ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Penelitian ini mengenai penggambaran
perempuan sebagai pelaku
kekerasan dalam film Dara. Dara adalah salah satu sekuel film yang dimuat dalam film omnibus Takut : Faces of Fear. Penelitian ini berangkat dari pemikiran peneliti bahwa film ini adalah film Indonesia pertama yang mengangkat genre horror slasher 1. Slasher adalah satu sub genre film yang menampilkan adegan penyiksaan.2 Film Dara menampilkan sosok perempuan feminin yang dengan kecantikannya memikat para lelaki untuk disiksa, dan diambil dagingnya untuk dimasak menjadi bahan makanan. Dalam kajian psikoanalisis film, kita mengenal adanya visual pleasure3, atau dapat disebut “kepuasan” dalam menyaksikan adegan sadisme. Kepuasan yang didefinisikan sebagai visual pleasure ini membawa apa yang disebut sexual instinct dan ego libido seperti yang Sigmund Freud gambarkan4. Realitas kekerasan sendiri, sejatinya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat, kita dengan mudah menyaksikan kekerasan dalam berbagai tayangan Lihat Rohandika, Cahyo. 2011. Takut : Kaleidoskop Film Horor Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. 2 Ibid. hal vii 3 Visual Pleasure adalah kepuasan dalam menonton adegan – adegan film naratif. Terbagi atas scopohilic instinc, yang merupakan kepuasan dalam menonton orang lain sebagai obyek erotisme, dan dalam contradinstiction disebut ego libido (Proses acting) saat film ditayangkan. 4 Lihat Mulvey, Laura. “Visual Pleasure and Narrative Cinema.” Film Theory and Criticism : Introductory Readings. Eds. Leo Braudy and Marshall Cohen. New York: Oxford UP, 1999: 837. 1
I-1
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
media.5 Gramae Turner mengungkapkan, film pada dasarnya merupakan media massa yang digunakan untuk menampilkan ulang realitas yang terjadi di lingkungan sosial sekitar kita.
6
Secara tidak sadar, film merupakan salah satu
representasi dari realitas yang ada di masyarakat. Bagi pembuat dan khalayaknya, film merupakan sebuah praktek sosial yang tidak lepas dari unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terkandung di dalamnya. Fenomena tersebut berakar pada keinginan untuk merefleksikan segala hal yang tejadi dalam masyarakat sebenarnya yang tidak lepas dari konteks budaya.: Film is as a social practice for its maker and its audience; in its narratives and meanigs we can locate evidence of the ways in which our culture make sense of itself‟7
Film sebagai bagian dari media massa, dalam kajian komunikasi massa modern dianggap memberikan pengaruh kepada khalayaknya. Munculnya pengaruh tersebut tergantung pada proses negosiasi makna oleh khalayak terhadap pesan dari film itu. Negosiasi makna itu sendiri merupakan sebuah proses transaksional
dari
komunikasi
dimana
komunikan
menerima
dan
mengintepretasikan makna dari pesan yang diterima sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya yang dimilikinya8 Film Dara menyajikan adegan dan shot yang menampilkan sadisme, peneliti mendefinisikan sadisme seperti yang didefinisikan oleh Erich Fomm
Wardoyo, Anneke P. 2007. Perempuan dan Kekerasan Seksual. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Diambil dari Turner, Gramae. 1999. Film as Social Practice. Routledge: New York. Hal 03. 7 Ibid. Hal 03 8 Sumber: McQuail, Denis. (1997). Audience Analysis,. Sage Publications: Caliornia, hal 101 5 6
I-2
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dalam bukunya Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, adalah sebagai berikut: “Sadisme adalah hasrat untuk secara mutlak dan tak terbatas menguasai makhluk hidup, baik itu binatang maupun manusia. Menyakiti atau melecehkan orang dengan sengaja tanpa memberinya kesempatan untuk mempertahankan diri atau menghindar merupakan salah satu wujud penguasaan mutlak, namun ini sama sekali bukan wujud satu – satunya. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh atas makhluk hidup lain menjadikan makhluk hidup yang dikuasainya itu sebagai benda miliknya atau kekayaanya, sedangkan dia sendiri sebagai dewanya.”9 Realitas menguasai makhluk hidup lainnya dalam teori – teori gender selalu diasosiasikan dengan laki – laki. Dalam Perkembangan gender di Indonesia, Kelihatannya banyak pihak yang mengharapkan masa transisi di Indonesia akan membawa perubahan yang cukup signifikan di berbagai bidang kehidupan, antara lain kehidupan kaum perempuan. Harapan ini dimunculkan oleh banyak pihak, baik kelompok yang selama ini gencar memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti LSM, maupun ormas perempuan. Isu yang terlihat sangat gencar dikumandangkan adalah kekerasan terhadap perempuan. Banyak program dicanangkan dengan melakukan ber-bagai strategi dan pendekatan, seperti pendidikan dan pendekatan ke aparat penegak hukum, pemerintah maupun legeslatif. Kekerasan terhadap perempuan dianggap isu yang sangat krusial. Di samping suatu persoalan yang serius saat ini, kekerasan di-anggap sebagai isu yang dapat menimbulkan empati banyak pihak dan dapat mempersatukan kaum
Lihat Fomm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, hal 146. 9
I-3
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
perempuan, karena kekerasan bisa sangat dirasakan oleh kaum perempuan pada tingkat mana pun. 10 Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka memahami persoalan kaum
Hawa
khususnya
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan
adalah
membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep sex dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan
karena
ada
kaitan
yang
erat
antara
perbedaan
gender
(genderdifferences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep sex dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial.11 Konstruksi yang menjadikan perempuan sebagai sub ordinasi dan memandang perempuan sebagai makhluk yang teraniaya. Media mainstream menggambarkan itu dalam realitas sosial. Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam bukun The Social of Construction Reality. Realitas menurut Berger tidak di Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. 11 Fakih, Mansour, 1996b, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, dalam Jurnal “Analisis Sosial” Edisi 4/Nopember 1996, Pusat Analisis Sosial “Akatiga” Bandung. 10
I-4
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas berwujud ganda / plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu.12 Lebih lanjut, gagasan Berger mengenai konteks media harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas, karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda.Tidak jarang, pemaknaan yang dilakukan melalui produk media telah menempatkan posisi produk media sebagai bagian dari realitas sosial itu sendiri. Artinya, realitas dengan seperangkat nilai yang terbangun melalui produk media akan dimaknai oleh alam pikiran khalayaknya sebagai sesuatu yang nyata (real) terjadi, yang oleh Baudrillard disebut sebagai hiperrealitas.13 Realitas bentukan ini menjadikan relasi laki – laki dan perempuan dalam produk media berada pada posisi konformitif, yaitu mendukung nilai atau norma yang telah ada di masyarakat. Seakan melawan konstruksi ini, film Dara sebagai bagian dari produk media melawan arus yang menampilkan perempuan sebagai mereka yang lemah dan tersudut menjadi sosok yang perkasa, memiliki kuasa, dan menjadi decision maker lewat sosok pemeran utama Dara.
Eryanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media(Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 15. 13 Yasraf Amir Piliang, Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 228. 12
I-5
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Pada konstruksi media mainstream, perempuan yang diasosiasikan sebagai obyek pemuas seks.
14
Dengan demikian, peran media massa, dalam hal ini, sama
sekali tidak bisa dipandang remeh. Media massa bukan saja mengajarkan, tetapi juga meneguhkan skema yang sudah terbangun, memberi pembenaran, bahkan mendukung kondisi yang memfasilitasi praktek-praktek penindasan perempuan.15. Sutradara maupun produser Film ini sadar akan peranan dan power yang dimiliki media dalam menanamkan dan meneguhkan konstruksi – konstruksi ini. Sehingga, peneliti melihat ada bentuk perlawanan konstruksi mainstream akan perempuan dan kekerasan dalam film Dara ini. Dara dipilih sebagai kajian peneliti dalam meneliti hubungan antara kekerasan dan gender, karena peneliti melihat pelaku kekerasan dalam film ini berjenis kelamin perempuan. Sesuatu yang tidak lazim dalam film yang menampilkan adegan kekerasan maupun sadisme, dimana perempuan menjadi pelaku kekerasan tersebut.16 Shot dan dialog yang ada di film Dara terdapat kekerasan yang mengandung unsur sadisme. Dara, tokoh utama yang juga menjadi judul dalam film ini digambarkan sebagai sosok perempuan cantik yang memikat para lelaki. Dara diceritakan pandai memasak, seperti keahlian utama perempuan yang lain yang digambarkan pandai memasak. Namun di dalam rumah, Dara digambarkan begitu sadis dan kejam, mampu membunuh tiga orang laki – laki sekaligus secara Hariyanto. 2009. Gender dalam Konstruksi Media. Jurnal Komunika. STAIN Purwokerto. ibid 16 Lihat: http://insideindonesia.org/content/view/155/29/v diakses terakhir pada 27 Mei 2012 14 15
I-6
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sendirian, dan dalam waktu bersamaan. Dara yang lemah lembut, berubah menjadi sosok monster yang menakutkan bagi laki – laki. Dara mampu mencincang tubuh laki – laki. Seolah menunjukkan bahwa perempuan pun bisa berkuasa dari diri laki – laki (dalam film ini, adalah tubuh dan nyawa), film Dara melawan konstruksi patriaki media, yang menempatkan laki – laki sebagai penguasa atas diri perempuan. Salah satu isi yang secara konsisten disajikan media adalah ideologi patriarkhi sebagai suatu istilah dari psikoanalisis the law of the father, yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Patriarkhi adalah relasi hirarkhis antara laki -laki dan perempuan yang menempatkan laki-laki lebih dominan dari perempuan.
17
Ideologi ini melahirkan perbedaan gender (gender
differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural melaui proses panjang dan sering kali dianggap sebagai ketentuan Tuhan dan seolah -olah bersifat kodrati, tidak dapat diubah lagi, sehingga sifat - sifat yang dilekatkan pada laki -laki dan perempuan dianggap sebagai kodrat dan keharusan yang diperoleh sejak lahir. 18 Bila kita berbicara tentang kekerasan dan perempuan, maka kita juga akan berbicara tentang adanya suatu penggambaran ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan yang ditampilkan media. Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini
berangkat
pertama-tama dari pengertian
adanya
Liestianingsih. 2009. Potret Kekerasan Gender dalam Sinetron Komedi di Televisi. Jurnal Universitas Airlangga. 18 Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). 17
I-7
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non manusia atau alam.19 Karena perempuan, selalu dihubungkan dengan alam, maka secara konseptual, simbolik, dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis. Menurut seorang ekofeminis, Karen J.Warren, hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku, yang memakai kerangka kerja patriarki, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Menurutnya, kerangka kerja tersebut berjalan sebagai berikut: (1) Cara berpikir dengan nilai-hierarkis, misalnya “atas-bawah”, cara berpikir yang menempatkan nilai, prestise, status sebagai “yang atas” dan yang lainnya “yang bawah” ; (2) nilai dualisme, misalnya, bersikap oposisional (buka saling melengkapi), eksklusif (bukan inklusif), status dan prestise menjadi dasar dualisme ini, dualisme yang memberikan nilai tinggi pada “akal”, “rasio”, “laki-laki” dan bukan pada “tubuh”,”emosi” dan “perempuan”, dan (3) Penekanan pada logika dan dominasi, misalnya struktur argumentasi yang membenarkan sub-ordinasi20 Warren sangat yakin bahwa cara berpikir hierarkis, dualistik, dan menindas adalah cara berpikir maskulin yang telah mengancam keselamatan permpuan dan alam. Anehnya, perempuan memang selalu di-“alamkan” atau di“femininkan”. Di-“alamkan” bia diasosiasikan dengan binatang, sepertiyang telah disebut di paragraf atas; ayam, kucing, ular, dsb dan di-“femininkan” bila dikatakan diperkosa, dikuasai,dipenetrasi,digarap dsb. Perhatikan bahwa kata-kata tersebut adalah kata-kata yang dipakai dalam menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan alam. Misalnya, tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, hutan yang diperkosa, dll. Jadi, tidak mengada ada bila perempuan dan alam 19 20
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta : Penerbit Kompas. Hal 381 - 383 ibid
I-8
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
mempunyai kesamaan secara simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia yang berciri maskulin. Pandangan – pandangan ini menguatkan kesan dan doktrin dimana perempuan tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas “dominasi” atas laki – laki. Sebagai mana inti dari kekerasan adalah dominasi seseorang atas lainnya21, penelitian Straus, seorang Psikolog Sosial asal Amerika Serikat menjadi menarik untuk dibahas. Dimana, perempuan bisa menjadi subyek kekerasan yang lebih sadis ataupun kejam dibanding apa yang dilakukan laki – laki. Dalam studinya secara mendalam pada beberapa pasangan heteroseksual di Amerika Serikat, terdapat suatu kurva kecenderungan bahwa perempuan memiliki skor kekerasan diatas rata – rata yang dilakukan laki – laki pada pasangannya.22 Dalam
penelitian
ini,
peneliti
akan
mendeskripsikan
bagaimana
perempuan digambarkan sebagai pelaku kekerasan dalam film Dara. Metode yang digunakan untuk mendeskripsikan adalah semiotika. Semiotika, biasa digunakan untuk analisis tekstual, dimana teks disini diasosiasikan sebagai segala pesan yang ditampilkan dalam berbagai bentuk ( tulisan, audio, video ) dan merupakan kumpulan dari tanda tanda baik tulisan, gambar suara ataupun gesture. Menurut Noth, semiotika juga memberikan pemahaman tentang bagaimana suatu tanda mempresentasikan realitas dan bahwa kita tidak bisa tidak akan selalu
Fomm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, hal 146. Straus. Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004)
21 22
I-9
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
berhubungan dengan tanda-tanda dan sekaligus menciptakan makna dibalik tanda tersebut.23
1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimana penggambaran perempuan sebagai pelaku kekerasan dalam Film Dara?”
1.3.Tujuan penelitian Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mendapatkan gambaran perempuan sebagai pelaku kekerasan dalam Film Dara.
1.4.Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah literasi terkait kekerasan dan gender dalam ranah komunikasi. Karena kajian gender dan kekerasan masih sedikit, terutama dengan sudut pandang perempuan sebagai pelaku kekerasan.
Chandler, Daniel. Semiotik for Beginner dari http://www.aber.ac.uk/media/documents/S4B/semiotic.html 23
I-10
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
1.5.Tinjauan Pustaka 1.5.1
Film Sebagai Bagian dari Media Jowet dan Linton dalam bukunya Movie as Mass Communication,
menjelaskan bahwa film sebagai bentuk media massa yang pada awalnya selalu diabaikan, film dipandang sebagai seni dan hiburan dibandingkan sebagai sebuah media. Namun film dapat dengan cepat menembus batas kelas secara luas. 24 Sedangkan Michael Rear25 menganggap film sebagai mass mediated culture, yaitu ekspresi dari budaya yang memiliki pengaruh luas yang diterima dari media massa kontemporer, baik berasal dari budaya elit, budaya rakyat, budaya popular, maupun budaya massa. Unsur yang membawa emosi penonton larut dalam alur film, terutama sehingga penonton terstimuli bahwa film ini membawa unsur sadisme adalah dialog atau bahasa verbal dari ucapan pemeran dalam film tersebut. Karena dari dialoglah, penonton mengerti dan memahami isi dari cerita film yang sedang ditontonnya. Menurut Sony Set dan Sita S (2003: 76) dalam bukunya Menjadi Penulis Skenario Profesional terbitan Grasindo, dialog menggambarkan berbagai ucapan yang disampaikan dari seorang karakter, dialog menggambarkan logika berpikir dan berinteraksi sang karakter.26 Sedangkan menurut Lutters27 dialog adalah kalimat yang diciptakan oleh penulis skenario, yang nantinya diucapkan oleh sang aktor. Dialog harus mewakili peran dan karakter, serta perasaan si tokoh 24 25 26 27
Jowet dan Linton 1987. Movie as Mass Communication. London: Sage Publication, hal 17 Ibid, hal 17 Sony Set dan Sita S. 2003. Menjadi Penulis Skenario Profesional. Jakarta: Grasindo, hal 76 Elizabeth Lutters (2004) Kunci Sukses Menulis Skenario , Jakarta : Grasindo, Hal 159.
I-11
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dalam cerita. Sedangkan aktor atau pemeran film, oleh Arthur Asa Berger dalam bukunya Sign in Contemporary Culture, Introduction in Semiotics, menjelaskan bahwa : “Para Aktor atau Aktris merupakan orang – orang yang memerankan karakter – karakter tertentu dan menghayati emosi – emosi tertentu. Para pemeran tersebut dapat mewujudkan tujuan ini dengan tanda – tanda yang memadai tentang karakter tokohnya.”28
1.5.2
Kekerasan dan Realitasnya
1.5.2.1. Pengertian Kekerasan Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.29 Sedangkan Barker mendefinisikan kekerasan merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap manusia yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.30
Arthur Asa Berger. 1984. Sign in Contemporary Culture, Introduction in Semiotics. London: Longman. Hal 63 29 Suyanto, Bagong, dkk. (2000). Tindak Kekerasan Mengintai Anak-anak Jatim. Surabaya : Lutfansah Mediatama. Hal 31 30 Huraerah, Abu. (2007). Child Abuse : Kekerasan Terhadap Anak. Edisi Revisi. Bandung: Nuansa. Hal 2 28
I-12
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik31. Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik. 32 1.5.2.2. Fenomena Dating Violence Dalam film Dara digambarkan kekerasan dilakukan antara Dara dengan pasangan kekasihnya saat mereka tengah berkencan. Peneliti mengkategorikan kekerasan ini dalam Dating Violence, dimana Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang mengakibatkan orang lain tersiksa. Menurut Straus dalam jurnalnya Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004), dating didefinisikan sebagai interaksi yang „saling‟ (dyadic), termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit dan implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini. 33 Collins34 mengatakan bahwa terdapat 5 hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai dating. Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut pacaran, usia dimana dia memulai pacaran, dan
31
Papalia. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Edisi Sembilan. Jakarta: Kencana. Hal 53 32 ibid 33 Straus, A.M (2004). Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female. Journal of violence against woman. Available FTP: http://pubpages.unh.edu/~mas2/ID16.pdf: 3 Oktober 2012 34 Dalam Marcus, F.R. (2007). Aggression and Violence in Adolescence. New York: Cambridge University Press. Hal 42
I-13
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
konsistensi serta frekuensi pacaran (2) partner-selection – siapa yang mereka pilih menjadi pacar mereka (apakah usianya lebih tua, sama atau dari suku dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3) content – apa yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas yang dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection, nurturance, antagonism, and high conflict and controlling behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah terdapat partner yang memberikan respon emosional yang merusak, persepsi, harapan, schema, dan atribusi atas diri sendiri yang lebih didasarkan pada emosi. Definisi violence menurut VandenBos merupakan ekspresi kemarahan dengan tujuan untuk melukai atau merusak seseorang atau properti mereka secara fisik, emosi, maupun seksual. 35
Dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya36 Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
35
Ibid, hal 45 Krahe, B. (2005). Perilaku Agresif: Buku Panduan Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
36
I-14
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. 37 Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. 38 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.
1.5.2.3. Sadisme Sebagai Bagian dari Visual Pleasure Film Dara mengandung unsure kekerasan yang dapat digolongkan dalam sadisme39 dalam shot dan dialog nya, dalam teori sadisme, seperti dikutip dari beberapa perbincangan di Facebook, Twitter, Koprol, maupun Blog.40 Warkentin. J. (2008). Dating Violence and Sexual Assault Among College Men: Co-Occurrence, Predictors, and Differentiating Factors. OHIO: Dept Of Psycyhology. 38 Murray, J. (2007). Abusive Dating Relationships. United States. HarperCollins Publishers Inc. 39 Fomm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, hal 416. 37
I-15
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Unsur sadisme tersebut didefinisikan oleh Erich Fomm dalam bukunya Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, adalah sebagai berikut: “Sadisme adalah hasrat untuk secara mutlak dan tak terbatas menguasai makhluk hidup, baik itu binatang maupun manusia. Menyakiti atau melecehkan orang dengan sengaja tanpa memberinya kesempatan untuk mempertahankan diri atau menghindar merupakan salah satu wujud penguasaan mutlak, namun ini sama sekali bukan wujud satu – satunya. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh atas makhluk hidup lain menjadikan makhluk hidup yang dikuasainya itu sebagai benda miliknya atau kekayaanya, sedangkan dia sendiri sebagai dewanya.”41 Fomm lebih lanjut mengatakan bahwa sadisme merupakan salah satu sifat kedestruktifan dan kekejaman sebagai kecenderungan khas manusia untuk merusak dan memperoleh kekuasaan mutlak (agresi jahat). Perilaku agresif manusia itu dapat diwujudkan dalam peperangan, kejahatan dan segala perilaku destruktif dan sadistic yang dibawa oleh insting bawaan yang telah terprogram secara filogenetik. Agresi jahat ini berupaya mencari penyaluran dan selalu menunggu kesempatan yang tepat untuk melampiaskannya.42 Lebih lanjut dalam halaman 260, Fomm merinci bahwa sadisme termasuk dalam agresi jahat non adaftif biologis dimana : “Sadisme atau kesadisan merupakan salah satu solusi bagi persoalan makhluk yang terlahir sebagai manusia manakala tidak diperoleh pemecahan yang lebih baik. Pengalaman menguasai makhluk lain secara mutlak, selama ada kaitannya dengan manusia dan binatang, mampu menimbulkan ilusi terlampauinya batas – batas eksistensial manusia, terutama bagi orang – orang yang kehidupan kesehariannya kurang produktif atau kurang bahagia. Sadisme Lihat http://desieria.blogspot.com/2010/01/movie-rumah-dara.html, http://twitter.com/#!/bomb_eer/status/8668542241, http://twitter.com/#!/sricyclops/status/16367202101, http://www.koprol.com/s/1r78, diakses 27 Mei 2012 41 Fomm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, hal 416. 42 ibid 40
I-16
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
pada dasarnya tidak memiliki tujuan praktis; ia merupakan perubahan dari rasa tidak berdaya menjadi rasa menguasai secara mutlak itulah yang dirasakan orang – orang yang berjiwa kerdil.”43 Fomm lalu membagi sadisme dalam dua kategori, yakni sadisme seksual dan sadisme non seksual. Sadisme Seksual sendiri menurut Nevid digolongkan sebagai bagian dari parafilia, yakni gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya.44 Lebih lanjut sadime seksual dijabarkan Nevid sebagai suatu kenikmatan seksual apabila melihat lawan seksualnya disakiti, secara fisik maupun psikis. Sedangkan sadisme non seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual dimana ada kepuasan tersendiri dari pelaku kekerasan apabila yang tertindas merasa tersakiti secara psikis maupun fisik. Merujuk pada penegrtian diatas, maka sadisme dalam film Dara tergolong sadisme non seksual, yang oleh Fomm dibagi lagi menjadi dua golongan yaitu: 1. Sadisme Fisik Sadisme ini bertujuan menyebabkan nyeri fisik hingga yang paling ekstrim yaitu menimbulkan kematian, mengambil sasaran makhluk tidak berdaya, baik manusia maupun binatang. Tawanan perang, budak, anak – anak, orang sakit jiwa, narapidana, etnis minoritas, kesemuanya sasaran empuk sadisme fisik, termasuk didalamnya penyiksaan. 2. Sadisme Mental Sadisme mental yaitu keinginan untuk melecehkan atau melukai perasaan orang lain, boleh jadi sadisme ini paling banyak dijumpai dalam kehidupan sehari – hari, pelakunya hanya menggunakan kata – kata bukan fisik. Akan tetapi sakit psikis memiliki dampak tusukan lebih hebat Ibid, hal 260 Kroger, Jane. (2008). Identity Development, Adolesence throught Adulthood. Sage Publication, Inc.
43 44
I-17
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
daripada fisik. Dengan kata lain, sadisme ini dilakukan dengan situasi dimana seseorang lebih inferior dibandingkan si sadis. 45 Fomm menjelaskan bahwa bagi orang berkarakter sadis, yang mampu dikuasainya adalah sesuatu yang hidup, benda hidup ia jadikan benda mati. Atau lebih tepatnya makhluk hidup dijadikan obyek ketakutan terhadapnya. Respon obyek ditentukan oleh subyek atau yang menguasai. Si sadis ingin menjadi penentu hidup, karenanya unsur – unsur kehidupan mesti dipertahankan keberadaannya dalam diri si korban. Pada kenyataan inilah yang membedakannya dengan orang destruktif. Orang destruktif bernaluri ingin membinasakan korbannya dan menghancurkan hidupnya, sedangkan si sadis lebih cenderung menikmati dalam tindakannya menguasai dan mempermainkan sang korban. 46 Ciri – ciri orang sadis oleh Fomm dijabarkan sebagai berikut: “bahwa dia hanya tertarik pada obyek yang tidak berdaya; dia tidak akan tertarik pada binatang atau manusia yang lebih kuat darinya. Melukai musuh dalam suatu duel yang seimbang tidak akan memberikan kesenangan khas sadistik, karena dalam situasi ini tindakan melukai lawan bukan merupakan ungkapan rasa menguasai. Hanya satu yang dikagumi orang berkarakter sadis: kekuasaan. Dia mengagumi, menyukai, dan bahkan tunduk pada mereka yang memiliki kekuasaan; dia memandang rendah dan ingin menguasai mereka yang tidak berdaya dan tidak mempunyai keberanian untuk menentang.”47
1.5.3. Konstruksi Media Mainstream: Perempuan sebagai Korban kekerasan Realitas yang coba dibangun oleh media mainstream dalam memahami kekerasan dari sudut pandang gender adalah perempuan sebagai obyek kekerasan. Sangat mudah bagi kita mendapati kajian – kajian kekerasan pada perempuan, Fomm, Erich. 2001. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, hal 455 ibid 47 Ibid, hal 420 45 46
I-18
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
bahkan dalam kasus KDRT48, yang terjadi adalah selalu media menampilkan perempuan sebagai makhluk lemah tak berdaya yang dianiaya suami, padahal tidak sedikit pula lelaki juga menjadi korban KDRT, tetapi kita tidak pernah mendapati komnas laki – laki. Mindset dari pelaku media, yang menjadikan perempuan sebagai sub ordinasi dan memandang perempuan sebagai makhluk yang teraniaya. Dan media mainstream menggambarkan itu dalam realitas sosial. Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam bukun The Social of Construction Reality. Realitas menurut Berger tidak di bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas berwujud ganda/plural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbedabeda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu.49 Konsep penting yang perlu di-pahami dalam rangka memahami persoalan kaum
Hawa
khususnya
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan
adalah
membedakan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep sex dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender 48
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perilaku kekerasan yang ada dalam hubungan rumah tangga suami dan istri dalam ikatan perkawinan yang sah. 49 Eryanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media(Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 15.
I-19
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) serta kaitannya terhadap ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep sex dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial.50 Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik, terutama pada per-bedaan fungsi reproduksi. Sementara itu gender merupakan konstruksi sosio-kultural. Pada prinsipnya gender merupakan interpretasi kultural atas p e r b e d a a n j e n i s k el a m i n. Bagaimanapun gender memang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak dijumpai dalam masyarakat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi “maskulin” dan “feminin”. Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian dan antara perempuan dan keperempuanan. Pada umumnya jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender . Akan tetapi hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut.51
50
Fakih, Mansour, 1996, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, dalam Jurnal “Analisis Sosial” Edisi 4/Nopember 1996, Pusat Analisis Sosial “Akatiga” Bandung. 51 Susilastuti, Dewi H., Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, dalam Fauzie Ridjal dkk.(ed), “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”, Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 30
I-20
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin; 2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat52 Elemen universal ini seringkali oleh media ditafsirkan menjadi bias. Gender oleh media didentikan dengan jenis kelamin (sex). Dimana feminitas selalu identik dengan perempuan. Dan streotipe yang dibangun oleh media kembali adalah perempuan adalah lemah, dan mereka selalu yang menjadi obyek kekerasan. Bukan subyek kekerasan. Seolah terus mengamini kodrat bahwa perempuan adalah obyek dari kekerasan itu sendiri. Media massa memang bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh, tetapi media massa telah berkembang menjadi agen sosialisasi yang semakin menentukan karena intensitas masyarakat mengkonsumsinya. Efek media juga akan semakin kuat mengingat sosok perempuan yang ditampilkannya adalah cara yang memperkokoh stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. 53 Oleh karena itu, media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender. Namun, media massa jelas memperkokoh, melestarikan, bahkan memperburuk segenap ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat. Ketika media massa menyajikan sebuah anggapan tentang perempuan secara konsisten, orang menjadi menyangka bahwa pilihan yang paling logis adalah mengikuti apa yang tampak sebagai kecenderungan umum itu, sebagaimana yang 52 53
ibid Hariyanto. 2009. Gender dalam Konstruksi Media. Jurnal Komunika. STAIN Purwokerto.
I-21
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
disajikan media.54 Contoh, seorang wanita yang cerdas, memiliki kecakapan, yang sangat percaya diri, bisa saja akhirnya merasa harus tampil dengan rok ketat dan minim di kantor karena menganggap bahwa penampilan seperti itu adalah pilihan yang paling ideal dalam kehidupan bermasyarakat. Ia tak sadar bahwa dengan tampil seperti itu, ia sebenarnya sedang mendukung stereotip bahwa seks adalah kekuatan utama seorang perempuan. Bahkan, perlahan-lahan, ditemukan rangkaian justifikasi untuk meneguhkan stereotip tersebut. Ketika perempuan yang digambarkan dalam keadaan lemah dan menjadi obyek kekerasan, secara terus-menerus ditampilkan sebagai obyek seks di media, maka khalayak laki-laki akan menerima pembenaran dalam memandang perempuan sebagai kaum yang fungsi utamanya adalah memuaskan nafsu seksual dan obyek kekerasan dari laki-laki. Akibatnya, tertanam anggapan bahwa „kekuatan‟ utama perempuan adalah tubuhnya dan kelemahannya, bukan faktor-faktor lain seperti keunggulan intelektual, keluasan wawasan, kecakapan bekerja, dan sebagainya.55 Dengan demikian, peran media massa, dalam hal ini, sama sekali tidak bisa dipandang remeh. Media massa bukan saja mengajarkan, tetapi juga meneguhkan skema yang sudah terbangun, memberi pembenaran, bahkan mendukung kondisi yang memfasilitasi praktek-praktek penindasan perempuan. Tentang efek berjangka panjang ini, konsumen media bisa menggunakan isu efek media dalam hal perkosaan atau kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini, harus ditekankan bahwa dampak media mungkin tidak sesederhana seperti 54 55
Skripsi
ibid ibid
I-22
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
yang dibayangkan sebagian pihak. Terlalu berlebihan untuk menganggap bahwa karena menonton film atau membaca majalah atau membaca buku yang mengandung muatan seks, seseorang melakukan perkosaan. Oleh karena itu, eksploitasi seks maupun penggambaran perempuan sebagai obyek kekerasan di media tidak memiliki dampak langsung pada perkosaan, maupun kekerasan secara langsung terhadap perempuan. Namun jelas menciptakan kondisi pembenaran streotipe yang ada di masyarakat bahwa perempuan adalah obyek kekerasan. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang jelas tentang bagaimana ”seharusnya” laki-laki dan perempuan itu. Penelitian Williams dan Best yang mencakup 30 negara menampilkan semacam konsensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak universal, akan tetapi “generalitas pankultural” itu ada. Pada umumnya laki-laki dipandang sebagai lebih kuat dan lebih aktif, serta ditandai oleh kebutuhan besar akan pencapaian, dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya perempuan dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, keinginan untuk mengasuh dan mengalah.56 Bagaimana citra laki-laki dan perempuan ini terbentuk? Media yang paling efektif bagi pembentukan gambaran ideal tentang laki-laki dan perempuan adalah sosialisasi dalam keluarga. Sosialisasi sendiri merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dan dapat terjadi di berbagai institusi selain keluarga, misalnya 56
Susilastuti, Dewi H., Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, dalam Fauzie Ridjal dkk.(ed), “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”, Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 31
I-23
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
sekolah dan negara. Dan sosialisasi ini diperteguh dengan pembenaran media mainstream akan konsep – konsep ini. 1.5.4. Perempuan : Domestikisasi dan Atribusinya Dalam budaya patriarkal, tubuh perempuan “dikonsumsi” sebagai obyek pandangan, obyek sentuhan, obyek seksual, sebagai obyek hasrat laki-laki, obyek ideologi. Secara umum perempuan dikonsumsi dan dipersepsi sebagai obyek, dan obyek dalam arti harafiah nya adalah menerima tindakan/perlakuan. Beauvoir, dan kemudian Irigaray mengatakan bahwa kita dapat bermain dalam hegemoni subyek-obyek ini, tetapi bukan permainan yang mudah meski bukan juga mustahil.57 Kate Millet (1970) seorang feminis Amerika menggarisbawahi bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi pada sistem masyarakat patriakal dimana distribusi kekuasaan antara laki - laki dan perempuan timpang. Masyarakat patriarkal sekaligus identik dengan simbol - simbol ayah bila kita mengikuti istilah Freudian. Tokoh ayah atau laki - laki mengokohkan hukum - hukum masyarakat, misalnya “larangan-larangan ayah” merupakan landasan tataran peradaban (Mitchell,1974). Lantas, bagaimana dengan peran Ibu? Mekanisme peniadaan peranan ibu dari generasi ke generasi telah ditiadakan dan tidak dipentingkan untuk menciptakan suatu pola patriarkal. Ibu dianggap bukan sosok yang penting. Ia hanya perempuan yang hanya tahu melahirkan dan paling-paling
57
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 80
I-24
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
wilayah kekuasaaannya adalah ranah domestik. Itupun dirinci lagi menjadi urusan anak dan dapur. 58 Tak heran jika atribut pisau dapur, celemek, panci, dan segala aneka yang berhubungan dengan dapur menjadi sesuatu yang melekat dengan sosok perempuan. Dalam
konteks
budaya
masyarakat
Indonesia,
Koentjaraningrat
menuturkan bahwa Dapur sebagai symbol dari sebuah representasi perempuan dibuat menjadi budaya dimana pembenaran bahwa Dapur milik perempuan dan ruang kerja menjadi milik laki – laki.59
1.5.5. Kekerasan, Gender, dan Perilaku Kekerasan Friksi yang selalu dilekatkan pada perempuan sebagai gender termaginal adalah korban dan tidak berdaya atas kuasa dirinya. 60 Laki – laki selalu dikultuskan menjadi pemilik kuasa atas diri perempuan. Bentukan budaya yang dikuatkan oleh media ini menjadikan perempuan apabila menjadi pelaku kekerasan menjadi sesuatu yang dianggap nyeleneh dari konstruksi budaya masyarakat. Sementara itu, merujuk pada definisi Straus, pelaku kekerasan maupun perilaku kekerasan tidak memandang jenis kelamin dari subyek kekerasan
58
Ibid. hal 191 - 195 Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal 220 60 Susilastuti, Dewi H., Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, dalam Fauzie Ridjal dkk.(ed), “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”, Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 31, hal 34 59
I-25
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
tersebut.
61
Baik laki – laki maupun perempuan sama – sama memiliki prevelasi
dan preferensi yang dikatakan sama untuk berpotensi menjadi pelaku kekerasan.62 Straus menganggap perempuan bisa menjadi pelaku kekerasan yang lebih sadis ataupun kejam dibanding apa yang dilakukan laki – laki. Dalam studinya secara mendalam pada beberapa pasangan heteroseksual di Amerika Serikat, terdapat suatu kurva kecenderungan bahwa perempuan memiliki skor kekerasan diatas rata – rata yang dilakukan laki – laki pada pasangannya.63 Dari fenomena yang ditemukan Straus ini, dapat peneliti jadikan pijakan bahwa perempuan tidak identik dengan korban atas kekerasan yang dilakukan oleh laki – laki.
1.5.6. Semiotika sebagai Alat Penelitian Komunikasi Dewasa ini, semiotika sudah menjadi suatu pendekatan yang digunakan dalam mempelajari studi tentang budaya, salah satunya adalah penelitian Roland Barthes di tahun 1964. Barthes menjelaskan semiotik sebagai studi yang mempelajari sistem tanda, baik yang berupa teks, gambar, gesture, obyek dan hubungan yang kompleks diantara tanda-tanda tersebut.64 Semiotika, biasa digunakan untuk analisis tekstual, dimana teks disini diasosiasikan sebagai segala pesan yang ditampilkan dalam berbagai bentuk ( tulisan, audio, video ) dan merupakan kumpulan dari tanda tanda baik tulisan, gambar suara ataupun gesture. Menurut Noth, semiotika juga memberikan Straus. Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004) 62 Ibid 63 ibid 64 Daniel Chandler, op.cit 61
I-26
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
pemahaman tentang bagaimana suatu tanda mempresentasikan realitas dan bahwa kita tidak bisa tidak akan selalu berhubungan dengan tanda-tanda dan sekaligus menciptakan makna dibalik tanda tersebut.65 Semiotika, juga bisa diaplikasikan pada segala hal yang yang memiliki makna dalam suatu budaya. Dalam konteks media massa, analisis semiotika bisa diaplikasikan pada semua teks dalam media, termasuk televisi, radio, film, kartun, surat kabar, majalah, dan juga dalam memproduksi serta menginterpretasi teks.66 Umberto Eco mengemukakan pendapatnya tentang Semiotika dalam Theory of Semiotics, sebagai berikut: Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. A sign is everything which can be taken as significantly substituting for something else. This something else does not necessarily have to exist or to actually be somewhere at the moment in which a sign stands in for it.67 Menurut Pierce, tanda mempresentasikan obyek atau referent dalam benak interpreter, dan kehadiran dari obyek yang diwakili oleh tanda itu sebagai interpretant. Sebagai contoh, kata “anjing” diasosiasikan dalam benak kita sebagai suatu bentuk binatang tertentu. Kata “anjing” itu sendiri bukanlah binatang, tapi asosiasi yang kita buat ( the interpretant ), menghubungkan keduanya. Menurut Aranguren, sign atau tanda memiliki tiga ciri. Ciri yang pertama, tanda tidak akan dapat berarti apa apa tanpa diberikan suatu interpretasi sebelumnya. Ciri yang kedua menunjukkan bahwa setiap tanda selalu bisa Ibid. Ibid. 67 Ibid. 65 66
Skripsi
I-27
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
menunjukkan respon yang aktif. Sedangkan ciri yang ketiga, seperti halnya pada ciri yang kedua, yang mengundang suatu respon, akan tetapi respon di sini adalah yang sebaliknya. Tanda itu sendiri, menurut Saussure, merupakan konsensus yang dibangun oleh kesepakatan kesepakatan. Tanda termasuk bahasa sifatnya arbitrary. Bahasa yang berbeda menggunakan pemakaian kata-kata yang berbeda untuk menunjuk hal yang sama. Dan tidak ada hubungan fisik antara kata tersebut denagn obyeknya. Hal ini menjelaskan bahwa bahasa dan kenyataan itu terpisah. Saussure percaya bahwa orang mengenali dunianya melalui bahasa. 68 Sama dengan ahli semiotik yang lain, Saussure juga tidak melihat tanda itu sebagai obyek. Tanda tidak membentuk atau menciptakan obyek, tapi memaknai obyek tersebut. Semiotik menjadi jalan bagi kita yang ingin mencari dan melihat apa yang terkandung dan tersembunyi di balik isi dari suatu teks. Teks yang sama bisa menghasilkan pemaknaan yang berbeda bagi orang yang berbeda. Pada pendekatan komunikasi yang berfokuskan pada makna dan interpretasi, semiotik menantang model transmisi yang menyamakan makna dengan pesan. Tanda tidak hanya sekedar mengungkapkan makna, tapi juga sekaligus menjadi media dimana makna dibangun. Semiotik melihat bahwa makna tidak bersifat pasif dan langsung diterima, tapi timbul melalui proses yang aktif dari interpretasi. The semiological approach…suggest that the meaning of an ad does not float on the surface just waiting to be internalized by the viewer, but is built up out of the ways that different signs are 68
Skripsi
Ibid., hal.70
I-28
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
organized and related to each other, both within the ad and through external reference to wider belief system. More specifically, for advertising to create meaning, the reader or the viewer has to do some „work‟ Because the meaning is not lying there on the page, one has to makean effort to grasp it.69 Seperti juga Pierce, Langer juga melihat makna sebagai suatu hubungan yang kompleks antara simbol. obyek dan orang. Kita juga mengartikan makna secara logis yaitu hubungan antara simbol dan obyek, dan secara psikologis yaitu hubungan antara simbol dan orang.70 Langer menjelaskan bahwa sebelum kata kata dan istilah menciptakan dan membangun preposisi, mereka tidak menerangkan dan menjelaskan apa apa. Dengan menghubungkan dan mengikat kata kata itu secara bersama sama dan menggabungkannya dalam kalimat, barulah tercipta preposisi yang merupakan simbol-simbol yang kompleks yang menghadirkan gambaran tentang sesuatu. Semua simbol termasuk preposisi mengkomunikasikan konsep, ide, pola atau bentuk. Tidak ada satupun yang bisa disebut sebagai tanda sebelum diinterpretasikan sebagai tanda.71
1.6. METODOLOGI PENELITIAN 1.6.1.Metode dalam Penelitian ini Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika, sebuah metode yang digunakan pada penelitian-penelitian symbol dan film. Pemikiran
69
Chandler, Daniel. Semiotik for Beginner dari http://www.aber.ac.uk/media/documents/S4B/semiotic.html 70 Littlejohn, op.cit., hal. 67 71 Ibid.
I-29
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
dasar dari semiotika adalah analisis makna yang ada didalamnya digunakan analisis semiotika, dimana menurut Eco bahwa segala sesuatu yang memiliki makna dan dapat dimaknai merupakan obyek yang potensial bagi penelitian semiotika. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. A sign is everything which can be taken as significantly substituty for something else, thus something else does not necessarily have to exist or to actually be somewhere at the moment in which a sign stand in gor it.72 Analisis semiotika ini termasuk penelitian kualitatif, dimana penelitian ini biasanya berhubungan dengan konflik-konflik lokal, bahkan tindakan subversif. Dengan kata lain, metode ini melihat adanya ideologi baik yang terselubung maupun yang tampak jelas yang mengiringi suatu peristiwa.73 Metode ini melihat bahwa untuk melihat makna dari suatu peristiwa yang dalam hal ini diwakili dalam bentuk teks, akan tergantung dari hubungannnya dengan peristiwa lain dan kepentingan serta kemampuan dari interpreter. Teks yang akan diteliti bersifat terbuka, sehingga pembacaannya dan pemaknaannya selalu berbeda-beda. Dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersifat kaku dan juga harus mempunyai konsep-konsep yang kita ambil dari pengalaman-pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatannya.
Umberto Eco, hal 7 http://www.amazon.com/Umberto-Eco/e/B000APW210 Thomas R. Lindlof, Qualitative Communication, Research and Methods, California: Sage publications, vol 3, 1994, hal 23.
72 73
I-30
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Hasil dari penelitian kualitatif ini akan bersifat subyektif/memihak dan juga bersifat terbuka, artinya masih mencari-cari terhadap kemungkinan munculnya teori-teori baru yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti, karena yang dilakukan terhadap teks adalah interpretasi sehingga tidak bersifat tetap. Kekuatan hasil penelitian kualitatif ini terletak pada kekuatan argumentasi yang dikemukakan oleh peneliti dalam menginterpretasi apa yang menjadi obyek penelitiannya untuk menjawab permasalahan yang ada. Penelitian ini menjabarkan relasi antara gender dan kekerasan melalui kenampakan – kenampakan yang ada dalam film Dara.
1.6.2. Unit analisis Unit analisis dalam penelitian ini merupakan adegan tindak kekerasan, atribut – atribut yang dikenakan aktor dan aktris, serta narasi teks yang ada dalam film yang menampilkan Dara sebagai subyek / pelaku kekerasan. Dalam film ini, peneliti nantinya juga memilih beberapa scene yang sarat tanda dan lambang yang mendukung Dara sebagai pelaku kekerasan. Beberapa scene yang peneliti pilih inilah yang nantinya akan dibahas lebih lanjut. Simbol – simbol dan tanda – tanda yang menjadi kenampakan dalam film ini juga menjadi bagian yang dianalisis oleh peneliti menggunakan kajian semiotika. 1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
I-31
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer berupa narasi-narasi kualitatif yang dikumpulkan melalui proses yang dipilih berdasarkan signifikansi dengan nilai-nilai kekerasan dan relasinya dengan gender yang ingin dilihat dengan mengamati tanda-tanda yang ditonjolkan, baik berupa tutur, intonansi, mimik, setting, gerak, dan juga dari dialog yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh dalam film tersebut.
1.6.4 Teknik Analisis Data Berikut adalah tahapan dalam melaksanakan analisis semiotika yang dikemukakan oleh Jane Stokes74 1. Mendefinisikan objek analisis atau penelitian Objek analisis haruslah sesuatu yang memungkinkan peneliti untuk menguji hipotesis sementara. Objek analisis dalam penelitian ini adalah atribut-atribut dalam film yang menampilkan
perempuan dan posisinya sebagai pelaku
kekerasan dalam Film Dara 2. Mengumpulkan teks Dalam penelitian ini, teks adalah tanda dan lambang dalam film Dara. Film tersebut berbentuk DVD untuk di jadikan subjek penelitian. 3. Mendeskripsikan teks Tahap pertama dari analisis adalah menerangkan isi teks dengan hati-hati. Secara cermat, peneliti mengidentifikasikan semua unsur di dalam teks. 74
(http://repository.unikom.ac.id/repo/sector/perpus/view/jbptunikomppgdyuwanatria-22903.pdf) : Diakses tanggal 20 September 2012
I-32
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO
ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga
4. Menafsirkan teks Peneliti mulai mendiskusikan makna dan implikasi masing-masing tanda secara terpisah, kemudian secara kolektif. Dalam tahap ini peneliti akan menimbang makna konotasi dari teks 5. Menjelaskan kode-kode kultural Dalam tahap ini, peneliti akan memberi makna dan menafsirkannya sesuai dengan pengetahuan kultural peneliti. Pemaknaan tersebut juga didasarkan pada kode-kode cultural 6. Membuat Generalisasi Membagi makna-makna tersebut ke dalam kode-kode yang telah ditentukan, kemudian peneliti membandingkan dengan cara-cara tersebut digunakan 7. Membuat kesimpulan
I-33
Skripsi
Penggambaran Perempuan sebagai ...
TYAN LUDIANA PRABOWO