PENDAHULUAN Latar Belakang Fungsi akuntansi yang demikian penting dalam kehidupan bisnis dan keuangan, menunjukkan bahwa akuntansi dalam masyarakat bisnis memiliki peran yang vital. Akuntansi harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang terus berubah dan harus mencerminkan kondisi budaya, ekonomi, hukum, sosial dan politik dari masyarakat tempat dia beroperasi. Dengan demikian akuntansi harus berada tetap dalam kedudukannya yang berguna secara teknis dan sosial. Peristiwa masa lalu dalam akuntansi biasanya disebut sejarah akuntansi; saat ini adalah waktu di mana akuntansi ada; sedangkan waktu mendatang disebut prediksi (Sukoharsono, 2005). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akuntansi ada dalam dimensi sosial, dari yang terkecil, seorang individu hingga yang terbesar, perusahaan dan negara. Bahkan, itu dimulai pada masa lalu terus saat ini dan waktu mendatang. Praktek akuntansi dipengaruhi oleh faktor-faktor sekitarnya (sosial, ekonomi, dan politik) di mana akuntansi dijalankan dan melewati perkembangan yang unik di dasar pembangunan ekonomi, sosial, dan politik suatu negara tertentu. Selain itu, munculnya praktik akuntansi di Indonesia dapat dilihat dari pencatatan setiap peristiwa (Sukoharsono & Gaffikin, 1993). Hal ini dapat dilihat dalam abad ke 13 hingga abad ke 16 transaksi pencatatan keuangan seperti perpajakan atau transaksi lain yang ditulis dalam bentuk bahasa Jawa lama, baik dalam prasasti maupun Kitab-Kitab kuno. Pada penelitian sebelumnya di Indonesia, Sukoharsono dan Gaffikin (1993) mempelajari munculnya akuntansi selama era kolonialisme Belanda (pada
1
awal abad ke-17). Penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa perkembangan pertama dari penerapan praktik akuntansi di Indonesia muncul dari pelaksanaan sistem kolonialisme Belanda dan akuntansi memiliki peran penting pada masa kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan harga, biaya, dan keuntungan. Sukoharsono (1998a) melakukan penelitian mengenai perkembangan akuntansi pada masa transisi dari masa Hindu ke masa Islam. Masuknya Islam ke Nusantara tidak hanya membawa pengaruh dalam kehidupan keagamaan, melainkan juga membawa pengetahuan-pengetahuan baru seperti memperkenalkan kertas sebagai media tulis, huruf latin, angka Arab, dan juga yang tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya uang logam (coined money) yang sangat penting bagi kemajuan sistem perdagangan di Nusantara termasuk juga untuk kepentingan pemerintah (kerajaan) terutama dalam hal pemungutan pajak kepada rakyatnya. Selain itu, Sukoharsono dan Qudsi (2008) juga melakukan penelitian mengenai praktik akuntansi pada era keemasan Kerajaan Singosari dan menghubungkannya dengan aspek sosial, politik dan ekonomi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka dengan mengembangkan perspektif baru dalam riset akuntansi, sejarah akuntansi tidak hanya dipandang sebagai perhitungan sederhana lagi melainkan sebagai bentuk evolusi kronologis. Studi sejarah akuntansi yang dilakukan oleh para ilmuwan akuntansi dengan menggunakan pendekatan baru umumnya mengkritisi studi-studi sejarah akuntansi sebelumnya yang dianggap menggunakan sudut pandang tradisional. Kritik yang diberikan utamanya adalah bahwa di dalam sudut pandang tradisional, akuntansi hanya dianggap sebagai peralatan teknis, yaitu sebagai teknik
2
mengumpulkan dan menyajikan data keuangan untuk kepentingan pengambilan keputusan (Carmona et al., 2004). Berbeda dengan pendekatan tradisional, pendekatan baru yang digunakan oleh ilmuwan akuntansi, dikenal dengan istilah new accounting history, memandang bahwa akuntansi tidak semata-mata peralatan teknis, melainkan sebuah kekuatan dan pengetahuan (power and knowledge) yang mampu membentuk kehidupan sosial dalam suatu masyarakat (Carmona et al., 2004). Miller dan Napier (dalam Sukoharsono & Qudsi, 2008) juga memberikan perspektif baru dalam melihat perkembangan akuntansi seperti melihat faktor eksternal dan menekankan pada penting dari akuntansi perubahan dalam merespon faktor-faktor internal adalah pengetahuan tentang akuntansi itu sendiri. Salah satu perspektif yang digunakan dalam paradigma new accounting history adalah Foucauldian. Penggunaan konsep filosofis Foucauldian dalam studi sejarah akuntansi disebut sebagai paradigma postmodern dengan melakukan studi sejarah akuntansi menggunakan konsep yang disampaikan oleh Michael Foucault, yaitu konsep kekuatan-pengetahuan (power-knowledge) (Sukoharsono & Gaffikin, 1993). Facoult beranggapan bahwa kuasa tidak hanya terpusat dan terkonsentrasi pada para penguasa yang sedang berkuasa dalam organisasi-organisasi formal, tetapi juga pada semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan (knowledge) (Ikhsan & Suprasto, 2008). Perspektif Foucauldian dalam studi atas sejarah akuntansi telah membuka pikiran para peneliti akuntansi untuk memandang akuntansi tidak hanya dari satu sudut pandang, tetapi melihatnya sebagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.
3
Kerajaan Majapahit berdiri setelah hancurnya kerajaan Singasari. Pemerintahan kerajaan Majapahit berlangsung dari tahun 1293 M sampai 1520 M (Wojowasito, 1950). Era keemasan kerajaan Majapahit terjadi pada zaman Raja Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada yaitu pada tahun 1350 M sampai 1389 M. Saat itu di nusantara, pola yang membentuk akuntansi di era kerajaan-kerajaan di Indonesia dapat diidentifikasi dengan adanya transaksi ekonomi yang direkam. Mekanisme operasional pemungutan pajak di kerajaankerajaan di Indonesia memperlihatkan bentuk keuangan dan akuntabilitas administrasi kerajaan. Kerajaan mengatur aturan perpajakan yang wajib dibayarkan kepada kerajaan. Selain itu, ada juga tarif pajak dan jenis pajak yang dapat dikumpulkan oleh kerajaan. Keputusan Kerajaan untuk mengumpulkan pajak bukanlah masalah yang sepele, namun hal ini merupakan dasar dari akuntansi. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui relasi antara akuntansi dan kekuasaan pada era keemasan kerajaan Majapahit dengan menerapkan paradigma Foucauldian (power-knowledge) yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam menganalisis akuntansi pada era keemasan kerajaan Majapahit. Persoalan Peneltian Persoalan penelitian yang dapat dirumuskan dari gambaran latar belakang yang telah dipaparkan adalah bagaimana relasi antara akuntansi dan kekuasaan pada era keemasan Kerajaan Majapahit berdasarkan kajian paradigma Foucauldian (power-knowledge)?
4
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah sebuah penelitian yang “…hanya berusaha menggambarkan secara jelas dan sekuensial terhadap pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelum para peneliti terjun ke lapangan dan mereka tidak menggunakan hipotesis sebagai penunjuk arah atau guide dalam penelitian” (Sukardi, 2003). Penelitian deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai tata pemerintahan dan perekonomian pada masa keemasan Kerajaan Majapahit. Teknik penelitian digunakan untuk mendapatkan teori, informasi dan data yang dibutuhkan dan berkaitan dengan penelitian adalah studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara membaca buku, jurnal, dan atau referensi lain untuk mencari teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian (Sukardi, 2003). Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan memakai data-data sekunder yaitu literatur yang memuat informasi mengenai Kerajaan Majapahit di era keemasannya, terutama Kitab Negarakertagama. Untuk menjawab persoalan dalam penelitian, penulis menggunakan pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual dalam penelitian ini memakai salah satu konsep multiparadigma dalam penelitian akuntansi yaitu paradigma facouldian. Melalui analisis wacana, Penulis akan mengevaluasi informasi mengenai praktik akuntansi pada masa keemasan Kerajaan Majapahit berdasarkan pendekatan facouldian. Analisis wacana lebih bersifat kualitatif daripada yang umum dilakukan dalam analisis isi kuantitatif
5
karena analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori, seperti dalam analisis isi (Eriyanto, 2001). Berdasarkan metode yang dipakai dalam penelitian ini, maka data yang terkumpul akan dianalisis secara terstruktur sebagai berikut: 1. Analisis Deskriptif Penulis akan menguraikan secara deskriptif data-data sekunder mengenai Kerajaan Majapahit di era keemasannya guna lebih memahami fenomenafenomena yang terjadi secara menyeluruh. 2. Analisis Wacana (discourse analysis) Dari
data-data
sekunder
mengenai
Kerajaan
Majapahit
di
era
keemasannya, penulis akan mengevaluasi relasi antara akuntansi dan kekuasaan pada era keemasan Kerajaan Majapahit berdasarkan kajian paradigma Foucauldian (power-knowledge). 3. Analisis Konklusif Setelah melakukan analisis-analisis tersebut di atas, penulis akan memaparkan simpulan dan saran untuk mempertegas penelitian ini.
NEW ACCOUNTING HISTORY DAN PARADIGMA FACOULDIAN Multiparadigma Dalam Riset Akuntansi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) paradigma bisa berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berfikir. Sedangkan menurut Suriasumantri (2007) paradigma adalah konsep dasar yang
6
dianut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuwan. Paradigma ini merupakan bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa. Suatu paradigma terdiri dari asumsi-asumsi teoritis yang umum dan hukum-hukum serta tehnik-tehnik untuk penerapannya yang diterima oleh anggota suatu masyarakat ilmiah (Chalmers, 1983). Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1994). Selain sebagai penjelasan atas suatu fenomena dengan suatu model yang menyesuaikan dengan kondisi budaya penelitian, paradigma bisa berbentuk dalam suatu metafora untuk memahami realitas. Berdasarkan hal itulah, maka paradigma bisa digunakan sebagai alat untuk melihat realitas ilmu dan praktik akuntansi. Perkembangan riset akuntansi multiparadigma pertama sekali berangkat dari kerangka filosofis yang dibangun oleh Burel dan Morgan (Ikhsan & Suprasto, 2008). Burrel dan Morgan (dalam Ikhsan & Suprasto, 2008) memandang bahwa filsafat ilmu harus mampu melihat keterkaitan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya. Berdasarkan hal itu, Burrel dan Morgan (dalam Ikhsan & Suprasto, 2008) mengelompokkan pengetahuan dalam tiga paradigma modern, yaitu: fungsionalis-interpretatif, radikal humanis, dan radikal strukturalis. Selanjutnya muncullah paradigma postmodern yang menyajikan suatu wacana sosial yang sedang muncul yang meletakkan dirinya di luar paradigma modern.
7
Paradigma posmodern ini merupakan oposisi dari paradigma modern. Akuntansi sebagai pengetahuan manusia dapat juga dipandang menurut paradigmaparadigma tersebut (Ikhsan & Suprasto, 2008). Traditional Accounting History dan New Accounting History Dalam Accounting History, terdapat dua paradigma yang digunakan dalam studi atas sejarah akuntansi (Carmona et al., 2004). Paradigma pertama adalah traditional accounting history yang merupakan paradigma mainstream dalam studi sejarah akuntansi. Paradigma kedua adalah paradigma yang memberi pendekatan alternatif bagi studi sejarah akuntansi, dikenal sebagai new accounting history. Perbedaan utama antara dua paradigma ini adalah dalam hal sudut pandang yang digunakan untuk memberikan batasan mengenai apa yang dapat disebut sebagai akuntansi (what count as accounting). Traditional accounting history memberikan batasan terhadap akuntansi sesuai dengan pandangan yang disampaikan oleh A.C. Littleton dalam bukunya Accounting Evolution to 1900 (Carmona et al., 2004), yaitu: ...The early of complete book-keeping is the duality and equilibrium which derive from early record-keeping precedents, the substance consists of proprietary calculation of the gains (or losses) from ventured capital. ...If either property or capital were not present, there would be nothing for records to record. Without money, trade would be barter; without credit, each transaction would be closed at the time; without commerce, the need for financial records would not extend beyond governmental taxes. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Littleton (dalam Carmona et al., 2004) menyebutkan terdapat tiga atribut dari akuntansi, yaitu: 1) sifat dualitas atau berganda atau berpasangan (duality) yang terkait dengan pencatatan berpasangan;
8
2) keseimbangan (equilibrium) seperti halnya yang tercermin dari neraca; 3) pengakuan atas kepemilikan individu (proprietary) dan keuntungan maupun kerugian yang timbul dari kepemilikan tersebut. Selain tiga atribut tersebut, dapat juga dilihat bahwa Littleton menyebutkan beberapa kriteria yang harus tersedia agar akuntansi dapat berjalan, yaitu: modal (capital); uang; kredit; dan perdagangan (commerce). Pandangan Littleton mengenai esensi daripada akuntansi ini dijadikan pegangan dalam studi atas sejarah akuntansi khususnya yang dilakukan di bawah paradigma traditional accounting history (Carmona et al., 2004). Batasan akuntansi dengan menggunakan pandangan bahwa hanya sistem pencatatan berpasangan (doubleentry) yang dapat disebut sebagai akuntansi, serta keharusan akan adanya mata uang untuk menunjukkan adanya transaksi, telah menyebabkan studi sejarah akuntansi (yang tentunya meliputi kondisi di masa lalu) dilakukan dengan sudut pandang masa kini. Hal ini yang menyebabkan studi maupun gambaran mengenai sejarah akuntansi selalu bertitik tolak pada kelahiran sistem pencatatan berpasangan (double-entry bookkeeping). Di sisi lain, paradigma new accounting history menggunakan pandangan yang berbeda dengan paradigma traditional accounting history. Di dalam paradigma new accounting history, akuntansi diberikan batasan yang lebih luas seperti yang dinyatakan oleh Tinker (1985), yaitu: Accounting practice is a means of resolving social conflict, a device for appraising the term of exchange between social constituencies, and an institutional mechanism for arbitrating, evaluating, and adjudicating.
9
Dari batasan akuntansi di atas, terlihat bahwa akuntansi tidak lagi dipandang terbatas pada sistem pencatatan berpasangan, tetapi lebih luas daripada itu, akuntansi merupakan suatu mekanisme yang dapat memfasilitasi aktivitasaktivitas yang terjadi di dalam kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Tinker (1985) juga menyatakan bahwa meskipun transaksi tidak dicatat dengan sistem double-entry dan juga tidak dikenal satuan mata uang, yang terpenting adalah akuntansi dapat membantu pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan sosial dan ekonomi untuk mendapatkan informasi dan menentukan nilai atas hasil yang diperoleh dari hubungan sosial ekonomi tersebut. Selain menggunakan batasan yang berbeda untuk mendefinisikan akuntansi, studi sejarah akuntansi dalam paradigma new accounting history juga menggunakan metode yang berbeda dibandingkan paradigma traditional accounting history. Metode yang dimaksud adalah menggunakan berbagai alat analisis dalam ilmu sosial, seperti ethnomethodology, Marxism, Habermasism and critical
theory,
Giddens’
structuration,
Gramscian
concept,
Derrida’s
deconstructionism, Weberian perspective, dan Foucauldian untuk memahami sejarah akuntansi (Sukoharsono, 1998b). Studi yang dilakukan dengan paradigma new accounting history umumnya mengkritisi pendekatan yang digunakan oleh traditional accounting history. Traditional accounting history dikatakan sebagai pendekatan yang bersifat ahistoris dan antik (Sukoharsono, 1998b). Dikatakan ahistoris karena sejarah akuntansi ditulis dengan sudut pandang masa kini, di mana sejarah akuntansi cenderung disajikan secara kronologis dengan perlahanlahan menampilkan kebenaran masa kini. Traditional accounting history
10
dikatakan ‘antik’ karena studi sejarah akuntansi terkonsentrasi pada penjelasan mengenai ‘apa’ yang terjadi di masa lalu, dan bukannya menjelaskan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ akuntansi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat (Stewart, dalam Sukoharsono, 1998b). Paradigma Facouldian: Kuasa-Pengetahuan Paul Michael Foucault (lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 – meninggal di Paris, 25 Juni 1984 pada umur 57 tahun) adalah seorang filsuf Prancis, sejarahwan, intelektual, kritikus, dan sosiolog. Kuasa adalah konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Dalam pandangan Foucault, kuasa dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran (Bertens, 2006). Sebagai akademisi, Foucault banyak melahirkan pemikiran dan sangat produktif dalam menuliskan pemikirannya. Sebagai salah seorang filsuf kontemporer, Foucault dikenal dengan berbagai pemikirannya yang cukup kontroversial. Keunikan dari filsuf yang banyak bekerja dalam ranah sejarah ini adalah tema-tema yang ia pilih, mulai dari sejarah kegilaan, sejarah penjara, rumah sakit, hingga sejarah seksualitas. Setelah membandingkan masyarakat modern dengan desain penjara bundar yang membuat penjaga penjara lebih mudah mengawasi para napi, Foucault beranggapan "visibilitas adalah
11
perangkap". Ia melalui visibilitas ini pula menganggap bahwa masyarakat modern selalu berlatih mengendalikan sistem kekuasaan dan pengetahuan (istilah Foucault yang diyakini terhubung fundamentalis dalam satu konsep yang ditulis dengan tanda "kuasa-pengetahuan"). Berkenaan dengan sejarah kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa predikat ‘gila’ bukanlah sekedar masalah empiris atau medis semata, tapi juga berkenaan dengan norma-norma sosial dan bentuk-bentuk diskursus tertentu. Dalam arti, pengertian tentang kegilaan adalah hasil ciptaan manusia. Karena itu kategori gila terus berubah sesuai dengan zaman. Pada Abad Tengah, orang gila adalah yang tidak berintegrasi dengan masyarakat. Menurut versi gereja, orang gila adalah yang tidak memiliki loyalitas pada gereja. Demikian seterusnya, pengertian gila terus berubah sesuai dengan perspektif dan kepentingan pemegang kuasa. Foucault membuktikan bahwa kode-kode pengetahuan (dalam konteks ini: bidang kedokteran) banyak mempengaruhi struktur bawah-sadar masyarakat. Efek-efek kekuasaan tidak perlu lagi digambarkan sebagai yang menafikan, menindas, menolak, menyensor, menutupi, menyembunyikan. Ternyata kekuasaan itu menghasilkan: ia menghasilkan sesuatu yang rill, menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran (Haryatmoko, 2003). Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu. Pembicaraan kuasa dalam pengertian Foucault, mau tidak mau akan menyeret pada apa yang disebut Foucault sebagai pengetahuan. Bagi Foucault, hubungan pengetahuan dengan kekuasaan adalah identik. Mengenai hubungan kuasa dan pengetahuan, Kendall & Wickham (1999) berkomentar:
12
"Power mobilises non-startified matter and function, it local and unstable, and is flexible. Knowledge is stratified, archivised and rigidly segmented. Power is strategic, but is anonymous. The strategies of power are mute and blind, precsely because the avoid the form of knowledge, the sayable and visible." Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu (Haryatmoko, 2003). Kendall dan Wickham (1999) mengemukakan ada lima langkah utama dalam menggunakan paradigma Foucauldian, yaitu: 1. Memahami terlebih dahulu bahwa sebuah wacana adalah sebuah korpus (data linguistik) pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan sistematis; 2. Mengidentifikasi aturan-aturan yang memproduksi pengetahuan; 3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang memberikan batasan-batasan; 4. Mengidentifikasi aturan-aturan yang membuka ruang bagi pengetahuan baru; 5. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menjamin bahwa praktik pengetahuan bersifat material dan diskursif secara bersamaan. Studi menggunakan paradigma Foucauldian mungkin misalnya melihat bagaimana
pemimpin
yang
berkuasa
menggunakan
bahasa
untuk
mengekspresikan dominasi mereka, demi ketaatan dan rasa hormat dari bawahan
13
mereka. Dalam sebuah contoh khusus, studi dapat melihat bahasa yang digunakan oleh guru terhadap siswa, atau perwira militer terhadap wajib militer. Pendekatan ini digunakan untuk mempelajari bagaimana kekuasaan digunakan sebagai bentuk untuk membentuk pengetahuan. Sejarah Akuntansi Dalam Paradigma Facouldian Salah satu perspektif yang digunakan dalam paradigma new accounting history adalah Foucauldian. Penggunaan konsep filosofis Foucauldian dalam studi sejarah akuntansi disebut sebagai paradigma postmodern dengan melakukan studi sejarah akuntansi menggunakan konsep yang disampaikan oleh Michael Foucault, yaitu konsep kuasa-pengetahuan (power-knowledge) (Sukoharsono & Gaffikin, 1993). Penggunaan konsep power-knowledge dalam melakukan studi sejarah akuntansi ini ditujukan untuk menganalisis bagaimana akuntansi muncul dan eksis dalam suatu organisasi maupun dalam masyarakat sebagai suatu kekuatan disipliner (disciplinary power), yaitu kekuatan yang dapat membentuk (constitutive) perilaku masyarakat dalam kehidupan sosial. Berdasarkan sudut pandang akuntansi seperti di atas maka akuntansi dapat dipahami tidak sebatas sebagai alat pencatatan transaksi terlebih pencatatan yang menggunakan sistem berpasangan (double-entry) dan dalam satuan mata uang (monetary unit). Akuntansi hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang mencakup berbagai bentuk mekanisme pencatatan transaksi yang melibatkan berbagai bentuk instrumen pertukaran (exchange instruments), baik menggunakan mata uang maupun tidak, yang digunakan oleh manusia pada berbagai masa (peradaban). Selain itu yang lebih penting lagi adalah akuntansi hendaknya
14
dipahami sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan aktivitas sosial masyarakat dapat berjalan. Ilmuwan akuntansi seperti Marquior (1985) dan Poster (1984) (dalam Sukoharsono, 1998b) mengakui bahwa pendekatan Foucauldian merupakan pendekatan baru dalam studi sejarah akuntansi. Pendekatan Foucauldian tidak berusaha untuk menyajikan gambaran sejarah akuntansi secara lengkap dan kronologis dalam suatu periode, melainkan menguraikan sejarah akuntansi di masa lalu dengan cara mempelajari bagaimana masa lalu itu berbeda, terlihat aneh, serta memberikan pengaruh yang kuat. Foucault (dalam Taylor, 1985) menyatakan: “Truth is a thing of this world: it is produced only by virtue of multiple forms of constraint. And it includes regular effects of power…Truth is linked in a circular relation with systems of power which produce and sustain it, and to effects of power which it induces and which extend it. A 'regime' of truth.” Berdasarkan hal itulah, maka Paradigma Foucauldian dalam studi atas sejarah akuntansi telah membuka pikiran peneliti akuntansi untuk memandang akuntansi tidak hanya dari satu sudut pandang, tetapi melihatnya sebagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks yang juga terjalin dengan konsep power-knowledge. Loft (dalam Sukoharsono, 1998b) berpendapat bahwa hendaknya proses awal lahirnya akuntansi tidak semata dipandang sebagai teknik untuk mengumpulkan dan menyajikan data keuangan untuk kepentingan pengambilan
keputusan,
melainkan
sebagai
kekuatan
yang
membentuk
(constructive) kehidupan sosial masyarakat. Sejalan dengan konsep powerknowledge, diyakini bahwa akuntansi dapat menjadi kekuatan yang membentuk
15
perilaku masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Pada gilirannya, kekuatan yang membentuk perilaku (constructive power) ini akan menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan dalam pembangunan suatu peradaban. Penelitian Sebelumnya Pada penelitian sebelumnya di Indonesia, Sukoharsono & Gaffikin (1993) mempelajari munculnya akuntansi selama era kolonialisme Belanda (pada tahun 1800-1950). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kekuatan-pengetahuan hubungan munculnya, eksistensi, dan penetrasi akuntansi dalam konteks sosial di Indonesia pada tahun 1800-1950 dan menghubungkannya dengan konsep powerknowledge Foucauldian. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perkembangan pertama dari penerapan praktik akuntansi di Indonesia muncul dari pelaksanaan sistem kolonialisme Belanda dan akuntansi memiliki peran penting pada masa kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan harga, biaya, dan keuntungan. Sukoharsono (1998a) juga melakukan penelitian mengenai perkembangan akuntansi pada masa transisi dari masa Hindu ke masa Islam. Masuknya Islam ke Nusantara tidak hanya membawa pengaruh dalam kehidupan keagamaan, melainkan
juga
membawa
pengetahuan-pengetahuan
baru
seperti
memperkenalkan kertas sebagai media tulis, huruf latin, angka Arab, dan juga yang tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya uang logam (coined money) yang sangat penting bagi kemajuan sistem perdagangan di Nusantara termasuk juga untuk kepentingan pemerintah (kerajaan) terutama dalam hal pemungutan pajak kepada rakyatnya.
16
Selain itu, Sukoharsono dan Qudsi (2008) juga melakukan penelitian praktik akuntansi pada era keemasan Kerajaan Singosari dan menghubungkannya dengan aspek sosial, politik dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma Foucauldian yaitu power-knowledge. Penelitian ini menyimpulkan bahwa bahwa akuntansi memiliki peran penting sebagai sarana pendukung pengembangan kerajaan Singosari—tidak hanya menyediakan perhitungan teknis, tetapi juga peran yang beragam dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
AKUNTANSI PADA ERA KEEMASAN KERAJAAN MAJAPAHIT BERDASARKAN PARADIGMA FACOULDIAN Kakawin Nagarakertagama Kakawin Negarakertagama menguraikan keadaan di kerajaan Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Ia bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Bagian terpenting teks ini tentu saja menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti. Naskah kakawin ini terdiri dari 98 pupuh (Muljana, 2005). Dilihat dari sudut isinya pembagian pupuh-pupuh ini sudah dilakukan dengan sangat rapi. Pupuh 1 sampai dengan pupuh 7 menguraikan raja dan keluarganya. Pupuh 8 sampai 16 menguraikan tentang kota dan wilayah Majapahit. Pupuh 17 sampai 39 menguraikan perjalanan keliling ke Lumajang. Pupuh 40 sampai 49 menguraikan silsilah Raja Hayam Wuruk, dengan rincian lebih detailnya pupuh 40 sampai 44 tentang sejarah raja-
17
raja Singasari, pupuh 45 sampai 49 tentang sejarah raja-raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk. Pupuh 1 - 49 merupakan bagian pertama dari naskah ini. Bagian kedua dari naskah kakawin ini yang juga terdiri dari 49 pupuh, terbagi dalam uraian sebagai berikut: Pupuh 50 sampai 54 menguraikan kisah raja Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa. Pupuh 55 sampai 59 menguraikan kisah perjalanan pulang ke Majapahit. Pupuh 60 menguraikan oleholeh yang dibawa pulang dari pelbagai daerah yang dikunjungi. Pupuh 61 sampai 70 menguraikan perhatian Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya berupa pesta srada dan ziarah ke makam candi. Pupuh 71 sampai 72 menguraikan tentang berita kematian Patih Gadjah Mada. Pupuh 73 sampai 82 menguraikan tentang bangunan suci yang terdapat di Jawa dan Bali. Pupuh 83 sampai 91 menguraikan tentang upacara berkala yang berulang kembali setiap tahun di Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pesta tahunan. Pupuh 92 sampai 94 tentang pujian para pujangga termasuk prapanca kepada Raja Hayam Wuruk. Sedangkan pupuh ke 95 sampai 98 khusus menguraikan tentang pujangga prapanca yang menulis naskah tersebut. Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit (Muljana, 2005). Akan tetapi karya ini bukanlah disusun atas perintah Hayam Wuruk sendiri dengan tujuan untuk politik pencitraan diri ataupun legitimasi kekuasaan. Melainkan murni kehendak sang pujangga Mpu Prapanca yang ingin menghaturkan bhakti kepada sang mahkota, serta berharap agar sang
18
Raja ingat sang pujangga yang dulu pernah berbakti di keraton Majapahit. Artinya naskah ini disusun setelah Prapanca pensiun dan mengundurkan diri dari istana. Nama Prapanca sendiri merupakan nama pena, nama samaran untuk menyembunyikan identitas sebenarnya dari penulis sastra ini. Karena sifat pujasastra inilah oleh sementara pihak Negarakertagama dikritik kurang netral dan cenderung membesar-besarkan kewibawaan Hayam Wuruk dan Majapahit, akan tetapi terlepas dari itu, Negarakretagama dianggap sangat berharga karena memberikan catatan dan laporan langsung mengenai kehidupan di Majapahit (Muljana, 2005). Berdasarkan hal itulah maka Kitab Negarakertagama dalam langkah pertama analisis wacana Foucauldian merupakan sebuah korpus (data linguistik) pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan sistematis yang berisi mengenai kehidupan di era keemasan Majapahit pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk—dan dapat digunakan dalam mengungkap relasi antara kekuasaan relasi antara akuntansi dan kekuasaan pada era keemasan Kerajaan Majapahit. Pemerintahan Majapahit Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Pusat atau Ibukota kerajaan Majapahit berada di Wilwatikta (Trowulan). Sebagian besar rakyat di Kerajaan Majapahit menganut agama Shiwa-Buddha. Kerajaan
Majapahit
mencapai
puncak
keemasannya
menjadi
kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk (bergelar Rajasanagara), yang berkuasa dari
19
tahun 1350 hingga 1389. Perluasan wilayah Majapahit dicapai berkat politik ekspansi yang dilakukan oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada. Menurut Kakawin Negarakretagama Pupuh 13 sampai Pupuh 15, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina (Muljana, 2005). Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit (dapat dilihat pada Gambar 1). Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh Raja Hayam Wuruk. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok. Gambar 1. Peta Wilayah Kekuasaan Majapahit Berdasarkan Negarakertagama
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit.
20
Kakawin Negarakertagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit (Muljana, 2005). Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka (Muljana, 2005). Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja (dapat dilihat pada tabel 1.) Tabel 1. Kerabat Raja Yang Menguasai Administrasi Pemerintahan Kerajaan Majapahit No
Provinsi
Gelar
Penguasa
Hubungan dengan Raja
1
Kahuripan
Bhre Kahuripan
Tribhuwanatunggadewi
ibu suri
2 3
Daha Tumapel
Bhre Daha Bhre Tumapel
Rajadewi Maharajasa Kertawardhana
4
Wengker
Bhre Wengker
Wijayarajasa
5
Matahun
Bhre Matahun
Rajasawardhana
bibi sekaligus ibu mertua ayah paman sekaligus ayah mertua suami dari Putri Lasem, sepupu raja
6
Wirabhumi
Bhre Wirabhumi
Bhre Wirabhumi
anak
7
Paguhan
Bhre Paguhan
Singhawardhana
saudara laki-laki ipar
8
Kabalan
Bhre Kabalan
Kusumawardhani
anak perempuan
9
Pawanuan
Bhre Pawanuan
Surawardhani
keponakan perempuan
10
Lasem
Bhre Lasem
Rajasaduhita Indudewi
sepupu
11
Pajang
Bhre Pajang
Rajasaduhita Iswari
saudara perempuan
12
Mataram
Bhre Mataram
Wikramawardhana
keponakan laki-laki
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit.
21
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk ditandai transisi ke sebuah monarki yang lebih integratif (Hall, 1996). Melalui pola pendekatan ritual dan pengadilan yang diikuti oleh Hayam Wuruk, raja tidak lagi menjadi terisolasi dari rakyatnya. Kinerja dan partisipasi dalam ritual suci, baik di pengadilan atau di antara populasi pedesaan, menyebabkan Hayam Wuruk berada dalam komunikasi rutin dengan wilayah kekuasaannya dengan cara yang sebelumnya jarang terjadi di era Raja sebelumnya (Hall, 1996). Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabatpejabat di bawahnya, antara lain yaitu (Muljana, 2005): 1. Rakryan Mahamantri Katrini, terdiri dari tiga mahamantri. 2. Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan. 3. Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan 4. Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan Selain itu, pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk, seperti yang tertera pada Negarakertagama pupuh 10/1 dan piagam Bendasari, terdapat Panca ri Wilatikta (Lima orang kepercayaan) Raja Hayam Wuruk (Muljana, 2005): 1. 2. 3. 4. 5.
Rakryan Mapatih Amangku Bumi: Gajah Mada Rakryan Demung: Empu Gusti Rakryan Kanuruhun: Empu Turut Rakryan Rangga: Empu Lurukan Rakryan Temenggung: Empu Nala
Uang Sebagai Alat Pertukaran di Kerajaan Majapahit Kehadiran mata uang khususnya di Kerajaan Majapahit adalah akibat dari aktivitas perdagangan, yang mana diperlukan alat tukar barang yang praktis, mudah dibawa, tahan lama dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Menurut
22
catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada garam kain dan burung kakak tua sedangkan komoditas impor adl mutiara emas perak sutra barang keramik dan barang dari besi (Poesponegoro & Notosusanto, 1990). Satu hal yang patut diketahui bahwa dalam periode masa keemasan Majapahit mata uang emas dan perak tidak begitu sering lagi disebutkan di dalam prasasti dan naskah. Mata uang Majapahit dibuat dari campuran perak timah putih timah hitam dan tembaga (Poesponegoro & Notosusanto, 1990). Mata uang ini diidentifikasikan sebagai uang lokal Majapahit yang dinamakan Gobog (dapat dilihat pada Gambar 2). Uang gobog inilah yang mungkin merupakan bentuk tiruan dari kepeng Cina, karena dalam beberapa hal dari bentuk dan hiasan mirip dengan kepeng Cina, walau figur yang digambarkan berciri lokal, mirip wayang kulit (Trigangga, 2009). Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Majapahit, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Gambar 2. Mata Uang Majapahit: Gobog
Sumber: http://www.bi.go.id
23
Selain Gobog, di Jawa Timur banyak sekali ditemukan uang kepeng Cina, bahkan dapat dikatakan bahwa kepeng Cina ditemukan di setiap kabupaten di Jawa Timur. Di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan terdapat koleksi uang kepeng Cina sekitar 40.000 keping (Trigangga, 2009). Kepeng Cina tersebut berasal dari berbagai dinasti terutama Dinasti Song dan Ming. Banyaknya kepeng Cina yang beredar pada masa Majapahit diperkuat oleh temuan berbagai jenis celengan terakota di daerah Trowulan, menandakan bahwa tradisi menabung telah dikenal pada masa Majapahit (Trigangga, 2009). Pada masa Majapahit, satuan mata uang mengacu kepada jumlah atau kuantitas. Di dalam prasasti-prasasti dan naskah-naskah hukum dijumpai berbagai istilah yang menyatakan jumlah uang, antara lain sātak (200 keping), sātak sawě (250 keping), samas (400 keping), domas (400 keping), rong tali (2000 keping), patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), sakěţi (100.000 keping), sakěţi rong laksa (120.000 keping), sakěţi něm laksa (160.000 keping), dan rong kěţi (200.000 keping) (Trigangga, 2009). Dari hal itulah, maka dapat diasumsikan bahwa masyarakat Majapahit telah menerapkan pengetahuan akuntansi dalam aktivitas perekonomiannya. Akuntansi Pada Era Keemasan Kerajaan Majapahit Dalam Paradigma Facouldian: Kuasa-Pengetahuan. Berdasarkan paradigma Facouldian, akuntansi tidak hanya dipandang dari satu sudut pandang, tetapi melihatnya sebagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks yang juga terjalin dengan konsep power-knowledge. Sejalan dengan konsep power-knowledge, diyakini bahwa kekuasaan dapat
24
menjadi kekuatan yang membentuk perilaku masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Pada gilirannya, kekuatan yang membentuk perilaku (constructive power) ini akan menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan dalam membentuk dasar praktik akuntansi di Kerajaan Majapahit. Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja dianggap termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewadahi kekuatan kosmis. Secara singkat, kekuasaan raja yang besar dapat ditandai oleh (Moedjanto dalam Susatyo, 2008): 1. luas wilayah kerajaannya; 2. luasnya daerah atau kerajaan taklukan dan berbagai barang persembahannya disampaikan oleh para raja taklukan; 3. kesetian para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu.; 4. kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka serta perlengkapan upacara yang nampak dalam upacara itu; 5. besarnya tentara dengan segala jenis perlengkapannya; 6. kekayaan, gelar-gelar yang disandang dan kemashurannya; 7. seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menyamai dan menandingi Raja yang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan seimbang, akan mendapat pujian yang begitu tinggi dari rakyatnya. Begitu tinggi penghormatan dan pujian itu, sehingga raja yang demikian itu digambarkan bukan lagi sebagai manusia biasa dengan kesaktian yang menumpuk tiada tara (Moedjanto dalam Susatyo, 2008). Dari keterangan di atas, maka nampak bahwa kekuasaan Raja-Raja Jawa begitu mutlak. Begitu juga dapat dilihat dalam penggambaran mengenai Raja Hayam Wuruk oleh Empu Prapanca dalam Pupuh 1 Negarakertagama sebagai berikut:
25
1. Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki pelindung jagat. Siwa-Budha Janma-Bhatara senantiasa tenang tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa-Bhatara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah. 2. Merata serta meresapi segala makhluq, nirguna bagi kaum Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia. 3. Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang tampuk Negara bagai titisan Dewa-Bhatara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara. 4. Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati. Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung meletus, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara. 5. Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata menjelma bagai raja besar terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk menadah perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata. Berdasarkan Pupuh 1 Negarakertagama, maka penggambaran mengenai Raja Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit merupakan constructive power yang menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan dalam membentuk kuasa tata kelola pemerintahan di Kerajaan Majapahit dan daerah jajahannya. Tata kelola pemerintahan ini tentunya sangat erat hubungannya dengan berbagai bidang seperti sosial, budaya dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, khususnya dalam praktik akuntansi di Kerajaan Majapahit, kekuasaan Raja Hayam Wuruk sangat mempengaruhi dalam hal pemungutan pajak di Kerajaan Majapahit. Dalam Kitab Negarakertagama dikisahkan bahwa Raja Hayam Wuruk memerintahkan kepada bujangga dan mantra untuk menarik upeti dari kerajaan jajahannya.
26
Dalam Pupuh 15/3 Negarakertagama dinyatakan bahwa: “Semenjak nusantara menadah perintah Sri Baginda. Tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan untuk menambah kesejahteraan. Bujangga dan mantri diperintah menarik upeti.” Dari pernyataan Pupuh 15/3 Negarakertagama tersebut, dapat dijumpai perkara penarikan pajak di tanah jajahan Majapahit. Dalam hal penarikan pajak, Raja tidak tinggal menunggu datangnya utusan dari tanah jajahan yang membawa upeti untuk dipersembahkan kepadanya. Setiap masa pembayaran upeti atau pajak, Raja mengirim utusan Bujangga dan Mantri ke tanah jajahan untuk menarik pajak. Uang pajak itu untuk membiayai usaha Raja dalam memelihara kesejahteraan umum. Dalam Pupuh 83/5 Negarakertagama, Raja Hayam Wuruk juga mengambil pajak dari para pembesar dan rakyatnya, disebutkan bahwa: “Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormati di seluruh Negara. Berdesakdesak para pembesar, empat penjuru, para aparatur desa, hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli penjual, barang terhampar di dasaran.” Dalam hal ini, maka konsepsi kekuasaan Raja Hayam Wuruk pada era keemasan Majapahit dalam penarikan pajak terhadap daerah jajahan, pembesar dan rakyatnya sebagai sebuah kepentingan dalam berusaha memenuhi kesejahteraan wilayahnya. Meskipun demikian, dalam Pupuh 76 sampai Pupuh 80 Negarakertagama, Raja Hayam Wuruk juga menetapkan wilayah-wilayah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. Wilayah-wilayah yang dibebaskan dari pajak tersebut disebut sebagai wilayah perdikan. Pupuh 83/4 Negarakertagama juga menyebutkan bahwa kemasyuran Raja Hayam Wuruk telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari
27
India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional (Poesponegoro & Notosusanto, 1990). Dari hal itulah, maka dapat dikatakan bahwa kekuasaan Hayam Wuruk mempengaruhi kondisi perdagangan di Majapahit yang secara logis juga akan berpengaruh terhadap praktik akuntansi pada Kerajaan Majapahit. Dalam genealogi kekuasaan, Faucoult membahas bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Dalam Pupuh 89/2 Negarakertagama, Hayam Wuruk selaku Raja Majapahit memerintahkan (Muljana, 2005): “Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!” Berdasarkan Pupuh 89/2 Negarakertagama, jelas sekali bahwa kekuasaan juga berelasi dengan perekonomian. Melalui kekuasaan, Raja Hayam Wuruk mengatur rakyatnya. Dalam hal inilah, maka praktik akuntansi di Majapahit pada masa keemasannya adalah sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan aktivitas sosial masyarakatnya dapat berjalan melalui kekuasaan, sejalan dengan konsep power-knowledge. Konsep kuasa Foucault ini membukakan mata kita terhadap satu mekanisme yang samar dalam praktik akuntansi di Majapahit. Bahwa kuasa Raja Hayam Wuruk bekerja secara sangat halus, struktural, menyeluruh, dan diskursif. Kuasa Raja Hayam Wuruk di Majapahit melibatkan jabatan, profesional dan strategi-strategi yang keseluruhannya bekerja dengan logika panaptikon—bentuk logika kuasa yang membuat rakyat dan tanah
28
jajahannya menjadi subjek-subjek yang taat. Sistem ini merupakan model berfungsinya penegakan disiplin yang dapat diterapkan dalam bidang pemungutan pajak di Majapahit, misalnya. Kekuasaan sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki Raja Hayam Wuruk untuk menghasilkan efek yang dikehendaki dan nyata terhadap pemungutan pajak. Kekuasaan dan pengaruh Raja Hayam Wuruk merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan relasi atau aktivitas akuntansi dalam hal pemungutan pajak yang merupakan bagian dari politik. Pada akhirnya kekuasaan Raja Hayam Wuruk tersebut akan dijadikan sebagai sebuah bentuk kekuasaan kelompok dalam melaksanakan agenda yang telah disepakati dalam kebijakan pajak di Majapahit. Kekuasaan yang dimiliki oleh Raja Hayam Wuruk tersebut merupakan sebuah modal yang akan dipakai oleh pejabat-pejabat pemungut pajak untuk mempengaruhi jajahan dan rakyatnya untuk turut serta mendukung dalam hal pemungutan pajak. Kuasa tidak selalu bekerja melalui ekspresi dan intimidasi, melainkan pertama-tama bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi (Facoult dalam Taylor, 1985). Disiplin dan norma menjadi konsep kunci dalam memahami kekuasaan Raja Hayam Wuruk. Teknik kekuasaan Hayam Wuruk ini membentuk kepatuhan dalam masyarakatnya berkenaan dalam pengumpulan pajak atau denda atas suatu sanksi. Sebagai contoh dalam kitab hukum Majapahit yaitu Kutâramânawadharmaçâstra, yang merupakan kitab prosa yang menguraikan aturan-aturan untuk melindungi hak milik rakyat, memberikan sanksi denda bagi
29
mereka yang bertindak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan dalam kitab ini, misalnya pada Pasal 23 Kutâramânawadharmaçâstra (Wojowasito, 1950): “Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri, juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada buktibuktinya, dikenakan denda 20.000 kepeng oleh baginda; isteri dan anakanaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang menyembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pencuri, dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri, sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda 40.000 kepeng oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang mereka tahu bahwa orang itu pencuri, atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 kepeng oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda.” Berdasarkan paradigma Foucauldian atas akuntansi di era keemasan Majapahit, maka praktik akuntansi dalam hal pemungutan pajak dan denda merupakan fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks yang juga terjalin dengan konsep power-knowledge. Mekanisme operasional pemungutan pajak di Kerajaan Majapahit atas wilayah jajahan, pedagang asing, dan rakyatnya, serta sanksi denda bagi mereka yang bertindak menyalahi aturan memperlihatkan bentuk akuntabilitas administrasi kerajaan. Sistem pemerintahan Majapahit yang erat berkaitan dengan kekuasaan mengatur aturan perpajakan yang wajib dibayarkan kepada kerajaan Majapahit melalui Bujangga dan Mantri. Keputusan Kerajaan Majapahit untuk memungut pajak serta memungut sanksi denda bagi mereka yang bertindak menyalahi aturan bukanlah masalah yang sepele, namun hal ini merupakan dasar dari praktik akuntansi. Dalam kerangka facouldian, maka praktik kuasa dalam kerajaan Majapahit berfungsi sebagai penggerak sosial dan perekonomian dalam masyarakat yang erat hubungannya dengan praktik
30
akuntansi. Power Raja Hayam Wuruk merupakan sebuah mekanisme yang menciptakan rasionalitas (knowledge) dalam pemungutan pajak dan denda sebagai sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang lebih besar.
PENUTUP Simpulan dan Implikasi Masyarakat Majapahit telah menerapkan pengetahuan akuntansi dalam aktivitas perekonomiannya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya mata uang sebagai alat tukar dalam melakukan aktivitas perekonomian. Uang lokal Majapahit dinamakan Gobog. Sejalan dengan konsep power-knowledge, kekuasaan Raja Hayam Wuruk merupakan kekuatan yang membentuk perilaku masyarakat Majapahit dalam kehidupan sosialnya. Pada gilirannya, kekuatan yang membentuk perilaku (constructive power) ini akan menjadi kekuatan yang berperan secara signifikan dalam membentuk dasar praktik akuntansi di Kerajaan Majapahit. Mekanisme operasional pemungutan pajak di Kerajaan Majapahit atas wilayah jajahan, pedagang asing, dan rakyatnya, serta sanksi denda bagi mereka yang bertindak menyalahi aturan memperlihatkan bentuk akuntabilitas administrasi kerajaan. Power Raja Hayam Wuruk merupakan sebuah mekanisme yang menciptakan rasionalitas (knowledge) dalam pemungutan pajak sebagai sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang lebih besar. Berdasarkan analisis paradigma Foucauldian, maka dapat disimpulkan, Pertama, Kitab Negarakertagama merupakan sebuah korpus (data linguistik)
31
pernyataan-pernyataan yang diorganisasikan secara teratur dan sistematis yang berisi mengenai kehidupan di era keemasan Majapahit pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Kedua, Raja Hayam Wuruk melalui kekuasaannya memberikan aturan-aturan berkenaan dalam pengumpulan pajak. Ketiga, Raja Hayam Wuruk melalui kekuasaannya memberikan batasan pengumpulan pajak, seperti misalnya melalui penetapan wilayah-wilayah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan; Keempat, Kuasa Raja Hayam Wuruk di Majapahit melibatkan jabatan, profesional dan strategi-strategi yang keseluruhannya bekerja dengan logika panaptikon—bentuk logika kuasa yang membuat rakyat dan tanah jajahannya menjadi subjek-subjek yang taat. Dalam hal penarikan pajak, Raja tidak tinggal menunggu datangnya utusan dari tanah jajahan yang membawa upeti untuk dipersembahkan kepadanya. Setiap masa pembayaran upeti atau pajak, Raja mengirim utusan Bujangga dan Mantri ke tanah jajahan untuk menarik pajak. Sistem ini merupakan model berfungsinya penegakan disiplin yang dapat diterapkan dalam bidang pemungutan pajak. Kelima, kuasa Raja Hayam Wuruk bekerja secara sangat halus, struktural, menyeluruh, dan diskursif—dalam hal ini pengaturan pembayaran upeti berkala dapat merupakan pengakuan kedaulatan Majapahit. Dalam hal inilah maka praktik akuntansi, seperti pengumpulan pajak dapat menjadi sebuah alat untuk menegakkan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang lebih besar. Penelitian ini relevan dengan penelitian Sukoharsono dan Gaffikin (1993), Sukoharsono (1998a), dan Sukoharsono dan Qudsi (2008) yang juga menemukan hubungan antara akuntansi dengan kekuasaan pada suatu era. Hasil penelitian ini
32
memberikan implikasi bahwa praktik akuntansi dipengaruhi oleh kekuasaan, yang dalam hal ini sangat berhubungan dengan konsep power-knowledge. Saran Untuk Penelitian Mendatang Pada penelitian mendatang, penulis menyarankan untuk melakukan analisis terhadap pengaruh hegemoni negara-negara maju terhadap standar akuntansi IFRS (International Financial Reporting Standars) dalam bingkai paradigma Foucauldian dengan memakai metode mixing yaitu kualitatif dan kuantitatif.
33
DAFTAR PUSTAKA
Alwi Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Bank Indonesia, Koleksi Museum Bank Indonesia: http://www.bi.go.id. diakses pada tanggal 12 Juni 2012.
Uang
Logam,
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia. Carmona, S., et al. 2004. Accounting History Research: Traditional and New Accounting History Perspectives. Spanish Journal of Accounting History 1 (Desember). Chalmers, A.F. 1983. Apa Itu yang dinamakan Ilmu?. Jakarta: Hasta Mitra. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. 1994. Competing paradigms in qualitative research. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (pp. 105-117). Thousand Oaks, CA: Sage. Hall, Keneth.R., 1996, Ritual Network and Royal Power in Majapahit Java, Archipel. Volume 52, (pp. 95-118). http://www.persee.fr/. diakses pada tanggal 10 Juni 2012. Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. Ikhsan, A. & Suprasto, H.B. 2008. Teori akuntansi & Riset Multiparadigma. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kendall, G & Wickham, G. 1999. Using Foucault's Methods. London: Sage Publications. Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). Yogyakarta: LKiS. Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N. (editor utama). 1990. Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: Bumi Aksara.
34
Sukoharsono, E.G. 1998a. Accounting in A Historical Transition: A Shifting Dominant Belief from Hindu to Islamic Administration in Indonesia. Paper dipresentasikan pada The 2nd Asia Pacific Interdisciplinary Research in Accounting (APIRA), Osaka City University 4–6 Agustus 1998. Sukoharsono, E.G. 1998b. Accounting in a New History: A Disciplinary Power and Knowledge of Accounting. Working Paper-University of Wollongong. Sukoharsono, E.G & Gaffikin, M.J.R. 1993. Power and Knowledge in Accounting: Some Analysis and Thoughts on the Social, Political, and Economic Forces in Accounting, and Profession in Indonesia (18001950s). Working Paper-University of Wollongong. Sukoharsono, E.G & Qudsi, N. 2008. Accounting in the Golden Age of Singosari Kingdom: A Foucauldian Perspective. Simposiun Nasional Akuntansi (SNA) XI. (Juli). Suriasumantri, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Susatyo, Rachmat. 2008. Seni dan Budaya Politik Jawa. Bandung: Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial. Taylor, Charles. 1985. Philosophy and The Human Scienses: Philosophical Papers 2. New York: Cambridge University Press. Tinker, T. 1985. Paper Prophets: A Social Critique of Accounting. New York: Praeger. Trigangga. 2009. Peredaran Mata Uang di Kota Kerajaan Majapahit, http://museum-nasional.blogspot.com, diakses pada tanggal 12 Juni 2012. Wikipedia. Majapahit. http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit. diakses pada tanggal 10 Juni 2012. Wojowasito, S. 1950. Sedjarah Kebudajaan Indonesia: Indonesia Sedjak Pengaruh India. Djakarta: Penerbit Siliwangi N.V.
35