Al-Hawalah dan Relevansinya dengan Perekonomian Islam Modern Suprihatin Abstract. The purpose of this paper is to describe al-hawalah and its relevance to modern Islamic economy. From this paper can be concluded that the application of al-Hawalah today still refer to the sources of Islamic law which allows transfer of debt payments. Some changes in placement and the addition of elements of al-Hawalah at this time because of differences of background of the development of al-Hawalah at this time with alHawalah at the beginning of its formation. The relevance of the concept of early al-Hawalah with modern Islamic economics lies in the functions of Islamic banks as part of the economic structure of modern Islam as channeling funds to communities whose position can be converted into Muhal Alaih as paying debts.
Pendahuluan Dalam dunia perekonomian Islam modern saat ini, terdapat beragam akad transaksi keuangan yang dikembangkan di lembaga keuangan syariah. Di antara akad tersebut adalah al-Hawalah. Al-Hawalah merupakan salah satu entitas budaya Muslim pada masa awal Islam yang dimaksudkan untuk memenuhi janji dalam melunasi hutang karena secara tersirat dalam hutang piutang terkandung sebuah janji untuk membayar hutang. Hal ini sesuai dengan surat al-Israa ayat 34 sebagai berikut :
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. Dengan demikian, adanya unsur memenuhi janji dalam bentuk pembayaran hutang menjadikan alHawalah dalam perekonomian Islam memiliki dua fungsi yang bersifat simultan dalam pelaksanaanya. Pertama, untuk menjamin terpenuhinya pertanggungjawaban pada Allah Swt. Kedua, memudahkan dan melindungi hak para pihak yang melakukan hutang piutang.
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
Keberadaan al-Hawalah sebagai salah satu entitas budaya Muslim pada masa awal Islam yang memilki tujuan mulia tersebut terus dipertahankan dalam perekonomian Islam modern saat ini dengan beberapa modifikasi. Perubahan al-Hawalah tersebut tidak menyangkut pada dasar hokum kebolehan melakukan pengalihan pembayaran hutang, melainkan sebatas pada elemenelemen al-Hawalah. Adapun factor yang menyebabkan adanya modifikasi al-Hawalah dikarenakan latar penerapan al-Hawalah saat ini berada dalam kebijakan makro yang berbeda dengan kebijakan makro pada awal saat dilahirkannya al-Hawalah. Pada saat awal dilahirkannya, alHawalah dikembangkan pada masyarakat tradisional yang belum mengenal lembaga perbankan. Sedangkan pengembangan al-Hawalah pada saat ini memiliki kaitan erat dengan kebijakan makro yang diantaranya dikendalikan melalui lembaga perbankan. Adapun bentuk modifikasi alHawalah di lembaga perbankan syariah adalah menyangkut pengambilan fee dan posisi Muhil sebagai orang tidak terbebas dari hutang sebagaimana pada masa awal praktik alHawalah. Adanya perubahan-perubahan ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di antara ummat Islam yang belum mengetahui dasardasar pertimbangan dilakukannya
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
modifikasi al-Hawalah di perbankan syariah.
Mengenal al-Hawalah dalam Fikih Dalam Kitab al-Fiqh ‘ala alMadzahibi al-Arba’ah yang ditulis oleh Abd al-Rahman al-Jaziri telah dijelaskan bentuk al-Hawalah secara antropologis maupun normative. Secara antropologis, al-Hawalah dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari yang dikembangkan dalam bahasa Arab. Al-Hawalah ( )اﻟﺤﻮاﻟﺔadalah bentuk mashdar dari ا ﺣﺎ ﻟﺔyang secara etimologi bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun pengertian secara bahasa adalah memindahkan barang seperti memindahkan botol dari satu tempat atau tempat yang lain atau memindahkan hutang dari satu perjanjian hutang kepada perjanjian hutang yang lain. Sedangkan pe-ngertian secara normatif al-Hawalah adalah memindahkan hutang dari perjanjian hutang yang satu dengan perjanjian hutang yang lain dengan jumlah hutang yang sama. Sementara itu Wahbah az-Zuhaili dengan mengutip kitab al-Inayah mendefinisikan alHawalah sebagai perpindahan dari Ashil (Muhil) kepada Muhal Alaih (orang yang bertanggungjawab setelah adanya akad Hawalah). Al-Hawalah sebagai ornament budaya masyarakat Arab pada masa awal Islam dalam melakukan peng-
alihan pembayaran hutang mendapatkan justifikasi hokum melalui alQur’an dan al-Hadits. Al-Hawalah mengandung nilai tolong menolong sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar Allah, dan jangan melang-gar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Sedangkan dasar hukum lainnya yang secara rinci jelas mengarah pada pembolehan mengalihkan pembayaran hutang adalah satu hadits yang dikutip oleh Ibn Rusyd dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid sebagai berikut : وادا اﺣﯿﻞ اﺣﺪﻛﻢ ﻋﻠﻲ ﻏﻨﻲ, ﻣﻄﻞ اﻟﻐﻨﻲ ﻇﻠﻢ (ﻓﻠﯿﺴﺘﺤﻞ )اﺧﺮﺟﮫ اﻟﺒﺨﺎري و اﺣﻤﺪ Penangguhan orang kaya (untuk tidak bayar hutang) itu aniaya, dan apabila salah seorang kamu dipindahkan kepada orang kaya, hendaklah ia menerimanya (HR. Bukhori dan Ahmad)
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
Berdasarkan pada kebolehan mengalihkan pembayaran hutang tersebut, para fuqaha salaf telah menyusun rukun dan syarat sebagai tanda sah dilakukannya al-Hawalah menurut agama. Imam Syafii sangat rinci dalam mengemukakan rukun al-Hawalah yaitu ; Muhil, Muhal, Muhal Alaih, piutang Muhal ke Muhil, Hutang Muhil kepada Muhal Alaih dan yang terakhir adalah sighat. Adapun syarat al-Hawalah meliputi 6 syarat yang dapat diringkas menjadi 4 syarat yaitu kerelaan Muhil,Muhal, Muhal Alaih, piutang Muhal diketahui kadar maupun sifatnya, hutang Muhal Alaih bersifat lazim, kesamaan jumlah hutang muhil kepada Muhal dan piutang Muhil kepada Muhal Alaih.
Pemahaman al-Hawalah sebagaimana dijelaskan di atas dapat dicontohkan sebagai berikut. Misalnya Pihak Pertama meminjamkan sejumlah uang kepada Pihak Kedua, namun sebelumnya pihak pertama telah meminjamkan uang kepada Pihak Ketiga dengan jumlah pinjaman yang sama dengan pihak kedua. Dalam konteks praktik Hawalah pihak pertama dapat membuat perjanjian dengan Pihak Kedua dan Pihak Ketiga agar pihak ketiga dapat membayar hutang pihak pertama kepada pihak Kedua. Secara garis besar praktik alHawalah dalam konsep dasar fikihnya sebagai berikut :
Waktu Akad Hawalah
Muhal Alaih Berhutang Muhil Berhutang Muhal Pihak Ketiga Pihak Pertama Pihak Kedua
Membayar Hutang Muhil Sebelum Gambar 1. Konsep al-Hawalah Ulama Syafiiyyah
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
Kini
Sedangkan di kalangan fuqaha Hanafiyah mengemukakan rukun alHawalah sangat sederhana namun progresif yaitu sighat ijab dan Kabul.
Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan Muhal Alaih memiliki hutang kepada Muhil ( ﻻ ﯾﺴﺘﺮط ان ﯾﻜﻮن ﻟﻠﻤﺤﯿﻞ دﯾﻦ ﻋﻠﻲ ) اﻟﻤﺤﺎل ﻋﻠﯿﮫ
Muhil Hutang
Muhal Alaih
Membayar
Muhal
Gambar 2. Skema al-Hawalah dalam Konsep Ulama Hanafiah Sebagai salah satu bentuk perjanjian, al-Hawalah dapat berakhir dalam beberpa keadaan yaitu : 1. Karena dibatalkan atau fasakh 2. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad al-Hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan saksi 3. Jika Muhal Alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal 4. Meninggalmua Muhal, sementara Muhal Alaih mewa-
5. 6.
7.
risi harta hawalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqayyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah. Jika Muhal menghibahkan hartanya kepada Muhal Alaih Jika Muhal menyedahkan harta al-Hawalah kepada Muhal Alaih Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
Pengembangan Al-Hawalah Dalam Perekonomian Islam Modern Islam sebagai agama yang berpangkal pada keimanan pada Allah Swt., sistem ajarannya memiliki kemanfaatan di dunia dan akhirat secara simultan. Artinya ajaran Islam yang dikembangkan dengan baik didunia akan memiliki dampak positif tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat sekaligus. Dalam iman, Seorang Muslim/Muslimah tidak saja dituntut untuk mengetahui dzat Allah Swt., tetapi juga tunduk dan pasrah pada ketentuan Allah dalam setiap tindakannya, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah. Dalam hal ini, kita dapat menyaksikan kekonsistenan para fuqaha salaf yang sangat luar biasa mengawal rambu-rambu kepatuhan terhadap ketentuan Allah ini melalui beberapa kaidah fikih sebagai berikut : اﻻﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎد ا ت اﻟﺘﻮﻗﯿﻒ اﻻﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻤﻌﺎ ﻣﻠﺔ اﻻﺑﺎﺣﺔ ﺣﺘﻲ ﯾﺪل اﻟﺪﻟﯿﻞ ﻋﻠﻲ اﻟﺘﺤﺮﯾﻤﮫ Keberadaan kaidah di atas menjelaskan pada kita tentang keharusan tiap tindakan Muslim/Muslimah dalam beribadah maupun bermuamalah tunduk pada ketentuan Allah Swt. yang diketahui baik melalui ayat kauniyah maupun qauliyah. Dalam konteks muamalah , bentuk keterikatan tindakan Muslim/ Muslimah untuk patuh dalam keten-
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
tuan Allah diantaranya dapat dilihat pada aplikasi al-Hawalah pada perekonomian Islam sejak pada masa nabi Muhammad hingga masa sekarang. Namun, penenerapan alHawalah dalam perekonomian pada masa Nabi Muhammad berbeda dengan penerapannya pada perekonomian Islam modern saat ini. Pada masa Nabi Muhammad, al-Hawalah dilakukan dalam tataran mikro maupun makro yang diwarnai dan dipengaruhi oleh perilaku individu dan nilai-nilai yang bersumber pada alQur’an maupun al-Sunnah. Pada masa perekonomian Islam modern saat ini, al-Hawalah juga diterapkan secara mikro maupun secara makro. Namun penerapan al-Hawalah secara makro dalam perekonomian Islam modern menuntut perluasan dasar hokum yang bisa saja tidak sesuai dengan struktur dasar al-Hawalah, diantaranya adalah prinsip-prinsip Bank Indonesia menyangkut liquiditas, rentabilitas dan solvabilitas dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005yang bertumpu pada Fatwa DSN- MUI No. 12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hawalah dan Fatwa DSN-MUI No. 58 /DSNMUI/V/2007 tentang Hawalah bil ujroh Konsekuensi diimplementasikannya al-Hawalah dalam system perekonomian Islam modern pada akhirnya menuntut penyesuaian-penyesuaian dengan ketentuan yang
berlaku, seperti tidak terpenuhinya syarat Muhal Alaih memiliki hutang yang semisal dengan hutang Muhil ke Muhal sebagaimana dikemukakan ulama di kalangan Syafiiyyah dan dibolehkannya mengambil keuntungan dalam bentuk fee jasa penagihan yang besarnya memperhatikan besar kecilnya resiko tidak tertagihnya hutang. Hal ini diperkuat oleh pendapat M. Syafii Antonio, dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik, diantara manfaat diadopsinya al-
Hawalah sebagai produk bank adalah : 1. Untuk menyelesaikan utang piutang secara cepat dan simultan 2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan 3. Sebagai salah satu fee based income bagi bank syariah. Skema al-Hawalah di perbankan Syariah dapat dilihat pada contoh yang diberikan oleh Veithzal dan Andria Permata Veithzal dalam bukunya Islamic Financial Management sebagai berikut :
Penunjukkan supplier
(1) Supply Barang
2
Invoice 3 PT. Carefour Ind
PT. Nyiur Melambai
(Pembeli/Muhil)
(Suplier/Muhal)
Tagih (invoice (7)
Akad Hawalah (4)
Bayar (8) Invoice (5)
55(5) Bayar (6)
Bank Syariah (Muhal alaih) Gambar 2. Contoh Skema al-Hawalah di Perbankan Syariah
Analisis
Merujuk pada Hadits tentang dibolehkannya pengalihan pembayar-
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
an hutang sebagaimana disebutkan di atas, maka menghidupkan al-Hawalah dalam perekonomian Islam modern tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Bahkan hal ini dapat dijadikan sebagai bentuk kemudahan (rukhshoh) bagi orang yang memiliki hutang dan dalam keadaan kesulitan dalam membayar kewajibannya, tetapi masih memiliki asset pada pihak lain. Maka untuk memastikan kewajibannya dalam membayar hutangnya pada pihak lain dapat melakukan al-Hawalah. Dalam konteks ini, al-Hawalah dimaksudkan untuk memenuhi janji yang secara tersirat ada pada hutang piutang. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa memenuhi janji merupakan salah satu perilaku yang mengandung kebaikan yang setara dengan perilaku-perilaku kebaikan lainnya seperti beriman pada Allah, Malaikat, Kita, Nabi membagikan harta yang disukainya pada kerabat dekat, anak yatim dsb., hal ini telah dijelaskan dal surat al-Baqarah : 177 sebagai berikut :
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikatmalaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orangorang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. Dalam hal ini. adanya kesetaraan pemenuhan janji dalam hutang piutang dengan iman dan takwa menunjukkan bahwa melaksanakan alHawalah merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan yang bersifat sinergis. Bahwa seorang yang beriman pada Allah Swt. semestinya dapat menggerakkan ketakwaan dan menghasilkan akhlak mulia dalam bentuk memenuhi janji diantaranya dalam membayar hutang. Hubungan sinergis ini bersifat mengunci satu sama lain sehingga dapat menghasilkan suatu gerak yang harmonis dalam orbitnya sebagaimana dapat dijelaskan dalam skema sebagai berikut :
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
Gambar 3. Skema Hubungan Sinergis Keimanan, ketakwaan dan Pemenuhan Janji dalam Hutang Dengan demikian, dalam perspektif mikro ekonomi, seorang Muslim atau Muslimah wajib membayar hutangnya baik dengan melakukan pembayaran sendiri maupun dengan melakukan al-Hawalah. Hal ini sesuai landasan normatif dan elemen-elemen al-Hawalah sebagai salah satu entitas budaya yang pernah berkembang pada masa Nabi Muhammad dan sesuai dengan pemikiran mainstream fikih di kalangan Syafiiyyah. Implementasi al-Hawalah di perbankan syariah sebagaimana dicontohkan oleh Veithzal Rifai dan Andria Permata Veithzal sebagian besar memiliki kesesuaian dengan fikih di kalangan ulama Hanafiah. Kesesuaianya terletak pada posisi Muhal Alaih sebagai pembayar hutang pada Muhal tidak memiliki hutang pada Muhil. Sedangkan letak
ketidaksesuaiannya terletak pada pengambilan fee dan posisi Muhil yang justru berhutang pada Muhal Alaih. Sedangkan jika ditinjau dari perspektif fikih di kalangan ulama Syafiiyyah, implementasi al-Hawalah di perbankan syariah tidak memiliki kesesuaian. Nampaknya perbedaan yang ada hanya pada penempatan dan penambahan elemen-elemen alHawalah. Terutama pada elemen Muhil yang memiliki posisi sebagai orang yang terbebas dari hutang menjadi orang yang memiliki hutang, elemen Muhal Alaih yang dalam fikih Syafiiyah memiliki hutang pada Muhil justru tidak memiliki hutang pada Muhil dan adanya penambahan elemen fee sebagai ujroh pengalihan hutang. Namun menyangkut tujuan implementasi al-Hawalah di perbankan syariah sama dengan tujuan al-Hawalah pada konsep asalnya yaitu sebagai sarana pengalihan membayar hutang dan ini, tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam. Dengan demikian dapat ditarik garis benang merah bahwa implementasi al-Hawalah pada system perekonomian Islam modern telah mengalami perubahan. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan apakah perubahan al-Hawalah yang dilakukan pada saat ini dibolehkan? Pada prinsipnya, budaya yang bisa mendapat legalitas syar’i adalah budaya yang berlaku secara tetap, dengan demikian budaya yang ber-
ubah-ubah tidak akan mendapat legalitas syar’i karena dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya kecuali ada penjelasannya. Modifikasi al-Hawalah yang dimplementasikan di bank syariah tidak menyangkut merubah dalil sebab hukum kebolehan mengalihkan pembayaran hutang didasarkan pada sumber hokum Islam tidak dapat dirubah secara mutlak. Sementara itu hokum yang mendasari penyusunan elemen-elemen al-Hawalah dilakukan berdasarkan pada pertimbangan waktu atau zaman sehingga masih memungkinkan untuk dirubah. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : ﻻ اﺧﺘﻼف ﺣﺠﺔ, اﻧﮫ اﺧﺘﻼف ﻋﺼﺮ وزﻣﺎن وﺑﺮھﺎن Perubahan hukum itu hanya karena perbedaan zaman dan waktu, bukan karena perbedaan hujjah atau dalil. Penerapan al-Hawalah di perbankan syariah menemukan momentumnya pada fungsi bank sebagai jantung perputaran keuangan. Menurut Mudrajad Kuncoro, dalam bukunya Manajemen Perbankan, menjelaskan fungsi utama bank adalah : 1. Sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan 2. Sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
bentuk kredit dan pembiayaan (penulis) 3. Sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang. Dalam hal ini keberadaan fungsi bank sebagai agen penyalur dana ke masyarakat dan agen yang melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang tentu sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang ingin menerima dana dari bank yang diantaranya digunakan untuk membayar hutang. Fakta ini menunjukkan adanya relevansi antara konsep asal al-Hawalah sebagai pengalihan pembayaran hutang dengan fungsi bank syariah sebagai penyalur dana. Kondisi inilah yang memungkinkan dilakukannya konversi fungsi bank sebagai agen penyalur dana menjadi Muhal Alaih yang berfungsi membayar hutang Muhil kepada Muhal dalam konteks al-Hawalah. Sedangkan posisi Muhil yang tiidak bisa terbebas dari hutang karena ia menggunakan dana masyarakat, sehingga ia berkewajiban untuk membayarnya juga. Sementara penarikan fee sebagai ujroh pengalihan hutang dikaitkan dengan prinsip rentabilitas yang ada dalam bank sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Apabila keadaan ini bisa dipahami dan dapat dilaksanakan secara ajeg dalam system perekonomian Islam modern utamanya di bank syariah, maka
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011
hukum al-Hawalah di perbankan syariah dapat diterima, sesuai dengan kaidah اﻟﻌﺎ دة اﻟﻤﺤﻜﻤﺔdengan beberapa pertimbangan. Pertama, penerapan al-Hawalah di bank syariah tidak merubah dalil kebolehan pengalihan hutang. Kedua, entitas budaya al-Hawalah dalam format baru tidak bertentangan dengan syar’I karena tidak mengandung unsur kezaliman dan kerusakan.
Kesimpulan Setelah mengkaji keberadaan alHawalah dan dan pengembangannya dalam system Perekonomian Islam modern dapat disimpulkan bahwa : 1. Penerapan al-Hawalah saat ini tetap mengacu pada sumber hokum Islam yang membolehkan melakukan pengalihan pembayaran hutang 2. Beberapa perubahan penempatan dan penambahan elemen alHawalah pada saat ini dikarenakan adanya perbedaan latar pengembangan al-Hawalah pada saat ini dengan al-Hawalah pada saat awal pembentukannya.
3. Relevansi konsep awal alHawalah dengan perekonomian Islam modern terletak pada adanya fungsi bank syariah sebagai bagian dari struktur perekonomian Islam modern sebagai penyalur dana ke masyarakat
yang posisinya dapat dikonversi menjadi Muhal Alaih sebagai pembayar hutang.
Daftar Rujukan Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ala alMadzahibi al-Arba’ah, juz II, Dar al-Hadits al-Kohiroh Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Maktabah Wa Matba’ah Karyata Putera Semarang M. Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press Jakarta Maimun Zubair, Formulasi Nalar Fikih ; Telaah Kaidah Fikih Konseptual, Kaki Lima, Khalista Surabaya Mudrajad Kuncoro dan Suharjono, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta Veithzal Rifai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management, Rajawali Press Jakarta
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011