SURAT KONTRAK KALIMANTAN 5 JULI 1779: SUNTINGAN TEKS DISERTAI ANALISIS STRUKTUR DAN ASPEK SEJARAH oleh Eki Kusumadewi, Priscila F. Limbong Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia HYPERLINK "mailto:
[email protected]"
[email protected] Abstrak Nama Program Studi Judul
:Eki Kusumadewi :Indonesia :Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779: Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur dan Aspek Sejarah
Skripsi ini membahas Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779 sebagai surat formal yang pernah berlaku pada masanya. Surat tersebut diteliti dengan menggunakan kajian filologi untuk menghasilkan sebuah suntingan teks. Naskah juga dideskripsikan untuk menentukan metode penyuntingan. Selanjutnya, naskah disunting dengan menggunakan metode naskah dasar. Hasil pengkajian terhadap suntingan teks Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779 berupa klasifikasi surat, struktur surat, dan aspek sejarah perdagangan di Pontianak. Dalam bagian struktur, penelitian ini lebih dalam mengkaji cap surat yang memiliki peran penting dalam sebuah perjanjian . Kata Kunci: Cap, sejarah, struktur surat, suntingan Abstract Name : Eki Kusumadewi Study Program : Indonesian Title : Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779: Text Editing with Structure Analyzis and History Aspect This thesis discusses the Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779 as a formal letter ever force of its time. The letter was researched using philological studies to produce a text edits. Scripts are also described to determine the method editing. Furthermore, the text edited using the basic script metod. Assessment of the results of the Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779 in the form of classification letter, letter structure, and historical aspects of trading in Pontianak. In parts of the structure, this study researchs more in seal letters that have an important role in a treaty.
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Key word: Editing, history , letter structure, seal
Pendahuluan Kerajaan di Nusantara telah melakukan hubungan diplomasi dengan bangsa lain sejak masa lalu. Kerajaan – kerajaan di Nusantara melakukan hubungan diplomasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di mata pihak kolonial. Hubungan diplomasi tersebut antara lain terlihat pada kontrak-kontrak kerajaan dengan pihak kolonial. Kerajaan di Nusantara sudah melakukan perjanjian yang terekam dalam surat kontrak sejak awal abad XVI. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat tertua, yaitu surat antara Sultan Abu Hayat—Raja Ternate—kepada Raja Portugal pada tahun 1521 (Mu’jizah, 2009: 11). Salah satu surat kontrak lainnya yang menandakan hubungan kerja sama pihak kolonial dengan kerajaan adalah kontrak antara VOC dan Sultan Syarif Abdul Rahman Ibnu Habib Husain Al-Qodri dari Pontianak yang tersimpan dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Surat kontrak tersebut bertanggal 5 Juli 1779. Surat kontrak tersebut terekam dalam sebuah naskah lama. Naskah lama berupa surat kontrak secara khusus disimpan di Arsip Nasional. Penyimpanan surat kontrak berbeda dengan penyimpanan naskah berupa cerita yang umumnya disimpan di Perpustakaan Nasional. Hal ini berkaitan dengan surat kontrak merupakan alat diplomasi kerajaan. Naskah berupa alat diplomasi kerajaan pada umumnya menjadi bagian dari arsip negara. Surat Kontrak Kalimantan 5 Juli 1779 tersimpan di ANRI dalam katalog Daftar Arsip Kontrak antara Pemerintah Kolonial (VOC) Hindia Belanda dengan Raja-Raja Pribumi di Kalimantan, Bali, Surakarta, dan Sumatera Jilid 1. Surat tersebut bernama Surat Kontrak Kalimantan No. 9—selanjutnya disingkat SKK 9. SKK 9 berisi perjanjian antara Sultan Syarif Abdul Rahman Ibnu Habib Husain Al Qodri dari Pontianak dan VOC. Berdasarkan informasi dalam katalog perjanjian ini berisi tanah Sangau yang dipinjam dari Sultan Pontianak—dalam naskah disebut Sesenggih, penghormatan hak dan kedaulatan Sultan Pontianak, serta kepastian kedudukan putra Sultan Pontianak jika ia meninggal (Mirawati, 2006: 3). Surat Kontrak tersebut berisi 18 perkara dengan peraturan yang berbeda-beda. Penamaan Negeri Sangau dalam naskah selanjutnya akan disebut Sesenggih sesuai dengan penamaan dalam naskah SKK 9. Selain itu, surat kontrak Kalimantan bertanggal 5 Juli 1779 juga ditemukan dalam katalog lain, yaitu Inventaris Arsip Kalimantan (Borneo Westerafdeeling) dengan nama Borneo
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Westerafdeling 251 (selanjutnya disingkat Borneo W 251) dan Borneo Westerafdeling 252 (selanjutnya disingkat Borneo W 252). Kedua naskah tersebut merupakan varian dari naskah SKK 9 karena isi teks ketiga naskah tersebut sama. Kemungkinannya, Borneo W 251 dan Borneo W 252 merupakan salinan dari SKK 9. Surat- surat tersebut beraksara jawi. Huruf jawi adalah huruf Arab yang dipakai untuk menulis naskah Melayu (Mulyadi, 1994: 8). Saat ini, aksara jawi kurang dipahami oleh masyarakat. Isi surat kontrak tersebut tidak akan dipahami tanpa mengerti aksara yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian terhadap naskah surat kontrak perlu dilakukan. Untuk melakukan penelitian terhadap naskah surat kontrak, diperlukan kajian di bidang filologi. Menurut Ikram (1997:33), filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama beserta isinya. Selain itu, filologi berfungsi membantu mempelajari peninggalan material berupa naskah dalam bidang sejarah. Oleh karena itu, isi tulisan dalam sebuah kontrak akan memperjelas sejarah hubungan kerja sama di masa lampau. Sesuai dengan pernyataan Robson tentang tugas penelitian filologi (1994:12), agar naskah SKK 9 dapat dibaca dengan mudah, ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu menyajikan dan menafsirkannya. Untuk menyajikan dan menafsirkannya, diperlukan pembuatan edisi teks terhadap SKK 9. Edisi teks tersebut diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami isi surat kontrak. Inti dari edisi teks adalah teks itu sendiri disertai pembahasan tentang sumbernya, bacaan-bacaan varian, dan catatan tentang tempat yang tidak jelas atau bermasalah (Robson, 1994: 13). Untuk memperkaya pengkajian, penulis juga melakukan penelitian dalam bidang kodikologi. Kodikologi menurut Baried (1994:56) adalah ilmu yang mempelajari naskah dan bertugas mengkaji seluk beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah. Pendeskripsian naskah akan memperlihatkan hal di luar naskah yang berkaitan dengan sejarah baik yang berkaitan dengan teks, maupun di luar teks. Selain itu, melalui pengkajian filologi terhadap SKK 9 diharapkan pembaca dapat melihat sejarah hubungan dagang di Pontianak dan struktur surat kontrak masa lampau Penelitian ini juga mengkaji struktur surat. Penelitian terhadap struktur surat juga mencakup pada bagian cap surat yang menjadi ciri khas dari penulisan surat resmi pada masa lalu. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Mu’jizah (2004: 257) bahwa dalam tradisi penulisan Melayu yang formal sekurang-kurangnya ada delapan bagian yang selalu muncul, yakni iluminasi (hiasan), cap (stempel), kepala surat, puji-pujian, isi, bingkisan, penutup, dan alamat. Penelitian terhadap SKK 9 akan memberikan informasi untuk menambah pengetahuan mengenai surat kontrak. Melalui penelitian yang akan dilakukan dalam SKK 9, sebuah
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
peraturan tentang tanah dan hubungan dagang pada masa lampau dapat ditelusuri. Secara khusus, penelitian ini akan melihat sistem perdagangan yang digunakan oleh Raja Pontianak pada pihak VOC sehingga peninggalan hukum pada masa lampau dapat diinventarisasikan. SURAT KONTRAK KALIMANTAN 5 JULI 1779: ANALISIS STRUKTUR DAN ASPEK SEJARAH 2.1 Klasifikasi SKK 9 SKK 9 merupakan bentuk surat resmi antara pemerintah Belanda—masa VOC— dan Sultan Syarif Abdurrahman. Sebagai sebuah surat, SKK 9 dapat diklasifikasikan dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Van der Putten. Menurut Van der Putten (dalam Mu’jizah, 2004: 256), surat dapat diklasifikasikan berdasarkan kegunaan, penampilan fisik, isi, dan bahasa yang digunakan. Berdasarkan kegunaan, penulis mengelompokkan SKK 9 sebagai surat registrasi karena surat tersebut berupa pendataan dan pencatatan pemberian kekuasan kompeni terhadap Sultan Syarif Abdurrahman sebagai pemimpin di Sesenggih dan Pontianak. Berikut kutipan yang terdapat dalam SKK 9. Surat Piter Pontianak menetapkan dan mentaaqid akan/ tuan Pangeran Syarif Abdul Rohman Ibnu Alhasin Alqodri/ akan sultan dari Negeri Sesenggih dan Pontianak (SKK 9 : 1 baris 2-3). Berdasarkan isi, SKK 9 termasuk dalam kelompok surat bisnis karena berisi bisnis antara kompeni dan Sultan Pontianak. VOC melakukan monopoli di Sesenggih dan Pontianak, serta mengatur mata uang yang berlaku di Sesenggih. Berikut kutipan yang terdapat dalam SKK 9. Bahwa segala rupa dinar-dinar dari Wulanduy beserta lahin-lahinnya yang berlahku di Negeri Betawih// tuan sultan berjanji akan lakukan dalam Negeri-Negeri Sesenggih dan/ Pontianak turut harga Betawih (SKK 9 : 11 baris 10, 12 baris 1-2). Berdasarkan bahasa, SKK 9 termasuk dalam kelompok surat formal karena menggunakan bahasa yang resmi dan formal pada masa itu. Hal ini terkait dengan bahasa yang digunakan oleh surat kontrak harus resmi karena menyangkut kepentingan VOC dan juga Sultan Pontianak sebagai petinggi di Sesenggih dan Pontianak. Berikut kutipan yang terdapat dalam naskah SKK 9 .
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Maka atas bunyinya dia/ ini tuan pangiran menjabat dan menerima perintah atas Negeri Sesenggih dan/ Pontianak, seperti ariti barang pinjaman yang merdehikayang tiada boleh / turun pusaka adanya.// (SKK 9: 1 baris 7)
Struktur SKK 9 Analisis struktur SKK 9 dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Mu’jizah dalam artikel “Surat Resmi” di Sejarah Melayu Lintas Daerah. Struktur tersebut dibagi menjadi bagian halaman muka surat, pembuka surat, isi surat, dan penutup surat. Berikut analisis struktur SKK 9. Halaman muka SKK 9 berupa kolofon. Kolofon adalah tanggal pembuatan surat dan informasi lainnya (Mulyadi, 1994: 73). Kolofon pada halaman muka surat memberikan informasi mengenai tanggal pembuatan kontrak, yaitu 5 Juli 1779. Surat kontrak tersebut merupakan perjanjian antara VOC dengan Sultan Syarif. SKK 9 dibuka dengan nama-nama pembuat surat. Surat kontrak tersebut tidak langsung menceritakan isi surat, tetapi menarasikan terlebih dahulu kepentingan surat yang dibuat. Bagian awal SKK 9 secara eksplisit disebutkan penunjuk awal surat, seperti kata “alamat surat tanda meminjam”. Selanjutnya, disebutkan orang yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Selain nama pembuat perjanjian surat, menurut Mu’jizah (2004: 265), bagian awal beberapa surat perjanjian kadang-kadang tercatat tanggal pembuatan. Pada bagian awal naskah SKK 9, terdapat penanggalan dan sebuah lokasi. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut. Pada 26 hari bulan Maret tahun/ 1778 Negeri Landak (SKK 9: 2 baris 6). Berdasarkan kutipan tersebut, 26 Maret 1778 bukan tanggal SKK 9 dibuat, melainkan tanggal jatuhnya kekuasaan Banten di Sesenggih atas kekuasaan VOC. Dalam pembukaan SKK 9, juga ditemukan penggunaan puji-pujian. Puji-pujian tersebut digunakan untuk memuji pihak kerajaan agar lebih yakin pada kompeni. Bagian puji-pujian merupakan bagian surat yang mencantumkan nama, gelar pengirim, dan penerima surat (Mu’jizah, 2004: 258). Dalam SKK 9, penulis menemukan pujian sebagai berikut. (...) padanya dengan nama puja-pujaan ini/ Sultan Syarifa Abdurrrahman Ibnu Al Habib Al Hasin Alqodri, yaitu bersama-sama sekalian/ gibaan dan kelebihan beserta kemuliaan yang tertambat dengan pangkat Sultan bin
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
yang Ali itu (SKK 9: 5 baris 10-11). Kutipan tersebut memperlihatkan gelar yang diberikan oleh kompeni Belanda pada Sultan Syarif. Sultan diberi pangkat Sultan yang Ali. Pangkat tersebut sama dengan nama salah satu Khalifaur Rasyidin. Setelah bagian pembuka, bagian selanjutnya adalah isi surat. Bagian isi surat Melayu memiliki konvensi dengan tradisi penulisan surat. Hal ini terkait dengan pernyataan Gallop (1992:2) bahwa tradisi menulis surat Melayu dikenal harus mengikuti konvensi surat menyurat pada bagian badan surat. Setelah pembuka, surat masuk ke bagian isi. Bagian isi perjanjian biasanya terdiri atas beberapa pasal dengan diikuti nomor urut tergantung pada jumlah butir perjanjiannya (Mu’jizah, 2004: 265). SKK 9 terdiri atas delapan belas pasal. Pasal dalam naskah SKK 9 disebut dengan “perkara”. Secara umum, isi perkara tersebut berisi kepentingan VOC dalam semua aspek, yaitu perdata, pemerintahan, pertanahan, pidana, ekonomi, hubungan diplomasi, hubungan dengan Cina, kependudukan, dan budaya. Selain itu, terdapat penanda di tiap akhir perkara. Penanda akhir perkara adalah kata “adanya”. Kata tersebut digunakan di semua akhir perkara. Berikut contoh penggunaan kata “adanya” sebagai penanda akhir perkara. di bawah kerajaan adanya./Ketujuh belas (SKK 9 : 19 baris 2-3). Bagian terakhir dari SKK 9 adalah bagian penutup. Bagian penutup pada SKK 9 masih menggunakan narasi, seperti di bagian pembukanya. Menurut Mu’jizah (2004: 265), agar pembuat surat tidak mengingkari janjinya, beberapa surat bahkan ada yang disertai dengan sumpah. Pada bagian akhir SKK 9, terdapat sumpah yang dibuat oleh VOC untuk Sultan Pontianak. Berikut sumpah yang terdapat dalam naskah SKK 9. (...) tuan sultan beserta menteri-menterinya akan berjanjikan dirinya serta dengan sumpah hendak/ menyampaikan segala pertetapan beserta perjanjian ini. (SKK 9 : 20 baris 3-4). Sebagai tanda pengesahan, bagian akhir digunakan cap yang disertai tanda tangan nama penguasa. Tanda tangan dalam naskah SKK 9 yang beraksara Arab berjumlah tiga buah. Surat tersebut ditandatangani oleh Sultan Syarif Abdurrahman sebagai tanda persetujuan dengan surat kontrak. Gambar 4.2 Cap lilin dan cap jelaga lampu berwarna hitam di bagian akhir
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Pada tanda tangan Sultan Syarif Abdurrahman, terdapat cap surat yang terbuat dari lilin. Jumlah cap lilin mempunyai simbol tersendiri. Menurut Gallop (2006: 408) di Kalimantan, terdapat kebiasaan saat surat-menyurat. Ketika cap berjumlah tiga, pangeran harus datang dengan semua bawahannya dan alat untuk bekerja di jalan. SKK 9 memiliki cap lillin berjumlah tiga buah. Hal ini menandakan Sultan Syarif harus membawa pasukan kerajaan untuk menempati kerajaan barunya di Sesenggih. Selain cap lilin berwarna jingga, naskah SKK 9 juga memiliki cap berwarna hitam. Gallop menyebutnya jelaga lampu berwarna hitam. Menurut Gallop (1992: 9), media paling umum yang digunakan untuk surat Melayu adalah jelaga lampu berwarna hitam. Cap jelaga lampu berwarna hitam dalam naskah SKK 9 berjumlah satu buah. Tulisan di dalam lingkaran cap tersebut adalah al wathin al billah as-syarif al Sultan Abdurrahman alhasin Alhabib ya kaldun landui duri alam. Berikut gambar cap jelaga lampu berwarna hitam.
Gambar 4.3 Cap yang terbuat dari jelaga lampu berwarna hitam berbentuk segi delapan
Cap jelaga lampu berwarna hitam tersebut merupakan cap yang menunjukkan identitas kerajaan. Cap kerajaan tersebut terlihat dari penggunaan nama Sultan Pontianak, yaitu Sultan Abdurrahman. Selain itu, cap naskah SKK 9 berbentuk segi delapan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Gallop (1992:10) bahwa pengaruh besar pada bentuk cap Melayu adalah lingkaran dan segi delapan. Bentuk cap hitam naskah SKK 9 adalah prisma segi delapan. Cap segi delapan tersebut menurut Gallop (1991: 53) adalah ciri khas cap Sultan Pontianak. Letak cap hitam tersebut mempunyai makna tersendiri. Posisi cap pada surat menurut Gallop (2006: 411) terkait dengan peringkat dari orang yang ditangani. Posisi cap jelaga lampu berwarna hitam dalam naskah SKK 9 terletak di pias kanan bagian bawah surat. Posisinya sejajar dibawah puji-pujian terakhir. Menurut Winsted (dalam Gallop, 1992: 13) cap dibubuhkan di sebelah kanan pada surat kerajaan. Warkahnya sejajar dengan baris yang pertama pada ruang pujian-pujian itu. Cap pegawai dibubuhkan sebelah kanan juga. Namun, sejajar dengan penghabisan pujian-pujian. Berdasarkan posisi cap tersebut dibubuhkan, kedudukan Sultan Pontianak hanya sebagai bawahan kompeni karena terletak di bagian kaki surat. Cap hitam tidak ditemukan pada bagian lain. Posisi Sultan Pontianak sebagai penyewa tanah pada kompeni telah disimbolkan dalam pembubuhan cap tersebut. Akan tetapi, pada bagian lain Gallop berpendapat bahwa semakin kanan cap
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
dibubuhkan, semakin tinggi status penulis. Cap dalam naskah SKK 9 dibubuhkan di sebelah kanan surat. Berdasarkan letak cap tersebut, VOC tetap memberikan status yang tinggi pada Sultan Pontianak. Selain itu, menurut Gallop (1992: 13), jika beberapa cap yang tercetak di bagian atas (kasus surat bersama atau pernyataan), semakin rendah status pejabat bersangkutan. Cap dalam naskah SKK 9 tidak diletakkan di bagian atas karena status pejabat, yakni kompeni dan Sultan Pontianak adalah penguasa yang memiliki kehormatan tinggi. 2.3 Catatan Sejarah dalam SKK 9 Pontianak adalah sebuah kota yang berada di sebelah barat Pulau Kalimantan. Wilayahnya dekat dengan perairan Malaka dan Singapura yang ramai dengan pelayaran internasional. Sebagai kota yang berada di wilayah strategis, Pontianak diperebutkan oleh pihak penguasa, seperti Kerajaan Banten dan kompeni Belanda. Menurut catantan, orang Belanda yang datang ke Kalimantan pertama kali adalah Oliver van Noort pada 26 Desember 1600 (Salim, dkk., 2011: 155). VOC bukan hanya datang ke Kalimantan untuk berdagang, melainkan juga untuk kepentingan politik. Hal tersebut tergambarkan dalam naskah SKK 9 yang berlatar Kerajaan Pontianak dan wilayah Sesenggih. Pemerintah Belanda membagi wilayah Kalimantan Barat menjadi 26 afdeeling. Mereka menyebutnya Borneo Westerafdeeling. Wilayah Borneo Westerafdeeling adalah Pontianak, Mempawah, Landak, Tayan, Meliau, Sangau, Sekadau, Sipau, Blitang, Sintang, Silat, Suhait, Krembau, Plasa, Jungkung, Bunut, Malo, Sibau, Taman, Madai, Kayan, Melawai, Matan, Simpang, Sukadana, dan Kubu (ANRI, 1973: 209). Salah satu daerah yang disebutkan adalah Sangau. Luas wilayah Kabupaten Sangau adalah 18.260 km2 (Ja’achmah, 1997: 5). Daerah tersebut merupakan daerah yang menjadi awal mula pembentukan SKK 9. Raja-raja Pontianak umumnya mengikat perjanjian dengan pihak Belanda. Kerja sama mengatur sistem pemerintahan diatur dalam lange contract maupun corte verklaring (Alqadrie, 1984: 82). Surat kontrak 5 Juli 1779 adalah surat pertama yang membuat kompeni Belanda turut campur dalam pemerintahan Negeri Pontianak. Status tanah Sesenggih dan Pontianak memiliki sejarah panjang. Kerajaan Pontianak hadir karena Sultan Syarif Abudrrahman berhasil mengalahkan perampok yang mengganngu VOC. Sultan Syarif Abdurrahman berasal dari kerajaan Panembahan Mempawah. Setelah membuka lahan, Sultan Pontianak membangun Kesultanan Kadriah. Mulai saat itu, muncul rombongan orang-orang Dayak ke Pontianak (Nurcahyani, dkk., 1999:13). Setelah membuka lahan, muncul orang-orang asing yang memiliki kepentingan berdagang di Pontianak sehingga wilayah Pontianak makin ramai dari sebelumnya.
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Sultan memanfaatkan keadaan tersebut untuk memungut cukai. Kerajaan Pontianak mulai maju secara ekonomi, maupun militer. Dengan kekuatan kerajaan, Sultan Pontianak melakukan ekspansi ke wilayah lahin. Daerah yang dekat dengan Pontianak dan ingin dikuasai pertama adalah Sesenggih. Raja Sesenggih selaku vazal (negeri bawahan Banten) meminta bantuan, tetapi pihak Banten tidak dapat bertahan lagi. Oleh karena itu, Sultan Banten menyerahkan supremasi Banten pada VOC tanggal 26 Maret 1778 (Hasanudin, 2001: 66). Akan tetapi, VOC memberikan tanah Sesenggih pada Kerajaan Pontianak yang sebelumnya memang ingin menguasai wilayah tersebut. Berikut kutipan dalam naskah yang menyatakan VOC memberi kekuasaan pada Sultan Pontianak untuk menguasai Sesenggih. Alamat surat tanda meminjam dengan apa ini Willem Adrian / Palm Pitur Negeri Rembang, sekarang komisaris dari Pontianak. Surat Piter Pontianak menetapkan dan mentaaqidakan/ tuan Pangiran Syarifa Abdul Rohman Ibnu Alhasin Alqodri/ akan sultan dari Negeri Sesenggih dan Pontianak (SKK 9: 1 baris 1-5). Berikut kutipan yang menyatakan Banten menyerahkan kekuasaan pada pihak VOC dalam naskah SKK 9. walakan perintah yang maha besar atasnya itu beserta atas sekalian negeri// lahin-lahin yang dipermilik dengan pinjam oleh Raja Banten telah ada juga/ dalam tangan kompeni Wulanduy (SKK 9: 2 br. 11 dan hlm. 3 br. 1-2). Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat kecurangan yang dilakukan oleh VOC. Kesultanan Banten sebelumnya meminta tolong pada VOC. Akan tetapi, VOC memanfaatkan hal tersebut untuk mengambil alih kekuasaan Banten di Sesenggih. Hal ini diketahui dengan perkataan dalam surat, yaitu “tidak diingat lagi” saat Kesultanan Banten menyerahkan Sesenggih pada VOC. Status tanah kemudian berpindah pada VOC. Putusan tersebut menandakan Banten takluk pada VOC. Tanah Sesenggih kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk menguasai Pontianak melalui SKK 9. Pada masa Abdurrahman, Kerajaan Pontianak telah menjalin hubungan dengan pemerintah VOC. Hal ini terbukti dengan dinobatkannya Abdurahman oleh Residen Rembang Willem Adrian Palm (Nurcahyani, dkk., 1999:14). Akan tetapi, Raja Pontianak tidak dibiarkan menguasai daerah Sesenggih sebagai daerah kekuasaan sepenuhnya. VOC memberikan hak sewa tanah pada Kerajaan Pontianak. Kesultanan Pontianak diposisikan sebagai penyewa tanah. VOC memanfaatkan kembali keadaan tersebut dengan menambah persyaratan sebagai pemberi sewa tanah pada Sultan Pontianak. Persyaratan tersebut tidak hanya berhubungan dengan hukum perdata di Sesenggih, tetapi juga
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
dengan aspek lain, seperti pemerintahan dan ekonomi. Berdasarkan fakta tersebut terlihat bahwa sebenarnya VOC bertujuan untuk menjajah. Pola umum penjajahan Belanda di Indonesia pada dasarnya sama, yaitu memecah belah dan menguasai (Alqadrie, 1984: 106). VOC memberikan persyaratan hingga wilayah Pontianak juga menjadi daerah yang harus tunduk dalam kontrak tersebut. Selain status tanah di Pontianak dan Sesenggih, SKK 9 juga mendokumentasikan pelayaran bebas pada masa itu. Pontianak merupakan salah satu pintu gerbang untuk masuk ke Nusantara dan wilayah lain, seperti Singapura. Kota Pontianak sering disebut sebagai pintu gerbang daerah Kalimantan Barat karena letaknya strategis dan berada di jalur lalu lintas laut internasional yang menghubungkan wilayah Nusantara melalui Selat Malaka. Oleh karena itu, daerah Pontianak sering menjadi persinggahan kapal-kapal besar (Nurcahyani, dkk., 1999: 16). Selain itu, Kerajaan Pontianak juga berada di daerah persimpangan sungai besar (Sungai Landak dan Sungai Kapuas) (Nurcahyani, dkk., 1999:30). Berdasarkan fakta tersebut, sungai merupakan salah satu sarana untuk memperlancar perdagangan. Pedagang menggunakan aliran sungai untuk menjual dan mengambil komoditas yang ada di pedalaman Pontianak. Salah satu pedagang yang pernah datang ke Pontianak dengan kapal besar adalah Cina. Hal ini terdapat dalam naskah SKK 9. Berikut kutipan dalam naskah. (...) dengan wangkangnya yang ia betul datang dari Negeri Cina istimewah orang Johor beserta/ sekalian orang lahin-lahin yang sudah dilarangkannya berlahyar ke Pulau Borneo (SKK 9 : 16 baris 8-9). Berdasarkan kutipan tersebut, pelaut Cina menggunakan wangkang untuk berlayar ke wilayah Nusantara dan Johor. Menurut kamus A Malay- English Dictionary (Romanisea) (1959:645), wangkang berarti perahu besar Cina. Mereka menggunakan wangkang untuk berlayar dan berdagang. Isi perjanjian pelayaran bebas adalah orang Cina dan orang Putih—orang Eropa— lainnya tidak boleh masuk ke Borneo. Berdasarkan isi tersebut, diketahui bahwa sebelum perjanjian dibuat ada bangsa lain yang datang ke Pontianak. Bangsa tersebut bukan hanya orang Cina, tetapi juga Arab, Persia, India, Portugis, Belanda, Inggris, dan pelaut Nusantara (Nurcahyani, dkk., 1999: 60). Mereka melakukan perdagangan di Kalimantan Barat, tetapi telah dilarang oleh VOC karena dianggap melanggar pelayaran bebas. Hal ini bertentangan dengan pengertian dari pelayaran bebas itu sendiri, yakni bebas menjual barang dagangan pada siapa pun.Berikut kutipan dalam naskah SKK 9 yang menunjukkan larangan bangsa lain datang ke Pontianak.
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Maka demikian itu selama-selamanya akan/ menengahkan dari atas perintahnya segala jenis putih asing beserta jenis Cina(...) orang lahinlahin yang sudah dilarangkannya berlahyar ke Pulau Borneo tersebut dalam surat(...) (SKK 9: 16 baris 6-8). Dengan adanya SKK 9, Sultan Pontianak akan merugi karena komoditas utama daerah mereka hanya dapat dijual kepada VOC. Padahal, Kerajaan Pontianak secara reguler menjual barang dagangannya ke Malaysia, Singapura, dan Hongkong. Pertimbangannya adalah jaraknya lebih dekat dan harga produksi Kalimantan Barat di pasaran itu lebih baik, maka banyak barang-barang produksi di Kalimantan Barat yang diperdagangkan di negara tersebut (Alqadrie, 1984: 60-61). SKK 9 membuat Sultan Pontianak tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari perdagangan karena sektor tersebut telah dikuasai oleh kompeni Belanda. Jaringan perdagangan bebas adalah Singapura, Johor, dan Hongkong. Orangorang Cina umumnya menjadi pedagang perantara baik terhadap barang-barang perdagangan bebas, maupun barang monopoli VOC ( Alqadrie, 1984: 67). Oleh karena itu, orang Cina menjadi bagian penting dalam perdagangan di Pontianak. Namun, mereka tetap diwaspadai oleh pihak VOC karena dapat mengancam sistem monopoli miliknya. Contoh pengawasan VOC pada orang Cina yang terdapat dalam SKK 9 adalah izin menetap di wilayah Pontianak. Selain pedagang asing, SKK 9 juga memberi informasi pedagang Nusantara yang ada di Pontianak pada masa lalu. Berikut kutipan yang terdapat dalam naskah. Bahwa kepada orang-orang Jawa, dan Melahyu, dan Bali, dan Bugis, dan Mangkasar beserta lain-lahinnya/ istimewah (SKK 9: 19 baris 4-5). Berdasarkan kutipan tersebut, diketahui bahwa pedagang dari Jawa, Melayu, Bali, Bugis, dan Makassar melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Pontianak dan Sesenggih. Masyarakat Jawa juga menjadi bagian penting dalam perdagangan di Pontianak. Meskipun masyarakat Jawa umumnya tinggal di Pontianak bukan sebagai pedagang, mereka tetap memiliki andil dalam menangani administrasi perdagangan. Komoditas utama di Kalimantan Barat khususnya Pontianak adalah emas dan intan. Berikut kutipan yang terdapat dalam naskah SKK 9. hasil negerinya sehingga disukainya akan itu/ oleh kompeni, yakni batu intan, dan emas (...) (SKK 9 : 14 baris 2).
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Komoditas ekspor Pontianak adalah kelapa, lada, karet, kayu, damar, emas, biji besi, dan permata. Barang-barang tersebut disebutkan dalam naskah SKK 9, seperti berikut. yakni batu intan, dan emas, dan lada, dan sarang/ burung, dan sisa, dan lilin, dan sagu, dan sambu, beserta sekalian hasil/ negeri lahin-lahinnya (SKK 9 : 14 baris 2- 3). Barang-barang ekspor dan impor telah ditentukan harganya oleh VOC. Harga barang di Pontianak disesuaikan dengan harga barang di Batavia—dalam naskah disebut Betawi. Pihak Sultan Pontianak tidak dapat memainkan harga pasar karena telah ditentukan oleh VOC. Berikut harga barang-barang yang menjadi komoditas perdagangan di Pontianak dalam naskah SKK Komoditas perdagangan lainnya dari wilayah Pontianak dan Sesenggih adalah beras dan garam. Pontianak berada di daerah pesisir sehingga usaha garam juga menjadi komoditas dalam perdagangan. Hal ini terdapat dalam naskah SKK 9. Berikut kutipannya. Maka sementaranya itu dijanji daripada VOC Wulanduy menolongi/ kepada tuan sultan atas harga yang sedang beras dan garam berapa tuan/ sultan berhajat atas akan bekal sendirinya. Maka itulah hendaklah/ tuan sultan memeritahu jumlahnya itu (SKK 9: 14 baris 8-10). Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa garam dan beras bukan komoditas utama perdagangan di wilayah Sesenggih dan Pontianak. Harga beras dan garam tidak ditentukan oleh kompeni Belanda, tetapi oleh Sultan Pontianak. Hal tersebut terjadi karena beras dan garam bukan barang dagangan yang memiliki nilai jual tinggi sehingga kompeni Belanda tidak ingin menguasainya. Selain komoditas barang dagangan tersebut, ada juga barang dagangan yang dilarang ditanam di wilayah Pontianak dan Sesenggih. Jenis tanaman terlarang itu terdapat dalam kutipan naskah SKK 9 berikut. Bahwa di Negeri-di Negeri Sesenggih dan Pontianak tiada boleh beri tambah cengki atau buah/ pala atau kopi tetap haruslah selama senantiasa ditebangkannya itu baik di mana juga/ didapat pohonnya (SKK 9: 15 baris 6-7). Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat bahwa VOC tidak ingin ada tanaman cengkih, kopi, dan pala. Jika ada yang menanam, akan disita dan di bawa ke Batavia. Hal ini terjadi karena VOC ingin memonopoli perdagangan cengkih, pala, dan kopi sehingga kebutuhan ketiga barang tersebut di Pontianak hanya didapat dengan membeli dari kompeni Belanda. Selain memonopoli ekonomi, Belanda juga mengatur Sesenggih dan Pontianak dalam
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
sistem keuangan. Kerajaan Pontianak harus tunduk pada perintah kompeni Belanda— tidak terkecuali dalam menentukan mata uang yang beredar. Berikut kutipan yang terdapat dalam naskah SKK 9. Bahwa segala rupa dinar-dinar dari Wulanduy beserta lahin-lahinnya yang berlahku di Negeri Betawih// tuan sultan berjanji akan lakukan dalam Negeri-Negeri Sesenggih dan/ Pontianak turut harga Betawih, yakni ketun ringgit yang dari Wulanduy/ akan dulahpan puluh tengah uwang Wulanduy, yaitu tiga dibilangkan/ empat rial turut atau pensemat dan tengah ketun dibilangkan turut/ itu dan rupiah akan dua suku setali Wulanduy. Maka dua/ menjadi serial turut dan tali-talian yang bercap kapal dulahpannya dibilangkan/ serial turut dan uang-uangan baharu dua puluh empat daripadanya menjadi serial/ turut dan duit dua ratus empat puluh dibilangkan serial turut adanya (SKK 9 : 11 baris 11 dan halaman 12 baris 1-8). Berdasarkan kutipan di atas, terlihat mata uang yang digunakan di Pontianak dan Sesenggih. Mata uang yang ada di Pontianak dan Sesenggih berdasarkan naskah adalah dinar, rial, ringgit, dan tali. Dalam naskah tersebut, dijelaskan perubahan sistem mata uang sesuai dengan mata uang di pusat pemerintahan, yakni Batavia. Belanda ingin mengganti mata uang di Pontianak dan Sesenggih menjadi mata uang rial Belanda. Rial Belanda pada awalnya digunakan oleh orang Belanda saat datang ke Banten. Uang perak ini nilai intrinsiknya tinggi sehingga sulit dijangkau oleh semua golongan (Ninie,dkk., 1992-1993: 24). Mata uang rial Belanda dinilai cukup dikenal oleh masyarakat Pontianak dan Sesenggih karena sebelumnya wilayah Sesenggih berada dalam kekuasaan Kerajaan Banten. Oleh karena itu, mata uang tersebut tentunya juga digunakan dalam perekonomian di wilayah Sesenggih. Mata uang yang digunakan di Pontianak dan Sesenggih berdasarkan catatan dalam naskah SKK 9 bergambar kapal. Mata uang tersebut disamakan dengan mata uang yang berlaku di Batavia agar lebih mudah menggerakan perekonomian di wilayah Pontianak dan Sesenggih. Pengontrolan keuangan akan menjadi lebih mudah. Selain itu, VOC dapat menguasai perekonomian seutuhnya di Pontianak karena telah menguasai sektor perekonomian terpenting, yaitu mata uang. Penyeragaman menggunakan mata uang akan memperkuat VOC di Pontianak dan Sesenggih tidak hanya dari sektor ekonomi, tetapi juga sistem politik di wilayah tersebut. Masalah lainnya yang berdampak pada perekonomian Pontianak adalah penarikan pajak kerajaan. Sebelum perjanjian, jalur perdagangan dikuasai dan diatur oleh Sultan Pontianak sehingga sangat menguntungkan kerajaan. Cukai yang masuk merupakan pendapatan yang besar bagi kerajaan (Hasanudin, 2001:66). Namun, SKK 9
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
menyebabkan Sultan Pontianak tidak dapat memungut cukai dari pedagang yang ada di Pontianak. Sultan hanya diberi bagian dari pemungutan cukai yang dilakukan oleh kompeni Belanda. Uang cukai seharusnya menjadi devisa utama kerajaan, tetapi VOC Belanda memanfaatkannya. Hanya dengan memberi pinjam tanah Sesenggih, VOC sebenarnya telah menguasai Pontianak secara keseluruhan. Selain berdampak pada perekonomian dan perdagangan di Pontianak, SKK 9 juga menimbulkan konflik internal kerajaan. Konflik tersebut terutama berasal dari kerabat kerajaan. Salah satu kerabat kerajaan yang mengecam SKK 9 adalah Sultan Kasim. Ia membentuk perkampungan sendiri yang disebut kampung luar (Nurcahyani, dkk., 1999: 54). Selain Sultan Kasim, kerabat lain yang ikut pindah dari kerajaan adalah Syarif Abdullah. Pengikut Syarif Abdullah sebagian adalah orang Bugis dan Melayu (Nurcahyani, dkk., 1999: 54). Mereka pindah ke daerah Loloan Bali dan membentuk kubu perlawanan untuk kompeni Belanda. Dampak lainnya adalah surat tersebut menyebabkan pemerintah tergantung pada VOC Belanda. Ketergantungan pada VOC terlihat pada pengangkatan dan pengesahan raja. Berikut kutipan SKK 9 yang berisi pasal pengangkatan dan pengesahan raja. Jikalau jadi tuan sultan meninggal, wazir-wazirnya dengan tiada boleh memilih lahin sultan. Segerah/ akan memeri tahu itu pada Piter kompeni (SKK 9 : 7 baris 5-6). Berdasarkan kutipan tersebut, kedaulatan raja ditentukan oleh VOC. Hal ini menunjukkan Sultan Pontianak hanya menjadi boneka VOC. Adanya raja sebagai syarat berdirinya kerajaan, juga ditentukan oleh VOC. Secara umum, raja di Pontianak tidak memiliki kedaulatan penuh atas kerajaannya sendiri. Perjanjian SKK 9 menunjukkan VOC menukar tanah Sesenggih pada Sultan Pontianak untuk menguasai hal yang lebih besar, yaitu kekuasaan dan perekonomian di Pontianak. . Kesimpulan SKK 9 adalah surat perjanjian antara VOC dan Sultan Pontianak. SKK 9 tergolong sebagai surat registrasi karena surat tersebut berupa pendataan dan pencatatan pemberian kekuasaan VOC terhadap Sultan Syarif. Jika dilihat dari isi, surat ini merupakan surat bisnis karena berisi perjanjian dagang antara VOC dan Sultan Pontianak. Jika dilihat dari aspek bahasa, SKK 9 termasuk dalam kelompok surat formal karena menggunakan bahasa yang formal. Selain itu, SKK 9 juga menggunakan kata-kata khas yang ditulis sesuai dengan ujaran kata tersebut di Pontianak pada masa lalu.
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
Struktur SKK 9 dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu halaman muka, pembuka, isi, dan penutup surat. Halaman muka adalah kolofon dari SKK 9. Berdasarkan kolofon tersebut diketahui bahwa SKK 9 dibuat pada 5 Juli 1779. Halaman pembuka merupakan pengantar surat. Berbeda dengan surat kontrak modern, bagian awal SKK 9 mengandung narasi tentang kedudukan VOC dan Kerajaan Pontianak. Bagian isi SKK 9 terdiri atas delapan belas perkara. Bagian penutup surat memberikan informasi yang memiliki keterkaitan dengan posisi Sultan Pontianak dan VOC di Pontianak. Hal ini terlihat dari posisi cap lilin, maupun cap jelaga lampu berwarna hitam—cap kerajaan—pada bagian penutup surat. Cap lilin berjumlah tiga tersebut mengartikan Sultan Pontianak dapat menguasai Sesenggih dan datang membawa pasukan. Posisi cap jelaga lampu berwarna hitam di bagian bawah menandakan Sultan Pontianak memiliki posisi yang lebih rendah daripada VOC. Namun, VOC tetap menghormati kedudukan Sultan Syarif sebagai Sultan Pontianak dengan meletakkan cap tersebut di bagian kanan SKK 9. Dalam naskah SKK 9, terdapat perjanjian mengenai tanah Sesenggih dan statusnya. Status tanah Sesenggih mempengaruhi perdagangan di Pontianak. Sultan ingin menguasai Sesenggih dan meminta kedaulatan pada VOC. Hal ini terdapat pada bagian pembuka surat. Tanah Sesenggih diberikan oleh VOC kepada Sultan Pontianak. Namun, wilayah Pontianak seluruhnya berada di tangan VOC. Hal ini mempengaruhi perekonomian dan perdagangan di Pontianak. Secara tidak langsung, Sultan Pontianak menyerahkan kedaulatannya pada VOC demi mendapatkan tanah Sesenggih. Tidak hanya aspek ekonomi yang ingin dikuasai VOC, tetapi juga sosial, budaya, pertanahan, kependudukan, dan hubungan diplomasi dengan bangsa lain. SKK 9 semakin memperlihatkan kepentingan lain VOC di balik berdagang, yaitu menjajah Pontianak dengan perjanjian-perjanjian dan politisasi kerajaaan. Daftar Pustaka Alqadrie, Syarif Ibrahim., dan Pandil Sastrowardoyo. 1984. Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak. Jakarta: Depdikbud. ANRI. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848. Deel 1. Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPFF Seksi Filologi. Gallop, Annabel Teh.1991. Surat Emas Budaya Tulis di Indonesia. London: British Library. _________________. 1992. “Southest Asian Manuscript” (dalam Royal Intitute of Linguistics and Anthropology. Leiden.
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013
_________________. 2006. “Multiple Impressions of Malay Seals” (dalam jurnal Indonesia and The Malay World Vol. 34). Leiden: Routledge. Hasanudin, dan Budi Kristianto. 2001. “Proses Terbentuknya Heterogenitas Etnis di Pontianak pada Abad Ke-19”(dalam jurnal Humaniora Volume XIII No. 1). Ikram, Achdiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya. Ja’achmah. 1997. Geografi Budaya Daerah Kalimantan Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Mirawati, Ina. 2006. Daftar Arsip Kontrak antara Pemerintah Kolonial (VOC) Hindia Belanda dengan Raja-Raja pribumi di Kalimantan, Bali, Surakarta, dan Sumatera Jilid 1. Jakarta: ANRI. Mu’jizah. 2004. “Surat Resmi” (dalam buku Sastra Melayu Lintas Daerah). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. _______. 2009. Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19. Jakarta: KPG. Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: FSUI Press. Ninie, Soesanti, dan Irmawati M. Johan. 1992-1993. “Laporan Penelitian Mata Uang Kuna di Indonesia Sebuah Tinjauan Sejarah Ekonomi” (Laporan Penelitian ini Belum Diterbitkan). Depok: Universitas Indonesia. Nurcahyani, Lisyawati, dkk. 1999. Kota Pontianak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Robson. S.O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL. Salim, Moh. Haitami, dkk. 2011. Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Jakarta: Kementrian Agama RI. Wilkinson, R. J. 1959. A Malay- English Dictionary (Romanisea). Tokyo: Daitoa Syuppan Kabusiki Kaisya.
Surat Kontrak..., Eki Kusumadewi, FIB UI, 2013