SURVEY PARTISIPASI PEMILIH (VOTER TURNOUT) KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 2015 Oleh Akhmad Satori, S.IP., M.Si, Edi Kusmayadi, M.Si, Taufik Nurohman, S.IP
Abstrak Studi ini bermaksud melihat tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum khususnya turn of voter dalam pemilu di Kabupaten Tasikmalaya. Pertanyaan penelitian ini meliputi yaitu (1) Kenapa angka Partisipasi pemilu legislatif turun dibanding pemilu sebelumnya ?, (2) kenapa angka partisipasi Pilpres menympang dari pola Pemilu sebelumnya? Penelitian menggunakan metoda kuantitatif Survey, Ciri khas penelitian ini adalah data dikumpulkan dari responden yang banyak jumlahnya dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini menghasilkan temuan: (1) Tingkat partisipasi pemilih dilihat dari kehadiran dan ketidakhadiran pada pemilu legislatif di Kabupaten Tasikmalaya tidak banyak mengalami perubahan. (2) Terjadi pola yang berbeda dalam hal tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif dengan pemilihan presiden/wakil presiden. (3) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya golput yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Temuan penelitian menjelaskan bahwa faktor ekternal disebabkan karena faktor teknis dan administratif, sedangkan faktor internal meliputi berbagai pertimbangan dari diri pemilih baik itu pertimbangan ideologis, sosiologis maupun rasionalitas (ekonomi politik). Kata Kunci : voter turnout, golput, ideologis, rasionalitas, sosiologis
Abstract The study is intended to look at the level of public political participation in elections in particular turn of voters in the election in the district of Tasikmalaya. The research questions include: (1) Why legislative elections Participation numbers down compared to the previous elections?, (2) why the participation rate of the pattern Pilpres menympang previous elections? Survey research using quantitative methods, this study is the hallmark of the data collected from respondents in number by using a questionnaire. This research resulted in the findings: (1) The level of turnout seen in the presence and absence of legislative elections in Tasikmalaya district has not changed much. (2) There was a different pattern in terms of voter turnout in legislative elections with the election of the President / Vice President. (3) Factors that cause abstentions ie external factors and internal factors. The findings of the study explained that external factors due to technical and administrative factors, while internal factors include a variety of considerations of self voters either ideological considerations, sociological and rationality (political economy). Keywords: voter turnout, abstention, ideological, rationality, sociological
A. Pendahuluan Studi ini bermaksud melihat tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum khususnya turn of voter dalam pemilu di Kabupaten
Tasikmalaya. Partisipasi politik penting untuk diteliti mengingat keberhasilan dari sebuah pemilihan dapat dilihat dari tingkat pasrtisipasi masyarakat, hal ini berangkat dari asumsi bahwa partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam sebuah negara modern, berkaitan dengan demokrasi partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Dalam suatu Pemilu, partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi masyarakat kepada pasangan calon yang terpilih. Setiap masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu. Bisa dikatakan bahwa masa depan pejabat publik yang terpilih dalam suatu Pemilu tergantung pada preferensi masyarakat sebagai pemilih. Tidak hanya itu, partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu dapat dipandang sebagai kontrol masyarakat terhadap suatu pemerintahan. Kontrol yang diberikan beragam tergantung dengan tingkat partisipasi politik masing-masing. Namun apa yang terjadi di lapangan khususnya pada pemilu yang dilaksanakan di Indonesia, partisipasi pemilih mengalami pergerakan yang fluktuatif. Artinya, partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu selanjutnya tidak dalam posisi yang selalu bergerak naik namun sebaliknya tingkat partisipasi pemilih dari pemilu 1999 sampai 2009 mengalami penurunan. Secara nasional tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu legislatif 1999 adalah 93 %, sedangkan Pemilu 2004 tingkat partisipasinya sebesar 84 %. Artinya dari pemilu 1999 ke pemilu 2004 mengalami penurunan tingkat partisipasi sebesar 9 %. Sementara itu tingkat partisipasi pada pemilu 2009 adalah 71 % yang artinya mengalami penurunan sebesar 13 %. Namun, tingkat partisipasi pemilih mengalami kenaikan pada pemilu 2014 sebesar 4% karena tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2014 tercatat sebesar 75 %. Secara teoritis, banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi dalam politik khususnya dalam pemilihan umum. Dalam teori pilihan rasional misalnya, yang memandang bahwa individu pemilih bukan merupakan pribadi yang terdeterminasi dalam menentukan pilihannya menjelaskan bahwa arah pilihan dari individu pemilih dalam menentukan pilihannya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya. Teori ini memandang individu pemilih sebagai seseorang yang secara sukarela atau bebas menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan yang menguntungkan dirinya. Dari berbagai pilihan baik partai politik maupun calon kandidat pemimpim dalam sebuah pemilihan, seseorang menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan rasional tersebut. Point utama dalam teori pilihan rasional adalah bahwa faktor utama yang mendorong seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial. Dengan demikian, partisipasi politik lebih berdasarkan pada perhitungan untung-rugi yang kemungkinan akan diperoleh pemilih. Berbeda dengan penjelasan yang dijelaskan oleh teori pilihan rasional, teori struktur sosial memandang bahwa motivasi yang mendorong seseorang menentukan berpartisipasi dikarenakan faktor-faktor yang berada di luar individu. Artinya individu pemilih terdeterminasi oleh faktor sosial terkonstruksi yang mendorong pemilih untuk menentukan pilihannya dalam pemilu. Faktor-faktor
tersebut diantaranya adalah kepercayaan, afiliasi kelompok sosial, dan identitas sosial. Studi yang pernah dilakukan oleh Tia Subekti (2014) yang mengkaji partisipasi politik dalam Pemilukada di Kabupaten Magetan pada tahun 2013 menjelaskan bahwa secara garis besar ada dua hal yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat yaitu pengaruh lembaga sosial dan rasionalitas masyarakat. Adapun lembaga sosial lembaga sosial yang turut berperan dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat tersebut antara lain adalah KPUD, Partai Politik, Media Massa, dan Ormas. Adapun rasionalitas masyarakat terkait dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk individu memiliki tingkat rasionalitas yang sangat tinggi. Sifat dasar dari makhluk rasional adalah kalkulasi untung rugi yang menjadi dasar setiap tindakannya. Hubungannya dengan Pemilu, rasionalitas masyarakat muncul ketika mereka berpikir keuntungan apa yang akan mereka dapatkan ketika mereka menggunakan hak pilihnya. Padahal disisi lain mereka sudah jelas mengeluarkan ongkos dalam Pemilu. Ongkos dalam hal ini sudah pasti tenaga dan waktu, bahkan bisa jadi uang. Misalnya untuk transportasi menuju TPS. Masyarakat mulai berfikir apakah barang yang mereka dapatkan nantinya sebanding dengan ongkos yang mereka keluarkan. Hasil Pemilu merupakan sebuah barang ketika hasil tersebut telah berubah menjadi sebuah keputusan yang telah ditetapkan oleh KPU. Namun dalam hal ini apakah barang hasil Pemilu tersebut telah memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Bagi masyarakat keuntungan hanya didapat oleh calon yang terpilih, sedangkan dampak langsung bagi mereka tidak mereka dapatkan. Kajian teoritik diatas secara garis besar menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang pemilih memutuskan untuk mendatangi tempat pemungutan suara dan kemudian menentukan pilihan terhadap pilihan-pilihan kandidat dan partai politik yang ditawarkan. Dengan demikian, studi ini kemudian akan menggunakan teori-teori tersebut sebagai framework untuk mengetahui alasan-alasan dibalik keputusan yang diambil oleh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya untuk berpartisipasi dalam setiap pemilu. Adapun masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu (1) Kenapa angka Partisipasi pemilu legislatif turun dibanding pemilu sebelumnya ?, (2) kenapa angka partisipasi Pilpres menympang dari pola Pemilu sebelumnya?, (3) kenapa golput tetap hadir?, (4) apa saja faktor-faktor penyebab Golput?
B. Partisipasi Pemilih (Voter Turnout) Partisipasi pemilih (voter turnout) yang dimaksud adalah prosentase pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya. Suara tidak sah tetap dihitung sebagai partisipasi pemilih—pemilih menggunakan hak suaranya meski suaranya tidak sah. Perhitungan diperoleh dari jumlah pemilih yang menggunakan haknya dibagi dengan jumlah pemilih terdaftar. Bentuk partisipasi politik yang paling mudah diukur intensitasnya adalah persentase orang yang menggunakan hak pilih pada saat pemilu (voter turnout)
dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih. Persoalan yang ada saat ini adalah jika dihitung secara rata-rata partisipasi pemilih di Indonesia terus mengalami penurunan konsisten sebesar sepuluh persen dari tiga periode pemilu sejak pemilihan umum demokratis pertama kali diselenggarakan di Indonesia pascaruntuhnya rezim Orde Baru. C. Golput Dan Faktor Yang Mempengaruhinya Golput dalam terminologi ilmu politik seringkali disebut dengan nonvoter. Terminologi ini menunjukkan besaran angka yang dihasilkan dari event pemilu di luar voter turnout. Louis Desipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout (2007) mengkategorikan Non–Voter tersebut menjadi tiga ketegori yakni ; (a) Registered Not Voted ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih, (b) Citizen not Registered ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih dan (c) Non Citizen ; mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih. Arbi Sanit (1992) mengidentifikasi bahwa golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak parpol dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. (Kusmayadi, 2015) Secara teoritis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori mengenai perilaku pemilih (voter behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada sebabsebab dari individu pemilih. (Kusmayadi, 2015) Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak; Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan; Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih. Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar kecilnya partisipasi pemilih tidak diterangkan dari sudut pemilih, tetapi dari struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum dipakai oleh pengamat atau ahli. Pertama, sistem pendaftaran (registrasi) pemilih.
Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam pemilihan. (http://en.wikipedia.org/wiki/Voter_turnout.) D. Metode Penelitian Metode merupakan cara atau alat untuk mencapai suatu tujuan. Pada penelitian ini akan digunakan metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survai untuk maksud penjelasan (explanatory atau confirmatory). Ciri khas penelitian ini adalah data dikumpulkan dari responden yang banyak jumlahnya dengan menggunakan kuesioner. Salah satu keuntungan utama dari penelitian ini adalah mungkinnya pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar.
E. Pemahaman Masyarakat Mengenai Pemilu Survei ini diawali dengan mencari pemahaman dan presepsi masyarakat kabupaten tasikmalaya mengenai seberapa penting pemilihan umum diadakan. Pertanyaan pertama yang disampaikan adalah keterkaita antara pemilu dengan demokrasi. Dengan melakukan analisa lebih jauh terhadap tingkat pemahaman pemilih Kabupaten Tasikmalaya terhadap konsep demokrasi, diketahui bahwa dengan mengklaim “pernah mendengar istilah demokrasi”, tidak mengindikasikan bahwa semua pemilih Kabupaten Tasikmalaya tersebut memiliki pemahaman yang baik mengenai konsep demokrasi itu sendiri. Dari (68,4 %) pemilih Kabupaten Tasikmalaya yang mengklaim pernah mendengar istilah demokrasi, sebagian besar pemilih Kabupaten Tasikmalaya dapat menjelaskan konsep demokrasi (dengan berbagai opini menurut cara pandang masing-masing terhadap demokrasi itu sendiri) seperti misalnya: demokrasi sebagai kebebasan dari rakyat (bebas memilih, bebas mengeluarkan pendapat), segala peraturan/kebijakan/program pemerintah harus berasaskan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika kita lihat lebih jauh terhadap tingkat skala kepentingan yang diberikan oleh pemilih, dapat diketahui bahwa pemilih memberikan tingkat kepentingan yang paling kuat terhadap pemilihan Gubernur dan Bupati. Dari total pemilih yang punya persepsi positif terhadap pentingnya diadakan pemilihan Gubernur dan Bupati, lebih dari 85 % pemilih diantaranya menganggap bahwa pemilihan Gubernur dan Bupati sangat penting untuk diadakan. Analisis yang diperoleh dari data diatas skala kepentingan pemilihan kepemimpinan lokal lebih kuat di bandingkan dengan pemilihan Legislatif maupun pilpres sekalipun, pemilih memberikan perhatian lebih pada suksesi kepemimpinan di daerah, di anggap wajar karena kemungkinan terbesara alasanya ialah pemilihan Gubernur dan Bupati bisa secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka.
Salah satu perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yaitu diberikan pengakuan kepada rakyat untuk berperan serta secara aktif dalam menentukan wujud penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sarana yang diberikan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut yaitu diantaranya dilakukan melalui kegiatan pemilihan umum. Kegiatan pemilihan umum (general election) juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, mem perlambat penyelenggaraan pemilihan umum tanpa per setujuan para wakil rakyat, ataupun tidak melakukan apa-apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya. Pada hasil penelitian di Kabupaten Tasikmalaya, beberapa pemilih keikutsertaannya pada Pemilu/Pemilukada didorong oleh adanya persepsi bahwa mengikuti Pemilu/Pemilukada adalah suatu hak atau kewajiban dari warga negara. Pada sub bab berikutnya mengenai tingkat keinginan pemilih untuk mengikuti Pemilihan Umum, kita akan melihat bahwa terdapat dua alasan terbesar yang mendorong pemilih untuk mengikuti Pemilu, salah satunya adalah alasan yang terkait dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia (Grafik 4.8). Menurut Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), dalam konteks pelaksanaan tahapan pemilu, keterbukaan informasi menjadi sebuah hal penting diperhatikan oleh seluruh lembaga yang berkaitan dengan pemilihan umum, baik penyelenggara, parpol hingga masyarakat sebagai elemen utama keberhasilan pemilihan umum tersebut berlangsung. Keterbukaan Informasi di dalam pemilu menjadi salah satu dari sekian banyak indikator penyelenggaraan pemilu yang jujur dan demokratis, serta merupakan hak asasi manusia, yaitu hak untuk tahu (right to know). Hasil Survey menunjukan paling tidak ada tiga jenis informasi utama tentang Pemilu yang paling banyak dibutuhkan oleh pemilih Kabupaten Tasikmalaya adalah informasi mengenai (i) visi misinya Partai atau calon anggota DPR/DPRD dan, (ii) nama-nama calon legislatif, dan (iii) Jumlah dan nama Parpol. Tanggal Pelaksanaan pemilu hanya (1,85 %) yang menganggap penting, dikaitkan dengan pentingnya pemilu hal ini menunjukan bahwa pemilih sudah mempunyai pengetahuan tentang tekhnis pemilu, selain sosialisasi yang disampaikanKPU/KPUD dianggap berhasil. Namun ada pula pemilih yang tidak membutuhkan informasi apapun tentang Pemilu yaitu sebanyak (1.85%). Kelompok pemilih yang menyatakan bahwa mereka tidak membutuhkan informasi apapun tentang Pemilu bisa berkemungkinan dua hal, yaitu pemilih tersebut sudah cukup memiliki banyak informasi tentang Pemilu atau mereka memang tidak berkeinginan untuk mendapatkan informasi apapun mengenai Pemilu (walaupun pada kenyataannya mereka tidak memiliki cukup informasi).
F. Partisipasi Pemilih (Voter Turnout) Pada Pemilu Partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari proses demokratisasi. Keinginan ini menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam proses pembangunan politik bagi negara-negara berkembang seperti di indonesia, karena di dalamnya ada hak dan kewajiban masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya adalah berlangsung dimana proses pemilihan kepala negara sampai dengan pemilihan walikota dan bupati dilakukan secara langsung. Partisipasi pemilih bisa dilukur dari tinggi rendahnya tingkat kehadir lian dan ketidakhadiran pemilih ke TPS. Survei ini, data yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi pemilih (voter turnout) kabupaten tasikmalaya tahun 2015, diambil dari pelaksanaan 4 pemilu yang telah diadakan, yaitu pemilu legislatif 2009, pilpres 2009, pemilu legislatif 2014 dan terakhir pemilu presiden langsung tahun 2014. Partisipasi pemilih (voter turnout) yang dimaksud adalah prosentase pemilih terdaftar yang hadi dan datang menggunakan hak pilihnya. Suara tidak sah tetap dihitung sebagai partisipasi pemilih—pemilih menggunakan hak suaranya meski suaranya tidak sah. Perhitungan diperoleh dari jumlah pemilih yang menggunakan haknya dibagi dengan jumlah pemilih terdaftar. Pemilu 2009-2014. Umumnya keputusan untuk kehadiran atau ketiadaan hadiran mereka (pemilih Kab. Tasikmalaya) pada 4 pemilihan umum tersebut didasari oleh alasan karena adanya keyakinan bahwa nama mereka pasti terdaftar di daftar pemilih tersebut. Selain itu juga, dari data ini terlihat bahwa masyarakat kabupaten Tasikmalaya sudah mengetahui dan memahami sistem pemilihan yang dilaksanakan pada pemilu legislatif 2009 yakni melalui mekanisme pemilihan secara langsung partai politik dan calon legislatifnya. Jika membandingkan pemilu legislatif tahun 2009 dengan 2014 dari grafik diatas maka terlihat keajegan partisipasi masyarakat dalam kehadirannya di TPS bahwa masyarakat datang ke TPS sebagian besar bermaksud untuk memilih partai politik dan calon legislatif. Hal ini juga terlihat pada presentase yang sangat kecil pada alasan diluar alasan untuk memilih partai dan calon anggota legislatif. Masyarakat menaruh perhatian lebih besar pada pemilihan presiden secara langsung. Dimana, masyarakat merasa bahwa mereka ikut menentukan bagi suskesi kepemimpinan negeri ini khususnya lima tahun setelah pelaksanaan pemilu. Walaupun hasil penelitian menunjukan ada sebagian masyarakat yang datang ke TPS tetapi tidak bermaksud untuk memilih presiden dan wakil presiden pilihan mereka tetapi presentasinya sangat kecil. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan presiden pada tahun 2009 dapat dikatakan baik karena mereka sebagian besar dari mereka benar-benar untuk memilih presiden dan wakil presiden. Jika melihat alasan kedatangan masyarakat ke TPS pada pemilihan presiden tahun 2014 juga tidak berbeda dengan pemilihan presiden pada tahun 2009 bahwa sebagian besar dari masyarakat datang ke TPS untuk memilih presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan hati nurani mereka bahkan menunjukan peningkatan dengan mencapai angka 93, 75 %.
Tidak semua masyarakat yang pada hari pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu legislatif tahun 2009 datang ke TPS. Dari hasil penelitian ada beberapa alasan responden yang pada saat hari pemungutan suara tidak datang ke TPS. Hasil penelitian menunjukan bahwa alasan yang paling banyak dari ketidakhadirannya di TPS pada hari pemungutan suara adalah bahwa mereka sedang bepergian yang mencapai skor sebanyak (36,36 % ), kemudian secara berurutan disusul oleh alasan sibuk bekerja/sekolah dan masalah administrasi yang keduanya sebesar (18,18%). Selain itu juga ada juga yang berpendapat bahwa pada pemilu legislatif tahun 2009 terlalu banyak calon yang harus dipilih salah satunya sehingga mereka enggan untuk datang ke TPS. Alasan seperti ini menurut hasil penelitian mencapai skor sebesar (9,09%). Selanjutnya, ada juga responden yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dan rawan kecurangan sehingga pada pemungutan suara enggan untuk datang ke TPS. Terakhir alasan ketidakhadiran responden pada hari pemungutan suara di TPS adalah merasa pemilu tidak bermanfaat apa-apa. Dua alasan terakhir keduanya mencapai skor sebesar (9.09 %) Alasan ketidakhadiraan di TPS diatas menunjukan bahwa adanya kemungkinan masyarakat yang tidak memakai hak suaranya tetapi tidak bermaksud untuk mengambil tindakan golput. Hal ini karena grafik tersebut menunjukan skor tertinggi dari alasan ketidakhadiran disebabkan karena bepergian bukan karena bagian dari sikap golput. Dengan demikian, diperlukan sebuah formula untuk mempermudah masyarakat yang dalam kondisi sedang bepergian tetapi dapat dengan mudah memberikan hak suaranya. Sama halnya seperti yang terjadi pada pemilu legislatif tahun 2009, pada pemilihan presiden/wakil presiden tahun 2009 pun menunjukan fenomena yang serupa yakni alasan ketidakhadiran masyarakat pada saat pemungutan suara di TPS yang menduduki angka terbanyak adalah pada alasan sedang bepergian yang menunjukan angka 27,27 %, sementara itu responden yang tidak datang ke TPS pada saat pemungutan suara karena sibuk bekerja/sekolah dan masalah administrasi keduanya menunjukan angka 18,18%. Sedangkan yang menjawab bahwa pemilu bukan metode yang tepat dalam menentukan kepemimpinan di Indonesia, penyelenggaraan pemilu bermasalah dan rawan kecurangan serta jumlah calon yang terlalu banyak menunjukan angka 9,09%. Data Penelitian menunjukan persoalan yang sama seperti pada pemilu legislatif 2009 bahwa sebagian besar responden yang tidak datang ke TPS pada saat pemungutan suara adalah karena bepergian. Hal ini juga membuka kemungkinan bahwa sebenarnya mereka tidak bermaksud untuk mengambil sikap golput. Namun kondisi dimana mereka tengah bepergianlah yang menyebabkan mereka tidak memberikan hak suaranya. Hal ini dapat diperkuat lagi jika mengakumulasikan alasan sedang bepergian tersebut dengan masalah administrasi yang memaksa mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Adapun jika melihat rasionalitas pemilih yang lebih memilih bekerja dibandingkan dengan datang ke TPS, jika hal ini menjadi penyebab seseorang itu golput hanya menunjukan angka yang sedikit. Data hasil penelitian yang tergambar dalam grafik tersebut diatas menunjukan bahwa sebenarnya ketidakhadiran masyarakat di TPS pada saat
pemungutan suara pada pemilihan presiden tahun 2014 bukan berarti mereka menunjukan sikap golput karena alasan-alasan ketidakhadiran di TPS yang secara teoritis masuk kedalam bentuk-bentuk perilaku golput tidak melebihi 5 %. Dengan demikian untuk memperbaiki angka partisipasi memilih dari masyarakat diperlukan adanya mekanisme yang memungkinkan masyarakat untuk dapat menggunakan hak pilihnya walaupun dalam kondisi sibuk bekerja atau sedang berpergian. Selain itu, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki administrasi dalam proses pendataan pemilih sehingga masalah administrasi yang dapat menghalangi hak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Golput dalam terminologi ilmu politik seringkali disebut dengan nonvoter. Terminologi ini menunjukkan besaran angka yang dihasilkan dari event pemilu di luar voter turnout. Dari definisi tersebut dapat di katakan bahwa Golput merupakan gabungan antara angka ketidakhadiran di Tempat Pemungutan Suara (TPS) bagi pemilih yang terdaftar di DPT ditambah besarnya angka suara tidak sah dari pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar. Dengan demikian secara jumlah, angka golput seharusnya lebih besar dibandingkan dengan angka ketidakhadiran pemilih yang terdaftar di DPT. G. Faktor Penyebab Golput Dalam Pemilu Di Kabupaten Tasikmalaya Hasil Penelitian menunjukan bahwa alasan golput pada pemilu legislatif tahun 2009 yang paling tinggi adalah karena merasa tidak memperoleh manfaat langsung yakni sebesar 33,33% ini menunjukan bahwa pada tahun 2009 trend yang terjadi pada masyarakat khususnya pemilih adalah masyarakat yang memiliki rasionalitas yang tinggi tetapi dengan rentang waktu yang pendek. Artinya masyarakat cenderung melihat sebuah keuntungan yang dapat didapat secara langsung. Hal ini juga terjadi pada proses pemilu legislatif tahun 2009 dimana perilaku golput didominasi oleh golput rasionalis. Namun ini berbeda dengan apa yang terjadi pada pemilu legislatih tahun 2014, dimana alasan-alasan ideologis dengan alasan rasionalitas ada pada poin yang seimbang misalnya alasan golput karena tidak ada calon legislatif yang berkualitas seimbang dengan alasan karena tidak memperoleh keuntungan secara langsung. Hal ini artinya fenomena golput yang terjadi pada pemilu 2014 tidak hanya karena alasan rasionalitas tetapi juga ada alasan ideologi. Dengan demikian dengan melihat hal ini dapat diperkirakan bahwa kesadaran politik dari masyarakat mengalami peningkatan. Jika melihat pada pemilihan presiden/wakil presiden tahun 2009 maupun 2014 terlihat bahwa alasan yang mendominasi dari responden yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya adalah karena mereka tidak mengetahui program-program dari para calon presiden dan wakil presiden. Sementara itu yang menempati posisi kedua dari alasan adalah karena mereka berpendapat bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden tidak akan berpengaruh pada kebaikan masyarakat. Dengan demikian khusus pada pemilihan presiden alasan perilaku golput lebih besar pada alasan-alasan ideologi bukan pada alasan-alasan rasionalitas yang berdasarkan hasil penelitian ini mempunyai nilai lebih rendah. Oleh sebab itu untuk mengurangi jumlah golput non-teknis (ideologis dan rasionalis) diperlukan upaya-upaya seperti sosialiasi yang dapat meyakinkan masyarakat bahwa
penggunaan hak pilihnya merupakan suatu hal yang penting dan sangat menentukan bagi keberlangsungan kehidupan bernegara di negeri ini. Dari sejumlah alasan yang dikemukakan oleh responden diatas, kita bisa membagi faktor/ alasan tidak ikut pemilihan (golput) dalam Dua kategori besar. Pertama, Faktor Eksternal, yaitu faktor atau alasan tersebut datang dari luar dirinya. Dibagi menjadi kelompok alasan administratif dan alasan teknis. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur administrasi— seperti tidak tahu nama terdaftar dalam daftar pemilih, belum mendapat kartu pemilih atau kartu undangan. Riset ini menemukan responden tidak memilih karena tidak memiliki kartu pemilih, tidak memiliki KTP, dan alasan administr tif lainnya yang menyebabkan pemilih tidak bisa menggunakan haknya. Alasan ini yang banyak mempengaruhi pemilih untuk tidak hadir ke TPS. Sedangkan alasan teknis, seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu untuk memilih— sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya. Kedua, Faktor Internal yaitu faktor yang bersumber dari dirinya sendiri. Dengan Kelompok alasan, Ideologis, Rational Choice dan Sosiologis, misalnya Pemilih memutuskan tidak menggunakan haknya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih.Pemilu dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan, atau tidak ada calon yang disukai dan sebagainya. Di sini seseorang memutuskan tidak memilih sebagai bentuk protes atau ketidakpuasan, baik terhadap penyelenggaraan Pemilu mapun calon yang maju dalam pemilu
H. Simpulan Dari hasil pembahasan dan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa Pertama, Tingkat partisipasi pemilih dilihat dari kehadiran dan ketidakhadiran pada pemilu legislatif di Kabupaten Tasikmalaya jika dilihat dari dua pemilu legislatif terakhir tidak banyak mengalami perubahan. Walaupun secara nasional tercatat bahwa tingkat partisipasi dari dua pemilu legislatif terakhir mengalami penurunan tetapi temuan penelitian ini menggambarkan hal yang berbeda. Artinya apa yang terjadi pada cakupan nasional tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang terjadi di tingkat lokal. Kedua, Terjadi pola yang berbeda dalam hal tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif dengan pemilihan presiden/wakil presiden. Temuan penelitian menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh pemahaman masyarakat yang melihat pemilihan presiden jauh lebih sederhana daripada pemilu legislatif. Ketiga, Perilaku tidak memilih atau yang lebih dikenal dengan istilah golput selalu ada dalam setiap pemilihan. Hal ini karena golput ketika ditelusuri tidak hanya muncul karena faktor internal pemilih saja seperti faktor-faktor yang berkaitan dengan ideologis dan rasionalitas tetapi juga golput dapat muncul karena faktor-faktor dari luar pemilih seperti faktor teknis atau administratif yang memaksa seorang yang memiliki hak pilih namun tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Keempat, Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya golput sebagaimana yang dimaksud dalam point tiga yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Temuan penelitian menjelaskan bahwa faktor ekternal yang
menyebabkan masyarakat termasuk pada kategori golput meliputi faktor teknis dan administratif seperti ketika seseorang yang tengah dalam kondisi berpergian, orang tersebut tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena ia tidak terdaftar dalam DPT pada TPS terdekat. Sedangkan faktor administratif misalnya seseorang penduduk di suatu daerah tetapi tidak terdaftar dalam DPT. Sementara itu, faktor internal meliputi berbagai pertimbangan dari diri pemilih baik itu pertimbangan ideologis, sosiologis maupun rasionalitas (ekonomi politik). Temuan penelitian ini rasionalistas pemilih sudah sangat tinggi, masih ada sentimen keagamaan dalam preferensi pilihan dan beberapa faktor sosiologis masih ada walaupun dalam presentase yang tidak terlalu besar. Hal-hal seperti itu akan selalu ada dalam setiap penyelenggaraan pemilu, sehingga golput akan selalu hadir dalam setiap penyelenggaraan pemilu baik pemilu legislatif, pemilihan presiden/wakil presiden maupun pemilihan kepala daerah.
I. Referensi Edi Kusmayadi, 2015, Dinamika Realitas Politik Lokal, De Publish Yogyakarta. IDEA. 2002. Voter turnout Since 1945: A Global Report, 2002, hal. 80-82. Lingkaran Survey Indonesia. 2007. Golput dalam Pilkada, Kajian Bulanan Lingkaran Survey Indonesia, EDISI 05 - September 2007 Poling Centre. 2013. Laporan final naratif Survei dasar terhadap KAP pemilih di Enam propinsi_Kabupaten Tasikmalaya, 23 November 2013. Setiawaty, Diah, 2010. Partisipasi dan Pendidikan Pemilu Programatik .http://www.rumahpemilu.org/in/read/5552/Partisipasi-dan-PendidikanPemilu-Programatik-oleh-Diah-Setiawaty