KETIDAKPATUTAN DAN KEKERASAN DALAM FILM SPONGEBOBS QUAREPANTS Suprihatin1 dan Rizka Marianna
Abstrack Children programs on television is one of the many programs that are served by television. One shows a child that is booming until recently was a cartoon series Spongebob Squarepants. Since its entry into Indonesia in 2002, the show has won Indonesia Kids Choice Awards began in 2003-2009 as the most popular cartoons for children. As imported cartoons, Spongebob Squarepants impressions have cultural differences with the culture in our society. Violence and pornography charges often appear on the film scene. And in Indonesia, the film is intended for consumers of children, which incidentally do not understand the difference between the world of imagination and the real world. This study aims to look at the charge of violence, infelicity, and pornography in the cartoon Spongebob Squarepants. So that parents in particular and society in general are more alert to the wise accompany their children to watch television. As well as provide input on the management station to conduct a study before delivering programs aimed at children. Key Words: Violence, Cartoon Movie, SpongeBob Squarepants
Abstrak Tayangan anak merupakan satu dari sekian banyak program tayangan yang disuguhkan di layar kaca. Salah satu tayangan anak yang sangat booming hingga saat ini adalah seri kartun Spongebob Squarepants. Sejak masuk ke Indonesia pada tahun 2002, tayangan ini telah meraih gelar Indonesia Kids Choice Awards mulai tahun 2003-2009 sebagai film kartun paling digemari. Sebagai film kartun impor, tayangan Spongebob Squarepants memiliki perbedaan kultural dengan kultur yang dalam masyarakat kita. Muatan kekerasan dan pornografi seringkali muncul pada adegan film. Padahal di Indonesia, film ini ditujukan bagi konsumen anak-anak, yang notabene belum memahami perbedaan antara dunia imajinasi dan dunia nyata. Penelitian ini bertujuan untuk melihat muatan kekerasan, ketidakpatutan, dan pornografi dalam kartun Spongebob Squarepants tersebut. Sehingga orang tua khususnya dan 1
Suprihatin adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu KomunikasiAlamamater Wartawan Surabaya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
masyarakat pada umumnya lebih waspada untuk secara bijak mendampingi putra-putrinya menonton acara televisi. Sekaligus memberikan masukan pada manajemen stasiun televisi untuk melakukan kajian sebelum menayangkan program yang ditujukan bagi anak-anak.
Kata Kunci: Kekerasan, Film Kartun, Spongebob Squarepants
Pendahuluan Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera manusia. Lewat media massa kita dapat memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak dapat kita datangi secara langsung. Televisi menjadi jendela untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indera kita; surat kabar menjadi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala yang terjadi saat ini di seluruh penjuru dunia; dan film menyajikan pengalaman imajiner yang melintasi ruang dan waktu. Televisi mampu menunjukkan seluruh sistem di mana berbagai pesan diproduksi, dipilih, disiarkan, diterima dan akhirnya ditanggapi khalayak. Melalui media massa, masyarakat mendapatkan akses informasi dengan mudah dan cepat serta memiliki daya tarik lebih kuat dibandingkan media massa lainnya. “Television is a characteristic product of modern industrial society, while literature and the theathre come down to us from societies whose structures and organization were different”2
Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan asinonim melalui media cetak atau elektronik, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat3. Karena itulah televisi sangat berperan dalam membentuk perilaku sekaligus perubahan pola pikir. Komunikasi yang cukup menonjol pada media televisi adalah komunikasi satu arah. Sehingga khalayak pemirsa berada pada pihak yang pasif. Sebagai media, televisi sebenarnya bersifat “netral”: dapat membawa pengaruh positif maupun negatif terhadap khalayak penonton, khususnya anak-anak. Bukan bersumber pada medianya, melainkan bagaimana memanfaatkan media tersebut. Hal ini seperti diungkapkan oleh Patricia Mark dan Greenfield sebagai berikut :
2 3
Fiske & Hartley, 1998: 14 Rakhmat, edisi revisi 2009 1986; 178)
“Menonton televisi dapat menjadi kegiatan pasif yang mematikan, apabila orang tua tidak mengarahkan apa-apa yang boleh dilihat oleh anak-anak mereka dan sekaligus mengajar anak-anak itu untuk menonton secara kritis serta untuk belajar apa yang mereka tonton4”
Dari berbagai acara televisi untuk anak: film kartun, film boneka, drama anak-anak, dsbnya, cukup digemari adalah film kartun. Hampir sebagian besar televisi swasta menayangkan film kartun. Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam dan dari luar5. Pada saat ini salah satu pengaruh luar yang paling banyak diterima oleh anak-anak adalah tayangan televisi. Suatu respon atau tindakan seorang anak terutama yang dianggap sebagai bentuk
kreativitas, biasanya dihubungkan dengan tindakan melihat. Setelah itu tahap
berikutnya adalah mengerti dan memahami. Memang seakan-akan fungsi mata, fungsi visi atau visual itu penting dalam gerak pikiran manusia. Dengan mata itulah manusia mengukur suatu realita. Anak kecil, justru karena pengetahuannya yang masih terbatas, mampu memandang apa adanya. Melihat tanpa diganggu oleh fungsi yang secara lazim dikaitkan pada sesuatu itu6. Piaget dalam penelitiannya mengenai perkembangan anak mengemukakan bahwa perkembangan anak dibagi menjadi tiga: (1) Perkembangan Kognitif, (2) Psikomotorik, dan (3) Afektif7. Kognitif dalam konteks ini mengandung pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati. Jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan. Menurut Wechsler, psikomotorik adalah keterampilan menggunakan organ-organ tubuh seperti otot, syaraf dan kelenjar. Sedangkan afektif (afeksi) berwujud kasih sayang, cinta. Afektif adalah perasaan yang sangat kuat, satu kelas
yang
luas
dari
proses-proses
mental,
termasuk
dibedakan
(cognition/pengenalan) dan volisi atau kemauan (volition) dan
dari
kognisi
kesenangan atau
ketidaksenangan (titchener). Definisi lain dari afektif adalah kemampuan mengolah kepekaan rasa dan emosi berdasarkan suatu kebenaran yang relatif. Dari ketiga perkembangan anak yang dikemukakan oleh Piaget, perkembangan afektiflah yang secara langsung berpengaruh pada anak. Anak melihat sesuatu tanpa diganggu oleh fungsi yang secara lazim dilekatkan pada sesuatu itu.
4
Subroto, Darwanto Sastro, edisi revisi 2008, “Televisi Sebagai Media Pendidikan”, Duta Wacana, Salatiga Gunarsa, Singgih. Edisi Revisi 2007. Dasar dan Teori Perkembangan Anak, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta. 6 Chandra, Julius. 2006. Kreativitas Bagaimana Menanam, Membangun dan Mengembangkan, Kanisius, Yogyakarta. 5
Tayangan anak merupakan satu dari sekian banyak program tayangan yang di suguhkan di layar kaca. Program tersebut sejatinya ditujukan bagi anak-anak agar mereka mendapatkan nilai-nilai positif bagi perkembangan dirinya, seperti nilai agama, pendidikan, budi pekerti, dan moral. Berdasarkan survai komposisi usia penonton usia 5-15 tahun, dan menempati porsi yang cukup besar yakni 37% (data AGB Nielsen Desember 2009). Sementara itu berbagai penelitian maupun kajian banyak ditemukan program tayangan anak yang banyak mengandung unsur kekerasan, seksualitas, mistik dan perilaku negatif yang justru membawa pengaruh buruk bagi perkembangan diri dan mental sang anak. Terlebih lagi lemahnya pengawasan orang tua dan masalah ketaatan stasiun televisi terhadap regulasi yang berlaku berdampak terhadap anak-anak. Mereka tidak lagi memiliki filter untuk membedakan mana tayangan yang baik maupun tayangan yang buruk8. Salah satu tayangan anak yang sangat booming hingga saat ini adalah seri kartun Spongebob Squarepants. Spongebob Squarepants adalah sebuah serial animasi paling populer milik Nickelodeon, sebuah perusahan film yang memproduksi film-film kartun di Amerika Serikat. Secara singkat kartun ini menceritakan kehidupan Spongebob, yakni tentang spons yang tinggal dalam sebuah rumah Nanas dalam laut di kota Bikini Bottom dalam lautan Pasifik. Spongebob tinggal bersama Gary, siput laut yang berperilaku seperti seekor kucing. Spongebob memiliki sahabat bernama Patrick, seekor bintang laut berwarna pink dan tetangga sekaligus rekan kerja yang selalu memusuhinya, yakni Squidward Tentacles. Squidward ini adalah seekor gurita berwarna ungu yang tidak senang bersosialisasi, penggerutu, dan hobi bermain clarinet. Kelucuan-kelucuan dalam serial ini bersumber dari perilaku sehari-hari Spongebob yang polos, optimistis, selalu ceria, dan memiliki prasangka baik terhadap siapapun. Terkadang perilaku itu justru membawa bencana, membuatnya dimanfaatkan atau terjadi salah paham kala disatukan dengan sifat-sifat makhluk lain yang tinggal di Bikini Bottom9. Sebagai kartun impor, tayangan Spongebob Squarepants memiliki perbedaan kultural dengan kultur yang dalam masyarakat kita. Namun di kalangan kritikus, tayangan tersebut meraih gelar Indonesia Kids Choice Awards mulai tahun 2003-2009 sebagai film kartun paling digemari oleh anak-anak. selama 7 tahun berturut-turut sejak masuk ke Indonesia pada tahun 2002. Sedangkan di Malaysia Spongebob Squarepants meraih penghargaan Terbitan
8 9
http://lelenggono.wordpress.com/2010/02/23/kajian-tayangan-anak/ www.wikipedia/spongebobsquarepants//character+and+friends//23jhy//67nbhgtwrt//bujkl.com
Televisyen Animasi Terbaik 2005 dan Pengarangan Terbaik dalam Terbitan Televisyen Animasi 200610. Kartun ini memiliki positioning yang hampir sama dengan kartun Crayon Sinchan11 yang sempat booming beberapa tahun yang lalu di Indonesia. Di Jepang kartun Crayon Sinchan dimasukkan dalam kategori seinen atau kategori kartun remaja. Yoshito Usui sebagai pengarang Sinchan juga mengakui, bahwa penciptaan karakter toko Sinchan sebenarnya merupakan sebuah otokritik bagi budaya Jepang yang sangat menjunjung tinggi budaya – respect to the older- atau sangat menghormati orang yang lebih tua dari kita. Ketika masuk ke Indonesia, tentu saja hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak orang tua ketika Sinchan menjadi tontonan anak-anak dan kemudian apa yang dilakukan Sinchan dipraktikkan mentah-mentah12. Di satu sisi hal tersebut adalah sebuah bukti belum mapannya kesadaran masyarakat ataupun para pemilik modal yang bergerak di bidang media akan literasi media bagi masyarakat, khususnya media televisi. Sebab di Jepang sendiri kartun yang masuk kategori remaja dan dewasa memiliki jam tayang khusus. Sedangkan di Indonesia, asalkan berupa kartun atau animasi maka digolongkan sebagai tayangan anak. Padahal, content atau muatan yang diberikan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan anak secara kognisi, psikomotorik, ataupun afektif13.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sesuai dengan permasalahan yang diuraikan maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah muatan kekerasan, ketidakpatutan, dan pornografi dalam film Spongebob Squarepants?”
Signifikansi Penelitian Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian ilmu komunikasi. Namun di samping itu, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan 10
www.wikipedia/spongebobsquarepants//character+and+friends//23jhy//67nbhgtwrt//bujkl.com Crayon Sinchan adalah kartun dari Jepang yang bercerita tentang tokoh seorang anak TK bernama Shinnosuke Nohara berusia 5 tahun, atau akrab dipanggil Sinchan yang sangat kritis dengan perilaku orangorang disekelilingnya, termasuk kedua orangtuanya Hiroshi Nohara dan Misae Nohara, ia mengekspresikan kekritisannya lewat komentar-komentarnya. Dan cerita Sinchan biasanya temanya hanya berkisar pada keseharian Sinchan di rumah ataupun sekolah. 12 http://duniatv.blogspot.com/2008/06/kompas-tayangan-anak-banyak-pelanggaran.html 13 http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/03/20342364/mencemaskan.tayangan.anak.di.tv 11
wawasan baik kepada stasiun televisi maupun kepada konsumen media mengenai tayangan program anak-anak yang ternyata bisa mengandung muatan kekerasan, ketidakpatutan, atau bahkan pornografi.
Kajian Pustaka Efek Pesan Media Massa Komunikasi massa, apapun medianya, menimbulkan efek-efek yang berbeda bagi komunikannya. Menurut McLuhan, bentuk media saja sudah memengaruhi kita: ”The medium is the message”. Artinya apa yang memengaruhi kita bukan apa yang disampaikan oleh media, tetapi jenis media komunikasi yang digunakan: interpersonal, media cetak, atau televisi14. Steven H. Chaffe menyebutkan lima hal tentang adanya efek kehadiran media massa bagi khalayaknya: (1) efek ekonomis, (2) efek sosial, (3) efek pada penjadwalan kegiatan, (4) efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu, dan (5) efek pada perasaan orang terhadap media. Yang paling menarik adalah efek ketiga: penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari. Sejak kehadiran televisi, seringkali kita jumpai atau bahkan diri kita sendiri yang terburuburu pulang dari suatu kegiatan sosial kita hanya untuk menyaksikan tayangan di televisi. Semuanya menunjukkan gejala seperti yang dinyatakan oleh Joyce Cramond sebagai “displacement effect” atau efek pengalihan : “The reorganization of activities which takes place with the introduction of television; some activities may be cut down and others abandoned entirely to make time for viewing”15
Efek ini tentu bukan hanya dari media televisi, namun juga menyangkut media-media pembawa pesan lainnya. Keberadaan perangkat DVD/VCD mengalihkan waktu untuk menonton bioskop, keberadaan facebook mengalihkan waktu kita untuk nongkrong bersama dengan teman sepergaulan, justru lebih sering bertemu di dunia maya, baik lewat chat, wall, pengunggahan status atau messages16. Efek lain dari kehadiran media massa adalah menghilangkan perasaan tidak enak dan menumbuhkan perasaan tertentu. Di sinilah teori Uses & Gratification berlaku, bahwa media 14
McLuhan; 1964 “Understanding Media : The Extensive of Man” dalam Jallaluddin, Rakhmat, 2008; 220 Crammond, Joice, 1976; “Introduction of Television and Effect upon Children’s Daily Life” dalam Jallaluddin Rakhmat; 2008, 221 16 http://forumwarga.net/index.php?option=com_content&view=article&id=31:televisi-komunitas-dankeberaksaraan-media-&catid=5:anggota&Itemid=7 15
digunakan manusia untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya. Efek terakhir adalah selain memuaskan kebutuhan psikologis, media massa juga mampu menimbulkan perasaan tertentu baik positif maupun negatif. Media memberikan perasaan negatif ataupun positif bagi komunikannya, tergantung kebutuhan komunikan tersebut baik secara fungsional ataupun psikologis17. Menurut Langeveld, pendidikan baru dapat dimulai apabila anak sudah mengerti gezag (kewibawaan). Ini diperkirakan terjadi pada anak-anak saat usia 3 tahun. Langeveld melakukan sebuah penelitian tentang efektivitas belajar anak dengan menggunakan sebuah media. Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa proses belajar mengajar dengan menggunakan sarana audio visual mampu meningkatkan efesiensi pengajaran 20%-50%. Pengalaman itu dapat menambah pengetahuan, karena pengetahuan manusia 75% didapatkan melalui indera penglihatan, sementara 25% di dapatkan dari indera pendengaran. Karena itu, sebagai media komunikasi, televisi sangat bermanfaat sebagai upaya pembentukan sikap perilaku dan sekaligus perubahan pola berpikir18.
Tayangan Anak Di Televisi Menurut Lull, keberhasilan televisi menyebarkan budaya konsumerisme karena ia mampu memerankan dua fungsi sekaligus, yaitu pencitraan (imagology) dan ideasi. Pencitraan menyosialisasikan gaya hidup melalui iklan, sinetron, kehidupan selebriti, dan program acara lainnya yang glamor. Ideasi berhasil membius pemirsa pada mimpi-mimpi yang tidak realistis sehingga batas antara fakta dan citra sangat kabur. Situasi ini menghasilkan budaya instan. Bahkan televisi menjadi panutan baru bagi masyarakat layaknya agama. Televisi mengajarkan norma, tradisi dan keyakinan yang mudah diamini oleh publik19. Tayangan anak merupakan satu dari sekian banyak program tayangan yang di suguhkan di layar kaca atau televisi. Berdasarkan survai komposisi penonton televisi berdasarkan usia, penonton usia 5-15 tahun menempati porsi yang cukup besar. Yaitu hampir 37%. Dalam seminggu, anak-anak Indonesia menonton rata-rata 30-35 jam/hari atau 1.5601.820jam/tahun. Sedangkan jumlah jam belajar tak lebih dari 1.000 jam/tahun, dengan
17
Chaffe, Stevens dalam Jallaluddin Rakhmat ; 2008, 222 Subroto, Darwanto Sastro, edisi revisi 2008, “Televisi Sebagai Media Pendidikan”, Duta Wacana, Salatiga 19 http://forumwarga.net/index.php?option=com_content&view=article&id=31:televisi-komunitas-dankeberaksaraan-media-&catid=5:anggota&Itemid=7 18
setidaknya 80 judul program anak yang di tayangkan 300 kali penayangan selama 170 jam/minggu20. Sementara itu, di berbagai penelitian maupun kajian ditemukan program tayangan anak yang banyak mengandung unsur kekerasan, seksualitas, mistik, dan perilaku negatif yang justru membawa pengaruh buruk bagi perkembangan diri dan mental anak. Belum lagi lemahnya pengawasan orang tua dan masalah ketaatan stasiun TV terhadap regulasi yang berlaku, berdampak terhadap anak-anak. Mereka tak lagi memiliki filter untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk21. Seiring dengan banyaknya keluhan orang tua, kalangan pendidikan, dan masyarakat luas, maka KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melakukan kajian pada tayangan anak. Kajian yang dilakukan KPI ini meliputi banyak aspek. Pertama adalah aspek tampilan visual, aspek percakapan (narasi), dan nilai pendidikan, mencakup informasi, moral dan perilaku positif. Dari aspek visual KPI menemukan 13 (tiga belas) poin kriteria pelanggaran yang mengacu pada P3-SPS KPI, yaitu : 1. Menayangkan adegan kekerasan yang mudah ditiru anak-anak; 2. Menayangkan
adegan
yang
memperlihatkan
perilaku
atau
situasi
yang
membahayakan yang mudah atau mungkin ditiru anak; 3. Menayangkan adegan yang menakutkan atau mengerikan; 4. Menayangkan penggunaan senjata tajam atau senjata api untuk melukai orang lain; 5. Menayangkan sikap kurang ajar pada orang tua atau guru; 6. Menampilkan perilaku yang mendorong anak percaya pada kekuatan paranormal, klenik, praktik spiritual magis, mistik atau kontak dengan ruh; 7. Menampilkan anak-anak berpakaian minim, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual; 8. Menayangkan adegan ciuman atau mencium yang eksplisit dan didasarkan atas hasrat seksual; 9. Menayangkan gambar sosok manusia telanjang atau mengesankan telanjang; 10. Eksploitasi bagian-bagian tubuh yang dianggap membangkitkan birahi; 11. Menayangkan perilaku berpacaran saat anak-anak; 12. Menayangkan adegan yang menggambarkan atau mengesankan aktivitas hubungan seks; 20 21
Data AGB Nielsen 2010 download dari www.agbnielsen.co.id http://lelenggono.wordpress.com/2010/02/23/kajian-tayangan-anak/
13. Menggambarkan penggunaan alkohol atau rokok, dan menampilkan perbuatan antisosial (tamak, licik, berbohong) tanpa sanksi.
Dari aspek narasi, KPI menemukan 4 (empat) pelanggaran, yaitu : 1. Memaki dengan kata-kata kasar; 2. Menampilkan kata-kata atau suara yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual, sehingga memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar; 3. Mengejek atau menghina seseorang menggunakan kata-kata yang merendahkan ; 4. Mengolok-olok atau menertawakan kelompok masyarakat tertentu bertujuan melecehkan.
Dari analisis aspek pendidikan, pada tayangan anak, antara lain ; 1. Tidak mengandung muatan informasi atau pengetahuan; 2. Tidak mengajarkan perilaku positif; 3. Tidak mengajarkan nilai-nilai atau pesan moral yang baik;
Fakta di atas menunjukkan sedemikian rendahnya kemampuan masyarakat ataupun para pemegang kebijakan di stasiun televisi kita akan keberaksaraan terhadap media (media literacy). Keberaksaraan terhadap media atau lebih familiar dengan ”Melek Media” terutama televisi, sebab televisi merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Televisi kini, telah tumbuh menjadi media yang paling banyak di nikmati masyarakat kita dari segala macam segmentasi, baik usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan atau bahkan latar belakang pekerjaan. Interaksi anakanak terhadap media ini pun sedemikian tinggi. Bahkan, anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan untuk mereka saja. Mereka juga dapat menonton tayangan untuk orang dewasa. Dari sisi ini pengawasan dari orang tua sebetulnya memiliki peranan yang cukup besar22. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat ataupun orang tua khususnya membutuhkan saluran akses atas informasi untuk pemaknaan dan pemberdayaan diri. Masyarakat akan berdaya bila memiliki kesadaran dan kebutuhan bahwa informasi bisa menjadi sumber kekuatan (power). Masyarakat menggunakan informasi untuk mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri, bertindak secara kritis, untuk memerbaiki keadaan dan mengatasi 22
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/03/20342364/mencemaskan.tayangan.anak.di.tv
masalahnya, terlibat dalam proses-proses sosial dan politik termasuk dalam proses pengambilan keputusan publik yang dilakukan atas komunitasnya23.
Film Sebagai Media Komunikasi Massa Film sebagai salah satu bentuk media, sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Film mendapat tempat pada posisi komoditas: aktivitas konsumsi yang berada pada hasrat subjek khalayak penikmatnya. Aktivitas konsumsi itu disebut oleh Baudrillard telah menjadi dasar utama tatanan identitas dan status sosial masyarakat manusia, melalui pembedaan tindakan sistematik dari manipulasi tanda-tanda. Film dan masyarakat mempunyai hubungan yang dipandang linier: memengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, yang kemudian diproyeksikan ke layar lebar24. Film sebagai refleksi dari masyarakat, tampaknya menjadi perspektif yang secara umum lebih mudah disepakati, sebagaimana yang dikemukakan Garth Jowett (1971), yaitu : “it is more generally agree that mass are capable of ‘reflecting’ society becuse they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widest possible audience”25
Proposisi Jowett ini menunjukkan bahwa kepentingan komersial justru menjadi imperatif bagi isi media massa (film) agar memperhitungkan khalayaknya, sehingga dapat di terima secara luas. Karakteristik film sebagai media komunikasi massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan nilai yang ada dalam masyarakatnya. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial membuat para ahli percaya bahwa film memiliki potensi untuk memengaruhi khalayaknya26. Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat sebagai pandangan yang refleksionis. Pandangan ini melihat film sebagai cermin yang memantulkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai dominan dalam kebudayaannya. Perspektif ini di pandang sangat “primitif” dan mengemukakan metafor yang 23 24
25
26
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/04/00520577/tayangan.anak.banyak.pelanggaran Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo Mawardhani, 2005 “Representasi Keperawanan dalam Film Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan” (Studi Semiotik Penggambaran Keperawanan), http://fulltext.lib.unair.ac.id Jowett dalam Irawanto, 1999: 13
tidak memuaskan, karena menyederhanakan proses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan baik film, prosa ataupun percakapan. Di antara film dan masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan baik bersifat kultural, subkultural, industrial serta institusional27. Untuk itu dapat di pahami jika Graeme Turner menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat dengan menyatakan bahwa : “Film does not reflect or even record reality; like any other medium of representation, it construct and ‘represent’ its picture of reality by way of codes, conventions, myths, and idealogis of its culture as well as by way of the specific signifying practices of the medium.28”
Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner berbeda dengan film sekadar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar “memindahkan” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode konvensikonvensi dan ideologi dari kebudayaan. Film merupakan salah satu media massa yang erat kaitannya dengan ‘representasi’ sebagaimana yang dinyatakan oleh Graeme Turner bahwa film adalah representasi dari suatu realitas. Representasi mengacu pada konstruksi media massa, termasuk film, yang mengkonstruksi aspek-aspek ‘realitas’ seperti individu, tempat, objek, peristiwa, identitas kultural dan konsep-konsep abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan ke dalam bentuk speech, writing atau bahkan moving images, yakni film. Representasi-representasi tersebut dibuat sedemikian rupa agar terlihat ‘natural’ dan sistem-sistem yang ada pada representasi adalah inti yang termuat oleh ideologi-ideologi tertentu. Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas, mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya. Baik realitas dalam bentuk imajinasi ataupun realitas dalam arti sebenarnya film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film tidak lagi menampilkan citra bergerak (moving images), namun juga telah diikuti muatan oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia, atau gaya hidup29.
27 28 29
Irawanto, 1999: 13 Turner, Graeme dalam Irawanto, 1999: 14 http://situskunci.tripod.com/teks/victori.html (25/05/2007 : 03.46)
Sebuah film membawa muatan-muatan ideologi yang merupakan hasil konstruksi filmmaker-nya, seperti yang dinyatakan oleh Gianetti : “…the term (ideology) is generally associated with politics and party platforms, but it can also mean a given set of values that are implicit in any human enter prise – including filmmaking. Virtually every movie presents us with role models, ideal ways of behaving negative traits, and an implied morality based on the filmmaker’s sense of right and wrong30.
Istilah ideologi umumnya berkaitan dengan dunia politik dan program-program partai, namun bisa juga diartikan sebagai bentuk nilai-nilai yang tersirat dalam setiap hasil/produk manusia-termasuk di dalam pembuatannya. Setiap film menyajikan kepada kita model-model peran, nilai-nilai yang ideal dalam bertindak, perilaku-perilaku negatif, serta nilai-nilai moral, berdasarkan rasa kebenaran menurut si pembuat film tersebut. Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus idealogis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk memeroleh kesenangan di dalam sistem
yang
kapitalis. Menurut Claire Johnston, pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxis terletak pada lokus film dalam hubungannya dengan produksi alih-alih pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan pembuat maupun penonton film. Bagaimanapun juga Graeme Turner memandang bahwa hubungan antara film dan ideologi kebudayaan bersifat problematik, karena film adalah produk dari struktur sosial/politik dan budaya, serta sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut31.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku-perilaku yang dapat diamati. Metodologi kualitatif ini merujuk pada metodologi analisis yang integratif, dan lebih secara konseptual untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah dan menganalisis dokumen untuk memahami makna atau signifikasi. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode analisis isi. Dengan menggunakan metode ini, peneliti berusaha menggali realitas real yang didapatkan melalui interpretasi visual, narasi, muatan dalam film dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang 30 31
Gianneti, Louis, 1996, “Understanding Movies” Seventh Edition, USA: Prentice Hall, New Jersey Irawanto, 1999: 15
film untuk membuktikan adanya pelanggaran yang di lakukan. Analisis isi termasuk dalam metodologi penelitian kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, di mana peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana teks dan gambar pada film Spongebob Squarepants.
Unit Analisis Episode yang akan diteliti dalam tayangan serial kartun Spongebob Squarepants adalah episode Mid Life Crustacean. Data penelitian diperoleh dalam bentuk rekaman tayangan TV serial Spongebob Squarepants.
Pembahasan Ketidakpatutan: Guyonan Sarkastis Ala Amerika Ketidakpatutan ditampilkan melalui adegan simbolisasi tentang pemakaman yang dilihat oleh Tuan Krab. Dalam pemaknaan paradigmatif yang dipahami oleh Tuan Krab, ia melihat visi dirinya sendiri dalam pemakaman tersebut. Apalagi ia melihat orang tua-orang tua banyak berbaris rapi di depan pemakaman. Seolah-olah mereka mengantre untuk dimakamkan. Salah seorang dari mereka justru menyuruh Tuan Krab untuk berbaris antri seperti yang lainnya, membuat Tuan Krab berlari ketakutan. Ketika Tuan Krab berlari, visualisasi justru menyorot penjual es krim yang sedang melayani pembeli, para manula. Penjual ice cream itu digambarkan berjualan di depan pemakaman. Padahal antara es krim yang notabene makanan yang disukai anak kecil dengan pengantri-nya justru para manula menunjukkan ironi yang janggal. Jim Conway dalam buku “Krisis Paruh Baya” menunjukkan beberapa hal yang memiliki similaritas indeks dalam memaknai pemikiran dan sikap Tuan Krab: (1) Adanya beberapa perubahan biologis yang benar-benar sedang berlangsung di tubuhnya. Kematian tiba-tiba dilihat sebagai suatu realitas bagi dirinya. (2) Secara psikologis, ego dan citra dirinya terpengaruh oleh perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya. Ia mulai menganggap bahwa harga dirinya sebagai pria yang jantan makin merosot, karena nilai kelakilakiannya dianggapnya ditentukan oleh kekuatan jasmaninya. (3) Hal lain yang juga sedang mempengaruhi adalah pergaulan sosialnya dengan orang-orang lain dalam masyarakat. Dengan suara lantang dunia sekitarnya mengatakan bahwa kehidupan sesudah umur 40 itu tidak berarti
lagi, tidak mungkin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi. Iklan bisnis terus menerus menegaskan bahwa muda itu yang terbaik, tua itu sudah usang. Karena ancaman penolakan oleh masyarakat tersebut, ia mulai menilai kembali kehidupan sosialnya, yaitu hubungan dengan isterinya, karirnya, teman-temannya, dunia disekelilingnya dan Tuhan32.
Tiga poin di atas adalah perilaku khas yang mendasari sikap yang ditunjukkan oleh Tuan Krab. Apalagi, dalam lingkungan kerjanya, banyak didominasi oleh kaum-kaum angkatan usia produktif yang masih muda, Spongebob, Patrick, Squidward. Humor khas kartun ini adalah humor slapstick atau humor ironisme sangat khas humor Amerika, sebagai bentuk adopsi dari nilai-nilai budaya pembuatnya. Olok-olok usia ini juga diperkuat oleh beberapa scene adegan di sepanjang film. Misalnya ketika adegan seorang anak menikmati Krabby Patty. Si anak tersebut merasa Krabby Patty yang dimakannya rasanya aneh. Ibunya melihat Krabby Patty yang akan dimakan oleh anaknya dan melihat ternyata selada yang ada di dalam Krabby Patty tersebut sudah layu. Kemudian ia menunjuk ke arah Tuan Krab yang sedang duduk sendirian melamun dan mengatakan pada anaknya pelecehan secara langsung: “Daun selada itu sudah tua….seperti orang tua yang duduk di sana. Jika kau tak suka dengan rasanya, sebaiknya kamu buang saja nak.”. Tuan Krab yang mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut merasa kian tua, meneguhkan apa yang dirasakannya. Ia merasa sangat terbeban. Dikaitkan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran scene ini jelas melakukan pelanggaran Pasal 15 ayat 2 butir 1 yang menyebutkan : Pasal 15 ayat 2 : Dalam menyiarkan program siaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilarang : Mengandung muatan yang dapat menimbulkan atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tersebut.
Kekerasan dan Wacana Seksualitas Dalam Dialog Wacana seksualitas, meski hanya melalui dialog yang samar, namun muncul beberapa kali dalam tayangan film. Misalnya pada scene adegan taman kanak-kanak, digambarkan Tuan Krab ternyata tidak cukup menikmati “pesta” yang di rencanakan sangat heboh oleh Patrick dan Spongebob, sebab “pesta” yang mereka maksud adalah hanya mengamati 32
Krisis Pria Setengah Baya, Jim Conway, BPK Gunung Mulia
perputaran mesin cuci di pusat laundry kota Bikini Bottom, mengagumi warna-warna baju yang bercampur ketika mesin cuci berputar. Buat Tuan Krab, hal tersebut tentu saja membosankan. ia kemudian berkata kepada Spongebob: “Kau tahu, aku cukup menikmati ini, tapi… ini hanya… kukira kita akan lebih menjalani kehidupan malam… sesuatu yang dapat membuat darah bergejolak… kalian tahu maksudku khan???.” Kalimat Tuan Krab tentang “sesuatu yang dapat membuat darah bergejolak” adalah sebuah indeks dalam krisis paru baya yang sedang dialaminya. Pada usia paruh baya, banyak peristiwa besar yang dapat menimbulkan masa-masa penuh stress dan depresi seperti meninggalnya orang yang dicintai (orang tua ataupun pasangan hidup), kemunduran dalam karir, anak-anak yang mulai meninggalkan rumah (untuk hidup mandiri), gejala penuaan secara umum (munculnya keriput, uban, kulit berkurang elastisitasnya, berkurangnya vitalitas, menopause, dan lain-lain). Akibatnya, menurut satu kajian, 15% dari mereka akan mengalami “midlife turnmoil” yang mungkin saja berupa keinginan untuk membuat perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti karir, perkawinan, atau hubungan romantis33. Spongebob, bersikap seolah-olah ia sangat memahami esensi keinginan Tuan Krab, kemudian ia dan Patrick mengajak Tuan Krab ke beberapa tempat yang sekiranya akan menyenangkan buat Tuan Krab akan merasakan kembali “sesuatu yang dapat membuat darah bergejolak.” Spongebob hanya menyebutkan kegiatan ini hanyalah sebuah awal dari kegiatan yang berhubungan dengan “Kegilaan” yang akan mereka lakukan selanjutnya. Kata “Kegilaan” yang di rujuk Spongebob adalah kata bermakna denotatif. Dalam benak Tuan Krab yang sedang mengalami krisis paruh baya “Kegilaan” dimaknai dengan sedikit kegiatan ekstrim
yang berusaha keluar dari rutinitasnya. Namun oleh Spongebob, kegiatan itu
dimaknai melakukan kegiatan yang dilakukan anak-anak. Sebab itu ia justru mengajak Tuan Krab ke tempat-tempat tersebut antara lain bawah jembatan layang untuk memunguti sampah-sampah, tempat mandi air panas menggunakan pelampung anak-anak, Barg & Mart Stores menaiki mainan carrousel, ruang periksa dokter gigi, di atas genteng rumah seseorang, perpustakaan umum, pesta topeng anak-anak yang mereka adakan sendiri, terakhir yang membuat Tuan Krab amat sangat kesal adalah ketika ia diajak ke Taman Bermain Anak-anak. Karena tempat-tempat ini sama sekali tidak membuat darahnya bergejolak, namun ia justru merasa ia seperti orang bodoh karena permainan tersebut merepresentasikan dunia anak-anak pada umumnya dan tidak membuatnya merasa keren sama sekali. Akhirnya, karena Tuan 33
http://yulianti.staff.uii.ac.id/2008/08/30/krisis-usia-paruh-baya/
Krab sudah menahan diri sejak tadi, ia menunjukkan kemarahannya dengan cara yang kasar, yakni melakukan hal anarkis dengan cara menghancurkan patung-patung yang berada di dalam lokasi Taman Bermain tersebut. Tindak anarkis ini bisa dimasukkan dalam kekerasan.
Kesimpulan Dari beberapa adegan yang dipilih sebagai unit analisis, terlihat bagaimana ketidakpatutan, wacana seksualitas, dan kekerasan diadopsi di dalam tayangan SpongeBob Squarepants. Jika film dianggap merupakan bentuk representasi dari nilai-nilai budaya dan sosial di mana film itu diproduksi, maka beberapa hal yang sudah disebutkan di atas boleh jadi merupakan representasi dari budaya di negara film ini diproduksi. Wacana seksualitas yang menonjol berupa dialog dan perilaku fetish. Memang kesan vulgar tersamar karena wacana seksualitas yang muncul berwujud konsep atau ideologi. Hal ini disebabkan karena program ini mengadopsi kultur budaya barat. Namun tetap saja hal ini tidak sesuai dengan segmen pasar program ini di Indonesia yaitu anak-anak. Perbedaan bahasa, term of reference, dan field of experience menyebabkan wacana seksualitas ini tidak banyak dipahami oleh masyarakat.
SARAN Bagi lembaga berwenang terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tayangan SpongeBob Squarepants perlu dikaji ulang terkait dengan muatan dan pelanggaran yang sudah ditemukan. Misalnya mengenai ketidakpatutan berupa penghinaan dan pelecehan terhadap kelompok minoritas dalam hal ini kelompok lanjut usia. Kemudian mengenai penggunaan kata-kata kasar dan makian. Lalu mengenai penghormatan terhadap norma kesusilaan dan kesopanan. Bagi LSI (Lembaga Sensor Indonesia) dan PERSUSI (Persatuan Sulih Suara) perlu adanya standar baku proses sulih suara atau texting. Sebab, terdapat istilah slang yang merujuk kata dan makian kasar namun hal tersebut justru tereduksi dalam texting. Khusus bagi LSI, sebagai lembaga sensor film sebaiknya menentukan regulasi khusus untuk tayangan impor. Khususnya film kartun mengingat perbedaan kultur dan norma budaya dapat berpengaruh buruk terhadap anak-anak. Sebelum ditayangankan di Indonesia LSI sebaiknya melakukan riset tertentu terkait dengan konteks tayangan, sebab di Jepang beberapa tayangan kartun ternyata dibuat dengan tujuan audiens yang berbeda. Sehingga jam tayangnya pun bukan pada jam anak-anak menonton televisi. Belajar dari kartun Sinchan di negara asalnya justru ditujukan untuk tayangan kartun kategori usia dewasa sebagai kritikan
pada kultur budaya mereka sendiri. Bagi pembuat kebijakan pada masing-masing stasiun televisi ketika mengimpor suatu tayangan sebaiknya sungguh-sungguh memahami konten dalam tayangan tersebut. Selain itu, setiap stasiun televisi sebaiknya memiliki program sosial sebagai bagian dari Company Social Responsibilty (CSR) dengan menggalakkan program literasi masyarakat terhadap pengaruh inisiasi dampak media dalam kultur budaya kita. Sehingga masyarakat kita memiliki kemampuan sekaligus daya tahan (endurance) untuk membentengi pribadinya dari pengaruh media. Bagi para orang tua, kita memang tidak bisa menggantikan televisi sebagai hiburan yang murah untuk keluarga. Namun orang tua diharapkan memiliki kepedulian untuk memahami tayangan yang sering ditonton anak-anak. Sebab terbukti tidak setiap tayangan anak memberikan kontribusi yang positif. Sehingga orang tua bisa membentengi anak-anak dari tayangan yang tidak memberikan nilai-nilai positif yang di butuhkan seorang anak.
DAFTAR PUSTAKA Barnard, Malcolm. 2009. Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta: Jalasutra. Chandra,
Julius.
2006.
Kreativitas
Bagaimana
Menanam,
Membangun
dan
Mengembangkan. Yogyakarta: Kanisius. Conway, Jim. 2008. Krisis Pria Setengah Baya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Crammond, Joice. 1976. “Introduction of Television and Effect upon Children’s Daily Life”. Chaney, David. 1996. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra Echols, John & Shaddily, Hasan. Kamus Inggris Indonesia Cetakan ke-26. Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA. Eriyanto, 2005. Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS. Gunarsa, Singgih. 2007. Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta Gianneti, Louis. 1996. “Understanding Movies” Seventh Edition, USA: Prentice Hall. Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Mawardhani. 2005. Representasi Keperawanan dalam Film Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan (Studi Semiotik Penggambaran Keperawanan). Surabaya: Pusdilib Unair. Mulyana, Deddy. 2001. Pengantar Ilmu Komunikasi.. McLuhan, Marshall. 2008. Understanding Media : The Extensive of Man. New York: Prentice Hall. Subroto, Darwanto Sastro. 2008. Televisi Sebagai Media Pendidikan edisi revisi. Salatiga: Duta Wacana. Oskamp, Bernard. 2008. Capital Human Communication edisi revisi. Bandung: Rosdakarya. Komisi Penyiaran Indonesia. 2009. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Jakarta.