Dimensi Kemaslahatan dalam Larangan Jual Beli Gharar Suprihatin Abstract: This article explain about maslahah in the forbidden of gharar (risk). Gharar means doubtfulness or uncertainty as in the case of not knowing whether something will take place or not; this excludes the unknown. Gharar also means ignorance and this can be when the subject matter of sale is unknown. Gharar is the risk where the probability of existence and the probability non-existence have the same value”. There is a consensus among interpreters of the Qur’an that Gharar is vanity (al-bathil). Gharar is unlawful because it is prohibited by Sharia. So, Gharar like maysir (gambling) is not permitted or forbidden by Sharia. The forbidden of Gharar besides is based on Sharia, also is based on maslahah. Some jurists Moslems said that Gharar is not permitted by Islamic jurisprudence (fiqh) because to avoid dispute and gambling. The forbidden of Gharar also is based on belief (iman) to God (Allah) as a Law Giver (al-Hakim) and goodness in the transaction of salling.
Pendahuluan Islam adalah agama yang selalu memperhatikan berbagai maslahat dan menghilangkan segala bentuk madharat di dunia dan di akhirat. Dalam pembahasan ushul fikih, kemaslahatan memiliki relevansi dengan maqashid asySyar’i. Hal ini dapat dilihat dari pendapat asy-Syatibi, yang menyatakan bahwa kemaslahatan ummat merupakan tujuan utama ditetapkannya syariat. 1 Beberapa ayat yang memberikan legitimasi pada kemaslahatan sebagai ma1
Asfari Jaya Abadi, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, Rajagrafindo Persada , 1996), hlm. 64
74
qashid asy-Syar’i diantaranya adalah surat al-Maidah ayat 6 dan an-Nisa’ ayat 165 sebagai berikut :
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, teta-pi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.s. Al-Maidah [5]:6).
“(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.s. An Nisa [4]:165).
Dari ayat-ayat di atas Nampak jelas bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan bagi ummatnya, dalam hal ini termasuk hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan jual beli. Al-
75
Qur’an memberikan perhatian pada jual beli dalam bentuk kebolehan dan larangan. Kebolehan jual beli dapat kita lihat dalam surat surat al-Baqarah ayat 275 sebagai berikut :
76
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orangorang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Sementara larangan jual beli diantaranya ada pada surat alJumu’ah ayat 9 sebagai berikut:
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui”.
Larangan jual beli tidak saja dikaitkan dengan waktu ibadah tetapi diantaranya juga menyangkut larangan jual beli yang mengandung unsur gharar. Hal ini dijelaskan dalam dalam sebuah hadits sebagai berikut: 2 ﻧﮭﻲ رﺳﻮﻻﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ: ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺑﯿﻊ اﻟﺤﺼﺎة و ﻋﻦ ﺑﯿﻊ اﻟﻐﺮر Diriwayatkan dari Abi Hurairah Bahwa Rasulullah saw melarang transaksi al-Hashah (dengan melempar batu) dan transaksi algharar. Larangan praktik jual beli ghoror di atas jika diukur dengan teori maqashid al-syariah, dida2
Muhammad Akram Khan, Ajaran Nabi Muhammad tentang Ekonomi, Kumpulan Hadits-Hadits Pilihan Tentang Ekonomi, (Jakarta, BMI, tth), hlm. 177
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
lamnya tentu mengandung dimensi kemaslahatan. Namun kemaslahatan seperti apa yang dikehendaki dalam larangan jual beli gharar, kami belum banyak mengetahuinya. Oleh karena hal itu dalam makalah ini kami memberanikan diri mengkaji “Dimensi Kemaslahatan yang terdapat dalam larangan jual beli gharar”. Landasan Teori 1. Garis Besar konsep Kemaslahatan Kata maslahah ()ﻣﺼﻠﺤﺔ secara etimologi berasal dari kata اﺻﻼ ﺣﺎ \ ﻣﺼﻠﺤﺔ, ﯾﺼﻠﺢ, اﺻﻠﺢyang berarti mendatangkan kebaikan.3 Di dalam al-Qur’an banyak terdapat perkataan yang menggunakan akar kata ini, diantaranya ialah dalam surat alBaqarah ayat 220 sebagai berikut: 3
Ahmad hlm. 884
Warson
Munawwir,
77
“Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pengertian maslahat secara terminology adalah mengambil manfaat dan menolak yang menimbulkan madorot. 4 Maslahat merupakan tujuan yang dikehendaki oleh Allah Swt. melalui hukum-hukum yang ditetapkanNya dalam al-Qur’an dan al4
Abdul Wahab Kholaf, Mashodir at-Tasyri’ fi ma la nashsha fihi, Cet III (Kuwait : Dar al-Qalam, 1972), hlm. 98
78
Hadis. Tujuan tersebut mencakup 6 (enam) hal pokok, yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal budi, perlindungan terhadap keturunan, perlindungan terhadap kehormatan diri, dan perlindungan terhadap harta kekayaan. 5 Ditinjau dari adanya kebutuhan atau kepentingan manusia, maslahat terdiri dari beberapa ting-katan, yakni darûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Sesuatu yang mampu menjamin eksistensi masing-masing dari keenam tujuan pokok di atas merupakan maslahat pada tingkat darûriyyât. Sesuatu yang mampu memberi kemudahan dan dukungan bagi penjaminan eksistensi masing-masing dari keenam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat hâjiyyât. Sesuatu yang mampu memberi keindahan, kesempurnaan, keoptimalan bagi penjaminan eksistensi masing-masing dari keenam hal pokok itu me-
5
Abu Hamid ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul, Cet I Jilid I (Kairo, Matba’ah Mustafa Muhammad, 1938). hlm.140
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
rupakan maslahat pada tingkat tahsîniyyât. 6 Di dalam maslahat itu terkandung 2 (dua) unsur yang bersifat simultan, yakni dapat mewujudkan sesuatu yang bermanfaat/baik atau yang membawa kemanfaatan/kebaikan, dan dapat mencegah serta menghilangkan sesuatu yang negatifdestruktif atau yang membawa kerusakan/mudarat. Kemaslahatan juga menyangkut kepentingan individual/terbatas (al-maslahah al-khâssah) dan kepentingan umum/masyarakat luas (al-maslahah al-‘âmmah), dengan pemberian prioritas kepada kepentingan umum/masyarakat luas. Disamping itu, kemaslahatan juga memiliki tiga dimensi. Pertama, kemaslahatan yang legalitasnya diakui oleh syara’. Kedua, maslahah yang legalitasnya jelas ditolak oleh syara’. ketiga, maslahah yang legalitasnya didiamkan oleh syara’.7 Dimensi kemasla6
Jalal al-Din Abd ar-Rahman, alMasholih al-Mursalah wa Makanatiha fi al-Tasyri’ (ttp: Dar al-Kitab alJamiah, 1983) hlm. 18-23 7 Jalal al-Din Abd ar-Rahman, alMasolih al-Mursalah wa Makanatiha
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
hatan yang memiliki legalitas dari nash, terdapat pada kebolehan dan larangan jual beli. Secara implementatif, terdapat tiga cara dalam mengungkap kemaslahatan yang terdapat dalam maqashid asy-Syar’i.8 Pertama, melakukan penelaahan pada lafal al-amr dan al-Nahy yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits secara jelas sebelum dikaitkan dengan permaslahanpermasalahan yang lain. Cara pertama ini memerlukan kepatuhan pada ketentuan yang ada dalam nas. Kedua, dengan cara penelaahan illah al-amr dan alnahy. Ketiga, dengan cara analisis terhadap sikap diam al-syaari’ dari pensyariatan sesuatu. Dengan demikian, upaya penetapan maslahat harus mengacu kepada ketentuan nas sehingga tidak terjadi penetapan hukum maslahat yang kontradiktif dengan nas.
fi al-Tasyri’ (ttp, Dar al-Kitab alJami’ah, 1983) hlm. 14 8 Assafri jaya Bakri. Konsep Maqashid asy-Syar’i Menurut al-Syatibi, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1996), hlm. 92-103
79
2. Garis Besar Konsep Gharar Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Gharar Dalam kata gharar terdapat kontasi adanya sesuatu yang membahayakan dalam suatu perbuatan bagi manusia. Para Ulama sepakat bahwa dalam istilah gharar terdapat sesatu yang tidak pasti atau spekulatif dalam menerima suatu konsekuaensi, utamanya dalam hal jual beli. Adanya unsur bahaya dan tidak adanya kejelasan konsekuensi inilah yang menjadikan alasan adanya keharaman gharar dalam jual beli. Sebab dalam jual beli harus terjadi tukar menukar harta dan diakhiri dengan adanya pemindahan hak milik secara sukarela. Situasi kerelaan akan terjadi jika masing-masing pihak mendapatkan apa yang diinginkannya dengan syarat atau pun tidak. Gharar secara bahasa berarti khatr9(resiko, bahaya). Gharar dalam terminologi para
ulama fiqh memiliki beragam difinisi. 10 Gharar yang meliputi dalam hal yang tidak diketahui pencapaian tujuandan juga atas sesuatu yang majhul (tidak diketahui). Contoh dari definisi ini adalah yang dipaparkan oleh Imam Sarkhasi: “gharar adalah sesuatu yang akibatnya tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh. Menurut Sarakhsi :Gharar terjadi dimana konsekuensi (dari sebuah transaksi) tidak diketahhui Gharar dibatasi dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui), dan tidak termasuk di dalamnya unsur keraguan dalam pencapaiannya. Definisi ini adalah pendapat murni mazhab Dhahiri. Ibn Hazm mengatakan “unsur gharar dalam transaksi bisnis jual beli adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pembeli apa yang ia beli dan penjual apa yang ia jual. Gharar dikategorikan dan dibatasi terhadap sesuatu yang tidak dapat diketahui antara 10
9
Attabik Ali dan Ahmad Zahdi Muhdhor, Kamus Kontemporer ArabIndonesia (Yogyakarta, Pondok Pesantren Krapyak, 1999) h. 1347
80
Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fikih, Transaksi dan Keuangan, Terjemahan Hendri Tanjung, ( Bogor, UIKA, 2010) hlm. 176178
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
tercapai dan tidaknya suatu tujuan, Seperti definisi yang dipaparkan oleh Ibn Abidin yaitu, “gharar adalah keraguan atas wujud fisik dari obyek transaksi”. Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserahterimakan. Adapun larangan jual beli gharar disandarakan pada hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut : 11 ﻧﮭﻲ رﺳﻮﻻﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ: ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺑﯿﻊ اﻟﺤﺼﺎة و ﻋﻦ ﺑﯿﻊ اﻟﻐﺮر “Diriwayatkan dari Abi Hurairah Bahwa Rasulullah saw melarang transaksi al-Hashoh (dengan melempar batu) dan transaksi algharar” Hadits di atas diperkuat dengan hadits lain yang berbunyi Nabi Saw bersabda: “Janganlah
11
Muhammad Akram Khan, Ajaran Nabi Muhammad tentang Ekonomi, Kumpulan Hadits-Hadits Pilihan Tentang Ekonomi, (Jakarta, BMI, tth), hlm. 177
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
menjual ikan yang ada di laut, karena itu merupakan gharar”. 12 Dari hadits di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam jual beli gharar terdapat empat resiko dan ketidakpastian yaitu: 13(1) Judi dan spekulasi ini terdapat dalam jual beli yang ditentukan oleh jatuhnya lemparan kerikil; (2) hasil yang tidak menentu, ini dapat dilihat pada transaksi seperti jual beli ikan di dalam laut; (3) keuntungan mendatang yang tidak diketahui; dan (4) ketidaktelitian dalam jual beli. Berdasarkan pada hadits tentang larangan gharar di atas, para ulama telah menyusun kaidahkaidah fikih sebagai landasan untuk menghindari terjadinya jual beli gharar. Di antara kaidah tersebut adalah : 14 اﻟﺒﯿﻊ ﻣﺎ ﻟﯿﺲ ﻋﻨﺪ اﻻ ﻧﺴﺎن ﻻ ﯾﺠﻮ ز ”Seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang tidak dimilikinya”.
12
Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fikih, Transaksi dan Keuangan, Terjemahan Hendri Tanjung, ( Bogor, UIKA, 2010), hlm. 178 13 Muhammad Tahir Mansoori, hlm. 179 14 Muhammad Tahir Mansoori, hlm. 180–188
81
اﻟﻐﺮر ﯾﺒﻄﻞ ﻋﻘﻮد اﻟﻤﻌﺎوﺿﺎت وﻻ ﯾﺒﻄﻞ ﻋﻘﻮد اﻟﺘﺒﺮ ﻋﺎ ت “Gharar membatalkan aqad yang mengandung akad yang bersifat transaksi tijari dan tidak membatalkan aqad tabarru’”. 2.Bentuk-Bentuk Gharar dalam Jual Beli Bentuk-Bentuk jual beli gharar telah diterangkan oleh Ibn Rusyd diantaranya adalah sebagai berikut : a. . Gharar pada jual beli yang ditentukan syara’ 1. Bai’ataini fii Ba’iah. Rasulullah melarang melakukan dua kesepakatan dalam satu transaksi (bai’ataini fii ba’iah). Para ulama ahli fiqh sepakat dengan hadis ini secara umum dan mereka melarang seseorang untuk mengadakan dua transaksi dalam satu kesepakatan. Diantara hadis tersebut adalah yang diriwayatkan oleh Ibn Umar Ra., Ibn Mas’ud ra., dan Abu Hurairah ra. Hadits tersebut adalah ان رﺳﻮ ل اﷲ ص م ﻧﮭﻲ ﻋﻦ ﺑﯿﻌﺘﯿﻦ (ﻓﻲ ﺑﯿﻌﺔ )اﺧﺮﺟﮫ اﻟﺘﺮ ﻣﺪ واﻟﻨﺴﺎئ “Sesungguhnya Rasulullah saw. Melarang dua penjualan dalam satu penjualan) ."HR. Tirmidzi dan al-Nasa’i)
82
2. Jual beli hewan dalam kandungan ﻧﮭﯿﮫ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺑﯿﻊ ﺣﺒﻞ اﻟﺤﺒﻠﮫ ”Larangan Nabi Saw terhadap jual beli kandungan hewan yang akan mengandung” b. Jual Beli yang Didiamkan syara’ Jual beli yang didimakan syara yang pernah di bahas oleh ulama diantaranya adalah 1. Jual beli Barang yang Tidak ada Menurut Imam Syafi’i praktik jual beli yang tidak diketahui barangnya diharamkan karena mengandung penipuan besar. Imam lainnya yaitu Imam Malik membolehkan jual beli yang tidak ada barangnya sepanjang sifatsifat barang yang akan dijual diketahui oleh pembelinya. Sementara Imam Abu Hanifah membolehkan jual beli yang tidak ada barngnya dengan syarat disertai dengan khiyar ru’yah. Disamping itu beliau juga menyandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul Musayyab sebagai berikut : وددﻧﺎ ان: ﻗﺎل اﺻﺤﺐ اﻟﻨﺒﻲ ص م ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ ﻋﻔﺎن و ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮف ﺗﺒﺎ , ﯾﻌﺎ ﺣﺘﻲ ﻧﻌﻠﻢ اﯾﮭﻤﺎ اﻋﻈﻢ ﺟﺪا ﻓﻲ اﻟﺘﺠﺎر
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
ﻓﺎﺷﺘﺮي ﻋﺒﺪاﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﻮف ﻣﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ ﻋﻔﺎن ﻓﺮﺳﺎ ﺑﺎرض ﻟﮫ اﺧﺮي ﺑﺎرﺑﻌﯿﻦ اﻟﻔﺎ ھﻮ وﻓﯿﮫ ﺑﯿﻊ اﻟﻐﺎﺋﺐ,ارﺑﻌﺔ اﻻف ﻓﺪﻛﺮ ﺗﻤﺎم اﻟﺨﺒﺮ ﻣﻄﻠﻘﺎ “Beberapa Sahabat Nabi Saw berkata: Kami ingin agar Utsman bin Affan Abdurrahman bin Auf dan saling berjual beli sehingga kami bias tahu siapa sebenarnya di antara keduanya yang jauh lebih besar dagangannya. Maka Abdur-rahman bin Auf membeli dari Utsman bin Affan kuda yang ber-ada di tanahnya yang lain seharga 40.000 dirham atau 4000 dinar. Kemudian ia (Ibnul Musayyab) me-nyebut berita itu selengkapnya. Dalam cerita ini mengandung jual beli ghaib secara mutlak (barang dagangannya tidak ada)”. 2. Jual Beli dengan Penyerahan Barang di Kemudian Hari Merujuk pendapat Ibn Rusyd para fuqaha telah bersepakat bahwa penjualan barang hingga masa tertentu tidak diperbolehkan. Analisis Dimensi Kemaslahatan Dalam Larangan Jual Beli Ghoror Maslahah memiliki posisi sentral dalam Islam. Begitu pentingnya maslahah, seorang ulama
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
besar Jamal al-Bana mengutip satu kaidah yang berbunyi, “Tuhan tidak akan menganjurkan sesuatu, kecuali didalamnya mengandung kemaslahatan. 15 Dengan demikian apapun bentuk anjuran, apakah yang bersifat perintah ataupun larangan memiliki kandungan mas-lahat. Begitu juga dalam larangan jual beli gharar yang terdapat dalam hadits yang pernah di bahas sebelumnya dimana mengandung banyak kemudaratan dalam bentuk spekulasi, ketidakpastian dan ketidak telitian dalam jual beli. Terungkapnya kemudaratan dalam larangan jual beli dapat dipahami sebaliknya yaitu adanya kandungan maslahat dalam larangan jual beli gharar. Penentuan adanya kemaslahatan dalam jual beli gharar memiliki dimensi kemaslahatan yang diakui oleh syara (al-mashlahah mu’tabarah). Berbagai kemaslahatan ditinggalkannya jual beli gharar sudah diuraikan dalam nash, baik kemashlahatan yang terkandung dalam 15
Jamal al-Bana, Manifesto Fikih Redefinisi dan Reposisi Sunnah, dan Baru Jilid 3, terjemahan Hasibulah Satrawi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), hlm.62.
83
nash larang jual beli ghoror itu sendiri maupun kemaslahatan yang didapat melalui illah hokum yang terdapat dalam nash larangan jual beli. Ditinjau dari sisi bentuk lafal hadits larangan jual beli gharar yang bersifat muhkam (kokoh) 16 dan muqayyad (keadaan yang asli dan tidak terpengaruh oleh hal lain), menunjukkan bahwa ketidakbolehan larangan jual beli gharar bersifat pasti dan tidak boleh dilanggar. Namun dalil larangan jual beli gharar ini terdapat pembatasnya (muqayyad).17 Hal ini sebagaimana dijelaskan dengan ketentuan yang membolehkan menghadiahkan buahbuahan sebelum manfaatnya dapat terbukti. Hal ini dibolehkan dengan alasan praktik gharar dalam tabarru apabila tidak ber16
Muhkam adalah suatu lafal yang dalalhnya menunjukkan arti yang jelas dan terang, sehingga tidak memerlukan penafsiran dan ta’wil, Ahmad Abdul Majid, Ushul Fikih, hlm. 174. 17 Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya namun dibatasi oleh sesuatu hal dari batas-batas tertentu. Ahmad Abdul Majid, hlm 150
84
hasil mendapatkan barang yang dijanjikan, tidak menimbulkan kerugian karena tidak terdapat iwad apapun untuk mendapatkannya. Sebaliknya gharar dalam akad tijari yang mem-berikan akibat membayar harga atas barang tidak diperbolehkan karena dapat mengakibatkan kerugian.18 Disamping mengandung unsur larangan, hadits tentang larangan jual beli gharar juga menyiratkan adanya perintah untuk melakukan hal yang sebaliknya, yaitu jual beli yang bersifat pasti. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fikih yang berbunyi sebagai berikut :19 اﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ ﺷﻲء اﻣﺮ ﺑﻀﺪه ”Melarang sesuatu perbuatan itu, mengandung ketentuan perintah melakukan kebalikannya”. Dalam hal ini, karena larangan goror bersifat muhkam dan mutlak maka hukumnya sesuai dengan kemuhkaman dan kemuqayyadannya itu sendiri. Dengan demikian keimanan pada Allah Swt. dibuktikan dengan 18
Muhammad Tahir Mansoori, h. 188-190 19 Ahmad Abdul Majid, Mata Kuliah ushul Fikih, (Pasuruan,: Garoeda Buana Indah, 1994), hlm. 198
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
melaksanakan larangan dalam hadits ini dan melakukan jual beli yang sebaliknya. Manfaat atau masla-hah dilaksanakannya larangan jual beli gharar adalah adanya sikap iman pada Allah Swt. Dan tidak adanya kontradiksi antara aqidah dengan muamalah. Kemaslahatan larangan jual beli gharar juga dapat ditentukan dengan menganalisis illah20 hukum yang terdapat dalam hadist yang melarang menjual ikan di laut yaitu adanya sifat ketidak pastian dalam bertransaksi. Ketidakpastian dalam bertransaksi mengandung elemen bermain-main. Hal ini bertolak belakang dengan karakter jual beli menurut fikih yang bersifat pasti dengan adanya konsekuensi perpindahan hak kepemilikan. Dengan demikian adanya unsur ketidakpastian dalam jual beli bersifat bathil. Allah Swt. sendiri sangat mengecam perbuatan bermain-main dalam kebatilan. Hal ini dapat kita lihat dalam surat ath-Thuur ayat 11-13
20
llah adalah segala kemaslahatan yang bergantung pada segala perintah dan segala kerusakan yang bergantung pada larangan, H. Ahmad Madjid, hlm. 33
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
“Maka Kecelakaan besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebathilan, Pada hari mereka didorong ke neraka Jahannam dengan sekuat- kuatnya”. Seiring dengan dikecamnya tindakan bermain-main dalam kebatilan, Allah Swt memerintahkan adanya kepastian dalam bertransaksi. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 35 dan surat al-An’am ayat 152 sebagai berikut :
85
”Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
86
dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
Dengan demikian, adanya illah dalam bentuk sifat ketidakpastian dalam jual beli gharar yang mengandung adanya elemen bermain-main dalam kebatilan menghendaki adanya sifat kepastian dalam bertransaksi sebagai suatu kemaslahatan. Sifat pasti dalam jual beli ini meliputi, kepastian dalam mengukur nilai-nilai, pelaku, aqad, objek, harga dan dasar hokum dari jual beli yang sesuai dengan syariat. Nilai-nilai atau prinsip jual beli menunjuk pada pengertian tentang berbagai hal yang harus dijadikan patokan yang menentukan kesesuaian jual beli dengan nilai-nilai Islam terutama dalam fase proses jual beli yang pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut merupakan ciri dari hakikat jual beli itu sendiri. Esensi dari jual beli menurut Islam adalah terjadinya proses penentuan niat atau
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
motivasi jual beli, sikap manusia terhadap jual beli dan penentuan akad jual beli. Gambar 1. Komponen Jual Beli Menurut Islam
.
Komponen perilaku di atas menjadi patokan dalam merumuskan prinsip-prinsip jual beli. Adapun prinsip-prinsip jual beli menurut Islam yang dapat dikembangkan adalah : 1. Kerjasama dan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
87
syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekalikali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalanghalangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”.
2. Kejujuran dalam berjual beli
88
“Sesungguhnya
yang mengadaadakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta”. ﻟﺘﺎ ﺟﺮ اﻟﺼﺪوق اﻻﻣﯿﻦ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﯿﯿﻦ واﻟﺼﺪﯾﻘﯿﻦ واﻟﺸﮭﺪاء “Pedang yang jujur dan terpercaya itu sejajar dengan para nabi, para siddiqin dan para syuhada”
3. Kerelaan dalam jual beli
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. 4.Pentingnya administrasi dalam jual beli tidak tunai
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
89
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
90
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
5. Kepatuhan pada syariat Allah ”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Dalam Q.s. An-Nisa: 65 ditegaskan: ”Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu”. Adapun kepastian pelaku, akad, obyek dan harga dalam jual
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
beli meliputi terdapat dalam rukun dan syarat jual beli. Dalam standar kajian fikih, untuk mencapai keabsahan suatu aktivitas, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Adapun rukun jual beli yaitu : 21 1. Al-Muta’aqidain, dalam hal ini syarat orang yang melakukan aqad adalah berakal dan orang yang berbeda. 2. Sighat ijab dan qabul. Adapun syarat ijab dan qabul yaitu sighat antara ijab dan qabul harus sesuai maksudnya , dan dan dilakukan dalam satu majlis. 3. Ada barang yang diperjual belikan. Syarat barang yang diperjual belikan meliputi: a. Barang itu ada b. Bersifat halal dan dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia c. Milik seseorang d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau sesuai dengan kesepakatan. 4. Ada nilai tukar pengganti barang. Syarat yang harus terpenuhi adalah :
21
Harun nasrun, hlm. 118
91
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. b. Jenis uang yang digunakan harus jelas c. Boleh diserahkan pada waktu akad. Dasar hukum jual beli pada dasarnya adalah boleh. Sebagai dasar tersebut, dapat dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 sebagai berikut: وَأَﺣَﻞﱠ اﻟﻠﱠﮫُ اﻟْﺒَﯿْﻊَ وَﺣَﺮﱠمَ اﻟﺮﱢﺑَﺎ “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”. Disamping itu Rasul juga memperkuat kebolehan jual beli dalam satu hadits yang menjelaskan ﺳﺌﻞ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ اي اﻟﻜﺴﺐ اﻃﯿﺐ؟ ﻓﻘﺎل اﻣﻞ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﯿﺪه وﻛﻞ ﺑﯿﻊ ﻣﺒﺮور ”Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat mengenai usaha apa yang paling baik. Rasulullah waktu itu menjawab : Usaha yang dilakukan tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang baik.” Pada ayat lain Allah swt. berfirman dengan memberikan syarat keadaan jula beli dalam keadaan. Hal ini nampak dijelaskan dalam QS. An-Nisa (4): 29.
92
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu …” Syarat adanya dasar hukum kebolehan jual beli dalam keadaan rela membawa para fuqaha merumuskan ketentuan khiyar dalam jual beli. Sebagai aktivitas yang mengandung resiko, Islam memandang perlu untuk memberikan perlindungan terhadap hak pelaku jual beli dalam bentuk pemberian khiyar sebagai wujud kerelaan. Hal ini selaras dengan semangat maqashid asy-syar’I yaitu mewujudkan kemaslahatan. Pengertian khiyar sendiri adalah :
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksankan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.” Adapun jenis-jenis khiyar adalah sebagai berikut : 1. Khiyar al-Majlis. Khiyar majlis adalah hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan. 2. Khiyar at-Ta’yin. Khiyar ta’yin adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. 3. Khiyar asy-Syarth. Khiyar asy-Syarth adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama masih dalam waktu tenggang waktu yang ditentukan. 4. Khiyar al-Aib. Khiyar al-Aib adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjualbelikan.
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
5. Khiyar ar-Ru’yah. Khiyar ar-Ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung Kesimpulan Setelah mengkaji konsep maslahah dan konsep gharar, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kemaslahatan yang terkandung dalam larangan jual beli ghoror memiliki dimensi kemaslahatan mu’tabarah (kemaslahatan yang diakui oleh syara’) bukan kemaslahatan yang ditolak ataupun yang didiamkan. 2. Bentuk-bentuk kemaslahatan dalam larangan jual beli gharar meliputi : a. Kemaslahatan dalam bentuk keimanan pada Allah Swt. Dan tidak adanya kontradiksi (sifat b. selaras) antara aqidah dengan muamalah. Hal ini terlihat dari sifat lafal larangan dalam jual beli gharar yang bersifat muhkam dan mutlak dan harus dipatuhi. c. Kemaslahatan dalam bentuk adanya keharusan kepastian
93
secara kuantitas maupun kualitas dalam prinsip, dasar hukum, pelaku, akad,obyek dan harga obyek jual beli. Elemen kepastian dalam jual beli selaras dengan prinsip kerelaan dalam jual beli.
94
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
Maslahah, Vol.1, No. 1, Juli 2010
95