Negasi dalam Bahasa Jawa Kuno: Tinjauan pada Teks Ādiparwa Ria Novayani, Dwi Puspitorini Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas negasi dalam bahasa Jawa Kuno pada teks Ādiparwa. Penelitian difokuskan kepada varian, perilaku sintaktis, makna, dan jangkauan penegasian konstituen negatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat berbagai varian, perilaku sintaktis, dan makna konstituen negatif, sedangkan jangkauan penegasiannya adalah sama. Kata kunci: Konstituen negatif; varian; perilaku sintaktis; makna; jangkauan penegasian
Negation in Old Javanese Language: Analysis of Ādiparwa Text Abstract This research explained the negation in Old Javanese language on Ādiparwa text. The research pointed out on variant, syntactical behavior, meanings and scope of the negation. To that end, this research implemented the analytical descriptive method. In conclusion, the result of the research revealed that there are several variants, syntactical behavior, and negative constituent meanings, while the concerning scope of the negation is exactly the same. Keywords: Negative constituent; variants; syntactical behavior; meanings; scope of the negation
Pendahuluan Bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa Jawa tertua dalam periodisasi penggunaan bahasa Jawa di masyarakat. Menurut Zoetmulder (1983: 3), bahasa Jawa Kuno mulai digunakan oleh masyarakat sejak abad 9 M. Hal tersebut dapat diketahui dengan ditemukannya prasasti Sukabumi yang mencantumkan tanggal 25 Maret 804 M sebagai waktu pembuatannya.1 Sejalan dengan pendapat Zoetmulder, Pigeaud (1980: 4) menyatakan bahwa periode Pra-Islam atau disebut periode Jawa Kuno berawal sejak abad 9 M dan berakhir pada
1
Prasasti Sukabumi menurut ahli epigrafi lebih dikenal dengan nama Prasasti Harinjing. Teks pada kedua belah sisi Prasasti Harinjing ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Prasasti ini terdiri dari tiga buah piagam (A, B, dan C). Prasasti Harinjing A yang berada di bagian depan merupakan teks termuda dari prasasti ini yang menyebutkan tanggal pembuatan 25 Maret 804 M (Khuluk, 2012).
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
abad 15 M. Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, banyak perubahan dan perkembangan pada bahasa Jawa Kuno, salah satunya terjadi pada sistem tata bahasanya. Dalam sistem tata bahasa Jawa Kuno seringkali ditemukan partikel, kata bantu tanya, kata hubung, dan kata ingkar. Akan tetapi, hanya kata ingkar yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Selain karena memiliki fungsi penting, masih banyak masalah tentang kata ingkar yang belum dipecahkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan agar konsep negasi dalam bahasa Jawa Kuno menjadi semakin jelas. Negasi menduduki fungsi penting dalam suatu tindak komunikasi. Fungsi utama negasi ialah untuk mengingkari atau menyangkal pernyataan lawan bicara atau pembicara yang dianggap keliru oleh pembicara itu sendiri (Givon, 1979: 29). Kata ingkar atau yang sekarang dikenal dengan istilah konstituen negatif merupakan perwujudan konkret negasi dalam komunikasi verbal. Kehadiran konstituen negatif pada kalimat akan mengubah makna kalimat tanpa negasi. Perubahan makna itu tentunya juga akan mengubah tindak lanjut dari suatu komunikasi. Pentingnya fungsi negasi menyebabkan para linguis menaruh perhatian pada masalah ini. Penelitian tentang negasi dimulai sejak beratus-ratus tahun lalu oleh Aristoteles (Horn, 1978: 130). Sudaryono (1993: 16-31) menyebutkan bahwa setelah Aristoteles, muncul sejumlah nama seperti Jespersen (1917, 1924), Klima (1964), Payne (1985), Givon (1984), dan Horn (1989). Penelitian tentang negasi bahkan masih menjadi bahan kajian hingga sekarang.2 Penelitian terhadap negasi dalam rumpun bahasa Austronesia, khususnya bahasa Jawa Kuno telah dilakukan oleh beberapa orang ahli. Penelitian-penelitian itu juga telah dituangkan ke dalam buku tata bahasa seperti buku yang ditulis oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954), Teselkin (1972), serta Mardiwarsito dan Kridalaksana (2012). Dari penelitian tersebut, dihasilkan pengetahuan baru tentang negasi dalam bahasa Jawa Kuno. Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu dan akan dikaji dalam penelitian ini secara lebih mendalam. Beberapa di antaranya berupa pendataan varian-varian konstituen negatif karena belum terorganisir dengan baik. Kemudian pembahasan tentang perilaku sintaktis dan makna yang terkandung dalam konstituen negatif, yang sebelumnya tidak meliputi semua konstituen negatif karena pendataan varian-varian konstituen negatif belum terorganisir dengan baik.
2
Penelitian terbaru tentang negasi yang dijadikan bahan referensi tulisan ini adalah penelitian karya R. M. W Dixon yang diterbitkan pada tahun 2012.
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Negasi dalam bahasa Jawa Kuno, seperti bahasa-bahasa lain di dunia juga mempunyai ciri yang khas. Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Modern3 sebagai sistem bahasa terdekat, maka akan terlihat ciri khas yang melekat pada negasi dalam bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Modern memiliki konstituen negatif ora dan dudu yang digunakan untuk menyangkal atau mengingkari suatu hal. Ora dan dudu dapat dijadikan parameter penggolongan kelas kata verba dan nomina (Sudaryanto, 1983: 120). Serupa dengan bahasa Jawa Modern, bahasa Jawa Kuno juga memiliki konstituen negatif tan dan dudû. Konstituen negatif dudû memang selalu didampingi oleh kategori nomina. Akan tetapi, konstituen negatif tan tidak secara khusus didampingi oleh kategori verba. Kostituen negatif ini juga dapat didampingi oleh kategori nomina. Selain tan dan dudû masih banyak varian konstituen negatif lainnya yang tentu hadir dengan ciri khasnya masing-masing. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja varian konstituen negatif Bahasa Jawa Kuno? 2. Bagaimana perilaku sintaktis konstituen negatif Bahasa Jawa Kuno? 3. Bagaimana makna yang terkandung dalam konstituen negatif Bahasa Jawa Kuno? 4. Bagaimana jangkauan konstituen negatif Bahasa Jawa Kuno? Bahasa Jawa Kuno yang dimaksud pada penelitian ini ialah bahasa yang digunakan pada teks Ādiparwa. Teks Ādiparwa merupakan parwa pertama dari delapan belas parwa yang menyusun kitab Mahabarata. Selain Ramayana, Mahabarata juga merupakan karya sastra yang paling awal disunting dalam bahasa Jawa Kuno dengan huruf Jawa Kuno (Wedhawati et al, 2001: 2).
Tinjauan Teoritis Negasi Negasi adalah sebuah gagasan intrinsik di dunia, dan dalam bahasa (Dixon, 2012: 89). Aristoteles (dalam Horn, 1978: 131) merumuskan konsep umum negasi sebagai sistem oposisi. Oposisi itu meliputi correlation atau ketercakupan, contrariety atau kebalikan, privation atau ketiadaan, dan contradiction atau pertentangan. Menurut Sudaryono (1993: 17), contrariety dan contradiction merupakan hakikat dari negasi. Contrariety atau kebalikan 3
Zoetmulder (1983: 28) membuat pembabagan periodisasi bahasa Jawa menjadi tiga, yaitu bahasa Jawa Kuno, bahasa Jawa Pertengahan, dan bahasa Bahasa Jawa Modern. Istilah bahasa Jawa Modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir abad ke 18 awal abad ke 19).
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
menjelaskan oposisi antara dua hal yang berkebalikan, misalnya alit ‘kecil’ dan ageḍe ‘besar’. Contradiction atau pertentangan menjelaskan oposisi antara dua hal yang bertentangan dalam satu kalimat atau antara kalimat afirmatif dengan kalimat negatif, misalnya mamangan ta sang nâtha Parîkṣit ‘sang raja Parîkṣit makan’, maka pasangan oposisinya adalah tan pamangan ta sang nâtha Parîkṣit ‘sang raja Parîkṣit tidak makan’. Negasi dapat diwujudkan dalam komunikasi verbal dan nonverbal. Dalam komunikasi verbal, negasi diwujudkan melalui kehadiran konstituen negatif sebagai alat sempurna untuk menyangkal atau mengingkari sesuatu. Kehadiran konstituen negatif pada kalimat akan mengubah makna kalimat semula atau kalimat tanpa negasi. Dalam komunikasi nonverbal, negasi menurut Sutton-Spence dan Woll (dalam Dixon, 2012: 90) diekspresikan melalui kombinasi antara gelengan kepala dan ekspresi wajah. Tindakan mengerucutkan bibir dan menyipitkan kelopak mata menjadi tanda penegasian terhadap suatu pertuturan. Akan tetapi, negasi pada komunikasi nonverbal tidak dibahas dalam penelitian ini. Telah dikatakan sebelumnya bahwa konstituen negatif merupakan alat untuk menegasi sesuatu. Berdasarkan ada tidaknya konstituen negatif, kalimat dapat digolongkan menjadi (1) kalimat positif atau afirmatif, yaitu kalimat yang tidak mengandung unsur negatif, (2) kalimat negatif atau kalimat ingkar, yaitu kalimat yang mengandung unsur negatif (Kushartanti et al, 2005: 134). Makna kalimat negatif ditentukan oleh jangkauan penegasian konstituen negatif pada kalimat yang mengandung konstituen negatif itu. Konstituen negatif dapat dijadikan paramater penggolongan kelas kata verba dan nomina (Sudaryanto, 1983: 120). Akan tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan pedoman utama penggolongan kedua kelas kata tersebut. Dalam bahasa Jawa Kuno terdapat konstituen negatif yang mampu menegasi kategori verba dan nomina sekaligus. Seperti yang telah diungkapkan oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954: 48), konstituen negatif tan misalnya dapat berada di muka verba dan nomina. Jangkauan penegasian adalah kemampuan konstituen negatif menegasi konstituen lain dalam suatu konstruksi. Dixon (2012: 112-118) menjelaskan bahwa jangkauan negasi ada tiga macam, yakni yang menjangkau klausa bawahan, menjangkau konstituen dalam klausa, dan menjangkau frasa nomina. Setiap bahasa memiliki jangkauan negasi yang berbeda. Seberapa jauh jangkauan konstituen negatif akan mempengaruhi makna suatu konstruksi yang mengandung konstituen negatif tersebut.
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Kategori Sintaktis Kategori adalah aspek bentuk konstituen sintaktis kalimat. Seperti halnya peran4, kategori juga merupakan pengisi fungsi. Kategori memiliki dua sifat pokok, yaitu formal dan sistemik. Kategori dikatakan bersifat formal karena semata-mata merupakan aspek bentuk. Kategori dikatakan bersifat sistemik karena kategori tertentu dikenal pertama-tama dalam hubungan asosiatif antara bentuk yang sedang menjadi konstituen sintaktis kalimat tertentu itu dengan bentuk yang lain yang tidak sedang menjadi konstituen sintaktis kalimat yang bersangkutan (Sudaryanto, 1992b: 65-66). Kategori Sintaktis dalam Bahasa Jawa Kuno Verba Verba atau kata kerja dalam bahasa Jawa Kuno mencakup verba dan adjektiva dalam sistem tata bahasa yang lain (misalnya bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris) yang secara umum memisahkan kedua kategori kata tersebut. Oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954: 40), verba disebut kata tambah.5 Pengkategorian kata yang demikian dilakukan dengan pertimbangan bahwa bentuk dan jabatan antara verba (kata tambah dinamis) dan adjektiva (kata tambah statis) dalam kalimat tidak berbeda. Salah satu persamaannya terletak pada pembentukan kata dengan menambahkan prefiks a- atau mapada bentuk dasar, contohnya: a- + tukar ‘pertengkaran’ à atukar ‘bertengkar’ (Ad 132: 9) a- (ma-) + doh ‘jarak’ à adoh (madoh) ‘jauh’ (Ad 7: 24) Verba secara dominan mengisi fungsi predikat, seperti terlihat pada contoh berikut: Lumampah ta sang Menakâ V
//
N
‘Sang Menakâ berjalan’ Verba lumampah menduduki fungsi predikat, sedangkan nomina sang Menakâ menduduki fungsi subjek.
4
Peran adalah aspek makna konstituen sintaktis kalimat, sedangkan fungsi adalah aspek tempat yang diduduki atau diisi oleh konstituen sintaktis kalimat (Sudaryanto, 1992: 65).
5
Kata tambah ialah kata atau kelompokan kata yang menyatakan apa yang ditambahkan kepada hal lain (Zoetmulder dan Poedjawijatna, 1954: 4).
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Nomina Nomina atau kata benda dalam bahasa Jawa Kuno, oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954: 4-8) disebut kata sebut.6 Nomina biasa muncul dalam kalimat menempati fungsi subjek atau objek (Sudaryanto 1992b: 71). Beberapa contoh nomina pada teks Ādiparwa antara lain: Wiṣṇu, Janamejaya, kayu ‘kayu’, celeng ‘babi’, kaḍatwan ‘kerajaan’, dan kawěnang ‘kekuasaan’. Adverbia Adverbia atau yang secara umum disebut kata keterangan muncul dalam kalimat sering menyertai jenis kata lain yang menjadi predikat.7 Konstituen negatif dalam bahasa Jawa Kuno yang menjadi objek utama penelitian ini juga dikategorikan sebagai adverbia. Istilah konstituen negatif dipakai untuk menyebut satuan lingual yang dipakai untuk mengungkap negasi. Pemilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa istilah konstituen dapat dipakai untuk menyebut satuan lingual yang berbentuk bebas dan terikat. Konstituen itu sendiri merupakan bagian dari konstruksi (Sudaryono, 1993: 5). Arealis Arealis adalah suatu cara untuk menyatakan ketidaksesuaian keadaan, misalnya karena memang ‘belum’ ada, atau ‘diharapkan, ‘disuruhkan’, dan sebagainya (Zoetmulder dan Poedjawijatna, 1954: 58). Dalam bahasa Jawa Kuno hal itu dinyatakan dengan sufiks arealis. Arealis adalah sarana pengungkap peristiwa yang belum atau tidak terjadi. Sufiks arealis bersenyawa dengan verba atau nomina, contohnya: wruh + -a à wruha ‘akan mengetahui’ (Ad 142: 10) Fungsi Sintaktis Selain kategori, kejatian suatu konstituen di dalam kalimat juga dapat dikenali dari fungsi sintaktisnya. Fungsi sintaktis adalah aspek tempat yang diisi oleh kategori atau subkategori. Tempat-tempat itu memiliki nama masing-masing, yaitu predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Kategori atau subkategori yang mengisi fungsi-fungsi sintaktis, ada yang hadir secara mandiri dan ada juga yang menjadi bagian integral dari kategori lain. Hampir semua 6
Kata sebut ialah kata atau kelompokan kata yang menyebut hal yang berdiri sendiri atau dianggap berdiri sendiri. ialah kata atau kelompokan kata yang menyebut hal yang berdiri sendiri atau dianggap berdiri sendiri (Zoetmulder dan Poedjawijatna, 1954:4).
7
Adverbia sering dikacaukan dengan keterangan (Sudaryanto, 1992b: 107). Adverbia sebagai kategori harus dibedakan dari keterangan sebagai fungsi kalimat (Tampubolon, 2007 dalam jurnal Historisme).
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
konstituen negatif menjadi bagian integral dari kategori lain ketika menempati fungsi predikat. Oleh karena itu, konstituen negatif disebut adverbia predikatif. Berikut contoh yang dijumpai dalam teks Ādiparwa: a) Sang Dewayânî tan milu (Ad 81: 5) S
P
Sang Dewayânî tidak ikut b) tan-angga ta sira (Ad 99: 20) P
// S
Dia tidak berkenan Kalimat a) berpola SP dan kalimat b) berpola PS, fungsi predikat diisi oleh verba sedangkan fungsi subjek diisi oleh nomina. Pada kalimat b) identifikasi fungsi predikat dan subjek dapat dilakukan dengan memperhatikan kehadiran partikel ta.8 Pada kedua kalimat tersebut, konstituen negatif tan mendampingi verba yang mengisi fungsi predikat sehingga digolongkan menjadi adverbia predikatif.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomen yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1992a: 62). Metode ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin mendeskripsikan fakta secara apa adanya tanpa mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa tersebut. Metode penelitian negasi dalam teks Ādiparwa meliputi tiga tahapan, yakni pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat. Data yang akan dijadikan sampel penelitian berupa klausa negatif yang terdapat dalam teks Ādiparwa. Klausa negatif ditandai oleh kehadiran konstituen negatif. Peneliti mencatat semua klausa yang mengandung konstituen negatif. Klausa negatif itu nantinya disertai oleh kode sumber data, misalnya: apan tan mâtikâng nâga Takṣaka (Ad 2: 20-21). ‘Ad’ mewakili judul teks Ādiparwa, ‘2’ merupakan nomor halaman, dan ‘20-21’ merupakan baris pada halaman tersebut. Kemudian data diklasifikasikan menurut jenis 8
Partikel ‘ta’ digunakan untuk menegaskan fungsi predikat, subjek atau kata ganti lainnya (Zoetmulder dan Poedjawijatna, 1954: 84)
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
konstituen negatif. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisis data. Alat bantu yang digunakan untuk analisis data yakni Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia (Zoetmulder, 2004) dan Teks Ādiparwa yang telah diterjemahkan (Widyatmanta, 1958). Pada analisis sintaktis, ruang lingkup penelitian mencakup posisi konstituen negatif di dalam klausa, kategori kata yang dinegasi, dan pengaruhnya terhadap bentuk kata yang dinegasi. Pada analisis makna, ruang lingkup penelitian mencakup makna yang dikandung dalam konstituen negatif tersebut. Ruang lingkup ini dibuat untuk memfokuskan penelitian. Pada analisis jangkauan negasi, ruang lingkup penelitian mencakup fungsi sintaktis yang mampu dijangkau oleh konstituen negatif. Terakhir, hasil analisis akan dipaparkan dengan metode informal. Penyajian informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1992a: 144-159). Metode penyajian informal dipilih dengan alasan kesesuaian dengan metode penelitian berupa metode deskriptif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Varian-Varian Konstituen Negatif Dari proses pendataan, diperoleh dua belas varian konstituen negatif di dalam teks Ādiparwa. Kedua belas varian konstituen negatif itu adalah tan, ndatan9, tatan10, tar, ndâtar, tâtar, tamatan, dudû, tapwan, turung, taham, dan haywa. Varian-varian konstituen negatif dalam penelitian ini, secara kuantitas lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian yang terlebih dahulu dilakukan oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954), Teselkin (1972), serta Mardiwarsito dan Kridalaksana (2012). Meskipun sumber data penelitian sama dengan yang digunakan oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954), tetapi hasil yang diperoleh berbeda. Perilaku Sintaktis Telah disebutkan sebelumnya bahwa konstituen negatif dalam bahasa Jawa Kuno termasuk kategori adverbia. Adverbia pada kalimat selalu muncul menyertai kata yang mengisi fungsi predikat. Pengisi fungsi predikat umumnya berkategori verba dan nomina. Adverbia yang menyertai verba disubkategorikan sebagai adverbia verbal, sedangkan adverbia yang menyertai nomina disubkategorikan sebagai adverbia nominal. Berikut di bawah ini merupakan contoh adverbia verbal. 9
Konstituen negatif ndatan disamakan dengan ndâtan.
10
Konstituen negatif tatan disamakan dengan tâtan (Zoetmulder dan Poedjawijatna, 1954: 50).
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
(1) ika bhojana tançuci kabeh (Ad 14: 1) ‘semua makanan itu tidak suci’ (2) ndâtan wruh ta sang Wainateya ry awana nira ibu (Ad 43: 17) ‘sang Wainateya tidak mengetahui cara untuk mencapai ibunya’ (3) mogha tatan pinangan ikang awak denya (Ad 28: 18) ‘semoga ikan itu tidak dimakan olehnya’ Kata çuci (1), wruh (2), termasuk kategori verba monomorfemis, sedangkan pinangan (3) termasuk kategori verba polimorfemis. Data memperlihatkan bahwa kehadiran konstituen negatif kerapkali mempengaruhi afiks verba polimorfemis yang dinegasi. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan pengaruh kehadiran konstituen negatif berupa perubahan prefiks ma(N)- menjadi pa(N)-. (4) Ya dumeh mahârâja Çodha tan pasanggama lâwan strî haji nira (Ad 166: 3-4) ‘Sebab Maharaja Çodha tidak bersenggama dengan istri beliau’ Kata masanggama yang didahului konstituen negatif tan berubah menjadi tan pasanggama. Pada contoh (4), prefiks ma- pada kata masanggama berubah menjadi pa-. Selain mengubah prefiks, kehadiran konstituen negatif kerapkali melesapkan infiks verba polimorfemis yang dinegasi. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan pengaruh kehadiran konstituen negatif berupa pelesapan infiks -um-. (5) Ndâtan sahur ike sang ṛṣi (Ad 49: 14) ‘Sang resi itu tidak menjawab’ Kata sumahur yang didahului konstituen negatif ndatan berubah menjadi ndatan sahur. Pada contoh (5), infiks –um- pada kata sumahur lesap. Perubahan afiks akibat kehadiran konstituen negatif memang kerap terjadi. Dikatakan ‘kerap’ karena memang perubahan tersebut tidak selalu terjadi. Masih terdapat verba-verba polimorfemis yang mempertahankan prefiks ma(N)- nya. Selain itu, tidak semua infiks –umlesap setelah dinegasi. Adapun contoh adverbia nominal adalah sebagai berikut: (5) Yan tan laki nira pinangan (Ad 170: 11) ‘Jika bukan suaminya (maka) dihancurkan’ (6) Kuněng tamatan wěnangkw angowahi ri ujar ni nghulun (Ad 28: 17)
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
‘Akan tetapi bukan kuasaku mengubah perkataan hamba’ (7) dudû Kâçyapa bapa sang Garuḍa (Ad 51: 23) ‘bukan Kâçyapa ayah sang Garuḍa’ Kata laki nira (5), wěnangkw (6), dan Kâçyapa (7) termasuk kategori nomina. Selain menegasi kategori verba dan nomina realis, konstituen negatif dalam bahasa Jawa Kuno juga menegasi kategori verba dan nomina arealis. Perhatikan contoh berikut: (8) mârga nikang Kuruwangça tar pěgata? (Ad 102: 27-28) ‘jalan ke dinasti Kuru itu tidak akan putus? (9) yan tuhu-tuhu kita tan ratwa (Ad 97: 12-13) ‘karena sebenarnya kamu tidak akan menjadi raja’ Pada contoh (8), kata pěgata memiliki bentuk realis pěgat yang termasuk kategori verba. Arealis pada kata pěgata ditandai oleh sufiks arealis -a. Pada contoh (9), kata ratwa memiliki bentuk realis ratu yang termasuk kategori nomina. Arealis pada kata ratwa ditandai oleh sufiks arealis –a. Makna Konstituen Negatif Konstituen Negatif Bermakna ‘tidak’ Konstituen negatif bermakna ‘tidak’ apabila menegasi kategori verba dan sesuatu yang diacu oleh verba tersebut tidak atau diharapkan tidak terlaksana pada kurun waktu selanjutnya. Konstituen negatif tersebut yaitu tan, ndatan, tatan, tar, ndâtar, tâtar, dan taham. Berikut di bawah ini merupakan contoh konstituen negatif bermakna ‘tidak’. (10) tar wruh yan mahâbhaya iking alas pinaranya (Ad 141: 11-12) ‘(dia) tidak mengetahui bahwa marabahaya di hutan ini menghampirinya’ Pada contoh (10) tar bermakna ‘tidak’ sebab menegasi wruh yang termasuk kategori verba. Dalam beberapa kasus, verba yang dinegasi oleh konstituen negatif tidak selalu berdampingan dengan konstituen negatif, seperti terlihat pada contoh berikut ini: (11) “Katon těṇḍas ning manuk denta, muwah awaknya katon?” ‘Terlihat kepala burung olehmu, dan badannya terlihat?’ “Taham.” ‘Tidak (terlihat).’
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Pada contoh (11) konstituen negatif taham menegasi katon, akan tetapi katon tidak berada letak kanan konstituen negatif itu. Konstituen Negatif Bermakna ‘bukan’ Konstituen bermakna ‘bukan’ apabila menegasi kategori nomina. Konstituen tersebut yaitu tan, ndatan, tatan, tamatan, dan dudû. Berikut di bawah ini merupakan contoh konstituen negatif bermakna ‘bukan’. (12) Tan Dhanurweda mâwak, tan Wiṣṇu brâhmaṇarûpa (Ad 180: 8-9) ‘bukan Dhanurweda yang menjelma, bukan Wisnu yang berwujud brahmana’ Pada contoh (12) tan bermakna ‘bukan’ sebab menegasi Dhanurweda dan Wiṣṇu yang termasuk kategori nomina. Konstituen Negatif Bermakna ‘belum’ Kata belum mengandung komponen negasi ditambah aspek inkoatif dan perfektif (Sudaryono, 1993: 214). Aspek koatif adalah salah satu kategori gramatikal verba yang menyatakan dimulainya apa yang diartikan oleh verba, diwujudkan misalnya melalui kata sedang, sedangkan aspek perfektif menyatakan selesainya apa yang diartikan oleh verba, diwujudkan misalnya melalui kata sudah (periksa Verhaar, 2006). Bahasa Jawa Kuno memiliki konstituen negatif tapwan dan turung sebagai alat untuk menegasi aspek inkoatif dan perfektif verba. Perbedaan konstituen negatif turung dan tapwan terletak pada frekuensi kemunculan dalam data. Frekuensi kemunculan konstituen negatif turung lebih sedikit daripada tapwan. Berikut di bawah ini merupakan contoh konstituen negatif bermakna ‘belum’. (13) (a)Mangke pwa kita turung mânak (Ad 117: 2) ‘(a)Sekarang kita belum memiliki anak’ (13) (b)Amětěng ta sang Kuntî ... (c)Malawas sirâmětěng, mijil tang rare lituhayu paripûrṇa (Ad 120: 8-9) ‘(b)Sang Kuntî (sedang) mengandung ... (c)Telah lama ia mengandung, anak nan rupawan sempurna lahir’ Pada contoh (13)(a) turung bermakna ‘belum’ sebab turung mânak berparalel dengan amětěng (13)(b) ‘(sedang) mengandung’ dan mijil (13)(c) ‘lahir’ atau dengan kata lain telah memiliki anak.
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Konstituen Negatif Bermakna ‘jangan' Menurut Sadock dan Zinsky (dalam Sudaryono, 1993: 128), kalimat imperatif ialah kalimat yang dipakai oleh penutur untuk mengajukan permintaan, memberi perintah, atau mensyaratkan sesuatu kepada lawan bicara. Kalimat imperatif dibedakan atas kalimat imperatif afirmatif dan kalimat imperatif negatif. Kalimat imperatif afirmatif bertujuan agar penerima informasi melakukan sesuatu yang dimaksudkan dalam kalimat imperatif itu, sedangkan kalimat imperatif negatif bertujuan agar penerima informasi tidak melakukan sesuatu yang dimaksudkan dalam kalimat imperatif itu (Dixon, 2012: 107). Dalam bahasa Jawa Kuno, kalimat afirmatif negatif diwujudkan melalui kata haywa ‘jangan’. Perhatikan contoh (14) berikut: (14) “..haywa ta kita wihang ri sapamalakunya..” (Ad 106: 3) ‘..jangan kau menolak barang yang dimintanya..’ Indikasi lain yang menguatkan contoh (14) tergolong kalimat negatif imperatif yaitu tujuan komunikasi (berupa orang kedua) dan konteks wacana. Contoh (14) merupakan potongan dialog sang Gandhawatî dengan Ambika dan Ambalika. Dalam hal ini, Ambika dan Ambalika bertindak sebagai orang kedua atau sasaran kalimat imperatif negatif tersebut. Dari konteks kalimat diketahui bahwa Gandhawatî tengah melarang Ambika dan Ambalika menolak barang yang diminta oleh orang ketiga. Selain haywa, kalimat afirmatif negatif juga diwujudkan melalui pembubuhan konstituen negatif tan dan kategori arealis secara beriringan dalam suatu konstruksi. Perhatikan contoh (15) berikut: (15) “..tan lěpasakna ing manuṣya hinaçakti..” (Ad 155: 7) ‘..jangan dilepaskan kepada manusia yang tidak memiliki kesaktian..’ Bentuk arealis dari kata liněpasakěn ‘dilepaskan’ adalah lěpasakna, didahului konstituen negatif tan menjadi tan lěpasakna ‘jangan dilepaskan’. Contoh (15) merupakan potongan dialog antara Arjuna dan Anggaraparṇa. Dalam hal ini, Anggaraparṇa bertindak sebagai orang kedua atau sasaran kalimat imperatif negatif. Dalam dialog itu Arjuna melarang Anggaraparṇa melepaskan panahnya kepada manusia yang tidak memiliki kesaktian atau lemah.
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Secara logis, apabila konstituen negatif bertemu dengan konstituen negatif akan menghasilkan makna positif, misalnya konstituen negatif haywa yang kerap hadir bersama dengan tan. Perhatikan contoh (16) berikut: (16) haywa tan wiweka (Ad 192: 26) ‘jangan tidak menggunakan akal! (Gunakanlah akal!)’ Pada contoh (16) konstituen pembawa makna afirmatif negatif haywa bertemu dengan konstituen negatif tan, sehingga makna kalimat (16) dapat disetarakan dengan kalimat imperatif positif. Jangkauan Negasi Makna konstruksi yang mengandung konstituen negatif dipengaruhi oleh seberapa jauh konstituen negatif itu menjangkau konstituen-konstituen lain di dalam konstruksi. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna konstruksi yang mengandung konstituen negatif, terlebih dahulu perlu diketahui seberapa jauh jangkauan penegasian konstituen negatif itu. Pada kalimat berstruktur PS, konstituen negatif hanya menegasi konstituen pengisi fungsi P dan tidak menjangkau S. Perhatikan contoh (17) berikut: (17) (a)Ndâtan paweh ikang nâga Takṣaka; (b)Kewala lunghâ humötakěn ikang kuṇḍala maṇi (Ad 15: 11-12) (a)
‘Naga Takṣaka itu tidak memberikan; (b)Hanya pergi menyembunyikan anting permata itu’
Pada klausa (17)(a), konstituen negatif ndâtan menegasi kata paweh. Hal ini dibuktikan melalui klausa (17)(b) sebagai klausa lanjutannya. Dikatakan demikian karena ndâtan paweh dalam klausa (17)(a) berkontras dengan frasa lunghâ humötakěn dalam klausa (17)(b). Pada kalimat berstruktur PS, dengan fungsi P diisi oleh nomina predikatif, konstituen negatif juga hanya menegasi konstituen pengisi fungsi P dan tidak menjangkau S. Perhatikan contoh (18) berikut: (18) (a)dudû Kâçyapa bapa sang Garuḍa, (b)Kâcyapa len sangke sira (Ad 51: 23) (a)
‘ayah sang Garuḍa bukan Kâçyapa, (b)(melainkan) Kâcyapa yang berbeda darinya’
Pada contoh (18)(a), konstituen negatif dudû menegasi kata Kâçyapa. Hal ini dibuktikan melalui klausa (18)(b) sebagai klausa lanjutannya. Dikatakan demikian karena dudû Kâçyapa dalam klausa (18)(a) berkontras dengan Kâçyapa len sangke sira dalam klausa (18)(b).
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Pada kalimat berstruktur SPO, konstituen negatif hanya menegasi konstituen pengisi fungsi P serta tidak menjangkau fungsi S dan O. Perhatikan contoh (19) berikut: (19) (a)Mangke tambay ning brâhmaṇa tanpamangan daging ing celeng umah, ..., yan hana sira brâhmaṇa mpu manginum sajöng, makanimitta moha nira, (b) (a)
ngûniweh amangana daging ning celeng umah (Ad 76: 8-16)
‘Sebagai berikut yang pertama, brahmana tidak makan daging babi peliharaan, ..., jika ada brahmana yang mulia meminum minuman keras, karena ketidaktahuannya, (b)dan juga memakan daging babi peliharaan’
Pada contoh (19)(a), konstituen negatif tan menegasi kata mamangan.11 Hal ini dibuktikan melalui klausa (19)(b) sebagai klausa lanjutannya. Dikatakan demikian karena tanpamangan dalam klausa (19)(a) berkontras dengan amangana dalam klausa (19)(b). Pada kalimat berstruktur PSPel, konstituen negatif hanya menegasi konstituen pengisi fungsi P serta tidak menjangkau fungsi S dan Pel. Perhatikan contoh (20) berikut: (20) (a)Ya ta makolih irikang iwak magöng, ..., (b)mogha tatan pinangan ikang iwak denya. ... (c)Kunang ikang iwak matěmahan widyâdharî muwah (Ad 62: 1-5) (a)
‘Di sana ia menangkap ikan besar, ..., (b)semoga ikan itu tidak dimakan olehnya. ... (c)Kemudian ikan itu berubah menjadi bidadari’
Pada contoh (20)(b), konstituen negatif tatan menegasi kata pinangan. Hal ini dibuktikan melalui klausa (20)(a) sebagai klausa sebelumnya dan klausa (20)(c) sebagai klausa lanjutannya. Dikatakan demikian karena tatan pinangan dalam klausa (20)(b) berkontras dengan makolih dalam klausa (20)(a) dan dengan matěmahan widyâdharî dalam klausa (20)(c). Pada kalimat berstruktur K(S)P, konstituen negatif hanya menegasi konstituen pengisi fungsi P serta tidak menjangkau fungsi S dan K. Perhatikan contoh (21) berikut: (21) (a)rwawělas tahun sireng wětěng samangkana tapwan mijil (Ad 164: 2-3) (a)
‘dua belas tahun ia di (dalam) perut, hingga saat ini belum lahir’
Konstituen negatif tapwan menegasi kata mijil. Hal itu dibuktikan melalui klausa yang ada pada paragraf sesudahnya, (21) (b)Pira kunang ikang kâla, mijil ta isi ning wětěng ikâ sang Adṛçyantî (Ad 164: 15-16) 11
Kata mamangan yang didahului oleh konstituen negatif tan akan berubah menjadi tanpamangan. Lihat subbab 3.5
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
(b)
‘Beberapa waktu selanjutnya, isi perut sang Adṛçyantî itu lahir’
Dari klausa (21)(b) diketahui bahwa konstituen negatif tapwan menegasi kata mijil, sebab tapwan mijil berkontras dengan mijil pada klausa lanjutannya. Selain itu dibuktikan pula oleh terjadinya peristiwa mijil beberapa waktu selanjutnya. Dalam data terdapat konstituen negatif taham yang memiliki perilaku berbeda dari konstituen negatif lainnya. Taham memang selalu hadir tanpa didampingi oleh konstituen lain. Akan tetapi, kehadiran taham tidak sepenuhnya mandiri sebab harus disertai konteks tertentu. Taham merupakan jawaban atas pertanyaan (polar question), seperti terlihat pada dialog berikut: (22) (a)“Katon ikang kayu denta?” (Ad 131: 7) (a)
‘Kayu itu terlihat olehmu?’
(22) (b)“Taham.” (Ad 131: 8) (b)
‘Tidak (terlihat)’
(23) (a)“Katon aku denta?” (Ad 131: 9) (a)
‘Aku terlihat olehmu?’
(23) (b)“Taham.” (Ad 131: 10) (b)
‘Tidak (terlihat)’
Pada contoh (22)(b) dan (23)(b), taham hadir tanpa didampingi konstituen lain. Meskipun demikian, konstituen negatif taham tetap menjangkau katon yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat interogatif (22)(a) dan (23)(a).
Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan pada negasi bahasa Jawa Kuno dalam teks Ādiparwa, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada dua belas jenis konstituen negatif.
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Tabel 1. Varian Konstituen Negatif Zoetmulder dan
Teselkin
Mardiwarsito dan
Ria Novayani
Poedjawijatna (1954)
(1972)
Kridalaksana (2012)
(2013)
1
Tan
Tan
Tan
Tan
2
Ndatan
-
-
Ndatan
3
Tatan
Tatan
-
Tatan
4
-
-
Tar
Tar
5
-
-
-
Ndâtar
6
-
Tatar
-
Tâtar
7
-
Tamatan
-
Tamatan
8
Dudû
-
-
Dudû
9
Tapwan
-
-
Tapwan
10
Turung
-
-
Turung
11
Taham
-
-
Taham
12
Haywa
-
-
Haywa
No.
Berdasarkan
kuantitas, konstituen negatif pada penelitian ini lebih banyak jika
dibandingkan dengan ketiga penelitian terdahulu. Meskipun sumber data penelitian sama dengan yang digunakan oleh Zoetmulder dan Poedjawijatna (1954), tetapi hasil yang diperoleh berbeda. Berawal dari pendataan konstituen negatif dengan jumlah yang lebih banyak, kesimpulan yang akan dijabarkan pada point selanjutnya (2, 3, dan 4) menjadi lebih lengkap karena mencakup semua konstituen negatif. Hasil lain yang diperoleh dari penelitian ini dan tidak pernah disinggung dalam penelitian sebelumnya dimuat dalam kesimpulan nomor 5. Khusus konstituen negatif taham (11) dan haywa (12) tidak dianalisis perilaku sintaktisnya sehingga tidak dibahas pada kesimpulan nomor 2 dan 3. 2. Konstituen negatif dalam bahasa Jawa Kuno disubkategorikan menjadi adverbia verbal dan adverbia nominal. Tabel 2. Subkategori Konstituen Negatif No.
Adverbia Adverbia Verbal
Adverbia Nominal
1
tan
tan
2
ndatan
ndatan
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
3
tatan
tatan
4
tar
tamatan
5
ndâtar
dudû
6
tâtar
7
tapwan
8
turung
3. Konstituen negatif yang tergolong adverbia verbal kerapkali mempengaruhi afiks verba polimorfemis yang dinegasi. Pengaruh itu berupa perubahan prefiks ma(N)- menjadi pa(N)- dan pelesapan infiks –um-. Meskipun demikian, perubahan tidak berlaku pada verba berprefiks a- yang merupakan varian dari prefiks ma-. Perubahan dan pelesapan tersebut memang kerap terjadi, tetapi tidak selalu. Data memperlihatkan bahwa beberapa verba polimorfemis masih mempertahankan prefiks ma(N)- atau infiks –um-nya.
Tabel 3. Pengaruh Konstituen Negatif terhadap Afiks Verba Polimorfemis
KN
: Konstituen Negatif
R
: Realis
VM
: Verba Monomorfemis
Ar
: Arealis
VP
: Verba Polimorfemis
Nr
: Nomina Realis
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Nar
: Nomina Arealis
4. Konstituen negatif dalam bahasa Jawa Kuno memiliki banyak makna. Selain ‘tidak’ dan ‘bukan’, konstituen negatif itu juga dapat berarti ‘belum’ atau ‘jangan’. No.
Tidak
Bukan
Belum
Jangan
1
Tan
Tan
Tapwan
Tan
2
Ndatan
Ndatan
Turung
Haywa
3
Tatan
Tatan
4
Tar
Tamatan
5
Ndâtar
Dudū
6
Tâtar
7
Taham
a. Konstituen negatif akan bermakna ‘tidak’ apabila ia menegasi kategori verba, dan sesuatu yang dirujuk oleh verba itu tidak akan terealisasi pada waktu mendatang. Tan, ndatan, tatan, tar, ndâtar, tâtar, dan taham termasuk konstituen negatif bermakna ‘tidak’. b. Konstituen negatif akan bermakna ‘bukan’ apabila menegasi kategori nomina. Tan, ndatan, tatan, tamatan, dan dudû termasuk konstituen negatif bermakna ‘bukan’. c. Konstituen negatif bermakna ‘belum’ apabila menegasi kategori verba, dan sesuatu yang dirujuk oleh verba itu akan terealisasi pada waktu mendatang. Tapwan dan turung termasuk konstituen negatif bermakna ‘belum’. d. Haywa dan tan termasuk konstituen negatif bermakna ‘jangan’. Tan berarti ‘jangan’ apabila konstituen negatif menegasi verba arealis; ditujukan kepada lawan bicara (orang kedua), atau dengan kata lain berada dalam dialog antartokoh; sesuai dengan konteks wacana.
5. Konstituen negatif hanya menjangkau konstituen pengisi fungsi predikat. Konstituen negatif itu tidak menjangkau konstituen pengisi fungsi subjek, objek, pelengkap, maupun keterangan dalam klausa. 6. Kesimpulan nomor 2, 3, dan 5 tidak berlaku untuk konstituen negatif taham. Taham hadir secara mandiri tanpa didampingi kategori apapun. Oleh karena itu, taham tidak bisa dikategorikan sebagai adverbia. Kehadiran taham tanpa didampingi kategori apapun berterima sebagai sebuah bentuk konstruksi. Meskipun demikian, kehadiran taham harus
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
menyertai konsteks tertentu. Taham merupakan jawaban atas polar question. Taham menjangkau konstituen pengisi fungsi predikat yang terdapat dalam kalimat interogatif (polar question) tersebut. Konstituen negatif taham juga bermakna ‘tidak’, tetapi verba yang dinegasi tidak berada letak kiri taham melainkan pada kalimat sebelumnya.
Daftar Referensi
Dixon, R. M. W. (2012). Basic Linguistic Theory, Volume 3 Further Grammatical Topics. New York: Oxford University Press. Givon, Talmy. (1979). On Understanding Grammar. New York: Academic Press. Horn, L.R. (1978). Some Aspect of Negation. In Universal of Human Language (pp. 127-210). Stanford: Stanford University Press. Juynboll, H. H. (1906). Ādiparwa, Oudjavaansch Prozageschrift. Leiden: Martinus Nijhoff. Khuluk, Muhammad Khusnul. (29 Februari 2012). Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Prasasti Sukabumi. Ed. Hokky Saavedra. Accessed on July 09, 2013 from http://budaya-indonesia.org/Prasasti-Sukabumi. Kushartanti, et al. (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mardiwarsito, L., & Kridalaksana, H. (2012). Struktur Bahasa Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Pigeaud, Theodore. (1980). Literature of Java. Netherland: The Hague. Sudaryanto. (1983). Predikat-Objek Dalam Bahasa Indonesia. Seri ILDEP. Disertasi Universitas Gajah Mada. Jakarta: Djambatan. __________. (1992a). Metode Linguistik, Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. __________. (1992b). Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudaryono. (1993). Negasi Dalam Bahasa Indonesia.Disertasi doktoral, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Tampubolon, Flancius. (2007). Pemberian Pemakaian Adverbia Dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Historisme (pp. 53-57). Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara (USU). Diambil 09 Juni 2013 dari repository.usu.ac.id database. Teselkin, A. S. (1972). Old Javanese (Kawi). (John M. Echols, Penerjemah.). New York: Modern Indonesia Project Southeast Asia Program Cornell University Ithaca. Verhaar, J.W.M. (2006). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wedhawati et al. (2001). Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Widyatmanta, Siman. (1958). Kitab, Ādiparwa Djilid I. Yogyakarta: Lembaga Adat Istiadat dan Tjeritera Rakjat Ditdjen Kebudajaan Dep. P&K ___________. (1958). Kitab: Ādiparwa Djilid II. Yogyakarta: Lembaga Adat Istiadat dan Tjeritera Rakjat Ditdjen Kebudajaan Dep. P&K Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan,Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013
Zoetmulder, P. J. dan I. R. Poedjawijatna. (1954). Bahasa Parwa, Tatabahasa Djawa Kuno II. Jakarta: N. V. Obor. ___________. (1992). Bahasa Parwa I (2nd ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zoetmulder, P. J dan Robson, S.O. (2004). Kamus Jawa Kuno - Indonesia. Jakarta Gramedia Pustaka Utama.
Negasi bahasa ..., Ria Novayani, FIB UI, 2013