:A-tecfia . KOM <:. ---:_----:---:._ _ =---J ~ . - ---1 uNl ~1O
'Ta n .'
•
OLEH HAN GAGAS
Aku lahir di tengah keluarga yang berbeda. Bapakku tunawicara, ibuku suwung kalau jadl begitu menakutkan. Marno, kakak pertama, suka sehariiln. Kalau dilarang berendam, paling tidak ia mandi empat kali I 8, 11, 2, dan 4. sehari, akak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri. tak mau memandang jika diajak bicara. la hanya mau denganku bila aku menanyakan sedang apa ia dengan bulpennya itu. la enang mencoret-coret bukunya mirip gambar. mirip angka, miript1i1isan, atau tak mirip apa pun. Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya itu matanya selalu lapar setiap melihat letaki muda Jika ada lelaki bertamu, ia egera bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang Ialu mengterakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. la pendiam tapi jangan sedang marah, duniajadi Semua barang dilempar, didipecahkan, ditumpahkan. dicak.....cakar, mengamuk. Lalu MINk clan aku dibantu tetangga menangkap kedua tangan dan kakinya untuk menenangkan. Butuh paling tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai dia tenang kembali. Namaku Redi. Kata ibu, ketika aku Jahir terdengar ledakan gunung meletus Ialu turun dengan derasnya hujan abu. Segala daun dan pohon, tegalan, rumah, kali, semuanya kelabu. Karena itu aku diberi nama Redi Kelud, Gunung Kelud, artinya Nama yang tak lazim sebab umumnya bayi perempuan diberi nama yang indah seperti: Dewi, Astrid, atau Seruni, begituJah kira-kira. Namun aku tak berkecil hati, dengan nama itu aku merasa kuat. KlIat seperti
gunung.
v
Suatu saat ada tamu datang menawarkan pengasuhan pada kami. Kami semua? Tentu tidak, kata Si Mas tamu. Katanya, anggaran lembaga sangat terbatas jadi baru satu yang bisa ditampung. Baru satu, nanti yang lain bisa menyusuJ? Ya, nanti kita lihat situasi keuangan dulu. Kita lihat situasi, bukankah itu tidak pasti. Sahutku ebagai juru bicara keluarga ini. Walau aku terkecil, aku yang selalu maju berhadapan dengan tamu karena yang lain pasti tak nyambung, diam mematung, ngompol, marah, atau ketakutan di kamar mandi, berendarn. • Si Mas tamu diam, namun kulihat sorot rnatanya berubah. . n Jangan kau berpikir buruk dan jahat!" tegasku. Dia kaget, "Apakah kau bi a membaca pikiranku?" "Tentu tidak! Aku cuma ingin berkata itu saja!" "Tapi kenapa kau bisa mengatakan hal itu?" "Aku tak tahu, yang kutahu tatapan mata Mas tiba-tiba seperti ilet." "Kau anak yang cerdas sekaligu mendapat anugerah luar biasa" "Apa maksudmu dengan berkata demiki·an.I" "Aku tak bennaksud yangbukan-bukan. Aku merasa tentuJah karena keeerdasan dan kebaikan hatimu. kall bi-a menentukan mana yang't rbaik bagi keluargarnu. Kau bisa memilih salah satu keluargamu yang kau titipkan untuk kami rawat dan embuhkan." "Kami tak perlu bantuan dun kami
J
Ga[en ( a ionu{ 11Iaolle ia
rr.(021) 3.18 39.j rf. (021) W n O 1 'r~n(tC().{]afi.'f1· 1ILlsiolla/,vr.lt{
1'If/(1Ir.· IJ(l/11
._ 1., ~I) ll1d
l \tTt
II t't.ld
•
tidak sakit, toh elama ini. k.ami berkecukupan. Bapak beketja di ladan Ibu betemak. Aku menjual h ilnya ke pasar." "Bukan b gitu. Memang emuanya baik-baik aja Tapi bagaimana den an kakak-kakaklllU? B ejak dulu hlngga ekarang mereka hidup begitu-begitu aja." "Kau datan eolah-olah paling tahu yang baik buat kami! Aku tak mengerti pikiranmu, yang aku tahu kami enang karena kami ber ama" "Bagaimana kau bisa berkata eperti itu? Kau baru berumur 10 tahun." "Aku uka membaca," jawab Recti ekenanya "Apa yang kau baca?" "Hanya koran-koran lusuh, itu pun bau pe ing Kakak Astrid dan i inya hanyalah kabar kejahatan. Sungguh menyebalkan!" "Lalu dari mana kau bi a berkata d emiki·an.7' "Aku keceplosan." Recti mengangkat bahu. Si Mas itu tak tahu bahwa Recti memiliki ayap di kedua bahunya iapa pun tak ada yang tahu kecuali keluarganya. Awalnya seperti daging kecil di bahu, lama kelamaan eiring tubuh Redi yang membesar daging itu juga tumbuh, dan ekarang mirip sayap waJau hanya epanjang teJapak tangan Redi Sayap itu elalu tertutupi baju. Kalaupun ada orang lain yang tahu, tak bakal mengira bahwa itu sayap. Orang pasti berpikir, Redi cacat karena keluarganya juga cacat Mungkin dikira
~edi'a
• •
'Tangga[ J{afaman
• •
• •
punya empat tangan. Tapi yang jelas b rkat ayap itu Redj jadi cerdas. ,. pakah itu artinya kau menolak tawaran kami?" "Ya, tentu . Tidak ada alasan kami menerimanya, kan? Kecuali, jika kami emua kalian tampung, itu masuk akal." "Tapi kami tak ada anggaran untuk itu. Kamijuga harus menampung orang lain." "0, ya aku mengerti." Lalu i Mas itu parnit dengan kepala yang berat
• •• Redi berlari ke lorong terang ketika emua tengah tertidur. Si Mas tamu meninggalkan tujuh nasi bungkus dan kekenyangan membuat semua keluarganya pulas. la duduk di bongkahan batu hltam lalu melepaskan bajunya Mengelu dua di bahunya yang berwama abu-abu, mirip abu Kelud yang meletu 10 tahun lalu. Kedua ayap itu ia gorok dengan belati kecil. •Aku tak uka ini. Aku tak mau ada cti tubuhku. Aku bukan burung!" "Jangan kau lakukan itu, teman." Muncul seorang lelaki cebol berkuping panjang dan bentuk mulutnya tegak vertikal. Matanya juling, dengan alis tebal yang terangkat ''Kenapa? B ini , aku bisa melakukan apa pun pada milikku." "Tentu kau punya hak. Tapi untuk
tfitedia rJan a[ J{afaman
•
apa?" " udah aku bilang, aku manu ia, bukan burung!" Se era ia potong dlla ayapnya itu dengan belati. Darah merembe dari bahunya Menete, menete lagi tak berhenti-henti, mengalir, teru mengalir hingga meluber di lantai. "Kau hanya mengotori lantaiku aja!" , anti aku ber ihkan!" "Kau memang elalu buat masalah! Lihat, celanaku jadi basah. umbat darah di bahumu itu. Pasang kembali dua sayapmu!" "Jangan kau u ik aku dengan erapahmu yang tak berguna itu. Biarkan aku mere api apa yang kurasakan. Aku udah lama mengharapkan hal ini." Redi memandang dua ayapnya yang telah hanyut bersama darah itu. "Lihat, darahku mengalir keluar dari lorongmu ini. Jadi aku tak perlu member ihkan lantaimu!" Tubuh Redi jadi tak biasa, rasanya demikian aneh. Kepalanya pening.
••• Orang-orang cemas. Hujan deras ejak kemarin mencapai batas ambang waduk. Hanya tinggal menghltung waktu banjir egera datang. Orang-orang berlarian menyelamatkan barta benda Seorang tetangga bergegas ke rumah Redi. "Cepat pergi, kota akan segera tenggelam. Waduk telah meluap." "Karni menunggu Redi. B
•
•
• •
•
•
kau tahu, ia ejak emalam tak pulang. Kau juga me tinya tahu bahwa kami elalu - ama, kemana pun pergi dan tak pergi kami elalu berama- ama Pasti anak itu edang mengunjungi temannya yang gila itu. ejak dulu aku bilang, Si Cebol itu gila Gila karena emua keluarganya mati dilempar ke Kali Brantas waktu huru-hara tahun 65 dulu. Si gila itu malah dianggapnya wali. Wali tengik! Tidak pemah di pesantren, tidak pemah naik haji. Tak mungkin bi ajadi wali," terang ibu Redi. "Ya sudah, kok jadi ngelantur. Yang penting aku sudah memperingatkan. Karni mau ke atas gunung." "Jangan ke Kelud!" "Kenapa?" "Berbahaya" "Aku tak percaya Kau hanya berseloroh!" Perempuan itu lalu menggerutu. Terlintas di pikirannya untuk pergi tapi b selama ini mereka bisa bertahan daJam kebersamaan. Tiba-tiba datang mobil Si Mas, "Ayo cepat! Karni tinggal mengangkut kalian, emua telah mengungsi. ' Ibu Redi mengumpat-umpat tak karuan. Tangannya mengusir pergi lalu memaki-maki sekenanya. Berteriak-teriak, rambutnya ia jambak, lalu terduduk dengan kaki ia tendangkan pada apa aja la mengamuk jika ada perang dalam pikirannya Tak lama kemudian Redi datang ber ama Si Cebol. Darah masih me-
Karya Eko Nugroho •
~edia
•
•
• ( angga • J{a a:"':m ;- a-n- -:- - - - - - - -
•
nete dari bahunya Bau anyir eketika menusuk hidun namun er ntak hilang karena tubuh Si CeOOI tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Wangi dan legi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mulai m ngitari Si CeOOJ. "Kenapa kalian tak pergi?" tanya i CeboJ. "J
Untuk kali pel'tama, Redi melihat " CeOOI menitikkan air mata. Ibunya dilanda ke taku tan. la tercenung, laJu mulutnya menyedot udara, dua ayapnya tertarik laJu segera ia pasang. Darah tak lagi menetes warna merah di kejauhan teJah tergul~g oleh coklatnya air bah dari waduk. Si Cebol perlahan-Iahan naik laJu jempolnya ia tiup. Tiba-tiba, perJahan namun pasti, jempol itu menggeJem?ung, membesar. Tangarmya memanJang dan menjadi raksasa LaJu dengan cekatan ia membuat gorong-gorong ke utara, ke arah lereng Gunung Kelud. Sebenarnya ia tahu gunung itu telah gundul, dan itu artinya tak semua air bisa dibelokkan tapi memang tak ada pilihan lain. Matanya takjeli, para penduduk ada di sana ...
••• Banjir telah redam dengan kematian ratusan jiwa. Orang-orang telah pergi eperti ribuan batang pohon-pohon hutan yang digotong ratu an truk. Redi ber edih telah kehilangan emua tetangganya la elaJu teringat pada mereka yang telah berbuat baik pad a keluarganya. la terbang ke lorong terang hendak mengaduh pada i Ce-
001. Solo, 4 Maret 2010 •