagi Tenaga Kesehatan Rumah Sakit Jiwa Dalam hasil penelitian ini masih ditemukan keluarga yang tidak mendukung terhadap kepatuhan berobat pasien gangguan jiwa, sehingga untuk dapat meningkatkan kualitas hidup pasien gangguan jiwa perlu disampaikan informasi tentang pentingnya dukungan psikososial keluarga terhadap kepatuhan berobat pasien melalui pendidikan kesehatan atau penyebaran leaflet, guna memaksimalkan kemampuan adaptasi pasien gangguan jiwa sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA Abraham,Charles dan Shanley. (1997). Psikologi Sosial untuk perawat. Alih Bahasa. Leonyi Sally Maitimu. Jakarta: EGC Anonim. 2007. Penderita gangguan Diunduh tanggal 30 April 2009
jiwa
tersedia http://www.diskukmjabar.go.id/
Arikunto,Suharsimi.(2006).Prosedur Penelitian. Edisi Revisi ke-6. Jakarta: PT Rineka Cipta Azwar,S.2008.Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Chairil A.(2002). Kepatuhan berobat pada seseorang. tersedia. http:// digilib. litbang. depkes.go.id diperoleh tanggal10 mei 2009 Friedman, Marilyn m. (1998). Keperawatan keluarga: teori & praktik. Jakarta : EGC Jurnal Kesehatan Kartika
70
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Indarini
Dyah SS.(2003).Dukungan Psikososial. tersedia. http://skripsistikes.wordpress.com, diperoleh tanggal15 April 2009
Kaplan dan Sadock. (1992). Sinopsis Psikiatri. Baltimore : William & Wilkins Keliat,Budi Ana. (1992). Peran Serta Keluarga dalam Keperawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC. Lazarus, et, al. (1984). Stress Appraisal And Coping. New York : Springer Publisher Comp. Lieberman, M.A. (1992). The Effect Of Social Support On Responses To Stress. London : Collier mac Millan Publsher Mar’at, Samsunuwiyati. (2005). Psikologi Perkembangan. Cetakan I. Bandung : PT Remaja Rosdakarya http://www.google.co.id/Us Mardjono.(1992).“Kesehatan Jiwa saat ini”. Tersedia: :Official&q:tinggi+gangguan+jiwa+start=20&sa=N diperoleh tanggal 11 MeI 2009 Nevid, et, al. (2005). Psokologi Abnormal. Jakarta : Erlangga Nich Julie Niven. (2000). Psikologi Kesehatan universitas Indonesia:Pengantar untuk perawat & professional kesehatan lain. Jakarta : EGC Niven, Neil. (2000). Psikologi Kesehatan. Jakarta : EGC Notoatmodjo, Soekijo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan II. Jakarta: PT Rineka Cipta. ----------------------------. (1993). Perilaku kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cip Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta : Salemba Medika. Pokja.(2007). Kepatuhan berobat. Tersedia. http://www.aidsrspiss.com/articles.php?lng=in&pg=245, 20 April 2009). Riduwan. (2005). Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan dan peneliti pemula. Bandung :Alfabeta Jurnal Kesehatan Kartika
71
Ririn. (2007). “37% warga jabar sakit gila”. tersedia. http://www. Pikiran rakyat. com/Prprint.php.mib:berita detail& id:36862. 20 April 2009 Sarafino, Edward. (1994). Helth Psicology, Biopsyicososial Interactions. Canada : Jhon Wiley & Sons Inc. Sholihah. (2002). Hubungan Dukungan Psikososial Keluarga dengan tingkat depresi pada klien yang menjalani Hemodialisa Regular Di RSKG R. A Habibie. Sripsi Fik Unpad Sudiharto, (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Cetakan I. Jakarta : EGC Sugiyono. (2007). Statistik untuk Penelitian. Bandung : CV Alvabeta. Taylor, S,E. (1999). Health Psycologi. Boston : Mc Graw Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama. Willy f. Maramis. (2004). Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya : Airlangga Universitas Press
Jurnal Kesehatan Kartika
72