1
Turats, Vol, 2, Januari 2006 KESETARAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN Suprihatin
Abstract Al-Qur’an telah diakui oleh pendukung dan penentangnya sebagai pengangkat hakhak perempuan; para penentangnya setidak-tidaknya mengakui bahwa Al-Qur’an pada waktu diwahyukan mengambil langkah-langkah jauh ke depan bagi keuntungan wanita dan bagi hak-hak kemanusiaannya. Namun Al-Qur’an tidak pernah mengabaikan kewanitaan wanita dan kelelakian pria atas nama pemulihan status kemanusiaan wanita dan menjadikannya mitra pria dalam kemanusiaan dan dalam hak-hak kemanusiaanya.
Satu saat Presiden Clinton (sekarang mantan) bersama istrinya Hillary mengisi bensin di sebuah pom bensin. Kebetulan petugas pom bensin yang melayani mereka adalah bekas kekasih Hillary. Setelah mobilnya keluar dari tempat pengisian bensin, Clinton berkata kepada istrinya, “Seandainya kamu jadi menikah dengan laki-laki tadi, kamu akan menjadi istri pengisi bensin bukan jadi seorang istri Presiden Amerika. Hillary yang cerdas itu menjawab: “Tidak, seandainya dia menjadi suami saya, dialah yang akan menjadi Presiden Amerika dan bukan Anda.” Kalau kita bersikap jujur, kita akan mengakui bahwa betapa pentingnya peran perempuan dalam kehidupan laki-laki. Bahkan dalam setiap peradaban peranan perempuan sangat menentukan. Maju-mundurnya sebuah peradaban sangat dipengaruhi oleh posisi dan peran perempuan. Bila perempuan ditempatkan pada tempat yang sebenarnya, maka majulah peradaban itu. Sebaliknya, bila perempuan dihinakan, maka jatuhlah peradaban itu. Saya setuju dengan pendapat Bung Karno yang menegaskan: “Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu kultur (budaya-YH) yang sewajar-wajarnya kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. Sebagian ahli tarikh menetapkan, bahwa kultur Yunani jatuh, karena perempuan dihinakan di dalam kultur Yunani itu. Nazi-Jerman jatuh, oleh karena di Nazi-Jerman perempuan dianggap hanya baik buat Kirche-Kuche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur masyarakat Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan kaum perempuan pula di tempatnya yang seharusnya, maka matahari kultur Islam terbenam, sedikit-dikitnya suram!”. Benarlah pula perkataan Charles Fourier yang dikutip oleh Sukarno, yang mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan sesuatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi-rendahnya tingkat kedudukan perempuan dalam masyarakat itu. “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung” Kata Baba O’llah. Jika sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali. Rumi, seorang sufi besar Muslim Abad ke-12, mengibaratkan laki-laki sebagai akal, dan perempuan sebagai nafs.. “Jika kemenduaan telah bersemayam di hati dan roh, walau sejengkal waktu, akal akan memerankan Adam dan Hawa adalah nafs.”, kata Rumi. Dunia adalah kombinasi sifat keperkasaan maskulin (yin) dan sifat kelembutan maskulin (yang). Alam adalah suatu kombinasi daripada sifat Jalaliyah (kekuatan) dan sifat Jamaliyah (kasih sayang). Hubungan yang serasi antara kedua
2
Turats, Vol, 2, Januari 2006
sifat itulah yang membuat dunia menjadi harmonis, dan hubungan yang timpang antara keduanya membuat dunia chaos. Nabi Muhammad bersabda, “Perempuan adalah tiang negara, jika baik keadaan perempuan baiklah negara, jika buruk keadaan perempuan buruklah negara”. Kita telah melihat perkataan-perkataan di atas yang menunjukkan pengakuannya secara baik akan peran perempuan dalam menentukan majumundurnya suatu peradaban. Sebaliknya dari itu, banyak pula ide-ide yang merendahkan perempuan, terutama dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh laki-laki (patriarkhi). Banyak ide-ide dari Aristoteles, Nietzche, Shopenhauer, dan kitab-kitab suci agama yang merendahkan perempuan. Aristoteles pernah mengatakan bahwa perempuan itu makhluk setengah manusia dan setengahnya lagi bukan manusia. Ahli filsafat Schopenhauer pembawa aliran psimisme memandang dunia dengan penuh kegelapan, dia menuding perempuan sebagai penyebab terjerumusnya laki-laki ke dalam kegelapan itu. Profesor Havelock Ellis berkata, “Kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol.” “Perempuan adalah makhluk yang sampai mati tidak akan pernah dewasa”, tegas seorang ahli. Karena itu pula, Will Durant, seorang ahli sejarah yang terkenal itu dalam bukunya The Pleasure of Philosophy mengatakan, “Sampai sekitar tahun 1900, perempuan hampir tidak mempunyai suatu hak apapun yang harus dihormati kaum pria menurut hukum.” Ashgar Ali Enginer menulis dalam bukunya The Rights of Women in Islam demikian, “Selama ribuan tahun perempuan terus-menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam masyarakat patriakhal, dan ini bisa terjadi karena kebanyakan masyarakat di dunia ini adalah masyarakat patriarkhal. Demikianlah selama berabad-abad “hukum alam” ini menetapkan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuasaan mereka demi kelancaran dan kelestarian kehidupan keluarga.” Asghar Ali menyatakan juga, “bahwa kitab-kitab suci agama pun tidak dapat menghindarkan diri dari menganut sikap merendahkan perempuan, walaupun menurutnya, sebagian di antaranya memberikan beberapa norma untuk mengatasinya.” Firman Tuhan dalam Bible, misalnya, menjelaskan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, “Dan dari tulang rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan. Lalu dibawa-Nya kepada manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kitab Kejadian 2:22-23). Bible juga mengatakan bahwa perempuan menjadi penyebab terjerumusnya laki-laki ke dalam perbuatan dosa, tatkala memakan buah pengetahuan yang di larang Tuhan. “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya”. Dalam kitab suci agama Hindu Bhagavadgita, perempuan sedikit mendapat penghormatan. Arjuna, pahlawan dalam cerita Mahabarata, bertanya kepada Dewa Krisna, gurunya, “Di manakah engkau berada?” Batara Krisna menjawab, “Aku berada dalam air, aku berada dalam angin, aku berada dalam cahaya mentari, dan aku berada dalam senyuman seorang perempuan”. Secara normatif, Al-Qur’an berupaya untuk menghindarkan diri dari sikap merendahkan perempuan. Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menempatkan
3
Turats, Vol, 2, Januari 2006
perempuan dalam posisi egaliter. Namun dalam suatu sistem sosial yang didominasi laki-laki, ayat-ayat Al-Qur’an yang menjunjung tinggi perempuan ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga lebih memihak kepada laki-laki. Murtadha Mutahhari dalam bukunya The Rights of Women in Islam mengakui peranan Al-Qur’an dalam hal mengangkat derajat perempuan. “Al-Qur’an telah diakui oleh pendukung dan penentangnya sebagai pengangkat hak-hak perempuan; para penentangnya setidaktidaknya mengakui bahwa Al-Qur’an pada waktu diwahyukan mengambil langkahlangkah jauh ke depan bagi keuntungan wanita dan bagi hak-hak kemanusiaannya. Namun Al-Qur’an tidak pernah mengabaikan kewanitaan wanita dan kelelakian pria atas nama pemulihan status kemanusiaan wanita dan menjadikannya mitra pria dalam kemanusiaan dan dalam hak-hak kemanusiaanya.” Senada dengan Mutahhari, Ashgar Ali mengatakan, “Qur’an merupakan kitab suci pertama yang telah menyatakan begitu banyak hak bagi perempuan, justru pada masa di mana perempuan sangat tertindas di dalam peradaban-peradaban besar, yaitu Bizantium, Sasanid, dan lain-lain”, Al-Qur’an mengangkat derajat perempuan secara revolusioner, bila dibandingkan dengan statusnya pada masa jahiliyah (pra-Islam). Para ulama Islam berpendapat bahwa pada masa pra-Islam perempuan tidak mendapatkan hak apaapa dan diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Al-Qur’an melarang praktek ini. Bahkan, setelah mewarisi istri ayahnya, seorang laki-laki dapat mengawininya. Al-Qur’an juga melarang secara tegas perbuatan ini. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa bangsa Arab pada masa pra-Islam biasa menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup. Adat menguburkan anak perempuan hiduphidup yang tak beradab ini tampaknya sudah sangat tersebar luas di tanah Arab praIslam, kata Muhammad Asad, seorang penafsir Al-Qur’an terkemuka. Nabi Muhammad, sang pembawa pesan Allah, telah melakukan lompatan dalam menempatkan posisi perempuan pada tempat yang sewajarnya. Wallahu a’lam.
4
Turats, Vol, 2, Januari 2006 MENYOAL TAFSIR YANG BIAS JENDER Yoyo Hambali dan Siti Asiah
Abstract: Ayat-ayat yang menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan di atas sangat ideal, namun dalam realitas sosial, praktek diskriminasi dan marginalisasi perempuan masih merajalela sehingga yang seharusnya perempuan menempati peran-peran penting dalam wilayah publik, alih-alih menjadi sub-ordinat kaum lakilaki dan menempati wilayah domestik. Untuk kepentingan dominasi laki-laki kerap ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan memihak kepada laki-laki. Manusia hebat dari negeri Arab Muhammad saw. telah melakukan revolusi dengan kesuksesan yang luar biasa pada zamannya. Robert N. Bellah, Guru Besar Sosiologi pada Universitas Kalifornia, Berkeley, Amerika Serikat dalam kumpulan essaynya berjudul Beyond and Belief menyatakan bahwa masyarakat yang dibangun Nabi merupakan sebuah model bangunan masyarakat modern lebih dari yang dibayangkan “There is no question but that under Muhammad, Arabian society made a remarkable leap forward in social complexity, and political capacity….a better model for modern national community building than might be imagined”. Kata Bellah. Pengakuan secara jujur akan kesuksesan Nabi Muhammad itu datang juga dari Michael H. Hart seperti ditulis dalam bukunya yang amat terkenal berjudul The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, bahkan ia menempatkan Nabi Penutup ini dalam urutan pertama dari seratus tokoh yang paling berpengaruh. Michael H. Hart menyatakan pengakuannya, “Dialah Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.” Kesuksesan itu termasuk pula dalam upayanya menjunjung tinggi derajat perempuan. Dari mulut Nabi Muhammad inilah keluar firman Allah yang mengatakan, “Maha Mulialah Dia yang telah menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan (Q.S. 36:36); “Dan Dia membuat segala sesuatu berpasang-pasangan” (Al-Zukhruf:12). “Perhatikan, segala hal! Jadi bukan saja manusia berpasang-pasangan, bukan saja kita ada lelakinya dan ada wanitanya. Binatang ada jantannya ada betinanya, bungabunga pun ada lelakinya dan ada perempuannya, alam ada malamnya ada siangnya, barang-barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada aksinya dan reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan negatifnya, segala kedudukan ada tese dan antitesenya”, tegas Sukarno. Al-Qur’an mengakui empat belas abad yang silam bahwa perempuan adalah pasangan laki-laki yang setara. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 195 Allah menegaskan, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”. Dalam surat An-Nisa ayat 124, “Barangsiapa mengerjakan amalamal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”. Dalam surat an-Nahl ayat 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
5
Turats, Vol, 2, Januari 2006
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik”. Ayat-ayat yang menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan di atas sangat ideal, namun dalam realitas sosial, praktek diskriminasi dan marginalisasi perempuan masih merajalela sehingga yang seharusnya perempuan menempati peran-peran penting dalam wilayah publik, alih-alih menjadi sub-ordinat kaum lakilaki dan menempati wilayah domestik. Untuk kepentingan dominasi laki-laki kerap ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan memihak kepada laki-laki. Di sini marilah kita mencoba untuk menggali tafsir salah satu ayat dalam AlQur’an yang sering digunakan sebagai alat untuk melebih-lebihkan kedudukan lakilaki di atas perempuan. Ayat itu misalnya terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang saya akan kutip seluruhnya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atau sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kami mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Inilah terjemahan yang saya ambil dari Al-Qur’an dan Terjemahannya yang direbitkan oleh Departemen Agama. Ayat tersebut kalau dibaca secara tekstual dan sepintas lalu nampaknya memang benar menempatkan laki-laki di atas perempuan. Beberapa kalimat yang mengandung indikator bias jender adalah: (1) Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena kelebihan laki-laki dalam hal pemberian nafkah; (2) Wanita nusyuz harus dikenakan hukum oleh suaminya dari mulai hukuman yang ringan yaitu sekedar dinasehati sampai hukuman yang relatif berat, yakni dipukul.Kalau suami berbuat nusyuz, maka demi keadilan, apakah istri juga wajib menghukumnya? Ibn Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menafsirkan ayat di atas dengan judul, “Keutamaan laki-laki atas perempuan (tafdhil al-rijal ‘ala al-nisa). Firman Allah, “al – rijal qawwamuna ala al-nisa” berarti laki-laki adalah berdiri di atas perempuan, lakilaki adalah pemimpin, dan hakim atas perempuan. “Allah mengutamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain” mengandung makna bahwa laki-laki lebih utama daripada perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. Hadits riwayat Bukhari, “Tidak akan baik suatu kaum apabila menyerahkan urusan kepada perempuan”. Ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih utama daripada perempuan sebagaimana firman-Nya lagi,”Bagi laki-laki di atas mereka (perempuan) beberapa derajat”. Kalau kita perhatikan ayat di atas dari segi sebab turunnya (sabab al-nuzul), ayat ini berkenaan dengan seorang wanita yang mengadu kepada Nabi saw. karena ia telah ditampar oleh suaminya. Rasulullah saw. bersabda: “Dia mesti dikisas (dibalas), maka turunlah ayat tersebut sebagai ketentuan dalam mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut, maka pulanglah ia serta tidak melaksanakan kisas. Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim bersumber dari alHasan. Ibn Abbas, seorang sahabat Nabi yang mendapatkan julukan penakwil alQur’an dalam tafsirnya Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, menafsirkan
6
Turats, Vol, 2, Januari 2006
kelebihan laki-laki atas perempuan dari segi akal, pembagian ghanimah (rampasan perang) dan waris di atas perempuan. Nampaknya tafsir-tafsir lain seperti Tafsir al-Qurthubi, al-Tabari, al-Razi dan sebagainya mempunyai penafsiran yang relatif tidak berbeda dengan Tafsir Ibn Kasir. Cukup mengherankan Syekh al-Maraghi, mantan Rektor al-Azhar itu, juga menafsirkan ayat di atas cenderung memihak kepada laki-laki. Ia mengatakan bahwa laki-laki menjadi pemimpin perempuan karena kelebihan yang dimiliki lakilaki di atas perempuan, yakni dalam hal nafkah. Adapun para penafsir modern semisal Maulana Muhammad Ali, dan Yusuf Ali berupaya menafsirkan ayat ini secara proporsional, yakni tidak memihak kepada laki-laki juga kepada perempuan. Menurut Maulana Muhammad Ali sebagaimana ditulis dalam tafsirnya The Holy Qur’an, Arabic Text, Translation and Commmentary, ayat al-rijal qawwamuna alan nisa, qoma-r-rojulu ‘ala-l-mar’ati artinya pria menanggung pemeliharaan atas wanita, dan menguasai perkaranya, dan menanggung urusannya, oleh sebab itu, pria disebut qowwam artinya yang memelihara. Sama seperti ungkapan qama bil yatimi yang artinya ia memelihara anak yatim. Jadi ayat di atas berarti kaum pria adalah yang menanggung pemeliharaan atas kaum wanita, dengan siapa yang Allah membuat sebagian mereka melebihi sebagian yang lain. Dalam hal istri berbuat nusyuz (serong), suami diizinkan menghukum istrinya namun tidak boleh sembarangan dan memperlakukan istrinya dengan baik. Menurut Imam Syafi’i, sebaiknya orang jangan menjatuhkan hukuman kepada istrinya. Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya The Holy Qur’an Translation and Commentary, mengatakan bahwa qawwam ialah seseorang yang berdiri teguh menghadapi urusan orang lain, melindungi segala kepentingannya serta menjaga segala urusannya, atau dapat juga ia berdiri teguh menghadapi pekerjaannya sendiri, mengurus segala perkara dengan tujuan yang sudah mantap. Karena itu, Yusuf Ali menerjemahkan ayat di atas, “laki-laki adalah pelindung dan bertanggung jawab terhadap perempuan (Men are the protectors and maintainers of women). Wallahu a’lam.
7
Turats, Vol, 2, Januari 2006 Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan: Sebuah Kajian Pemikiran Para Tokoh Filsafat Pendidikan Barat Rabiyanur Lubis & Yoyo Hambali Abstract: Artikel ini akan menjelaskan aliran-aliran filsafat pendidikan baik pengertian, tokoh dan praktis penerapannya dalam dunia pendidikan. Dari artikel ini dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan terdiri dari berbegai aliran dengan tokohnya masing-masing. Dari artikel ini pula diharapkan dapat diketahui aliran manakah yang sesuai dengan watak bangsa Indonesia dalam membangun dunia pendidikan.
A. ALIRAN NATIVISME (NATURALISME) Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Tokoh aliran ini adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof jerman, yang berpendapat bahwa hasil pendidikan dan perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak anak itu dilahirkan. Anak dilahirkan kedunia sudah mempunyai pembawaan dari orang tua maupun disekelilingnya, dan pembawaan itulah yang menentukan perkembangan dan hasil pendidikan. Lingkungan, termaksud tidak upaya tidak mempengaruhi perkembangan anak didik. Apabila seorang anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu pula sebaliknya. Karena dalam aliran ini dikenal dengan istilah pessimisme paedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan. Natur artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir. Aliran ini sama dengan aliran nativisme. Naturalisme yang dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau, John Locke bependapat bahwa pada hakekatnya semua anak manusia adalah baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang pencipta. Tetapi akhirnya rusak sewaktu berada di tangan manusia, oleh karena Jean Jaquest Rousseau Arthur menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah Schopenhauer dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya. Jean Jaquest Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik tidak perlu untuk memberikan hukuman, biarlah lam yang menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya. Dikutip dari : (Asnelly Ilyas, Prinsip-prinsip pendidikan anak dalam Islam, Penerbit Al bayan, bandung tahun 1997 halaman 64)
8
Turats, Vol, 2, Januari 2006
B. EMPIRISME Empire artinya pengalaman. Aliran empirisme berlawanan 1800 dengan aliran nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya. Dalam dunia pendidikan, pendapat empirisme dinamakan optimisme paedagogis, karena upaya pendidikan hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi perkembangan anak, sedangkan pembawaan tidak berpengaruh sama sekali. Tokoh aliran ini adalah John Locke, yang memandang bahwa anak yang dilahirkan itu ibaratnya meja lilin putih bersih yang masih kosong belum terisi tulisan apa-apa, karenanya aliran atau teori ini disebut juga Tabularasa, yang berarti meja lilin putih. (Dikutip dari : (Abu ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta tahun 1991 pada halaman 293) C. KONVERGENSI Aliran ini dipelopori oleh William Stern, seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan jerman yang berpendapat bahwa penmbawaan dan lingkungan keduanya menentukan perkembangan manusia, sehingga aliran ini merupakan kompromomi atau kombinasi dari nativisme dengan empirisme Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerja sama untuk mencapai suatu hasil. William Stern mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir itu merupakan petunjukpetunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan. Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat luas. Tenaga-tenaga dari luar dapat menolong tetapi bukanlah ia yang menyebabkan perkembangan itu, karena ini datangnya dari dalam yang mengandung dasar keaktifan dan tenaga pendorong. Sebagai contoh : anak dalam tahun pertama belajar mengoceh, baru kemudian becakap-cakap, dorongan dan bakat itu telah ada, di meniru suara-suara dari ibunya dan orang William Stern disekelilingnya. Ia meniru dan mendebgarkan dari kata-kata yang diucapkan kepadanya, bakat dan dorongan itu tidak akan berkembang jika tidak ada bantuan dari luar yang merangsangnya. Dengan demikian jika tidak ada bantuan suara suara dari luar atau kata-kata yang di dengarnya tidak mungkin anak tesebut bisa bercakap-cakap. D. ESENSIALISME Esesensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan Progresisvisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Menurut Esesensialisme, nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus tahun, dan di dalamnya telah teruji dalam gagasangagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.
9
Turats, Vol, 2, Januari 2006
Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Esesensialisme, yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut : 1) Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam jiwa; 2) Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia; 3) Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan, tidak pernah merupakan pemberian; 4) Esesensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah. Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori pendidikan yang diperlukan sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia, maka pertanyaan tersebut tidak ada lagi pada hari ini. Tokoh aliran Esensialisme adalah William C. Bagley lahir di Detroit. Ia memasuki Universitas Negeri Michigan, danUniversitas Wisconsin, dan menerima gelar Doktor dari Universitas Cornell tahun 1900. setelah mengajar di sekolah umum dan sekolah guru di Illinois dan mengajar di Universitas Illinois, dalam tahun 1917 ia mengajar di Sekolah Tinggi Guru (Teachers College) di Universitas Columbia selama lebih dari 20 tahun, dan pensiun dalam tahun 1940. Dalam perjalanan karirnya, ia menyunting Jurnal Asosiasi Pendidikan Nasional (Journal of the Nationa Education Assiation), dan penerbitan berkala serta menjabat sebagai Presiden Dewan Nasional (NEA’s Naitional Council of Education). Esesensialisme merupakan gerakan pendidikan yang bertumpu pada mazhab filsafat idealisme dan realisme. Meskipun kaum Idealisme dan kaum Realis berbeda pandangan filsafatnya, mereka sepaham bahwa: 1) Hakikat yang mereka anut memberi makna pendidikan bahwa anak harus menggunakan kebebasannya, dan ia memerlukan disiplin orang dewasa untuk membantu dirinya sebelum dia sendiri dapat mendisiplinkan dirinya; dan 2) Manusia dalam memilih suatu kebenaran untuk dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya mengandung makna pendidikan bahwa generasi muda perlu belajar untuk mengembangkan diri setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial. Menurut esensialisme, tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilanketerampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur ayng inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan. Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode-metode tradisional yang tepat. Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
10
Turats, Vol, 2, Januari 2006
Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik yang pokok. Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika. Kurikulum Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika, ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi pendidikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi yang ketat tentang disiplin tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar, dan pada saat yang sama membuat mereka menyadari dunia fisik yang mengitari mereka. Penguasaan fakta dan konsep-konsep pokok dan disiplin-disiplin yang inti adalah wajib. Siswa adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir. Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas. Guru berperanan sebagai sebuah contoh dalam pengawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan-gagasan. E. PERENIALISME Perennialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap gerakan Pendidikan Prigresivisme yang mengingkari supernatural. Perennialisme adalahgerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut. Robert M. Hutchins merangkum tugas pendidikan sebagai berikut: Pendidikan mengandung mengajar. Mengajar mengandung pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran, di mana pun adalah saqma. Karena itu pendidikan di mana pun seharusnya sama. Hutchins adalah juru bicara utama bagi filsafat kaum Perennialisme di Amerika dan sebuah semua kritik yang penting tentang praktek pendidikan, khususnya pendidikan di perguruan tinggi, selama paruh pertama abad 20. Ia merasakan kekacauan dalam pendidikan tinggi disebabkan oleh tiga kelompok utama dalam masyarakat, yaitu:1.) kecintaan pada uang; 2.) suatu konsep yang keliru tentang demokrasi, dan 3.) suatu gagasan yang keliru tentang kemajuan. Ia terutama menentang kecenderungan mengidentifikasi kemajuan dengan akumulasi yang tepat tentang informasi. Dalam pendekatan semacam ini, pengahargaan terhadap fakta secara logis mendorong pada pengajaran tentang fakta–tetapi ia beragumentasi bahwa fakta tidak selamanya berlaku, dan berdasarkan generasi geometris tentang fakta baru yang berkembang cepat, bagaimanakah usul kita menangani hal tersebut? Ia berpendapat bahwa akan jauh lebih berarti apabila mengutamakan belajar di sekolah dengan belajar pemikiran klasik dan intelektual, yang merupakan kekuatan dan hal yang penting dari akal pikiran manusia, Ketika menjadi Presiden Universitas Chicago (1929-1945), sebuah posisi yang diraihnya pada usia 30 tahun, Hutchins berbuat banyak hal untuk memajukan gerekan pendidikan liberal. Ia menghapuskan kelompok-kelompok persaudaraan, sepak bola, wajib hadir, dan sistem kredit. Ia merasa bahwa belajar untuk belajar itu sendiri dirusak oleh konsep universitas yang hanya mempersipakan mahasiswanya untuk bekerja. Penekanan pada kemajuan ini membuatnya sangat merendahkan pendidikan “Melatih” seorang anak muda hanya untuk melakukan suatu tugas yang
11
Turats, Vol, 2, Januari 2006
rendahan seperti: konsmetologogi, montir mobil, atau perbaikan TV, dan ini atas biaya suatu pendidikan, jumlah seluruhnya, hanya untuk merendahkan sifat manusia. Ia meyakini yang sebaliknya, bahwa universitas harus menyediakan suatu pendidikan liberal dan pelatihan praktis tersebut hendaknya terjadi di lembagalembaga teknis. Dalam masa menjadi presiden di Universitas Columbia, ia menulis dan memberikan kuliah. Ia mengunggulkan prestasi intelektual dan menegakkan perlunya melestarikan tradisi pemikiran Barat secara akademis. Dasar Filosofis. Orientasi pendidikan dari Perennialisme adalah Scholastisisme atau Neo-Thomisme, yang pada dasarnya memandang kenyataan sebagai sebuah dunia akal pikiran dan Tuhan, pengetahuan yang benar diperoleh melalui berpikir dan keimanan, dan kebaikan berdasarkan perbuatan rasional. Tujuan pendidikan adalah untuk membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena kebenaran-kebenaran tersebut universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai dengan sebaik-baiknya melalui: Latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran, dan latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan manusia spritual. Latihan mental dalam bentuk diskusi, analisis buku melalui pembcaan buku-buku tergolonmg karya-karya besar, buku-buku besar tentang peradaban Barat. Kurikulum berpusat pada mata pelajaran, dan cenderung menitikberatkan pada: sastra, matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah. Kurikulum adalah pendidikan liberal. Makhluk rasional yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia dunia biologis. Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegitan belajarmengajar di kelas. Guru hendaknya orang yang telah menguasai suatu cabang, seorang guru yang ahli (a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan. (Mudyahardjo, Redja, Pengantar Pendidikan, PT Raja Grafindo, Jakarta 2002). Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan, misalnya, idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dapositivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan
12
Turats, Vol, 2, Januari 2006
behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi- pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
13
Turats, Vol, 2, Januari 2006 Eksistensi Filsafat Pendidikan: Sebuah Pengantar Acep Mulyadi Abstraksi: Artikel iniakan menjelaskan pengertian, tujuan dan ruang lingkup, filsafat pendidikan, kedudukan dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lain, metode dan pendekatan, dan peranan filsafat pendidikan.
A. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN Di atas sudah dikemukakan pengertian filsafat. Pada kesempatan ini sebelum dijelaskan pengertian filsafat pendidikan akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa pengertian pendidikan. Secara etimologis pendidikan pendidikan berasal dari bahasa Inggris education, dalam bahasa Latin educere, yang artinya memasukkan sesuatu ilmu dari seorang kepada orang lain. Dalam bahasa Arab istilah yang sering dipakai untuk pengertian pendidikan adalah ta’lim, tarbiyah dan ta’dib yang berarti pengajaran atau pendidikan. Namun menurut Syeikh Naquib alAttas, istilah yang lebih tepat untuk pendidikan adalah ta’dib sebab artinya tidak sekedar mengajar dalam kaitan dengan aspek kognitif semata tetapi meliputi pula aspek-aspek lainnya terutama aspek akhlak, jiwa dan rohani. Namun yang lebih sering dipakai untuk pendidikan adalah kata tarbiyah. Kata tarbiyah berasal dari kata rabba yang berarti merawat, mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga, memperbaiaki mengembangkan dan sebagainya. Menurut Freeman But dalam bukunya Cultural History of Western Education, “pendidikan adalah proses perkembangan kekuatan manusia, bakat dan minatnya.” Menurut Stella van Patten dalam Introduction to Philosophy of Education, “pendidikan adalah proses perkembangan, pertumbuhan dan produksi interaksi (hubungan) antara individu dan lingkungan, fisik dan social sejak manusia lahir sampai saat datangnya kematian”. Ada beberapa definisi pendidikan sebagai berikut: Langeveld: Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan hidupnya sendiri. Pengaruh ini datangnya dari orang dewasa dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa. John Dewey: Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. J.J. Rousseau: Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi dibutuhkan pada masa dewasa. Driyarkara: Pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Carter V. Good: Pendidikan adalah seni, praktek, atau profesi sebagai pengajar atau ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan murid. Ahmad D. Marimba: Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Ki Hajar Dewantara: Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala
14
Turats, Vol, 2, Januari 2006
kekuatan kodrat yang ada pada anak itu, agar mereka sebagai mansuia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingitinggiynya. Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989: Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Ada berbagai cabang filsafat yang mana salah satunya adalah filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan filsafat yang membahas pendidikan menurut metode filsafat. Filsafat pendidikan menginginkan suatu pemahaman tentang pendidikan secara rasional, kritis, radikal, dan universal. Rasional dapat diterima oleh akal budi, kritis terbuka untuk dipersolakan kembali, radikal sampai keakarnya, dan universal kebenarannya dapat diteima oleh siapapun dan kapanpun. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam adalah filsafat yang membahas teoriteori pendidikan Islam secara rasional, kritis, dan radikal, untuk menemukan kebenaran yang universal. Filsafat pendidikan Islam juga merupakan kajian yang membahas pendidikan Islam menurut para ahli filsafat Islam dalam lingkungan komunitas (umat) Islam. Filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan, mulanya juga dari bidang tradisional filsafat seperti ontologi, etika, epistemologi, me dan pendekatan (filsafat spekulatif, preskriptif, dan / atau analitis) untuk menjawab pertanyaan mengenai kebijakan pendidikan, perkembangan manusia, dan teori kurikulum. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah studi filosofis tentang tujuan, proses, alam dan cita-cita pendidikan. Sebagai contoh, filsafat pendidikan mencakup hal berikut: Mempelajari apa yang dimaksud dengan mengasuh dan mendidik Mendalami dan mempelajari pengaplikasian nilai-nilai dan norma-norma lalu diterapkan melalui sistem pendidikan dan praktek pendidikan itu sendiri Mempelajari batas-batas dan legitimasi pendidikan sebagai disiplin akademis Mempelajari hubungan antara teori dan praktek pendidikan pada umumnya Filsafat pendidikan dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat mau pun pendidikan. Banyaknya cara dalam memahami pendidikan ditambah lagi dengan berbagai bidang dan pendekatan filsafat, membuat filsafat pendidikan tidak hanya menjadi bidang yang memiliki konteks sangat beragam, tetapi juga membuat filsafat pendidikan itu sendiri tidak mudah didefinisikan. Meskipun ada ketimpangan di sini, filsafat pendidikan tidak boleh digabungkan dengan teori pendidikan, alasannya tentu filsafat pendidikan tidak mendefinisikan secara  khusus karena teori pendidikan itu sendiri nantinya malah ditanyakan oleh filsafat Kalau teori pendidikan sama dengan filsafat pendidikan, nantinya bidang apa yang memverifikasi atau mengkritisi teori pendidikan? Soalnya ‘kan filsafat mempertanyakan segala teori dan berfungsi mensintesiskannya menjadi teori lebih baik. Meskipun filsuf di seluruh dunia telah mengajukan pertanyaan mengenai pendidikan selama ribuan tahun, tetapi sebagai disiplin akademis (bidang akademis di universitas) filsafat pendidikan sendiri merupakan ‘ilmu’ baru. Hebatnya lagi filsafat pendidikan merupakan bidang internasional yang telah mapan bekerja sama dengan departemen dan berbagai program di seluruh dunia. (Diterjemahkan dari Wikipedia di Philosophy of Education dan diedit dengan berbagai tambahan). B. TUJUAN FILSAFAT PENDIDIKAN
15
Turats, Vol, 2, Januari 2006
Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik. Mempelajari filsafat manusia dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, filsafat pendidikan berguna untuk mengrtahui berbagai aspek pendidikan, baik dari segi pengertian, tujuan, metode, kurikulum, dan sebagainya. Filsafat pendidikan juga berguna untuk mengetahui pemikiran para ahli filsafat tentang pendidikan. Secara praktis pemahaman tentang berbagai aspek pendidikan dan pemikiran para ahli filsafat dapat membantu kita untuk memecahkan berbagai problem kongkrit tentang pendidikan dalam masyarakat. Dengan metode filsafat juga diharapkan kita dapat berpikir dengan mempertimbangkan berabagai aspek (berpikir holistik) tidak berpikir secara parsial dan pada akhirnya kita dapat lebih bersikap dan bertindak dengan penuh kearifan (wisdom) dalam rangka membangun dunia dengan berbagai kebajikan demi mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Filsafat pendidikan menganalisis potensi-potensi yang dimiliki manusia, kemudian mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut semaksimal mungkin sehingga bherguna dalam kehidupan kongkrit. Filsafat pendidikan menganalisis masalah-masalah pendidikan dan memberikan informasi apakah proses pendidikan berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak. Dengan demikian, dapat diketahui kelebihan dan kelemahannya. Filsafat Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan konsep-konsep filosofis pendidikan, sehingga dapat menghasilkan teori-teori baru dalam ilmu pendidikan dan diharapkan pula dapat memperbaiki dan memperbaharui praktek dan pelaksanaan pendidikan. C. RUANG LINGKUP FILSAFAT PENDIDIKAN Dalam filsafat pendidikan dipelajari tentang pengertian filsafat pendidikan, metode, ruang lingkup, metode dan tujuan. Selain itu dipelajari juga tentang hakikat Tuhan, alam, dan manusia. Dalam kajian ini dipelajari pula pemikiran para ahli filsafat mengenai pengertian pendidikan, tujuan, kurikulum, metode, guru, peserta didik, dan lain-lain yang berkaitan dengan teori pendidikan. D. KEDUDUKAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN KAITANNYA DENGAN ILMU-ILMU LAIN Filsafat Pendidikan merupakan salah satu cabang saja dari filsafat yang tentu saja mempunyai kaitan dengan cabang-cabang filsafat lainnya seperti filsafat logika, filsafat politik, filsafat etika, filsafat agama dan lain-lain. Filsafat pendidikan
16
Turats, Vol, 2, Januari 2006
memerlukan cabang-cabang filsafat yang lain untuk membantu memecahkan persoalan tentang pendidikan. Kebutuhan filsafat pendidikan terhadap cabang filsafat yang lain, misalnya filsafat politik yang dibutuhkan oleh filsafat pendidikan untuk melihat perilaku manusia sebagai mahkluk politik (homo politicus). Demikian juga kaitan antara filsafat pendidikan dengan berbagai disiplin ilmu lainnya seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Psikologi, misalnya berkaitan dengan filsafat pendidikan karena psikologi membahas persoalan kejiwaan manusia yang dibutuhkan oleh filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan juga membutuhkan filsafat metafisika yang membahas masalah ketuhanan, membutuhkan filsafat alam, yang membahas masalah alam, dan membutuhkan filsafat manusia yang membahas hakikat manusia. Dengan demikian, filsafat pendidikan bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dan saling membutuhkan terhadap berbagai disiplin ilmu lainnya. E. METODE DAN PENDEKATAN FILSAFAT PENDIDIKAN Metode Filsafat Pendidikan Islam adalah sebagai berikut: 1) Metode spekulatif dan kontemplatif, yaitu berpikir secara mendalam dan dalam situasi tenang dan sunyi, untuk mendapatkan kebenaran tentang hakikat sesuatu yang dipikirkan berkaitan dengan masalah-masalah yang abstrak seperti Tuhan, alam dan manusia 2) Metode analisis, yaitu menggunakan bahasa untuk mengungkap pengertianpnegrtain atau konsep-konsep, misalnya konsep Tuahn, alam dan manusia. 3) Pendekatan rasional, empiris dan eksperimental. 4) Pendekatan integral atau holistik, yaitu pendekatan yang komprehensif atau terpadu, baik bersifat naqli, akli, dan imani. 5) Pendekatan epistemologis. Di dalam pendekatan epistemologis yang menjadi masalah ialah akar/kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan. Didalam usaha tersebut dikaji mengenai peranan pendidikan dan kemungkinan-kemungkinan pendidikan. Dari sudut pandang ini: Pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Proses pendidikan berkenaan objek dari proses tersebut ialah peserta-didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta-didik merupakan objek dari ilmu pendidikan. Selanjutnya ada pula yang melihat hakekat pendidikan di dalam adanya pola struktur hubungan antara subyek dan obyek yaitu antara pendidik dan peserta didik. Kelemahan pendekatan epistemologis mengenai hakekat pendidikan terletak pada lahirnya atau perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. 6) Pendekatan Ontologi/metafisik menekankan pada hakekat keberadaan pendidikan itu sendiri. Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Dalam pendekatan ini keberadaan peserta didik dan pendidik terlepas dari makna keberadaan manusia itu sendiri. Pendekatan ini didasari pada tulisan seorang filsuf ahli Metafisik Aristoteles dalam bukunya Metaphysics. Kedua jenis pendekatan mengenai hakekat pendidikan baik pendekatan ontologis maupun pendekatan metafisik keduanya mempunyai kebenaran masingmasing. Ilmu pendidikan sebagai ilmu tentunya mempunyai objek, metodologi serta analisis proses pendidikan itu. Namun demikian objek ilmu pendidikan atau subjek
17
Turats, Vol, 2, Januari 2006
ilmu pendidikan adalah anak manusia sehingga tidak terlepas dari pertanyaan mengenai hakikat manusia. Pendekatan-pendekatan mengenai hakekat pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Untuk menelusuri berbagai teori tersebut perlu kita sepakati, seperti yang telah diuraikan tadibahwa pendidikan itu bukan hanya suatu kata benda (noun) tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja (verb). Pengertian bahwa pendidikan merupakan suatu sekaligus hasil (noun) dan suatu proses (verb) adalah penting sekali untuk mengerti hakekat pendidikan tersebut. Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :Pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistic integrative. Pengelompokan ini tidak bersifat hitam-putih tetapi sekedar menekankan garis besar dari teri-teori tersebut dan saling berdekatan, mengisi dan melengkapi. Oleh sebab itu, berbagai teori tersebut mempunyai kesamaan di dalam memberikan jawaban terhadap hakikat pendidikan ialah bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan. F.
PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN Peranan Filsafat Pendidikan sebagai berikut: Filsafat Pendidikan, menunjukkan problema-problema yang dihadapi oleh pendidikan, sebagai hasil dari pemikiran yang mendalam, dan berusaha untuk memahami duduk masalahnya. Dengan analisa filsafat, filsafat pendidikan bisa menunjukkan alternatif-alternatif pemecahan masalahnya. Filsafat Pendidikan Islam memberikan pandangan tertentu tentang manusia. Pandangan tentang hakikat manusia tersebut berkaitan dengan tujuan hidup manusia dan sekaligus juga merupakan tujuan pendidikan. Filsafat pendidikan Islam membantu menjabarkan tujuan umum pendidikan menjadi tujuan khusus, opereasional dan praktis.