edisi II tahun 2016 Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam
Mendorong Keseimbangan Antar Wilayah Wawancara Tokoh Pembangunan Infrastruktur untuk Mewujudkan Keseimbangan Pembangunan Antar Wilayah
Liputan Khusus Melihat Pelaksanaan The 13th Indonesian Regional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016
Melihat Dari Dekat Menengok Bumi Serambi Mekkah: 10 Tahun Pasca Tsunami
bersama: Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP. Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Artikel Otonomi dan Pembangunan Wilayah: Tinjauan Umum oleh: Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Derah (KPPOD)
susunan redaksi Pelindung
daftar isi
Deputi Bidang Pengembangan Regional
Penanggung Jawab Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Pemimpin Redaksi
Wawancara Tokoh:
Santi Yulianti
Dewan Redaksi Mia Amalia Aswicaksana Nana Apriyana Rinella Tambunan
Editor Rini Aditya Dewi Raditya Pranadi
Redaksi Hernydawati Raffli Noor Elmy Yasinta Ciptadi Riani Nurjanah Marita Putri Nirbaya M. Emil Widya Pradana Idham Khalik Gita Nurrahmi Fadiah Adlina Ulfah Edi Setiawan Mustanir Afif Meddy Chandra Utamining S.M. Putri Andelissa Nur Imran Farish Alauddin
Desain & Tata Letak Dodi Rahadian Raditya Pranadi
Distribusi & Administrasi Sylvia Krisnawati Pratiwi Khoiriyah Sukino Widodo Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar. Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan, serta belum pernah dipublikasikan. Panjang naskah tidak dibatasi. Bagi yang ingin berkontribusi mengisi buletin ini, dapat mengirimkan naskah tulisan/artikel serta data identitas diri ke alamat: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas Jl. Taman Suropati No.2 Gedung Madiun Lt.3 Jakarta 10310 atau e-mail:
[email protected] website: http://www.trp.or.id Isi tulisan/artikel berhak diedit oleh Redaksi.
2
Pembangunan Infrastruktur untuk Mewujudkan Keseimbangan Pembangunan Antar Wilayah
9
Melihat Pelaksanaan The 13th Indonesian Regional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016
oleh: Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP. (Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup)
Liputan Khusus:
Artikel:
11 21 1 dari redaksi 8 trp in frame
Otonomi dan Pembangunan Wilayah: Tinjauan Umum oleh: Robert Endi Jaweng (Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah/KPPOD)
Melihat dari Dekat:
Menengok Bumi Serambi Mekkah: 10 Tahun Pasca Tsunami
6 koordinasi trp 15 sosialisasi peraturan
17 ringkas buku
19 dalam berita
23 data dan informasi
25 kliping berita
28 agenda trp
dari redaksi
dari redaksi Dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, merupakan bentuk komitmen dan arahan tegas Presiden kepada para pemangku kepentingan yang berkaitan untuk segera melaksanakan percepatan proyek infrastruktur strategis nasional, dengan tetap memperhatikan faktor-faktor yang ada, salah satunya yaitu kesesuaian pembangunan dengan kondisi tata ruang. Arah kebijakan utama pembangunan nasional berfokus pada percepatan pemerataan pembangunan antar wilayah dengan mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan di wilayah kawasan Timur Indonesia (KTI), diharapkan paradigma pembangunan negara tidak lagi “jawa-sentris”. Namun disisi lain, kebutuhan pembangunan infrastruktur di kota-kota besar semakin meningkat dan mengarah pada integrasi wilayah sekitarnya. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) Edisi II Tahun 2016 ini mengambil tema “Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Mendorong Keseimbangan Pembangunan Antar Wilayah”. Tema ini dipilih sebagai upaya untuk mendapatkan gambaran peran dan strategi penataan ruang yang tepat dalam mendukung percepatan pembangunan antar wilayah terutama dalam pembangunan infrastruktur nasional. Dengan contoh peran Pemerintah DKI Jakarta dalam menyeimbangkan pembangunan antar wilayah sekitarnya memberikan gambaran bahwa pembangunan infrastruktur merupakan backbone pembangunan dengan bidang tata ruang sebagai pengatur dan pengendaian dari pelaksanaan program infrastruktur tersebut. Hal ini juga tidak terlepas dari peran kebijakan Otonomi Daerah dalam mendorong pembangunan antar wilayah, serta pembangunan daerah yang dilakukan secara komprehensif sebagai upaya mengurangi kesenjangan antar wilayah. Pada rubrik lainnya artikel Buletin TRP menyajikan informasi berbagai kegiatan koordinasi Direktorat TRP yang dilaksanakan diantaranya sosialisasi Reforma Agraria Nasional (RAN), sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP Nomor 105 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sharing knowledge kunjungan ke PT. Telkom Indonesia yang berada di Bandung untuk melihat pengelolaan manajemen pengetahuan pada Badan Usaha Milik Negara, serta Rapat Kerja Regional (Rakereg) Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional di Provinsi Yogyakarta. Ada pula rubrik melihat dari dekat “Menengok Bumi Serambi Mekkah 10 Tahun Pasca Tsunami”, liputan khusus terkait dengan partisipasi staf Direktorat TRP dalam mengikuti seminar internasional International Regional Science Association (IRSA) tahun 2016 dan Goesmart 2016 di Surabaya. Sesuai dengan misi kami sebagai penyebar informasi untuk bidang tata ruang dan pertanahan, kami tetap menyajikan perkembangan terakhir data dan informasi seputar peta dasar pertanahan dan status Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sosialisasi peraturan perundang-undangan, ringkas buku “Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran” yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di era informasi dengan kemudahan akses internet dan intensitas pekerjaan yang padat, adalah tantangan tersendiri untuk mengelola sebuah buletin cetak agar tetap eksis. Semoga buletin ini dapat memberikan sumbangsih dan menjadi instrumen knowledge sharing dalam penataan ruang dan pertanahan. Akhir kata, kami selalu menerima kritik dan saran dari pembaca demi peningkatan kualitas Buletin TRP. Selamat membaca. Salam. Redaksi Buletin TRP
buletin tata ruang & pertanahan
1
wawancara tokoh
Wawancara bersama Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP.
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH
P
residen dan Wakil Presiden menginginkan arah kebijakan utama pembangunan nasional fokus pada pemerataan pembangunan antarwilayah, salah satunya melalui pembangunan negara dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Transformasi dan percepatan pembangunan di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) pun mulai didorong. Namun pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang dinamis menuntut pembangunan infrastruktur untuk dapat mengakomodasi permintaan kebutuhan masyarakatnya. DKI Jakarta sebagai kota besar sekaligus ibukota negara terus melakukan pembangunan infrastruktur. Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa pembangunan antarwilayah kota dengan desa semakin melebar kesenjangannya dan daya tarik manusia untuk datang ke kota besar semakin besar yang menyebabkan desa akan terus ditinggal oleh penghuninya. Pada kesempatan wawancara kali ini, mantan Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas ini menjawab kekhawatiran tersebut dan berbagi pandangannya mengenai pembangunan infrastruktur dalam rangka mendorong keseimbangan pembangunan antarwilayah.
2
buletin tata ruang & pertanahan
Foto: Dokumentasi TRP
Bagaimana filosofi pembangunan infrastruktur itu dalam kaitan pembangunan daerah dan tata ruang? Mengapa perlu ada? Infrastruktur itu merupakan backbone, tulang punggung pembangunan suatu daerah, terutama infrastruktur yang sifatnya seperti transportasi, listrik, dan lain-lain. Jika suatu daerah mau maju, infrastrukturnya dijadikan prioritas. Makanya sekarang pemerintah kita sampai “berdarahdarah”, memrioritaskan dananya demi pembangunan infrastruktur. Coba kita lihat negara-negara maju, yang bagus itu infrastrukturnya. (Ada) jalan, jalan kereta, listrik. Amerika, begitu luas (wilayahnya), jalan bagus ada dimanamana. Jadi jika kita mau memajukan suatu daerah, maka yang menjadi perhatian pertama tentunya infrastruktur. Itu terbukti (di beberapa daerah) jika infrastrukturnya tidak maju, maka daerahnya terbelakang. Banyak daerah-daerah tertinggal (di Indonesia) yang berjuang untuk menjadi provinsi atau kabupaten baru karena infrastrukturnya tidak dibangun, menjadi tertinggal. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan infrastruktur? Sebelumnya saya katakan bahwa infrastruktur itu terkait sebagai tulang punggung pembangunan. Tentunya dalam konteks tersebut, pertama kali kita ketahui adalah titik-titik mana yang perlu dihubungkan oleh infrastruktur tersebut, atau yang perlu dilayani oleh infrastruktur tersebut. Karena jika titik-titik tersebut bisa dilayani dengan baik dan antar titik tersebut bisa dihubungkan, maka terjadi (proses) pembangunan atau daerah tersebut terbangun dengan baik. Jika penempatan infrastruktur salah, maka tidak akan menjadi tulang punggung, malah akan menjadi pemborosan (biaya pembangunan). Yang pertama diperhatikan adalah lokasi-lokasi mana yang perlu dilayani infrastruktur tersebut. Dalam ilmu pengembangan wilayah disebut “pusat-pusat pertumbuhan”. Jika sudah bisa ditandai dan diketahui dengan pasti, maka jelas bisa dibangun infrastruktur. Baik infrastruktur yang sifatnya melayani lokasi itu sendiri maupun infrastruktur yang bersifat menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan. Yang kedua, yang perlu juga diperhatikan adalah tanahnya. Banyak penyediaan pembangunan infrastruktur terhambat karena kita (pemerintah/negara) tidak menguasai tanahnya. Maka dikeluarkanlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 30 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Karena tanah menjadi salah satu faktor penting agar infrastruktur tersebut bisa dibangun. Ini semua tidak akan optimal, efisien dan efektif ketika tidak ada tata ruangnya. Tata ruang yang mengikat, kemudian menjadi panduan kita semua menentukan dimana titik-titik pertumbuhannya, struktur ruangnya seperti apa, pola ruangnya seperti apa, dan di dalam struktur ruang dan pola ruang kita bisa tahu persis tanah mana yang perlu kita (pemerintah/negara) amankan untuk pembangunan infrastruktur. Intinya, yang mengikat kita semua adalah tata ruang, dalam konteks pembangunan infrastruktur. Bagaimana bentuk peran dan strategi penataan ruang yang tepat dalam rangka mendukung program
Gambar 1. Infrastruktur Jalan Tol di Amerika Serikat (sumber: www.footage.frampool.com)
percepatan pembangunan infrastruktur nasional? Dalam penataan ruang, output itu tata ruang. Dalam konteks output tata ruang tersebut, ada bagian di dalam dokumen yang disebut indikasi program. Di dalam indikasi program itu ditentukan tahapan-tahapan mana (pembangunan) yang dikerjakan lebih dahulu. Indikasi program sangat berperan di dalam upaya mendukung pembangunan infrastruktur. Bagaimana kemudian mendorong percepatan (pembangunan)nya? Indikasi program tersebut ditaati. Ratarata rencana tata ruang kita lemah di indikasi program. Sudah bagus struktur ruang, pola ruangnya, namun programnya tidak jelas. Lemah, tidak jelas apa yang mau dilakukan, kapan dan (program) mana yang jadi prioritas. Saran saya, ke depan semua dokumen-dokumen tata ruang di berbagai tingkat indikasi programnya harus jelas. Bahkan jika perlu, komponen siapa yang bertanggung jawab (penanggung jawab program) juga harus jelas. Nah itulah kemudian banyak rencana tata ruang lemah bagian aspek pelaksanaannya. Jika itu (indikasi program) jelas, sebenarnya sangat mudah untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Pusat mana yang (ingin) segera dibangun maka infrastruktur mana yang segera didahulukan. Jadi saran saya, jika kita mau melakukan percepatan infrastruktur, maka rencana tata ruang harus dilengkapi dengan indikasi program yang bagus. Nah itu kan yang menjadi panduan buat kita dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Apa saja tantangan dalam percepatan pembangunan infrastruktur nasional? Tantangannya secara eksplisit yang saya katakan sebelumnya, terutama dalam konteks ketersediaan tanah. Apakah ada (tantangan) yang lain? Seperti transportasi misalnya? Ada yang lain, tetapi menurut saya yang paling utama (masalah) ketersediaan tanah. Kalau masalah dana iya, tetapi tanah itu yang selalu menurut saya paling perlu kita benahi. Kenapa kemudian kita memperkenalkan Bank Tanah. Karena kita tahu persis bahwa masalah tanah itu sangat menghambat pembangunan infrastruktur. Kita punya uang (dana) percuma juga kalau tanahnya terhambat (tidak tersedia). Saya berpikir seharusnya yang namanya rencana tata ruang itu ketika kita sepakati harusnya sekaligus langsung disertai dengan langkah pembebasan tanah. Atau
buletin tata ruang & pertanahan
3
Gambar 2. Pembangunan Terowongan MRT di DKI Jakarta (sumber: www.indonesia-investments.com)
kalau bukan pembebasan, tanahnya itu di-freeze. Jadinya tanah itu tidak bisa digunakan untuk kegiatan lain. Ataupun jika (ada tanah) mau dijual oleh pemiliknya, itu harus dijual ke pemerintah untuk diamankan. Nilai NJOP-nya kita hold, kita tahan agar tidak naik. Atau yang paling bagus kita (pemerintah) beli. Namun tergantung apakah pemerintah sanggup membeli atau tidak. Dalam konteks ini Bank Tanah menjadi penting. Ada juga yang lain dalam konteks pendanaan, tetapi menurut saya pendanaan itu masih jauh mudah ditangani dibanding tanah. Kemudian ada lagi aspek lain, regulasi misalnya. Tapi menurut saya regulasi juga masih lebih mudah (ditangani) dibanding masalah pertanahan. Karena, kadang-kadang ada inovasi-inovasi dalam masalah pendanaan perlu didukung oleh regulasi. Sekarang misalnya ada cara baru, Availability Payment (AP). Caranya infrastruktur dibangun terlebih dahulu oleh swasta, kita (pemerintah) mencicil. Mirip seperti metode BOT (BuildOperate-Transfer). Kalau BOT, infrastruktur yang dibangun dikelola oleh swasta baru kemudian dikembalikan ke pemerintah. Kalau ini (metode Availability Payment), pemerintah mencicil ke pihak swasta yang membangun infrastruktur. Untuk itu regulasinya perlu kita buat. Kalau di DKI Jakarta, tantangan pertanahan ini apakah masih menjadi masalah? Oh iya, masih ada. Masih menjadi masalah. Banyak di DKI Jakarta tanahnya lama untuk dibebaskan. Pertama karena tanahnya sendiri bermasalah. Contohnya, misal karena masalah warisan. Yang kedua karena tidak diketahui kepemilikannya. Masalah itu semua ada, tapi bisa kita (pemerintah provinsi) tangani walaupun cukup menyita waktu untuk melakukan upaya-upayanya.
4
buletin tata ruang & pertanahan
Kemudian, bagaimana peran DKI Jakarta dalam mendukung implementasi program percepatan pembangunan infrastruktur nasional? Kalau kita melihat DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan yang utama, pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta menjadi tulang punggung pembangunan nasional. Pelabuhan Tanjung Priok, Bandara Soekarno-Hatta, kereta api, (menjadi sarana) distribusi barang ke daerah. Berhubungan dengan pertanyaan selanjutnya, apakah semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta akan menjadi timbul kesenjangan (antara barat dan timur, atau kota dan daerah)? Kesenjangan harus diterjemahkan secara hati-hati. Saya melihatnya dengan menggunakan permisalan, ada orang besar makan sebanyak dua piring, yang lain hanya satu piring atau bahkan tidak makan sama sekali. Keberadaan orang besar tersebut bukan berarti membuat dia akhirnya tidak diberi makan agar orang lain dapat diberi makan. Kesenjangan itu mau kita selesaikan dengan cara semua tetap hidup. Harus dilihat pelan-pelan. Tidak bisa ada yang ditahan (proses pembangunannya), kemudian yang lainnya naik. Kalau ditahan, justru akan mati. Kalau pembangunan di Jakarta kita hentikan atau istilahnya di reduce, dikecilkan, Indonesia akan mati. Karena di Jakarta peredaran uangnya (kegiatan perekonomiannya) besar sekali. Kalau kita tahan, (investasi) bukan akan lari ke kota-kota lain di Indonesia, tapi akan lari ke kota-kota di negara lain. Jadi kita akan kehilangan. Jangan berpikir kita tahan Jakarta, (uang) akan lari ke Papua. Uang tidak mengenal kesenjangan. Dimana tempat dia bisa tumbuh cepat, disitu dia akan berada. Pemahaman bahwa membangun Jakarta kemudian akan
Gambar 3. Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (sumber: Dokumentasi TRP)
meningkatkan kesenjangan tidak terlalu tepat. Yang penting harus kita jaga adalah daerah-daerah di luar Jakarta bisa tetap tumbuh jauh lebih cepat dari Jakarta. Tetapi Jakarta tetap kita jaga dan kelola, kalau tidak akan mati. Kalau Jakarta mati, sama dengan Indonesia mati. Yang perlu diingat, saingan Jakarta bukan kota-kota di dalam negeri, tetapi kota-kota besar di luar negeri seperti Bangkok, Singapura, Manila, dan lain-lain. Saya tidak takut bahwa kita tetap membangun infrastruktur di Jakarta, dengan catatan memang itu adalah bagian dari skenario pembangunan daerah di Indonesia. Semuanya tumbuh tapi dengan proporsi yang berbeda. Yang (kota) besar tetap dikelola dan (kota) yang kecil akan tumbuh lebih cepat. Strategi apa yang perlu ditempuh untuk mempertemukan antara kepentingan pembangunan di kota maupun kesempatan pemerataan di daerah? Kalau saya melihat ini lebih kepada aspek penanganan urbanisasi. Urbanisasi bukan hal yang negatif, sepanjang yang datang ke kota itu adalah orang-orang yang siap untuk bekerja sehingga terjadi pertumbuhan yang baik. Jadi strateginya adalah apa yang disebut dengan Urban-Rural Linkages. Jadi jangan sampai terjadi orang-orang pindah ke Jakarta, tetapi malah menjadi beban kota. Pindah ke Jakarta menjadi beban Jakarta, di daerah jadi kekurangan tenaga kerja. Mau membangun daerah jadi tidak bisa karena tidak ada orang. Untuk itu memang perlu kerjasama antara Jakarta dengan daerah sekitar. Sebenarnya kita (pemerintah provinsi) sudah bekerja sama dengan daerah sekitar, tetapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya penanganan masalah lingkungan dan transportasi.
?
Sekarang bus Transjakarta sudah mencapai kawasankawasan pinggiran Jakarta dan kota-kota di sekitar. Memang tidak segampang yang dibayangkan, tetapi harus ada kerjasama. Dalam hal ini yang utama adalah kota induk itu harusnya bisa membantu kota-kota sekitar. Seperti di Jakarta, kita bantu dalam hal transportasi. Makanya saat ini kita sedang mendorong agar stasiun-stasiun menjadi bagus, Transjakarta masuk ke daerah. Tetapi dalam konteks yang lain belum terlihat. Sama konteks lingkungan, kita (pemerintah provinsi) bisa memberikan biaya untuk membangun kolam penampungan air agar kemudian tidak lagi terjadi banjir. Tidak hanya dalam bentuk itu, bisa saja dalam bentuk kerjasama melatih orang-orang kota sekitar, atau kerjasama informasi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan itu sendiri. (sy/ra/rp)
Gambar 4. Tim Redaksi Buletin TRP bersama narasumber (sumber: Dokumentasi TRP)
tahukah anda
Pembangunan Infrastruktur adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang dilakukan secara terencana untuk membangun prasarana atau segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses pembangunan. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan. Sarana dan prasarana fisik atau sering disebut dengan infrastruktur, merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal yang vital guna mendukung berbagai kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri dan kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari sistem energi, transportasi jalan raya, bangunan-bangunan perkantoran dan sekolah, hingga telekomunikasi, rumah peribadatan dan jaringan layanan air bersih, kesemuanya itu memerlukan adanya dukungan infrastruktur yang handal (Biemo W. Soemardi dan Reini D. Wirahadikusumah: 2009). Ruang lingkup pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Pembangunan infrastruktur transportasi perdesaan guna mendukung peningkatan aksessibilitas masyarakat desa, yaitu: jalan, jembatan, tambatan perahu; 2. Pembangunan infrastruktur yang mendukung produksi pertanian, yaitu: irigasi perdesaan. 3. Pembangunan infrastruktur yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, meliputi: penyediaan air minum, sanitasi perdesaan.
buletin tata ruang & pertanahan
5
koordinasi trp
Sosialisasi PP Nomor 104 Tahun 2015 dan PP Nomor 105 Tahun 2015 proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. sedangkan tujuan dari terbitnya PP 105 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan dengan mengubah peraturan mengenai jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai, dan prosedur penggunaan kawasan hutan.
Dalam kegiatan sosialisasi tersebut pada dasarnya bahwa Kehutanan dapat sebagai “benteng provider lahan terakhir” dalam menopang Gambar 1. Pelaksanaan Sosialisasi PP No.104/2015 & PP No.105/2015 di Bappeda Prov. Kalimantan Tengah pembangunan sektor lain berupaya (sumber: Dokumentasi TRP) membangun sinergitas rencana pengelolaan hutan guna mengimbangi dinamika laju ementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pembangunan nasional dengan tetap menjaga fungsi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 Tahun kawasan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan; 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan merupakan bagian integral dari Kawasan Hutan dan PP No. 105 Tahun 2015 tentang Perencanaan Wilayah sehingga dapat diarahkan untuk Perubahan Kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang menopang kebutuhan ruang untuk permukiman, pertanian, Penggunaan Kawasan Hutan berusaha melakukan upaya fasum dan fasos, industri, pengembangan wilayah guna untuk percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, untuk peningkatan pembangunan dan peningkatan ekonomi penyederhanaan proses perubahan peruntukan dan fungsi serta kesejahteraan masyarakat; dan Perubahan kawasan hutan, dan pentingnya penyelesaian terhadap Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi permasalahan yang belum dapat diatasi melalui peraturanKawasan Hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan peraturan sebelumnya. dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi Sebagai langkah awal dari upaya untuk memahami kedua fungsi dan manfaat Kawasan Hutan secara lestari dan PP tersebut, dibutuhkan ketersediaan data dan informasi berkelanjutan, serta keberadaan Kawasan Hutan dengan yang memadai, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Melalui Subdirektorat Informasi dan Sosialisasi Tata Ruang dan Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas melakukan upaya untuk mendokumentasikan keseluruhan data dan informasi terkait isu tata ruang dan pertanahan serta mensosialisasikan kedua peraturan pemerintahan ini.
K
Tujuan dari kegiatan sosialisasi PP No. 104 Tahun 2015 dan PP No. 105 Tahun 2015 guna meningkatkan pemahaman isu atau regulasi secara baik dan diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja para pemangku kepentingan bidang tata ruang dan pertanahan. Kegiatan dilaksanakan di kantor Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Agustus 2016 dengan menghadirkan narasumber dari KLHK yaitu dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Peserta berasal dari seluruh perwakilan Bappeda Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah beserta para staf Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah. Inti dari terbitnya PP 104 tahun 2015 adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan melakukan penyederhanaan
6
buletin tata ruang & pertanahan
Gambar 2. Para Peserta Sosialisasi (Perwakilan Bappeda Kab/Kota) (sumber: Dokumentasi TRP)
Hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan sosialisasi ini untuk mengetahui hal apa saja yang menjadi latar belakang dan tujuan dari penetapan PP 104 tahun 2015 dan PP 105 tahun 2015. Ketentuan apa saja yang menjadi dasar perbedaan antara Peraturan pemerintah sebelumnya dan yang sekarang. dan lebih penting lagi apakah terdapat implikasi dari kedua peraturan pemerintah tersebut terhadap penyelenggaraan penataan ruang yang ada sekarang. [sy]
Temu Konsultasi Triwulanan II Bappenas-Bappeda Provinsi seluruh Indonesia
S
ebagai bagian dari proses penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018, kegiatan Temu konsultasi kali ini bertujuan untuk mendapat masukan dari seluruh kepala Bappeda terkait isu dan permasalahan yang ada di masing-masing daerah. Dengan dihadiri oleh peserta Kepala Bappeda seluruh Propinsi, Narasumber Kementerian Dalam Negeri dan para pejabat eselon I, II, III di lingkungan Kementerian PPN/Bappenas, acara ini dilaksanakan pada tanggal 6-7 Oktober 2016 bertempat di Gedung Bappenas, Jakarta. Kegiatan ini berlangsung selama 2 (dua) hari dengan hari pertama berupa diskusi dan tanya jawab dengan peserta terkait mekanisme proses penyusunan RKP 2018 di daerah, serta arahan Menteri PPN/Kepala Bappenas terkait dengan arahan mengenai isu pembangunan daerah yang akan dilakukan. Pada hari kedua dilakukan diskusi dengan paparan dari para deputi di Bappenas terkait dengan isu MDGS's menuju SDG's, kemitraan multipihak untuk pencapaian SDG's, penyaluran bantuan sosial non tunai reformasi raskin menjadi e-voucher bantuan pangan. Pada sesi I (pagi) menghadirkan beberapa narasumber yaitu: Deputi Bidang Pengembangan Regional-Bappenas; Plt. Dirjen Bina Pembangunan Daerah-Kemendagri, Direktur Pengembangan Wilayah dan Kawasan-Bappenas; dan Direktur Otonomi Daerah-Bappenas.
Gambar 1. Deputi Pengembangan Regional Bappenas sebagai Narasumber Sesi Diskusi (sumber: Dokumentasi Humas Bappenas)
Beberapa hal penting dalam sesi ini antara lain menyangkut kebijakan anggaran belanja yang dilakukan oleh pemerintah tidak lagi berdasarkan money follow function, tetapi money follow program prioritas. Saat ini perencanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan HolistikTematik, Terintegrasi dan Spasial. Untuk itu Bappeda dalam menyusun perencanaan di daerah perlu melakukan penyesuaian juga sesuai dengan perencanaan di pusat. Terkait dengan ini, Bappenas akan melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat Bappeda dimana 80% materi berasal dari direktorat teknis di Bappenas, sedangkan 20% berasal dari teori di Perguruan Tinggi. Dalam rangkaian
penyusunan RKP 2018 akan dimulai pada bulan Oktober 2016 sehingga Bappeda perlu menyesuaikan kerangka penyusunan RKPD. Oleh karena itu, dalam penyusunan perencanaan perlu dilakukan penyelarasan penyusunan RPJMD dengan RPJMN. Hal ini diperlukan karena pencapaian target nasional merupakan akumulasi dari pencapaian target di daerah. Beberapa hal substansional yang perlu penyelarasan RPJMD dengan RPJMN 2015-2019 terbagi beberapa strategi, yaitu: Penyelarasan Isu Strategis Pembangunan Daerah; Penyelarasan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Pembangunan Daerah; Penyelarasan Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Daerah; Penyelarasan Program Prioritas Pembangunan Daerah; Penyelarasan Kerangka Pendanaan Program Pembangunan Daerah; Penyelarasan Indikasi Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Strategis Nasional di Daerah. Selanjutnya pada sesi II (siang),dalam arahan dan dialog Menteri PPN/Kepala Bappenas dengan Bappeda terdapat beberapa hal yang mengemuka antara lain, Bappeda harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk melihat pencapaian pembangunan di daerah secara makro karena SKPD hanya sebagai pelaksana pada setiap sektor. Pemda jangan hanya terpaku pada kekayaan sumber daya alam dan harus menggali sumber-sumber pertumbuhan yang menjadi andalan. Terkait dengan Pemda sendiri, Pemda seharusnya dapat menyiapkan layanan dasar sesuai amanat konstitusi seperti anggaran pendidikan, kesehatan. Sebagai bagian akhir penutupan kegiatan ini, Kementerian PPN/Bappenas mengharapkan bahwa (1) Dalam penyusunan perencanaan di daerah perlu mengikuti pendekatan yang dilakukan di pusat Holistik-Tematik, Terintegrasi dan Spasial; (2) Perlu koordinasi Bappenas, Kemendagri, dan Kemenkeu terkait dengan perencanaan dan penggaran kegiatan di daerah; (3) Diusulkan agar dalam pembangunan infrastruktur di daerah agar anggaran pengadaan tanah sekaligus dianggarkan oleh K/L pusat karena pemda tidak mampu membiayai kegiatan pengadaan tanah; dan (4) Beberapa daerah tidak bisa melakukan pembangunan karena rencana tata ruang wilayah yang belum ditetapkan. [ik,sy]
Gambar 2. Temu Konsultasi bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas (sumber: Dokumentasi Humas Bappenas)
buletin tata ruang & pertanahan
7
Rangkaian Aktivitas Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (Juni-Desember 2016)
8
trp in frame
Foto 1. FGD Tinjauan Materi Teknis RDTR KIP, 13 Juni 2016
Foto 2. Rapat Koordinasi BKPRN Pembahasan Persiapan Rakereg, 19 Juli 2016
Foto 4. Rapat Pembahasan Awal Kajian KSN, 29 Juli 2016
Foto 5. Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Penyelesaian Materi Teknis KIP Bitung dan Sekitarnya, 3 Agustus 2016
Foto 6. Kunjungan KM ke PT. Telkom, 25 Agustus 2016
Foto 7. Rapat Kerja Regional BKPRN, 7 September 2016
buletin tata ruang & pertanahan
Melihat Pelaksanaan
liputan khusus
The 13th Indonesian Regional Science Association (IRSA) International Conference Tahun 2016
P
elaksanaan konferensi IRSA diselenggarakan pada tanggal 25-26 Juli 2016 dan bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Universitas Brawijaya merupakan salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia sejak berdirinya, telah menetapkan agenda memainkan peran utama dalam mempromosikan penelitian dan pendidikan. Konferensi ini merupakan acara tahunan IRSA, dalam rangka secara aktif menyelenggarakan dan mempromosikan diskusi di bidang regional science yang diikuti oleh para ahli, akademisi, peneliti dan pembuat kebijakan baik di Indonesia maupun dari negara lain. Penyelenggaraan konferensi ini juga secara tidak langsung memfasilitasi diskusi terbuka dan debat ilmiah, transfer pengetahuan, perumusan strategi kebijakan serta menjalin diskusi antara akademisi dan pembuat kebijakan. Melalui konferensi ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan teori dan literatur di bidang regional science. Adapun tema besar konferensi IRSA ke-13 adalah “Demographic Change and Regional Development ”. Konferensi dibuka oleh Wakil Rektor Universitas Brawijaya, Dr. Ir. Moch. Sasmito Djati, MS, dilanjutkan dengan keynote speech oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Prof. Suahasil Nazara. Adapun pembicara utama pada hari pertama konferensi tersebut adalah Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo (Universitas Indonesia) dan Prof. Chris Manning (Australian National University) dengan tema “Demographic Change, Labour Market and Regional Development”. Sedangkan pembicara utama pada hari kedua konferensi adalah Prof. Anis Ananta (Universitas Indonesia) dan Prof. Chandra Fajri Ananda (Universitas Brawijaya) dengan tema “Migration and Regional Development”. Call for paper IRSA ke-13 tahun 2016 mencatat jumlah paper yang paling banyak dalam sejarah penyelenggaraan konferensi sehingga kurang dari 50% paper yang dapat dipresentasikan dalam konferensi atau sekitar 200 paper dari lebih dari 400 paper yang masuk atau diterima penyelenggara. Konferensi selama 2 (dua) hari tersebut diikuti kurang lebih 400 peserta dari berbagai universitas dan lembaga penelitian baik dari Indonesia maupun manca negara. Konferensi terdiri dari 2 kegiatan: i) pleno session; dan ii) paralel session yang terbagi menjadi 13 ruangan. Dalam kegiatan seminar ini ada beberapa program yang mencakup: (a) Demographic Issues: Demographic Divided, Ageing, Youth, Migration; (b) Public policy, regional, and urban planning and regional development; (c) Health, education, and human capital;
(d) Housing, transportation, communication and other regional infrastructures issues; (e) Poverty, inequality, and inter-regional disparities; (f) Regional/international trade, public finance, investment and inflation; (g) Rural development, agriculture, urban issues, rural-urban migration; (h) Political economy and governance of regional development; (i) Regional labour market, human resources development, job creation, social security; (j) Bureaucratic reforms and corruption; (k) Islamic economic and finance. Beberapa hasil studi yang diperoleh dan diikuti dalam kegiatan diskusi diantaranya: 1) Demographic Dividend and Economic Growth: A Dynamic Computable General Equilibrium (CGE) Analysis for Indonesia oleh Anda Nugroho, Peneliti dari Kementerian Keuangan dan Reni Pebrianti, Peneliti dari BKKBN. Penelitian ini menemukan bahwa bonus demografi telah dimulai dalam beberapa tahun terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir (2016-2020), perubahan struktur demografi memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Perubahan struktur demografi membawa efek positif bagi perekonomian untuk periode 2016-2030 dalam penyediaan tenaga kerja. Efek positif dari bonus demografi akan mencapai puncak pada 2026, yang kemudian akan berkurang sampai 2031. Perubahan dalam struktur demografi di tahun-tahun berikutnya akan berubah menjadi defisit demografi dan menciptakan efek negatif bagi perekonomian. 2) Spatial Dimensions of Expenditure Inequality in Decentralizing Indonesia oleh Takahiro Akita, Graduate School of Business-Rikkyo University dan Sachiko Miyata, College of Business-Ritsumeikan University. Hasil dari studi antara lain: Di sebuah negara kepulauan geografis yang beragam di mana sumber daya alam yang tidak merata dan kegiatan ekonomi secara spasial tersebar, pemerintah perlu
Gambar 1. Wakil Rektor Univ. Brawijaya Memberikan Sambutan (sumber: Dokumentasi TRP)
buletin tata ruang & pertanahan
9
untuk lebih mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan jaringan transportasi. 3) The Evolution of Regional Industries in Indonesia: The Roles of Inter-Industry Relatedness oleh Khairul Rizal dari Deparment of Geography University College London. Studi ini menunjukkan bahwa pembangunan industri baru akan berkembang di suatu wilayah jika dilakukan berdekatan dengan struktur industri yang sudah ada dan sebaliknya.
Sumber: Google
4) The Implication of Village Fund on Distribution of Fund Between Region in Indonesia oleh Hefrizal Gambar 2. Penyerahan Cinderamata kepada Keynote Speaker Handra dari Fakultas Ekonomi (sumber: Dokumentasi TRP) Universitas Andalas. Hasil studi: Dana dari Airlangga University. Hasil studi menunjukkan bahwa desa mampu mengurangi kesenjangan keluarga yang melakukan urbanisasi secara signifikan fiskal antara kabupaten/kota di Indonesia, sehingga dana memperoleh pencapaian pendidikan yang lebih tinggi untuk desa diindikasikan mampu untuk mengurangi kesenjangan anak mereka, memperoleh pendapatan lebih dan mampu pembangunan antar wilayah. menghabiskan pendapatan per kapita relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rekan mereka yang tidak pindah ke 5) The Role of Industrialization in Poverty Alleviation: daerah perkotaan dan tidak berdampak signifikan Case in Indonesia, Irvan Kuswardana-University of melakukan urbanisasi pada indikator kesehatan. Indonesia. Tujuan dari penelitian studi ini pada dasarnya Kedepannya, diharapkan Pemerintah perlu mempersiapkan ingin mengetahui pentingnya transformasi struktural dari kebijakan pembangunan ekonomi dengan strategi yang sektor kurang produktif (pertanian) ke sektor yang lebih efektif untuk menghadapi era bonus demografi. Hasil dari produktif (industri) dalam pengentasan kemiskinan. berbagai penelitian IRSA Tahun 2016 dapat dijadikan Berdasarkan hasil empiris, di Indonesia yang terdiri 479 sebagai bahan awal dalam menyusun kebijakan untuk Kabupaten, menunjukkan bahwa pertanian dan sektor menghadapi era bonus demografi. industri adalah sektor yang signifikan untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Pertanian Tahun 2016 ini, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan masih mendominasi dengan fakta bahwa lapangan kerja di hanya berpartisipasi menghadiri konferensi ini sebagai Indonesia yang dihasilkan sebagian besar dari sektor peserta. Diharapkan dengan keikutsertaan ini dapat pertanian. menambah pengetahuan, informasi dan wawasan dalam berbagai ilmu disiplin dan keilmuan yang berbeda yang 6) The Role of Transmigration Programs in Maluku dapat dimanfaatkan oleh staf Direktorat Tata Ruang dan Islands: Social Economic and Food Security Pertanahan. [sy] Development oleh Wardins Girsang dan Budy P. Resosudarmo. Hasilnya, bahwa peran transmigrasi tidak hanya untuk menciptakan pekerjaan yang lebih baik tetapi tahukah anda pendidikan yang lebih baik bagi generasi berikutnya, menciptakan adaptasi dalam meningkatkan kapasitas dari IRSA (The Indonesia Regional Science Association) atau rice-based menjadi tanaman hortikultura, meningkatkan Asosiasi Ilmu Regional produksi beras untuk memenuhi sebagian dari permintaan Indonesia merupakan salah satu beras di tingkat provinsi termasuk peningkatan pendapatan organisasi akademik yang telah rumah tangga dan distribusi di desa-desa. Hal ini aktif mempromosikan kemajuan penelitian melalui partisipasi yang luas dari para peneliti di seluruh negeri. IRSA didirikan mengindikasikan bahwa program transmigrasi masih sejak tahun 1997. Sejak berdirinya, IRSA setiap tahunnya menjadi program yang penting bagi pemerintah baik di mengadakan konferensi bersifat tahunan dan selalu dihadiri tingkat nasional dan provinsi dan kabupaten/kota untuk oleh sejumlah besar ilmuwan daerah dari seluruh Indonesia. mempercepat pembangunan ekonomi lokal dan untuk IRSA memfasilitasi jaringan antar ilmuwan dari berbagai daerah dan berbagai disiplin ilmu sehingga para ilmuwan memerangi kemiskinan dan ketimpangan, khususnya di tersebut dapat memainkan peran utamanya, baik di dunia pulau-pulau kecil dan wilayah timur di Indonesia.
?
7) Does Urbanization as Channel of Human Capital Investment? Evidence from Indonesia oleh Albertus Girik Alo dari Papua University dan Ni Made Sukartini dari
10
buletin tata ruang & pertanahan
akademik melalui penelitian dan publikasi maupun juga berkontribusi terhadap kebijakan pembangunan daerah berbasis nasional, regional, hingga tingkat lokal.
sumber: http://irsa-indonesia.org
artikel
OTONOMI DAN PEMBANGUNAN WILAYAH: TINJAUAN UMUM oleh: Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
S
ubstansi kebijakan desentralisasi di Indonesia pada umumnya berfokus kepada pengaturan elemen-elemen internal suatu daerah dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi pengaturan dimensi eksternal perihal relasi antardaerah dalam rangka pembangunan kewilayahan. Hal ini terlihat sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 hingga UU Nomor 23 Tahun 2014 yang berlaku sebagai hukum positif saat ini di mana pengaturan desentralisasi didominasi norma tentang kewenangan dan pembagaian urusan, arsitektur keuangan, desain kelembagaan, dan sebagainya. Pada sisi lain, jika ditempatkan dalam kerangka analisis sistem, efektifitas desentralisasi tentu saja tidak semata fungsi dari kinerja berbagai elemen standar tersebut. Tak kalah penting adalah juga soal interaksi pengaruh desentralisasi dengan lingkungan kebijakan yang melingkupinya maupun juga derajat keterhubungan administratif dan fungsional antara suatu daerah dengan tetangganya, bahkan juga dengan pranata supradaerah: provinsi dan nasional. Di sini letak urgensi desain desentralisasi yang diharapkan dapat memfasilitasi berlangsungnya pembangunan berdimensi wilayah dan memastikan terbentuknya keseimbangan spasial. Semua pemangku kepentingan –khususnya pemerintah daerah (pemda), dunia usaha, masyarakat– didorong memainkan peran aktif bagi terwujudnya ultimate goal otonomi: kualitas hidup dan pemerataan kemajuan daerah. Proses kolaborasi multipihak dan keseimbangan lingkungan, sosial dan ekonomi dalam tata kelola wilayah menjadi karakter ideal dari paradigma pembangunan wilayah di era otonomi. Masalah dan Sebab Ketimpangan
bahkan pada sebagian kasus agak mengkhawatirkan. Studi yang dibuat Siti Herni Rochana (2013) menunjukan grafik pergerakan kesenjangan ekonomi antarwilayah yang membesar. Hitungan menurut Indeks Wiliamson PDRB per kapita Kabupaten/Kota memperlihatkan sisi gelap pembangunan kontemporer. Pada masa pra otonomi, yakni diukur kondisi ketimpangan tahun 1995, indeks Williamson masih berada pada angka 0,7210. Namun, ironi justru datang setelah kita berotonomi: indeks meningkat menjadi 1,1613 pada masa awal tahun 2003, 1,4195 pada tahun 2009 dan mencapai 1,4559 pada tahun 2011. Nukilan situasi di atas memberikan gambaran lebih kongkrit jika kita melihat realitas ketimpangan wilayah menurut kategori pulau/kepulaan utama di negeri ini. Kurun sewindu pertama berotonomi, sumbangan PDRB dari Pulau Jawa dan Sumatera mengambil porsi terbesar, yakni sebesar 84%, dari total PDB Nasional. Konsentrasi kegiatan dan kinerja perekonomian tersebut menyisakan shareamat kecil, tersebar di sebagian terbesar sisa wilayah lainnya yang terdiri dari pulau/kepulauan utama di Indonesia. Gambaran miris serupa terjadi pada indikator tingkat pertumbuhan dan jumlah penduduk miskin, yang tidak saja terjadi pada kurun
Namun, dalam kenyataan harus diakui, hasil pembangunan wilayah kita sejauh ini masih menunjukan realitas ketimpangan berlapis-lapis. Secara umum kita mengenal kesenjangan (imbalances) vertikal dan horizontal terkait perbedaan kemampuan sumber pembiayaan layanan publik/pembangunan dan ketimpangan (inequality) terkait tingkat pendapatan/ kemakmuran baik antargolongan, antarsektor maupun antarwilayah. Pada batas tertentu, antara kategori tersebut terajut pola keterkaitan berwujud cross-cutting affiliations: antara sektor primer (pertanian) dengan wilayah (IBT) versus sektor sekunder/tersier (industri, jasa, perdagangan) yang berkonsentrasi di wilayah (IBB). Dualisme sektoral-regional yang berhimpitan ini membentuk struktur disparitas yang kompleks hingga hari ini. Tanpa menafikan pola afiliatif demikian, jika secara khusus menelisik ketimpangan antar-wilayah, era desentralisasi menampilkan capaian yang Gambar 1. Disparitas Antar Wilayah Setelah Sewindu Berotonomi (2008) tak terlalu menggembirakan, Wilayah Sulawesi
Share PDRB thdp Nasional Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Perkapita Penduduk miskin
21,55%
4,65%
9,80 jt
7,3 jt (14,4%)
Share PDRB thdp Nasional
8,83%
Pertumbuhan Ekonomi
5,26%
Pendapatan Perkapita
13,99 jt
Penduduk miskin
4,60%
Pertumbuhan Ekonomi
7,72%
Pendapatan Perkapita
Wilayah Kalimantan
Wilayah Sumatera
Share PDRB thdp Nasional
Penduduk miskin
1,2 jt (9%)
4,98 jt
2,61 jt (17,6%)
Wilayah Papua
Share PDRB thdp Nasional
1,28%
Pertumbuhan Ekonomi
0,60%
Pendapatan Perkapita Penduduk miskin
8,96 jt 0,98 jt (36,1%)
Wilayah Jawa Bali
Share PDRB thdp Nasional
21,55%
Pertumbuhan Ekonomi
4,65%
Wilayah Nusa Tenggara
Pendapatan Perkapita
9,80 jt
Share PDRB thdp Nasional
1,42%
Share PDRB thdp Nasional
0,32%
Pertumbuhan Ekonomi
3,50%
Pertumbuhan Ekonomi
4,94%
Pendapatan Perkapita
3,18 jt
Pendapatan Perkapita
Penduduk miskin
7,3 jt (14,4%)
Penduduk miskin
Wilayah Maluku
2,17 jt (24,8%)
Penduduk miskin
2,81 jt 0,49 jt (20,5%)
(sumber: BPS diolah Hidayat Amir, 2013)
buletin tata ruang & pertanahan
11
Wilayah Sumatera Share PDRB thdp 33 Prov (2015) Pertumbuhan Ekonomi (2015) Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
21,72%
Wilayah Kalimantan
3,54%
Share PDRB thdp 33 Prov (2015)
8,78%
Share PDRB thdp 33 Prov (2015)
5,81%
Pertumbuhan Ekonomi (2015)
1,00%
Pertumbuhan Ekonomi (2015)
8,18%
Tingkat Kemiskinan (Sept 2015)
6,45%
Tingkat Kemiskinan (Sept 2015)
11,37% 6,54%
Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
Wilayah Sulawesi
5,49%
Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
11,67% 5,73%
Wilayah Maluku Share PDRB thdp 33 Prov (2015)
0,50%
Pertumbuhan Ekonomi (2015)
5,74%
Tingkat Kemiskinan (Sept 2015)
14,00%
Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
Wilayah Jawa-Bali Share PDRB thdp 33 Prov (2015) Pertumbuhan Ekonomi (2015) Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
8,32%
Wilayah Papua 59,56% 5,47% 10,38% 6,27%
Wilayah Nusa Tenggara Share PDRB thdp 33 Prov (2015)
1,61%
Pertumbuhan Ekonomi (2015)
14,35%
Tingkat Kemiskinan (Sept 2015)
19,65%
Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
Share PDRB thdp 33 Prov (2015)
2,02%
Pertumbuhan Ekonomi (2015)
5,02%
Tingkat Kemiskinan (Sept 2015) Tingkat Pengangguran (Ags 2015)
27,82% 4,77%
4,57%
Gambar 2. Disparitas Antar Wilayah Setelah 15 Tahun Berotonomi (2015) (sumber: Bappenas, 2016)
sewindu otonomi (Gambar 1) tetapi bahkan hingga kita berada pada ujung dwi-windu sekarang (Gambar 2). Kita bisa lebih detil lagi menjabarkan tipologi ketimpangan wilayah, baik antara desa dengan kota, kota kecil-menengah dengan metropolitan, kawasan strategis dan wilayah andalan dengan daerah perbatasan/tertinggal/ terbelakang, berikut raut persoalan berupa unbalanced-development lantaran terbentuknya polarization effect dan gagalnya trickling-down effect (Hirschmann, 1950) ataupun munculnya backwash effect and spread effect (Myrdal, 1950). Namun semakin berulang dan berputar pada penggambaran masalah, kita seakan melakukan telling the truth: menyampaikan realitas yang semua orang sudah tahu sebagai sesuatu yang benar dan memang demikianlah faktanya. Berada dalam arus semangat demikian, identifikasi akar-sebab dan tawaran solusi ke depan jelas lebih penting ketimbang terus mendaftar deretan masalah. Dari perspektif desentralisasi, sebab masalah utama sekurangnya berakar kepada beberapa point berikut ini. Pertama, struktur ketatanegaraan kita membawa konstruksi perwilayahan yang amat administratif dan tidak diimbang secara setara oleh hubungan fungsional dalam bentuk keterpaduan dengan supradaerah (provinsi dan pusat). Perencanaan pembangunan antara Pusat (RPJP, RPJMN, RKP) tidak otomatis menjadi acuan utama yang mengalir dan bahkan mengalami deviasi serius pada level regional (Provinsi) dan selanjutnya Kabupaten/Kota (RPJPD, RPJMD, RKPD). Hal demikian juga terjadi pada kebijakan tata ruang yang ditandai biasnya hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang. Pada sisi lain, politik perencanaan pembangunan makro dan tata ruang daerah (RTRW, RDTR)
12
buletin tata ruang & pertanahan
kerap justru tak berbasis pada asumsi ruang yang benar: keseimbangan fisik, lingkungan dan sosial dimana pembangunan berorientasi kepada manusia yang hidup dalam spasial tertentu. Di sini, perencanaan bahkan menjadi instrumen awal dari operasi penggusuran atau relokasi yang tidak manusiawi. Kedua, proses fragmentasi ruang juga disebabkan proliferasi wilayah dan pemaknaan otonomi yang sempit di daerah. Kita tahu, pemekaran dan pembentukan DOB sepanjang era otonomi ini telah melahirkan wilayah administrasi pemerintahan yang terlampau banyak (sekarang kita memiliki 542 Kabupaten/Kota dan Provinsi, 220 diantaranya adalah DOB atau hasil pemekaran) dan berciri luasan daerah yang kecil-kecil. Hal ini mungkin saja dinilai ideal dari sisi pelayanan publik lantaran rentang kendali birokrasi menjadi lebih pendek dan terukur. Namun bagi upaya pembangunan wilayah pada skala makro, entitas yang terlampau kecil hampir pasti berkapasitas terbatas (diseconomy of scale) dan cenderung kalah bersaing. Apalagi di era otonomi ini, setiap daerah cenderung melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seolah terpisah dari relasi integral (dalam kesatuan ekonomi nasional dan pengembangan wilayah) dengan daerahdaerah lain. Mekanisme terlembaga yang berbasis kebutuhan bersama dan berjangka panjang seperti jejaring kerja, regional management atau kerja sama antardaerah menempuh jalan berliku untuk diwujudkan. Ketiga, desentralisasi fiskal menyumbang kepada keragaman kapasitas keuangan daerah, bahkan diparitas pendapatan regional. Desain konseptual desentralisasi fiskal memang diarahkan untuk menjamin otonomi fiskal dan
keadilan fiskal antardaerah maupun daerah dengan pusat. Namun, terjemahan konsep ke kebijakan dan praktik di lapangan mendapatkan realitas yang tak selamanya simetris. Dana Bagi Hasil (DBH) terkonsentrasi kepada daerah penghasil sumber daya alam tertentu, sementara potensi pajak-pajak utama di daerah (terutama BPHTB dan PBB dalam kerangka UU No.28 Tahun 2009) cenderung bias perkotaan yang secara geografis banyak berkumpul di Indonesia Barat. Kalau pada faktor input sudah demikian berragam maka dampak terhadap pengeluaran pemda akan terjadi dan pada gilirannya turut mempengaruhi perbedaan output antardaerah.
Gambar 3. Komposisi Pendapatan Daerah (APBD Agregat, 2016) (sumber: Diolah oleh KPPOD, 2016)
Pada sisi lain, ketergantungan daerah terhadap Pusat masih sedemikian tinggi. Secara rerata, daerah-daerah di Pulau Jawa mengandalkan setengah kekuatannya dari pendapatan asli (PAD) dan lain-lain pendapatan, sementara di luar Pulau Jawa umumnya memiliki tingkat ketergantungan lebih tinggi kepada Pemerintah Pusat. Hal demikian membawa implikasi pada strategi pembangunan daerah yang amat terbatas ruang fiskal dan diskresi kebijakan guna membangun ekonomi wilayah bertumpu pada potensi (resource-based development) dan aspirasi masyarakat (Gambar 3). Keempat, desentralisasi yang berimplikasi pada mengalirnya kuasa (kewenangan) dan uang (fiskal) ke daerah acap tak diimbangi integritas dan kapasitas tata kelola. Dalam hal fiskal, ketika uang sudah berada di tangan Pemda, mismanajemen fiskal adalah masalah klasik yang belum teratasi sepanjang era otonomi ini. Inefisiensi dan korupsi menjadi tantangan utama pengelolaan APBD. Problem daya serap dan dana menganggur (idle) di perbankan, proporsi alokasi yang masih memberat (heavy) kepada belanja birokrasiketimbang belanja modai (investasi pun sulit bergerak lantaran instrumen fiskal pemda tak cukup menstimulasi mesin pertumbuhan swasta) hingga kualitas pelaporan buruk dan maldministrasi (merujuk opini BPK) adalah sebagian saja contoh praktik mismanajemen fiskal, terutama di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pengawasan pusat (upward accountability) dan publik (downward accountability).
Dalam hal fiskal, ketika uang sudah berada di tangan Pemda, mismanajemen fiskal adalah masalah klasik yang belum teratasi sepanjang era otonomi ini. Inefisiensi dan korupsi menjadi tantangan utama pengelolaan APBD.
rendah perkembangan ekonomi suatu daerah, semakin rendah kualitas tata kelola. Hal ini umumnya terjadi di Indonesia Bagian Timur, kabupaten atau daerah bercorak pedesaan (rural area), wilayah kepulauan, dan DOB atau daerah induk pemekaran. Realitas pahit ini bertolak belakang dari harapan banyak pihak bahwa kalau suatu daerah itu miskin sumber daya alam, tidak strategis dari sisi letak geografis, tidak memiliki captive market yang kuat seperti yang dinikmati daerah-daerah maju (urban area), maka tata kelola ekonomi harus dikapitalisasi untuk mengejar keterbelakangan dan menjadi instrumen untuk bersaing dengan daerah-daerah beruntung lainnya. Hasil analisis lintas waktu antara 2007 dan 2012 menunjukan minimnya perbaikan mutu tata kelola ekonomi di daerah. Stagnasi tersebut utamanya terjadi pada infrastruktur, akses lahan usaha, biaya transaksi dan regulasi/perda. Pada konteks pembangunan wilayah, sebagaimana disinggung di atas, tata kelola ternyata belum banyak dipakai sebagai instrumen mengejar disparitas dan menutup celah ketimpangan regional. Tata kelola bermutu umummya terdapat di belahan barat Indonesia (konsentrasi geografis), daerah kota (bias perkotaan), daerah yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi tinggi (PDRB). Daerah-daerah terbelakang yang umumnya di belahan timur Indonesia justru belum bergegas memilih reformasi tata kelola sebagai pilihan kebijakan membangun daya saing dan mengejar ketertinggalan mereka. Program yang dilakukan pemda malah menghasilkan irelevansi kebijakan (program pengembangan usaha yang difasilitasi Pemda justru tidak sesuai jenis kebutuhan pelaku usaha), atau salah sasaran (sejumlah program afirmatif bagi usaha mikro-kecil justru jatuh ke tangan pelaku usaha menengah-besar), diskriminatif (porsi pungutan yang ditanggung usaha mikrokecil lebih terasa membebani ketimbang usaha menengahbesar), dan seterusnya.
Serupa masalah fiskal, tata kelola bermasalah juga terjadi pada pengelolaan ekonomi daerah (local economic governance)1. Temuan studi KPPOD menunjukan semakin 1 Studi TKED KPPOD (2007, 2010, 2011, 2012, 2016) bertujuan mengukur peringkat setiap Kabupaten/Kota dan memetakan tipologi kebermasalahan tata kelola ekonomi yang melingkupi kebijakan, kelembagaan dan pelayanan usaha yang dilakukan Pemda dalam rangka pembentukan iklim usaha dan daya saing daerahnya. Batasan indikator yang diambil adalah domain kewenangan pemda dan merujuk pengalamanpraktis pelaku usaha ihwal aspek-aspek yang dinilai berpengaruh bagi kegiatan usaha mereka. Studi ini menggunakan 9 indikator untuk mengukur kinerja TKED: (1) Akses lahan; (2) Infrastruktur daerah; (3) Perizinan usaha; (4) Perda; (5) Biaya; (6) Kapasitas Bupati/Walikota; (7) Interaksi Pemda-Pengusaha; (8) Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS); (9) Keamanan dan penyelesaian konflik dunia usaha.
Gambar 4. Tata Kelola Ekonomi Daerah (sumber: KPPOD, 2016)
buletin tata ruang & pertanahan
13
Menata ke Depan Paradigma pembangunan wilayah kiranya memiliki momentum yang strategis terkait tema RKP 2017: “Memacu Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi Untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja serta Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Antarwilayah”. Dan, otonomi daerah mesti jadi struktur kesempatan baru bagi Pemda dan masyarakat untuk merencanakan dan menjalankan pembangunan sesuai kondisi (potensi dan aspirasi) setempat. Ikhtiar reformasi kepemerintahan (internal governance) untuk mengkapitalisasi potensi dan aspirasi lokal tersebut harus pula diimbangi dengan perspektif wilayah agar jebakan sindrom paradoks jarak (paradox of distance) di mana makin lokal (localising) suatu urusan pembangunan justru makin mengabaikan konteks wilayah regional bisa diatasi. Berbagai akar masalah di atas sejatinya bisa menjadi penunjuk arah ke mana langkah perbaikan mesti diayunkan. Dalam perspektif otonomi, penguatan kelembagaan makro terkait perencanaan dan tata ruang harus dibenahi pada prioritas awal. Perencanaan lokal/regional harus tegak lurus menjadikan prencanaan nasional sebagai acuan utama, tanpa mengabaikan kemandirian dan kekhasan daerah dalam mendesain kebijakan yang sesuai kebutuhan/ permintaan layanan masyarakat, aspirasi dan potensi lokal. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kewajiban Pemda untuk mengikuti arah kebijakan nasional, terutama menyangkut program prioritas, beserta sanksi administrasi hingga fiskal bagi Pemda yang tidak mematuhinya. Untuk itu, pada tataran Pusat juga perlu dibenahi koordinasi-sinkronisasi kebijakan Kementerian/ Lembaga agar menjadikan paradigma pembangunan wilayah sebagai mainstream, simpul pengikat, sebagai formula meresolusi konflik perencanaan sektoral maupun antara sektoral dan regional yang selama ini sering terjadi. Dalam dimensi hubungan Pusat-Daerah maupun reformasi internal kepemerintahan pemda, dimensi fiskal (desentralisasi dan manajemen) maupun ekonomi (tata kelola) dapat menjadi pintu masuk perubahan berikutnya. Politik kebijakan harus mengarah kepada keseimbangan
fiskal yang lebih afirmatif kepada wilayah pinggiran dan sekaligus menjadi konsentrasi kehidupan penduduk lapisan marjinal, baik itu di desa, daerah tertinggal/terbelakang, kabupaten, yang umumnya berada di belahan timur (IBT). Berbeda dari daerah-daerah maju di mana fiskal pemerintah (Pemda) adalah instrumen penunjang bagi layanan warga, di daerah berkategori pinggiran tadi justru menempatkan APBN/APBD sebagai sumber pembiayaan layanan dan stimulans ekonomi (bahkan menjadi mesin utama pertumbuhan). Di sini, fiskal harus diarahkan terutama kepada pembangunan infrastruktur dasar/perintis, infrastruktur perhubungan dan infrastruktur pertanian sehingga mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah, meningkatkan konektivitas dan mendorong pertumbuhan kawasan. Dimensi ketiga –seturut berubahnya model interaksi pemerintah dan masyarakat dalam konteks decentralizedgovernance– ihwal partisipasi dan kolaborasi masyarakat dalam pembangunan wilayah. Perubahan paradigma dalam tata sektor publik menandai perubahan paradigma kebijakan wilayah dari model klasik ke model modern (Bachtler dan Yuill, 2001). Intinya adalah menjadikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan melalui partisipasi warga sebagai “sine qua non” dalam perencanaan, serta kolaborasi dengan elemen-elemen strategis sebagai mitra penting dalam tahapan pelaksanaan pembangunan. Semua ini harus terlihat jelas sejak penyusunan konsep dasar, karakter kebijakan, struktur kebijakan, organisasi hingga evaluasi pembangunan wilayah.
Intinya adalah menjadikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan melalui partisipasi warga sebagai “sine qua non” dalam perencanaan, serta kolaborasi dengan elemen-elemen strategis sebagai mitra penting dalam tahapan pelaksanaan pembangunan.
Aksentuasi pembangunan wilayah menemukan momentum aktual terkait implementasi tema RKP 2017. Hal itu mesti tercermin dalam dimensi tahukah anda pemerataan antarpendapatan dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya. Otonomi daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Dengan adanya otonomi daerah, daerah mempunyai hak serta kewajiban untuk wilayah yang tentu akan mengatur daerahnya sendiri tetapi masih tetap dikontrol oleh pemerintah pusat serta sesuai dengan undang-undang. Secara berjalan integral dengan etimologi (harfiah), otonomi daerah berasal dari 2 kata yaitu "otonom" dan "daerah". Kata otonom dalam bahasa Yunani dimensi pembangunan berasal dari kata "autos" yang berarti sendiri dan "namos" yang berarti aturan. Sehingga otonom dapat diartikan sebagai mengatur sendiri atau memerintah sendiri. Sedangkan daerah yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas manusia dan wilayah. Jadi, otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan suatu masyarakat atau pembangunan sektor kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus daerahnya sendiri. unggulan. Mendorong Penerapan (Pelaksanaan) otonomi daerah di Indonesia menjadi titik fokus penting dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat. pertumbuhan dan Pengembangan suatu daerah bisa disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan ciri khas daerah masing-masing. mengurangi ketimpangan Otonomi daerah mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan antar-wilayah adalah jalan Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu maka Undang-Undang Nomor 22 pembuktian terbaik untuk Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai sekarang memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami banyak perubahan. Salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Nawacita ketiga: Pemerintahan Daerah. sumber: “membangun dari Diolah dari berbagai sumber pinggiran”.
?
14
buletin tata ruang & pertanahan
sosialisasi peraturan
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
P
aket Kebijakan Ekonomi jilid 2 diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 29 September 2015. Melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pemerintah mengumumkan fokus kebijakan yang dikeluarkan hanya pada upaya meningkatkan dan mempermudah investasi dengan menyelesaikan kendala perizinan yang sering kali dianggap menghambat laju investasi, salah satunya pada sektor kehutanan. Pemerintah mengharapkan izin untuk keperluan investasi dan produktif sektor kehutanan akan berlangsung lebih cepat melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Pengaturan Umum Peraturan
Substansi Peraturan
Pada PP Nomor 104 Tahun 2015 ini pemerintah ingin melakukan penyederhanaan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan ke dalam satu peraturan. Kebutuhan terhadap pelaksanaan percepatan pembangunan proyek strategis (bendungan, waduk, jalan, ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi) yang menggunakan kawasan hutan terkendala masalah mengenai sulitnya mencari lahan kompensasi untuk penggunaan non kehutanan yang dibiayai pemerintah. Melalui PP ini prosedur perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi lebih sederhana agar percepatan pembangunan proyek strategis dapat terlaksana.
Substansi utama PP ini antara lain perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi yang dilakukan melalui mekanisme tukar menukar kawasan hutan (TMKH) atau pelepasan kawasan hutan (PKH). Perubahan yang dilakukan melalui TMKH hanya dapat dilakukan pada hutan produksi tetap (HPT) dan/ atau hutan produksi terbatas (HP) Sementara mekanisme PKH hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak produktif (HPK). Pemberian izin perubahan harus mengacu pada RTRW daerah yang ditetepakan dengan Perda sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2007. Perbedaan dapat dilihat pada tabel dibawah.
KEGIATAN
PP No.10/2010 jo. PP No.60/2012
PP No.104/2015
Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan
Sebagai dasar pelaksanaan tata letak Tidak terdapat lagi persetujuan prinsip, batas langsung SK pelepasan
Jangka waktu tata batas
Tidak diatur
Maksimal selesai 1 tahun. Bila lewat dianggap tidak berlaku (untuk instansi pemerintah dapat diperpanjang 1 tahun lagi)
Penetapan area
Tidak ada
Ditetapkan setelah selesai tata batas
Pembangunan waduk dan bendungan
Dengan IPPKH dan TMKH
Dengan IPPKH
Prosedur pelepasan
Tanpa kajian dari Tim Terpadu
Dengan kajian dari Tim Terpadu
Hasil Tim Terpadu
Tidak diatur
Merekomendasikan: 1. Pelepasan sebagian atau seluruhnya 2. Bila masih produktif, direkomendasikan menjadi Hutan Tetap (HP)
Perubahan fungsi kawasan hutan
Diusulkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur
Diusulkan oleh pengelola kawasan
Istilah persyaratan perubahan fungsi dan Rekomendasi peruntukan
Pertimbangan
Jangka waktu pertimbangan Gubernur
Tidak diatur
Dibatasi 30 hari (jika lewat dianggap setuju)
Penyederhanaan prosedur Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH)
TMKH terjadi setelah lahan pengganti TMKH terjadi sebelum lahan pengganti selesai ditata batas selesai ditata batas
Penyederhanaan prosedur pelepasan
Dua tahap: 1. Persetujuan Prinsip 2. SK Pelepasan
Satu tahap: SK Pelepasan
Kriteria pelepasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK)
Dapat dilakukan pada HPK yang produktif dan tidak produktif
Hanya pada real tidak produktif, kecuali Provinsi yang tidak memiliki HPK yang tidak produktif
HPK sebagai Lahan Pengganti
Tidak diatur dalam PP
Daitur dalam PP
buletin tata ruang & pertanahan
15
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
S
ejalan dengan keinginan Presiden untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meninjau kembali beberapa perizinan yang dikeluarkan terkait dengan sektor kehutanan agar lebih produktif dan cepat. Sesuai dengan arahan Presiden dan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 2 yang dikeluarkan, dari 14 perizinan mengenai penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan serta sumberdaya alam, disederhanakan menjadi 6 perizinan. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2015 merupakan perubahan kedua terhadap PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pengaturan Umum Peraturan
Substansi Peraturan
Tujuan dari adanya PP Nomor 105 Tahun 2015 ini adalah untuk mendukung percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan dengan mengubah pengaturan mengenai jenis kegiatan, kewajiban pemegang izin pinjam pakai, dan prosedur penggunaan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Dibandingkan dengan PP sebelumnya, ketentuan dalam PP baru tidak menyebutkan besaran lahan untuk kompensasi untuk IPPKH pada wilayah dengan kawasan hutan kurang dari 30%. Sementara IPPKH pada wilayah dengan kawasan hutan lebih dari 30% harus melakukan kompensasi ke dalam bentuk penanaman kembali dalam rangka rehabilitasi. IPPKH diberikan oleh Menteri LHK, namun kewenangannya dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam hal penggunaan untuk pembangunan fasilitas umum dengan luasan tertentu yang bersifat non komersial. IPPKH untuk kawasan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis hanya dapat diberikan setelaha ada persetujuan dari DPR. Dalam alur perizinan IPPKH, apabila pemegang izin tidak dapat menyelesaikan kewajubannya sesuai aturan yang ada, IPPKH akan dicabut. IPPKH akan dievaluasi oleh Menteri LHK setiap 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Perbandingan muatan antara PP Nomor 105 Tahun 2015 dengan peraturan sebelumnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Beberapa hal yang diubah dalam peraturan ini antara lain mengenai skema penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pelaksanaan percepatan pembangunan proyek strategis yang menjadi lebih sederhana, bentuk kompensasi PKH, tahapan perizinan hanya melalui satu tahapan, subyek hukum diperluas, prosedur pelepasan kawasan hutan yang harus melalui kajian dari tim terpadu, tata batas dapat dilakukan setelah izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), pelaksanaan kegiatan di lapangan dapat dilakukan setelah penetapan, serta dispensasi yang dihilangkan. KEGIATAN
16
PP No.24/2010 jo. PP No.61/2012
PP No.105/2015
Pembangunan waduk, bendungan
Dengan dua skema: Dengan satu skema: 1. Sarana prasarana dengan mekanisme Sarana prasarana maupun genangan Pinjam Pakai dengan mekanisme Pinjam Pakai 2. Genangan dengan mekanisme Tukar Menukar
Kompensasi untuk kegiatan Non Komersial
Lahan kompensasi rasio 1:1
Tanpa lahan kompensasi, diganti penanaman pada DAS dengan rasio 1:1
Tahapan Perizinan
Dua tahap: 1. Persetujuan Prinsip 2. Izin Pinjam Pakai
Satu tahap: Izin Pinjam Pakai
Subyek Hukum
Tidak ada perseorangan
Ditambah perseorangan dan kelompok masyarakat
Prosedur Pelepasan
Tanpa kajian dari Tim Terpadu
Dengan kajian dari Tim Terpadu
Tata Batas
Dilakukan sebelum Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)
Dilakukan setelah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dalam jangka waktu 1 tahun
Operasi di lapangan
Setelah IPPKH
Setelah penetapan area kerja oleh menteri yang membidangi kehutanan, kecuali bersifat vital
Dispensasi
Ada, diberikan setelah semua kewajiban terpenuhi kecuali lahan kompensasi
Tidak ada
buletin tata ruang & pertanahan
ringkas buku
Ringkas Buku:
Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran
P
ertanyaan mengenai dampak yang akan didapatkan apabila kita membangun desa menjadi sebuah pertanyaan mendasar yang melatarbelakangi hadirnya penulisan buku ini. Apakah dengan melakukan pembangunan pada desa dapat membuat desa tersebut secara otomatis dapat meninggalkan status ketertinggalannya sehingga dapat menyamai sebuah kota, serta daerah pinggiran pun dapat semakin berdekatan jarak kesenjangannya dengan daerah pusat. Pertanyaan tersebut berusaha untuk dijawab oleh Ir. Harry Heriawan Saleh, M.Sc. dalam bukunya ini yang berjudul “Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran” . Pendahuluan Berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuat perencanaan pembangunan di Indonesia saat ini menggunakan pendekatan spasial. Sebelumnya pendekatan ini masih sangat kurang dipertimbangkan menjadi prioritas. Akibatnya, tidak terkoordinasinya aktivitas pembangunan yang ada. Ruang sebagai dimensi tempat aktivitas pembangun dilakukan dalam konteks wilayah administratif terbagi menjadi dua, ruang untuk desa dan ruang untuk kota. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang berada di perkotaan maupun perdesaan memiliki proporsi yang hampir seimbang, dengan rincian masing-masing yaitu 118.320.256 jiwa (49,79%) dan 119.321.070 (50,21%). Menurut Harry Heriawan dalam bukunya, paradigma pembangunan di Indonesia saat ini masih menganggap bahwa pembangunan pada kawasan perkotaan merupakan bagian yang terpisah dengan pembangunan pada kawasan perdesaan. Padahal sebenarnya pemahaman ini merupakan hal yang salah dan menjadi salah satu penyebab ketimpangan pembangunan di Indonesia. Permasalahan ketimpangan tersebut juga diiringi paradigma lainnya, bahwa pembangunan dianggap lebih baik dan lebih tinggi jika dilaksanakan pada kawasan perkotaan. Pembangunan kawasan perdesaan dianggap hanya merupakan subordinasi dari pembangunan di kawasan perkotaan. Paradigma tersebut sering disebut dengan istilah “urban biased”. Desa selalu dikaitkan dengan kemiskinan dan kondisi
peluang/lapangan kerja yang terbatas, sedangkan kota merupakan membuka banyak kesempatan dan harapan untuk kehidupan. Permasalahan pada kedua kawasan terjadi seara bersamaan karena arus laju mobilitas spasial orang-orang desa menuju kota-kota tertenu sehingga desa semakin tertinggal dan kota menjadi sesak. Fenomena ini sering dikenal dengan istilah “urbanisasi”, bukan dalam arti suatu desa menjadi bersifat perkotaan, tetapi semakin terkonsentrasinya orang-orang desa pada kota-kota sebagai daerah tujuan mereka. Kebijakan Pembangunan Desa-Kota Saat ini pemerintah sudah mulai menyadari dan mempertimbangkan peran keselarasan (integrasi) kebijakan pembangunan yang menghubungkan antara pembangunan desa dengan pembangunan kota. Upaya mengintegrasikan pembangunan tersebut didasarkan pada kepentingan untuk saling melengkapi satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di dua kawasan (kota dan desa) tersebut. Pada masa pemerintahan sebelumnya, mulai dikeluarkan kebijakan pembangunan dengan mengenalkan pembagian koridor-koridor ekonomi yang ada di wilayah Indonesia. Hal tersebut ditujukan agar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi pada satu tempat saja, namun juga tersebar dan relatif seimbang. Harapan agar implikasi dari pusat-pusat pertumbuhan yang tersebar tersebut dapat mempengaruhi kawasan sekitarnya (hinterland). Namun pada implementasi di lapangan, tidak sedikit yang terjadi adalah terjadinya backwash effect atau terkurasnya sumber daya alam desa di sekitar pusat-pusat pertumbuhan dan braindrain effect, yaitu tersedotnya sumber daya manusia dari desa ke kota. Pada masa pemerintahan saat ini (red: Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla), konsep pembangunan mulai diperbaiki melalui misi pembangunan (Nawacita) yang ke-3, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pinggiran yang dimaksud adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI), kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan desa.
Gambar 1. Urbanisasi menjadi masalah pembangunan saat ini
Faktor utama untuk menggerakkan wilayah pinggiran terletak pada aktivitas ekonomi pedesaan. Memasuki era globalisasi membuat wilayah pinggiran dituntut untuk dapat berdaya saing. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi per-
(sumber: sindonews.com)
buletin tata ruang & pertanahan
17
desaan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berjenjang yang dimulai dari skala lokal hingga global. Tantangan utama dalam membangun wilayah pinggiran terletak pada bagaimana membangun desa-kota secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan daya saing kedua wilayah tersebut. Cakupan Isi Buku Buku ini secara keseluruhan berupaya mengangkat masalah perdesaan dan perkotaan. Istilah desa-kota digunakan sebagai bentuk penyederhanaan dari makna perdesaan dan perkotaan. Konsep pembangunan desa-kota yang ada di dalam buku ini diharapkan oleh penulis dapat dijadikan referensi, terutama bagi penyelenggara negara dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang pembangunan perkotaan dan perdesaan. Buku ini terbagi dalam 5 bab yang menjelaskan mengenai latar belakang, teori, konsep, paradigma, serta aplikasi dari proses pembangunan desa-kota. Agar lebih mendalam, juga digunakan studi kasus yang dipilih secara purposive untuk menjadi perwujudan contoh pembangunan yang dilakukan. Dipilih 3 daerah yang menjadi contoh, yakni Kabupaten Sumba Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung. Daerah-daerah tersbut diambil dengan melihat keterwakilan dari pembagian wilayah yang ada di Indonesia yaitu kawasan barat, kawasan tengah dan kawasan timur. Bab pertama menguraikan latar belakang munculnya kesenjangan desa-kota, berisikan penjabaran masalah pembangunan desa-kota dalam perspektif pengembangan wilayah dan pembangunan kepedudukan disertai dengan data-data yang ada. Berdasarkan Buku III Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019, data menunjukkan bahwa selama 30 tahun (19822012) kontribusi PDRB Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali sangat mendominasi pembentukan PDB Nasional sekitar 80% dari PDB. Sementara peran Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua baru mencapai sekitar 20% dari PDB. Pada bab ini juga dipaparkan data tingkat kemiskinan di Indonesia selama kurun waktu 2006-2014 yang dapat terlihat kecenderungannya. Selain itu juga terdapat ketimpangan distribusi pendapatan pada penduduk di Indonesia yang ditunjukkan dengan kecenderungan angka koefisien gini.
Gambar 2. Peran Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (sumber: Buku III RPJMN 2015-2019)
18
buletin tata ruang & pertanahan
Bab kedua menjelaskan berbagai macam teori dan konsep kewilayahan atau pembangunan berbasis spasial yang dapat digunakan dalam melaksanakan pembangunan desakota. Teori yang dijabarkan antara lain teori pengembangan wilayah seperti Central Place Theory, Growth Pole Theory, Teori Kerucut Permintaan, dan Teori Geografi Ekonomi Baru. Teori mengenai migrasi juga dijelaskan dalam bab ini sebagai kerangka pemikiran untuk melihat pergerakan penduduk antar ruang yang menyebabkan terjadinya dinamika penduduk, yang secara keseluruhan berada dalam konsep pembangunan berkelanjutan serta teori inkuiri untuk merumuskan pilihan konsep yang disepakati. Bab ketiga menggambarkan secara umum konsep pembangunan desa-kota dengan mempertimbangkan tantangan dan pengalaman-pengalaman yang ada. Skenario kebijakan pembangunan desa-kota berbasis keruangan secara ekspilisit dituangkan dalam kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara pada masa Presiden Joko Widodo, konsep tersebut diperkuat dengan mengubahnya secara tematik menjadi tujuh wilayah pembangunan. Konsep pembangunan terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu konsep secara makro dan konsep secara mikro.
Gambar 3. Faktor Keterkaitan Desa-Kota Menurut Douglass (1998) (sumber: Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran, 2015)
Selanjutnya pada bab keempat diuraikan gagasan-gagasan yang dapat diharapkan dapat menjadi konsep pembangunan wilayah pinggiran dalam wujud pembangunan ekonomi lokal (PEL). PEL dilakukan melalui jejaring klaster berbasis wilayah. Pada bab ini dijabarkan bentuk dukungan kebijakan yang diberikan pemerintah dalam upaya mewujudkan pembangunan ekonomi lokal/daerah yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka daya saing ekonomi daerah dan juga memeratakan pembangunan ekonomi nasional secara berkeadilan. Pada bab kelima, memuat tiga contoh kasus klaster terpilih yang menggunakan konsep PEL. Ketiga klaster dijabarkan kondisi alam/fisik dan lingkungan, sosial, potensi ekonomi serta tantangan dan strategi pembangunannya yang memperlihatkan perbedaan diantara ketiganya. [rp]
Persiapan Pelaksanaan Reforma Agraria, Kementerian PPN/Bappenas Tinjau Sejumlah Daerah Jakarta, (28/10) - Dalam rangka persiapan pelaksanaan Reforma Agraria sebagai tindak lanjut dari perwujudan kerangka RPJMN 2015-2019 dan RKP 2017 Prioritas Nasional (PN) Reforma Agraria, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Kementerian PPN/Bappenas melakukan roadshow ke sejumlah daerah untuk meninjau langsung kesiapan pelaksanaan program PN Reforma Agraria di lapangan. Tim koordinasi dibawah arahan Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas ini mengadakan tinjauan ke 3 (tiga) daerah berbeda, yakni Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Jambi. Pelaksanaan roadshow ini melibatkan sejumlah pihak, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (KemenATR/BPN), dan pemerintah daerah setempat. Roadshow ini dilakukan bertujuan antara lain agar terinformasikannya program PN Reforma Agraria ke daerahdaerah, teridentifikasinya faktor pendukung dan faktor penghambat percepatan Reforma Agraria, serta teridentifikasinya data dan informasi terkait konflik agraria yang ada di daerah. Dari tinjauan yang dilakukan, Tim Reforma Agraria menemukan sejumlah masalah yang dihadapi oleh daerah, seperti proses pelaksanaan peraturan pertanahan yang masih belum tepat, kurangnya ketersediaan SDM pertanahan, dan ketiadaan masyarakat sebagai objek program.
dalam berita
Gambar. Lokakarya Reforma Agraria di Provinsi Kalimantan Barat (sumber: Dokumentasi TRP)
Beberapa poin penting yang disampaikan oleh Tim Reforma Agraria pada setiap roadshow antara lain bahwa tujuan utama Reforma Agraria adalah untuk mengatasi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Pelaksanaan Reforma Agraria meliputi kegiatan pemberian aset melalui redistribusi tanah dan legalisasi aset yang disertai/dilengkapi dengan pemberian akses melalui pemberdayaan masyarakat. Program ini adalah upaya pembangunan yang melibatkan multi pihak sehingga dibutuhkan pemahaman semua pihak yang terlibat agar kegiatan ini dapat dijalankan sesuai tujuan. Tim Reforma Agraria mengharapkan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah. Diharapkan SKPD dapat melihat RKA K/L masing-masing untuk memastikan kegiatan Reforma Agraria sudah ada dalam RKA K/L sehingga dapat berjalan secara maksimal. [ik,rp]
Pelatihan Input Data Knowledge Management Bappeda Kabupaten Muara Enim tahun 2015 telah terjalin kerjasama dalam mengembangkan Knowledge Management di dalam struktur pemerintah daerah. Bentuk kerjasama yang dilakukan yaitu Penyusunan Database Sistem Knowledge Management Bappeda Kabupaten Muara Enim Tahun 2015. Di tahun 2016 ini Direktorat dilanjutkan kegiatan Knowledge Management berupa Penyusunan Sistem Informasi Pengelolaan Database Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Muara Enim.
Gambar. Pelatihan Input Data KM di Bappeda Kabupaten Muara Enim (sumber: Dokumentasi TRP)
Muara Enim, (14/10) - Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mendukung kegiatan pengembangan knowledge management (KM) Bappeda Kabupaten Muara Enim dengan cara memberikan pelatihan input data sistem KM di kantor Bappeda Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan pada tanggal 14 Oktober 2016. Sebelumnya di
Dalam pelatihan input data, para peserta yang terdiri person in charge (PIC) staf perwakilan bidang diperkenalkan interface dan menu-menu sistem aplikasi KM serta dilakukan praktik langsung untuk mengunggah dokumen. Di akhir acara, Tim Pengembangan KM meminta evaluasi dan masukan dari para staf guna mengembangkan sistem KM ke depan. Dengan berjalannya kegiatan KM di tahun ke 2 bagi Bappeda Kabupaten Muara Enim, diharapkan kabupaten penghasil batubara ini menjadi champion bagi kantor pemerintah lainnya di Provinsi Sumatera Selatan. [ra]
buletin tata ruang & pertanahan
19
Diskusi Penyusunan Visi Pembangunan Indonesia 2045-2085 Bidang Penataan Ruang dan Wilayah serta Pertanahan Jakarta, (11/10) - Guna mempertajam materi dan informasi terkait penyusunan visi pembangunan indonesia 2045-2085 di bidang penataan ruang dan wilayah serta pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mengadakan sejumlah Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang akademisi dan ahli sebagai narasumber. FGD diskusi diadakan sebanyak 2 (dua) kali dengan topik pembahasan yang berbeda. FGD pertama mengenai bidang penataan ruang dan wilayah, kemudian FGD kedua pembahasan mengenai bidang pertanahan. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan mengundang dosen pengajar planologi ITB Ir. Andi Oetomo, M.PI. sebagai narasumber topik penataan ruang dan wilayah, serta Guru Besar Hukum Agraria UGM Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH, MCL, MPA. sebagai narasumber topik pertanahan. Penyusunan Visi Pembangunan Indonesia 2045-2085 bermula dari time capsule Presiden Joko Widodo yang ditulis di akhir tahun 2015 berjudul “Impian Indonesia 20152085”, yang kemudian ditindaklanjut dalam Sidang Kabinet Paripurna tanggal 10 Februari 2016, Kementerian PPN/Bappenas mendapat arahan untuk menyusun Visi Pembangunan Indonesia Tahun 2045 dan 2085. Visi yang disusun diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan kedepan. Saat ini, penyusunan visi akan difokuskan pada tahun 2045 yang bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Sebagai salah satu direktorat yang bertanggung jawab pada visi bidang Penataan Ruang dan Wilayah, Direktorat Tata
Ruang dan Pertanahan tengah menyusun masukan dari perspektif tata ruang dan pertanahan melalui diskusi yang mendalam. Andi menjelaskan bahwa penyusunan Visi dapat dilakukan dengan scenario planning yang merupakan metode perencanaan strategis yang digunakan untuk membuat rencana jangka panjang yang fleksibel. Analisis akan menggabungkan fakta/informasi/trenyang diketahui tentang masa depan dengan driving forces. Driving forces adalah asumsi kondisi ideal yang dicita-citakan yang pada umumnya meliputi aspek Social, Technical, Economic, Environmental, dan Political (STEEP). Pada akhirnya akan ada 3 alternatif skenario yang bisa dipilih sesuai kondisi, yaitu skenario optimis, moderat, atau pesimis. Andi melanjutkan bahwa pembangunan di tahun 2045 perlu difokuskan pada konflik antara manusia dengan alam maupun sekitarnya (faktor internal), bukan saja ke perilaku lawan (faktor eksternal). Tujuan utama visi seharusnya lebih kepada bagaimana merubah pola pikir/perilaku manusia terhadap ruang sekitarnya, serta melibatkan aspek hubungan antar sektor sehingga dalam pembangunan masa depan dapat terjalin perubahan yang sistemik. Mengambil contoh negara Singapura, Andi menjelaskan bagaimana peran negara merubah perilaku penduduknya untuk lebih taat peraturan melalui intervensi fisik (seperti desain ruang kota) maupun non fisik (penerapan aturan denda). Dari segi pertanahan, Prof. Maria menjelaskan beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan dalam pembangunan di tahun 2045, seperti (1) ketidakjelasan arah politik hukum bidang pengelolaan sumber daya alam (tanah, hutan, tambang) karena aturan sektoral yang saling tumpang tindih; (2) tingginya sengketa dan konflik pertanahan/agraria yang melibatkan berbagai pihak dan penanganan kasus memerlukan waktu yang cukup lama; (3) masih banyak masyarakat hukum adat yang keberadaannya belum diakui dan dilindungi; dan (4) ketimpangan penggunaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah. Berdasarkan isu tersebut, Maria mengusulkan beberapa hal yang perlu dicapai menjelang tahun 2045, seperti: Ÿ Harmonisasi UU sektoral yang mengatur SDA; Ÿ Pengaturan penggunaan ruang di atas tanah dan ruang laut, termasuk kolom badan laut, melalui rezim perijinan. Ÿ Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat; Ÿ Percepatan penyelesaian sengketa dan konflik, baik dengan mengefektifkan badan peradilan umum dan peradilan TUN, maupun dengan membentuk komisi penyelesaian konflik agraria di tingkat nasional dan provinsi untuk penyelesaian kasus yang extraordinary
Gambar. “Impian Indonesia 2015-2085" ditulis oleh Presiden Joko Widodo (sumber: Antaranews.com)
20
buletin tata ruang & pertanahan
Melihat pertimbangan kedua ahli tersebut, maka Visi 2045 bidang penataan ruang dan wilayah diharapkan dapat menginisiasi perubahan sistemik, baik dalam arti mendorong harmonisasi antar sektor pembangunan, danmeningkatkan kapasitas dan kualitas masyarakatnya. [ep]
melihat dari dekat
Menengok Bumi Serambi Mekkah: 12 Tahun Pasca Tsunami oleh: Mustanir Afif, S.T. Staf Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas RI
K
ota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki nilai strategis dari segi lokasi yang berhadapan langsung dengan negara-negara Asia di bagian Selatan dan menjadi pintu masuk negara Indonesia di bagian Barat, dengan titik nol kilometer berada di Pulau W eh, Sabang. Terlebih, setelah dijadikannya Sabang sebagai salah satu lokasi pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN), menempatkan posisi Kota Banda Aceh sebagai kawasan hinterland dari Kota Sabang yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian kedua daerah tersebut. Dukungan tersebut terimplementasi dalam bentuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur maupun mempersiapkan sumber daya manusia yang dapat bersaing dengan tenaga kerja luar negeri. Secara geografis, Kota Banda Aceh berbatasan langsung dengan Selat Malaka di sebelah utara, Kabupaten Aceh Besar di sebelah timur dan selatan, dan Samudera Indonesia di sebelah barat, yang terdiri dari 9 2 (sembilan) kecamatan, 70 desa dan 20 gampong dengan luas wilayah total mencapai 61,35 Km .
Gempa dan Tsunami yang melanda Kota Banda Aceh 12 tahun silam membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan perkotaan masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya. Berdasarkan informasi yang didapat dari laman daring pemerintah kota Banda Aceh (http://bandaacehkota.go.id), bencana yang memakan korban meninggal dan hilang hingga 61.065 jiwa ini membuat kerusakan di hampir 2/3 infrastruktur perkotaan yang ada pada saat itu, seperti 169 unit fasilitas pendidikan, 25 unit fasilitas kesehatan, 302 km jalan, 63 unit bangunan pemerintah, 9 bangunan pasar dan 46 fasilitas sosial, hancur dilanda gempa dan Tsunami 12 tahun silam. Namun, setelah 12 tahun berlalu, Pemerintah Kota Banda Aceh terus berbenah untuk dapat mewujudkan Kota Banda Aceh menjadi Model Kota Madani yang tangguh dan modern, hingga saat ini, yang dituang kedalam dokumen perencanaan seperti RPJMN, RPJMD, RTRW dan RKP Kota Banda Aceh. Arah Kebijakan Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019, Kota Banda Aceh masuk kedalam daftar Kawasan Strategis Bidang Ekonomi dengan nama Kawasan Banda Aceh Darussalam yang mencakup Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie. Kawasan Banda Aceh Darussalam ini merupakan arahan kebijakan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan penggerak ekonomi daerah pinggiran, yang berfungsi untuk: (1) meningkatkan produktivitas dan hilirisasi komoditas unggulan yang terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya; (2) memberikan fasilitasi pengembangan industri-industri pengolahan komoditas unggulan di kawasan; (3) meningkatkan konektivitas antar wilayah sekitarnya (desa, daerah tertinggal dan perbatasan) menuju pusat-pusat pertumbuhan lainnya; (4) mempercepat penyediaan infrastruktur yang mendukung pengembangan kawasan; serta (5) meningkat-
Gambar 1. Masjid Lampuuk (sumber: Dokumentasi Pribadi)
kan kemampuan pengelolaan kawasan di wilayah belakangnya secara profesional. Kawasan ini juga akan mendukung pengembangan KSN KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) Sabang, dimana Kota Banda Aceh sebagai kawasan hinterland-nya. Tujuan Wisata Islami Dunia Sektor pariwisata di Aceh menjadi salah satu sektor yang menjadi sumber pendapatan daerah yang terus tumbuh dan berkontribusi aktif terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat di Kota Banda Aceh. Pariwisata di Banda Aceh dikenal dengan istilah Wisata Halal/Wisata Islami, yang merupakan bagian dari industri pariwisata yang diperuntukkan bagi wisatawan Muslim dan merujuk pada aturan-aturan Islam. Ditambah Aceh berhasil menjadi pemenang di kategori World's Best Halal Cultural Destination dan Banda Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang sebagai World's Best Airport for Halal Travelers pada awal bulan Desember tahun ini. Penghargaan ini menjadikan Indonesia dan Aceh pada khususnya menjadi
buletin tata ruang & pertanahan
21
Gambar 2. Kondisi bantaran sungai di Kota Banda Aceh saat ini, rapi dan tertata (sumber: Dokumentasi Pribadi)
salah satu destinasi wisatawan lokal maupun mancanegara. Aceh juga terkenal dengan wisata tsunaminya, seperti Museum Tsunami, PLTD Apung yang terdampar di tengahtengah permukiman warga, Kuburan Massal (wisata religi), dan Masjid Lampuuk, sebagai salah satu mukjizat dari kejadian 12 tahun silam yang menjadi satu-satunya bangunan yang tertinggal di kawasan Lampuuk ketika tsunami menerjang kawasan tersebut. Menengok Sejarah Melalui Situs Salah satu destinasi situs yang sangat menarik untuk dikunjungi yaitu ke PLTD Apung, sebuah kapal besar yang tadinya difungsikan sebagai pembangkit listrik. Kapal ini dihem-paskan sejauh 2,5 km dari pantai Ulee Lheu, lokasi asli kapal tersebut. Saat ini kapal ter-sebut terdampar di tengah-tengah perkampungan Punge Blang Cut. Menurut penuturan masyarakat, di bawah kapal tersebut banyak jasad para korban yang tertimpa kapal ini dan tidak bisa diangkut. Destinasi wisata bersejarah lainnya yang menarik yaitu Kapal Tsunami Lampulo, di daerah Lampulo. Kapal ini merupakan kapal nelayan yang tersangkut di atas sebuah rumah penduduk pada saat bencana tsunami 12 tahun yang lalu. Berkat kapal ini, nyawa 59 orang dapat tertolong.
Gambar 3. Situs Bersejarah Kapal PLTD Apung (sumber: Dokumentasi Pribadi)
22
buletin tata ruang & pertanahan
Selain wisata sejarah, di Aceh juga terdapat wisata kuliner yang dapat dicoba oleh wisatawan, seperti Mie Aceh, Kopi Aceh, Ayam Tangkap, dan panganan kecil khas Aceh lainnya yang dapat dicoba oleh wisatawan.
Salah satu budaya yang terkenal di kalangan masyarakat Aceh yaitu budaya “ngopi” atau minum kopi. Namun yang dilakukan oleh masyarakat bukan sembarang “ngopi”. Budaya “ngopi” di Aceh, terutama di kota-kota seperti Kota Banda Aceh banyak ditemukan justru di tempat-tempat seperti restoran maupun kafe yang sangat cocok untuk tempat berkumpul anak-anak muda. Uniknya, budaya ini tidak hanya dilakukan oleh beberapa lapisan masyarakat saja, namun seluruh lapisan masyarakat dari lapisan bawah hingga atas, bahkan pejabat pemerintahan seperti gubernur sekalipun. Dapat Gambar 4. Situs Bersejarah Kapal Tsunami Lampulo (sumber: Dokumentasi Pribadi) dibilang, budaya “ngopi” di Aceh ini bisa mempersatukan berbagai golongan yang ada di masyarakat Aceh. Kejadian 12 tahun silam tidak dapat membuat semangat warga Aceh pudar, melainkan terus semangat untuk dapat bangkit dan berbenah diri. Pemerintah Aceh bersama dengan pemerintah Pusat terus berkoordinasi untuk pembangunan Kota Banda Aceh dan kota lainnya agar dapat meningkatkan perekononomian daerah dan taraf hidup masyarakat Aceh kedepannya. (af)
data & informasi
Status RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (status tanggal 29 Oktober 2016)
Gambar 1. Status Monitoring RTRW Provinsi di Indonesia yang belum disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) (sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI)
S
tatus penetapan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/ Kota hingga Oktober 2016 adalah sebagai berikut: Ÿ Sebanyak 30 (85%) dari 34 Provinsi telah menetapkan Perda RTRW Provinsi Ÿ Sebanyak 362 (87%) dari 415 Kabupaten telah menetapkan Perda RTRW Kabupaten; dan Ÿ 88 (95%) dari 93 Kota telah menetapkan Perda RTRW Kota
Terdapat 4 (empat) Provinsi yang belum menetapkan Perda RTRW yaitu: 1) Provinsi Sumatera Utara; 2) Provinsi Riau; 3) Provinsi Kepulauan Riau; dan 4) Provinsi Kalimantan Utara. Ditargetkan pada akhir tahun 2016, RTRW 4 (empat) Provinsi tersebut telah dapat dilegalisasi menjadi perda. Tabel 3. Perkembangan RTRW Kabupaten/Kota di Indonesia per Pulau (per Oktober 2016)
Tabel 1. Perkembangan RTRW Provinsi di Indonesia RTRW Provinsi
Total Daerah 34
Proses di Daerah 0
Pembahasan BKPRN 0
RTRW
Sudah Mendapat Persetujuan Substansi Menteri 4
Perda RTRW
Kabupaten Kota Jumlah Kabupaten Jawa dan Bali Kota Jumlah Kabupaten Kalimantan Kota dan Sulawesi Jumlah Nusa Kabupaten Tenggara, Kota Maluku, dan Jumlah Papua Sumatera
30
88.23 %
Tabel 2. Perkembangan RTRW Kabupaten dan Kota di Indonesia RTRW
Total Daerah
Kabupaten Kota Jumlah
415 93 508
Sudah Mendapat Rekom Pembahasan Penyusunan Persetujuan Gub BKPRN Substansi Menteri 2 6 4 41 0 0 0 5 2 6 4 46
Perda RTRW
362 88 446
87.22 % 94.62 % 88.60%
87%
: Sudah Perda
2 0 2 1 0 1 3 0 3 0 0
1 0 1 0 0 0 2 0 2 1 0
95
0
0
1
4
93 30 123 91 30 121 97 19 116 81 9
77.50% 88.24% 79.22% 98.91% 100.00% 99.18% 82.00% 95.00% 82.48% 94.18% 100.00%
90
94.73%
5%
13%
85%
0 0 0 0 0 0 2 0 2 0 0
Perda RTRW
Kota
Kabupaten
Provinsi 15%
120 34 154 92 30 122 117 20 137 86 9
Sudah Mendapat Persetujuan Substansi Menteri 24 4 28 0 0 0 13 1 14 4 0
Total Rekom Pembahasan Penyusunan Daerah Gub BKPRN
95%
: Belum Perda
Gambar 1. Grafik Persentase Status RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia (per Oktober 2016)
buletin tata ruang & pertanahan
23
Status Tingkat Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan se-Indonesia (status Tahun 2016)
Gambar 1. Status Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Indonesia Tahun 2015 (sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI)
P
Tabel. Tingkat Persentase Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Indonesia Tahun 2016
roses pengolahan data cakupan peta dasar pertanahan dilakukan secara spasial dengan menghitung luas cakupan peta pada lembar-lembar Peta Dasar Pertanahan yang didapatkan dari Direktorat Pemetaan Dasar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Perhitungan dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis berikut; (1) Data spasial cakupan peta dasar pertanahan Kemen. ATR/BPN perlu diolah agar tidak terdapat area yang bertampalan; (2) Pada wilayah yang saling bertampalan, perlu dilakukan penggabungan menjadi satu area gabungan, sehingga tidak terjadi double counting daerah cakupan pada area yang sama; (3) Wilayah laut dan wilayah kawasan hutan yang masuk dalam lembar peta dasar pertanahan, tidak dimasukkan dalam perhitungan cakupan peta dasar pertanahan; (4) Sesuai arahan BIG, perhitungan luas menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection.
Cakupan Pe ta Dasar Pertanahan
Sumatera
Jawa
Bali & Nusa Tenggara
Kalimantan
Kementerian ATR/BPN pada tahun 2016 melakukan kegiatan pembuatan Peta Dasar Pertanahan untuk skala 1:1000 dan skala 1:2500. Data cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan hutan tahun 2016 yang diperoleh dari Kemen. ATR/BPN merupakan data AOI (Area of Interest). Cakupan Peta Dasar Pertanahan hingga tahun 2016 berdasarkan data dari Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN sebesar 29,37 Juta Ha (45,67 % dari luas kawasan budidaya).
24
buletin tata ruang & pertanahan
Sulawesi
Maluku & Papua
Tingkat Persentase Cakupan
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utar a Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jam bi Bengkulu Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitu ng Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Tim ur Kalimantan Ba rat Kalimantan Tengah Kalimantan Se la tan Kalimantan Timu r Kalimantan Uta ra Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku Utara Maluku Papua Barat Papua
Sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI, 2016
89,96% 40,49% 76,93% 4,9 5% 56,95% 10,56% 29,71% 36,27% 33,38% 74,18% 27,36% 9,3 2% 77,10% 76,75% 99,98% 21,47% 99,69% 74,45% 94,43% 27,41% 26,42% 86,79% 19,82% 36,28% 82,32% 92,23% 32,66% 61,11% 73,88% 42,11% 31,85% 37,25% 11,24% 5,3 8%
Berita Tata Ruang dan Pertanahan
kliping berita
(Juli - Desember 2016)
D
isparitas pembangunan antarwilayah di Indonesia tercermin dari pelaksanaan kebijakan tol udara di daerah pegunungan tengah Papua. Tol udara dinilai sebagai solusi alternatif untuk menekan masalah perbedaan harga komoditas di Papua karena proyek pembangunan trans-Papua di seluruh wilayah pegunungan masih membutuhkan waktu cukup lama. Sementara itu pembangunan di wilayah Barat seperti di pulau Jawa masih bergelut dengan pendataan aset tanah milik negara. Hal ini membuat Presiden Joko Widodo mendesak Kementerian ATR/BPN untuk segera menyelesaikan 120 juta bidang tanah yang belum bersertifikat. Selama 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, baru 46 juta bidang tanah yang sudah memiliki sertifikat. JULI Percepat Pembebasan Lahan Pemerintah telah menyiapkan Lembaga Manajemen Aset Negara untuk membebaskan lahan bagi proyek-proyek yang terkait dengan kepentingan publik. Keberadaan lembaga tersebut diharapkan mempercepat pembebasan lahan.Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219 Tahun 2015.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mekanisme dana talangan untuk pembebasan lahan jalan tol hanya berjalan hingga akhir tahun ini. Saat ini, komitmen dana talangan mencapai Rp 20,2 triliun. Setelah itu, pemerintah akan menyediakan dana pembebasan lahan untuk kepentingan publik, termasuk jalan tol, melalui LMAN. Dana talangan yang saat ini disediakan badan usaha akan diganti oleh LMAN. Hal itu diatur melalui peraturan presiden yang akan terbit pada Agustus 2016. (Kompas, 16 Juli 2016) AGUSTUS Tol Udara, Solusi Alternatif di Papua Kebijakan tol udara dinilai sebagai solusi alternatif untuk menekan masalah disparitas harga yang terjadi di daerah pegunungan tengah Papua. Sementara proyek pembangunan Trans-Papua di seluruh wilayah pegunungan masih membutuhkan waktu cukup lama. Saat ini ada 11 ruas jalan Trans-Papua yang belum tersambung, yakni Sorong-Manokwari, Manokwari-Nabire, NabireEnarotali-Sugapa, Sugapa-Beoga-Ilaga, Wamena-Jayapura, Wamena-Kenyam, Kenyam-Deikai, Deikai-Oksibil, OksibilWaropko, Waropko-Tanah Merah-Merauke, dan WaigeteTimika. Hingga akhir 2015, sepanjang 700,2 kilometer jalan belum
dibuka, masih hutan. Tahun ini Balai Besar Jalan Nasional (BBJN) X Wilayah Papua dan Papua Barat hanya menargetkan pengerjaan sepanjang 243,7 kilometer. Jika tak ada gangguan keamanan dan masalah biaya, proyek TransPapua selesai 2018. Sekretaris Daerah Kabupaten Lanny Jaya Christian Sohilait mengatakan, pembangunan jalan yang menghubungkan seluruh wilayah pegunungan tengah Papua memerlukan waktu cukup lama. "Dengan adanya kebijakan tol udara, kami hanya membutuhkan bantuan pengadaan pesawat perintis dan pengurusan izin yang mudah. Pesawat bisa digunakan untuk memberikan pelayanan ke distrik atau kampung di pedalaman," katanya. (Kompas, 2 Agustus 2016) Buruknya Pengelolaan Membuat Tanah Pemerintah Hilang Data aset pertanahan selama ini dinilai buram. Akibat faktor pencatatan dan pengawasan yang lemah, kurangnya informasi mengenai aset Pemprov DKI itu dimanfaatkan oknum pejabat, pegawai negeri sipil (PNS), dan mafia tanah untuk menggelapkan atau memperjualbelikan aset daerah. Ketua Panitia Khusus Aset DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, pengawasan yang paling pelik terjadi pada aset daerah yang belum lengkap dokumennya dan dikuasai pihak lain di lapangan. Ketidakcermatan pada proses serah terima, pencatatan, serta pengelolaannya membuat sebagian aset berpindah tangan. Akumulasi sejumlah kekurangan itu membuat Pemprov DKI sering kalah di pengadilan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan aset tanah semester I-2014, misalnya, ada 35 bidang tanah Pemprov DKI senilai Rp 7,9 triliun yang digugat pihak ketiga. Pemprov DKI dinyatakan kalah pada 11 bidang tanah di antaranya.Dari 11 kasus itu saja, Pemprov DKI kehilangan 6,72 hektar lahan senilai Rp 259 miliar. Modusnya, mereka sengaja menghilangkan catatan pembelian atau bukti kepemilikan. Hal ini berkaca pada beberapa kasus pengadaan tanah yang bermasalah. ”Setelah dihilangkan, ada orang yang memiliki surat yang
buletin tata ruang & pertanahan
25
sama, menggugat, lalu dibeli kembali oleh Pemprov. Lingkarannya seperti itu,” ujar Febri Hendri dari Indonesia Corruption Watch. (Kompas, 8 Agustus 2016) SEPTEMBER Kendalikan Pembangunan di Jakarta Pembangunan tidak terkendali di kawasan Jakarta tidak hanya berdampak terhadap persoalan administrasi dan sosial. Daya dukung lingkungan, utamanya kondisi bawah permukaan, belum menjadi perhatian utama dalam pembangunan. Ekstraksi air tanah berlebihan terus terjadi. Ditambah pembangunan terus-menerus yang mengubah peruntukan lahan berimbas pada semakin luasnya daerah wilayah banjir di wilayah DKI.
solusi bermasalah. Daripada membangun pusat pertumbuhan baru di utara Jakarta, disarankan pemerintah mengembangkan kawasan pesisir lain Indonesia, sebagai-mana visi Presiden untuk membangun dari pinggiran. Pembangunan pulau reklamasi dan tanggul laut ini akan menyebabkan pelambatan arus dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada akhirnya akan meningkatkan konsentrasi sedimen, logam berat, dan limbah organik di Teluk Jakarta. Kondisi Jakarta yang buruk saat ini disebabkan obsesi pertumbuhan tinggi selama 40 tahun terakhir yang memicu hancurnya daya dukung lingkungan, selain kesenjangan spasial kian lebar. "Indeks gini nasional 0,40, ada di ambang
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Robert Delinom, kemarin, mengatakan, kondisi yang terjadi saat ini harus diatasi dengan sejumlah hal. Paling utama adalah zonasi wilayah pembangunan, dari utara ke selatan.Wilayah utara paling tinggi laju penurunan tanahnya.Karena itu, sudah seharusnya di wilayah tersebut tidak dibangun bangunan tinggi lagi. Wilayah tengah bisa difokuskan pada area perkantoran dan bangunan tinggi. Sebab, zona ini memiliki kondisi geologi yang lebih stabil. Meski begitu, pengambilan air tanah wajib dikontrol dan setiap gedung harus memiliki sumur resapan. Adapun wilayah selatan adalah zona penyangga air tanah. Cocok untuk permukiman dengan halaman luas. Di wilayah ini fokus pada akselerasi pasokan air ke dalam akuifer. Akan tetapi, dalam realitasnya, pembangunan gedung tinggi, pengambilan air tanah terus terjadi di semua zona. Bahkan, pemerintah memberikan kelonggaran kepada perusahaan untuk menambah tinggi bangunan dengan catatan membayar selisih koefisien luas bangunan. (Kompas, 1 September 2016)
batas berbahaya bagi kesatuan bangsa," ujar Daniel Rosyid, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). (Kompas, 1 Oktober 2016)
OKTOBER
Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berencana membentuk satuan kerja Sapu Bersih (Saber) Mafia Tanah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah masyarakat. Oleh sebab itu, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil telah membentuk tim task force guna mencegah dan mengejar mafia tanah demi terciptanya kenyamanan investasi.
Simalakama Pembangunan Banjir yang melanda Jakarta pada 2007 memberi inspirasi bagi proyek pembuatan tanggul raksasa. Antara tahun 2009 dan 2012, cetak biru proyek Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) mulai dibuat. Pendekatan utama proyek ini ialah membangun 3 baris lini pertahanan laut dalam 20-30 tahun ke depan. Pada 2013, Proyek JCDS lalu diikuti Program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN) atau yang dikenal sebagai NCICD. Dalam cetak birunya, pembangunan tanggul di pesisir dan penataan sanitasi adalah bagian dari fase A atau pertama proyek ini. Adapun reklamasi 17 pulau merupakan fase B dan tanggul laut adalah fase C. Firdaus Ali, pengajar Teknik Lingkungan di Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia, mengatakan, reklamasi dan tanggul laut raksasa jadi jawaban atas masalah Jakarta. "Daya dukung ruang Jakarta amat rendah, sementara kita tak bisa ekspansi ke Bekasi atau Tangerang." ucapnya. Meski demikian, NCICD dianggap sejumlah ahli lain sebagai
26
buletin tata ruang & pertanahan
Satker Sapu Bersih Mafia Tanah Segera Dibentuk
Sofyan menargetkan bisa melakukan pecepatan sertifikasi terhadap 5 juta bidang tanah pada 2017, 7 juta bidang tanah pada 2018, dan 9 juta tanah pada 2019 sehingga pada 2025 nanti semua tanah di Indonesia bisa terdaftar dan diketahui luas serta pemilik tanahnya. Untuk merealisasikannya, Sofyan akan merekrut juru ukur swasta berlisensi sebanyak 2.500 hingga 3.000 orang pada 2017 nanti. Sofyan optimistis pengangkatan juru ukur independen berlisensi ini akan mendapat banyak peminat lantaran beberapa universitas dan perguruan tinggi seperti ITB banyak menghasilkan sarjana di bidang geodesi. “Kami akan perkenalkan juru ukur berlisensi maka target
yang ambisius bisa dikerjakan. Jadi nanti siapa saja yang memerlukan jasa juru ukur tinggal pergi ke juru ukur swasta ini, nanti akan kami buat Kantor Jasa Juru Ukur seperti misalnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)," jelas dia. (Kompas Online, 24Oktober 2016)
Energi dan Sumber Daya Mineral) menyusun peta prediksi longsor bulanan sesuai ancaman curah hujan yang akan terjadi," ujar Sutopo. Namun, sebagian besar peta itu belum jadi dasar penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah. (Kompas, 17 November 2016)
NOVEMBER
DESEMBER
Sistem Informasi Geospasial Desa Dirintis
Jokowi Desak Kementerian Agraria Percepat Penyelesaian Puluhan Juta Sertifikat Tanah
Sistem Informasi Geospasial Desa (SIGDes) dan pemetaan wilayah serta batasnya menjadi unsur dasar perencanaan pembangunan desa atau kelurahan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015, Indonesia mempunyai 74.754 desa dan 8.430 kelurahan. Penyediaan informasi geospasial menjadi tantangan berat bagi Badan Informasi Geospasial (BIG) karena banyak desa dan kelurahan harus dipetakan, serta keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Sejak 2015, BIG mendorong percepatan
Presiden RI Joko Widodo mengungkapkan, masih ada 120 juta bidang tanah yang belum bersertifikat di negeri ini. Selama 71 tahun perjalanan RI, baru 46 juta bidang tanah saja yang sudah memiliki sertifikat. Itu berarti, lebih dari 60 persen lagi dalam proses penyelesaian yang begitu lamban. Presiden pun mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang maupun Badan Pertanahan Nasional lebih gencar menyelesaikan tanah-tanah yang belum bersertifikat ini. Pemerintah tentu menyadari akan kendala yang dihadapi badan pertanahan. Namun presiden meminta para pejabatnya berpikir cerdas dalam mengatasi persoalan ini. “Tidak usah pakai PNS (bila kurang personel). Pakai uji kompetensi saja, langsung jadikan juru ukur. Kalau tidak, tidak akan selesai masalah ini. Hal seperti ini yang akan kita kejar terus dan mulai tahun depan. Dan, tahun depan saya enggak mau seperti sekarang, baginya 1.000-2.000 (sertifikat). Saya maunya baginya 20.000-40.000 ke setiap kota dan kabupaten.” kata Jokowi. (Kompas, 5 Desember 2016) Bank Data Dibangun
peta batas desa dan telah dilakukan di 222 desa di Kabupaten Temanggung, 401 desa di Kabupaten Klaten, 199 desa di Kabupaten Sragen, serta 67 desa di Boyolali. Pada 2016, BIG akan menuntaskan pemetaan 372 desa di Kabupaten Magelang. Tahun ini Jateng mengembangkan pembangunan desa melalui model Membangun Desa Berdikari. Jadi, satuan kerja perangkat daerah membangun Sistem Informasi Desa (SID) Jateng dengan membuat peta desa sesuai kebutuhan. Peta-peta tematik desa yang terkumpul di SID Jateng dipakai untuk analisis wilayah dan perencanaan pembangunan desa. (Kompas, 14 November 2016) Longsor Meningkat, Kajian Minim Terapan Kejadian longsor cenderung meningkat sepuluh tahun terakhir. Berbagai kajian mengurangi risiko longsor atau memitigasi dampak bencana sudah tersedia, tetapi implementasi kajian itu lemah di daerah-daerah. Salah satu yang utama yakni kajian tata ruang. Mitigasi bencana, struktural dan non-struktural, masih amat minim sehingga longsor terus mengancam. Padahal, kajiankajian untuk membantu mitigasi atau pengurangan risiko bencana tersedia. Contohnya, daerah rawan longsor sudah dipetakan berskala 1 : 250.000 dan dibagikan kepada seluruh pemerintah daerah. "Bahkan, PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian
Citra Satelit Resolusi Tinggi yang diperlukan kementerian dan pemerintah daerah bisa dilayani Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Citra resolusi kurang dari empat meter tersedia di Bank Data Penginderaan Jauh Nasional. Pembangunan bank data jadi prioritas lembaga itu. Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Orbita Roswintiarti, menjelaskan, citra penginderaan jauh satelit diterima stasiun bumi LAPAN di dua lokasi, yakni di Parepare (Sulawesi Selatan) dan Bogor (Jawa Barat). Untuk pemetaan skala 1 : 50.000 yang diperlukan Badan Informasi Geospasial, LAPAN memasok citra satelit Landsat dan SPOT. Data citra Landsat dan SPOT termasuk area hutan bebas awan, cakupannya lebih dari 95 persen wilayah Indonesia. Namun, LAPAN harus membeli citra resolusi amat tinggi (CSRST) sampai 60 sentimeter. Data itu tersedia untuk tahun 2012-2015 dari penyedia data, yakni Airbus DS dan Digital Globe. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat butuh CSRST untuk peta pertanahan dan jaringan irigasi, BIG untuk peta desa, Kementerian Pertanian untuk peta sawah dan perkebunan, serta pemda perlu CSRST untuk rencana detail tata ruang. (Kompas, 7 Desember 2016)
buletin tata ruang & pertanahan
27
Agenda Tata Ruang dan Pertanahan
(Januari - Juni 2017) JANUARI 1
Evaluasi Pelaksanaan Kerja Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2016
2
Penyusunan Rencana Kerja Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2017
3
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bidang tata ruang pertanahan Tahun 2018
4
Penyusunan rencana kerja Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) 2017
5
Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja Forum Komunikasi Tata Ruang
FEBRUARI 1
Pembahasan Trilateral Meeting penyusunan RKP 2018 bidang tata ruang dan pertanahan
2
Pertemuan Koordinasi Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) 2017
3
Penyusunan kegiatan Knowledge Management (KM) Tahun 2017 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
4
Penyusunan Laporan Kinerja (LKj) Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2016
5
Penyusunan Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi I Tahun 2017
MARET 1
Rapat teknis pelaksanaan kegiatan sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) 2017
2
Pengumpulan dan pengolahan bahan, data dan informasi untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas Forum Komunikasi Tata Ruang
3
Pelaksanaan kegiatan informasi dan pengetahuan melalui website www.trp.or.id dan www.tataruangpertanahan.co.id
APRIL 1
Koordinasi pelaksanaan Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN) Tahun 2017
2
Mengikuti pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas)
3
FGD kegiatan Knowledge Management Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
1
Kunjungan lapangan dalam mendukung kegiatan Sekretariat Reforma Agraria Nasional (RAN)
2
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan bidang tata ruang dan pertanahan
MEI
JUNI
28
1
Koordinasi penyusunan media sosialisasi terkait tata ruang seperti pamflet, newsletter, undang-undang
2
Penerbitan Buletin Tata Ruang Pertanahan Edisi I Tahun 2017
buletin tata ruang & pertanahan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas Jl. Taman Suropati No.2 Gedung Madiun Lt.3 Jakarta 10310 e-mail:
[email protected] website: http://www.trp.or.id