Pembangunan Bidang Pendidikan : Perencanaan Yang Lebih Fokus dan Berorientasi Ke Timur Indonesia Merupakan Solusi Atasi Kesenjangan dan Percepat Pencapaian Target Nasional Abstrak Kesenjangan input pendidikan mulai dari rasio luas wilayah/sekolah, rasio guru/kelas, jumlah guru berijasah S1 hingga kondisi kelas yang rusak serta ketimpangan pembangunan ekonomi merupakan alasan yang kuat dibutuhkannya perencanaan dan implementasi pembangunan pendidikan yang lebih fokus dan berorientasi ke timur Indonesia.
Pembangunan
sebuah negara tidak bisa dilepas dari pembangunan sumber daya manusianya. Hubungan keterkaitan ini akan begitu terlihat pada hubungan pembangunan ekonomi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dalam teori ekonomi disebutkan bahwa human capital merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dengan human capital yang berkualitas, maka akan mendorong kreatifitas dan produktifitas masyarakat yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja ekonomi. Kinerja ekonomi yang semakin membaik akan memberikan imbal balik kepada masyarakat atas kreatifitas dan produktifitasnya melalui peningkatan pendapatan rumah tangganya. Hubungan timbal balik ini juga dijelaskan oleh Ramirez dkk (1998) dalam working papernya yang berjudul “Economic Growth and Human Development”. Peningkatan pendapatan tersebut juga pada akhirnya akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat, termasuk pengeluaran untuk pendidikan, yang akhirnya mendorong peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM. Keseluruhan runtutan perubahan tersebut pada akhirnya akan menghela kesejahteraan masyarakat ke tingkatan yang jauh lebih baik. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut merupakan salah satu dari tujuan pembangunan sebuah negara. Dari hubungan kausalitas pada alinea sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa SDM dan pembangunan SDM adalah modal utama dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu kualitas sumber daya manusia Indonesia
perlu terus ditingkatkan sehingga mampu memberikan daya saing yang tinggi. Kualitas ini salah satunya dapat ditingkatkan melalui pembangungan di bidang pendidikan. Beberapa Permasalahan dan Isu Strategis Pendidikan Dasar dan Menengah Pembangunan bidang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia terus mengalami perbaikan dari tahun ke tahun. Salah satu perbaikan tersebut dapat terlihat dari peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Pertisipasi Murni (APM). Tabel 1 APK dan APM dalam kurun tahun ajar 2010/11 sampai dengan 2012/13, terus mengalami peningkatan
APK DAN APM APK SD dan Sederajat APM SD dan Sederajat APK SMP dan Sederajat APM SMP dan Sederajat APK SM dan Sederajat APM SM dan Sederajat
2010/11 115.33 95.41 98.2 75.64 70.53 56.52
2011/12 115.43 95.55 99.47 77.71 76.4 57.74
2012/13 115.88 95.71 100.16 78.43 78.19 58.25
Sumber : Kemendikbud
Meskipun ada peningkatan APK dan APM, masih ada beberapa permasalahan yang perlu perhatian besar di bidang pendidikan antara lain: Pertama, Ketimpangan akses pendidikan. Meskipun mengalami perbaikan, 4.29 persen anak usia 7-12 tahun, 21,57 persen anak usia 13-15 tahun dan 41,75 persen anak usia 1618 tahun tidak bersekolah atau belum mengenyam pendidikan menurut jenjang pendidikan yang sesuai dengan umurnya. Angka yang relatif besar ini harus menjadi perhatian pemerintah dalam konteks pembangunan nasional dan peningkatan daya saing SDM Indonesia ke depan.
Kesenjangan akses terhadap pendidikan semakin nyata bila dilihat dari kelompok penduduk berdasarkan status sosial. Di tahun 2012, Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 13-15 tahun pada kelompok 20 persen termiskin sebesar 81 persen dan kelompok 20 persen terkaya sebesar 94,9 persen. Kedua, kesenjangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah. Permasalahan penting lainnya adalah kesenjangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah maupun antar propinsi belum terselesaikan, yang terlihat dari perbandingan capaian APM tahun 2004 dengan 2013. Pada tahun 2004, APM Sekolah Dasar (SD) wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua jauh tertinggal dari capaian wilayah Sumatera, Jawa dan Bali yang terlihat dari nilai APMnya dan tidak ada satu propinsipun di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua yang berada diatas nilai APM nasional. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi di Jawa dan Sumatera dimana di pulau Jawa sebanyak 6 propinsi (85%) dan Sumatera sebanyak 4 (40%) propinsi nilai APM SDnya sudah diatas nilai APM nasional. Kondisi yang sama juga terlihat dari nilai APM menurut wilayah, dimana nilai APM SD tahun 2013 untuk wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih relatif jauh dibandingkan dengan nilai APM nasional dan APM wilayah Sumatera dan Jawa-Bali. Tabel 2 Ketimpangangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah masih belum terselesaikan WILAYAH
ANGKA PARTISIPASI MURNI (APM) Tahun 2004 & 2013
SD 2004 Sumatera 93.94 Jawa + Bali 95.12 Kalimantan - Sulawesi 92.75 Nusa Tenggara - Maluku - Papua 89.98 Nasional 94.12
SD 2013 SMP 2004 SMP 2013 SM 2004 94.75 61.27 80.29 41.74 96.73 59.44 79.69 39.77 95.44 50.15 74.10 35.00 92.89 51.79 71.41 34.63 95.71 58.06 78.43 39.24
SM 60.73 57.56 58.75 54.95 58.25
Sumber : Kemendikbud, diolah
Kesenjangan tersebut belum terselesaikan juga terlihat dari delta atau selisih capaian APM (SD, SMP & SM) wilayah Nusa tenggara, Maluku dan Papua dengan APM wilayah Sumatera atau Jawa yang masih relatif sangat besar.
Ketiga, kondisi infrastruktur pendidikan. Permasalahan dan isu strategis lainnya adalah ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendididikan yang masih rendah dan tidak merata, jarak tempuh atau daya jangkau penduduk ke fasilitas pendidikan yang masih jauh serta mahalnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Pada tahun 2013, ruang kelas yang masih dalam kondisi rusak (baik rusak ringan maupun berat) untuk jenjang SD sebanyak 24 persen dari total kelas 901.457, SMP sebanyak 26 persen dari total kelas 253.998 dan SMA/K sebanyak 12 persen dari total kelas 216.140. Daya jangkau ke fasilitas pendidikan yang diukur dengan rasio luas wilayah propinsi dengan jumlah sekolah, baik SD, SMP dan SMA/K masih relatif jauh dan butuh perhatian khusus dari pemerintah. Untuk wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, seorang siswa SD harus menempuh rata-rata 32,16 km untuk dapat mengenyam pendidikan. Siswa SMP dengan jarak tempuh 126,81 km dan siswa SMA/K dengan jarak tempuh 105,69 km. Kondisi ini berbeda drastis dengan siswa SD, SMP dan SMA/K di wilayah Jawa Bali. Siswa SD di Jawa Bali hanya menempuh 13,66 km, SMP 60,31 km dan SMA/K menempuh 72,86 km. Terakhir, mutu pendidikan yang masih rendah. Permasalahan dan isu stertegis yang terungkap pada alinea-alinea sebelumnya masih hanya terkait pada akses pendidikan, belum menyentuh mutu pendidikan itu sendiri. Berkaitan dengan mutu pendidikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mulai dari 74% aktifitas pembelajaran sifatnya masih satu arah, akreditasi lembaga pendidikan yang masih rendah, masih kurangnya ketersediaan perpustaakan dan laboratorium di lembaga pendidikan, kualifikasi guru yang masih rendah, kesenjangan mutu pendidikan di wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, sertifikasi guru yang belum linear dengan peningkatan kualitas guru dan rendahnya relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Kesenjangan ketersediaan guru
di kota dan desa, di daerah terpencil hingga di Indonesia Timur dan barat merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan
ketimpangan mutu pendidikan antar daerah atau wilayah. Hal ini merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Boks 1. Sasaran, Arah dan Strategi Kebijakan Pembangunan Pendidikan Dasar dan Menengah Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sasaran pokok pembangunan nasional sub bidang pendidikan dasar dan menengah difokuskan pada beberapa target kenaikan indikator pendidikan antara lain adalah kenaikan APM dan APK SD/SDLB/Paket A, APM dan APK SMP/SMPLB/Paket B, APK SMA/SMK/SMLB/Paket C, kenaikan angka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta penurunan angka putus sekolah disetiap jenjang pendidikan. Tabel 3 Beberapa Sasaran Pokok Pembangunan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam RPJMN 2015-2019 SASARAN APM SD/SDLB/PAKET A (%) APK SD/SDLB/PAKET A (%) Angka Putus Sekolah SD (%) APM SMP/SMPLB/PAKET B (%) APK SMP/SMPLB/PAKET B (%) Angka Putus Sekolah SMP (%) Angka Melanjutkan SD ke SMP (%) APK SMA/SMK/SMLB/Paket C (%) Lulusan SMP/MTs melanjutkan ke SMA dan SMK (%) Persentase kecamatan yang memiliki Minimal 1 Sekolah Menengah Angka siswa putus sekolah SMA/SMK (%)
2015 82.00 97.65 1.07 71.88 80.73 1.14 83.40 73.82 80.00 76.60 1.20
2016 82.51 97.85 1.04 72.69 81.89 1.11 83.64 76.68 82.00 82.50 1.10
2017 82.88 98.02 1.00 73.07 82.40 1.08 84.95 79.08 84.00 88.30 1.00
2018 84.52 99.92 0.98 73.70 83.61 1.03 86.89 80.51 86.00 94.20 0.90
2019 85.20 100.55 0.97 73.72 83.77 1.01 87.67 82.18 88.00 100.00 0.80
Sumber : Dokumen RPJMN 2015-2019, Bappenas Dari tabel 3 diatas, untuk tahun 2016 pemerintah menargetkan adanya kenaikan APM SD/SDLB/Paket C sebesar 0,51 persen, APK sebesar 0,2 persen serta penurunan angka putus sekolah SD sebesar 0,03 persen. Untuk SMP, pemerintah menargetkan peningkatan APM SMP/SMPLB/Paket C sebesar 0,81 persen, APK sebesar 1,16 persen dan penurunan angka putus sekolah sebesar 0,03 persen. Sedangkan untuk SMA/SMK, pemerintah menargetkan APK SMA/SMK/SMLB/Paket C sebesar 2,856 persen dan penurunan angka putus sekolah sebesar 0,1 persen. Target-target tersebutkan merupakan target yang difokuskan untuk meningkatkan angka partisipasi masyarakat untuk mengeyam pendidikan. Target-target tersebut akan dicapai melalui arah dan strategi kebijakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan prioritas nasional. Di dalam RPJMN 2015-2019, kegiatan proritas dalam kerangka meningkatkan angka partisipasi bersekolah antara lain melalui pemberian peluang bagi kelompok penduduk miskin untuk bersekolah melalui pemberian bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pembangunan sekolah dan kelas baru untuk SD, SMP dan sekolah menengah, rehabilitasi ruang kelas, pembangunan sekolah SD-SMP satu atap, meningkatkan jumlah SMK yang memberikan pendidikan kewirausahaan dan teaching factory, peningkatan relevansi SMK terhadap industri atau dunia kerja, serta pembangunan SMK kelautan dan pertanian.. Sedangkan untuk peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah, pemerintah menargetkan peningkatan jumlah SD/SDLB dan SMP/SMPLB berakreditasi B, jumlah SD/SDLB dan SMP/SMPLB yang memiliki sarana dan prasarana sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP), SD/SDLB dan SMP/SMPLB yang memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), SD/SDLB dan SMP/SMPLB yang memiliki Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) sesuai NSP, persentase kabupaten/kota yang memiliki minimal 1 sekolah menengah rujukan/model serta peningkatan persentase PTK sekolah menengah yang meningkat karirnya. Untuk mencapai target-target tesebut, kegiatan prioritas diarahkan antara lain melalui peningkatan jumlah sekolah yang mendapat pembinaan akreditasi dan bantuan peralatan pendidikan, peningkatan perpustakaan/pusat sumber belajar SD/SMP/SM dan laboraturium SMP/SM yang dibangun maupun direhabilitasi, mendorong peningkatan siswa yang mengikuti lomba/kompetisi/olimpiade/debat dan unjuk prestasi tingkat nasional dan internasional serta mendorong siswa untuk memperoleh beasiswa bakat dan prestasi. Sedangkan untuk PTK, dicapai melalui peningkatan jumlah PTK yang menerima tunjangan fungsional, profesi dan khusus, peningkatan jumlah PTK berkualifikasi akademik S1/D4 serta tersedianya jenis penghargaan dan perlindungan bagi PTK.
Pembangunan Berorientasi Ke Timur Indonesia : Solusi Atasi Kesenjangan dan Percepatan Pencapaian Target Dari berbagai kegiatan prioritas dalam dokumen RPJMN 2015-2019 yang tergambar dalam boks 1 diatas, dapat dikatakan bahwa dimensi rencana kegiatan/pembangunan pendidikan yang berdimensi kewilayahan (menfokuskan kepada wilayah Timur Indonesia) tidak terpapar dengan jelas. Padahal permasalahan yang paling serius, salah satunya adalah kesenjangan antar daerah/wilayah di Indonesia. Salain itu, dimensi kewilayahan dalam konteks peningkatan mutu pendidikan dalam RPJMN 2015-2019 juga tidak terpapar dengan jelas Pada alinea-alinea awal sudah terpapar dengan jelas bahwa kesenjangan pembangunan pendidikan antara wilayah timur dengan wilayah barat. Kesenjangan tersebut tidak hanya saja pada kesenjangan akses dan partisipasi pendidikan, akan tetapi juga terhadap mutu pendidikan. Kesenjangan tersebut tidak terlepas dari kesenjangan input pendidikan di kedua wilayah, mulai dari ketersedian sekolah dan sarana prasarananya hingga kepada kuantitas dan kualitas tenaga pendidiknya. Tabel 4 Jarak SD ke SD lain di papua mencapai 131,14 km dan SMP 698,11 km, berbeda jauh dengan di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali RASIO LUAS WILAYAH/SEKOLAH WILAYAH/PROPINSI SD SMP SM Sumatera 15.34 58.82 95.99 Jawa-Bali 1.75 8.40 11.43 Nusa Tenggara Barat 5.96 22.51 37.75 Nusa Tenggara Timur 10.11 35.61 83.28 Maluku 26.98 85.14 142.60 Maluku Utara 25.22 79.56 127.42 Papua 131.24 698.11 1096.34 Papua Barat 99.51 455.51 688.12 Sumber : Kemendikbud & BPS, diolah
Dari table 4 dapat terlihat berapa jauh jarak tempuh yang harus dijalani oleh seorang siswa di Nusatenggara, Maluku dan Papua. Kesenjangan rasio antara luas
wilayah dan jumlah sekolah inilah yang menjadi penyebab terjadinya kesenjangan hasil pembangunan pendidikan di wilayah Timur dan Barat Indonesia. Kesenjangan input pendidikan lainnya adalah rasio jumlah guru di setiap sekolah. Tabel 5 Jumlah guru Sekolah Dasar (SD) di Papua dan Maluku hanya 5-10 orang sedangkan di Jawa/Sumatera sudah 12 orang. Kondisi kesenjangan di jenjang SMP dan SM tidak jauh berbeda RASIO GURU/SEKOLAH SD SMP SM Sumatera 12.21 17.22 21.69 Jawa-Bali 12.48 20.19 22.43 Kalimantan 11.47 10.78 17.74 Sulawesi 10.01 13.30 18.30 Nusa Tenggara Barat 12.18 13.95 16.54 Nusa Tenggara Timur 9.90 11.40 17.53 Maluku 10.64 13.41 18.50 Maluku Utara 7.39 9.17 11.15 Papua 5.75 12.13 15.96 Papua Barat 5.25 11.19 11.89 Sumber : Kemendikbud, diolah WILAYAH/PROPINSI
Tabel 5 memberikan gambaran yang jelas tentang kesenjangan rasio guru terhadap jumlah sekolah di di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali dengan wilayah timur Indonesia. Ketersedian guru per setiap sekolah, baik SD, SMP maupun SM, di propinsi-propinsi bagian timur Indonesia masih jauh dibawah rata-rata propinsipropinsi Pulau Jawa dan Bali. Jumlah guru baik SD, SMP maupun SM yang tingkat pendidikan tertingginya minimal strata 1 di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua juga jauh tertinggal dengan propinsi-propinsi di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali. Jumlah guru SD yang memiliki ijasah minimal S1 di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya mencapai 38 persen, sedangkan diwilayah lain sudah melebihi 50 persen. Sedangkan untuk SMP dan SM, jumlah guru di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih jauh tertinggal dibandingkan wilayah lain. Kesenjangan kualitas guru yang diukur dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan inilah yang menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan kesenjangan pendidikan antar wilayah.
mutu
Gambar 1 Guru SD dengan Ijasah Minimal S1 di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 38 persen, sedangkan di Jawa sudah 76 persen
Sumber : Kemendikbud, diolah
Kesenjangan lainnya juga terlihat dari persentase ruang kelas dengan kondisi baik. Tabel 6 Ketersedian ruang kelas dengan kondisi baik di wilayah timur Indonesia masih tertinggal dibandingkan bagian barat WILAYAH Sumatera, Jawa & Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara, Maluku & Papua
PERSENTASE RUANG KELAS KONDISI BAIK SD SMP SM 79.25 76.24 88.14 77.24 74.52 85.41 76.24 71.84 86.52 77.51 67.52 81.96
Sumber : Kemendikbud, diolah
Untuk SD, kondisi kelas baik hanya sebesar rata-rata 77,51 persen di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, sedangkan di wilayah Sumatera, Jawad an Bali sudah mencapai 79,25. Untuk SMP, wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya sebesar 67,52 persen sedangkan Sumatera, Jawa dan Bali sudah mencapai 76,24 persen. Dan untuk Sekolah Menengah (SM), 81,96 persen berbanding 88,14 persen. Bagaimana mungkin mengharapkan mutu pendidikan yang jauh lebih baik, jika ketersediaan ruang kelas dalam kondisi baik juga masih cukup rendah. Dengan menyandingkan kesenjangan capaian hasil pembangunan pendidikan antara bagian timur dengan barat Indonesia, dengan kesenjangan rasio
wilayah–jumlah sekolah, rasio gurujumlah sekolah, persentase guru berijasah minimal S1 dan persentase kelas dengan kondisi baik, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kesenjangan hasil pembangunan pendidikan tersebut tidak terlapas dari kesenjangan faktor inputnya. Dengan memperhatikan kesenjangan input tersebut, harusnya perencanaan pembangunan pendidikan lebih berorientasi ke timur Indonesia. Tapi jika memperhatikan perencanaan pendidikan dalam dokumen RPJMN 2015 2019,perencanaan yang lebih berorientasi ke timur Indonesia serta lebih mengedepankan pendekatan wilayah belum terlihat dan terpapar dengan jelas dan tegas. Padahal, pembangunan pendidikan yang lebih fokus dan lebih berorientasi ke timur Indonesia merupakan salah satu jawaban dalam menyelesaikan kesenjangan serta dapat menjadi tools untuk mempercepat perbaikan hasil pembangunan pendidikan secara nasional. Pembangunan pendidikan yang berdimensi ke timur dalam konteks menyelesaikan disparitas harus berpijak pada perencanaan dan penganggaran yang tepat jumlah, fungsi dan tepat guna dengan tetap memperhatikan karakter wilayah, karakter sosial yang multi etnik serta tuntutan/kebutuhan setiap daerah. Kesenjangan Ekonomi Memperkuat (dibutuhkan) Pentingnya Perencanaan Pembangunan Pendidikan Berorientasi Ke Timur Indonesia Kemampuan keuangan keluarga atau masyarakat memiliki peran yang cukup besar terhadap angka parisipasi sekolah di suatu daerah. Kemampuan keuangan keluarga tersebut tidak terlepas dari perkembangan perekonomian suatu daerah atau seberapa besar share perekonomian daerah yang dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat. Jika melihat kesenjangan perekonomian antar daerah/wilayah yang masih belum
terselesaikan hingga saat ini, menjadi sebuah kewajaran kesenjangan tersebut linear dengan kesenjangan hasil pembangunan pendidikan. Data kontribusi wilayah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2005 dan tahun 2013 pada table 7 menunjukkan bahwa kontribusi propinsipropinsi di wilayah timur Indonesia hanya sekitar 15 persen. Dalam kurun waktu tersebut tidak ada perubahan yang signifikan, bahkan kontribusi Nusa Tenggara, Maluku & Papua menurun dari 3,66 persen menjadi 3,01 persen. Tabel 7 Kontribusi wilayah timur Indonesia hanya 15 persen dan kontribusi Nusa Tenggara, Maluku dan Papua mengalami penurunan di tahun 2013 dibandingkan tahun 2005
Kontribusi PDB Tanpa Migas WILAYAH 2005 2013 Sumatera 18.83 19.08 Jawa-Bali 66.10 65.35 Kalimantan 6.63 7.24 Sulawesi 4.79 5.33 Nusa Tenggara, Maluku & Papua 3.66 3.01 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Kesenjangan kontribusi tersebut, sudah pasti akan linear dengan kesenjangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pengeluaran per kapita sebagai proksi tingkat pendapatan keluarga/masyarakat. Tabel 8 Kesenjangan PDRB Per Kapita dan Pengeluaran Per Kapita sebagai akibat kesenjangan ekonomi antar wilayah WILAYAH Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara, Maluku & Papua
PDRB Per Kapita Pengeluaran Tanpa Migas Perkapita (Ribu Rupiah) (Rupiah) 9,743 751,494 14,007 853,272 12,349 834,230 7,375 604,498 5,157 620,011
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
PDRB per kapita dan pengeluaran per kapita propinsi yang berada di wilayah
timur Indonesia khususnya di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain. Ketertinggalan tersebut bermakna bahwa ada perbedaan kemampuan keuangan keluarga yang cukup signifikan di antar wilayah tersebut. Kemampuan keuangan keluarga di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua jauh lebih rendah dibandingkan wilayah lain. Menjadi wajar hasil pembangunan pendidikan di wilayah tersebut juga jauh lebih rendah dibandingkan wilayah lain, sebagai akibat dari ketidakmampuan keuangan keluarga untuk memberikan peluang sekolah yang lebih besar bagi anak usia sekolah. Kesenjangan peluang bersekolah bisa saja diselesaikan oleh pemerintah daerah, mengingat pelayanan bidang pendidikan merupakan salah satu urusan yang sudah didaerahkan ketika sistem pemerintahan Indonesia mulai menganut sistem desentralisasi. Akan tetapi, peran tersebut belum bisa sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh politik anggaran pemerintah daerah yang masih belum menjadikan pembangunan layanan dasar (termasuk pendidikan) sebagai anggaran prioritas dalam APBD, keterbatasan keuangan daerah, ketergantungan keuangan daerah terhadap dana perimbangan serta alokasi belanja pegawai yang masih relatif besar dan membebani APBD. Kondisi kesenjangan pembangunan ekonomi dan belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam menjalankan urusan bidang pendidikan, dapat menjadi alasan yang memperkuat dibutuhkanya perencanaan dan implementasi pembangunan pendidikan yang lebih fokus dan berorientasi ke timur Indonesia. (RAS)