I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok
hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global, dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan non kehutanan, menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial. Sebagai akibatnya laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia antara tahun 1997-2000 mencapai 2,83 juta hektar per tahun (2,85% per tahun) dan tahun 2000-2005 turun menjadi 0,90% per tahun atau 1,08 juta hektar per tahun (Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, 2008). Sumbangan terhadap PDB hanya Rp. 35.734,10 milyar atau 0,90% dari PDB Nasional 2007 (BI, 2008). Kondisi yang sama juga terjadi di Provinsi NTB, dimana sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB NTB menurun dari Rp. 37.314,38 juta tahun 2004 menjadi Rp. 19.042,72 juta tahun 2006 (BPS NTB, 2008). Hutan di Provinsi NTB, sesuai hasil pengukuran yang telah dilaksanakan sampai dengan tahun 2007, mencapai 1.069.997.78 ha atau 53,09% dari luas daratan merupakan aset yang bernilai strategis. Namun, dalam memenuhi fungsi
ekologi dan fungsi ekonominya, hutan di Provinsi NTB menghadapi tekanan yang menyebabkan terjadinya degradasi dan kerusakan hutan (Dinas Kehutanan NTB, 2008). Deforestasi dan degradasi merupakan salah satu masalah utama yang menyebabkan kerusakan hutan di Indonesia. Secara umum, ada 4 (empat) faktor penyebabnya yaitu pembalakan legal (legal logging), konversi ke penggunaan non hutan (pertanian, perkebunan, dan transmigrasi), pembalakan ilegal dan pendudukan ilegal (illegal logging and illegal occupation) dan kebakaran hutan (forest fires) (Yakin dan Markum, 2007). Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran utama selama ini yaitu pembalakan ilegal (illegal logging) dan penyerobotan hutan (illegal occupancy) yang cenderung meningkat sehingga degradasi hutan dan deforestasi di Indonesia meningkat. Menurut Santoso et al. (2002), laju kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh (1) kebijakan pembangunan hutan tanaman melalui konversi hutan alam yang belum diikuti dengan penyiapan sumber daya yang baik telah mengakibatkan terlantarnya rencana penanaman sementara pemanfaatan konversi hutan alam melalui IPK berjalan dengan cepat dan telah memberikan kontribusi terbesar untuk terciptanya lahan kritis; (2) permintaan atau kebutuhan kayu (demand) lebih besar dibandingkan ketersediaannya (supply) dan adanya kebijakan ekspor kayu bulat mengakibatkan terbukanya pasar untuk kayu illegal logging; (3) kebakaran hutan menyebabkan hilangnya sumber daya hutan; (4) masyarakat di sekitar hutan belum menikmati hasil pembangunan hutan dan termarjinalkan akibat sebagian pola pembangunan hutan cenderung tidak mendorong peran serta masyarakat; (5) tatanan sistem pemerintahan yang semula sentralistis telah berubah menjadi
2
desentralisasi yang memberikan penekanan otonomi urusan di bidang kehutanan belum sepenuhnya diikuti dengan peraturan dan ketentuan di daerah. Hasil analisis yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan
Provinsi NTB
menunjukkan bahwa permintaan kayu NTB sebesar 200.000 M3/tahun. Disisi lain kemampuan pemenuhan kayu dari Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) dan ijin sah lainnya hanya berproduksi rata-rata 17.851,48 M3/tahun dan kayu masuk dari luar daerah hanya mampu memasok rata-rata 25.485,79 M3/tahun sebagaimana Tabel 1 (Dinas Kehutanan NTB, 2008). Hal ini mendorong pemenuhan kebutuhan kayu dilakukan melalui sumber-sumber illegal seperti penebangan liar, tanpa memperhatikan aspek sustainability, kemampuan daya dukung dan kelestarian lingkungan hidup. Kasus gangguan keamanan hutan di Provinisi NTB menunjukkan bahwa tekanan terhadap hutan dan hasil hutan masih tinggi. Data gangguan keamanan hutan menunjukkan tahun 2004 tercatat 125 kasus; tahun 2005 terjadi 224 kasus; tahun 2006 terjadi 127 kasus; dan tahun 2007 terjadi 105 kasus. Tingginya gangguan keamanan hutan memberikan indikasi bahwa masyarakat di sekitar hutan belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan
hutan
dan
bahkan
termarjinalkan
akibat
sebagian
pola
pembangunan hutan cenderung tidak mendorong peran serta dan tertutupnya akses masyarakat (Chomitz, et al. 2007). Selain itu faktor kemiskinan telah mendorong proses pemanfaatan masyarakat oleh intelektual illegal logger. Di Provinsi NTB terdapat 1.126.674 orang atau 26,46 persen dari jumlah penduduk tergolong miskin, dan sekitar 400.000 orang atau 40 persen hidup di dalam dan sekitar hutan yang mempunyai ketergantungan pendapatan secara langsung dari sumber daya hutan (Tempointeraktif, 2008).
3
Tabel 1. Supply Kayu Provinsi NTB Tahun 2004-2007 (dalam m3) Asal kayu 2004 2005 2006 2007 Produksi HPH, 5.611,34 4.316,31 33.119,06 28.359,19 IPK, IPKTM Kayu Masuk Luar 33.451,85 26.699,32 25.428,68 16.363,32 Daerah Jumlah 41.067,19 33.020,63 60.553,74 46.729,51 Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB Tahun 2007
Jumlah
Rata-Rata
71.405,90
17.851,48
101.943,17
25.485,79
173.349,07
43.337,27
Lahan kritis dan hutan produksi yang tidak produktif yang tersebar di NTB tahun 2007 mencapai 234.146,39 ha, yang terdiri dari sangat kritis 20.311,07 ha, 44.565,95 ha kritis dan 169.269,37 ha potensial kritis seperti Gambar 1 (Dinas Kehutanan NTB, 2008). Dampak lain dari kerusakan hutan dan lahan di Provinsi NTB adalah menyusutnya mata air dari 702 titik mata air menjadi tersisa 180 titik (Tempointeraktif, 2008). Hal ini menimbulkan defisit air di pulau Lombok sebesar -1.178 mcm (BAPPEDA NTB, 2007). Luasnya lahan kritis dan urgensi pengendalian dampak yang ditimbulkan, merupakan peluang positif untuk membangun dan mempercepat pembangunan hutan tanaman. Pembangunan hutan tanaman diharapkan secara bertahap akan mengubah lahan kritis menjadi produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui penyerapan tenaga secara langsung (Rizaldi, et al., 2003; Lutoifi, 2007). 500,000.00
468,203.13
450,000.00 395,694.56
400,000.00 350,000.00 300,000.00 250,000.00 200,000.00
181,225.17
169,269.37
153,568.72
150,000.00 94,617.20
100,000.00 50,000.00
52,727.79
44,565.95 20,311.07
21,745.56
Sangat Kritis
Kritis
A gak Kritis
P o tensial Kritis
Tidak Kritis
Sangat Kritis
Dalam Kawasan Hutan
Kritis
A gak Kritis
P o tensial Kritis
Luar Kawasan Hutan
Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB Tahun 2007
Gambar 1. Luas Lahan Kritis di Prov. NTB
4
Tidak Kritis
Berdasarkan data penanganan lahan kritis dan kegiatan pembangunan hutan tanaman di Provinsi NTB sampai dengan tahun 2007 menunjukkan bahwa luas lahan yang mampu direhabilitasi baru mencapai 71.672,02 Ha atau 30,6% dari total luas lahan kritis sebagaimana Tabel 2 (Dinas Kehutanan NTB, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa program penanggulangan lahan kritis dan rehabilitasi hutan dan lahan berjalan lamban serta belum mampu menjawab berbagai tantangan dan tekanan dalam pembangunan kehutanan. Meskipun sudah memenuhi target rehabilitasi hutan dan lahan yang telah ditetapkan dalam Master Plan-Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi NTB 2002-2007 sebesar 15.00017.000 Ha per tahun.
Tabel 2. Realisasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Prov.NTB 2004-2007 (dalam Ha) Program 2004 2005 2006 Reboisasi 9.450,00 12.864,22 12.754,80 Rehabilitasi (HR) 5.300,00 9.066,00 7.912,00 Rehabilitasi Mangrove 550,00 900,00 Jumlah 15.300,00 21.930,22 21.566,80 Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB Tahun 2007
2007 6.950,00 5.375,00 550,00 12.875.00
Jumlah 42.019,02 27.653,00 2.000,00 71.672,02
Namun, usaha untuk menghutankan kembali areal-areal tidak berhutan terkendala oleh fakta di lapangan, dimana besarnya nilai ekonomi hasil hutan bagi masyarakat belum mampu bersaing dengan komoditi non kehutanan dan pertanian. Chomitz, et al. (2007) menyebutkan bahwa pertanian merupakan penggunaan lahan yang lebih menguntungkan dan menarik dibanding pengelolaan hutan
secara
berkesinambungan
atas
kayu
dan
hasil
hutan
lainnya.
Ketidaktertarikan masyarakat terhadap komoditi kehutanan selain faktor lamanya waktu tunggu untuk memperoleh hasil, juga disebabkan oleh tidak adanya insentif dari kebijakan pemerintah, untuk menarik masyarakat melakukan pembangunan
5
hutan tanaman atau hutan rakyat. Kebijakan perizinan dan pemasaran hasil produksi dirasakan sangat diskrimanatif dibandingkan dengan komoditas non kehutanan. Implementasi kebijakan fiskal yang menyamakan antara hasil hutan dari hutan negara dengan hutan rakyat, juga sangat memberatkan masyarakat. Keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan belum sebanding dengan laju deforestasi dan degradasi. Gambar 2 menunjukkan bahwa laju deforestasi dan degradasi untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara mencapai rata-rata 71.960 ha/tahun atau 0,98% per tahun. Laju deforestasi dan degradasi tersebut lebih kecil dari pulau Sumatera (2% per tahun), pulau Sulawesi (1% per tahun), dan pulau Kalimantan (0,94%) per tahun namun lebih besar dibandingkan pulau Jawa (0,42% per tahun) dan Papua (0,7% per tahun) (Departemen Kehutanan RI, 2005).
Sumber : Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2008)
Gambar 2. Deforestasi dan Degradasi Berdasarkan Pulau Tahun 2000-2005
Lambannya rehabilitasi hutan dan lahan selama ini sangat terkait dengan keterbatasan pemerintah. Program-program rehabilitasi hutan dan lahan selama ini dilakukan kalau ada proyek-proyek yang melibatkan berbagai aktor dan kepentingannya, dengan anggaran yang cukup besar (Martin, 2006). Faktor lain
6
adalah lemahnya teknologi (Zainal 2006), penggunaan benih berkualitas, penentuan lokasi dan penanaman asal-asalan (Martin, 2006). Lebih lanjut Pratiwi (2000a) menyatakan bahwa untuk mempercepat pembangunan hutan tanaman, aspek pemilihan jenis perlu mendapat prioritas. Pemilihan jenis-jenis yang sesuai dengan kondisi tapak penanaman melalui penggunaan jenis lokal (indigenous species), sangat menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat setempat. Penggunaan jenis-jenis indigenous species, selain sebagai upaya konservasi jenis lokal, juga meningkatkan partisipasi masyarakat (Blay, et al., 2008). Tanaman Unggulan Lokal (TUL) sebagai jenis-jenis tanaman asli atau eksotik, sangat disukai oleh masyarakat dan mempunyai keunggulan tertentu seperti produk kayu, buah, getah dan produknya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Keterlibatan dan animo masyarakat terhadap tanaman unggulan lokal, diharapkan dapat mempercepat upaya rehabilitasi lahan dan hutan di NTB dan mengatasi sebagian faktor-faktor yang menyebabkan lambannya program rehabilitasi hutan dan lahan seperti keterbatasan anggaran dan penanaman asalasalan. Dengan demikian, upaya rehabilitasi lahan dan hutan
di NTB untuk
mengatasi laju kerusakan hutan dan pemenuhan kebutuhan kayu mendukung revitalisasi industri kehutanan yang masih timpang serta dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
dapat
dilaksanakan.
Selain
itu,
beragamnya
keanekaragaman hayati lokal NTB yang dapat dimanfaatkan menjadi peluang untuk mengembangkan dan melestarikan jenis tanaman lokal. Sehubungan dengan uraian di atas, untuk menjamin keberlanjutan fungsi hutan, mempercepat program rehabilitasi hutan dan lahan serta mendukung target pembangunan hutan tanaman
7
nasional seluas 5 juta ha dengan potensi 100 m3/tahun (Dephut RI, 2006), perlu dilakukan kajian Strategi Pengembangan Hutan Tanaman Unggulan Lokal Di Provinsi NTB.
1.2
Rumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam pengembangan dan
pembangunan hutan tanaman di Provinsi NTB adalah : a. Jenis-jenis tanaman hutan unggulan lokal apa saja yang perlu dikembangkan di Provinsi NTB ? b. Faktor-faktor strategis apa yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan hutan tanaman unggulan lokal di Provinsi NTB ? c. Pilihan strategi apa yang menentukan untuk terus dikembangkan ? d. Prioritas strategi apa yang digunakan, aktor pelaksana dan tujuan pengembangan hutan tanaman unggulan lokal di Provinsi NTB ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian
ini bertujuan untuk : a. Menganalisa dan menentukan jenis tanaman hutan unggulan lokal yang akan dikembangkan di Provinsi NTB b. Menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan hutan tanaman unggulan lokal di Provinsi NTB c. Mengembangkan dan menganalisa strategi-strategi dalam pengembangan hutan tanaman unggulan lokal di Provinsi NTB
8
d. Menentukan strategi prioritas, aktor/pelaku dan tujuan masing-masing aktor yang direkomendasikan untuk dilaksanakan.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan memberi manfaat kepada :
a. Pemerintah provinsi NTB khususnya Dinas Kehutanan Provinsi NTB untuk menentukan jenis dan merumuskan strategi pengembangan dan pembangunan hutan tanaman unggulan lokal dalam rangka pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Bagi penulis, sebagai aplikasi pengetahuan manajemen strategik dan manajemen kehutanan serta menambah wawasan berpikir dalam menganalisa permasalahan pembangunan hutan dan kehutanan serta sumber informasi bagi peneliti selanjutnya.
9
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB