RASIONALITAS PENERAPAN KHIYAR DALAM JUAL BELI ISLAM Baiq Elbadriati Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram Email:
[email protected] Abstrak Khiyar merupakan hak pilih bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi jual beli dimana antara pihak penjual dan pihak pembeli sama-sama memiliki hak pilih untuk menentukan apakah mereka benar-benar akan membeli atau menjual, membatalkan dan atau menentukan pilihan di antara barang-barang yang ditawarkan. Khiyar ini dilandasi kepada dua sumber, yaitu pertama kesepakatan antara pihak yang menyelenggarakan akad seperti khiyar syarat dan ta’yin, kedua syara’ seperti khiyar majlis, ru’yah dan ‘aib. Konsep khiyar ini merupakan cerminan dari prinsip kebebasan semua pihak dalam melakukan transaksi yang dilandasi oleh tanggung jawab. Pengaturan masalah khiyar ini dalam konsep Islam, adalah untuk memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menimbang berdasarkan pengamatan langsung ataupun berdasarkan pertimbangan rasional sebelum memberikan keputusan final dalam sebuah transaksi. Khiyar dalam Islam mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan hak. Tulisan ini akan mengelaborasi lebih jauh konsep khiyar dalam transaksi Islami dan melihat bagaimana rasionalitas yang mendasarinya. Kata kunci: khiyar, keadilan, kesetaraan
Pendahuluan Filsafat merupakan orientasi dasar dari setiap ilmu, tidak terkecuali ilmu ekonomi. Filsafat ekonomi merupakan prinsip dasar sistem yang dibangun menurut suatu doktrin kehidupan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan, sebagai pedoman nilai-nilai dan pandangan tentang kegiatan ekonomi.1
Bertolak dari filsafat sistem ekonomi ini dapat diturunkan nilai-nilai dasar yang akan membangun kerangka sosial. Tiga asas pokok filsafat ekonomi Islam yang merupakan orientasi dasar dalam ilmu ekonomi, yaitu:2
Ahmad Muflih Saefudin, ”Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dengan Kapitalisme dan Marxisme”, dalam Wawasan Islam dan Ekonomi;
Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Lembaga Penerbit FUEI, 1997), 126-127
1
Iqtishaduna
2
Ibid, 127-129 Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 17
Dalam dunia ini semua harta dan sumber-sumber kekaayaan alam adalah milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya sebagaimana dalam fir mannya “Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan semua yang ada di bumi, semua yang ada diantara keduanya dan apa yang di bawah tanah”.3 Iman kepada hari pengadilan (kiamat), akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan aktifitas ekonomi tentu akan mempertimbangkan konsekwensi yang akan di terima pada hari kemudian. Segala yang ada di bumi ini diperuntukkan untuk manusia sehingga ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam memanfaatkan sumber alam utuk kemakmuran hidup di dunia. Mempunyai hak dan kewajiban, memberikan gambaran bahwa semua manusia adalah sama, tidak berkelaskelas yang membedakannya hanyalah taqwa. Implikasi dari doktrin-doktrin tersebut melahirkan nilai-nilai dasar yang dijadikan sebagai konstruksi sosial dan tingkah laku sistem yaitu terjalinnya hubungan persamaan dan persaudaraan, saling membantu, kerjasama dan saling berbuat keadilan dalam kegiatan ekonomi. Keadilan harus diterapkan disemua fase kehidupan manusia. Keadilan dalam produksi, konsumsi dan distribusi merupakan aransemen efisiensi dan memberantas kezaliman dan 3
QS. Thaha: 6
18 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
penindasan apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri yang melampaui batas yang ditetapkan dan bahkan sampai membiarkannya merampas hak orang lain Nilai dasar inilah yang hendak dicapai dalam al-khiyar. Khiyar menurut bahasa bermakna pilihan.4 Menurut Wahbah Zuhaili, al-khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati.5Dengan kata lain, khiyar adalah transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli yang memiliki pilihan untuk menentukan apakah mereka benar-benar akan membeli atau menjual, membatalkan dan atau menentukan pilihan diantara barang-barang yang ditawarkan. Macam-Macam Khiyar
Sumber-sumber yang melandasi khiyar ini ada dua macam yaitu, per tama kesepakatan antara pihak yang menyelenggarakan akad seperti khiyar Syarat dan Ta’yin; kedua, Syara’ seperti khiyar Majlis, Ru’yah dan ‘Aib. 1. Khiyar Syarat a. Pengertian Khiyar syarat merupakan hak dari masing-masing pihak yang me nyelenggarakan akad untuk melanjutkan atau membatalkan akad dalam jangka
A. Warson Munawir,Kamus Arab Indonesia alMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), 378 4
Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), Jilid IV, 519 5
waktu tertentu6. Misalnya dalam suatu transaksi jual beli, seorang pembeli berkata kepada penjual: Aku membeli barang ini dari kamu dengan syarat aku diberi khiyar selama sehari atau tiga hari.
khiyar syarat menentukan bahwa baik barang maupun nilai/harga barang baru dapat dikuasai secara hokum setelah tenggang waktu khiyar yang disepakati itu selesai7.
Khiyar ini diperlukan karena si pembeli perlu waktu un tuk mem pertimbangkan dengan benar atas pembelian tersebut. Ia juga perlu di berikan kesempatan untuk mencari orang yang lebih ahli untuk diminta penjelasan atau pendapatnya mengenai barang yang akan dibeli, sehingga ter hindar dari kerugian dan penipuan.
Para ulama berselisih pendapat me ngenai lamanya masa tenggang waktu dalam khiyar syarat. Namun umumnya mereka sepakat bahwa tenggang waktu bagi khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau tidak akad terancam fasad (menurut Hanafi) dan batal (menurut Syafi’I dan hambali). Masa tenggang khiyar ini mulai berlaku sesudah akad disepakati bersama. Pada garis besarnya perbedaan mereka me ngenai lamanya masa tenggang ini dapat dikelompokkan kepada tiga macam:
Khiyar syarat sama halnya dengan khiyar majlis dalam arti kata hanya berlaku bagi akad-akad lazim saja, yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh kerelaan pihak yang menyelenggarkannya seper ti jual beli dan ijarah (yang bersifat mengikat kedua belah pihak). Untuk transaksi yang sifatnya tidak mengika kedua belah pihak, seperti hibah, pinjam meminjam, wakalah dan wasiat, khiyar dalam hal ini tidak berlaku. Demikian juga halnya dalam akad salam dan alsharf (money changer), khiyar syarat juga tidak berlaku, sekalipun kedua jenis akad ini mengikat, karena dalam jual beli salam, disyaratkan pihak pembeli menyerahkan seluruh harga barang ketika akad disetujui, sedangkan da lam akad al-sharf disyaratkan ni lai tukar uang yang dujual belikan harus deserahkan dan dapat dikuasai (diterima) masing-masing pihak setelah persetujuan dalam akad. Sedangkan Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Medium Pratama, 2000), h. 132 6
2. Masa Tenggang Khiyar Syarat
Hanafiyah dan Syafi’iyah ber pendapat masanya tidak boleh lebih dari tiga hari, karena hadis yang menetapkan khiyar ini menyebutkan masa tiga hari8. “Apabila seseorang membeli suatu barang, maka kuatkanlah (pada pen jual): jangan ada tipuan dan saya ber hak memilih dalam tiga hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar) Mazhab Hambali berpendapat bah wa waktu tenggang bagi khiyar syarat ini tudak harus merujuk kepada hadis tersebut melainkan kepada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi meskipun pada akhirnya harus melebihi Ibnu Qudama, al-Mughni, (Kairo: Hijr, tt), Jilid III, h. 589
Iqtishaduna
7
8
Wahbah, al-Fiqh, h.538 Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 19
tiga hari. Hal ini disebabkan karena khiyar syarat ditetapkan oleh syara’ untuk memudahkan transaksi dan bermusyawarah. Masa tiga hari kadangkadang tidak cukup untuk mengambil keputusan yang bijak. Meskipun dalam hadis tersebut dinyatakan tiga, namun bagi orang-orang tertentu tiga hari tersebut belum cukup. Karena itu persoalan lamanya tenggang waktu ini diserahkan kepada kesepakatan pihakpihak yang melakukan transaksi9. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa tenggang waktu khiyar syarat ditentukan oleh keadaan kebutuhan dilapangan dan ini akan berbeda-beda tergantung kepada objek keadaan masing-masing barang. Kalau barang yang dibeli mudah rusak seperti buahan-buahan, masanya Cuma satu hari; kalau pakaian dan barang-barang tahan lama bias mencapai 3 (tiga) hari; tetapi kalau barang itu seperti tanah dan rumah yang memerlukan waktu lebih lama, maka tenggang waktu untuk ini dibolehkan lebih dari tiga hari. Dengan deminian tenggang waktu menurut mereka tergantung kepada objek yang diperjualbelikan.10 2. Khiyar Ta’yin Yang dimaksud dengan khiyar ta’yin adalah hak yang dimiliki oleh orang yang menyelenggarakan akad (terutama pembeli) untuk menjatuhkan pilihan di anatara tiga sifat barang yang Ikhwan Abidin basri, “Khiyar” disampaikan dalam makalah Fiqh Maliyah Institut Ilmu alQur’an (IIQ) Jakarta, 15 Oktober 1998
ditransaksikan. Biasanya barang yang dijual memiliki tiga kualitas yang biasa, menengah dan istimewa11. Pembelli diberikan hak pilih (ta’yin) untuk mendapatkan barang yang terbaik menurut penilaiannya sendiri tanpa mendapatkan tekanan dari manapun juga. Khiyar inipun hanya berlaku bagi akad-akad yang mengandung tukar balik seperti macam-macam jual beli. Tidak semua fuqaha’ sepakat dengan khiyar ini karena menurut mereka wujud khiyar ini mengindikasikan adannya ketidakjelasan dalam baran yang ditransaksikan. Padahal dalam persyaratan akad, barang yang akan dijual haru jelas dan terang. Karena itu dibolehkannya khiyar ta’yin dalam akad seolah-olah bertentangan dengan persyaratan akad. Sementara itu Abu Hanifah (imam Hanafi) dan kedua saqhabatnya (Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad) membolehkan khiyar ta’yin, karena hal ini sangat diperlukan dalam kehidupan bisnis12. Misalnya ada orang yang mau membeli suatu barang yang ia butuhkan, tetapi ia tidak mengetahui banyak tentang kegunaan secara optimal, kualitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan manfaat dan kualitasnya. Untuk itu ia perlu konsultasi dengan orang lain yang lebih ahli dalam bidang itu sehingga dapat memilih secara bijak dan tepat. a. Syarat-syarat khiyar Ta’yin13
9
10
Nasrun Haroen, Fiqh, 134
20 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
11
Nasrun, Fiqh, h. 131
12
Ibid, h. 123
13
Ibid
1. Biasanya kualitas suatu barang itu dari biasa, menengah dan istimewa. Karena itu khiyar dibatasi hanya pada tiga kla sifikasi di atas. Lebih dari itu tidak diperlukan lagi khiyar.
sifatnya pertukaran seperti jual beli dan sewa menyewa.16 Dasar hukum adanya khiyar Majlis ini adalah sabda Rasulullah saw, yaitu “Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama me reka belum berpisah. Jika keduanya belum jelas, keduanya deberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyem bunyikan dan berdusta (Tuhan) akan memusnahkan keberkahan jual beli mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Adanya kualitas dan jenis barang atau harganya bertingkat-ting kat 3. Masa khiyar ta’yin harus tertentu dan dijelaskan, misalnya 3 hari. Jika pembeli sudah menjatuhkan pilihannya pada salah satu jenis barang yang ditawarkan, maka akad sudah jadi dan kepindahan kepemilikan telah ber laku 3. Khiyar Majlis Khiyar Majlis menurut pengertian ulama Fiqh adalah hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selama masih berada di tempat akad dan kedua belah pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.14 Khiyar adalah hak pilih dari pihak yang melangsungkan akad untuk membatalkan kontrak selama mereka masih berada ditempat diadakannya kontrak (majlis akad) dan belum berpisah secara fisik15. Khiyar secara ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi yang Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 113 14
Para pakar hadits menyatakan bah wa yang dimaksud Rasul dengan ka limat “berpisah badan” adalah setelah melakukan akad jual beli, barang di serahkan kepada pembeli dan harga barang diserahkan kepada penjual. Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli telah berpisah badan, seluruhnya diserahkan kepada kebiasaan masyarakat setempat dimana jual beli berlangsung.17 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, penilaian berpisah ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Di rumah yang kecil dihitung sejak salah seorang keluar dari rumah. Kalau rumah besar, sejak berpindahnya salah seorang dari tempat duduk kira-kira dua sampai tiga langkah. Jika keduanya bangkit bersama-sama, maka pengertian berpisah belum ada18.
Rahmat syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung Pustaka Setia, 2001, h. 113)
Sayyid sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Darul Ma’arif, 1996), Jilid 12, h. 106 15
Iqtishaduna
16
17
Zuhaili, al-Fiqh, h.252
18
Sabiq, Fikih, h. 107
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 21
Mazhab maliki dan Hanafi ber pendapat bahwa khiyar majlis ini tidak ada dasarnya dalam syariah karena ber tentangan dengan nash al-Qur’an surah al-Nisa:29 “janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu”. Menurut mereka adanya ijab qabul dalam akad dipandang sudah memenuhi seluruh persyaratan akad didasarkan pada ayat tersebut. Karenanya kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan lagi karena ijab dan qabul otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing yang me langsungkan akad sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis19.
Para fuqaha’ umumnya memboleh kan khiyar ru’yah dalam transaksi jual beli barang yang sudah siap tetapi tidak ada ditempat (al-a’in al-ghaibah). Rasul bersabda:
4. Khiyar Ru’yah
Syarat-syarat Ru’yah:22
Yang dimaksud dengan khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk melanjutkan transaks atau membatalkanya ketika melihat (ru’yah)barang yang akan di transaksikan20. Ini terjadi manakala pada saat akad dilakukan barang yang ditransaksikan tidak ada ditempat sehingga pembeli tidak melihatnya. Jika ia telah melihatnya maka khiyar ru’yahnya menjadi hangus dan tidak berlaku. Khiyar ru’yah, seperti halnya khiyar-khiyar yang telah dijelaskan di depan berlaku hanya pada akad lazim yang mengandung potensi untuk dibatalkan seperti jual beli barang yang belum siap dan hanya diberitahukan lewat cirri-ciri dan sifatnya saja seperti dalam akad salam, maka khiyar ru’yah tidak berlaku.
Selain dari hadis di atas para ulama juga berpendapat bahwa khiyar ru’yah ini sangat diperlukan dalam berbagai transaksi bisnis. Misalnya saja, seseorang mungkin membutuhkan suatu barang yang belum ia lihat, dengan adanya khiyar ru’ya maka kasus ini dapat diselesaikan dengan mudah karena ia dapat diberi kesempatan melihat barang yang akan dibeli sehingga terhindar dari kecurangan, tipuan dan permainan yang akan merugikan dirinya21. berlakunya
1. Tidak/belum terlihatnya barang yang akan dibeli ketika akad atau sebelum akad. 2. Barang yang diakadkan harus berupa barang konkrit seperti tanah, kendaraan, rumah dan lain-lain. 3. Jenis akad ini harus dari akad-akad yang tabiatnya dapat menerima pembatalan seperti jual beli dan ijarah. Bila tidak bersifat menerima pembatalan maka khiyar ini tidak berlaku seperti kawin dan khulu’ tidak berlaku khiyar ru’yah di dalamnya. 5. Khiyar ‘Aib Yang dimaksud dengan khiyar ‘aib adalah hak yang ada pada pihak yang
19
Zuhaili, al-Fiqh, h. 251
21
Ikhwan, khiyar, h. 5
20
Nasrun, Fiqh, h. 137
22
Ibid
22 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
khiyar
melakukan akad untuk membatalkan atau meneruskan akad bilamana ditemukan aib pada barang yang ditukar, sementara si penjual tidak mengetahui akan hal tersebut pada saat akad berlangsung.23 Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat secara implicit menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat. Hal ini masuk akal karena pertukaran itu harus dilangsungkan secara suka sama suka dan ini hanya mungkin jka barang dan penukarnya tidak mengandung cacat. Khiyar ini berlaku pada transaksitransaksi pada akad lazim yang mengandung kemungkinan untuk dibatalkan seperti akd jual beli dan ijarah. Rasulullah bersabda: “Seorang Muslim ada saudara bagi Muslim yang lain, tidak halal bagi seorang muslim yang menjual barang dagangan kepada saudaranya, di mana di dalamnya ada cacat, melainkan ia memberiyahukan kepadanya." (HR. Ibnu Majah). Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut wahbah adalah setiap transaksi apa yang rusak dari asal fitrahnya dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang, yang melampaui batas seperti tidak jelas, rusak ataupun berubah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, seluruh cacat yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsure yang diinginkan daripadanya24.
Syarat ditetapkan khiyar ‘aib:25 1. Adanya cacat pada barang atau penukarannya sebelum akad atau sesudahnya tetapi barang belum diserahkan kepada pembeli, jika barang itu terlanjur sudah diserahkan, maka khiyar menjadi tidak berlaku. 2. Si pembelli tidak mengetahui adanya kecacatan itu pada saat akad dan penyerahan. Sekiranya ia tahu pada saat itu dan ia menerima penyerahan barang, maka ia dianggap telah rela terhadap barang itu dan khiyar a’ib tidak berlaku. 3. Tidak ada persyaratan dari si pemilik tentang bebasnya barang dari cacat. Seandainya disyaratkan dalam akad, maka tidak berlaku khiyar bagi sin pembeli jmika ia telah membebaskan (barangnya dari cacat), berarti ia telah menghapuskan haknya sendiri. 4. Cacat itu tidak boleh hilang sebelum dibatalkan transaksi. Adapun waktu dimulainya khiyar a’ib adalah ketika diketahui adanya ke cacatan meskipun hal itu terjadi jauh sesudah akad. Untuk memfasakh akad setelah terdeteksi kecacaan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ber pendapat bahwa pengembalian barang karena cacat boleh dilakukan belakangan dan tidak harus seketika dan sebagian yang lain mewajibkan penyegeraan pengembalian26.
23
Ibid, h. 136
25
Ibid, h. 559
24
Wahbah, al-Fiqh, h.558
26
Ikhwan, “Khiyar”, h. 4
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 23
Dampak hukum khiyar a’ib terhadap akad adalah bahwa akad itu menjadi tidak lazim bagi pihak yang memiliki khiyar a’ib yaitu pembeli. Dalam kondisi demikian ia memiliki dua pilihan apakah ia rela dan puas terhadap barang yang akan dibeli. Kalau ia rela dan puas, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerma barang. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal atau dengan kata lain tidak ada transaksi. Dalam kajian-kajian fiqh, khiyar 'aib berlaku dalam kondisi antara lain:27 1. Pernyataan kerelaan terhadap barang yang cacat sesudah ia mengetahui. Ini bisa dikatakan secara terangterangan umpamanya: saya puas dan rela dengan barang itu. Atau secara tidak terang-terangan tetapi sikapnya menunjukkan ia rela umpamanya ia membeli baju dan memeriksanya dengan teliti lalu mendeteksi kekurangan dalam baju itu tetapi ia tetap membayar kepada kasir dan mau memakainya. Sikap ini dihukumi sebagai sikap rela terhadap barang yang cacat. 2. Si pembeli sendiri mengatakan: Saya membeli barang ini tanpa menggunakan hak khiyar saya. Dengan demikian ia dihukumi telah rela dengan kondisi barang yang akan dibeli. 3. Rusaknya barang ditangan orang yang memiliki khiyar. Umpamanya 27
Ibid. lihat juga Wahbah, al-Fiqh, h. 569
24 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
kain dibawa lalu ia datang dan kain itu telah berubah menjadi pakaian. 4. Berubahnya keadaan barang yang ditransaksikan menjadi lebih besar atau bertambah di mana pertambahannya ini bukan sifat alamiyah dari barang itu melainkan karena ulah orang yang memiliki khiyar. Umpamanya si pembeli mambawa kain dan ia datang kembali sementara kain sudah dibatik misalnya. Ini tidak boleh karena ada unsur penambahan di dalamnya. Kesimpulan
Akibat dari ketergesa-gesaan pihak yang berakad, kadang-kadanng timbul suatu penyesalan yang mengharuskan akad dibatalkan. Agar tidak terjadi perselisihan di antara pihak yang bertransaksi, syari’at kemudian men carikan jalan untuk keperluan tersebut dengan maksud untuk memberikan rasa keadilan diantara kedua belah pihak agar terjadi transaksi yang berdasarkan unsur kerelaan, suka sama suka. Jalan tersebut adalah khiyar dan khiyar yang paling masyhur itu ada lima yaitu Majelis, Syarat, A’ib, Ru’yah dan Ta’yin. Referensi Warson Munawir,Kamus Arab Indonesia al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif,1997 Ahmad muflih Saefudin, ”Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dengan Kapitalisme dan Marxisme”, dalam Wawasan Islam dan Ekonomi; Sebuah
Bunga Rampai, Jakarta: Lembaga Penerbit FUEI, 1997 Ibnu Qudama, al-Mughni, Kairo: Hijr, tt, Jilid III Ikhwan Abidin basri, “Khiyar” disampaikan dalam makalah Fiqh Maliyah Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, 15 Oktober 1998
Munawwir, A. Warson, Kamus Arab Indonesia al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Nasrun Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Meduim Pratama, 2000 Qudama, Ibnu, al-Mughni, Kairo: Hijr, tt, jilid III
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Medium Pratama, 2000
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: DArul Ma’arif, 1996, Jilid 12
Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Saefuddin, Ahmad Muflih “Perbandingan Sistem Ekonomi Islam dengan Kapitalisme dan Marxisme”, dalam Wawasan Islam dan Ekonomi; Sebuah Bunga Kampai, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1997
Sayyid sabiq, Fikih Sunnah, Bandung: Darul Ma’arif, 1996, Jilid 12 Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1984 Basri, Ikhwan Abidin “Khiyar” disampaikan dalam makalah Fiqh Maliyah Institut Ilmu al Qur;an (IIQ) Jakarta, 15 Oktober 1998.
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001 Wahbah Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh alIslami wa ‘Adillatuhu, Beirut: Dar alFikr, 1984, Jilid IV
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 25