TESIS Mitos Eskapisme Dalam Iklan Rokok di Media Luar Ruang (Ad-Print) (Analisis Semiotik Iklan Rokok A Mild dan Djarum Super Mild)
Suprihatin 071214853014
Program Studi Magister Studi Media dan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya 2014
TESIS Mitos Eskapisme Dalam Iklan Rokok di Media Luar Ruang (Ad-Print) (Analisis Semiotik Iklan Rokok A Mild dan Djarum Super Mild)
TESIS Untuk memperoleh gelar Magister Dalam Program Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Oleh: Suprihatin 071214853014
Program Studi Magister Studi Media dan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya 2014
Lembar Persetujuan PENULISAN TESIS INI TELAH DISETUJUI Tanggal 30 Juni 2014 Oleh: Pembimbing Ketua
Dra. Rachmah Ida, M. Comms, Ph.D NIP. 197010021998021001
Pembimbing Kedua
Dr. J. Djoko W. Tjahjo, S.E., M.Si.
Mengetahui, Ketua Program Studi
Dra. Rachmah Ida, M. Comms, Ph.D NIP. 197010021998021001
Telah diuji pada Tanggal 30 Juni 2014
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Musta’inMashud, Drs., M.Si.
Anggota
: Dra. Rachmah Ida, M.Comms, P.hD. Dr. J. Djoko W. Tjahjo, S.E., M.Si. Drs. Suko Widodo, M.Si.
TESIS
MITOS ESKAPISME DALAM IKLAN ROKOK DI MEDIA LUAR RUANG (Analisis Semiotik Iklan Rokok A-Mild dan Djarum Super Mild) Pernyataan Tidak Melakukan Plagiat
Bagian atau keseluruhan isi Penulisan Tesis ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan format kutipan dalam isi Penulisan Proposal Tesis dan Penulisan Tesis.
Surabaya, 30 Juni 2014
Suprihatin
KATA PENGANTAR Saya percaya bahwa hidup ini adalah sebuah cermin raksasa. Dari setiap hal yang kita lakukan, kita rasakan, bahkan yang kita pikirkan, menghambur keluar untuk kemudian dipantulkan kembali pada kita. Oleh karenanya sungguh menjadi pengalaman yang menakjubkan bahwa dalam pengerjaan tesis ini nyaris setiap kata-kata yang saya lontarkan kepada mahasiswamahasiswa saya kembali tanpa dikurangi atau ditambahi sedikitpun. Mengeluh, berhenti, merasa lelah, adalah sisi-sisi manusiawi saya yang muncul ketika kesulitan demi kesulitan menghadang di perjalanan pengerjaan. Namun Tuhan mengulurkan tangannya dengan mendatangkan malaikat-malaikat tanpa sayap dalam hidup saya: 1. Dra. Rachmah Ida, M.Comms., P.hD, yang penuh kesabaran membimbing dan mengingatkan penulis; 2. Dr. J. Djoko W. Tjahjo, S.E., M.Si., diskusi dan kesabaran Anda tanpa batas Bung. Semoga Allah senantiasa merahmati Anda dengan kesehatan; 3. Drs. Ismojo Herdono, M.Med.Kom dan segenap pimpinan Stikosa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menaiki tangga ilmu kehidupan; 4. Dra. Puasini Apriliyantini, penulis menghaturkan ribuan terimakasih atas kesempatan dan pengertian yang diberikan; 5. Yokhanan Kristiono, S.T., M.Med.Kom; pinjaman buku-bukunya, dan kelonggaran waktu serta kesediaan mengambil alih pekerjaan. Saya tak dapat membalasnya kecuali dengan ucapan terimakasih; 6. Ibu: yang cintanya menghidupi saya, dengan kasih sayang mengurus anak-anak yang ditinggalkan ibunya mengejar masa depan; 7. My partner in life: Eko Setyo Purwono Siwi. Antar jemput tengah malam, kesediaan berbagi peran dalam rumah tangga, semoga aku dapat menjadi pendamping hidup yang lebih baik bagimu; 8. Matahari-matahari hidupku: Amarantine Salsabila Putrisiwi dan Fauzan Aldebaran Putrasiwi. Terimakasih sudah memilihku menjadi ibumu; 9. Ibu Dra. Hernani Sirikit (Syah), M.A. Terimakasih atas kepercayaannya, kesempatan belajar, dan setumpuk ilmu yang Ibu berikan;
10. Sahabat-sahabat tercinta: Putri Aisyiyah Rachma Dewi, M.Med.Kom, Ratna Puspita Sari, M.Med.Kom.Untuk semua bantuan, pinjaman, diskusi, kesediaan berbagi tugas dan untuk semua hal yang tak tertulis; 11. Rekan seperjalanan: Ambang Prasetyo. Foto-foto karyamulah yang mengantar saya lulus. Thousand year will not be enough to say thankyou; 12. Astrid dan Rizka, untuk berulang-ulang membantu mengedit foto dan diskusinya; 13. Untuk laptop yang sudah dipinjamkan berhari-hari: adek Yanti, Aulia Hanifah, Miss Pipit; 14. Mbak Fifi: untuk pinjaman buku-bukunya; 15. Antonius Malem Barus: untuk kata-katamu yang ‘jleb’ [menyelesaikan tesis tanpa alasan]. 16. Keluarga besar Roosnarno: tanpa Bapak dan Ibu saya masih terpenjara di sudut kering tak bernama. Maturnuwun. 17. Seseorang yang seharusnya kupanggil ayah. Kau ada meski tiada. 18. Riesta, Tanjung, dan teman-teman ‘mantan’ Kampung Jawa. 19. Untuk semesta: terimakasih atas trilyunan kejutan, cinta, dan dukunganmu. Hanya satu dalam hidup ini yang tak henti saya gali: kedalaman diri. Semoga apapun yang keluar darinya mengandung manfaat bagi sesama.
Penulis
RINGKASAN Penelitian ini berusaha mengeksplorasi bagaimana mitos tentang eskapisme digambarkan dalam visual image iklan-iklan rokok versi billboard. Iklan-iklan rokok versi billboard dipilih dengan pertimbangan signifikasi dalam meraih perhatian pembaca, dalam hal ini perokok atau calon perokok. Eskapisme, merupakan sebuah konsep yang bermakna pelarian diri. Dalam jurnal The Maha Bodhi, Vol. 71, No 6 dan Vol. 65, No 3, konsep eskapisme diartikan sebagai pelarian diri dari kenyataan hidup. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cetakan 2001, eskapisme berarti kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman dari dunia khayal atau situasi rekaan. Dunia periklanan dan industri rokok menjadi dua elemen yang komplementer. Tujuannya membujuk agar orang tetap atau mulai mengisap produk rokok yang diiklankan. Berbagai strategi pemasaran dilakukan oleh produsen rokok. Mulai dari menjadikan produk rokok sebagai barang hadiah, menjadi sponsor acara-acara olahraga, hingga beriklan di media dalam berbagai bentuk: print-ad atau media luar ruang berupa billboard, jingle di radio, tayangan televisi, hingga iklan berupa video yang ditayangkan di luar ruang. Penelitian ini ingin mengkaji mitos eskapisme yang dikandung dalam iklan-iklan rokok di media luar ruang melalui gambar visual (visual image). Peneliti tertarik menggali mitos eskapisme yang dihadirkan dalam iklan-iklan rokok karena melihat bahwa belakangan ini hampir sebagian besar iklan rokok menawarkan konsep tentang kesenangan, gaya, dan rasa percaya diri. Konsep-konsep ini merupakan rangkaian dari bangunan mitos yang diartikulasikan dalam iklan untuk menggantikan bentuk-bentuk pesan dari produk rokok. Isi-isi pesan dari visual produk digantikan bukan sekadar karena adanya berbagai aturan atau regulasi yang melarang kehadiran produk rokok atau aktivitas merokok. Hal ini dilakukan untuk menguatkan kesan atau citra tertentu mengenai produk yang diiklankan. Dengan latar belakang ini, rumusan masalah yang diambil adalah bagaimana mitos tentang eskapisme digambarkan melalui visual image dalam iklan. Dari rumusan masalah ini kemudian peneliti menggunakan metodologi analisis tekstual untuk melihat produksi teks dalam hal ini iklan, menggambarkan konsep tentang eskapisme dan menaturalisasinya sebagai mitos. Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana mitos eskapisme dalam iklan, peneliti menggunakan pendekatan semiotika visual Roland Barthes. Menurut Barthes, mitos adalah bagian dari tuturan. Mitos yang bisa dibaca pada “tuturan-tuturan” anonim seperti: iklan, pers, dan lain-lain, dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu “cerminan” yang terbalik: mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah. Melalui sebuah kajian semiologis, inverse (pembalikan posisi) pada mitos ini dapat dikembalikan dengan cara memilah amanatnya ke dalam dua buah sistem signifikasi. Pertama, sistem konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis dan kedua, sistem denotasi yang berfungsi menaturalisasi proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling inosens yaitu bahasa. Dari hasil penelitian, mitos tentang eskapisme dalam iklan rokok A-Mild digambarkan melalui serangkaian tanda-tanda yang membentuk penanda tentang style atau gaya. Gaya dalam hal ini merupakan gaya fashion berupa kostum pesta sebagai petanda dari kesenangan, aktualisasi diri.
Kesenangan dan keberanian untuk tampil beda dengan salah kostum menjadi eskapisme atau pelarian dari kesulitan dan kenyataan hidup. Hidup bersenang-senang dalam gemerlap dunia pesta merupakan dunia khayali yang direka oleh visual iklan bagi para perokok sebagai sarana escapism. Sementara mitos tentang eskapisme dalam iklan rokok Djarum Super Mild digambarkan melalui tanda-tanda yang membentuk penanda tentang kesenangan (pleasure), gaya (style), dan percaya diri (confidence). Kesenangan, direpresentasikan melalui perjalanan liburan, busana kasual, peralatan snorkeling, dan kendaraan yang digunakan: mobil jeep dan helikopter. Gaya adalah apa yang dikonsumsi, dikenakan, dilakukan. Dua hal ini membentuk rasa percaya diri karena menjadi bagian dari kelas sosial atas yang eksklusif dan modern. Pada akhirnya kesenangan, gaya, dan percaya diri menjadi bangunan yang ilusif sebagai sarana escapism bagi para perokok yang dinaturalisasi menjadi mitos.
SUMMARY This study seeks to explore how the myths about escapism visual images depicted in cigarette ads billboard version. Cigarette ads billboard version chosen with consideration of the significance of grabbing the attention of the reader, in this case smokers or potential smokers. Escapism, is a meaningful concept escape. In the Maha Bodhi Journal, Vol. 71, No. 6, and Vol. 65, No. 3, the concept of escapism interpreted as escape from the realities of life. Meanwhile, according to KBBI, 2001 ed, escapism means the will or inclination to escape from reality by seeking entertainment and peace of the imaginary or fictitious situation. The world of advertising and the tobacco industry into two complementary elements. The goal is to persuade that person to stay or start sucking tobacco products being advertised. Various marketing strategies carried out by the cigarette manufacturers. Starting from making tobacco products as gift items, sponsoring sporting events, to advertise in the media in various forms: print-ad or outdoor media such as billboards, radio jingles, television shows, until a video ad that aired outside space. This study wants to examine the myth of escapism contained in cigarette advertisements in outdoor media through visual images (visual image). Researchers interested in exploring the myth of escapism presented in cigarette advertisements have noticed that most of the recent tobacco advertising offers the concept of pleasure, style, and confidence. These concepts are building a series of myths that are articulated in advertising to replace other forms of messaging tobacco products. The contents of the message rather than just a visual product replaced because of various rules or regulations that prohibit the presence or activity of smoking tobacco products. This is done to strengthen the impression or a certain image about the product being advertised. With this background, the formulation of the problem is taken is how myths about escapism through visual images depicted in the ad. From the formulation of the problem is then the researcher is using a textual analysis to look at the production of the text in this ad, describe the concept of escapism and menaturalisasinya as myth. To get an idea of how the myth of escapism in advertising, researchers used the visual semiotics of Roland Barthes' approach. According to Barthes, myth is part of the narrative. The myth that can be read on the "speechspeech" anonymous as: advertising, press, and others, socially controlled and is a "reflection" is reversed: the myth of flipping something culturally or historically become natural. Through a semiological study, the inverse (reversal of position) on these myths can be returned by way of sorting out his mandate into two order systems of signification. From this research, the myth of escapism in the A Mild cigarette advertisement depicted through a series of signs that make up the marker on the style or styles. The style in this case is a costume party fashion style as a marker of pleasure, self-actualization. Pleasure and the courage to be different with one costume into escapism or an escape from the difficulties and realities of life. Life revel in the sparkling world is a feast cooked up by the fictional world of visual advertisement for smokers as a means of escapism. While the myth of escapism in the Djarum Super Mild cigarette ads portrayed through signs that make up the marker on pleasure (pleasure), style (style), and confidence (confidence). Pleasure, represented through holiday, casual clothing, snorkeling equipment, and vehicles used: jeeps and helicopters. Style is what is consumed, worn, carried. These two things form the self-confidence due to being part of a social class above the exclusive and modern. In the end the fun, style, and confidence into the building that illusive as a means of escapism for smokers who become naturalized myth.
ABSTRAK Penelitian ini ingin mengkaji mitos eskapisme yang dikandung dalam iklan-iklan rokok di media luar ruang melalui gambar visual (visual image). Peneliti tertarik menggali mitos eskapisme yang dihadirkan dalam iklan-iklan rokok karena melihat bahwa belakangan ini hampir sebagian besar iklan rokok menawarkan konsep tentang kesenangan, gaya, dan rasa percaya diri. Konsep-konsep ini merupakan rangkaian dari bangunan mitos yang diartikulasikan dalam iklan untuk menggantikan bentuk-bentuk pesan dari produk rokok. Isiisi pesan dari visual produk digantikan bukan sekadar karena adanya berbagai aturan atau regulasi yang melarang kehadiran produk rokok atau aktivitas merokok. Hal ini dilakukan untuk menguatkan kesan atau citra tertentu mengenai produk yang diiklankan. Iklan, dalam konteks penelitian ini dilihat sebagai ajang yang digunakan untuk memecahkan kontradiksi sosial, menyodorkan model identitas, dan merayakan tatanan sosial yang ada. Kedua iklan baik A-Mild maupun Djarum SuperMild akan diteliti dengan mengggunakan pendekatan analisis tekstual dengan metode Semiotik Roland Barthes. Dalam penelitian ketiga iklan ini akan melingkupi tatanan denotasi, konotasi, mitos dan ideologi melalui kode-kode hermeneutik, semik, simbolik, proairetik, dan kode kultural. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, mitos eskapisme yang dibangun dalam iklan A Mild versi “BERANI BILANG SALAH KOSTUM ITU STYLE?” menjadi konsep yang dinaturalisasi untuk mengatasi kontradiksi sebagaimana yang digagas dalam oposisi biner: style/bukan style, kuno/modern, sehat/tidak sehat. Eskapisme adalah gagasan, solusi, bagi para perokok A Mild untuk hiruk pikuk kesulitan hidup menuju pada apa yang disebut sebagai gaya/style: kesenangan, kenikmatan, jouissance agar aktualisasi diri mewujud. Mitos eskapisme menjadi dasar dari makna dan nilai teks tentang gaya sebagaimana diamanatkan oleh visual teks yang menjadi headline iklan. Sementara dalam iklan Djarum Super Mild, mitos eskapisme dinaturalisasi melalui makna ideologi yang merujuk pada kepalsuan gagasan lewat rangkaian tanda-tanda yang merujuk pada kesenangan (pleasure), gaya (style), dan percaya diri (confidence) sebagaimana diamanatkan oleh visual tagline dari iklan rokok yang bersangkutan. Konsep gagasan palsu ini merupakan bentuk imperialis dari kelas borjuis untuk merepresentasi kesenangan sebagai kemapanan, perjalanan, bukan kerja keras sebagaimana harus dilakukan oleh kaum proletar. Kondisi percaya diri dicapai ketika orang mampu menjadi bagian dari kelas sosial tertentu. Merokok dalam hal ini menjadi pelarian atau eskapisme dari berbagai persoalan hidup dan berlari menuju kesenangan semu, menjadi bagian dari kelas sosial borjuis sebagaimana yang ditawarkan oleh kenikmatan merokok.
Kata kunci: mitos, eskapisme, iklan rokok
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………... VII RINGKASAN …………………………………………………………………… VIII SUMMARY …..…………………………………………………………………. X ABSTRAK ………………………………………………………………………. XI DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. XIII DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. XV
Bab I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang …………………………………………………… 1
1.2
Rumusan Masalah ………………………………………………... 13
1.3
Tujuan Penelitian …………………………………………………. 13
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat Akademis …………………………………….… 13
1.4.2
Manfaat Praktis ………………………………………….. 13
Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Penelitian Terdahulu ……………………………………………... 14
2.2
Kajian Pustaka 2.2.1
Visual Culture ……………………………………………. 16
2.2.2
Iklan Sebagai Visual Culture …………………………….. 18
2.2.3
Ad-Print Advertising …………………………………….. 19
2.2.4
Tipografi dalam Iklan ……………………………………. 20
2.2.5
Makna dalam Simbolisme Warna ……………………….. 22
2.2.6
Merokok sebagai (Tindakan) Eskapisme ………………... 26
2.2.7
Iklan Rokok di Indonesia ………………………………… 30
2.2.8
Iklan Rokok: Memenuhi Kebutuhan Eskapisme …………. 32
2.2.9
Iklan Rokok: Representasi Gaya, Kesenangan, Percaya Diri …………… 35
2.2.10 Analisis Tekstual …………………………………..…….
37
2.2.11 Semiotik ……………………………………………..…..
43
2.2.10.1 Semiotika Visual ……………………………..… 47 2.2.10.2 Semiologi Roland Barthes ……………………... 48 2.2.10.3 Tanda dan Proses Semiosis …………………….. 51 2.2.10.4 Kode dalam Semiotik …………………………… 52 2.2.12 Semiotik-Diskursif ……………………………………… 55 2.3
Kerangka Berpikir ……………………………………………..… 57
Bab III METODE PENELITIAN 3.1
Metodologi ………………………………………………………. 58
3.2
Jenis Penelitian …………………………………………………... 59
3.3
Teknik Pengumpulan Data .………………………………..…….. 60
3.4
Unit Analisis ……………………………………………………… 60
3.5
Teknik Analisis Data ……………………………………………... 61
Bab IV
PEMBAHASAN: ESKAPISME DALAM IKLAN ROKOK
4.1
Pembahasan Iklan …………………………………………………. 62
4.2
Setting Iklan Rokok A-Mild 4.2.1
Makna Denotatif: Salah Kostum Itu Style ………………… 63
4.2.2
Kode dalam Makna Konotatif: Break The Rules ................ 65
4.2.3
Makna Mitos dalam Iklan …………………………………. 71
4.2.4
Makna Ideologi ……………………………………………. 80
4.3
Setting Iklan Rokok Djarum Super Mild 4.3.1
Makna Denotatif: My Life My Adventure ……………….. 83
4.3.2
Kode Makna Konotatif: Pleasure, Style, Confidence ……. 85
4.3.3
Makna Mitos dalam Iklan ………………………………… 91
4.3.4
Makna Ideologi …………………………………………… 93
Bab V PENUTUP 5.1
Kesimpulan ……………………………………………………….. 96
5.2
Saran ……………………………………………………………… 98
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. XVI
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual
…………………….. 31
Gambar II.2
Skema Model Situasi Tutur Roman Jakobson
Gambar II.3
Sistem Semiologi dan Mitologi Roland Barthes ……………………….. 45
Gambar II.4
Kerangka Berpikir ………………………………………………………. 50
………………………….. 41
Gambar IV.1 Lay Out Iklan Billboard A-Mild ………………………………………….. 56 Gambar IV.2 Skema Sintagmatik dan Paradigmatik Iklan A-Mild ……………………... 65 Gambar IV.3 Lay Out Iklan Billboard Djarum Super Mild …………………………….. 74 Gambar IV.4 Skema Sintagmatik dan Paradigmatik Iklan Djarum Super Mild ………… 82
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang “On CBS Radio the news of Ed Murrow’s death, reportedly from lung cancer, was followed by a cigarette commercial. (Alexander Kendrick dalam Hutapea,2013:180). Kutipan di atas menggambarkan ironisme di mana berita mengenai kematian seseorang akibat penyakit yang ditimbulkan oleh dampak merokok justru disponsori oleh iklan rokok. Dunia periklanan dan industri rokok menjadi dua elemen yang komplementer. Tujuannya membujuk agar orang tetap atau mulai mengisap produk rokok yang diiklankan. Berbagai strategi pemasaran dilakukan oleh produsen rokok. Mulai dari menjadikan produk rokok sebagai barang hadiah, menjadi sponsor acara-acara olahraga, hingga beriklan di media dalam berbagai bentuk: print-ad atau media luar ruang berupa billboard, jingle di radio, tayangan televisi, hingga iklan berupa video yang ditayangkan di luar ruang. Penelitian ini ingin mengkaji mitos eskapisme yang dikandung dalam iklan-iklan rokok di media luar ruang melalui gambar visual (visual image). Peneliti tertarik menggali mitos eskapisme yang dihadirkan dalam iklan-iklan rokok karena melihat bahwa belakangan ini hampir sebagian besar iklan rokok menawarkan konsep tentang kesenangan, gaya, dan rasa percaya diri. Konsep-konsep ini merupakan rangkaian dari bangunan mitos yang diartikulasikan dalam iklan untuk menggantikan bentuk-bentuk pesan dari produk rokok. Isiisi pesan dari visual produk digantikan bukan sekadar karena adanya berbagai aturan atau
regulasi yang melarang kehadiran produk rokok atau aktivitas merokok. Hal ini dilakukan untuk menguatkan kesan atau citra tertentu mengenai produk yang diiklankan. Belanja iklan rokok dari tahun ke tahun semakin meningkat. Di seluruh dunia, biaya yang digunakan untuk kebutuhan promosi rokok berjumlah 2,5 milyar dolar atau sekitar Rp 5 triliun (Kompas, edisi 31 Mei 1993). Sementara dari data yang dikutip peneliti dari www.SWA.co.id belanja iklan rokok di Indonesia setiap tahunnya tak kurang dari Rp 2 triliun. Angka itu belum termasuk kegiatan iklan melalui media sosial, Corporate Social Responsibility (CSR), konter penjualan, hingga sponsor kegiatan seni dan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa iklan bagi industri rokok merupakan sarana promosi yang dianggap penting. Dalam beberapa penelitian terdahulu di Indonesia, telah banyak dilakukan eksplorasi atas konsep diri, signifikansi tanda dalam iklan, dan mitos mengenai pria sejati. Sebagian besar penelitian memilih brand A-Mild sebagai objek penelitian. A-Mild yang diluncurkan tahun 1989, bukan saja memelopori produksi rokok berlabel mild. Nielsen Retail Audit Result Year 2012 menyebut A-Mild sebagai merk rokok dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, peneliti melihat adanya pergeseran mitos dalam iklan-iklan rokok. Dari konsep tentang kritik sosial, kemudian bergeser pada konsep tentang pria sejati dan kejantanan. Dua tahun terakhir konsep dalam iklan lebih banyak mengarah pada aspek-aspek sosial: kesetiakawanan, egalitarian, komunal, kerjasama tim. Artinya ada perubahan mengenai apa yang dianggap sebagai mitos dalam masyarakat. Iklan tidak lagi memandang dunia sebagai wadah citraan akan figur-figur tertentu seperti halnya mitos pria sejati, namun bergeser pada mitos-mitos situasi sosial.
Mitos, berasal dari bahasa Yunani ‘mutos’ yang berarti kata, tuturan, atau cerita para dewa. Biasanya digunakan untuk merujuk pada cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meski demikian, cerita tersebut tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. Mitos bisa didefinisikan sebagai cerita atau kumpulan unsur-unsur cerita yang dianggap sebagai pengungkapan, dan oleh karena itu melambangkan secara implisit, aspek-aspek tertentu yang terletak dalam eksistensi manusia (Wheelwright dalam Noth, 2006:381). Dalam antropologi budaya, mitos adalah cerita suci berbentuk simbolis yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrati, manusia, pahlawan, dan masyarakat. Sebagai ungkapan dari sistem semantis budaya khas, cerita sakral tentang keadaan purba masa lampau ini membahas hal-hal yang tidak diketahui dan mencoba menjawab berbagai masalah dasar menyangkut dewa-dewi, sifat dasar dan makna kematian serta kenyataan eksistensial manusia dan fungsi dari bentuk-bentuk hidup sosial. Dengan demikian, mitos membenarkan berbagai cara bertindak masa sekarang dalam suatu kebudayaan tertentu, menimbulkan kepercayaan bersama dan memperkukuh rasa kebersamaan dan kelompok. Menurut Barthes, mitos adalah bagian dari tuturan. Mitos yang bisa dibaca pada “tuturan-tuturan” anonim seperti: iklan, pers, dan lain-lain, dikendalikan secara sosial dan merupakan suatu “cerminan” yang terbalik: mitos membalik sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah. Melalui sebuah kajian semiologis, inverse (pembalikan posisi) pada mitos ini dapat dikembalikan dengan cara memilah amanatnya ke dalam dua buah sistem signifikasi. Pertama, sistem konotasi yang petanda-petandanya bersifat ideologis dan
kedua, sistem denotasi yang berfungsi menaturalisasi proposisi dengan cara memberikan sebuah jaminan berupa sesuatu yang paling inosens yaitu bahasa. Mitos adalah salah satu jenis semiotik tingkat dua. Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa. Ciri mitos (kisah yang tidak benar) dan fungsinya (diperlukan untuk memahami lingkungan) yang diteorikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan Semiotik. Barthes menemukan bahwa orang modern pun dikerumuni oleh banyak mitos. Mitos-mitos ini tidak hanya kita dengar dari orang-orang tua dan buku-buku tentang cerita lama, melainkan kita temukan setiap hari di televisi, radio, majalah, koran, film, pidato, iklan, dan sebagainya. Dalam iklan, mitos hadir melalui teks maupun gambar. Mitologisasi adalah suatu proses pengukuhan mitos yang dipergunakan sebagai strategi untuk menanamkan makna mitis (mitos) atau keyakinan pada nama merek, logo, rancangan produk, iklan dan kegiatan public relations terpadu. Contoh-contoh tema mitis misalnya: pencarian kecantikan, penaklukan kematian, kejantanan dan tantangan alam, dan sebagainya. Tema-tema mitis selalu dimasukkan secara terus menerus ke dalam citra spesifik yang diciptakan tim kreatif iklan dan korporasi sehingga lambat laun terbentuk mitos yang melekat dalam impian khalayak. Secara harfiah mitos dalam iklan dapat dilihat melalui orang-orang yang muncul di iklan itu, yakni orang-orang yang menarik, dengan cirri penampilan yang tidak nyata. Hampir mirip dewa, dan mitis. Akhirnya, pengiklan modern seperti itu menampilkan bukan produk semata, tetapi makna sosial atau mitis yang diharapkan terwujud jika membeli produk itu (Hidayat, 2008:3).
Moriarty dkk memandang iklan bukan sekadar pesan penjualan yang terpampang di koran, majalah, atau televisi. Advertising merupakan bentuk komunikasi yang kompleks yang beroperasi untuk mengejar tujuan dan menggunakan strategi untuk memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan konsumen. Advertising didefinisikan Moriarty dkk (2011:9) sebagai: Bentuk komunikasi berbayar yang menggunakan media massa dan media interaktif untuk menjangkau audiensi yang luas dalam rangka menghubungkan sponsor yang jelas dengan pembeli (audiens sasaran) dan memberikan informasi tentang produk (barang, jasa, dan gagasan).
Salah satu bentuk iklan adalah print-ad atau iklan media luar ruang. Dalam penelitian ini, iklan media luar ruang dipilih dengan dua pertimbangan. Pertama, iklan versi media luar ruang atau billboard dilihat oleh sebagian besar pengguna jalan. Kedua, iklan versi billboard dipasang dalam kurun waktu yang cukup panjang. Iklan-iklan yang dipilih sebagai objek dalam penelitian ini adalah iklan-iklan rokok versi billboard yang berada di ruas jalan di Surabaya yang setiap harinya dipadati kendaraan bermotor. Sebagaimana ditulis oleh Adriyanto: “Di Indonesia, hampir setiap ruas jalan yang lebarnya di atas satu meter, dapat dipastikan akan ada billboard iklan, sebagian besar pasti iklan rokok. Billboard rokok menguasai setiap jalan dan ruang di Indonesia…” (Adriyanto dalam Kompasiana online, 2010).
Topik debat yang muncul di dunia advertising adalah tentang pembatasan iklan tembakau (rokok). Pendukung larangan iklan rokok berpendapat bahwa karena rokok menyebabkan kanker dan beberapa penyakit lain, maka mengiklankan rokok sama dengan mendorong peningkatan penyakit dan bahkan kematian bagi perokok dan orang-orang yang tidak merokok yang terpapar oleh asap rokok. Mereka berpendapat bahwa restriksi iklan untuk produk ini akan mengurangi penjualan dan mengurangi problem kesehatan. Sementara penentang larangan iklan rokok berargumen bahwa pelarangan iklan yang jujur dan tidak
menipu untuk produk legal adalah inskonstitusional. Mereka beranggapan bahwa sensor justru merupakan persoalan yang lebih parah ketimbang persoalan iklan legal, meskipun produknya tidak sehat. Penentang larangan itu juga mengutip data statistik yang menunjukkan bahwa pelarangan yang sama di negara lain (di luar Amerika) tidak sukses mereduksi penjualan rokok. Sebagai media komunikasi yang bersifat komersial, iklan merupakan wahana bagi produsen untuk menggugah kesadaran, menanamkan informasi, mengembangkan sikap serta mengharapkan adanya suatu tindakan dari calon konsumen yang menguntungkan. Dalam konteks budaya, iklan dianggap sebagai salah satu produk kebudayaan yang merefleksikan kehidupan masyarakat (Williamson, 2007:XIX). Melalui iklan, cerita keseharian sebuah bangsa dapat di’baca’ dan ditelusuri. Iklan cetak sendiri dengan karakteristiknya kemudian menjadi bagian dari visual image yang merepresentasi praktikpraktik sosial yang terjadi dalam masyarakat. Iklan pada dasarnya merupakan aktivitas menjual pesan (selling message) dengan menggunakan keterampilan kreatif seperti copywriting, layout, ilustrasi, tipografik, scriptwriting, dan pembuatan film. Penyajian iklan bahkan dianggap dapat digunakan mengubah gaya hidup dan kebiasaan hidup (Rachmadi dalam Wibowo, 2003:xiii). Fungsi dan tujuan penyajian iklan antara lain adalah: (1) menarik perhatian konsumen; (2) memelihata citra nama (brand image); (3) menggiring citra nama yang sudah ada di benak konsumen hingga menjadi perilaku (Wibowo, 2003:5-6). Dalam konteks Semiotik, iklan dipahami sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistem. Melalui pendekatan yang mengkaji tanda-tanda ini, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara
signifier (signifiant) atau penanda dan signified (signifie) atau petanda. Seperti halnya tanda pada umumnya, yang merupakan kesatuan yang tidak bisa dilepaskan antara penanda dan petanda. Visual image, sebagaimana produk-produk manusia lainnya, sesungguhnya merupakan hasil dari konstruksi budaya. Meski demikian interpretasi terhadap objek visual tersebut sangat bergantung pada objek yang dilihat dan subjek yang melihat (Rose, 2001:3). Dalam penelitian ini iklan-iklan rokok yang dikaji diproduksi oleh produsen rokok melalui agensi-agensi iklan. Iklan rokok merupakan salah satu model visual image yang dianggap memproduksi makna di balik gambar. Menurut Davis & Walton, iklan tembakau atau iklan rokok membuat makna untuk mencitrakan produk-produk rokok (2010:180). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wibisono mengenai mitos pria sejati dalam iklaniklan rokok Indonesia, konsep atau mitos pria pada iklan rokok berkonstruksi dengan representasi sosok pria dalam masyarakat yang masih berorientasi pada dunia barat (Wibisono, 2013:21). Untuk mencari gambaran bagaimana konsep eskapisme diartikulasikan dalam iklan rokok melalui visual image, peneliti mengambil dua sampel sebagai objek penelitian. Pilihan didasari pertimbangan positioning pasar/konsumen yang dituju oleh produk rokok tersebut: yaitu kalangan dewasa muda, dan iklan billboard dipasang di ruas jalan utama. Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2000 pasal 31, iklan di media luar ruang sebenarnya tidak boleh berada di jalan utama atau protokol. Namun demikian hingga saat ini masih banyak iklan rokok di media luar ruang yang dipasang di jalan-jalan utama. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut, iklan yang dipilih adalah iklan rokok khusus berlabel mild. Mengapa? Sebab label mild yang diindikasikan rendah tar dan nikotin
(low tar low nicotin) sebenarnya menyesatkan (Hutapea, 2011:163-164). Label ini membuat konsumen cenderung merasa lebih aman. Menurut hasil penelitian dari Massachussetts General Hospital dan American Cancer Society, Amerika Serikat, tingkat kematian akibat kanker paru-paru dari mereka yang menggemari rokok dengan kadar 15 hingga 21 mg nikotin per batang ternyata sama besar dengan para penikmat batangan tembakau dengan kandungan 8 hingga 14 mg nikotin, atau bahkan dengan rokok yang mengandung nikotin di bawah 7 persen. Artinya, rendah tar dan rendah nikotin bukan garansi untuk meminimalisir dampak rokok bagi kesehatan (Hutapea, 2013:314). Hal ini menarik jika kita kaitkan bahwa rokok-rokok berlabel mild cenderung dipasarkan untuk segmen dewasa muda. Meski dalam kenyataannya ia dikonsumsi oleh remaja bahkan anak-anak sekolah. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengeksplorasi bagaimana konsep mengenai eskapisme dibangun dalam iklan. Eskapisme secara etimologis diartikan kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman secara khayali atau situasi yang bersifat rekaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan pertama edisi III, 2001). Motivasi yang mendasari orang melakukan eskapisme adalah keinginan melarikan diri dari antara lain:
kesulitan keuangan, kesepian, atau rasa takut. Tujuannya adalah
meniadakan kehidupan untuk sementara. Keinginan untuk melarikan diri bisa didasari karena kebosanan, kurangnya stimulus, menginginkan variasi dan perubahan, atau karena stres, nyeri, atau kekhawatiran. Berdasarkan pengetahuan ini, kita dapat mendefinisikan dua jenis motivasi. Pelarian dapat dicirikan sebagai "istirahat" dari rutinitas kegiatan. Dalam beberapa kasus, istirahat ini adalah satu-satunya tujuan lari dari kenyataan. Ini mungkin ketika orang
telah
bekerja
keras
dan
hanya ingin "istirahat" atau ketika mereka lelah menjalani rutinitas sehari-hari, atau ingin menghilangkan stres. Ketika sakit, stres, atau frustrasi tentang sesuatu, orang suka menceritakannya kepada orang lain. Kegiatan eskapis dapat mencakup menyalurkan emosi pada sesuatu untuk melepaskan stres. Misalnya dengan menggunakan sarung tinju dan bermain tinju sendiri. Atau merokok. Selain untuk menghindari situasi yang tidak memuaskan, orang mungkin juga hanya ingin melarikan diri karena mereka dapat melakukannya. Hal ini sejalan dengan teori yang berkaitan dengan kebutuhan manusia terhadap media massa di mana eskapisme merupakan salah satu tujuan manusia mengonsumsi media massa. Kebutuhan akan hasrat untuk melarikan diri dari kenyataan ini kemudian ditangkap oleh produsen iklan sebagai sebuah cara membangun ideologi. Konsep ini dibangun dan dinaturalisasi oleh pengiklan menjadi mitos, analog dengan aktivitas merokok itu sendiri sebagai sebuah tindakan eskapis atau pelarian. Pemasangan iklan rokok di media massa sebenarnya sudah diperketat sejak diberlakukannya kode etik periklanan dan peraturan pemerintah nomor 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Peraturan Pemerintah ini diperbarui dengan PP nomor 38 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa materi iklan rokok
dilarang: (1)
Merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; (2) Memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan, atau gabungan keduanya, rokok atau orang yang sedang merokok, atau mengarahkan pada orang yang sedang merokok;(3) Mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok.
Kepada pelaku usaha periklanan, pembatasan juga dikenakan yaitu dengan larangan memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai iklan. Berbagai pembatasan dan regulasi ini alih-alih menyurutkan kehadiran iklan rokok. Aturan dan berbagai pembatasan justru membuat agensi iklan bersaing unjuk kreativitas dalam membuat iklan rokok yang menarik perhatian, tetapi tidak melanggar aturan. Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, peneliti bermaksud menganalisis visual image yang terdapat dalam objek penelitian dengan menggunakan metode analisis tekstual dengan pendekatan Semiotik Roland Barthes. Analisis tekstual bertujuan menggali lebih dalam (to explore), membuka makna tersembunyi (to unpack), membongkar konsep, nilai, ideologi, budaya, mitos, dan hal-hal lain yang diproduksi dan direproduksi oleh pembuat teks untuk memahami bagaimana sebuah kultur, mitos, kepentingan lain yang ada dalam produksi teks (to understand). Menurut Thwaites dkk (2002:122), analisis tekstual bergerak dari menentukan lokasi tanda khusus, sampai memeriksa struktur mitos sosial. Teks selalu diproduksi dalam konteks sosial. Teks selalu dipengaruhi oleh dan mereproduksi nilai budaya dan mitos dari konsteks tersebut. Dalam konsep semiotik, iklan dipahami sebagai suatu upaya untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat tanda dalam suatu sistem. Melaluinya, iklan dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara signifier (significant) atau penanda dan signified (signifie) atau petanda. Secara khusus, pendekatan Semiotik menaruh perhatian pada kajian visual. Kajian semiotika visual (visual semiotics) ini menitikberatkan
penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Untuk melakukan penelusuran terhadap jejak mitos, peneliti menggunakan model semiotika Roland Barthes. Pendekatan semiotik Roland Barthes
(Noth, 1990:310-313)
dipilih dengan latar belakang bahwa secara khusus analisis Barthes tertuju kepada sejenis tuturan (speech) yang ia sebut sebagai mitos. Setiap tipe tuturan, entah berupa sesuatu yang tertulis atau sekadar representasi, baik verbal maupun visual, secara potensial dapat menjadi mitos (dalam Budiman, 2011:38). Pendekatan ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji visual iklan yang merupakan gabungan dari teks yang tertulis dan sekaligus merupakan representasi pada saat yang bersamaan.
I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana iklan-iklan rokok di media luar ruang di Indonesia menggambarkan konsep eskapisme melalui produksi visual image?
I. 3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana mitos eskapisme diartikulasikan dalam iklan-iklan rokok di media luar ruang (ad-print) melalui visual image.
I.4
Manfaat Penelitian
I.4.1 Manfaat Akademis Dalam tataran teoretis, hasil penelitian secara umum diharapkan memperkaya kajian iklan dari sudut pandang semiotika. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana mengenai pemaknaan konsep eskapisme dalam visual image iklan rokok;
I.4.2 Manfaat Praktis Dalam tataran pragmatis, penelitian ini diharapkan memberikan signifikansi berupa pengetahuan bagaimana mitos dalam iklan-iklan rokok memberikan kontribusi sosial bagi perubahan gaya hidup masyarakat. Bagi masyarakat, hasil kajian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan bagaimana iklan mengonstruksi realitas menjadi realitas semu (mitos) yang seolah-olah natural hingga kehadirannya tak disadari sebagai sesuatu yang menyesatkan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai iklan rokok telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian yang cukup relevan adalah penelitian mengenai iklan rokok Dji Sam Soe Gold Sampoerna Mild Edisi Halus dan Manatap. Penelitian ini dilakukan oleh Lilik Hamidah dan Chalimatus Sa’diyyah pada 2011. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Semiotik Roland Barthes. Fokus penelitian adalah menemukan makna simbol-simbol yang digunakan dalam visual iklan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa simbol yang digunakan dalam iklan ini adalah matahari terbit. Pada aspek pengetahuan, memiliki simbol matahari terbit ini bermakna konotatif bahwa Dji Sam Soe Gold merupakan rokok yang memberikan kualitas kehangatan, natural, murni dan ringan. Sebagian
orang
meyakini, menyaksikan matahari terbit bisa menghilangkan stress dan kepenatan. Sehingga muncul konotasi bahwa para perokok dewasa muda dengan mengkonsumsi Dji Sam Soe Gold memberi dampak positif berupa perasaan senang, tenang, dan nyaman karena memperoleh kenikmatan dari aktivitas merokok. Penelitian lain dilakukan oleh Fachrial Daniel pada 2011 mengenai konsep diri dalam iklan rokok A-Mild. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran konsep diri dalam iklan A mild versi “cowok blur” Go Ahead 2011 di masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis semiotika dengan menggunakan analisis Roland Barthes. Dalam penelitian ini di analisis adalah pada
penanda dan petanda, gambar, tanda dan simbol, mitos yang terdapat didalamnya, desain dari iklan komposisi warna, teknik pengambilan gambar serta sasaran iklan rokok tersebut. Teknik pengumpulan data menggunakan pengamatan langsung dengan sumber yang relevan dan di dukung dengan penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian ini membuktikan gambaran konsep diri yang terjadi dalam iklan A Mild versi “cowok blur” Go Ahead 2011 mempunyai banyak makna yang nyata, bahwa rokok merupakan barang yang sangat mempengaruhi konsep diri anak muda di zaman modern dan menjadi sebuah gaya hidup perkotaan, namun di balik itu semua, iklan rokok hanya semata-mata menjual produk rokoknya dengan iklan yang menarik dan mengesampingkan kesehatan anak muda sebagai pembeli utama rokok A Mild. Berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Aryo Bayu Wibisono (2013). Dalam penelitian tersebut peneliti mengkaji mitos pria sejati dalam visualisasi iklan-iklan rokok di Indonesia. Objek penelitian adalah iklan rokok Surya 12 Premium, iklan Rokok Djarum Super, dan iklan rokok Djisamsoe Magnum Filter. Ketiga brand rokok ini dipilih dengan pertimbangan positioning pasar dan ketiganya merupakan jenis rokok dengan varian kretek. Dalam penelitian ini peneliti melihat bagaimana mitos mengenai pria sejati dikonstruksi melalui aspek visual, teknis, dan perilaku pembentuk tanda. Dari beberapa penelitian tentang iklan rokok yang telah dilakukan baik dengan pisau bedah analisis wacana maupun semiotik, masing-masing merupakan kajian yang otonom. Pada penelitian yang dilakukan Lilik Hamidah dan Chalimatus Sa’diyyah, peneliti hanya melihat penanda, petanda, dan simbol yang digunakan dalam visual iklan. Semiologi Roland Barthes yang mensyaratkan penafsiran dua lapis belum digunakan dalam penelitian sehingga penelitian ini tidak sampai pada tataran mitos dan ideologi di balik iklan. Begitu
pula pada penelitian yang dilakukan oleh Daniel. Penelitian tidak menyentuh level mitos. Penelitian hanya melihat konsep diri yang digambarkan dalam visual iklan. Pada ketiga penelitian tersebut, belum dilakukan pembacaan intertekstualitas dengan teks-teks lain yang relevan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat mitos melalui interteks (diskursif) dengan teks lain yang diperoleh karena dianggap mampu menjelaskan mitos yang ingin dibaca.
II.2 Kerangka Teori II.2.1
Visual Culture Salah satu kemampuan manusia yang mengandalkan persepsi visualnya telah menghasilkan satu wacana tersendiri dan sekaligus menjadi satu bentuk budaya yang disebut sebagai budaya visual. Manusia dibekali kemampuan melalui indera penglihatan untuk secara kognitif mengamati, berkomunikasi, berinteraksi, berkontemplasi, dan berimajinasi dengan atau tentang segala hal di luar dirinya. Kemampuan dan upaya pengamatan ini boleh dikatakan sebagai bagian dari suatu proses sosial, karena memberikan kesempatan melengkapi aktivitas kehidupan dengan manusia-manusia di sekelilingnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Mierzoef (1999:1): “In the swirl of imagery, seeing is much more than just believing. It is not just part of everyday life”. Dalam pusaran citra, apa yang terlihat lebih bermakna ketimbang apa yang dipercaya. Hal ini tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Menurut Dyer (1982:65-66), visual image merupakan salah satu bentuk budaya visual yang kerap digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang diproduksi sebagai transformasi konseptual untuk mengungkapkan gagasan atau
ide ke dalam bentuk pesan. Visual culture merupakan hasil ejawantah manusia dalam menyikapi perkembangan teknologi rupa (visual technology): “Visual culture is concerned with visual events in which information, meaning, or pleasure is sought by the consumer in an interface with visual technology. By visual technology, I mean any form of apparatus designed either to be looked at or to enhance natural vision.” (Mierzoeff, 1999:3). Budaya visual berfokus pada peristiwa-peristiwa visual di mana informasi,, makna, atau kesenangan dicari oleh konsumen melalui teknologi visual. Dengan teknologi visual, segala bentuk dirancang agar terlihat atau seolah-olah natural.
Dalam konteks ini budaya visual lebih berorientasi pada hasil budaya yang bersifat material (material visual culture) karena menitikberatkan pada output imaji yang nyata. Semua bentuk tercipta sebagai imaji untuk kepentingan kenikmatan dan kenyamanan memandang atau segala hal yang dapat meningkatkan daya tampil visual dari imaji-imaji tersebut. Termasuk di dalamnya upaya memproduksi dan mereproduksi imaji-imaji visual yang ada dengan segala aktivitas penghadiran dan pendayagunaan seta penayangan yang lebih luas.
II.2.2
Iklan: Produk Visual Culture Di benak Judith Williamson, iklan dianggap mampu menciptakan sebuah dunia yang secara konstan dialami sebagai realitas. Dunia iklan menjadi tampak terpisah dari media material yang memuatnya (2007:2). Sedangkan bagi Gillian Rose, iklan dianggap sebagai bentuk budaya yang menguraikan makna susunan strata sosial dari masyarakat tertentu yang digambarkan melalui visual image (Rose, 2001:36). Definisi-definisi ini mengandung pengertian bahwa ada nilainilai budaya di balik visual image sebuah iklan yang merupakan refleksi sosial
masyarakat. Sementara nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah pesan (Barthes, 2007:281). Melalui bentuk visual iklan, unsur-unsur budaya dapat direfleksikan menjadi visual culture (Sturken & Cartwright, 2001:4). Visual pada iklan-iklan modern, tidak lagi berinteraksi dengan menonjolkan produknya. Kebudayaankebudayaan yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan secara visual. Penggantian peran dalam visual iklan ini dinyatakan oleh Judith Williamson (2007:121) dalam bukunya Decoding Advertisements. Sebagai salah satu pembentuk budaya, peranan iklan berhubungan dengan peran yang berkonsentrasi pada kebudayaan yang paling dekat dengan sosial masyarakat. Iklan disebut sebagai budaya di sekitar kita (Gobe, 2005:230-243).
II.2.3
Ad-Print Iklan luar ruang atau out-of home (OOH) advertising mencakup iklan-iklan seperti papan reklame (billboard) sampai balon udara. Ini berarti iklan di ruangruang publik termasuk di badan bis, poster di tembok, telepon, dan tempat belanja, shelter transit, stasiun kereta api, bandara, terminal, hotel, mal, supermarket, toko grosir, tas belanja, dinding toilet umum, jam di toko, dan bahkan kini di tembok rumah masyarakat yang (umumnya) berada di jalan raya. Tidak ada format standar untuk jenis iklan ini, meski banyak yang menggunakan bentuk cetak untuk menyampaikan pesan. Ciri utama iklan luar ruang adalah ia bersifat situasional. Ia dapat ditujukan untuk orang spesifik dengan pesan spesifik pada waktu yang paling
nyaman dan menarik bagi mereka. Salah satu yang pertumbuhannya paling cepat adalah advertising luar ruang yakni papan pengumuman di sepanjang jalan tol atau perkotaan, dan poster-poster di lokasi publik. Dari segi ukuran dan format, ada dua jenis billboard: poster cetak dan bulletin bergambar. Poster cetak adalah tipe billboard yang dibuat oleh desainer (disediakan oleh pengiklan atau agensi), dicetak, dan dikirimkan ke perusahaan iklan luar ruang. Iklan itu kemudian ditempatkan di permukaan panel poster di lokasi. Ada dua ukuran berdasarkan lebar kertas yang dipakai untuk mencetak gambar 8 sheet (5 x 11 feet) dan 30 sheet (12 x 25 feet). Jenis lain dari billboard adalah painted bulletin. Yakni bulletin yang dilukis berbeda dari poster karena biasanya dibuat di tempat dan tidak dibatasi ukuran atau bentuknya, meskipun ukuran standarnya adalah 14 x 48 feet. Iklan dapat dilukis di kedua sisi bangunan gedung, di atap, atau bahkan di struktur alami, misalnya lereng bukit. Inovasi terbaru untuk billboard, poster elektronik, dan kios adalah penggunaan display digital dengan teknologi nirkabel yang dengan cepat dapat diubah untuk merefleksikan situasi advertising atau disesuaikan dengan kehadiran audiens sasaran.
II.2.4 Tipografi Dalam Iklan Dalam iklan, tipografi berfungsi untuk mempertegas makna atau tagline sehingga kehadiran visual sebuah iklan menjadi lebih jelas. Menurut William Arens, kata yang dominan dalam sebuah iklan akan dibaca pertama kali sehingga
kata itu ditempatkan dengan porsi yang besar atau proporsional untuk menarik perhatian
(dalam
Morissan,
2010:360).
Sedangkan
Judith
Williamson
menjelaskan jika fungsi tipografi dalam iklan adalah menyatukan makna (2007:130). Tipografi adalah sebuah ilmu yang membahas tentang konteks huruf yang berfungsi mengomunikasikan iklan, visual, tata letak, dan fakta produk bagi konsumen (Klimchuk & Krasovec 2007:87). Secara etimologis, tipografi berasal dari bahasa Yunani yang berarti typos (impresi) dan graphein (menulis). Tipografi dalam iklan menggambarkan pelengkap dalam visual. Sehingga konteks dari sebuah iklan mampu dicerna dengan baik. Tipografi merupakan bahasa visual suatu budaya (Klimscuk & Krasovec, opcit:87). Bentuk tipografi bisa berupa huruf atau karakter individual, kata-kata, bentuk-bentuk, atau symbol-simbol. Keterbacaan, mudah dikenali, waktu bacaan, ukuran, bentuk, dan gaya, semuanya merupakan karakteristik yang memengaruhi tipografi. Korda (2010), menulis tentang karakteristik font dan beberapa tipe aplikasi dalam tipografi: a. Huruf Sans Serif: berkesan simpel, elegan, dan sporty. Dianggap efektif untuk penulisan judul atau teks pendek. Termasuk dalam tipe ini adalah Arial, Helvetica, Futura, dan Gill Sans. b. Huruf Serif: ciri khasnya adalah memiliki kaki atau pengait. Termasuk dalam tipe ini adalah Times New Roman, Bookman, Egyptian, dll.
Berkesan luwes, lembut, dan feminin, sering digunakan untuk teks panjang. c. Huruf Tulis (script): berasal dari tulisan tangan (handwriting) sehingga agak sulit dibaca dan melelahkan jika digunakan untuk teks yang panjang. d. Huruf Dekoratif: bukan termasuk jenis huruf teks sehingga lebih cocok sebagai hiasan dalam visual.
II.2.5 Makna dalam Simbolisme Warna Penggunaan warna di dalam proses komunikasi dapat dikategorikan sebagai pesan non verbal melalui penampilan untuk membangun image atau citra tertentu terhadap diri kita. Pesan non verbal mempunyai makna yang universal (universal meaning) yang seringkali merupakan display emosional dari komunikator (Littlejohn, 2005). Penggunaan warna seringkali menunjukkan suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik, dll (Mulyana, 2007). Dalam tiap budaya terdapat konvensi tidak tertulis mengenai makna warna. Pemberian makna atas warna tidak berlaku universal, meski mirip dengan versi yang berlaku dalam budaya lain. Hingga derajat tertentu, ada hubungan antara warna dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia (Mulyana, 2007). Pemilihan warna oleh seseorang, menurut teori atribusi, dapat disebabkan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal erat kaitannya dengan ketertarikan atau kesukaan terhadap suatu hal,
sedangkan faktor situasional
seringkali tindakan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan seseorang. Lebih lanjut
faktor situasional ini dijelaskan dalam teori penetrasi sosial yang mengatakan bahwa dalam suatu hubungan sosial terjadi penetrasi (penyusupan) di mana akan terjadi proses saling mempengaruhi di dalam perilaku sosial. Warna dapat diartikan sebagai kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya (Poerwadarminta, 1988). Warna secara psikologis berarti sensasi sinar yang diterima oleh otak melalui mata (Feisner, 2000). Jadi dapat disimpulkan bahwa warna dapat berarti karakteristik cahaya yang dipantulkan dari permukaan objek dan tampak jelas oleh mata setelah melewati media okular dan dibedakan dari nama warna seperti merah atau biru. Warna biasanya digunakan untuk menekankan dan memperjelas karakter dari sebuah objek yang memberikan aksen pada bentuk dan bahan. Dengan kata lain warna memberikan ekspresi pada pikiran dan jiwa manusia sehingga sedikit banyak warna turut menentukan karakter. (Ishak dalam Jurnal Riptek, Vol.4, No.1, 2010: 37-44). Secara umum telah diketahui bahwa warna memiliki kekuatan untuk membangkitkan dan memengaruhi rasa keindahan ialah dengan memberikan pengalaman keindahan. Dalam hal demikian dikatakan ada keharmonisan warna. Pada harmoni warna kita jumpai bangkitnya efek yang menyenangkan oleh dua warna atau lebih terhadap masing-masing. Sehingga dikenal dengan adanya tampilan warna antara warna primer, sekunder, tersier hingga komplementer. Secara psikologis warna dapat memberikan pengaruh tertentu pada perangai, perasaan, maupun jiwa kita. Beberapa macam warna seperti abu-abu dan hijau membuat kita lebih tenang sedangkan warna-warna lain seperti merah dan kuning
membuat kita gelisah dan aktif. Efek lainnya yang ditimbulkan adalah warnawarna gelap terlihat lebih berat daripada warna-warna terang dan warna gelap kepada suatu permukaan memberi kesan lebih kecil dari warna terang pada permukaan yang sama besarnya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978). Ahli fisiologi dan psikologi menjelaskan ada empat warna utama: merah, hijau, kuning dan biru. Walaupun tidak diketahui secara pasti mengapa orangorang menyukai warna dan kombinasi warna tertentu, tetapi setiap warna mempunyai karakter atau sifat yang berbeda-beda. Bahkan sejak dahulu warna diketahui mempunyai pengaruh terhadap manusia. Namun baru belakangan ini penggunaannya telah dimanfaatkan secara meluas dalam dunia permotoran, pakaian, permainan hingga dunia properti/perumahan. Warna
merah:
dianggap
melambangkan
keadaan
psikologi
yang
mengurangkan tenaga, mendorong makin cepatnya denyut nadi, menaikkan tekanan darah dan mempercepat pernafasan. Warna ini mempunyai pengaruh produktivitas, perjuangan, persaingan dan keberanian. Merah terang: melambangkan kekuatan, kemauan, dan cita-cita. Sifatnya: agresif, aktif, eksentrik. Pengaruhnya berkemauan keras, penuh gairah, semangat, dominasi, kelakian. Merah jambu: melambangkan romantisme, feminin. Warna ini mempunyai sifat menurut dalam kepasrahan, menggemaskan dan jenaka. Biru:
warna ini melambangkan ketenangan yang sempurna. Mempunyai
kesan menenangkan pada tekanan darah, denyut nadi, dan tarikan nafas. Sementara semua menurun, mekanisme pertahanan tubuh membangun organisme. Biru juga
melambangkan perasaan yang mendalam. Sifatnya konsentrasi, kooperatif, cerdas, perasa, integratif. Pengaruhnya tenang, bijaksana, tidak mudah tersinggung, ramai kawan. Biru muda: melambangkan keganjalan dari cita-cita. Sifatnya, bertahan, protektif, tidak berubah pikiran. Pengaruhnya keras kepala, teguh, sering bangga diri, berpendirian tetap. Kuning: warna ini melambangkan kegembiraan. Warna ini mempunyai sifat leluasa dan santai, senang menunda-nunda masalah. Berubah-ubah tapi penuh harapan, mempunyai cita-cita setinggi langit dan semangatnya juga tinggi. Kuning terang: melambangkan sifat spontan yang eksentrik. Sifatnya toleran, investigatif,
menonjol.
Pengaruhnya
berubah-ubah
sikap,
berpengharapan,
pemurah, tidak percaya. Warna ini melambangkan adanya suatu keinginan, ketabahan dan kekerasan hati. Mempunyai keperibadian yang keras dan berkuasa. Warna ini mempunyai sifat meningkatkan rasa bangga, perasaan lebih superior dari yang lain. Orang yang menyukai warna ini umumnya senang dipuji, senang menasihati orang lain. Kelabu dan Hitam. Kelabu menunjukkan arti yang jelas. Tidak terang dan sama sekali bebas dari kecenderungan psikologi. Warna ini cenderung natural. Hitam melambangkan kehidupan yang terhenti dan karenanya memberi kesan kehampaan, kematian, kegelapan, kebinasaan, kerusakkan dan kepunahan. Coklat dan Ungu. Coklat menunjukkan ciri-ciri suka merebut, tidak suka memberi hati, kurang toleran, pesimis terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan masa depan.
Ungu: melambangkan sifat gempuran keras yang dilambangkan oleh warna biru. Perpaduan antara keintiman dan erotis atau menjurus pengertian yang mendalam dan peka. Sifatnya sedikit kurang teliti tetapi selalu penuh harapan.
II.2.7 Merokok Sebagai (Tindakan) Eskapisme Merokok tembakau merupakan bentuk lain dari ketergantungan obat yang kekuatannya hampir sama dengan jenis ketergantungan lainnya. Menurut dokter Ronald Hutapea, diperkirakan hanya dua persen dari seluruh perokok—orang yang mampu membatasi diri hanya merokok pada peristiwa tertentu atau sekadar untuk sosialisasi. Artinya, kebanyakan perokok adalah perokok rutin, teratur dan bahkan pecandu yang beranggapan tidak dapat ‘hidup’ tanpa rokok (Hutapea, 2013:42). Dalam bukunya berjudul “Why Rokok?”, dokter Ronald Hutapea mengulas beberapa motivasi yang mendorong orang untuk merokok: •
Pertama, faktor genetik. secara umum, faktor turunan ini kurang berperan jika dibandingkan dengan faktor lingkungan dalam menyebabkan perilaku merokok.
•
Kedua, faktor kepribadian. Orang-orang yang aktif merokok diamati sebagian besar memiliki perasaan rendah diri dan impulsif. Dari hasil pengamatannya, siswa yang merokok umumnya memiliki riwayat tertinggal dalam pelajaran, sering membangkang, membolos, dan bersikap bebas dalam hal melakukan hubungan seksual.
•
Ketiga, faktor sosial. Faktor ini dianggap cukup dominan dalam memengaruhi keputusan untuk memulai merokok dan hanya menjadi faktor
sekunder
dalam
memelihara
kelanjutan
kebiasaan
merokok.
Pada
perempuan muda, pola merokok diamati sudah menyerupai laki-laki. Perubahan ini sejalan dengan perubahan peran perempuan dan sikap masyarakat terhadap perempuan yang merokok yang tidak lagi dianggap tabu. •
Keempat, faktor farmakologi. Seseorang yang mengisap sigaret akan memasukkan atau menyerap sekitar 0,05 hingga 0,15 mg nikotin pada setiap isapan atau sejumlah 1 hingga 2 mg per batang rokok. Semenjak masuknya tembakau ke Eropa di abad ke-16, pemakaian tembakau silih berganti: dikunyah, disedot dengan hidung, dan diisap. Namun yang pasti tidak ada populasi yang berhenti menggunakan tembakau tanpa menggantinya dengan cara lain.
•
Kelima faktor kejiwaan. Merokok dianggap sebagai kegiatan yang mengkompensasi
kehilangan
kenikmatan
oral
yang
dini
yang
mengakibatkan rasa rendah diri yang tak nyata. Menurut Sigmund Freud, pada sebagian anak-anak terdapat “peningkatan pembangkit kenikmatan di daerah bibir” yang bila berkelanjutan dalam perkembangannya akan membuat seseorang mau merokok. •
Keenam, faktor sensorimotorik. Bagi sebagian perokok, kegiatan merokok itu sendiri membentuk kebiasaan merokok, bukan semata-mata efek psikososial atau farmakologinya. Sosok sebungkus rokok, membukanya, mengambil
dan
memegang
sebatang
rokok,
menyalakannya,
mengisap/menyedot/inhalasi, mengeluarkan sambil mengamati asap rokok
dan menikmati aroma dan rasanya seluruhnya merupakan rangkaian yang membentuk kebiasaan merokok. Dari enam faktor ini, faktor kelima dan keenam memperlihatkan gejala bahwa aktivitas merokok sebenarnya merupakan bentuk pelarian. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Tutty Yosenda dalam artikelnya “Merokok atau Merdeka” (Kompas, 30 Mei 1996). Menurut Tutty, perokok memiliki kecenderungan suka menyendiri atau ‘loner’. Pribadi yang seperti ini sering hanya dapat melarikan diri dari kenyataan hidup, dari berbagai masalah yang menggunung, yang bisa dilarikan, dilupakan dengan mengisap (sebatang) rokok. Jika pada mulanya orang merokok demi kenikmatan, maka kemudian ia akan merokok untuk mengurangi penderitaan akibat tekanan fisik, psikis, konflik, atau sakit (eskapis). Vorderer menjelaskan konsep eskapisme sebagai cara untuk meninggalkan realita baik secara kognitif maupun emosional. Escapism means that most people have, due to unsatisfying life circumstances, again and again cause to ‘leave’ the reality in which they live in a cognitive and emotional way” (Vorderer, 1996, p. 311).
Eskapisme dapat diartikan bahwa hampir setiap orang memiliki ketidakpuasan atas hidupnya dan ingin meninggalkan kehidupan nyata yang dimilikinya secara kognitif dan emosional.
Merokok menjadi pelarian bagi orang-orang yang mengonsumsinya dari tekanan fisik, psikis, konflik, maupun masalah yang dihadapinya sehari-hari.
II.2.7 Iklan Rokok di Indonesia
Dari hasil penelitian, iklan rokok di media luar ruang dilihat oleh 87,7 persen responden. Lebih tinggi frekuensinya ketimbang di koran/majalah meski masih lebih rendah daripada frekuensi orang melihat iklan rokok di televisi (Adriyanto, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa iklan rokok di media billboard cukup signifikan dalam mempersuasi audiens. Belch dan Belch (2003) menyebut bahwa media billboard dianggap 60 persen lebih efektif untuk beriklan jika dibandingkan dengan media lain dalam jenis iklan print-ad. Tahun 2005, iklan rokok menyumbang devisa negara sebesar 1,6 trilun rupiah dan terus bertambah setiap tahun (Adriyanto, 2011). Pada tahun 2014, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan, Susiwijono Moegiarso, mengatakan penerimaan di sektor cukai masih didominasi produk tembakau, di antaranya rokok. Dari penerimaan cukai Februari 2014 sebesar Rp 12,9 triliun, 98 persen disumbang oleh hasil tembakau. Sembilan puluh delapan persen ini berarti sekitar Rp 12,6 triliun atau dua belas kali lipat sejak tahun 2005. Menurut Susiwijono sebagaimana ditulis oleh tempo.co, faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai hasil tembakau adalah tingginya volume produksi komoditas tersebut. Bahkan untuk 2014, produksi hasil tembakau diperkirakan meningkat 4,8 persen menjadi 358,361 miliar batang. Dengan pangsa pasar produk rokok yang demikian besar di Indonesia, tak heran jika anggaran yang disediakan untuk promosi produk rokok pun sangat besar. Perusahaan rokok berlomba-lomba menampilkan ide terbaik dalam iklan-iklannya. Dari data yang ditulis oleh tempo.co, prevalensi merokok laki-laki dan perempuan naik 35 persen pada 2012. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN,
konsumsi rokok di Indonesia mencapai 46,16 persen. Angka ini menunjukkan fakta bahwa jumlah perokok di Indonesia terbesar se-Asia Tenggara. Angka ini juga memperlihatkan bahwa pasar rokok tidak lagi hanya kaum pria. Memang, pria masih dominan. Namun pertumbuhan jumlah perokok perempuan juga tidak bisa diabaikan. Hal ini ditangkap dengan baik oleh para pengiklan rokok di mana setahun terakhir dalam pengamatan peneliti kini tidak lagi dominan menampilkan pria namun juga wanita dalam iklan rokok. Penelitian ini mencakup dua objek iklan yaitu “BERANI BILANG SALAH KOSTUM ITU STYLE?” (A-Mild Sampoerna), dan “PLEASURE STYLE CONFIDENCE” (Djarum Super Mild). Ketiga iklan ini memproduksi makna visual yang memperlihatkan bagaimana aktivitas merokok menjadi pelarian bagi para penikmatnya (pembaca iklan). Besaran dana yang digelontorkan para produsen untuk membuat iklan rokok di Indonesia mengindikasikan bahwa produsen memiliki konsep-konsep tertentu yang ingin disampaikan kepada audiens. Konsep-konsep ini dikonstruksi sedemikian rupa menjadi mitos dan ideologi yang diharapkan akan ditangkap oleh audiens sebagai produsen makna. Jika selama ini citra simbolik yang kerap muncul dalam iklan rokok adalah mitos tentang kejantanan atau maskulinitas yang ditandai dengan berbagai citraan mulai tubuh pria, hingga otomotif, maka belakangan ini peneliti melihat bahwa konsep tersebut mengalami pergeseran. Jika kita merujuk pada fakta tentang pertumbuhan perokok perempuan yang terus meningkat, maka iklan rokok pun mengakomodasi fenomena ini melalui penggambaran visualnya. Iklan-iklan rokok yang dibuat kini tidak terbatas pada pria tetapi juga perempuan.
Ini sejalan dengan pengakuan masyarakat secara sosial dan budaya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak lagi dipandang tabu ketika modern, bahkan menggambarkan sosok perempuan modern yang aktif dan dinamis.
II.2.8 Iklan Rokok: Memenuhi Kebutuhan Eskapisme Individu, menggunakan media massa untuk memenuhi atau memuaskan (gratify) kebutuhan mereka. Beberapa tipe kebutuhan manusia berkait dengan fungsi penggunaan media: (1) Fungsi Mengawasi. Ini berkaitan dengan kebutuhan (a) kognitif: kebutuhan mendapatkan informasi, pengetahuan, dan pengertian tentang lingkungan sekitar; (b) afektif: yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan usaha untuk memperkuat pengalaman yang bersifat keindahan, kesenangan, serta emosional; (2) Fungsi Sosialisasi. Fungsi sosialisasi ini berlangsung seumur hidup dan banyak dibantu media massa. Pada fungsi ini terdapat kebutuhan: (a) integratif personal: kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang berkaitan
dengan
peningkatan
harga
diri
seseorang,
seperti
memperkuat kepercayaan, kesetiaan, status pribadi; (b) kebutuhan integratif sosial: yaitu merupakan kebutuhan individu untuk bersosialisasi dengan sekelilingnya, seperti dengan keluarga, teman, dan lingkungan sekitar; (3) Fungsi Diversi. Hasil dari fungsi ini berupa stimulasi, relaksasi, atau pengenduran atau pembebasan emosi.
Stimulasi. Semua orang pasti mengalami rasa bosan. Ketika indra kita kekurangan stimuli eksternal, maka akan timbul kekosongan sensoris. Pada masyarakat modern, media massa hampir selalu menjadi stimulant penghilang kejemuan. Relaksasi. Ketika kemampuan indra seseorang terlalu berlebihan, media massa dapat membantu menguranginya. Relaksasi tidak harus diperoleh dari situasi yang tenang. Film yang menegangkan atau buku yang menyeramkan pun dapat efektif sebagai sarana relaksasi. Pelepasan.
Orang
dapat
menggunakan
berbagai
media
untuk
melepaskan kepenatan. Menggunakan media massa baik sebagai stimulan atau menghilangkan ketegangan dan kejenuhan adalah sebentuk eskapisme (escapism) yang sehat. Namun eskapisme yang berlebihan dapat membuat orang lari dari kenyataan. Yaitu ketika orang mulai berusaha menyamakan diri, atau mengalami ketergantungan eksistensi, maka pelarian diri ini berubah menjadi gangguan psikologis (Vivian, 2008:475-477).
Berangkat dari teori ini, iklan rokok merupakan salah satu medium yang dikonsumsi untuk kebutuhan pelepasan. Hal ini bisa dilihat dari kreativitas yang ditumpahkan dalam visual image iklan-iklan rokok yang cenderung menarik perhatian baik melalui teks yang digunakan, visualisasi tentang citra tubuh dan kedirian yang macho, atau tentang eksistensi manusia dalam komunitas/kelompok masyarakat tertentu.
Dari sini kita bisa melihat bahwa iklan-iklan rokok merupakan bentuk eskapisme. Kreativitas yang ditampilkan oleh iklan-iklan rokok karena berbagai pembatasan
yang
mengaturnya
justru
menjadi
sarana
pembaca
yang
mengonsumsinya dengan tujuan untuk melarikan diri (escape) dari kenyataan hidup, melepaskan diri dari ketegangan, dan sekaligus memenuhi kebutuhan akan hiburan yang mungkin tidak dapat diperoleh.
II.2.9 Iklan Rokok: Representasi Gaya, Kesenangan, dan Percaya Diri Menurut Burton (2008:168), iklan merupakan bahasan yang sering disebut dalam studi media karena merupakan tipe produk yang jelas mendukung nilai komersial dalam media. Iklan tidak ragu membujuk. Iklan merupakan komunikasi yang sengaja dikonstruksi dengan cara-cara tertentu untuk mempersuasi penerima pesan. Dalam lingkungan yang murni komersial, iklan dibuat dengan tujuan: (1) Menciptakan kesadaran tentang produk atau jasa yang bersangkutan; (2) Meyakinkan pelanggan tentang kualitas produk; (3) Meyakinkan unit perdagangan dan penjualan; (4) Meraih pangsa pasar yang lebih besar; (5) Mempertahankan pasar yang sudah ada dari kompetitor. Tujuan ini berlaku pula untuk iklan rokok. Karena adanya berbagai batasan yang melarang tampilan rokok atau visual orang merokok atau asap rokok, maka berbagai iklan rokok berusaha menggantikan tanda-tanda produknya dengan tanda lain. Iklan rokok A-Mild misalnya bahkan tidak pernah menampilkan nama
produknya. Dalam hal ini bisa dilihat bahwa tujuan yang diharapkan bukan lagi untuk menciptakan kesadaran atau meyakinkan pelanggan namun mempertahankan pasar dengan secara konsisten menggunakan jargon-jargon tertentu yang dikonstruksi untuk membentuk mitos sebagaimana yang diharapkan. Berbeda dengan iklan rokok Djarum Super Mild yang masih bertujuan untuk mengenalkan produk karena varian Mild dari Djarum Super merupakan produk baru. Dalam konteks iklan sebagai produksi teks, iklan memiliki tiga macam sumber produsen, yakni organisasi mula-mula, lembaga konsultan kreatif yang membuat iklan, dan media yang memproyeksikan pesan tersebut (Burton, 2008). Iklan dikodekan untuk media spesifik. Iklan ini mengandung pelbagai pesan yang informatif dan mengandung nilai tertentu. Pesan-pesan tersebut kemudian direpresentasikan sehingga menarik bagi audiens. Audiens dalam hal ini ditargetkan sebagai penerima komunikasi. Dalam hal ini audiens kemudian berperan sebagai produsen makna. Di mana makna itu sendiri terbentuk atas pengaruh kebudayaan di mana makna itu diproduksi. Hal ini digambarkan melalui logika berikut: Analisis Tekstual Tanda → konotasi dan kode → denotasi → mitos Produksi Tekstual Mitos → denotasi → kode dan konotasi → tanda Gambar II.1 Logika Analisis Tekstual dan Produksi Tekstual (Thwaites, 2009:122)
Dalam konteks iklan rokok, produsen sebagai organisasi mula-mula memiliki konsep-konsep tertentu yang ingin disampaikan kepada audiens (mitos). Konsep ini kemudian disampaikan kepada lembaga konsultan kreatif yang membuat iklan. Konsep berupa mitos yang diharapkan akan diterjemahkan oleh pembuat iklan
melalui lapis denotatif. Selanjutnya penanda dan petanda yang dihasilkan dari lapis denotatif menjadi kode dan penanda maupun petanda bagi lapis konotatif hingga mewujud menjadi berbagai tanda yang hadir dalam iklan-iklan rokok. Dalam hal ini peneliti melihat bahwa mitos eskapisme sebagai analogon dari aktivitas merokok merupakan konsep yang ingin diteguhkan oleh produsen yang kemudian dikontruksi oleh pembuat iklan melalui tanda-tanda baik yang bersifat denotatif maupun konotatif. Aturan-aturan yang membatasi iklan rokok justru memacu pembuat iklan untuk mencari tanda lain yang dapat digunakan untuk menggantikan citra produk yaitu dalam objek penelitian ini adalah konsep-konsep mengenai gaya (style), kesenangan (pleasure), dan percaya diri (confidence). Konsep-konsep ini merupakan bagian dari bangunan tentang konsep eskapisme yang ditawarkan oleh iklan-iklan rokok terhadap audiens melalui serangkaian tanda yang digunakan.
II.2.10 Analisis Tekstual Tradisi analisis tekstual banyak dikembangkan oleh tradisi Cultural Studies yang dilakukan oleh Stuart Hall (1972) dan koleganya. Analisis tekstual muncul sebagai salah satu metodologi yang digunakan untuk mengupas, memaknai, sekaligus mendekonstruksi ideologi, nilai-nilai, interes, atau kepentingan yang ada di balik sebuah teks media. Metode analisis tekstual digunakan untuk mencari makna laten (latent meaning) yang tersembunyi di balik teks-teks media massa.
Metode analisis tekstual sebenarnya memberikan perangkat atau tools for analysis teks-teks media agar peneliti mampu mengungkap konstruksi yang tersembunyi dalam bangunan-bangunan teks media dengan pemaknaan yang berbeda-beda. Sehingga masyarakat diharapkan tidak hanya percaya begitu saja dengan realitas yang dibentuk dan diciptakan serta didistribusikan dalam teks-teks media yang mereka konsumsi sehari-hari. Analisis tekstual juga memberikan pengertian bahwa budaya atau culture yang dikreasi dan kemudian didistribusikan dan dikonsumsi adalah hasil dari konstruksi sosial yang tidak “given” atau “taken for granted”. Dengan dasar pengetahuan ini, maka analisis tekstual berangkat dari asumsi bahwa makna tidak tunggal tetapi multi atau merujuk istilah Fiske (1981) makna bersifat polisemi (dalam Ida, 2011).
Definisi Analisis Tekstual Alan McKee (dalam Ida, 2011:41) menjelaskan bahwa analisis tekstual adalah interpretasi-interpretasi yang dihasilkan dari teks. Interpretasi-interpretasi ini adalah proses ketika kita melakukan encoding sekaligus decoding terhadap tandatanda di dalam kesatuan sebuah teks yang dihasilkan. Interpretasi peneliti dalam hal ini tidak harus benar. Sebab penelitian dengan menggunakan analisis tekstual tidak untuk mencari intepretasi yang benar. Interpretasi yang dihasilkan oleh peneliti mestilah memberikan kepercayaan yang meyakinkan (convincing) bagi argumentargumen penelitian yang dibangun sebagai tesis penelitian. Berbeda dengan kuantitatif yang menuntut ‘kebenaran’ atau keberhasilan statistik dari sebuah
penelitian. Dalam analisis tekstual, peneliti tidak dituntut melakukan interpretasi dengan tepat. Artinya dalam melakukan asesmen terhadap penelitian analisis tekstual tidak dapat digunakan standar tertentu. Tujuan Analisis Tekstual Analisis tekstual bertujuan menggali lebih dalam (to explore), membuka makna-makna tersembunyi (to unpack), membongkar konsep, nilai, ideologi, budaya, mitos, dan hal-hal lain yang diproduksi dan direproduksi oleh pembuat teks atau penguasa media (to deconstruct) untuk memahami bagaimana sebuah kultur, mitos, kepentingan lain yang ada dalam produksi teks (to understand) dan lain-lain. Menurut McKee, tujuan dari kajian analisis tekstual meliputi hal-hal berikut: (1) Mengungkap apa dan bagaimana pengetahuan (knowledge) diproduksi dalam suatu konteks masyarakat; (2) Memahami peran
yang dimainkan media dalam kehidupan kita:
bagaimana pesan-pesan media berpartisipasi dalam konstruksi budaya terhadap pandangan kita tentang dunia.
Analisis Tekstual dan Produksi Menurut Thwaites dkk (2002:122), analisis tekstual bergerak dari menentukan lokasi tanda khusus, sampai memeriksa struktur mitos sosial. Analisis ini melibatkan asumsi-asumsi sbb.: 1. Premis dasar analisis tekstual adalah bahwa semua penanda memiliki petanda yang beraneka;
2. Konotasi yang dimiliki tanda selalu berhubungan dengan kode makna sosial; 3. Tiap-tiap teks merupakan kombinasi sintagmatik dari tanda, dengan berbagai konotasi berkaitan yang dimiliki tanda tersebut; 4. Konotasi
yang mungkin ditekankan oleh para pembaca berbeda itu
beraneka macam sesuai dengan posisi sosialnya: kelas sosial, gender, usia, dan faktor-faktor lain yang memengaruhi cara berpikir tentang dan dalam menginterpretasi teks; 5. Konotasi paling stabil, sentral, dan disukai secara sosial menjadi denotasi, yakni makna yang tampak benar dari tanda dan teks bagi para pembaca; 6. Denotasi memeroleh stabilitas dan sentralitas dari cara kumpulan konotasi diurutkan oleh mitos yang mengandung nilai-nilai budaya.
Teks Teks dalam konteks ini adalah semua yang tertulis, gambar, film, video, foto, desain grafis, lirik lagu, dan lain-lain yang menghasilkan makna (MvKee, 2001). Pengertian teks tidak hanya meliputi hasil produksi media massa atau publikasi. Teks juga bisa diartikan sebagai realita sehari-hari yang memiliki atau menghasilkan makna. Dalam kajian-kajian wacana atau discourse, seringkali peneliti studi media hanya memahami teks-teks media yang tertulis atau terdokumentasi dan belum memiliki kepekaan untuk mengangkat praktik-praktik kehidupan sosial sebagai
sebuah teks yang menarik untuk diamati dan dikaji. Kebiasaan untuk menjadikan kehidupan sehari-hari sebagai sebuah teks lebih sering dilakukan oleh tradisi Antropologi melalui metode etnografi (Ida, 2011:40). Menurut Thwaites dkk (2002:112), teks adalah kombinasi dari tanda-tanda atau signs. Tanda-tanda ini yang bermain dan memproduksi makna dalam sebuah teks. Tanda atau sign diartikan sebagai segala sesuatu yang menghasilkan makna. Tanda tidak hanya berupa komentar yang dibuat oleh seseorang yang mengolah tanda menjadi bermakna. Tetapi tanda juga adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tanda atau sign merujuk pada sesuatu. Dengan kata lain, tanda mewakili atau menjadi referensi terhadap sesuatu sehingga menghasilkan makna. Tanda tidak hanya membawa makna, tetapi juga sekaligus memproduksi makna. Pada kenyataannya tanda sendiri memproduksi banyak makna, tidak hanya satu makna petanda. Inilah yang disebut Fiske sebagai polisemik tanda. Setiap tanda/sign adalah objek yang merujuk pada sesuatu berdasarkan pada konteks atau pada budaya di mana tanda itu sendiri diproduksi dan direproduksi. Konteks budaya, bahkan historis menjadi penting untuk menghasilkan makna. Salah satu cara dalam kajian analisis tekstual untuk menghasilkan derajat objektivitas penelitian. Maka konteks budaya menjadi sangat signifikan untuk menghasilkan apa yang disebut objektivitas tersebut. Menurut McKee, ada beberapa aturan yang harus dipahami peneliti studi media dan budaya. Aturan ini berfungsi sebagai pijakan dalam memerlakukan data dan sekaligus fenomena yang diamati termasuk kepekaan sosial dan analisis kritisnya
terhadap apa yang terjadi atau apa yang sedang terjadi. Aturan-aturan tersebut adalah: (1) Tidak ada interpretasi terhadap teks yang paling benar atau satu-satunya yang benar. Ada banyak kemungkinan interpretasi-interpretasi yang dilakukan oleh peneliti. Bisa juga sebagian mirip dengan yang lain dalam kondisi tertentu. (2) Tidak ada klaim bahwa sebuah teks adalah representasi yang “akurat” atau representasi yang “tidak akurat”. (3) Teks bukanlah refleksi realitas. (4) Ketika peneliti memaknai atau menginterpretasi teks, maka hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah konteks, konteks, dan konteks. KONTEKS.
Teks, selalu diproduksi dalam konteks sosial. Teks selalu dipengaruhi oleh dan mereproduksi nilai budaya dan mitos dari konteks tersebut. Mitos kultural yang berlaku menentukan akan berupa apakah denotasi kunci, kode, konotasi, dan tanda yang dimiliki suatu teks. Bahkan seandainya suatu teks bertentangan dengan nilainilai tersebut sekalipun (contohnya prasasti), teks masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tersebut.
II.2.11 Semiotik Dalam esai-esai perkuliahannya Saussure telah meramalkan bahwa kajian tentang tanda akan menempati satu posisi tersendiri dalam cabang ilmu
pengetahuan. Pemikiran ini didasari oleh keyakinannya bahwa di masa-masa berikutnya kajian akan peranan tanda dalam kehidupan sosial akan kian meningkat. Kajian tentang tanda ini kini kita sebut sebagai Semiologi. Secara etimologis, kata semiologi berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Semiologi menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut dan hukum yang mengaturnya. Karena ilmu tersebut belum ada, maka tidak ada satupun yang memberikan kepastian ilmu tersebut akan ada. Tetapi ilmu ini berhak untuk hadir. Lebih tepatnya, tempatnya telah ditentukan sebelum ia hadir (Saussure, 1993:82-83). Pada perkembangannya, istilah semiologi kerap diperten-tangkan dengan semiotika. Kedua istilah tersebut menunjukkan tradisi “ilmu tentang tanda-tanda” yang berkembang di Amerika dan Eropa. Tradisi Saussure, Hjelmeslev dan Barthes, biasanya didefinisikan sebagai semiologi, sedangkan teori umum tanda dalam tradisi Pierce dan Morris disebut dengan semiotika (Noth, 2006:13). Di antara semiologi dan semiotika sesungguhnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Keduanya juga didefinisikan sebagai ilmu tentang tanda. Hingga pada tahun 1969 para pelopor semiotic yang tergabung dalam International Association of Semiotic Studies, memutuskan untuk mengadopsi istilah semiotic sebagai istilah umum yang meliputi semua bidang penelitian yang berada dalam tradisi semiologi dan semiotika umum (Noth, 2006:14). Sejak saat itu, penggunaan kata “semiotic" untuk menyebut kajian tanda internasional. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti pun menggunakan istilah semiotik meski menggunakan telaah tanda dengan model semiologi Roland Barthes.
Semiotik adalah sebuah ilmu yang dapat diterapkan secara luas karena hampir seluruh hal yang ada di muka bumi ini dapat menjadi sebuah tanda. Salah satu penggunaan semiotik yang paling sering adalah untuk menganalisis teks dan gambar. Saussure membagi tanda secara dikotomis sebagai signifier (penanda) dan signifie (petanda). Hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer. Menurut Kris Budiman (2011), semiotik bukanlah sekadar studi atau ilmu tentang makna dan atau tanda sebagaimana disalahpahami oleh sebagian besar pembelajar Semiotik. Terlepas dari pembedaan yang mungkin dilakukan oleh semiotisi tertentu atas arti (meaning) dan makna (significance), semiotika tidak hanya mengkaji makna dan atau tanda. Relasi tanda dan makna-maknanya hanya dipelajari di dalam semantika (semantics) sebagai salah satu dari tiga cabang penyelidikan semiotika. Dua cabang penyelidikan yang lain yakni sintaksis (syntax) dan pragmatika (pragmatics), tidak mempelajari makna, melainkan relasi formal di antara tanda dengan tanda-tanda yang lain serta relasi di antara tanda-tanda dan para penggunanya. Kedua, semiotika tidak sebatas memelajari simbol, melainkan tanda-tanda pada umumnya yang jauh lebih luas cakupannya. Apa yang sering disebut sebagai simbol sesungguhnya hanyalah salah satu jenis relasi tanda. Ketiga, semiotika memang mengkaji tanda-tanda, atau lebih tepatnya relasi tanda-tanda. Yang menjadi kata kuncinya di sini adalah relasi, bukan tanda itu sendiri. Semiotika mengkaji relasi tanda, yakni relasi tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain; relasi tanda-tanda dengan makna-maknanya atau objek-
objek yang dirujuknya (designatum) dan relasi tanda-tanda dengan para penggunanya: interpreter-interpreternya.
Posisi Semiotika Sebagai Pendekatan Roman Jakobson (1975:353) mengemukakan suatu model situasi tutur atau komunikasi verbal. Skema berikut ini menampilkan model tersebut beserta faktorfaktor yang menyusunnya:
Context Message Adresser -------------------------------------------------------- Addressee Contact Code
Gambar II.2 Skema Model Situasi Tutur Roman Jakobson (Dalam Budiman, 2011:5)
Di dalam setiap situasi tutur, pihak pengirim (addresser) menyampaikan pesan (message) kepada pihak penerima (addressee). Agar dapat beroperasi dengan baik, pesan tersebut membuhkan konteks (context) sebagai acuannya beserta kode (code) yang setidak-tidaknya sebagian atau seluruhnya telah dikenal oleh pihak pengirim maupun penerima. Kemudian dengan adanya suatu kontak (contact) yang menghubungkan pihak pengirim dan penerima, baik secara fisik maupun psikologis, maka keduanya dimungkinkan untuk melakukan komunikasi.
II.2.11.1Semiotika Visual Semiotika visual, merupakan salah satu bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Jika definisi ini diikuti secara konsisten, maka semiotika visual tidak lagi terbatas pada kajian seni rupa (seni lukis, patung, arsitektur, dsb. melainkan juga segala macam tanda visual yang seringkali dianggap bukan karya seni. Sebagaimana ditulis oleh Kris Budiman (2011), Charles Morris mengklasifikasikan semiotika visual dalam tiga dimensi: sintaktik, semantik, dan pragmatik. (1) Sintaktik atau sintaksis merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan kata lain karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Secara sederhana, sintaktik dapat diartikan semacam gramatika. (2) Semantik adalah cabang penyelidikan semiotik yang memelajari “hubungan antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya. Istilah designata digunakan Morris untuk mengacu makna tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu. (3) Pragmatik diartikan sebagai cabang penyelidikan semiotika yang memelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter atau para pemakainya”. Atau dapat diartikan pragmatik memelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik
secara khusus berhubungan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
2.2.11.2 Semiologi Roland Barthes Semiologi Saussure menjadi dasar dari kajian-kajian semiotika Barthes terhadap objek-objek kenyataan atau unsur-unsur kebudayaan yang sering ditelitinya. Bagi Barthes, semua hal dapat menjadi objek kajian semiotik. “The world is full of signs, but these signs do not all have the fine simplicity of the letters os the alphabet, or highway signs. Or of military uniform: they are infinitely more complex”.
Dunia ini penuh dengan tanda-tanda, tetapi tanda-tanda ini tidak semua memiliki kesederhanaan baik dari huruf atau alphabet, atau tanda-tanda jalan raya. Atau seragam militer. Mereka jauh lebih kompleks.
Gagasan Barthes mengenai tanda-tanda dan cara memaknanya tertuang dalam bukunya Mythologies (1957). Buku ini berisi kumpulan artikelnya tentang penguraian mitos dalam tanda-tanda. Dalam Mitologi, Barthes banyak mengupas mitos dan peranan ideologi dalam proses pemaknaan tanda. Barthes, mengajukan pendekatan semiotik terhadap kebudayaan modern yang membatasi mitos bukan sebagai bentuk naratif, melainkan sebagai fenomena kehidupan sehari-hari (Noth, 2006:383). Pada umumnya, mitos diartikan sebagai ide-ide palsu yang hidup dalam masyarakat. Ia hidup dan menjelma dalam berbagai hal yang kebenarannya diragukan namun keberadaannya diakui oleh masyarakat. Pengertian yang semacam itu, biasanya digunakan oleh orang-orang yang tidak percaya akan nilainilai mitos. Sementara Barthes, menggunakan kata-kata mitos sebagai salah
seorang yang menaruh kepercayaan akan keberadaannya (Fiske, 1985:93). Bagi Barthes, mitos adalah cara budaya menjelaskan dan memahami suatu hal, sebuah cara untuk mengonsetualisasi dan memahaminya. Mitos dipandang sebagai sebuah tipe wicara yang tidak dapat berperan sebagai sebuah objek, konsep maupun ide. Mitos adalah cara pemaknaan. (Barthes, 2004:151). Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan bagian dari sistem komunikasi, sekaligus merupakan pesan. Sehingga, kajian tentang mitos dapat dimasukkan pada ranah kajian semiologi (Barthes, 2004:152-155). Mitos berfungsi untuk menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Barthes juga menyebut mitos dengan istilah metabahasa. Karena mitos adalah bahasa kedua. Bahasa pertama, digunakan saat orang berbicara. Ketika seorang ahli semiologi menggambarkan tentang metabahasa, dia tidak lagi harus bertanya kepada dirinya tentang komposisi bahasa-objek. Ia hanya perlu mengetahui istilah total atau tanda global. Oleh sebab itu istilah ini selaras dengan mitos (Barthes, 2004: 162). Tanda, berada pada sistem pertama (sistem linguistik) yang sekaligus menjadi penanda pada sistem kedua. Hal ini terlihat melalui skema berikut: 1. Signifier/Penanda
2. Signified/Petanda
3. Sign/Tanda I. Signifier/PENANDA
II.Signified/ PETANDA
III. Sign/TANDA Gambar II.3 Sistem Semiologi dan Mitologi (Barthes, 2004:161)
Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda
berhubungan
dengan
petanda-petanda
sedemikian
sehingga
menghasilkan tanda (I). Selanjutnya di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tandatanda pada tataran pertama tadi menjadi penanda-penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda (II). Dari penjelasan Barthes (dalam Budiman, 2011:39), proses signifikasi berlapis ganda ini digambarkannya melalui perangkat konseptual yang lebih familiar, yakni denotasi dan konotasi. Pertama, Barthes membedakan lapis ekspresi (expression = E) dari lapis isi (content = C). Penggunaan istilah ini merupakan hasil pinjaman dari Hjelmslev sebagai pengganti konsep-konsep seperti penanda dan petanda yang diusung oleh Saussure. Kedua lapis ini, ekspresi dan isi, saling berelasi (relation = R) sehingga menghasilkan signifikasi –disingkat ERC. Sistem ERC pada tingkat pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi sebuah unsur saja dari sistem tingkat kedua. Derivasi yang kemudian dihasilkan bergantung kepada titik penyusupan dari sistem pertama ke dalam sistem kedua sehingga kemudian diperoleh dua perangkat yang satu sama lain berbeda. Yang dimaksud dengan makna denotatif adalah makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Yang pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna denotatif ini bersifat langsung. Sementara makna konotatif berkaitan dengan kebudayaan yang tersirat pada segala sesuatu yang ditimbulkan. Makna konotasi dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau mitos petunjuk dan menekan maknamakna denotatifnya (Berger, 2000:56).
2.2.11.3 Tanda dan Proses Semiosis Pierce, mengacu model tandanya sebagai sebuah model yang terdiri atas tiga (triple) hubungan yakni sign (tanda), thing signified (sesuatu yang dilambangkan), dan cognition produced in the mind (kognisi yang dihasilkan dalam pikiran). Suatu tanda atau representamen, menurut Pierce adalah sesuatu yang mengacu pada seseorang atas sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda ini merujuk pada seseorang yakni menciptakan di dalam benak orang it suatu tanda (lain) yang setara, atau mungkin yang lebih maju. Tanda yang diciptakan itu disebut interpretant atas tanda pertama. Tanda itu mengacu pada sesuatu yakni objeknya. Itu mengacu pada objek itu, bukan dalam semua sisi, namun mengacu pada semacam ide (Noth, 2006:42). Salah satu prinsip utama semiotik Pierce adalah relasional tanda. Tanda bukanlah sejenis objek. Tanda hanya ada di benak interpreter. Tidak ada sesuatu yang merupakan tanda kecuali diinterpretasikan sebagai (Noth, 2006:42). Pierce mendefinisikan tindakan tanda triadic ini sebagai proses dampak kognitif yang ditimbulkan tanda kepada interpreternya. Proses ini ia sebut semiosis.
2.2.11.4 Kode Dalam Semiotik Umberto Eco mendefinisikan kode sebagai sistem unit-unit signifikan dengan kaidah-kaidah pengkombinasian dan pentransformasian. Kode adalah sistem kaidah yang diberikan oleh kebudayaan. Kode, merupakan aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi (Noth, 2006:210).
Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik menyangkut sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda, sebagai sesuatu yang bermakna (Scholes dalam Budiman, 2011:34). Segala sesuatu bergantung pada kode. Kita bisa memberi makna kepada sesuatu berkat suatu sistem pikiran, suatu kode yang memungkinkan kita untuk dapat melakukannya. Menurut Roland Barthes, di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes) yang di dalamnya semua penanda tekstual (leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimaksukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan atau topos yang melaluinya, sebuah teks dapat “menjadi” (Barthes dalam Budiman, 2011:34). Kelima jenis kode tersebut meliputi (1) kode hermeneutik (hermeneutic code). Kode hermeneutik merupakan satuan-satuan yang dengan pelbagai
cara
berfungsi
untuk
mengartikulasikan
suatu
persoalan,
penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru menunda-nunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekadar memberi isyarat bagi penyelesaiannya (Barthes dalam Budiman, 2011:35). Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan atau misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. (2) Kode semik (code of semes) atau konotasi. Yakni kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran tertentu, kode
konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut sebagai “tema” atau “struktur tematik”. (3) Kode simbolik (symbolic code). Yaitu kode yang berkaitan dengan pengelompokan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui pelbagai cara dan sarana tekstual. Misalnya berupa serangkaian antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik. (4) Kode proairetik (proairetic code), yaitu kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep proairesis yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing memiliki nama generik tersendiri semacam judul bagi sekuen yang bersangkutan. (5) Kode kultural (cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhan sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana (Barthes dalam Budiman, 2011:36).
2.2.12 Semiotik-Diskursif Semiotik, merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang memiliki peran sebagai alat memaknai tanda dalam budaya. Menurut Hall (dalam Ida, 2011:55),
dalam perkembangannya, para social constructionist tidak hanya puas memperhatikan detil bagaimana bahasa bekerja di dalam budaya, tetapi dengan memperhatikan peran yang lebih luas dari wacana (discourse) dalam budaya (masyarakat). Hall menjelaskan bahwa discourse adalah cara-cara merujukkan (referring) sesuatu terhadap atau mengonstruksi pengetahuan tentang topik tertentu dari suatu praktik-praktik sosial dari ide-ide, gambar-gambar, dan praktikpraktik kebudayaan. Dengan mencoba mengaitkan dengan wacana yang lebih besar dalam masyarakat, maka peneliti akan mendapatkan cara-cara untuk menjelaskan mengapa suatu kejadian terjadi, kejadian itu tentang apa, bentukbentuk pengetahuan (knowledge) yang muncul dari kejadian itu, dan aturan-aturan yang berhubungan dengan kejadian atau aktivitas sosial atau institusi masyarakat yang sedang diamati atau dianalisis. Ini disebut sebagai formasi-formasi diskursif (discursive formations). Jika pendekatan semiotik berfokus pada “bagaimana representasi”, “bagaimana bahasa memproduksi makna”, maka pendekatan diskursif lebih berfokus pada “efek-efek dan konsekuensi-konsekuensi dari representasi”. Pendekatan diskursif tidak saja menjelaskan tentang bagaimana bahasa dan representasi menghasilkan makna, tetapi bagaimana pengetahuan yang diproduksi oleh wacana tertentu terhubung dengan kekuasaan (power), meregulasi aturanaturan, membuat atau mengonstruk identitas-identitas dan subjek-subjek, dan mendefinisikan cara sesuatu direpresentasikan, dipikirkan, dipraktikkan, dan dipelajari (Hall dalam Ida, 2011:55).
Penekanan pendekatan diskursif selalu pada latar belakang historis yang spesifik dari bentuk-bentuk tanda yang dianalisis atau yang biasa disebut sebagai rejim representasi: tidak pada bahasa sebagai kepedulian umum, melainkan pada bahasa-bahasa atau makna-makna spesifik, dan bagaimana bahasa dan makna tersebut digunakan pada masa/waktu tertentu, di tempat tertentu, dan situasi historis, serta praktik aktual tertentu.
II.3 Kerangka Berpikir Latar Belakang Fenomena: • Iklan rokok di media luar ruang sebagai alternative promotion • Mitos Eskapisme dalam Iklan Rokok AMild dan Djarum Super Mild Masalah Penelitian Bagaimanakah mitos eskapisme diartikulasikan dalam iklan rokok A-Mild dan Djarum Super Mild
ANALISIS TEKSTUAL Iklan sebagai teks
Latent meaning
Analisis Semiotik 2 (Roland Barthes)
Visual Culture
Ad-Print
Produksi Iklan
Tipografi
Mitos Penarikan Kesimpulan
Gambar II.5 Bagan Kerangka Berpikir
BAB III METODE PENELITIAN
III.1
Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan adalah textual analysis. Sebagaimana dikemukakan oleh McKee (dalam Ida, 2011:41), analisis tekstual merupakan sebuah metodologi yang dapat digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis informasi dalam riset akademik.
III.1.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode yang sekaligus menjadi teori penelitian yaitu Semiotik. Sebagai sebuah studi atas kode-kode, yakni sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna, Semiotika tidak lain merupakan doktrin formal tentang tanda. Peneliti menggunakan model Semiologi Roland Barthes yang membagi pengkodean atas kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kebudayaan. Analisis juga dilakukan dengan melihat yang melakukan proses dekonstruksi terhadap mitos. Tanda-tanda melalui pemaknaan dua tingkat, denotasi dan konotasi hingga dapat melihat mitos dan ideologi yang dihasilkan.
III.1.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam kajian ini adalah kualitatif. Di mana data diperoleh dengan melakukan dokumentasi terhadap sejumlah bahan yang digunakan sebagai bahan analisis. Hasilnya kemudian dianalisis sesuai pendekatan yang telah dipilih dan kemudian diinterpretasi untuk menjawab rumusan masalah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008:4) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian ini, peneliti adalah instrumen kunci. Bekal teori dan wawasan yang dimiliki oleh peneliti akan sangat menentukan ketajaman hasil analisis. Penelitian komunikasi kualitatif tidak dimaksudkan untuk memberi penjelasan, mengontrol gejala komunikasi, mengemukakan prediksi atau untuk menguji teori. Penelitian lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. III.1.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: 1. Iklan yang akan dijadikan objek penelitian difoto secara langsung di lokasi billboard tersebut terpasang. Iklan A-Mild diambil gambarnya di jalan layang Wonokromo dari arah Surabaya menuju Sidoarjo. Sedangkan iklan Djarum
Super Mild diambil di pertigaan jalan raya Panjang Jiwo-Kedung BarukRungkut. 2. Karena foto yang dihasilkan kurang jernih, peneliti mengunduh objek dari beberapa situs melalui pencarian. Proses pencarian ini dilakukan dengan mengetik kata kunci misalnya iklan rokok Djarum Super Mild dan kemudian di-capture sesuai iklan yang dimaksud. III.1.4 Unit Analisis Objek dalam penelitian ini adalah: (1) iklan rokok
A-Mild versi “BERANI
BILANG SALAH KOSTUM ITU STYLE?” dan (2) iklan rokok Djarum Super Mild versi “PLEASURE, STYLE, CONFIDENCE. Sedang unit analisis yang akan diteliti meliputi: (1)
Aspek visual: warna, ukuran, ruang, kontras, tekstur, tipografi dalam visual iklan dan penempatan logo produk rokok.
(2)
Aspek teknis: sudut pengambilan gambar, komposisi visual.
(3)
Aspek gerak dari sisi fotografi.
(4)
Aspek perilaku pada visual image.
III.1.5 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sbb. 1. Mengklasifikasi objek penelitian menurut sistem pengkodean Roland Barthes; kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kebudayaan.
2. Visual image dari objek penelitian kemudian dianalisis dengan model Semiologi Roland Barthes yaitu dengan penandaan dua tingkat pada level denotasi dan konotasi hingga menghasilkan mitos dan ideologi. 3. Meneliti satu persatu visual iklan yang ditampilkan, dan menganalisisnya hingga kemudian menyimpulkan hasilnya.
BAB IV ESKAPISME DALAM IKLAN ROKOK
IV.1
Pembahasan Dua iklan rokok yang diteliti dalam penelitian ini mengandung konsep visual lewat simbol-simbol atau tanda-tanda yang tersembunyi. Konsep-konsep tersebut adalah konsep tentang gaya, percaya diri, kesenangan. Konsep-konsep tersebut terepresentasi baik secara tersurat melalui teks/tagline, juga melalui tanda-tanda yang bertebaran dalam iklan baik dalam wujud fashion (busana yang dikenakan), benda-benda yang hadir, maupun gestur tubuh yang dalam pemaknaannya merepresentasi konsep tentang eskapisme. Konsep-konsep ini digunakan pengiklan untuk menggantikan citra produk rokok karena adanya pembatasan atau aturan yang melarang kehadiran ikon rokok, orang yang merokok, atau bahkan penggambaran asap rokok. Iklan, dalam konteks penelitian ini dilihat sebagai ajang yang digunakan untuk memecahkan kontradiksi sosial, menyodorkan model identitas, dan merayakan tatanan sosial yang ada. Barthes (dalam Kellner, 2010:338) melihat bahwa periklanan merupakan kumpulan mitologi kontemporer. Inilah yang mendasari penelitian. Kedua iklan baik A-Mild maupun Djarum SuperMild akan diteliti dengan mengggunakan pendekatan analisis tekstual dengan metode Semiotik Roland Barthes. Dalam penelitian ketiga iklan ini akan melingkupi tatanan denotasi, konotasi, mitos dan ideologi melalui kode-kode hermeneutik, semantik, simbolik, proairetik, dan kebudayaan. Ketiga iklan yang dijadikan objek penelitian adalah sebagai berikut:
IV.2
Setting Iklan Rokok A-Mild IV.2.1 Makna denotatif: Salah Kostum Itu Style Lay Out Iklan
IV.1 Lay Out Iklan Billboard A-Mild
Setting denotatif pada iklan A-Mild terdiri dari gambar seorang pria bertelanjang dada, memakai celana jeans dengan mengenakan asesoris berupa dua kalung: satu kalung panjang yang dililitkan berulang, dan satu kalung dengan model bandul army look. Ikon pria ini memiliki tattoo di lengan kanan. Asesoris
lain yang juga dikenakan adalah bola lampu disko yang digunakan untuk menutupi kepala dan wajah. Dalam visual iklan ini juga terdapat ikon lelaki berjaket kulit berwarna hitam yang berpose membelakangi atau nampak punggung. Di samping kanannya terdapat ikon perempuan berambut sebahu mengenakan dress berwarna gemerlap dengan model you can see (gaun tanpa lengan). Sedang di samping kiri terdapat ikon seorang perempuan yang hanya terlihat separuh tangannya saja. Di bagian kanan iklan, terdapat dua sosok perempuan, keduanya berambut pendek, yang satu mengenakan kaus berwarna putih, sementara sosok perempuan lainnya tidak diperlihatkan kostumnya karena ditutup oleh teks bertuliskan GoAhead Challenge: GoAheadpeople.com. Selain itu ada satu lagi sosok pria berambut cepak dengan cambang di samping telinga kiri. Sosok pria ini ditempatkan di antara kedua perempuan yang disebutkan sebelumnya. Ikon pria ini juga tidak terlihat kostum yang dikenakannya. Setting denotasi berikutnya adalah pada teks. Pada visual iklan ini, headline yang dipilih adalah tagline berbunyi “Berani bilang salah kostum itu style?”. Teks headline ini menggunakan tipe huruf Arial Black berwarna putih dengan seluruh teks menggunakan huruf kapital yang diakhiri dengan tanda tanya. Sisi bagian bawah kanan iklan didominasi oleh teks bertuliskan: Go Ahead People Challenge. Teks ini merupakan brand champaign dari produk A-Mild. Teks GoAhead People Challenge menggunakan jenis huruf yang sama dengan tagline yaitu Arial Black berwarna putih dengan huruf kapital. Namun dengan titik tekan pada huruf A(dalam A-head) yang diberi warna merah. Di bawahnya dituliskan teks berupa situs
dari produk yang bersangkutan yakni GoAheadPeople.com. Teks ini juga menggunakan warna putih namun diberi warna background merah. IV.2.2 Kode Dalam Makna konotatif: Break The Rules Di dalam visual iklan ini terdapat segugusan leksia dengan variasi kodenya masing-masing, entah berupa kode hermeneutik (HER), kode semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proairetik (ACT), maupun kode referensial (REF). Untuk memudahkan pembacaan, peneliti memerikannya atas leksia-leksia. Leksia dari iklan yang berupa gambar dituliskan dengan tanda baca kurung siku ([….]), sedangkan leksia yang berupa kata-kata ditulis dengan huruf miring. (1) [pria bertelanjang dada, bertato di lengan kanan, memakai dua buah kalung, memakai celana jeans, dan berkepala lampu disko berwarna perak] *Sebagai leksia pertama, ikon ini menjadi fokus dari keseluruhan gambar dalam iklan. Visual ikon pria merupakan penanda dengan beberapa kemungkinan makna konotatif yakni antara lain pemecah tatanan sosial dengan keberbedaan gaya (style) yang ditampilkannya yakni bertelanjang dada, bertato, memakai dua buah kalung dengan gaya pemakaian yang berbeda, serta mengenakan ikon yang menyerupai lampu disko (SEM. Gaya). Ikon pria ini adalah point of interest dari iklan, hal ini bisa disimpulkan dari posisi/setting-nya di tengah iklan, dan paling mencolok dengan beberapa detail kontras yang melekat di dirinya dibandingkan detail yang digunakan oleh ikonikon lainnya, antara lain dari penggambaran ikon lelaki ini yang bertelanjang dada, sementara yang lain berpakaian resmi. Pakaian resmi yang dikenakan oleh ikon pria dan perempuan yang lain berupa jaket kulit dan dress tanpa lengan
berwarna perak menunjukkan kesan glamour atau elegan, sementara lelaki bertelanjang dada ini, menggunakan celana jeans, nampak sangat kasual dan berbeda dari ikon manusia lain di sekitarnya. Lelaki ini juga memiliki tattoo di lengan kirinya, namun tidak menunjukkan tattoo secara jelas. (2) [tato di lengan]*Leksia ini bersama dengan leksia (1) menegaskan keberbedaan antara ikon pria ini dengan ikon manusia lain di sekitarnya. Tattoo merupakan indeks gaya hidup modern (HER.Status) Citra tattoo di masa kini mengalami pergeseran makna atau peyorasi. Jika dulu tattoo selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif, namun sekarang hal tersebut tidak lagi. Tato kini dimaknai sebagai bagian gaya hidup urban culture. Penggunaan tattoo yang hanya digambarkan pada ikon pria bertelanjang dada ini menunjukkan bahwa dalam konteks budaya di Indonesia pemakaian tattoo yang permanen hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang terutama karena faktor agama. Di mana Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia tidak memperbolehkan melukis tubuh dengan tattoo permanen. Hal ini menunjukkan indeks bahwa pemakai tattoo adalah minoritas, rebel. (3) [Dua kalung yang dikenakan ikon pria]. *Leksia ini berbarengan dengan leksia (1) merupakan penegasan status dari ikon pria. Pertama dari kalung panjang menjuntai yang dililit beberapa kali, hingga pertengahan dada. Penggunaan kalung dengan cara dililit berulang kali tak lazim bagi pria. Model penggunaan kalung seperti itu umumnya dilakukan oleh perempuan. Kemudian kalung kedua adalah kalung dengan model army look. Kalung seperti itu biasa digunakan oleh tentara-tentara Eropa sebagai bentuk identitas dirinya berisi
nama, asal peleton, asal negara, dan tahun pendidikan mereka masuk militer. Di era modern, kalung model seperti itu menjadi fashion icon tersendiri yang menunjukkan citra lelaki macho. Penggunaan dua ikon kalung ini menunjukkan indeks yang sangat androgini:
perpaduan antara sifat maskulinitas dan
feminitas. (SYM. Antitesis: laki-laki vs perempuan). (4) [topi dari lampu disko berwarna perak] *Leksia ini juga hadir bersamaan dengan leksia (1). Lampu diskotik yang sengaja ditempatkan menutupi wajah si lelaki bertelanjang dada adalah center of interest dari ikon ini. Lampu disko yang difungsikan sebagai penutup kepala nampaknya tidak menunjukkan indeks tertentu. Kehadirannya ‘hanya’ memberi penegasan simbolik atas suasana pesta. Sementara bentuk ketelanjangan dada, ataupun kalung yang dipakai secara keseluruhan merupakan indeks keberbedaan dengan sekitar. Segala hal yang berbeda akan selalu menarik perhatian. Tidak selalu yang berbeda itu menunjukkan sesuatu yang jelas, bermanfaat, atau memiliki fungsi tertentu. Seperti yang nampak pada ikon lelaki telanjang berkepala lampu disko ini, tidak secara spesifik menunjukkan tujuan atau fungsi dan manfaat tertentu. Secara absurd dia tampil berbeda dari ikon-ikon lain di sekitarnya yang nampak rapi, sopan, dan bergaya formal. Ada penegasan secara tekstual bahwa lelaki ini salah kostum lewat kalimat “Berani Bilang Salah Kostum Itu Style?”, sebab dia tidak menggunakan atribut-atribut seperti yang digunakan oleh ikon lainnya oleh pembuat iklan. Menariknya, ikon ini justru dijadikan point of interest untuk memperlihatkan keberbedaan yang mencolok (SYM. Antitesis: kostum/salah kostum).
(6) Berani Bilang Salah Kostum Itu Style? *Leksia berupa kalimat tanya ini merupakan penegasan dari visual image yang dihadirkan dalam iklan. Ia menjadi simpulan dari rangkaian leksia (1) (2) (3) (4) yang membentuk rangkaian konsep tentang salah kostum. Tanda
tanya merujuk pada kesan
bukan kalimat instruktif, namun ia tetap bersifat imperatif. Kesan ini seolah memberi wacana tentang keberanian, ketegasan, dan pilihan untuk menjadi berbeda. Berbeda itu gaya. Gaya yang direkonstruksi sebagai bentuk kontradiksi dari tatanan sosial yang umum di masyarakat. Pada visual teks yang digunakan sebagai iklan, digunakan kalimat dengan tanda tanya. Secara konotatif hal ini dimaknai sebagai upaya melibatkan pembaca secara emosional. Sama halnya dengan ketidakhadiran logo dalam visualisasi iklan. Ini menyediakan tempat di mana perspektif gambar terbuka pada ruang sang pemandang. Iklan seperti ini menurut Williamson (2007:117-118), merupakan ajakan kepada pemandang iklan untuk memasuki cermin dan menjadi figur orang yang dengan ketidakhadirannya itu semakin menyerupai diri kita. Ketiadaan logo bukan sekadar karena keyakinan akan kuatnya kesan brand dalam benak konsumen. Namun ini adalah ruang yang disediakan oleh iklan untuk kita gantikan. (ACT. Memakai kostum yang salah). (7) [Warna hitam]. *Leksia ini memberi penjelasan atas beberapa hal. Pertama setting pesta di dalam ruangan. Kedua, warna hitam dalam sistem fashion menurut Banard (2009) adalah warna dasar. Menurut Malkin (dalam Habsari, 2010), warna hitam merepresentasikan setan, kesedihan, kematian, teror, horor, kegelapan, kejahatan, melankolis, kerahasiaan, misteri, kenakalan, ilmu gaib,
bimbang, kesungguhan, kekhidmatan, potensi, dan status sosial.
Berkaitan
dengan fashion, warna hitam juga melambangkan perlawanan. Ini berhubungan dengan era kaum mood di London tahun 60-an di mana kaum pekerja melakukan perlawanan terhadap kapitalis dengan menjadikan atribut baju dan gaya sepatu boot menjadi trademark waktu itu. Pada saat itu, selain untuk bekerja atribut tersebut digunakan untuk menyamarkan identitas. Identitas tersebut adalah identitas pekerja yang bermakna ganda ketika mereka menggunakan identitas sebagai karyawan untuk berbaur dengan komunitas mereka. Representasi warna hitam dan jaket kulit dalam visual iklan ini memiliki makna yang sama yakni sebagai bentuk perlawanan atas konstruksi sosial yang bersifat konvensional. Konstruksi tersebut dilawan melalui serangkaian tanda yang dihadirkan melalui ikon yang hadir sebagai sentral iklan. Warna hitam meneguhkan konsep gaya yang berbeda dari kebanyakan, yang dianggap merepresentasi apa yang kini dianggap gaya (style). Warna sering digunakan untuk mengidentifikasi kepribadian dan suasana hati seseorang. Warna hitam yang mendominasi iklan, merepresentasi kelas sosial menengah ke atas yang mendukung setting suasana pesta yang tengah dilakoni. Warna hitam juga digunakan untuk menandai suasana malam, dunia gemerlap yang digunakan sebagai setting iklan. Menurut Krisnawati (2005), warna hitam juga memberikan kesan ketidakbahagiaan (REF.Identitas). (8) [ikon perempuan mengenakan dress dengan model you can see berwarna perak dengan rambut pendek]. *Leksia perempuan di sini dimaknai peneliti sebagai
bentuk representasi universalitas produk rokok. Rokok tidak lagi dominan hanya diperuntukkan bagi kaum pria, tetapi juga perempuan. Warna perak yang digunakan pada dress merepresentasi kelas sosial ekonomi penggunanya. Dalam konteks iklan ini mengacu pada busana pesta di mana warna-warna yang berkilau seperti perak atau emas dianggap merepresentasi status sosial tertentu. Sedangkan model busana tanpa lengan memberi kesan modern, merepresentasi apa yang disebut gaya (REF. Identitas). (9) [ikon laki-laki berjaket kulit hitam]. *ini sudah dibahas dalam leksia (7). (10) [ikon laki-laki mengenakan kemeja kotak-kotak]. *Leksia ini tertutup oleh visual teks headline dalam iklan. Kehadirannya mungkin dimaksudkan untuk melengkapi sistem fashion yang bervariasi, namun masih dalam tataran umum dikenakan. Selain itu untuk memberi penegasan terhadap kesalahan kostum yang ada pada ikon pria bertelanjang dada (SYM. Antitesis: usual/unusual). Secara keseluruhan makna konotatif dalam visual iklan bisa dilihat sebagai suatu upaya mengubah citra rokok yang negatif, subordinatif menjadi sesuatu yang baru. Dalam budaya masyarakat kita, ketelanjangan dan tattoo dianggap sebagai suatu hal yang tabu sehingga orang-orang yang melakukannya dianggap sebagai kaum minoritas. Hal ini dipersuasi oleh iklan rokok A-Mild sebagai simbol keberanian dan gaya. Gaya adalah ketika orang berani tampil beda meski harus sendirian, kesepian. Kesepian, kesendirian, ketidakbahagiaan merupakan kondisi yang menyebabkan orang membutuhkan pelarian, yaitu dengan merokok.
IV.2.3 Makna Mitos dalam Iklan: “Aku Berbicara Melalui Pakaianku: Sebuah Eskapisme” Menurut Barthes (dalam Budiman, 2011:38), bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos. Yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological system). Penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penandapenanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol. Aspek material mitos yakni penanda-penanda pada the second order semiological system tersebut dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator yang tersusun dari tandatanda pada sistem pertama, sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi. Skema penandaan dua tingkat ini digunakan peneliti untuk membaca proses penggambaran mitos dalam iklan. Di dalam tataran bahasa (language), yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian hingga menghasilkan tanda. Dalam visual iklan A-Mild versi “BERANI BILANG SALAH KOSTUM ITU STYLE?” peneliti membaca seperangkat tanda-tanda: kostum topi berupa ikon yang memiliki kemiripan dengan objek lampu disko, tubuh yang bertelanjang dada, jaket kulit berwarna hitam, kostum dress tanpa lengan, dan kalung. Semua ini membangun seperangkat tanda pada lapis pertama (denotasi) dengan makna literal: situasi sebuah ruang pesta.
Bahasa yang timbul sebagai akibat adanya interaksi, menuntut adanya relasi atas segala sesuatu yang ada padanya. Menurut Saussure (1996:122-125), ada dua jenis relasi yang berhubungan dengan bahasa. Yakni relasi sintagmatik dan relasi paradigmatik. Sintagma merujuk kepada hubungan in praesentia di antara satu kata dengan kata-kata yang lain atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuansatuan gramatikal yang lain, di dalam ujaran atau tindak tutur (speech act) tertentu. Karena tuturan selalu diekspresikan sebagai suatu rangkauan tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu, maka relasi-relasi sintagmatik kadang disebut juga sebagai relasi-relasi linear. Sebaliknya, relasi asosiatif setiap tanda berada di dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma. Suatu sistem in absentia yang menghubungkan tanda tersebut dengan tanda-tanda yang lain. Hubungan ini bisa berdasarkan persamaan maupun perbedaannya. Di dalam bahasa, secara paradigmatik, sebuah kata akan berhubungan dengan sinonim-sinonimnya atau antonim-antonimnya. Bisa juga ia berhubungan dengan kata-kata lain yang memiliki bentuk dasar yang sama atau yang memiliki kesamaan secara fonetik. Di dalam bidang fashion, telah lama dikenal istilah padu padan busana (mix and match). Sebagaimana dengan tanda-tanda yang muncul pada iklan A-Mild versi “BERANI BILANG SALAH KOSTUM ITU STYLE?”. Secara skematik, peneliti melihat bagaimana padu padan antara telanjang dada + kalung + topi dari lampu disko secara sintagmatik membangun sebuah relasional yang baru dari kostum yang dianggap gaya/style untuk dikenakan di sebuah ruang pesta. Relasi tanda sebagaimana konsep dikotomis Ferdinand de Saussure yakni relasi sintagmatis & relasi asosiatif (paradigmatis) digambarkan sebagai berikut:
Paradigmatis
Sintagmatis Ikon perempuan
Mengenakan Dress
Tanpa lengan
Ikon laki-laki
Memakai
Jaket
Ikon laki-laki
Tidak memakai
‐ Baju ‐ Topi
Kulit warna hitam ‐ Telanjang dada ‐ Dari lampu disko
IV.2 Skema paradigmatik dan Sintagmatik Iklan A-Mild
Secara paradigmatik, kehadiran laki-laki dan perempuan lain secara ikonik digunakan untuk memperlihatkan bagaimana kostum yang umum dikenakan di ruang diskotik: dress – jaket kulit warna hitam, berasosiasi dengan kostum yang tidak umum: telanjang dada+ kalung + topi dari lampu disko. Menurut Yasraf, di dalam fashion terdapat berbagai sistem yang ia sebut sebagai sistem fashion. Misalnya sistem pakaian resmi, sistem seragam (militer/kantor/sekolah/dll), termasuk sistem pakaian kasual. Meskipun demikian, sebagai salah satu produk kebudayaan, maka sistem fashion bukanlah sesuatu yang stabil, stagnan. Sebaliknya ia justru sangat dinamis, terbuka terhadap perubahan mulai dari yang moderat hingga radikal. Perubahan ini mendekonstruksi tanda, bentuk, ekspresi, bahkan kode-kode fashion yang ada sebelumnya. Berbagai kombinasi baru dibuat sebagai padu padan, untuk mendekonstruksi aturan-aturan yang ada sebelumnya (Piliang, 2012:357). Di tataran pertama, seperangkat tanda-tanda pada lapis pertama yakni kostum topi dari lampu disko, tubuh yang bertelanjang dada, jaket kulit, kostum dress tanpa lengan, kalung, ikon laki-laki dan ikon perempuan membentuk seperangkat penanda yakni suasana
di ruang diskotik. Di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua,
tanda-tanda pada tataran pertama menjadi penanda-penanda di tingkat kedua yang berhubungan lagi dengan petanda-petandanya. Tanda yang dihasilkan pada sistem signifikasi lapis pertama yakni “suasana pesta’ ini menjadi penanda di lapis kedua. Penanda berupa “suasana pesta” ini merujuk pada petanda akan kesenangan, gaya, jouissance sebagai bentuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri (self actualization) menurut Abraham Maslow (dalam Arinato, 2009) adalah kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari yang dia bisa. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi) seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis. (Arianto, 2009). Aktualisasi diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dari semua bakat, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas. Menurut konsep hierarki kebutuhan Maslow, aktualisasi berada pada tingkat tertinggi. Aktualisasi diri menjadi tahap pencapaian oleh seorang manusia terhadap apa yang mulai
disadarinya ada dalam dirinya.
Aktualisasi diri tidak terbentuk semena-mena. Alih-alih alamiah dan wajar, aktualisasi diri dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Budaya dan lingkungan merupakan dua dari beberapa faktor eksternal yang memengaruhi terbentuknya aktualisasi diri baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosiopsikologis (Sudrajat, 2008).
Kalau merujuk pada pemikiran Maslow ini maka peneliti melihat bahwa aktualisasi diri dalam iklan ini ditawarkan sebagai sebuah konsep yang palsu, yang dibangun untuk menarik perhatian konsumen. Aktualisasi dibangun sebagai sebuah konsep untuk merujuk pada konsep-konsep lain: kesenangan, kenikmatan, jouissance, sebagai sebuah janji dari produk yang ditawarkan sekaligus sebagai konsep aktualisasi diri palsu/semu yang menyesatkan. Iklan, disadari atau tidak merupakan re- dan sekaligus dekonstruksi atas realitas. Sebuah iklan dapat menjadi mirror of reality (lukisan tentang kenyataan) atau sebaliknya menjadi distorted mirror of reality, refleksi dari sebuah realitas yang palsu atau menyesatkan (deceptive). Sementara konsep jouissance merujuk pada kesukacitaan, ekstasi (Budiman, 2011:161). Jouissance menurut Budiman, alih-alih hadir sebagai perasaan yang stabil, ia hadir dalam bentuk ekstasi yang tersendat-sendat atau terganggu. Hal ini bisa ditengarai dari tantangan untuk menggunakan kombinasi kostum disko yang tidak umum digunakan dan menyebutnya sebagai gaya. Gaya dalam konteks ini menurut peneliti memiliki similaritas dengan kondisi yang memabukkan, jouissance, yang meski demikian kehadirannya masih terganggu oleh perasaan bahwa gaya yang dimunculkan adalah sebuah kesalahan (salah kostum). Sementara kebenaran itu sendiri tidak pernah bersifat absolut. Sehingga ukuran benar salah ini seringkali berdasarkan pendapat umum atau apa yang dianggap sebagai mitos kebenaran. Dari serangkaian penanda dan petanda ini peneliti menemukan kehadiran mitos: eskapisme. Kehadiran mitos ini peneliti temukan melalui jejak penanda dan petanda yang hadir. Tanda di lapis pertama yang sekaligus merupakan penanda di
lapis kedua yakni “suasana pesta” diterjemahkan peneliti menjadi petanda berupa kesenangan, gaya, jouissance, aktualisasi diri yang pada akhirnya merujuk pada mitos tentang pelarian diri para perokok dari kehidupan nyata yang dipenuhi tumpukan masalah. Kesenangan, gaya, jouissance, merupakan aktualisasi diri semu yang diarahkan sebagai jalan eskapis bagi para perokok. Merokok adalah cara mencapai kesenangan sebagai bentuk pelarian. Dalam wacana post-modernisme, gaya merupakan sebuah istilah yang dianggap penting. Eksistensi post-modernisme sangat bergantung pada perubahan dan pergantian gaya secara konstan dalam satu percepatan tertentu. Postmodernisme dapat digambarkan sebagai satu wacana yang di dalamnya mengalir gaya secara konstan dalam kecepatan tinggi. Di zaman Renaisans, gaya dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkatan sosialnya. Yakni gaya tinggi, gaya menengah, dan gaya bawah. Nicos Hadjinicolaou, mengelompokkan tiga kategori gaya: 1) gaya sebagai satu organisasi bentuk yang khusus, yang di dalamnya tercakup pendekatan formalis Schapiro, 2) gaya sebagai daya artistik. Dalam hal ini gaya tidak dikaitkan semata dengan sifat-sifat formal, tetapi justru dengan kekuatan spiritual yang terdapat dalam sejarah. Gaya dalam hal ini merupakan bahasa visual suatu agama, yang merepresentasi nilai-nilai spiritual agama tersebut, 3) gaya muncul langsung dari masyarakat yang memproduksinya. Pengelompokan gaya ini menyiratkan adanya satu spektrum dalam penggayaan yaitu adanya intensitas yang berbeda-beda pada setiap gaya tentang kandungan formal, kehendak, atau sosialnya (Baudrillard dalam Piliang, 2012:169).
Dari penggolongan di atas penggolongan ketiga paling sesuai dengan gaya yang dimaksud sebagai tanda dalam penelitian ini. Gaya hidup modern merupakan kode budaya hasil produksi masyarakat yang secara tidak langsung merepresentasi kandungan formal atau sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat itu. Yasraf Amir Pilliang dalam bukunya Semiotika & Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna menjelaskan bahwa pendekatan modernis terhadap gaya senantiasa menjunjung tinggi kebaruan dan otentisitas. Ini laras dengan tanda-tanda yang sudah dibaca melalui skema relasi tanda secara sintagmatis dan asosiatif. Di mana apa yang dianggap sebagai gaya, bukan lagi kostum disko yang dianggap umum. Gaya adalah sesuatu yang baru, otentik, memberontak, antikemapanan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Hebdige dalam kajiannya tentang empat konsep gaya subkultur yaitu bagaimana gaya menjalankan fungsi resistensi (Piliang, 2012:172173). Penggunaan gaya pakaian atau music subkultur yang bersifat ironis merupakan satu bentuk resistensi simbolis terhadap kebudayaan yang mapan, dan lebih jauh lagi merupakan resistensi politis terhadap ideologi yang hegemonik.
Kehadiran mitos dalam rangkaian penanda dan petanda ini antara lain dapat diidentifikasi melalui pemikiran Stuart Ewen, kritikus budaya Inggris. Ia mengemukakan bahwa di dalam masyarakat konsumer-post-modern, ada tiga arena di mana gaya berperan: Pertama, gaya sebagai wahana bagi pendefinisian diri (self)-gaya adalah cara menentukan posisi seseorang di dalam satu wacana secara politis, seksual, status, dan kelas. Gaya adalah satu wahana di mana seseorang dapat menilai –dan dinilai—oleh orang lain. Kedua, gaya merupakan wahana untuk memahami masyarakat. Lembaga-lembaga sosial politik secara terus menerus
menggunakan gaya sebagai media: politik, citra lembaga. Ketiga, gaya sebagai satu elemen pembentuk kesadaran yang total dan dahsyat tentang dunia –sebagai informasi, sebagai pembentuk citra (Tomlinson, 1990:43-44). Mengacu pada pemikiran ini peneliti melihat sebagaimana yang ditampilkan dalam iklan, gaya hidup bersenang-senang merupakan upaya mempersonifikasi diri (self) untuk menjadi bagian dari masyarakat modern. Gaya berbusana sebagai bagian dari gaya hidup akan mengidentifikasi kelas sosial diri dalam lingkungan sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Eco: “Aku berbicara melalui pakaianku” (Piliang, 2012:167). Jika konsep ini kita sandingkan dengan realita yang terjadi dalam kehidupan nyata, kita akan melihat lompatan kuantum yang begitu senjang. Di mana pada kenyataannya kehidupan manusia tidak secara serta merta terindentifikasi dari gaya hidup. Pakaian/fashion dalam konteks ini berubah fungsi menjadi kostum, bukan lagi sekadar sebagaimana ia didefinisikan: barang apa yang dipakai (KBBI, 2001). Kostum dalam konsep realita adalah pakaian khusus. Khusus dapat dimaknai pada kondisi tertentu. Artinya ia menjadi konsep yang dapat dilepas pakai hanya pada kondisi-kondisi tertentu. Kehadirannya tidak serta merta merujuk pada kelas sosial karena kehadiran kostum pada diri seseorang tidak memiliki similaritas dengan kondisi sosial ekonomi. Ia bisa saja hadir karena meminjam: menggunakan kostum milik orang lain, atau membeli dengan cara berutang dsb. Dalam tataran inilah kemudian peneliti melihat bahwa konsep keberanian, kesenangan, jouissance, aktualisasi diri menjadi jalan pelarian atau eskapisme dari kenyataan hidup. Analogi inilah yang ditemukan peneliti hadir dalam iklan.
Setting pesta di ruang diskotik yang dimaknai dari indeks berupa topi dari lampu disko yang dikenakan oleh leksia (1) pun merupakan analogi dari bentuk eskapisme. Di mana diskotik merupakan tempat yang identik dengan rokok, minuman beralkohol, narkoba, dan pesta. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang Kompasioner (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/07/16/diskotik‐ brengsek‐477265.html)
“…Sekali-kalinya dalam hidup saya memasuki tempat hiburan yang diidentikkan dengan gaya hidup metropolitan - dimana matahari tak pernah tenggelam - ialah diskotik. Itu karena dua orang teman lamaku dari Oklahoma datang. Sebagai mantan sejawat di masa lalu sudah sepatutnya saya menunjukkan arti persahabatan, sekaligus kehangatan tuan rumah. Kebetulan pula saya berada di Jakarta maka saya sempatkan menyambut mereka di Cengkareng. Lalu pada malam harinya kami terlibat dialog akrab mengenang masa lalu (dalam bahasa mereka tentunya, hehehe..) dilanjutkan dengan jalan-jalan menembus udara malam Kota Jakarta. Sehingga sampailah kami di diskotik itu. Di diskotik itu, saya beruntung melihat banyak teman se-usia, sesama tua-tua keladi. Malahan di suatu pojok terlihat kepala botak mengerjap-ngerjap di bawah sinar lampu, jelas usianya lebih tua dari saya. Ini membuat saya agak percaya diri. Suasananya sedikit berisik, mirip pasar burung di bawah lampu temaram. Aktifitas hiburan belum dimulai sehingga saya berkesempatan mempelajari situasi, termasuk membuat perencanaan tentang cara cepat mencapai pintu jika terjadi kerusuhan di ruangan ini, atau jika tiba-tiba terjadi kebakaran. Hal pertama yang mengusik ketenangan saya adalah asap rokok yang bergulung seperti kabut tebal. Saya sendiri perokok tapi belum pernah melihat asap berbusa-busa seperti itu. Semua orang merokok, tidak laki-laki tidak perempuan. Di ruangan ber-AC, tanpa ventilasi, kedap suara pula. Jelaslah, tak ada orang memedulikan kesehatan hari esok. Semuanya hanya menginginkan kesenangan malam ini saja. Pelayan diskotik datang membawa baki berisi 3 gelas minuman dengan api biru di atasnya. Pastilah beralkohol tinggi setara spritus, maka bisa menyala. Pelayan memadamkan apinya dengan menutupkan piring kertas. Teman saya meminumnya, dan saya pun tak tahan untuk tidak mencicipinya sedikit saja. Ya, ampun, mulut langsung seperti terbakar. Pahitnya alang-kepalang, melebihi pil kina! Saya cepat-cepat membersihkan mulut dengan cara apa pun yang bisa dilakukan! Tiba-tiba seorang gadis penari melompat ke atas meja kami, dan mulai berdisko dengan gaya menantang. Salah satu dari teman saya bangkit, menyambut tantangan, bermaksud ikut naik ke atas meja. Tapi sebelum mereka beraksi, saya sudah mengambil keputusan bulat. Kepada teman satunya lagi saya berkata: “Saya mau keluar mencari segelas kopi. Mungkin saya akan mencarinya ke Jambi!” Lalu saya menitipkan mereka kepada penunjuk jalan yang mereka sewa dari hotel…”
Kegiatan merokok menjadi eskapisme dari kesulitan hidup. Merokok menjadi jalan untuk menyalurkan hasrat untuk menjadi bagian dari kelas sosial tertentu, menjadi bagian dari aktualisasi diri sebagai penikmat akan kesenangan, dan jouissance yang tidak mampu dihadirkan dalam dunia nyata. Citraan-citraan semu akan kesenangan, gaya, pesta yang digunakan untuk mengganti citraan produk rokok inilah yang dibangun sebagai mitos berupa eskapisme. Janji bahwa merokok akan membawa para perokok lari dari tumpukan masalah untuk menikmati kesenangan, pesta, dan puncaknya adalah menjadi bagian dari gaya dan kelas sosial tertentu dikonstruksi untuk menipu konsumen.
IV.2.4 Makna ideologi: Janji-janji kesenangan Makna ideologi iklan menggambarkan pemodelan kalangan dewasa muda dari kelas menengah atas. Hal ini dicirikan dari representasi gaya fashion yang dikenakan dan setting latar dalam iklan yang menggambarkan sebuah suasana pesta. Ini adalah citraan-citraan yang digunakan pengiklan untuk menggantikan citra produk. Secara pejoratif, Marx dan Engels (dalam Noth, 2006:384) mendefinisikan ideologi sebagai sistem gagasan palsu, yang menggambarkan kesadaran palsu kelas sosial, khususnya kelas penguasa yakni kelas borjuis. Dalam konteks iklan yang diteliti, gagasan palsu yang ditawarkan adalah kesenangan, kenikmatan, jouissance, sebagai sebuah bangunan sistem yang dihasilkan dari serangkaian tanda tentang apa yang disebut sebagai gaya. Kondisi gaya dicapai ketika orang berani tampil beda. Ini bukan sesuatu yang mayoritas atau kebanyakan. Orang berani tampil beda karena merokok. Dan merokok dalam hal ini
menjadi pelarian atau eskapisme dari berbagai persoalan hidup yang dihadapi dan berlari menuju kesenangan semu yang ditawarkan oleh kenikmatan merokok. Gagasan-gagasan ini palsu karena berupaya mempersuasi orang untuk merokok. Atau mempertahankan orang yang sudah merokok untuk terus merokok. Kepalsuan dihadirkan melalui konstruksi atas konsep kesenangan dan gaya sebagai jalan untuk melarikan diri. Hal ini diteguhkan dengan penggunaan brand champaign GoAhead. Sejak diluncurkan tahun 1988, brand A-Mild beberapa kali mengganti brand campaign, pertama adalah “Others Can Only Follow”, sebagai hinaan bagi pesaing mereka, sebab A-Mild adalah yang pertama membuat market kelas rokok “Rendah Tar dan Rendah Nikotin”, kemudian tahun 2002, menggunakan slogan “Bukan Basa-Basi”. Go Ahead people adalah kampanye global yang dicetuskan A-Mild sebagai branding campaign mereka sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang, kampanye ini berarti ajakan A-Mild agar orang-orang/kawula muda tetap berbuat baik, berani maju terus, apapun yang terjadi. Kampanye ini merupakan bagian dari sistem gagasan palsu yang ditawarkan oleh iklan rokok. Tiga hal yang digunakan sebagai bangunan sistem gagasan palsu ini meliputi: (1) brand champaign Go.Ahead: ini adalah ajakan berbuat kebaikan, ajakan untuk berani, maju terus. Ajakan-ajakan ini kemudian menjadi sarana mengalihkan dampak negatif dari merokok. (2) label mild: konsep mild yang berarti ringan, lembut, digunakan sebagai konsep konotatif dari rokok yang diklaim rendah tar dan nikotin. Padahal
dari berbagai hasil penelitian disebutkan bahwa meski kandungan tar dan nikotinnya lebih rendah, dampak negatif yang dihasilkannya sama saja dengan rokok bertar dan nikotin yang tinggi. Survai yang pernah dilakukan di Inggris tahun 2001 menemukan efektifnya tipuan iklan rokok dengan label mild. Para perokok menganggap pilihan mereka berisiko lebih rendah dibandingkan dengan rokok biasa. (3) mitos eskapisme: bangunan mitos ini dihasilkan melalui serangkaian tanda-tanda yang hadir dalam visual image rokok mulai dari ikon pria yang bertelanjang dada, berkepala lampu disko, bertattoo, dan mengenakan dua kalung. Dalam level konotatif, serangkaian penanda dan petanda ini menghasilkan makna akan gaya, kesenangan, dan rasa percaya diri yang dicitrakan sebagai tujuan dari pelarian diri (escapism). Menurut Sut Jhally, Stephen Kline, dan William Leiss (dalam Piliang, 2012:333-334), salah satu bentuk kepalsuan dalam iklan adalah transformasi diri. Di mana iklan membuat kesan seolah-olah memiliki kekuatan untuk mengubah diri, mengurangi kecemasan, mengubah efektivitas pribadi, menjadi seperti orang lain yang ideal, atau menjadi anggota sebuah kelompok atau kelas. Dalam visual iklan, terlihat paradoksal di mana salah satu ikon pria digambarkan tampil beda, eksentrik, melawan tatanan sosial. Namun di saat yang sama, ia tetap merupakan bagian dari komunitas/kelompok. Hal ini dimaknai peneliti sebagai cerminan kebudayaan masyarakat Indonesia yang sedang berada di antara arus kebudayaan. Di satu sisi ia mengadopsi
konsep gaya hidup urban kosmopolitan sekaligus sifat-sifat modernis yang dibawa oleh budaya barat dengan citra kemandirian yang cenderung individualistik. Di sisi lain tubuh itu sendiri merupakan bagian dari komunitas/kelompok, di mana kultur masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah komunal. Keduanya terepresentasi dan menjalin makna sesuai dengan ideologi iklan rokok yang diwakilinya.
IV.3 Setting Iklan Djarum Super IV.3.1 Makna denotatif Iklan: “My Life My Adventure” Lay Out Iklan
IV.3 Lay Out Iklan Billboard Djarum Super Mild
Setting denotatif pada iklan Djarum Super Mild terdiri dari gambar dua orang laki-laki dan dua laki-laki. Laki-laki dalam visual iklan mengenakan busana berjenis kasual: kaus/polo shirt dan celana pendek berwarna putih. Sementara
perempuan pertama mengenakan dress kasual berwarna putih sementara perempuan kedua mengenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek berwarna putih. Pria kedua mengenakan sepatu kets berwarna putih. Keempat orang ini digambarkan berjalan dari arah mobil berjenis Jeep berwarna putih ke arah helikopter yang memiliki kombinasi warna putih dan merah. Salah satu ikon pria digambarkan membawa perlengkapan snorkeling/diving. Di atasnya terdapat latar langit berwarna biru, kerikil, dan awan yang berwarna putih sebagai background iklan. Di ujung kiri atas terdapat perpaduan antara nama produk, logo produk, dan tema atau slogan produk (headline) dengan font berwarna hitam dan merah. Di ujung kanan dengan mengusung konsep ujung kertas yang tergulung, tertulis alamat website dengan background warna merah dan font warna putih. Dari visual teks, headline
dari iklan tersebut adalah kalimat “PLEASURE ∙ STYLE ∙
CONFIDENDE” dengan posisi tulisan horisontal. Kalimat ini ditempatkan di sudut kiri atas dengan penggunaan huruf kapital (Upper Case) dengan ukuran huruf lebih kecil ketimbang merek/brand produk. Penulisan headline “PLEASURE ∙ STYLE ∙ CONFIDENDE” menggunakan tipografi Eras Light dari keluarga huruf San Serif. Jenis huruf ini memiliki ciri tanpa sirip/serif, dan memiliki ketebalan huruf yang sama atau hampir sama. Kesan yang ditimbulkan oleh huruf jenis ini adalah modern, kontemporer, dan efisien.
IV.3.2 Kode dalam Makna Konotatif: Pleasure, Style, Confidence Di dalam visual iklan ini terdapat segugusan leksia dengan variasi kodenya masing-masing, entah berupa kode hermeneutik (HER), kode semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proairetik (ACT), maupun kode referensial (REF). Makna konotatif dalam iklan ini dapat dilihat melalui tiga bagian. Pertama mobil jeep, kedua dari ikon dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, ketiga dari ikon helikopter. Dalam visual iklan, ketiga bagian ini memiliki porsi yang setara, masing-masingnya tidak ada yang lebih dominan dibandingkan yang lain. (1) [Dua laki-laki dan dua perempuan yang berpasangan]. *Sebagai leksia pertama ini merupakan penanda dengan makna konotatif tentang komunal, universal. Sekaligus ini mempersuasi konsumen bahwa merokok sekarang ini menjadi
hal
yang
wajar
bagi
perempuan.
(SYM.
Antitesis:
laki-
laki/perempuan). (2) [busana kasual]. *Leksia yang hadir bersama dengan leksia (1) merupakan sebuah penanda yang mencuatkan pertanyaan atau keingintahuan di benak pembaca tentang (a) Darimana? (b) mau ke mana? dan (c) bagaimana caranya? (HER. Pertanyaan). Secara konotatif makna yang ditangkap dari busana berjenis kasual adalah kesan santai dan rekreatif. Busana kasual adalah jenis pakaian yang biasa digunakan saat santai atau dalam suasana informal. Busana kasual atau santai adalah busana yang dipakai pada waktu santai atau rekreasi. Busana santai banyak jenisnya, hal ini disesuaikan dengan tempat di mana kita melakukan kegiatan santai atau
rekreasi tersebut. Busana kasual ini lebih menekankan kenyamanan dan ekspresi pribadi. Istilah kasual atau santai muncul pertama kali pada tahun 80an, di mana kasual itu sendiri menunjukkan kesuksesan dan kekayaan pribadi yang lahir bersamaan dengan diangkatnya Margaret Thatcher menjadi perdana menteri Inggris, sehingga banyak yang menyebut gaya ini Thatcherism. Gaya kasual adalah penyempurnaan gaya sportif yang menjadikannya lebih rapi dan trendi. Karakteristik kasual memakai baju-baju dengan label kelas atas, contohnya
Lacoste,
Lois
and
Burberry,
Adidas
(http://biebahuachim.wordpress.com/2012/11/21/busana-casual). Secara konotatif, ikon busana kasual ini dimaknai peneliti sebagai upaya menghadirkan setting informal, santai, having fun, dalam visual iklan. Hal ini juga bermakna bahwa aktivitas merokok sama halnya dengan setting suasana tersebut: informal, santai, dan menyenangkan. (3) [mobil jeep]. *Keinginantahuan pada leksia (2a) terjawab ketika pembaca menengok ke dalam leksia berikutnya berupa visual mobil jeep yang menjadi indeks dari perjalanan adventuring di darat (HER. Status). Pilihan jenis mobil yang digunakan sebagai visual yakni jeep, dimaknai oleh peneliti sebagai keuletan, sikap tangguh, tidak mudah menyerah dalam kondisi apapun. Mobil jeep, merupakan kendaraan yang diproduksi sekitar tahun 1940-an untuk memenuhi permintaan pemerintah Amerika Serikat guna kepentingan Perang Dunia pertama. Dengan syarat-syarat fisik berat kendaraan sekitar 590 kg (yang kemudian direvisi menjadi 980 kg), kemudi empat roda, mesin
(tenaga) torsi 85 pon-kaki, jarak sumbu roda tidak lebih dari 2.1 meter, lebar sumbu roda tidak lebih dari 1,2 meter, tinggi dari permukaan: minimum 16 cm, beban angkut 280 kg, sistem pendingin mampu bertahan di putaran rendah tanpa menimbulkan panas berlebih. The Bantam Car Company dan Willys Overland kemudian memenuhi tantangan pemerintah AS tersebut. Namun demikian dengan beberapa kendala yang dilakukan, akhirnya perusahaan Willys Overland berhasil memenuhi permintaan tersebut dan menghasilkan mobil jeep pertama yang diberi nama Willys QUAD. Willys Overland ini kemudian menunjuk Ford Motor Co untuk memproduksi mobil sesuai spesifikasi rancangan mereka. Asal usul nama ‘Jeep’ itu sendiri ada banyak versi.
Beberapa orang
menyatakan bahwa nama Jeep diambil dari penyebutan singkatan GP untuk General Purpose, yang diberikan Angkatan bersenjata untuk menamakan kendaraan baru mereka. Teori lain, ini adalah nama yang digunakan di Oklahoma di awal 1934 untuk menamai truk yang dilengkapi dengan peralatan khusus untuk pengeboran minyak. Yang lainnya menyatakan nama Jeep diambil dari karakter “Eugene the Jeep” dalam komik strip Popeye karangan EC Edgar. Eugene the Jeep adalah binatang yang kecil yang memiliki kemampuan berpergian di antara dimensi dan mampu menyelesaikan segala macam masalah. Kemudian, versi lain datang dari penguji coba WillysOverland model pertama, Irving “red” Haussman yang menamakan Jeep sesuai dengan sebutan para prajurit yang ada di Kamp Holabird. Tak lama kemudian, Red memberikan demonstrasinya di depan beberapa khalayak
umum di Washington DC. Di antara kelompok itu, Katherine Hillyer, seorang reporter dari Washington Daily menulis artikel mengenai kendaraan tersebut yang diterbitkan pada Februari 1941 dengan foto dan judulnya, “Jeep Creeps Up Capitol Steps”. Pada tahun 1950, Willys menerima Daftar Merek dagang Amerika serikat untuk merek Jeep, yang juga terdaftar secara internasional, dan telah dialihkan dari Willys-Overland ke Kaiser dan kemudian American Motors Corporation, dan baru-baru ini ke Chrysler Corporation yang memiliki 1.100 registrasi hak merek dagang di seluruh dunia (www.jeepchrysler.com). Di Indonesia, mobil jeep merupakan kendaraan yang umumnya digunakan untuk perjalanan dengan medan yang sulit (berkontur, berbatu-batu, dll). Penggunaan ikon mobil jeep pada tataran signifikasi lapis pertama merupakan analogon dari sebuah perjalanan di daratan yang penuh dengan kesulitan. Sementara di tataran signifikasi lapis kedua ini mengandung pesan keberanian, keuletan, sikap tangguh, dan tidak mudah menyerah. Selain itu pesan lain yang ditemukan oleh peneliti adalah tentang status atau kelas sosial yang masih berada di level rendah (daratan). (4) [Helikopter]. *Terlepas dari beberapa potensi konotatifnya, pesawat berjenis helikopter menjadi semacam simbol status bagi penggunanya. Helikopter menjadi sarana transformasi diri untuk mencapai kelas sosial tertentu (HER. Status). Menurut detik.com, penggunaan helikopter untuk keperluan sipil di Indonesia belum menjadi fenomena umum. Baru ada sekitar 200 (dua ratus) unit
helikopter yang dimiliki orang Indonesia untuk keperluan pribadi. Hal ini bermakna bahwa helikopter di Indonesia masih menjadi barang mewah. Makna konotatif yang ditangkap lewat visualisasi helikopter dalam iklan ini adalah tentang eksklusivitas, kemewahan, gaya hidup kelas sosial atas. (5) [Sepatu keds]. *Leksia ini hadir bersama dengan leksia (1). Menjadi penanda akan suasana santai, menegaskan makna konotatif yang dibawa oleh busana kasual yang dikenakan. Sepatu keds merupakan jenis sepatu pabrikan, bukan buatan tangan. Sepatu keds biasa digunakan pada saat berolahraga atau liburan (SEM. Gaya). (6) [Warna putih]. *Ini adalah leksia yang mendominasi iklan. Warna putih digunakan untuk warna mobil jeep, busana, helikopter, sepatu keds, dan awan. Dari segi warna, warna putih dimaknai sebagai berikut. Warna putih merepresentasikan kejujuran, kesudian, tidak bersalah (innocent), kemurnian, keperawanan, kesucian, kesopanan, kesederhanaan, kerendahan hati, terang, cinta, persahabatan, kebahagiaan. Kesan-kesan ini dimaksudkan untuk mengimpresi pembaca akan sifat natural, alamiah yang digunakan untuk mengganti kesan negatif dari dampak produk yaitu rokok. Warna putih juga menyiratkan makna kesucian, bahwa merokok bukanlah tindakan yang salah (hitam). Merokok itu membuat hidup lebih bahagia.
(SYM. Antitesis:
Kesucian/Kesalahan, Kebahagiaan/Kesedihan). (7) [Langit berwarna biru]. *Karakteristik keluasan dan ketinggian langit komplementer dengan warna biru yang digunakan. Warna biru pada langit mengesankan
ketenangan,
sejuk,
kesunyian,
kecerdasan,
kebenaran,
keagungan, melankolis, tidak liar, ketulusan, kemurahan hati, ketenangan, harapan, kenyamanan, terkontrol, penekanan pada
perasaan, konstan,
penyelesaian, kesetiaan, introspeksi. (SEM. Tujuan) Warna-warna ini merupakan upaya mengalihkan citra rokok sebagai sumber masalah kesehatan. Dengan kesan-kesan yang ditangkap konsumen dari penggunaan warna putih pada leksia (6) dan biru sebagaimana yang ditulis di atas, mengalihkan perhatian orang dari dampak dan risiko yang ditimbulkan oleh rokok. Kesan negatif ini digantikan dengan kesan-kesan positif dari psikologi warna-warna yang digunakan dalam iklan. (8) Pleasure, Style, Confidence. *Teks yang sekaligus berperan sebagai headline dari visual iklan ini mengandung hubungan kausalitas antara: (a) satu dengan yang lain: Pleasure – Style – Confidence; dan (b) dengan seluruh leksia yang ada. Bersenang-senang adalah gaya. Bersenang-senang bisa dialami oleh perokok. Gaya menimbulkan rasa percaya diri. Rokok dapat membangkitkan rasa percaya diri (ACT. Merokok). Makna konotatif yang ditemukan peneliti dalam iklan ini secara keseluruhan adalah tentang gaya hidup kelas atas, yang merujuk pada kegiatan berlibur, bersenangsenang, sebagai citraan akan kesenangan, gaya, dan rasa percaya diri. Bahwa merokok merupakan aktivitas yang menimbulkan kesenangan. Merokok itu adalah bagian dari gaya. Merokok adalah komunal, perokok tidak sendiri. Merokok membebaskan perokok dari rasa rendah diri, dari kesepian dan kesendirian.
IV.3.3 Makna Mitos Dalam Iklan: “Eskapisme: Membawamu ke Puncak Bahagia” Dalam visual iklan Djarum Super Mild versi “PLEASURE ∙ STYLE ∙ CONFIDENCE” peneliti membaca seperangkat tanda-tanda yang diperikan melalui leksia-leksia. Merujuk pada relasi di antara tanda-tanda yang hadir dalam iklan konsep dikotomis Saussure yakni relasi sintagmatis dan relasi asosiatif dapat digunakan untuk melihat keberadaan fungsi estetis tanda: Paradigmatis
Sintagmatis Ikon Mengenakan Kaos perempuan dan laki-laki Ikon Mengendarai Mobil perempuan dan laki-laki Ikon Menaiki Pesawat perempuan dan laki-laki
Tanpa lengan Jeep Helikopter
IV.4 Skema Paradigmatik dan Sintagmatik Iklan Rokok Djarum Super Mild
Kendaraan, merupakan sarana transportasi yang memungkinkan manusia melakukan perjalanan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kendaraan didefinisikan sebagai sesuatu yang dinaiki, sesuatu yang digunakan untuk menempuh jarak (KBBI, 2001). Merujuk pada definisi ini kita bisa melihat bagaimana visual iklan Djarum Super Mild membangun konsep tentang perjalanan. Pertama, melalui kendaraan mobil dan kedua melalui kendaraan berupa helikopter.
Konsep perjalanan ini melalui dua tanda berupa ikon mobil dan helikopter yang merujuk pada konsep tentang perubahan kelas sosial. Di mana konsep ini dimunculkan melalui tanda yang lain yakni ikon dari dua orang pria dan dua orang wanita yang berdiri dengan pose membelakangi mobil dan menghadap pesawat. Pose ini dapat dimaknai sebagai pilihan aktor dalam iklan, untuk bertransformasi menggunakan helikopter setelah melakukan perjalanan dengan mobil. Sementara penggunaan ikon helikopter merupakan analogon dari perjalanan udara yang didukung dengan ikon langit dan awan. Pada tataran level kedua, hal ini mengandung pesan tentang capaian tertinggi yang bisa ditempuh seorang anak manusia. Yakni langit. Helikopter dalam hal ini menjadi ikon antara, penghubung untuk mentransformasi dari darat ke udara (langit). Sekaligus sebagai sarana untuk menaikkan kelas sosial dari para aktor sebagai pengguna. Ikon para pengguna yang hadir melalui dua laki-laki dan dua perempuan dilihat oleh peneliti sebagai konsep oposisi biner yang umum. Bahwa jenis kelamin terbedakan atas laki-laki dan perempuan tanpa melihat adanya perbedaan tentang konsep gender. Ikon empat orang ini digambarkan sebagai dua pasangan yang bisa diamati dari cara pengiklan menempatkan mereka di mana laki-laki dan perempuan dibuat dalam posisi bergantian [pria-wanita-pria-wanita]. Ini upaya pembuat iklan merepresentasi target pasar dari produknya.
IV.3.4 Makna Ideologi Makna ideologi iklan menggambarkan pemodelan kalangan dewasa muda dari kelas menengah atas. Hal ini dicirikan dari representasi gaya hidup yang
ditampilkan yang menggambarkan suasana liburan, adventure. Ini adalah citraancitraan yang digunakan pengiklan untuk menggantikan citra produk. Jika ideologi didefinisikan sebagai sistem gagasan palsu, maka kepalsuan gagasan dalam iklan ini hadir melalui rangkaian tanda-tanda yang merujuk pada kesenangan (pleasure), gaya (style), dan rasa percaya diri (confidence) sebagaimana diamanatkan oleh visual tagline dari iklan rokok yang bersangkutan. Tiga hal yang digunakan sebagai bangunan sistem gagasan palsu ini meliputi: (1) Tagline: Pleasure, Style, Confidence Tagline ini merupakan bagian dari brand champaign Djarum Super Mild “My Life My Adventure”. Dengan relasi ini peneliti melihat bahwa citra tentang kesenangan, gaya, dan rasa percaya diri merupakan bagian dari petualangan hidup. Dan ini adalah eskapisme. (2) Label Mild Sebagaimana diulas dalam visual iklan A-Mild, label mild cenderung menyesatkan karena meski kadar tar dan nikotin yang dikandung dalam rokok lebih rendah, dampak yang ditimbulkannya tidak berbeda dengan rokok yang kadar tar dan nikotinnya tinggi. Menurut dokter Ronald Hutapea (2013) orang yang menghisap nikotin dalam kadar lebih rendah akan mengisap lebih lama untuk memenuhi ambang batas yang biasa diisap. (3) Mitos: Adventure adalah mitos eskapisme Lagi-lagi konsep gagasan palsu ini merupakan bentuk imperialis dari kelas borjuis untuk merepresentasi kesenangan sebagai kemapanan, perjalanan, bukan kerja keras sebagaimana harus dilakukan oleh kaum proletar. Kondisi gaya dicapai
ketika orang mampu menjadi bagian dari kelas sosial tertentu. Yang tentu saja hal ini bukan sesuatu yang mayoritas atau kebanyakan. Hanya orang-orang tertentu yang mampu melakukan adventurir, snorkeling, dan berlibur dengan kendaraan helikopter. Orang yang sedikit ini adalah para perokok. Dan merokok dalam hal ini menjadi pelarian atau eskapisme dari berbagai persoalan hidup dan berlari menuju kesenangan semu, menjadi bagian dari kelas sosial borjuis sebagaimana yang ditawarkan oleh kenikmatan merokok. Mark Paterson dalam “Consumption and Everyday Life” menyebut adanya kebutuhan palsu yang diciptakan oleh pengiklan bagi pembaca. Ketika seseorang memilih produk-produk tertentu, ada penilaian baik dari diri sendiri maupun orang lain yang diartikulasikan sebagai kelas, latar belakang, dan identitas budaya. Ada hubungan antara nilai-nilai, identitas dan tindakan sehari-hari dalam mengonsumsi barang-barang tertentu. Pilihan kita atas produk-produk tertentu menjadi mekanisme untuk mengekspresikan identitas. Identitas seseorang ditentukan melalui apa yang ia beli (2006). Hal ini menjelaskan bahwa melalui tanda-tanda yang digunakan dalam visual iklan, pembaca diidentifikasi identitasnya dari apa yang dikerjakan, dikonsumsi, dibeli. Mobil jeep, helikopter, paket liburan, busana kasual adalah kebutuhankebutuhan palsu yang diciptakan oleh iklan agar pembaca dapat berlari dari kepahitan hidup menuju kesenangan, agar menjadi bagian dari gaya, sehingga karenanya menjadi (lebih) percaya diri. Dan itu semua cukup diperoleh dengan merokok.
Williamson (2007:209-210) melihat bahwa dalam memeriksa relasi antara alam dan sains, budaya dan yang natural, bukan hanya sains yang menata alam. Tetapi alam diangkat oleh budaya sebagai yang natural dalam bentuk simbolik yang memungkinkan pentransferan makna dari alam ke budaya untuk menahbiskan objek-objek kultural serta budaya itu sendiri sebagai suatu tatanan yang natural. Makna kata secara natural memberikan contoh transformasi sistem alam yang ditarik dalam penggunaan sosial untuk mengkonotasikan ketakterelakkan. Mitos yang oleh Barthes dilihat merupakan wujud naturalisasi dari ideologi merupakan hasil transformasi dari berbagai konsep dan citraan yang digunakan untuk menggantikan citra produk. Alih-alih meminimalisir hasrat merokok, iklan sebagai wacana persuatif menggunakan alam untuk menaturalisasi citraan kesenangan, santai, gaya, kelas sosial atas, yang pada akhirnya dibentuk sebagai tujuan dari pelarian hidup (eskapisme).
BAB V KESIMPULAN
V. 1
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kesimpulan yang dapat diperoleh peneliti adalah bahwa eskapisme atau pelarian merupakan konsep yang dibangun dalam iklan sebagai mitos. Kesimpulan ini diperoleh melalui serangkaian pembacaan melalui tataran signifikasi penandaan dua tingkat dari Roland Barthes.
V.1.1 Penggambaran Mitos Eskapisme Dalam Iklan Rokok A-Mild Dalam iklan rokok A-Mild konsep eskapisme digambarkan melalui konsepkonsep tentang gaya. Di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, penanda berupa “gaya” ini merujuk pada petanda berupa aktualisasi diri: kesenangan, kenikmatan, jouissance. Dalam tataran inilah kemudian peneliti melihat bahwa konsep aktualisasi diri berupa: kesenangan, kenikmatan, jouissance menjadi pelarian atau eskapisme dari kenyataan hidup. Analogi inilah yang ditemukan peneliti hadir dalam iklan. Kegiatan merokok sebagai aktivitas eskapisme dari kesulitan hidup. Merokok menjadi jalan untuk menyalurkan hasrat untuk menjadi bagian dari kelas sosial tertentu, menjadi bagian dari penikmat akan kesenangan, kenikmatan, dan jouissance yang tidak mampu dihadirkan dalam dunia nyata. Eskapisme menjadi mitos yang dibangun untuk menipu konsumen dengan janji-janji akan kesenangan, kenikmatan, dan jouissance yang memabukkan.
V.1. 2 Penggambaran Mitos Eskapisme Dalam Iklan Rokok Djarum Super Mild Dalam iklan Djarum Super Mild, konsep eskapisme digambarkan melalui serangkaian tanda berupa konsep tentang ‘kesenangan’ (pleasure), ‘gaya’ (style), dan ‘percaya diri’ (confidence). Di dalam tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, penanda-penanda ini merujuk pada petanda berupa aktualisasi diri: kesenangan, kenikmatan, jouissance. Sebagaimana penggambaran mitos dalam iklan A-Mild, dalam iklan Djarum Super Mild, mitos diartikulasikan sebagai kesepadanan, sebuah proses kausal: penanda dan petanda yang memiliki hubungan natural. Melalui rangkaian petanda dan penanda dalam visualisasi iklan, mitos digambarkan melalui rangkaian cerita tentang perjalanan liburan. Mitos eskapisme dinaturalisasi melalui penggambaran tentang kesenangan (pleasure), gaya (style), dan percaya diri (confidence). Gaya hidup bersenang-senang mengidentifikasi kelas sosial diri dalam lingkungan sosial. Pada akhirnya, kedua iklan rokok baik A-Mild maupun Djarum Super Mild menawarkan konsep-konsep tentang gaya dan kesenangan sebagai wujud eskapisme. Namun, peneliti melihat bahwa konstruksi yang dilakukan oleh iklan A-Mild merupakan rangkaian konsep yang sangat halus dan implisit yang dapat menyesatkan pembaca. Perbedaan di antara kedua iklan ini ditegaskan oleh sesuatu yang tidak hadir dalam iklan, yakni kehadiran/ketidakhadiran logo (absence). Dalam visual iklan rokok Djarum Super Mild, produsen masih melihat perlunya pencantuman logo. Sementara sebaliknya, dalam iklan A-Mild, logo hadir secara in absentia. Menurut Ewart, keputusan untuk tidak menggunakan logo dalam sebuah iklan produk, disebabkan karena produk tersebut tidak lagi menjual komoditas, sebagaimana produk-produk konvensional selama ini. Iklan yang
tidak menyertakan logo di dalamnya mengindikasikan bahwa produk tersebut lebih menjual nilai/konsep tertentu ketimbang produk itu sendiri. ‘The old merchant used to tote about commodities; the new one creates values … He takes something that isn’t worth anything – or something that isn’t particularly worth any-thing, and he makes it worth something.’ (Ewart, in H.G. Wells’s Tono-Bungay (1997: 169)
V.2
Saran Penelitian ini sesungguhnya sangat terintervensi oleh keterbatasan peneliti baik dalam hal waktu, tenaga, maupun pikiran. Sehingga perlu dilakukan penelitian dengan objek
penelitian
yang
secara
kuantitatif
lebih
signifikan.
Misalnya
dengan
mengomparasikan konsep mitos dalam iklan-iklan yang berbeda. Atau bahkan untuk iklan-iklan dari merek yang sama. Menarik pula untuk melihat bagaimana resepsi pembaca terhadap iklan-iklan rokok. Dengan demikian diharapkan skala penelitian lebih luas, lebih berdampak, dan lebih signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun bagi dunia praktis. Melihat bagaimana kepalsuan gagasan melalui bangunan mitos ditawarkan dalam iklan-iklan rokok, maka seharusnya pemerintah perlu bersikap lebih tegas dengan melarang iklan rokok terutama iklan billboard. Jika iklan rokok di televisi sudah diatur jam tayangnya, maka iklan billboard memiliki kemampuan menyesatkan konsumen dengan tawaran dan janji palsu yang dinaturalisasi sebagai mitos.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 2004. Mitologi (terj). Kreasi Wacana: Jogyakarta. Belch E. George & Belch A. Michael. 2003. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing Communication Perspective. Sixth Ed. Graw Hill: New York. Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer (terj). Tiara Wacana: Jogjakarta. Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Jalasutra: Yogyakarta. Burton, Graeme. 2008. Yang Tersembunyi Di Balik Media. Jalasutra: Yogyakarta. Cassirer, E. 1946. The Myth of The State. Yale University Press: New Haven. Daniel, Fachrial. 2011. Konsep Diri Dalam Iklan Rokok A-Mild. Davis, Howard & Paul Walton (Ed). 2010. Bahasa, Citra, Media. Jalasutra: Jogjakarta. Feralina, Novi. 2013. Analisis Semiotika Makna Pesan Non Verbal Dalam Iklan Class Mild versi Macet Di Televisi. ejournal Ilmu Komunikasi, Volume 1. No 4/2013. Fiske, John. 1985. Introduction to Communication Study. Methuln Publishing: London, New York. Gobe, Marc. 2005. Emotional Branding: Paradigma Baru Untuk Menghubungkan Merk Dengan Pelanggan. Erlangga. Gottdiener. 1995. Postmodern Semiotics: Material Culture and The Forms of Postmodern Life. Blackwell: Oxford UK, Chambridge USA. Gray, N.J. & Hill, D.J. 1977. Patterns of Tobacco Smoking in Australia. Med J. Aunt. 2, 327-8. Hamidah, Lilik dan Chalimatus Sa’diyyah. 2011. Analisis Simbol Iklan Rokok Dji Sam Soe Gold. eJurnal Ilmu Komunikasi, Volume 1. No 2/Oktober 2011. Hapsari, Mirah. 2013. Makna Konotasi Iklan Luar Ruang Rokok Produk PT Djarum. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Skripsi.
Hutapea, Ronald. 2013. Why Rokok? Tembakau dan Peradaban Manusia. Bee Media Indonesia: Jakarta. Ida, Rachmah. 2011. Metode Penelitian: Kajian Media dan Budaya. Surabaya: Airlangga University Press. Levi-Strauss, C. 1968. Structural Anthropology. Harmondsworth: Penguin. Martadi. 2001. Citra Perempuan dalam Iklan di Majalah Femina Edisi Tahun 1999. Jurnal Deskomvis volume 3, nomor 2 Juli 2001. Surabaya: Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra. McLuhan, M. 1959. Myth and Mass Media. Daedalus 88. Mierzoeff, Nicholas. 1999. An Introduction to Visual Culture. Routhledge: London. Morissan. 2009. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Kharisma Putra Utama. Noth, Winfried. 2006. Semiotik (terj). Airlangga University Press: Surabaya. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS. Piliang, Amir Yasraf. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika:Kode, Gaya, & Matinya Makna. Matahari: Bandung. Rose, Gillian. 2001. Visual Methodologies. SAGE Publication Ltd: London. Rustan, Surianto. 2011. Huruf Font Tipografi. Gramedia: Jakarta. Saussure, F. de. 1959. Course in General Linguistics. Translated by W. Baskin. New York: McGraw Hill. Sturken & Cartwright. 2001. Practices of Looking: Introduction to Visual Culture. Oxford University Press: New York. Sugeng, Purwanto. Iklan Rokok A-Mild Versi Bukan Basa-Basi Tema Tanya Kenapa: Analisis Pascastruktural. Jurnal Dinamika Bahasa dan Ilmu Budaya. Vol. 4. Thwaites, Tony, Lloyd Davis & Warwick Mules. Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta: Jalasutra. West, Richard & Lynn H. Turner. 2010. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Edisi 3. Jakarta: Salemba Humanika.
Wibisana, Gloria. Tanda, Kobe, dan Strategi Kreatif Iklan Rokok Mild (iklan a mild, star mild, la lights, dan clas mild) Pada Media Billboard di Kota Bandung. Tesis. Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Williams, Raymond. 1993. “Advertising: The Magic System”, dalam Simon During (Ed). The Cultural Studies Reader. London: Routhledge. Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisement: Membedah Ideologi dan Makna Dalam Periklanan. Jalasutra: Jogjakarta.
Non Buku: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/07/16 http://www.SWA.co.id (diakses pada 27 November 2013) http://sampoerna.com (diakses pada 9 Desember 2013) http://www.djarumsupermild.com (diakses pada 9 Desember 2013) http://www.kompasianaonline.com (diakses pada 9 Desember 2013) http://www.geocities.com/azdriana10/psikologi (diakses pada 2 April 2014) http://www.jeepchrysler.com (diakses pada 18 Mei 2014) http://www.tempo.co (diakses pada 18 Mei 2014) http://biebahuachim.wordpress.com/2012/11/21/busana-kasual (diakses pada 23 Mei 2014)