LEGITIMASI KEKUASAAN DALAM PRASASTI DAN KARYA SASTRA KUNO Suharyana1
Abstract The king presence and his authority was so important, therefore many threads from persons with an ambition for that throne. It wasn’t an easy effort to maintain the authority from a quick fall. It clearly took some strategies to strengthen the throne. The king, as a major ruler for all the kingdom, emphasized the army as well as the weapons. In the other hand, the king also built inscriptions and wrote down many literature works. The inscription’s content consisted of sima prize and the way to mention of predecessor kings. Literature works identified king as a bravery icon who determine any criminality and protect his people. Those strategies resulted a stabilization of king’s authority. Kata Kunci: legitimasi, kekuasaan A. Pendahuluan Sejak keberadaan sistem kerajaan telah dikenal di Indonesia, kekuasaan dan keberlangsungannya menjadi sangat penting sebab terdapat banyak hal-hal yang menarik dan menyenangkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kekuasaan.
Sejak pemerintahan
Mataram Kuno berpusat di Jawa Tengah dan kemudian pindah ke Jawa Timur, kekuasaan demi kekuasaan silih berganti keberlangsungannya. Oleh sebab itu, tentu cara dan sarana yang digunakan sebagai alat memperteguh keberadaan akan kekuasaan dan kelanjutannya menarik untuk dimengerti, khususnya pada masa klasik; bahkan hal tersebut berlangsung hingga waktu yang tidak terbatas. Semakin kompleks dan maju sebuah pemerintahan, tentu masalah kekuasaan dan kelangsungannya lebih akan tertata dalam suatu tatanan modern. Dalam rangka menguak tabir prasejarah, tidak satupun sumber tertulis yang dapat digunakan; berbeda dengan arkeologi-sejarah masa klasik yang dilatari oleh agama Hindu Budha. Selain mempelajari peninggalan masa lalu yang berwujud artefak; untuk memperjelas, mengembangkan dan memperluas pengetahuan aspek-aspek sejarahnya, maka sangat penting dan harus didukung sumber-sumber lain, seperti sumber tertulis; sebagai contoh adalah sumber prasasti dan hasil-hasil sastra kuno. Prasasti merupakan salah satu wujud peninggalan tertulis dari masa lampau yang biasanya dipahatkan di batu atau logam. Prasasti tidak lain merupakan sumber tertulis yang dikeluarkan oleh penguasa atau raja; oleh sebab itu apa yang terdapat dalam prasasti merupakan pemberitaan yang mengandung informasi-informasi yang sangat penting dan 1
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, UNS.
resmi dari lingkungan pemerintahan atau raja. Prasasti pada dasarnya berisi
sebuah
penetapan daerah sima atau perdikan yang dberikan kepada pejabat daerah yang telah berjasa pada raja. Prasasti yang lengkap terdiri dari beberapa bagian isi antara lain adalah seruan sebagai pembukaan, dengan ucapan selamat atau penghormatan kepada dewa. Setelah seruan tersebut adalah berupa bagian yang menunjukkan penanggalan, antara lain menunjuk hari, tanggal, bulan, dan tahun. Penanggalan tersebut dilanjutkan dengan penyebutan nama raja atau pejabat pemberi perintah. Hal tersebut kemudian dilanjutkan dengan nama pejabat tinggi yang mengiringi, meneruskan dan menerima perintah. Setelah bagian itu semua dilanjutkan pada bagian yang kelima, yaitu bagian yang menjadi pokok isi atau pokok peristiwa yang diabadikan dalam prasasti, yaitu berisi penetapan suatu daerah menjadi sima. Penetapan sima tersebut diikuti oleh bagian yang sering disebut dengan Sambandha, yaitu bagian yang berisi alasan-alasan daerah tersebut dijadikan daerah sima. Ternyata dalam prasasti terdapat pula bagian yang berupa daftar para saksi atau para pejabat yang hadir pada perisitiwa tersebut. Selanjutnya bagian prasasti yang terakhir berisi sumpah, ancaman atau kutukan bagi siapa yang telah melanggar ketentuan-ketentuan yang diberlakukan; dan diakhiri dengan bagian penutup. Sumber-sumber tertulis berupa prasasti di masa Mataram Kuno telah banyak ditemukan. Prasasti-prasasti tersebut memberikan informasi terkait dengan masalah pemerintahan kerajaan, seperti masalah pemberian hadiah kepada pejabat daerah, silsilah raja, stratifikasi sosial masyarakat, masalah pajak dan kekuasaan serta sosial ekonomi lainnya.2 Suatu ketika sumber prasasti sangat terbatas dalam memberikan informasi kesejarahan; oleh sebab itu dukungan sumber tertulis lain sangat diperlukan. Karya sastra pada masa lampau kadang memberikan arti penting dalam menjelaskan lebih lanjut, tetapi dalam pemanfaatannya harus dikritisi dari kebenaran ilmiah. Hal itu disebabkan karya sastra tersebut sering bernuansa mitos, walaupun ada aspek historisnya. Bahasa Jawa Kuno masa Mataram Klasik merupakan bentuk bahasa tertua Bahasa Jawa. Dalam sastra Jawa Kuno yang dipakai dan berlaku secara luas terdapat dua macam puisi yang berbeda anatara satu dengan lainnya, yaitu terutama metrumnya. Pertama adalah jenis kakawin dan kidung. Kakawin menggunakam metrum- metrum 2
dari India, sedangkan Kidung menggunakan
Agus Aris Munandar, Prasasti Mula Malurung: Pelengkap Sejarah Kerajaan Singasari. PIA. IV (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986), hlm. 9-15, Djoko Dwiyanto, Pengamatan Terhadap Data Kesejahteraan dari Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 M. PIA IV (Jakarta: Bogor, 1986), hlm. 94-102, Hasan Djafar, “Prasasti dan Historiografi”. Seminar Sejarah Nasional IV (Yogyakarta: Jarahnitra, 1985), hlm. 1-30.
metrum Jawa atau Indonesia. Demikian pula dalam bahasanya terdapat perbedaan. Dalam kakawin dipakai Bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam kidung dipakai Bahasa Jawa Tengahan. Sebagian besar karya Sastra Jawa Kuno tidak dapat dimengerti penanggalan penulisannya, tetapi beberapa kakawin dengan alasan yang kuat dapat dipastikan kapan karya sastra tersebut ditulis. Penanggalan tersebut dapat diperkirakan ketika ditemukan prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang sama. Selain itu juga dapat dilakukan dengan membandingkan bahasa karya sastra tersebut dengan contoh lain yang penanggalannya dapat dipastikan.3
B. Pranata, Birokrasi dan Penataan Wilayah Mataram Kuno Berdasarkan doktrin Brahma, jagat raya terdiri dari sebuah benua bernama Jambudwipa yang berbentuk lingkaran dan menjadi pusat yang dikelilingi oleh tujuh benua dengan tujuh lautan yang juga berbentuk lingkaran konsentris. Di luar lautan yang ke tujuh, yang terakhir
terdapat jagat raya yang ditutup oleh barisan pegunungan yang besar
(cakrawala). Di tengah-tengah Jambudwipa terdapat sebuah gunung yan g menjadi pusat peredaraan matahari, bulan dan bintang-bintang. Di puncak gunung Mahameru terdapat kota-kota tempat tinggal para dewa dan dikelilingi oleh tempat-tempat tinggal dewa-dewa Lokapala. Dokrin dari Budhisme pada dasarnya sama yaitu memberikan pandangan bahwa jagat raya itu bentuknya seperti lingkaran yang dikelilingi oleh wilayah-wilayah yang berpusat pada Meru.4 Pandangan kosmogoni tersebut dalam perkembangannya telah banyak mempengaruhi alam pikiran manusia dan melahirkan konsepsi-konsepsi tentang hubungan antara dunia manusia dan jagat raya; dan mempunyai pengaruh dalam kegiatan politik dan budaya. Seluruh susunan pada kerajaan-kerajaan kuno di Asia, termasuk di Indonesia, terlihat mewujudkan pandangan kosmogoni tersebut. Raja dan kerajaan (mikrokosmos) merupakan gambaran riil dari jagat raya (makrokosmos). Raja dan kerajaannya/kratonnya di ibu kota menjadi pusat susunan mikrokosmos tersebut. Pranata dengan berbagai kelengkapan birokrasi Kerajaan Mataram Kuno diwarnai pengaruh dari India. Pengaruh tersebut telah diambil, diterima, diseleksi serta dibentuk suatu tatanan yang relatif lebih baru. Pranata tersebut meliputi masalah kedudukan raja secara 3
Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm. 22-30. 4 Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984) hlm. 188192.
turun-temurun, kedudukan parameswari, binihaji, putra atau putri mahkota, pejabat-pejabat pusat atau daerah, yang mengurusi berbagai masalah politik, kekuasaan, keagamaan, peradilan, perpajakan, dan masalah-masalah sipil. Sebagai landasan pranata kerajaaan adalah apa yang disebut dengan landasan kosmogonis.5 Struktur pemerintahan kerajaan mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan
dengan
birokrasi yang terperinci. Kenyataan tersebut disebabkan karena adanya pengaruh kepercayaan kosmologis. Bertolak pada konsep tersebut, maka pemerintahan kerajaan Mataram Kuno dianggap sebagai replika dari jagat raya. Raja disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahameru dan wilayah kerajaan disamakan dengan tempat tinggal para dewa Lokapala yang terletak di empat penjuru mata-angin. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang kekuasaaan atau politik tertinggi dan tentu saja menduduki puncak struktur kerajaan. Dalam melakukan pekerjaan raja dibantu oleh pejabat-pejabat birokrasi kerajaan. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam birokrasi kerajaan. Para putra raja sebelum menjadi raja biasa diberi kedudukan sebagai raja muda atau sering dikenal yuwaraja atau kumararaja . Di bawah kelas penguasa tersebut terdapat sekelompok pejabat tinggi yang disebut Rakyan Mahamantri Katrini, Rakyan Mantri ri Pakiran-kiran, Dharmadhyaksa dan Dharmaumopapati. Jabatan Rakyan Mahamantri Katrini tersebut terdiri dari tiga orang yaitu Rakyan Mahamantri I Hino, Rakyan Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pejabat-pejabat tersebut menerima perintah raja secara langsung, oleh sebab itu jabatan tersebut adalah kedudukan yang sangat penting. Selanjutnya perintah tersebut diteruskan kepada Rakyan Mantri ri Pakiran-kiran. Jabatan Mantri ri Pakiran-kiran terdiri dari beberapa jabatantinggi yang merupakan sebuah “dewan mentri” dan sebagai pelaksana pemerintahan. Jabatan tersebut terdiri dari lima pejabat, yaitu Rakyan Mapatih (Patih Hamangkubhumi), Rakyan Tumenggung, Rakyan Demung, Rakyan Rangga dan Rakyan Kanuruhan. Rakyan Mapatih adalah jabatan paling tinggi dalam kelompok tersebut, yaitu sebagai mentri utama, Rakyan Tumenggung adalah panglima kerajaan, Rakyan Demung merupakan jabatan yang bertugas mengatur rumah tangga kerajaan dan Rakyan Kanuruhan sebagai penghubung dan tugastugas protokuler, sedangkan Rakyan Rangga merupakan pembantu panglima. Perlu diketahui, bahwa jabatan Mahamantri Katrini telah dikenal sejak pemerintahan Mataram Kuno berpusat di Jawa Tengah.
5
Boechari, “Local Genius dalam Pranata Sosial di Indonesia pada Zaman Klasik” dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 203-204.
Selain pejabat-pejabat tersebut masih terdapat jabatan yang tinggi terkait dengan yuridiksi keagamaan yang disebut Dharmadhyaksa. Dharmadhyaksa
dapat dibedakan
menjadi dua yaitu Dharmadhyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadhyaksa ring Kasogatan, masing-masing untuk agama Siwa dan Budha. Para Dharmadhyasa tersebut dibantu oleh Dharma-upapati.6 Berkenaan penataan wilayah di masa Mataram Kuno, van Naerrsen berpendapat bahwa wilayah terkecil adalah wanua yang dipimpin oleh seorang rama atau tuha. Lebih lanjut sejumlah wanua akan di pimpin oleh seorang raka dalam satuan wilayah yang disebut dengan watak/watik. Selanjutnya Edi Sedyawati kurang sependapat; dalam wilayah wanua terdapat beberapa rama. Tuha tidak sebanding dengan rama. Rama adalah anggota dewan pimpinan wanua, sedangkan tuha sering dipakai sebagai sinonim juru yaitu sejenis pimpinan atas orang-orang seprofesi. Berkenaan dengan sebutan raka tersebut di atas sebenarnya menjadi pertanyaan besar, sebab yang ada adalah rakae, rake atau rakarayan; oleh sebab itu masih perlu dipertanyakan apakah tiga sebutan itu berasal dari kata dasar raka.7 Lebih lanjut dijelaskan berkenaan dengan adanya beberapa golongan dalam masyarakat pada masa tersebut terkait kedudukan dan hubungan dalam pemerintahan kerajaan, yaitu golongan masyarakat pusat atau kerajaaan, golongan masyarakat thani atau daerah dan golongan masyarakat non pemerintah.8
C. Peneguhan Kekuasaan dalam Prasasti dan Karya Sastra Keberadaan dan keberlangsungan kerajaan dengan segala fasilitas dan seperangkat pejabat, pembantu dan pelayanan-pelayanan serta keperluan lainnya tidak bisa ditawar-tawar lagi kehadirannya. Berbagai fasilitas, pelayan, para kerabat dan pejabat yang ada sangat diperlukan keperlangsungannya, bahkan kekuasaan itu sendiri menjadi suatu hal yang harus dipertahankan dan kontinuitasnya selalu dijaga oleh raja. Untuk hal tersebut perlu dilakukan usaha-usaha yang sekiranya mampu mendongkrak popularitas keabsahan, dan keteguhan raja. Untuk mencapai kekuasaan dan kelangsungan kekuasaan tentu seorang raja akan melakukan berbagai kegiatan yang menjadi tangungjawab, hak dan wewenang, serta fungsi dan peran seorang raja.
6
Bambang Sumadia, op. cit., 451-453. Edi Sedyawati, “Pengarcaan Ganesa pada Masa Kadiri Singosari”, Disertasi (Jakarta: UI, 1985), hlm. 319-382. 8 Ibid. 7
Dalam rangka mencapai pengakuan dan kelanjutan kekuasaaan, seorang raja melakukan berbagai upaya, bahkan bila diperlukan melakukan kekerasan dan peperangan. Kekuasaan ada kalanya juga dibangun dengan proses kekerasan atau permusuhan, peperangan bahkan juga diperlukan tindakan penaklukan. Tindakan-tindakan semacam itu telah dilakukan oleh Senopati, raja pertama Kerajaan Mataram (Islam). Senapati merasa perlu menaklukkan Sultan Adiwijaya sebagai Raja Pajang. Dari peristiwa tersebut dapat dicermati adanya perebutan kekuasaan untuk mencari pengakuan atas keberadaan seorang raja. Setelah Pajang runtuh, maka Mataram
berdiri dengan pusat pemerintahan di Kota Gede. Dari
peristiwa Pajang, keberadaan raja-raja Jawa terus terjadi perselisihan atau perebutan atas kekuasaan. Tradisi kekuasaan di Jawa adalah misteri berkait denga wahyu, dan kepercayaan, bahkan melekat pada kebendaan atau senjata. Selain dengan cara-cara tersebut juga dapat dicapai melalui wangsit atau wahyu. Dengan prinsip dan kepercayaan tersebut putra mahkota yang telah dipersiapkan menjadi raja dapat dibatalkan karena ada ” suara gaib”, atau wahyu.9 Pada masa Mataram Islam banyak kekuasaan yang digapai atau dilestarikan dengan jalan perebutan, kekerasan dan peperangan, hal tersebut berbeda dengan pada masa Mataram Kuno. Pada masa tersebut kekuasaan atau jabatan raja dapat dilestarikan melalui upaya-upaya yang lebih bernuansa budaya atau elegan, yaitu dengan menerbitkan prasasti atau karyakarya sastra; walaupun tidak menutup kemungkinan
adanya peristiwa kekerasan dan
peperangan, tetapi banyak ditemukan parasasti-prasasti dan karya satra yang terkait dengan adanya usaha melanggengkan atau melestarikan kekuasaan, seperti terdapat pada prasasti Mantyasih 907 M atau sering dikenal sebagai prasasti Balitung, prasasti Wanua Tengah Tiga, berangka tahun 908 M dan juga karya sastra Arjuna Wiwaha serta Negarakrtagama. Prasasti Balitung adalah sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung, pada tahun 907 M, berisi urutan raja-raja Mataram Kuno yang pernah memerintah, yaitu: 1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya 2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran 3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan 4. Sri Maharaja Rakai Warak 5. Sri Maharaja Rakai Garung 6. Sri Maharaja Rakai Pikatan 7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi 9
Ons Untoro, Kekuasaan Jawa dan Politik Terpusat” (Yogyakarta: LKIB dan Tembi, 2001), hlm. 5-7.
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Selanjutnya diikuti oleh raja yang mengeluarkan prasasti, yaitu Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu. Nama Dyah Balitung dikenal sebagai salah satu dari raja-raja yang bertakta pada periode Mataram Kuno. Di antara raja-raja yang memerintah di masa itu, Dyah Balitung termasuk raja yang banyak mengeluarkan prasasti. Dari berbagai prasasti yang dikeluarkan, Rakai Dyah Balitung mempunyai beberapa gelar, yaitu: a. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodhaya
Mahasambhu,
b. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarottungga, c. Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsattungga, d. Janardanottungga Dyah Balitung.10 Raja- raja Jawa Kuno yang mempunyai gelar dengan unsur dharmma, diidentifikasi sebagai raja dengan proses perkawinan dari putra raja. Dengan demikian dalam kasus Raja Balitung sangat dimungkinkan, bahwa prasasti Mantyasih atau prasasti Balitung yang berisi silsilah Raja Balitung, dimaksud untuk memperteguh keberadaannya. Hal tersebut juga dilakukan oleh Raja Erlangga dan Raden Wijaya. Erlangga dan Raden Wijaya menjelaskan perkawinannya dengan putri raja sebelumnya di dalam prasastinya, tetapi Balitung tidak, justru menjelaskan pada keturunan raja-raja sebelumnya. Balitung bukan orang yang berhak menduduki jabatan raja, namun dapat naik tahta karena mengawini putri raja. Dengan demikian Balitung bukan ahli waris yang sah. Hal tersebut dapat diketahui dari kedudukan Daksa pada masa pemerintahannya. Daksa mempunyai kedudukan tertinggi setelah Dyah Balitung, yaitu sebagai Rakyan Mahamantri i Hino atau putra mahkota. Daksa adalah saudara atau kakak raja yang gagah berani. Dengan demikian Daksa dapat diartikan sebagai saudara Balitung. Sehubungan Dyah Balitung sebenarnya bukan orang yang berhak atas tahta dan ternyata dapat naik tahta karena perkawinan, sangat dimungkinkan bahwa Daksa adalah saudara dari istri Dyah Balitung.11 Raja Dyah Balitung juga menerbitkan prasasti Wanua Tengah III pada tahun 908 M. Prasasti tersebut berisi pengukuhan daerah Sima di daerah Pikatan dan berisi raja-raja sebelum Dyah Balitung, bahkan disertai tahun penobatannya.
Raja-raja tersebut adalah
Rahyangta i Hara adik Rahyangta ri Mdang, Rakai Panangkaran naik tahta tahun 668 Saka, 10
Titi Surti NastitiTiga Prasasti dari Masa Balitung (Jakarta: Arkenas, 1982), hlm. 3. Boechari, “Rakyan Mahamantri i Hino Sri Sanggramawiaya Dharmaprasedottunggadewi”, Laporan Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional Kedua,VI (Djakarta: Madjes Ilmu Pengetahuan Indonesia Seksi Sastra Budaya ( D ), 1965), hlm. 52-54. 11
Rake Panaraban naik tahta tahun 706 saka, Rakai Warak Dyah Manara naik tahta tahun 725 Saka, Dyah Gula naik tahta 749 Saka, Rake Garung naik tahta 750 Saka, Rake Pikatan Dyah Saaladu naik tahta 768 Saka, Rake Kayuwangi Dyah Lokapala naik tahta 777 Saka, Dyah Tagwas naik tahta 806 Saka, Rake Panumwangan Dyah Denendra naik tahta 807 Saka, Rake Gurunwangi Dyah Badra naik tahta 808 Saka, Rake Wungkal Humalang Dyah Jbang naik tahta 816 Saka, Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakasawotsawattungga Rudramurti, naik tahta 820 Saka. Memperhatikan isi kedua prasasti yang dikeluarkan Dyah Balitung dalam waktu yang hampir sama, tentu ada maksud yang dicapai oleh Dyah Balitung. Hal tersebut dapat diketahui melalui perbandingan isi kedua prasasti itu. Satu hal yang terlihat adanya perbedaan jumlah
dan nama
raja-raja yang disebutkan dalam prasasti
Mantyasih tahun 907 M dan yang disebutkan dalam prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M.12 Maksud dan tujuan dari pembuatan prasasti dapat diketahui berdasarkan isi prasasti yang antara lain adalah menetapkan suatu daerah dalam hal ini adalah Mantyasih ataupun Wanua Tengah menjadi Sima dengan berbagai haknya. Raja melakukan hal tersebut sebagai sebuah penghargaan terhadap pejabat setempat karena berjasa pada raja. Selain tujuan yang secara tertulis dapat dibaca, tentu ada maksud dan tujuan yang tersirat, yaitu agar semua orang atau masyarakat Mantyasih dan Wanua Tengah, bahkan lebih dari itu mungkin sebagian besar masyarakat Mataram, wilayah kekuasaan Dyah Balitung mengetahui bahwa Raja Balitung adalah keturunan raja-raja yang telah sah menduduki otoritas tertinggi Kerajaan Mataram Kuno. Hal ini berarti sebuah usaha membangun legitimasi
atau
peneguhan akan kekuasaan Dyah Balitung sebagai raja yang eksistensinya dapat diterima dan dapat berlangsung terus, tanpa kendala-kendala yang berarti. Kedua prasasti tersebut di atas sama-sama dimaksudkan untuk memproklamirkan eksistensi Dyah Balitung sebagai raja yang sah dan diharapkan dapat diterima, dipatuhi, dihormati dan disegani serta keberlangsungannya dapat terjaga dengan aman, selamat dan berhasil. Selanjutnya dalam rangka peneguhan akan keberadaan dan keberlangsungan kekuasaannya, Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawattungga Rudramurti yang telah naik tahta pada tahun 898 Masehi, melakukan hal bebeda. Dalam prasasti Mantyasih tahun 907 M, peneguhan diwujudkan dengan penghormatan pada leluhur yang telah memerintah di Mataram Kuno, sedangkan dalam prasasti Wanua Tengah Tiga
12
Djoko Dwiyanto, op. cit., 95-98.
tahun 908 M, legitimasi dimanifestasikan dengan penghormatan pada bihara atau bangunan suci di daerah Pikatan.13 Dalam menjaga eksistensinya, seorang raja tidak berhenti hanya dengan pembuatan prasasti, tetapi juga melakukan usaha dalam bentuk lain, seperti penerbitan karya-karya sastra yang ditulis oleh pujangga-pujanga kraton. Sebagai contoh adalah
karya sastra Arjuna
Wiwaha dan kitab Nagarakrtagama. Karya Sastra Arjuna Wiwaha adalah karya sastra yang ditulis oleh pujangga kraton, yaitu Mpu Kanwa. Arjuna Wiwaha yang berarti perkawinan Arjuna,
merupakan hasil gubahan episode Mahabharata, pada masa pemerintahan Raja
Erlangga. Dalam masa akhir penulisannya, Mpu Kanwa mengalami kegelisahan disebabkan mempersiapkan segala sesuatu untuk berlaga di medan perang, oleh karena itu dapat diketahui bahwa saat itu Erlangga masih harus menundukan musuh-musuhnya.
Menurut
Zoetmulder karya Arjuna Wiwaha oleh Mpu Kanwa diperuntukkan raja Erlangga dalam rangka mensport usaha-usaha raja Erlangga untuk dapat memenangkan peperangan dan lebih lanjut melangsungkan kekuasaannya. Untuk itu dengan mengambil peristiwa kemenangan Arjuna sebagai tema pokok, Mpu Kanwa telah mengisyaratkan adanya manifestasi kejayaan untuk Raja Erlangga. Oleh karena itu seorang pujangga dapat menyumbangkan harapannya; hal tersebut mempunyai arti yang sangat penting dalam proses legitimasi seorang penguasa, katakan Raja Erlangga.14 Tokoh Ken Angrok sebagai Raja pertama di Singosari bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Keberadaan tokoh Ken Angrok, mengawali dan menandai munculnya satu wangsa baru, yaitu wangsa Rajasa ( Rajasawangsa ) atau wangsa Girindra ( Girindrawangsa ), yang akan berkuasa di Singosari dan Majapahit. Ken Arok sebagai Raja Singosari banyak dijelaskan dalam sumber Pararaton dan juga dalam karya sastra Negarakrtagama. Dalam kitab Pararaton Ken Angrok disebutkan sebagai anak yang dilahirkan di desa Pangkur, anak Ken Endok, ayahnya bernama Gajah Para, mereka seorang petani. Ketika Gajah Para di sawah, Ken Endok ditemui di kebun “i lalateng” semak belukar oleh dewa Brahma, dan akhirnya mengandung; Gajah Para akhirnya meninggal. Sewaktu Ken Angrok masih kecil sering melakukan pencurian, selalu berbuat nakal, seperti bertaruh main adu sabung ayam, pencurian sering dilakukan, bahkan sewaktu dewasa semakin menjadi-jadi; tidak saja mencuri tapi telah memperkosa, merampok dan juga pembunuhan. Walaupun sebagai pemuda yang sangat nakal, brutal toh akhirnya Ken Angrok dapat mengabdi di Tumapel pada 13
Ibid., 101-107.
14
Zoetmulder, op. cit., 198-312.
sang Akuwu Tunggul Ametung. Selanjutnya Ken Angrok dapat Kertajaya,
mengalahkan Raja
dengan bantuan para pendeta dari Kediri pada tahun 1222 Masehi. Setelah
mengalahkan Dandang Gendis atau Kertajaya, Ken Angrok naik tahta di Tumapel, tetapi pada tahun 1247 Masehi dibunuh oleh seorang pengalas suruhan Anusapati dan didharmakan di Kagenengan.
Meskipun akhirnya menjadi Raja besar dengan gelar Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi, tetapi dalam kitab Pararaton Ken Angrok dijelaskan sebagai tokoh yang mempunyai sejarah kelam ( Bouchari, 1975: 56-69. Ki J. Padmopuspito, 1966: 56-90). Selain disebut-disebut dan dijelaskan dalam sumber Pararaton, Tokoh Ken Angrok dapat diketahui dalam Negarakrtagama. Dalam sumber tersebut dijelaskan, bahwa pada tahun 1104 Saka atau 1182 M, ada Raja perwira yudha putra girinatha, konon kabarnya lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk sujud menyembah kaki baginda, sebagai tanda bukti akan ketaatan dan kepatuhan serta kebesaran raja, Ranggah Rajasa namanya, yang merupakan seorang penggempur musuh dan pahlawan bijaksana. Suatu daerah yang sangat luas berada di sebelah timur Gunung Kawi yang terkenal sangat subur dan makmur, di tempat tersebut putra Sang Girinatha menuaikan dharmanya, menggirangkan budiman menyirnakan penjahat, meneguhkan negara. Ibu negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu. Pada tahun 1222 M atau 1144 Saka beliau melawan raja Kediri yaitu Sang Adiperwira Kertajaya dan akhirnya Kertajaya ketakutan, kalah dan melarikan diri ke dalam biara terpencil dan akhirnya semua pengawal dan perwira tentara mati terbunuh. Setelah raja Kediri terkalahkan, Jawa dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bukti hasil tanah. Bersatulah Jenggala Kediri dibawah kuasa satu raja sakti, cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa. Makin bertambah kuasa dan megah putera Sang Girinatha. Pada tahun 1227 M atau 1149 Saka raja meninggal dan dicandikan di Kagenengan.15 Dari berbagai sumber tersebut di atas dapat difahami bahwa, keberadaan prasasti dan hasil karya sastra telah banyak berperan dalam penjelasan penuturan kisah kesejarahan dan akan kepentingan legitimasi kekuasaan. Dalam prasasti Mantyasih tahun 907 M terkait dengan keberadaan Raja Dyah Balitung, bahkan didukung oleh sumber prasasti Wanua Tengah Tiga berangka tahun 908 M. Dalam sumber sastra Arjuna Wiwaha, dapat dimengerti kepentingan Raja Erlangga untuk mendapatkan kemenangan atas musuh-musuhnya, sekaligus kemenangan tersebut digambarkan dalam Arjuna Wiwaha untuk memperteguh kekuasaan atau kekuatan. Karya sastra Pararaton menceritakan tokoh Ken Angrok secara 15
Slamet Mulyano, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara, 1979), hlm. 64-114.
lebih terbuka, tanpa latar belakang tertentu dan lebih banyak mengandung mitos. Dalam Negarakertagama, tokoh Ken Angrok dikisahkan sebagai tokoh yang hebat, tanpa cacat, penghalau kejahatan dan perwira yudha serta ditakuti dan disegani semua rakyat. Oleh sebab itu dapat dimengerti bahwa, kitab Negarakrtagama banyak memberikan sanjungan dan pujaan terhadap tokoh Ken Angrok, karena hal tersebut menjadi panutan raja-raja Majapahit sebagai penumbuh Wangsa Rajasa atau Wangsa Girindra. Lebih lanjut dalam kepentingan yang lebih luas,
tokoh Tohjaya sebagai salah satu keturunan Ken Angrok tidak disebutkan dalam
Negarakrtagama. Hal tersebut dianggap menjadi cacat dalam kebesaran Raja Majapahit, khususnya adalah Raja Hayam Wuruk sebagai raja besar masa Majapahit. Sanjungan akan kebesaran seorang raja yang didukung oleh genealogi raja-raja sebelumnya, dipandang sangat penting dalam rangka melegitimasi kedudukan raja atau penguasa. D. Penutup Kerajaan, raja dan kekuasaannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam tradisi Jawa, kedudukan raja diperoleh melalui faktor keturunan, tetapi ada akalanya melalui perkawinan, perebutan atau penyerangan. Peristiwa perebutan kekuasaan atas kerajaan sering terjadi karena keberpihakan garis keturunan itu sendiri atau keinginan di luar garis keturunan tersebut. Dengan demikian kekuasaan perlu dijaga, dipertahankan dan dilestarikan. Untuk itu seorang raja memandang perlu membuat suatu cara mempertahankan dan melangsungkan kekuasaannya. Berbagai cara meneguhkan kekuasaan dilakukan dengan menunjukkan garis keturunan yang sebenarnya, membangunan kekuatan yang kokoh dengan kekuatan prajurit dan kesejahteraan rakyat,
membuat pengakuan atas
garis keturunan dan cerita atau mitos akan kebesaran dan ketokohan. Erlangga adalah seorang raja yang telah melegitimasi kekuasaannya melalui penulisan karya sastra, yaitu kitab Arjunawiwaha yang ditulis oleh
Mpu
Kanwa.
Karya
sastra
tersebut dimaksud juga memberikan mitos bahwa Raja Erlangga adalah raja yang kuat, mampu mengalahkan akan musuh-musuhnya, bagai tokoh Arjuna, yang tidak pernah dalam peperangan. Raja Dyah Balitung adalah raja besar yang berkuasa di Mataram Kuno. Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai prasasti yang telah dikeluarkan. Di balik isi prasastiprasasti tersebut juga terdapat maksud dan tujuan. Tujuan Raja Dyah Balitung mengeluarkan prasasti adalah untuk memberikan anugerah kepada pejabat daerah dengan pemberian daerah sima dan membangun bangunan suci. Selain itu juga untuk membangun legitimasi kekuasaan sebagai seorang raja, melalui penyebutan nama-nama raja yang berkuasa sebelumnya. Hayam Wuruk tidak lepas dari usaha membangun legitimasi akan dirinya dengan menghilangkan
nilai-nilai negatif raja-raja sebelunnya, seperti tidak menyebutkan nama Tohjaya dalam Negarakrtagama. Kerajaan-kerajaan periode Mataram Kuno tidak pernah sepi dari masalah kekuasaan atau perebutan kekuasaan, tetapi hal tersebut dapat disiasati dan diredam dengan membangun legitimasi. Dengan demikian, masalah legitimasi kekuasaan dalam sistem kemaharajaan sangat penting.
PUSTAKA Agus Aris Munandar, Prasasti Mula Malurung: Pelengkap Sejarah Kerajaan Singasari. PIA. IV. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986. Bambang Sumadio, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Boechari, “ Rakyan Mahamantri i Hino Sri Sanggramawiaya Dharmaprasedottunggadewi “, Laporan Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional Kedua,VI. Djakarta: Madjes Ilmu Pengetahuan Indonesia Seksi Sastra Budaya ( D ), 1965. _______, “Ken Angrok Anak Tunggul Ametung”, (?) Berita Anthropologi, VII, 1975. _______, “Local Genius dalam Pranata Sosial di Indonesia pada Zaman Klasik” dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Djoko Dwiyanto, Pengamatan Terhadap Data Kesejahteraan dari Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908M. PIA IV. Jakarta: Bogor, 1986. Edi Sedyawati, “Pengarcaan Ganesa pada Masa Kadiri Singosari”, Disertasi. Jakarta: UI, 1985. Hasan Djafar, “Prasasti dan Historiografi”. Seminar Sejarah Nasional IV. Yogyakarta: Jarahnitra, 1985. Ki J. Padmopuspito, Pararaton. Yogyakarta, 1966. Ons Untoro, Kekuasaan Jawa dan Politik Terpusat”. Yogyakarta: LKIB dan Tembi, 2001. Slamet MulyanoNagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara, 1979. Titi Surti NastitiTiga Prasasti dari Masa Balitung. Jakarta: Arkenas, 1982. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1983.