Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000an1 HAT PUJIATI Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ Peneliti di Matatimoer Institute Pendahuluan Dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar, di akhir tahun delapan puluhan hinggga awal tahun sembilan puluhan, untuk berbicara dengan orang yang sedang berada di luar rumah adalah tidak mungkin selain dengan angan-angan ‘telepati’. Sementara telepati sendiri menurut cerita nenek saya hanya bisa dimiliki mereka yang memiliki ilmu kanuragan. Mempelajarinya juga tidak mudah, harus melalui tahapantahapan ritual seperti puasa dan cara-cara mendekatkan diri pada yang maha esa. Telapati jadi tidak mungkin bagi saya ketika itu tetapi memimpikannya tidak pernah membosankan, kakak saya yang sudah duduk di bangku SMA ketika itu menertawakan kekonyolan telepati ala impian saya. Artinya telepati sejenis itu adalah kekonyolan atau ketidakrasionalan yang tidak ada dalam aturan main modernisme seperti yang diajarkan di sekolah, bahwa semua-mua harus terukur. Berkoresponden dengan sahabat-sahabat pena yang alamatnya hanya bisa saya temui di majalah-majalah anak terpaksa merongok kocek saya agak dalam karena biayanya yang mahal, apa lagi sahabat pena tersebut tinggal di luar negeri. Selain butuh biaya mahal, menunggu surat saya sampai hingga kemungkinan dibalas terasa sangat jauh dari jangkau pikir saya waktu itu. Hitungan bulan menjadi ‘kelak’ bagi saya kecil ketika itu. ‘Kelak’ adalah masa di mana saya sudah beranjak ke fase berbeda dalam tahapan hidup saya kecil. Tetapi kemudian tahun sembilan puluh akhir, semua yang hanya ada dalam benak saya, yang hanya impian konyol di masa kecil mulai mewabah di kalangan temanteman remaja saya yang bergaya membawa-bawa pager untuk saling berkomunikasi. Di mana pun dia berada, masih bisa dihubungi dari rumah atau pun dari luar rumah. Tahun dua ribuan keberadaan pager tergantikan dengan telepon genggam. Tidak hanya melalui tulisan layaknya pager tetapi juga bisa bercakap-cakap seperti menggunakan telepon rumah yang sudah saya kenal di masa kecil, bisa mengirim pesan berupa teks juga melalui telepon genggam. Hingga pada perkembangannya saat ini telepon genggam menjadi alat komunikasi yang kompleks, bisa melakukan percakapan seolah sedang berhadapan dengan fasilitas video call, mengirim pesan melalui email, bahkan berfacebook sebagai jejaring pertemanan sosial ala cyber melalui sebongkah telepon genggam dengan harga kurang dari lima ratus ribu bahkan.
1
Disampaikan pada Seminar Nasional “Mengangan Ulang (Ke) Indonesia (an)” Pekan Chairil Anwar. Universitas Jember, 18-19 mei 2011.
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
Ketidakmungkinan yang saya bayangkan di masa kecil justru menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di masa saya dewasa sekarang. Perkembangan teknologi mencapai titik di mana kekonyolan impian saya akan telepati yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah menggunakan metode yang jelas seperti tuntutan pikir modern kemudian dirasionalkan. Berbicara dengan orang di hutan atau pun di laut melalui alat ‘telepati’ itu menjadi masuk akal dan berterima dalam benak mereka yang telah akrab dengannya, kakak saya pun tidak lagi mengatakan itu konyol. Tetapi tidak lagi alat ‘telepati’ itu merupakan sesuatu yang mempesona, semua terjelaskan. Pesona dunia mengalami keterputusan pesona dengan penjelasan ilmiah. Kekuatan telepati sebagai peristiwa yang akrab dalam kehidupan moyang saya saat terganti dengan telepon genggam tidak lagi mempesona, tetapi banal. Yang semula harus dicapai dengan puasa dan bertapa yang intinya adalah mendekatkan diri pada kekuatan lain yang ada di luar diri manusia, yang diyakini sebagai maha segalanya, mengakrab pada alam, malah kemudian menjadi sebaliknya. Akan tetapi sisa terhadap pesona dunia yang diingkari modernist tidak hilang begitu saja, masih ada ruang-ruang yang mengijinkannya tetap ada dalam ranah pikir manusia yang telah melalui tahapan modern tersebut. Disebutnya fenomena ini sebagai kembalinya pesona dunia atau re-enchantment. Dalam tiga tahapan kebuadayaan, tradisional, modern dan posmodern, kemunculan pesona dunia atau enchantment ini berubah-ubah sesuai rule of the game dari tahapan-tahapan tersebut. Weber menggambarkan disechantment of the world sebagai putusnya spiritualitas manusia dengan tuhan. Disenchantment of the world dikatakan Weber sebagai berikut: ...the knowledge and belief that in principle there were no mysterious and incalculable forces that matter, but that all things in principle could be controlled by calculation. ...unlike the primitive for whom such forces did exist you don’t have to use magical means to control or influence the ghosts. Technical means and calculation do it. (Weber dalam Max Preglau, 2003:25-6). (...pengetahuan dan kepercayaan yang prinsipnya tidak mempercayai adanya kekuatankekuatan misterius dan tidak kalkulatif, tapi segala sesuatunya adalah terkendali oleh kalkulasi. ...tidak seperti orang primitif yang menganggap kekuatan misterius dan yang tak dapat dikalkulasi itu ada, tetapi kamu tidak perlu menggunakan alat magis untuk mengendalikan atau mempengaruhi ruh-ruh. Alat-alat teknis dan kalkulasi lah yang melakukannya untukmu.)
Kepercayaan-kepercayaan dan pesona alam menghilang dengan penjelasan ilmiah, terukur atau rasional. Pendewaan pada rasionalitas semakin tegas dalam gambaran hilangnya pesona dunia pembacaan Weber dan muncullah economic man yang kehilangan tuhannya. Ritual keagamaan dan hubungan sosial hanya menjadi rutinitas yang tinggal cangkang tanpa hubungan mengikat antara manusia dengan manusianya. Rasionalitas yang garing spiritualitas membuat manusia ada dalam masa carut marut secara psikologis menghadapi kenyataan-kenyataan bermata ganda dan tak memenuhi harapan. Apa yang ditutupi modernisme dengan keterpusatannya dan reifikasinya yang ternyata mengalienasi manusia akhirnya diumbar kembali tetapi dengan perubahan-perubahan sesuai pencapaian perkembangan pikir manusia yang tak
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
dapat dipungkiri dari era modern yaitu rasionalitas. Pada gilirannya pesona itu dihadirkan kembali. Permainan pikir manusia yang berkembang ini juga bisa dirunut dari wacana yang berparade di dalam ekspresi-ekspresi seni sebuah masyarakat, termasuk di Indonesia. Film sebagai media ekspresi populer yang bisa dinikmati sekelompok orang secara komunal dalam satu waktu memberikan alternatif-alternatif pemikiran yang diselipkan dalam tampilannya yang perlu dibaca secara seksama. Demikian pula sastra, upaya komunikasi melalui media yang akrab dengan penikmat adaptasi ke dalam media yang berbeda. Perkembangan estetis yang dimainkan dalam karya sastra atau pun karya film saling mempengaruhi. Membaca karya sastra kadang serasa menonton film atau pun sebaliknya. Fenomena tersebut mengindikasikan keterhubungan yaitu bahwa keduanya merupakan produk budaya naratif yang berdialektika. Karya sebagai produk budaya naratif ini lah yang akan ditelusuri untuk mengetahui konsep abstrak mengenai identitas kebangsaan, tentang menjadi Indonesia. Film, sastra, dan artikulasi identitas Indonesia Menurut Bennedict Anderson, bangsa adalah an imagined political community— and imagined as both inherently limited and sovereign. Bangsa adalah konsep abstrak yang menyata hanya bila dibayangkan. Lebih lanjut Anderson menegaskan bahwa In fact, all communities larger than primordial villages of face-to-face contact (and perhaps even these) are imagined. Communities are to be distinguished, not by their falsity/genuineness, but by the style in which they are imagined (1991: 5-7). Bagaimana sebuah komunitas dibayangkan dan itu disebut bangsa maka bangsa itu sendiri tidak dapat kita temukan kecuali dalam narasi-narasi yang hadir dalam komunitas tersebut. Homi Bhabha dalam Nation and Narration mendefinisikan bangsa sebagai narasi itu sendiri yang juga berarti narasi adalah bangsa. Bangsa dibentuk oleh
"textual
strategies, metaphoric displacements, sub-texts and figurative stratagems. ... the nation as it is written" (Bhabha,1990: 2). Berdasarkan pengertian tersebut maka melalui karya sastra dan film yang ada di Indonesia tahun 2000an berikut ini akan terlihat imaji-imaji bangsa Indonesia. Seperti apakah artikulasi identitas Indonesia di dalam film-film yang beredar di tahun 2000an? Dalam tulisan ini dimulai dari kebangkitan kembali film Indonesia dari kevakuman yang panjang kemudian mencari konsep keindonesiaan yang tersimpan di dalamnya. Tahun 1999 film Indonesia terbangun dari tidur panjangnya dengan kehadiran film Petualangan Sherina yang kemudian disusul oleh film-film lain sejenis Ada Apa Dengan Cinta?, Eifle I’m In Love, Heart, Arisan!, serta Jaelangkung. Genre film-film tersebut kemudian semakin beragam dengan bermunculannya film-film penuh patriotisme seperti Garuda di Dadaku dan Merah Putih hingga film-film horor transformasi film hantu ala Suzanna yang legendari di tahun 1980an serta yang
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
bernuasa islami layaknya Ayat-Ayat Cinta, Cinta Bertasbih, serta Perempuan Berkalung Surban yang ketiganya merupakan adaptasi dari sasra sastra. Jenis-jenis sastra perkotaan yang difilmkan juga menuai respon antusias masyarakat, Mereka Bilang Saya Monyet sejenis karya sastra bergaya posmodern, Soulmate yang menjual kepopularan para pemain, Cintapucino yang ‘ngepop’ ramai melalui promosi sountrack film di tanyangan-tayangan jeda siaran televisi tiap beberapa menit sekali membuatnya tertanam
dalam
ingatan
massa.
Katakanlah
film
sejenis
Identitas
untuk
menggarisbawahi kondisi carut marut masyarakat kelas bawah juga mendapatkan penghargaan insan pengapresiasi film Indonesia yang kesemuanya tentu tidak sekedar mengisi ruang kosong sebuah masyarakat di masa senggangnya. Kesemuanya adalah ekspresi manusia ‘Indonesia’ (katakan saja demikian dulu karena secara politis negeri ini bernama demikian) yang saling berdialog dalam sebuah dinamika representasi dalam media yang disebut film. Ada Apa Dengan Cinta? Yang hadir di tahun 2001 berkisah cinta remaja yang berusaha mentransformasi tokoh Chairil Anwar dalam diri seorang Rangga, film ini bernyanyi dan berpuisi, juga menggunakan setting Jakarta yang terasa sangat jauh dari Jember dan gaya hidup Jember. Usaha mengindonesia dalam Ada Apa Dengan Cinta? Kemudian dilepas dengan kepergian Rangga ke Amerika, negeri yang membebaskan dari segala kekangan norma. Senada dengan film tersebut, Eifle I’m in Love yang diangkat dari sebuah novel pop juga menggabarkan romatika cinta yang mengesankan namun ada di luar negara yang bernama Indonesia. Ini berarti ada usaha untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia. Kemudian film Heart bercerita pengorbanan bagi cinta, mengingatkan pada tema-tema cerita India bagaimana mengkonsep cinta dan pengorbanan. Arisan!, Cintapucino dan Mereka Bilang Saya Monyet juga masih mengambil latar ibu kota dengan kehidupan urbannya, dengan pembacaan sinis bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah Jakarta. Kemudian konstruksi Jakarta sebagai Indonesia dalam representasi-representasi karya berubah haluan ketika Bangka Belitung dalam Laskar Pelangi tayang. Indonesia berpindah ke Bangka yang jauh dari Jakarta walau pun dikerjakan orang-orang Jakarta, Bangka pun hadir melalui lensa rekaman orang Jakarta. Setidaknya apa yang terjadi setelah Laskar Pelangi, kehidupan dan kesejahteraan guru di Indonesia menjadi perhatian khusus bebagai kalangan hingga yang berujung pada rangka politik perhatian negara. Justru film-film horor sejenis Jaelangkung, Tiren, Bangku Kosong, Hantu Jeruk Purut walau dengan latar orang Jakarta dan repetisi sebagian dari yang pernah di kontestasikan pada jaman kejayaan Suzanna, lebih kental soal Indonesia. Hantu-hantu yang dikonstruksi serta sense of horor yang dihadirkan dekat dengan apa-apa yang memitos di sebagian besar kebudayaan Indonesia. Soulmate yang menggunakan judul berbahasa Inggris menyajikan kisah split character yang dialami tokoh utama dengan nuansa mistis yang digali dari budaya lokal (Bali) juga bermain di ranah aman kesenangan pasar, seputar manusia urban. Sementara Mereka Bilang Saya Monyet
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
yang diadaptasi dari sastra perkotaan ini menyoroti keadilan gender dan stereotipe perempuan Indonesia dalam keterpecahan kesadaran yang sczishoprenic, menurut Lacan fenomena ini dialami manusia posmodern dimana terjadi keterputusan tanda dan penanda. Antara yang nyata dan khayal datang simultan, tumpang tindih hingga sulit dibedakan. Artinya gambaran mengenai manusia posmodern dengan pergulatanpergulatannya berhubungan
mengenai hidup dari sisi epistememologis dan ontologis (yang dengan
pengetahuan
dan
penerimaan
bentuk-bentuk
‘ada’)
(McHale;1987:12-13) juga dialami oleh masyarakat Indonesia walau itu tidak semuanya. Disusul dengan irama baru dengan film sejenis Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan Cinta Bertasbih yang semuanya nengangkat kehidupan islami yang disajikan dengan konsep-konsep ‘gaul’. Cinta kasih dihadirkan seperti kisah-kisah cinta Barat yang berlatar kehidupan agama berbeda, usaha memposisikan cinta sebagai penengah perbedaan (usaha masuk ke dalam konsep-konsep egaliter) walau akhirnya gagal dengan pengislaman dan kematian tokoh Maria. Masalah AIDS yang juga diwacanakan dalam Cinta Bertasbih, sebentuk usaha untuk memposisikan masalah yang tabu dalam kerangka kehidupan beragama (penyebaran AIDS yang identik dengan latar kehidupan yang bebas tanpa batasan norma agama). Perempuan Berkalung Sorban menghadirkan pemikiran feminis dan kritis terkait dengan batasan-batasan agama hingga cerita itu juga berakhir dengan penerimaan atas apa yang telah dikonsensuskan. Sementara nasionalisme dan patriotisme muncul dalam Garuda di Dadaku yang kemudian tidak dapat disangkal film ini juga punya andil dalam membangun mimpi kolektif pada kebangkitan Tim Garuda (tim nasional sepak bosa Indonesia) di lapangan hijau yang menjadi salah satu ruang bersatunya keragaman Indonesia mendukung tim di tingkat ASEAN tahun lalu. Merah Putih berusaha membangun jiwa patriotis dengan menghadirkan rangkaian sejarah dan toleransi beragama di sela-selanya. Berbeda dengan Identitas yang menyatir kondisi Indonesia di level bawah, ketidakadilan, kemiskinan, keruwetan dan kondisi sosial politk yang ironis menjadi butir-butir gugatan film tersebut. Ideologi yang dimunculkan adalah menjadi Indonesia berarti harus berani miskin, berani diabaikan sebagai ‘bangsa’. Tentu saja film-film yang saya sebutkan bukanlah keseluruhan dari film yang dihasilkan sepanjang hampir 11 tahun terakhir. Sebagian yang tersebut di atas diambil berdasarkan ragam wacananya mengenai menjadi perempuan, sebagai muslim yang mayoritas,
menjadi
masyarakat
urban
di
Indonesia,
berdampingan
dalam
keberagaman, nasionalisme, konstruksi kenyataan hidup di Indonesia. Apa yang dimunculkan film menunjukkan penerimaan dan cara pandang yang beragam dalam pemanfaatan era baru sebagai sarana menyuarakan kehendak ideologis sekaligus kegamangan mereka.
Film, atau pada umumnya seni, menyimpan residu
atau malah esensi dari karakter kemanusiaan yang hakiki. Ketika manusia disapih dari pesona mistik dan ritualnya, dipaksa memaksimalkan rasio, bukan berarti ingatan
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
kolektif tentang logika yang lain, yang tersimpan dalam ingatan emosi sebagai arketip (istilah Jung untuk pengalaman bawah sadar manusia) yang terepresi dan sekali waktu bisa muncul bila sarananya tersedia. Imajinasi yang divisualkan melalui media baru mengungkapkan kembali apa yang terepresi itu. Usaha menghadirkan kenyataan ulang dalam film-film tersebut tetap memunculkan keterpesonaan pada dunia. Hal ini terkait dengan
visi
posmodernisme
yang
sebenarnya
menyangkut
pencarian
kembali
spiritualitas yang dikeringkan proyek-proyek modernitas. Ia menjadi sarana bagi kebangkitan baru pesona dunia dalam jelmaan baru yang dapat berupa budaya kizst, camp, maupun penggalian pada dunia lama yang filosofis. Sastra Indonesia dan kembalinya pesona dunia Semenjak kemunculan Saman oleh Ayu Utami tahun 1997 yang mulai menggali mitos dan legenda yang ada di dalam masyarakat, mengenai roh-roh dan mistis dihadirkan kembali dalam karya sastra. Disusul karyanya yang lain yaitu Larung dan Bilangan Fu yang berseri dengan Manjali dan Cakrabirawa, kesemuanya menyinggung perihal unsur keterpesonaan pada dunia yang digali dari sejarah lokal masyarakat terutama Jawa. Nukila Amal dengan Cala Ibi-nya juga mengangkat unsur-unsur lokal Ternate. Penerimaan-penerimaan pada apa yang lokal, yang dekat dengan alam dan tuhan, yang tidak dibicarakan atau bahkan dianggap konyol di kalangan orang-orang terpelajar dan pergaulan orang urban di Jakarta kembali disajikan di dalam novel-novel tahun 2000an. Representasi Jakarta yang demikian terjadi karena pada kenyataannya Jakarta hanyalah sebuah kampong besar yang berasal dari berbagai kampong dan membentuk kesatuan budaya yang dipengaruhi koloni Barat, tapi tetap tak dapat dihilangkan kekampungannya, ikatan pada pesona dunia yang ditinggalkan, yang hidup dalam mimpi kanak-kanak kita tak pernah bisa terlepaskan. Jakarta menjadi ruang pastiche dari berbagai budaya akar dan yang membarat yang enggan kehilangan pesona dunia itu juga tidak pernah lepas dari jiwa kehidupan Jakarta sendiri yang muncul dalam seni sastra yang dimodernkan tersebut. Herlinatiens yang berdomisili di Jogja juga mengambil peran berbicara mengenai kehidupan urban Jakarta dalam karyanya (sebagian) yang mentasbihkan karya-karya tersebut merupakan rangkaian dari sastra perkotaaan. Peperangan hati, pikiran dan budaya mengenai eksistensi diri tokoh dalam Garis Tepi Seorang Lesbian juga menghadirkan unsur kedaerahan yang dekat dengan alam dan pencipta seperti mantramantra yang diucap Paria yang berbahasa Jawa untuk menguatkan hatinya. De Javu yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya lebih tegas mengangkat hal-hal yang ‘uncanny’ termasuk perkara de javu itu sendiri. Seberapa pun modern kehidupan tokohtokoh tersebut mereka tidak lah lepas dari akarnya, ada perjalanan ulang-alik dari yang tradisional kultural menuju yang modern kemudian kandas di antaranya. Oka Rusmini yang tekun menulis kisah-kisah sehubungan dengan Bali, tanah moyangnya,
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
memberikan alternatif-alternatif sikap terhadap ketatnya adat, perihal pesona dunia juga ramai dalam tulisannya yang kaya dengan data budaya. Pesona dunia dalam karya-karya mutakhir di satu sisi nampaknya tak lepas dari arah perkembangan peradaban dunia yang menghargai diversitas akibat keterpecahan narasi tunggal dimana semua bisa dapat tempat dan semua dapat pengakuan. Di sisi lain, peran sarana informasi yang semakin mengglobal memungkinkan orang ingin mengakses banyak dunia (worlds, seperti kata McHale) tanpa sekat, tanpa penafian memungkinkan dunia yang unik, yang berbeda dapat dipandang sebagai lahan subur pertumbuhan ekonomi baru (ekonomi kreatif). Siapa yang mampu menangkap peluang dalam diversitas yang multi dalam kenyataan sehari-hari di era posmodern ini maka pundi-pundi pendapatan ada dipihaknya. Mimpi pun bisa dijual, bila di sisi hiburan Udin Sedunia dan Briptu Norman Kamaru akhir-akhir ini menikmati peluang yang ditangkapnya, mungkin beberapa waktu ke depan akan juga lahir semacam penggiat sastra yang menggemparkan di dunia yang serba mungkin ini. Kembalinya pesona dunia dan proses menjadi Indonesia Indonesia belum pernah ada selain dalam imajinasi kita, yang ada hanyalah suku bangsa yang beragam yang saling mengikatkan diri dalam satu organisasi yang dinamakan negara. Sebuah rasionalitas yang dipaksakan itu. Kehadiran pesona dunia kembali adalah kehadiran roh suku-suku bangsa yang mengglobal. Terjadilah glocalisasi, bagaimana suara-suara dan jiwa lokal muncul terbungkus dalam case yang disebut Indonesia di ranah global. Bila ini kita pandang sebagai semangat menjadi Indonesia, maka yang dimaksud tentulah penghargaan terhadap keanekaragaman sebagaimana selera yang muncul dalam film-film dan karya sastra kita. Kekonyolan seperti anggapan kakak saya di masa kecil itu justru diumbar dalam karya sastra dan film yang membuat karya-karya tersebut terasa ‘lebih Indonesia’. Taruhlah karya Djenar Maesa Ayu dengan kumpulan-kumpulan cerpennya rata-rata berbicara kehidupan perempuan muda di Jakarta yang glamor, yang hura-hura bahkan terkesan hedon, di dalamnya juga kembali pada spiritualitas. Dua cerpennya yang dipadukan menjadi film Mereka Bilang Saya Monyet menghadirkan ideologi pemberontakan terhadap patriarki yang habis-habisan akan tetapi semuanya kembali pada kultus ibu, kembali juga pada susu ibu. Ibu sebagai surga, ibu yang tak dapat dilawan, ibu yang istri ayah, yang tak pernah mampu melawan ayah, yang lemah menerima nasibnya karena mencintai ayah, ibu yang perempuan, perempuan yang cerdas sampai dia jatuh cinta. Konsep ibu tradisional dan alternatif dalam kerangka perlawanan pada yang tradisional tersebut akhirnya juga pop-up, mempesona kembali sebagai rumah, sebagai tempat berpulang bagi hidup. Sementara Laskar Pelangi yang juga diadaptasikan ke dalam film menawarkan national awareness dalam konteks didaktis. Tidak dapat dipungkiri, semua suku bangsa di dunia menjadikan seni sebagai medium pandangan dunia mereka, cerita dijadikan sebagai sumber nilai-nilai yang dapat diteladani.
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
Modernisme menjarakkan masyarakatnya dari nilai-nilai lama dan fungsi didaktik karya seni. Kehausan itulah yang dipenuhi oleh Laskar Pelangi. Ketika di tengah umat beragama didirikan pemerintahan sekuler, terjadi lagi penekanan, represi suara hati 90 % lebih penganut agama yang masih mengimpikan sebuah masyarakat dalam imaji ideologi mereka. Dengan jeli tertangkap oleh pelaku pasar, para produser yang memanfaatkan dengan sangat baik peluang itu, maka terjadilah booming pada karya-karya berbau kehidupan ‘islami’ baik film mau pun karya sastra. Usaha mempopulerkan Islam melalui narasi film ini pun membuat simplifikasi-simplifikasi dalam bahasa pop yang menunjukkan Islam bisa gaul walau pun itu cuma sebagai alat komodifikasi. Penutup Kontestasi ide mengenai bangsa Indonesia yang hadir dalam karya film dan sastra tahun dua ribuan yang telah diuraikan tersebut masih gamang. Capaian teknologi pada media-media ekspresi memberikan ruang kembali pada apa-apa yang tadinya
diharamkan.
Tradisionalitas,
lokalitas
dari
budaya-budaya
moyang
dikembalikan dalam narasi tersirat karya. Cara ini adalah usaha meruangkan konsep bangsa ‘Indonesia’ di era global dan menganggap konsep bangsa yang lama tidak mampu mewadahi perubahan-perubahan yang tak lagi terkendali seiring perubahan jaman. Bila Soekarno mampu membangun imaji bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dengan menghapuskan jejak-jejak penjajahan Belanda dari banyak aspek (misal pada penggunaan bahas Belanda yang nyaris tidak berbekas), narasi-narasi film dan sastra Indonesia tahun 2000an mengisinya dengan carut marut budaya global, bahkan penegasan sebagai bangsa yang pernah terjajah dan masih mencari model bangsa
yang
disebut
Indonesia.
Semuanya
menjadi
kecenderungan
karena
keberagaman posisi ideologi dan posisi kultural kita. Yang menjadi tantangan adalah kekritisan penikmat karya dalam memilih dan menerima carut marut ide tersebut agar imaji kebangsaan itu terintegrasi dan jadi imaji kolektif sebagai Indonesia. Daftar bacaan Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Revised Edition ed. London and New York: Verso, pp. 5-7. Bhabha, Homi K. 1990.Nation and Narration. London ; New York: Routledge. Berman, Morris. 1981. The Reenchantment of the World. London: Cornell University Press Lyotard, Jean-Francois. 2009. The Posmodern Condition: A Report on Knowledge (Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, penerjemah Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing McHale, Brian.1987. Postmodernist Fiction. New York & London: Routledge Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Indonesia dalam karya film dan sastra tahun 2000-an, Hat Pujiati, Matatimoer Institute
Poster, Mark. 2004. The Mode of Information: Poststructuralism and Social Contex. Cambridge: Polity Press. Preglau, Max. 2003. Disenchantment and Re-Enchantment of the World; Inscapable Dialegtics? dalam Religion, Society and Economics: Eastern and Western Perspectives in Dialogue seri XXIII Theology.Frankfurt am Main: Peter Lang GmbH- Europaischer Verlag der Wissenschaften.