Journal of Business and Entrepreneurship
Survei Index Kepuasan Supplier Sebagai Penerapan Pemasaran Holistik (Studi Kasus PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk) Dian Kurnia Rizki PT Telkom Indonesia (DWS)
The purpose of this journal is to measure supplier satisfaction index from six suppliers of Telkom Wholesale Service Division (DWS) who have been cooperating for couple years as implementation of holistic marketing. In addition, the journal also analyzes the gap between the supplier’s expectation and satisfaction. Finally, the number of satisfaction with the level of importance of each variable is mapped on the quadrant operation IPA or Important Performance Analysis. The results of this study stated that the suppliers are quite satisfied with the cooperation although there are several variables that need to be concerned further. Through these results, it is expected to be a basic consideration for improvement of cooperation in the future, so that the supplier satisfaction will be better. Keywords: Supplier Satisfaction Index; marketing holistic; GAP Analysis; Important Performance Analysis
Survei Index Kepuasan Supplier Sebagai Penerapan Pemasaran Holistik (Studi Kasus PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk)
PENDAHULUAN Latar Belakang Telkom Divisi Wholesale Service (DWS) merupakan salah satu divisi di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk yang menjalankan salah satu dari portofolio bisnis Telekomunikasi yaitu penyewaan jaringan infrastruktur telekomunikasi dan interkoneksi. Pelanggan dari Telkom ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
DWS adalah operator lain atau OLO (Other License Operator), contohnya XL Axiata, Indosat, Axis, dan Bakrie Telecom. Dalam menjalankan bisnisnya di tahun 2012, Telkom DWS berkewajiban untuk menerapkan corporate value Telkom (5C) sebagai bentuk komitmen. Salah satu corporate value dari 5C itu adalah co-creation of win-win partnership yang merupakan komitmen perusahaan untuk memper1
Journal of Business and Entrepreneurship
lakukan mitra bisnis sebagai rekanan yang setara. Salah satu key behaviour dari corporate value tersebut adalah secara aktif mencari feedback dari mitra kerja. Co-creation of win-win partnership sebagai coporate value tersebut merupakan contoh implementasi dari penerapan konsep holistik marketing (Kotler dan Keller, 2009) yang salah satu komponennya adalah relationship marketing termasuk dengan para supplier. Perhatian khusus yang diberikan pada kesetaraan hubungan dengan para mitra bisnis, termasuk para supplier, disebabkan oleh eratnya hal tersebut dengan proses penyelenggaraan layanan kepada para pelanggan oleh Telkom DWS agar tidak terkendala. Seperti yang dikatakan oleh (Snyder, 2003), bahwa mitra yang tidak puas, tidak akan berkontribusi secara maksimal dan akan memberikan layanan yang kurang berkualitas. Selain dapat memperlancar proses pelayanan kepada OLO, komitmen ini dirasa penting dalam menangkap peluang bisnis dan memenangkan persaingan pasar. Berdasarkan hasil olahan data, dari TriTech dan beberapa laporan tahunan Operator Telekomunikasi, menunjukan bahwa pertumbuhan jumlah subscriber bertambah sangat signifikan dari tahun ke tahun baik untuk pengguna seluler, FWA (Fixed Wireless Access), dan FWL (Fixed Wire Line). Naiknya kebutuhan jaringan infrastruktur juga disebabkan oleh perkembangan dari trend layanan paket data retail seperti paket Blackberry, paket internet, atau mobile banking. Paket layanan retail tersebut membutuhkan jaringan infrastruktur dengan kapasitas yang besar untuk menjaga kualitas nya. Memperhatikan besarnya peluang bisnis yang besar di pasar, maka keberadaan mitra yang puas karena kerjasama yang saling menguntungkan sangat diperlukan. 2
Meskipun peluang bisnis cukup signifikan di pasar, namun tingkat kompetisi di industri ini juga cukup tinggi. Berdasarkan data olahan dari dokumen internal perusahaan, berikut ini adalah peta persaingan di pasar jaringan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia :
Gambar 1. Data Competition Matrix Pasar Infrastruktur Jaringan Telekomunikasi di Indonesia 2011 Sumber: Telah diolah kembali dari dokumen internal perusahaan.
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa posisi Telkom, yang diwakili oleh DWS, saat ini merupakan market leader dilihat dari faktor kekuatan pasar serta jenis layanan yang ditawarkan. Pesaing terberat Telkom saat ini adalah Indosat yang berada di posisi kedua karena ketersediaan jaringan yang juga cukup besar. Sedangkan perusahaan lainnya merupakan para pemain yang relatif baru sehingga masih jauh dari posisi Telkom saat ini. Untuk mempertahankan posisinya, Telkom DWS perlu melakukan efisiensi dan efektifitas dalam proses penyelenggaraan layanannya ke OLO sehingga kualitas layanan terjamin dan mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama yang baik dengan para supplier sesuai yang dikatakan oleh (Trend, 2005) bahwa satu-satunya jalan ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
untuk bertahan di persaingan pasar yang ketat, adalah dengan menjadikan supplier sebagai mitra yang setara. Hal ini karena para supplier memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan posisi saing dan tingkat efisiensi supply chain (Park, Shin, & Tai-Woo, 2010). Kepuasan supplier adalah perasaan kesetaraan dalam hubungan supply chain antara penjual dan pembeli meskipun terdapat ketidakseimbangan posisi tawar (Benton & Maloni, 2005). Seperti yang dikatakan Leenders, Johnson, Flynn, & Fearon (2006), tanpa kepuasan, supplier akan menghasilkan out put berkualitas rendah, yang ikut menurunkan kualitas layanan perusahaan sehingga volume penjualan akan terganggu dan sebagai konsekuensinya keuntungan perusahaan akan berkurang. Selain itu, hubungan Telkom DWS dengan OLO akan terganggu karena tidak mampu memenuhi permintaan sesuai target waktu yang disepakati di awal.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara spesifik, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Mengetahui variabel–variabel yang menjadi penentu kepuasan supplier terhadap Telkom DWS dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana yang tercantum pada Perjanjian Kerja Sama (PKS). b. Mengetahui tingkat kepentingan variabel-variabel yang mempengaruhi kepuasan supplier. c. Mengetahui performansi pada variabel tersebut pada kepuasan secara keseluruhan, per supplier, dan per tahapan kerjasama. d. Mengetahui variabel yang terdapat gap antara ekspektasi dengan harapan supplier sehingga perlu diperhatikan lebih untuk perbaikan kerjasama ke depan. TINJAUAN TEORI Kepuasan Supplier
TUJUAN PENELITIAN Sesuai pemaparan di atas, maka diperlukan pengukuran kepuasan supplier yang telah mengikatkan diri dengan Telkom DWS melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS). Seperti yang dikatakan oleh Essig dan Amann (2009), tanpa pengukuran kepuasan supplier, maka akan sulit menjaga hubungan baik antara supplier dan buyer. Padahal, hubungan ini sangat penting bagi Telkom DWS baik dalam proses delivery layanan ke OLO maupun sebagai salah satu bentuk komitmen terhadap corporate value yaitu co-creation of win-win partnership yang merupakan penerapan dari konsep holistic marketing. ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Menurut Benton dan Maloni (2005), kepuasan supplier adalah perasaan kesetaraan dalam hubungan supply chain antara penjual dan pembeli meskipun terdapat ketidakseimbangan posisi tawar. Sedangkan menurut Essig & Amann (2009), kepuasan supplier adalah perasaan adil yang dirasakan oleh supplier dalam pemenuhan kebutuhannya, berdasarkan pada insentif buyer dan kontribusi supplier dalam hubungan jual beli di pasar B2B. Berdasarkan hasil penelitian Meena dan Sarmah (2012), terdapat empat faktor yang mempengaruhi kepuasan supplier. Tiga dari empat faktor tersebut yaitu kebijakan pembelian, kebijakan pembayaran dan kebijakan koordinasi. Berikut ini adalah penjelasan detail terkait faktor tersebut: 3
Journal of Business and Entrepreneurship
a. Kebijakan Pembelian Pada umumnya, kebijakan pembelian di sebuah perusahaan itu adalah kebijakan yang terkait proses order dan penyelenggaraan layanan atau produk yang berpengaruh langsung terhadap kepuasan supplier (Essig dan Amann, 2009; Maunu, 2003). Selain itu, masih terkait pembelian, kepuasan supplier juga dipengaruhi langsung dengan jadwal pembelian yang tepat (Lascelles dan Dales, 1989; Essig dan Amann, 2009; Maunu, 2003). Menurut Soetanto dan Proverbs (2002), kejelasan dalam parameter teknis juga mempengaruhi kepuasaan. b. Kebijakan Pembayaran Menurut Soetanto dan Proverbs (2002), Essig dan Amann (2009), Maunu (2003) dan Wong (2000), pembayaran yang tepat waktu, proses pembayaran dan penerimaan barang atau layanan memiliki pengaruh langsung terhadap kepuasan supplier. Verhoef et al. (2001) menjelaskan bahwa kebijakan pembayaran yang buruk dapat mengakibatkan supplier melakukan penjualan ke pihak lainnya. Selain itu, tingkat kemampuan finansial perusahaan juga berpengaruh pada kepuasan karena erat kaitannya dengan kemampuan pembayaran dan skema harga yang ditawarkan oleh supplier (Soetanto dan Proverbs 2002; Burt et al., 2008; Essig dan Amann, 2009). Oleh sebab itu, kebijakan pembayaran di sini dapat diartikan sebagai kebijakan perusahaan terkait proses pembayaran. c. Kebijakan Koordinasi Komunikasi antara perusahaan dengan supplier merupakan faktor yang penting untuk setiap hubungan yang baik dan menurut Essig dan Amann (2009) serta Maunu (2003), komunikasi dan kemudahan dalam 4
penyelenggaraan layanan memiliki pengaruh langsung terhadap kepuasan supplier. Tidak hanya itu saja, Eissig dan Amann (2009) juga menjelaskan bahwa Earnest Money Deposit (EMD), ketepatan waktu dalam pengembalian barang yang ditolak, garansi bank serta ketepatan waktu pemesanan kepada supplier juga mempengaruhi tingkat kepuasan para supplier. Perilaku para pegawai di perusahaan terhadap supplier juga dianggap mempengaruhi tingkat kepuasan mereka (Moorman et al., 1992). Sehingga, kebijakan koordinasi di sini dapat diartikan kebijakan perusahaan terkait koordinasi dalam penyelenggaraan layanan. Meskipun kepuasan supplier erat kaitannya dengan supply chain management, namun hal ini juga bukan bagian terpisah dari marketing. Menurut AMA (American Marketing Association) tahun 2007, ditetapkan pengertian baru tentang pemasaran yaitu sebagai fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada pelanggan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi. Dari pengertian tersebut, maka konsep marketing tidak lagi terbatas pada penjualan saja, namun juga meliputi beberapa konsep marketing. Pemasaran holistik Menurut Kotler et all (2009), konsep marketing merupakan upaya perusahaan untuk melakukan kegiatan marketing. Salah satunya adalah konsep pemasaran holistik. Konsep ini didasarkan pada pengembangan, desain, dan implementasi program marketing, proses, dan aktivitas ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
yang menunjukan kekuatan serta keterikatan mereka. Pada konsep tersebut, seluruh hal memiliki pengaruh ke marketing, seperti pelanggan, pegawai, perusahaan lain, kompetitor, bahkan keseluruhan masyarakt. Sehingga diperlukan adanya suatu perspektif yang terintegrasi. Pemasaran holistik terdiri dari 4 komponen yaitu relationship marketing, integrated marketing, internal marketing dan social responsibility marketing. Relationship marketing yang bertujuan untuk menciptakan hubungan jangka panjang dengan para stakeholder seperti pelanggan, supplier, distributor dan mitra perusahaan lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan merupakan penerapan dari pemasaran holistik. METODOLOGI Objek Penelitian Yang menjadi objek pada penelitian ini adalah PT Telkom Indonesia khususnya
Divisi Wholesale Service atau disebut Telkom DWS yang menyewakan infrastruktur telekomunikasi kepada operator lain yang disebut juga OLO (Other Licensed Operator). Operasional Variabel Untuk menjaga relevansi penelitian, hasil penelitian Meena dan Sarmah (2012) mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan supplier disesuaikan dengan dokumen Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Telkom DWS dan para supplier. Mengacu pada beberapa dokumen PKS yang berlaku, kegiatan kerjasama dibagi menjadi beberapa tahap yaitu sebelum pemesanan (pre-order), pemesanan (order), instalasi (installation), pembayaran (collection & payment), dan setelah instalasi (after installation). Berikut ini merupakan operasional variabel yang digunakan pada kuisioner dalam penelitian ini:
Tabel 1. Operasional Variabel No
Tahap
Coding
Variabel
Kategori Faktor
1
Pre-Order
C1a3 C1b3
a. Kejelasan ketentuan hak dan kewajiban kedua belah pihak. b. Ketepatan waktu proses sirkulir PKS/ amandemen di sisi Telkom
• Kebijakan Pembelian • Kebijakan Pembelian
2
Order
D1a3 D1b3 D1c3
a. Kejelasan pengajuan order (target RFS, perangkat, kapasitas, dan informasi lain yang relevant di luar data lokasi) b. Kejelasan koordinat dan alamat lengkap yang akan dilakukan instalasic. K e l e n g k a p a n administrasi dalam proses order.
• Kebijakan Pembelian • Kebijakan Pembelian • Kebijakan Pembelian
3
Installation
E1a3 E1b3 E1c3
a. Kemudahan proses pemberian izin untuk survei/peninjauan lokasi/ pemasangan perangkat.
• Kebijakan Koordinasi
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
5
Journal of Business and Entrepreneurship
No
Tahap
Coding
Variabel
Kategori Faktor
E1d3
b. Koordinasi internal Telkom dalam pelaksanaan instalasi. c. Dukungan internal Telkom dalam pelaksanaan proses integrasi. d. Proses tanda tangan Berita Acara Layak Operasi
• Kebijakan Koordinasi • Kebijakan Koordinasi
4
Collection & Payment
F1a3 F1b3 F1c3 F1d3 F1e3
a. Ketepatan waktu pembayaran biaya sewa. b. Ketepatan jumlah pembayaran sesuai dengan Berita Acara Kemitraan. c. Kemudahan proses pengajuan klaim ganti rugi atas kerusakan. d. Ketepatan waktu pembayaran ganti rugi jika terjadi kerusakan. e. Ketepatan jumlah pembayaran ganti rugi jika terjadi kerusakan.
• Kebijakan Koordinasi • Kebijakan Pembayaran • Kebijakan Pembayaran • Kebijakan Koordinasi • Kebijakan Pembayaran
5
After Installation
G1a3 G1b3 G1c3 G1d3
a. Pemeliharaan kualitas perangkat milik mitra. b. Kecepatan menginformasikan apabila ada gangguan dari pelanggan. c. Kecepatan memberitahukan informasi pemutusan perangkat sesuai permintaan pelanggan. d. Kecepatan memberitahukan informasi relokasi perangkat sesuai permintaan pelanggan.
• Kebijakan Pembayaran • Kebijakan Koordinasi • Kebijakan Koordinasi • Kebijakan Koordinasi • Kebijakan Koordinasi
Desain Kuesioner Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang terstruktur yang disebar oleh pihak ketiga secara langsung dan dilakukan dengan face to face interview kepada masing-masing perwakilan supplier. Selain itu, untuk menjaga agar hasil dari kuisioner tidak bias karena terdapat konflik kepentingan di supplier, maka penyebaran kuisioner dilakukan oleh pihak ketiga atau bukan oleh Telkom DWS sendiri. Tipe pertanyaan pada kuesioner ini adalah pertanyaan tertutup dan terbuka. Sedangkan skala yang 6
digunakan pada penelitian mengenai kepuasan supplier adalah Likert dengan skala 1 – 5 (Meena dan Sarmah, 2012; Essig dan Amann, 2009). Sampel Pada penelitian, digunakan teknik judgmental sampling para senior leader Telkom DWS untuk menentukan sampel dari total 13 supplier yang telah bekerjasama dengan Telkom DWS sampai 2012. Selanjutnya, para supplier dipilih berdasarkan dua kriteria. Pertama, para supplier paling tidak telah bekerjasama ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
dengan Telkom DWS selama 1 tahun. Hal ini memperhatikan bahwa minimal jangka waktu sewa dengan supplier adalah 6 bulan, sehingga dalam waktu setahun diharapkan semua tahapan kegiatan dalam perjanjian dengan supplier sudah dilakukan, maka responden dari masingmasing supplier dapat menjawab pertanyaan pada kuisioner. Adapun kriteria yang kedua adalah nilai transaksi dengan supplier tersebut minimal mencapai seratus juta rupiah per tahunnya. Nilai minimal transaksi ini ditentukan karena jika transaksi dengan supplier mencapai nilai tersebut, maka menurut kebijakan perusahaan, supplier tersebut dapat dikategorikan supplier utama yang penting mengingat nilai transaksi yang cukup besar. Dari total 13 supplier yang saat ini telah bekerja sama dengan Telkom DWS, maka terdapat enam perusahaan yang memenuhi kriteria supplier untuk dijadikan sampel. Demi menjaga kerahasiaan perusahaan, maka penulisan nama supplier yang menjadi sampel menggunakan inisial. Berikut ini adalah nama-nama supplier dari Telkom DWS:
Tabel 2. Daftar Sampel Supplier Telkom DWS No Nama Supplier
Jenis Layanan
1
PT Pg
Sewa link (sirkit langganan)
2
PT T
Sewa link (sirkit langganan)
3
PT P
Sewa radio IP
4
PT C
Sewa radio IP
5
PT V
Sewa radio IP
6
PT M
Sewa radio IP
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Masing-masing supplier dipilih 5 -key informan sebagai responden dari kuisioner penelitian ini sehingga total responden berjumlah 30 orang dari 6 perusahaan supplier Telkom DWS. Mengacu pada Phillips (1981), pemilihan key informan tersebut berdasarkan kualifikasi khusus yaitu memiliki status tertentu misalnya seperti CEO atau COO perusahaan, memiliki pengetahuan yang khusus misalnya orang keuangan, legal, atau teknis lapangan, atau key informan tersebut merupakan account manager/sales team yang banyak berhubungan dengan Telkom DWS. Metode Analisa Data Index Kepuasan Supplier (IKS) Mengacu pada rumus yang digunakan oleh Meena dan Sarmah (2012) yang mengacu rumus dari Anderson dan Fornell (2000) dan Fornel et all (2001), maka rumus menghitung IKS adalah:
IKS = Keterangan: Wi = Bobot variabel = Nilai rata-rata variabel n = Jumlah variabel 9 = Skala yang digunakan Masih menurut Meena dan Sarmah (2012), berikut ini adalah arti dari nilai IKS: < 60 = tidak memuaskan 60 – 80 = cukup memuaskan > 80 = sangat memuaskan Metode perhitungan IKS adalah untuk mencapai tujuan penelitian yaitu mengetahui kepuasan supplier secara keseluruhan, kepuasan masing-masing 7
Journal of Business and Entrepreneurship
supplier, dan kepuasan mereka per tahapan kerjasama.
selain itu mereka juga telah merasa puas terhadap performansi perusahaan untuk variabel tersebut. Sehingga, untuk menjaga kepuasan responden, perusahaan sebaiknya mempertahankan prestasi nya.
Importance Attribute Performance (IPA) IPA pertama kali diperkenalkan oleh John A. Martilla dan John C. James (1977). Metode ini digunakan untuk mengaitkan performansi sebuah variabel penelitian dengan tingkat kepentingannya berdasarkan informasi dari responden. Dengan mengetahui tingkat kepentingan dan performansi masing-masing variabel, selanjutnya dapat dipetakan variabel tersebut dalam 4 kuadran, di bawah ini, untuk analisa lebih lanjut.
Gambar 2. Pemetaan variabel IPA
l
Low priority (Prioritas rendah) Meskipun responden menilai rendah performansi perusahaan pada variabel yang terletak pada kuadran ini, namun mereka juga tidak menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang penting. Sehingga, variabel-variabel tersebut merupakan prioritas rendah bagi perusahaan untuk menjaga kepuasan mereka.
l
Possible overkill (Terlalu berlebih) Responden merasa performansi yang baik dari perusahaan pada tiap-tiap variabel di kuadran ini, hanya saja, mereka menganggap variabel tersebut memiliki kepentingan yang rendah. Sehingga, meskipun hal tersebut baik untuk diteruskan, namun sebaiknya sumber daya yang alokasikan dipindahkan untuk variabel pada kuadran 1 misalnya.
Keterangan: Concentrate here (Konsentrasi di sini) Menurut para responden, tingkat kepentingan variabel yang terletak pada kuadran ini adalah tinggi, namun menurut mereka, performansi perusahaan pada variabel ini masih rendah. Sehingga, diharapkan perusahaan akan berkonsentrasi untuk memperbaiki semua variabel yang terletak pada kuadran tersebut.
l
Keep up the good work (Pertahankan prestasi) Responden menganggap penting variabel yang ada pada kuadran dua ini,
l
8
Analisa gap Metode analisa ini digunakan pada penelitian untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan (gap) antara harapan responden dan tingkat kepuasan mereka pada variabel yang diukur. Untuk menguji ada tidaknya gap tersebut dan berapa besar nilai gap nya, digunakan pair sample t test atau Wilcoxon test dengan menggunakan confidence level 95%. Pair sample t test digunakan untuk menguji nilai gap secara keseluruhan responden yang berjumlah 30 orang atau menurut Central Limit Theorm, data nya dapat diasumsikan berdistribusi normal. Pada test ini, berdasarkan Levine ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
et.all (2011), jika nilai hasil t-hitung berada di antara nilai upper tail dan lower tail nya, maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara nilai harapan dengan nilai kepuasan yang diberikan oleh supplier dan sebaliknya. Sedangkan Wilcoxon test digunakan untuk menguji nilai gap per perusahaan supplier di mana jumlah responden hanya ada 5 sehingga data tidak terdistribusi normal atau dapat dikategorikan sebagai non parametrik. Pada test ini, jika nilai sig < 0,05 maka terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara nilai harapan dengan nilai kepuasan yang diberikan oleh supplier dan sebaliknya.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Perubahan Operasional Variabel Dari hasil penyebaran kuisioner kepada 3 responden pertama pada supplier yang berbeda, diketahui bahwa terdapat beberapa operasional variabel yang tidak relevan karena meskipun tercantum dalam dokumen perjanjian kerjasama, namun tidak pernah terjadi di lapangan. Operasional variabel tersebut adalah:
Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai Cronbach’s Alpha variabel. Berdasarkan hasil SPSS, nilai Cronbach Alpha mencapai 0,843 untuk seluruh variabel penelitian. Sedangkan nilai Crobach Alpha pada tingkat kepentingan, harapan dan kepuasan masing-masing variabel adalah diatas 0,7. maka dapat dikatakan bahwa baik secara keseluruhan maupun masing-masing variabel penelitian sudah cukup reliable (Essig dan Amann, 2009). Sedangkan untu pengukuran uji validitas, berdasarkan Essig dan Amann (2009), dilakukan menggunakan metode analisa faktor dengan melihat nilai component matrix. Berdasarkan hasil olahan SPSS, di mana nilai component matrixnya nya lebih dari 0,5, maka penelitian ini dapat dikatakan valid (Malhotra, 2010). Hasil Perhitungan Index Kepuasan Supplier (IKS) Index Kepuasan keseluruhan Supplier Berikut ini adalah grafik dari IKS Telkom DWS dari 6 supplier:
a. Kemudahan proses pengajuan klaim ganti rugi atas kerusakan b. Ketepatan waktu pembayaran ganti rugi jika terjadi kerusakan c. Ketepatan jumlah pembayaran ganti rugi jika terjadi kerusakan. Oleh sebab itu, ketiga variabel tersebut dihapus dari kuisioner karena akan mempengaruhi hasil penelitian jika tetap dipertahankan. Sehingga, operasional variabel pada tahapan kerjasama collection and payment, dari total 5 variabel, menjadi tinggal 2 variabel. ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Gambar 3. Grafik Index Kepuasan Keseluruhan Supplier Telkom DWS Dari gambar di atas, secara keseluruhan, IKS para supplier Telkom DWS adalah 70% atau dapat dikatakan cukup memuaskan. Adapun dari ke enam supplier, PT Pg memiliki index kepuasan 9
Journal of Business and Entrepreneurship
paling tinggi (74%) terhadap kerjasama yang selama ini dijalin dengan Telkom DWS, sedangkan PT T memiliki index kepuasan paling rendah (64%) meskipun nilainya masih di atas 60%. Sedangkan perbandingan grafik index kepuasan supplier Telkom DWS per variabel tahapan kerjasama adalah:
Hasil Perhitungan Analisa Gap
Gambar 3. Grafik Index Kepuasan Supplier Telkom DWS (per variabel)
Gambar 4. Analisa Gap Keseluruhan Supplier Telkom DWS
Dari gambar grafik di atas dan mengacu keterangan grafik sesuai tabel 3.1, maka dapat dianalisa bahwa rata-rata para supplier memberikan nilai cukup memuaskan pada tahapan kerjasama pre order adalah karena mereka merasa bahwa ketentuan hak dan kewajiban dalam perjanjian kerjasama (PKS) sudah jelas, serta proses sirkulir PKS pada internal Telkom DWS dirasa sudah tepat waktu. Sedangkan pada tahapan kerjasama installation, meskipun juga dinilai cukup memuaskan, namun nilai nya lebih rendah daripada tahapan kerjasama pre order. Hal ini karena supplier merasa kemudahan proses pemberian izin di Telkom terkadang agak sulit dan harus melalui prosedur yang terlalu ketat. Selain itu, koordinasi internal Telkom saat integrasi perangkat tidak seragam karena tergantung area instalasi perangkat. Misalnya, koordinasi internal Telkom di area Jawa dirasa lebih baik daripada di area Bali dan Nusa Tenggara.
Berdasarkan data di atas, secara keseluruhan, gap yang dirasakan oleh para supplier Telkom DWS adalah sebesar 0,81. Adapun nilai gap yang terkecil antara harapan dan kepuasan dirasakan oleh PT C yaitu 0,47. Sedangkan nilai gap terbesar dirasakan oleh PT T yang nilai gap nya mencapai 1,08. Secara garis besar, para supplier menetapkan standar harapan yang cukup tinggi kepada Telkom DWS. Hal ini karena mereka melihat Telkom DWS sebagai salah satu divisi dari perusahaan BUMN yang dinilai memiliki good governance yang baik, sehingga dianggap mampu memenuhi harapan terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi kepuasan supplier dengan baik. Hanya saja, pada kenyataan di lapangan, dengan segala keterbatasan Telkom sebagai BUMN, hal ini dapat menjadi penghambat pemenuhan harapan tersebut. Sehingga pada akhirnya, nilai kepuasan yang dirasakan supplier tidak setinggi nilai harapannya.
10
Dari hasil tabel pair t-test, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai harapan dan kepuasan para supplier terhadap Telkom DWS pada masing-masing variabel. Berikut ini adalah gambaran analisa gap seluruh supplier dari Telkom DWS:
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
Sedangkan gambar grafik yang menunjukan analisa GAP per variabel nya adalah:
Gambar 6. Grafik IPA Kepuasan Supplier Telkom DWS Gambar 5. Grafik Analisa Gap Keseluruhan Supplier Telkom DWS (per variabel) Mengacu pada tabel 3.1 tentang keterangan singkat kode variabel kepuasan sebelumnya dan gambar grafik di atas, diketahui bahwa nilai kepuasan pada variabel pemeliharaan perangkat mitra memiliki nilai gap yang paling kecil yaitu 0,5 lebih rendah daripada nilai harapannya karena kegiatan operation & maintenance (O&M) pada umumnya berlangsung lancar dan rutin. Sayangnya, nilai gap yang paling besar adalah pada variabel kemudahan proses pemberian izin dengan nilai gap mencapai 1,07. Supplier mengharapkan bahwa proses pemberian izin dapat berlangsung lebih lancar. Hanya saja pada kenyataannya, meskipun koordinasi Divisi dan Area sudah baik, namun karena ada beberapa hal terkait keamanan perangkat internal maupun pelanggan lain yang tidak diketahui kantor Divisi, mengakibatkan proses perizinan di kantor Area harus melalui proses yang ketat dan cukup memakan waktu. Hasil Importance Performance Analysis (IPA) Berikut ini adalah hasil pemetaan IPA dari masing-masing tahapan kerjasama: ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Dalam kuadran satu, terdapat variabel tahapan kerjasama installation. Para supplier Telkom DWS merasa tahapan kerjasama ini cukup penting. Hanya saja, pada tahapan ini terdapat variabel terkait kemudahan proses pemberian izin dan koordinasi internal Telkom saat instalasi yang menurut nilai index kepuasan beberapa mitra tidak puas, namun secara average dengan nilai pada variabel terkait koordinasi internal Telkom saat integrasi dan penandatanganan Berita Acara Layak Operasi (BALOP), tahapan ini dapat dikatakan memuaskan. Pada kuadran dua, terdapat variabel tahapan kerjasama order. Para supplier Telkom DWS menganggap bahwa tahapan ini sangat penting bagi mereka, meskipun kepuasan mereka terhadap Telkom pada tahapan ini tidak terlalu tinggi. Data order seperti titik koordinat, kapasitas, konfigurasi perangkat dan kelengkapan administrasi merupakan modal awal bagi supplier untuk mengerjakan pekerjaan mereka. Sayangnya, dalam beberapa kasus, Telkom DWS tidak memberikan info secara lengkap. Variabel tahapan kerjasama after installation masuk dalam kuadran tiga karena para supplier menilai kurang puas terhadap Telkom DWS meskipun mereka juga menilai bahwa hal tersebut tidak 11
Journal of Business and Entrepreneurship
terlalu penting bagi mereka dibandingkan 2 tahapan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini menjadi kurang penting karena permintaan relokasi, pemutusan perangkat, dan gangguan jarang terjadi. Berdasarkan gambar kuadran empat di atas, diketahui bahwa performansi Telkom DWS pada tahapan pre order dan colletion and payment sudah berlebihan. Dapat dikatakan berlebihan karena meskipun performansi nya sangat bagus dan supplier merasa puas, namun sebenarnya hal itu bukan menjadi sesuatu yang penting bagi supplier. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Survei index kepuasan supplier yang dilakukan oleh Telkom DWS tidak hanya untuk mendukung corporate value Telkom yaitu co-creation and win-win partnership, tapi juga sebagai contoh penerapan dari konsep holistik marketing terutama di pasar B2B yang salah satu komponennya adalah relationship marketing termasuk dengan para supplier. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan supplier. Mengacu pada penelitian Meena dan Sarmah (2012), faktor-faktor tersebut adalah terkait kebijakan pembelian, kebijakan pembayaran, dan kebijakan koordinasi. Untuk menjaga relevansi dengan dokumen PKS antara Telkom dengan para supplier, maka ketiga faktor tersebut disesuaikan dalam lima tahapan kerjasama yaitu pre order, order, installation, collection & payment dan after installation yang dijabarkan lebih detail pada operasional variabel penelitian ini. 12
Sesuai dengan tujuan penelitian berikutnya, berdasarkan hasil perhitungan nilai index nya (70%), dapat dikatakan bahwa ke enam supplier Telkom DWS yang menjadi responden merasa cukup puas dengan kerjasama selama ini. Dari keenam supplier tersebut, PT Pg memberikan index kepuasan paling tinggi yaitu mencapai 76%, sedangkan PT T memberikan index kepuasan yang paling rendah yaitu 64%. Untuk nilai index kepuasan masing-masing tahapan kerjasama, maka tahapan pre order dinilai paling baik yaitu 72%, sedangkan yang paling rendah adalah pada tahapan installation (68%). Jika melihat lebih detail pada tahapan kerjasama dan variabel dari masing-masing tahapan tersebut, ditemukan bahwa tahapan kerjasama pre order, index kepuasan para supplier cukup baik. Menurut analisa GAP nya, dua variabel pendukungnya baik terkait kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak pada dokumen perjanjian serta variabel yang terkait ketepatan waktu proses sirkulir tanda tangan, meskipun terbukti terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik, namun angka perbedaanya tidak terlalu besar dibandingkan yang lain. Menurut supplier, dokumen perjanjian sudah mengakomodir kebutuhan akan dua belah pihak. Dan meskipun pada beberapa kasus proses sirkulir tanda tangan perjanjian, Telkom DWS cenderung lama, namun hal ini masih diterima mengingat Telkom merupakan perusahaan BUMN yang birokratisnya cukup tinggi. Dari segi kinerja Telkom DWS pada tahapan kerjasama pre order juga terbukti baik sesuai dengan analisa IPA nya, di mana pre order masuk dalam kuadran possible overkill atau terlalu berlebihan. Meskipun secara perfomansi dapat dikatakan baik, namun jika mempertimbangkan tingkat ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
kepentingan tahapan tersebut di mata supplier, pre order dianggap tidak terlalu penting bagi mereka. Sehingga sebaiknya Telkom DWS tidak berfokus pada tahapan itu untuk mengelola kepuasan supplier. Di sisi lain, nilai index kepuasan supplier tidak terlalu tinggi untuk tahapan kerjasama installation. Hal ini disebabkan oleh nilai index kepuasan yang lebih rendah terkait proses perizinan pengerjaan dan terkait koordinasi internal Telkom pada saat instalasi. Dari analisa GAP nya, diketahui bahwa dua variabel ini memiliki nilai GAP yang cukup besar dan terbukti terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik. Meskipun proses perizinan ini harus dilakukan secara hati-hati karena menyangkut perangkat yang erat kaitannya dengan peta kekuatan Telkom, namun supplier merasa bahwa proses perizinan yang ada terlalu berbelit belit dan sangat memakan waktu. Padahal para supplier tersebut juga memiliki tengat waktu yang singkat untuk memenuhi kebutuhan dari Telkom DWS. Sedangkan terkait dengan koordinasi internal Telkom pada saat instalasi, dengan adanya sumber daya Telkom di seluruh area Indonesia bahkan hingga tingkat kabupaten, supplier berharap bahwa koordinasinya akan berjalan lancar. Namun keadaan di lapangan sering ditemui kasus di mana koordinasi tidak berjalan dengan lancar baik terkait koordinasi antara kantor Divisi dengan Area maupun antara kantor Area sendiri. Kedua hal tersebut yang menjadikan performansi Telkom DWS tidak terlalu baik padahal supplier menganggap tahapan kerjasama installation adalah tahapan yang penting. Oleh sebab itu, berdasarkan analisa IPA nya hal ini masuk dalam kuadran 1 (concentrate here) atau hal yang perlu segera diperhatikan. Sehingga dalam upaya untuk memperbaiki kepuasan supplier ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
bekerjasama dengan Telkom DWS, perlu difokuskan kepada proses perizinan dan koordinasi internal saat instalasi. Implikasi Manajerial Implikasi manajerial dari penelitian ini bagi Telkom DWS adalah sebagai bahan dasar pertimbangan untuk perbaikan bentuk kerjasama yang lebih baik dengan para supplier dalam upaya mendukung salah satu corporate value Telkom yaitu co-creation and win-win partnership dan penerapan dari konsep holistik marketing. a. Adapun yang sebaiknya menjadi fokus utama dalam perbaikan bentuk kerjasama adalah pada tahapan installation terutama terkait proses perizinan dan instalasi. Untuk melakukan hal tersebut, Telkom DWS perlu berkoordinasi untuk perizinan dan instalasi dengan divisi Telkom yang lain seperti Divisi Infrastruktur Telekomunikasi (DIVINFRATEL) dan Divisi Akses (DIVA) karena kedua divisi tersebut lah yang memiliki wewenang terkait pengerjaan infrastruktur di Telkom. Koordinasi yang dilakukan tidak hanya pada tingkat kantor Divisi saja, namun juga harus sampai pada kantor Area di seluruh Indonesia karena surat izin dikeluarkan dari kantor area dan pengerjaan instalasi harus dilakukan dengan sepengetahuan mereka. b. Meskipun perbaikan di tahapan installation perlu difokuskan karena performansi nya yang kurang baik, namun Telkom DWS juga perlu memperhatikan yang lain. Misalnya dengan memastikan kepada para supplier bahwa mereka betul memahami tata cara pembayaran 13
Journal of Business and Entrepreneurship
Telkom DWS sebagaimana telah tercantum pada dokumen perjanjian. Jika para supplier mengerti, maka diharapkan kepuasan supplier dapat ditingkatkan. c. Pelaksanaan rekonsiliasi tagihan secara rutin terbukti dapat menjaga kepuasan supplier terkait ketepatan jumlah pembayaran kepada mereka. Oleh sebab itu, sebaiknya Telkom DWS melaksanakan rekonsiliasi tagihan rutin terhadap seluruh supplier sehingga dispute terkait jumlah pembayaran tagihan dapat dihindari. d. Tidak hanya itu saja, tahapan kerjasama order terutama terkait pemberian informasi data detail di surat order juga perlu menjadi perhatian dari Telkom DWS. Dalam hal ini, Telkom DWS dapat berkoordinasi terlebih dahulu dengan tim lapangan OLO sebagai pelanggan untuk mengetahui data detail seperti konfigurasi perangkat, data koordinat dan alamat lengkap. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, maka Telkom DWS dapat mengajukan surat order kepada para supplier. Dengan upaya ini, diharapkan kepuasan supplier dapat meningkat karena detail permintaan sudah diterima dengan baik. e. Melihat nilai index kepuasannya, PT T memiliki nilai yang paling rendah. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari Telkom DWS untuk mempertahankan kepuasan supplier. Meskipun perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari Telkom, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan memutuskan kerjasama sebagai supplier jika kepuasan nya tidak terpenuhi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan Telkom DWS adalah dengan memenuhi harapan PT T terutama 14
terkait kelengkapan dokumen order, atau dengan cara melakukan benchmark terhadap apa yang berhasil dilakukan Telkom DWS kepada PT Pg sehingga memiliki nilai index yang paling tinggi. Saran Meskipun terbukti bermanfaat, hanya saja penelitian ini memiliki keterbatasan terutama dalam jumlah respondennya dan hanya terfokus pada tahapan kerjasama sesuai dengan dokumen perjanjian antara Telkom DWS dengan para supplier nya. Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk menggunakan dimensi lain sebagai faktor yang diukur sesuai dengan jurnaljurnal sebelumnya. Sebagai contoh, penelitian selanjutnya dapat mengukur kepuasan supplier jika dikaitkan dengan posisi tawar nya pada saat negosiasi harga, SLG, atau kepuasan mereka terkait hubungan interpersonal dengan perusahaan buyer.
DAFTAR PUSTAKA Benton, W. C., & Maloni, M. (2005); The influence of power driven buyer/ seller relationships; Journal of Operations Management 23 , 1-22. Burt, D.N., Dobler, D.W. & Starling, S.L. (2008), World Class Supply Management: The Key to Supply Chain Management 7 th ed, Tata McGraw-Hill, New Delhi Essig, M., & Amann, M. (2009); Supplier satisfaction: Conceptial basics and explorative findings; Journal of Purchasing & Supply Management 15 , 103-113. Hutt, M. D., & Speh, T. W. (2004); Business marketing management; Ohio: Thomson - South Western . ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Journal of Business and Entrepreneurship
Kotler, Keller, et al; Marketing Management - An Asian Perspective; Prentice Hall. 2009
needs, wants and preferences; Journal of Purchasing & Supply Management , 127-138.
Malhotra, Naresh K. (2010); Marketing Research sixth edition; New Jersey: Pearson.
Snyder, J. (2003); Suppliers lose faith in GM as partner; Retrieved from Automotive News Europe: www.highbeam.com/doc/1G1111030457.html
Martilla John A., James John C. (1977); Importance-Performance Analysis; Journal of Marketing, 41, 1, 77-79. Maunu, S. (2003), Supplier satisfaction: the concept and measurement system, unpublished PhD thesis, Department of Industrial Engineering and Management, University of Oulu, available at http://herkules.oulu.fi./ i s b n 9 5 1 4 2 7 1 6 8 8 / isbn9514271688.pdf PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (2012); Corporate value & strategy framework Direktorat Enterprise & Wholesale; Jakarta: Author Ramsay, J., & Wagner, B. A. (2009); Organisational Supplying Behavior: Understanding supplier
ISSN: 2302 - 4119 Vol. 1, No. 3; Oktober 2013
Soetanto, R. & Proverbs, D.G (2002), Modeling the satisfaction of contractors: the impact of client performance; Engineering Construction & Architectural Management Review, Vol.9 No.5/ 6, 453-65. Verhoef, P.C., Franses, P.H. and Hoekstra, J.C. (2001), The impact of satisfaction and payment equity on cross-buying; a dynamic model for a multi-service provider; Journal of Retailing, Vol. 77 No.3, 78-359. Wong, A. (2000); Integrating supplier satisfaction with customer satisfaction; Total Quality Management , s427-2432.
15