BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Film merupakan salah satu produk kemajuan teknologi yang kini mulai berkembang pesat. Sebagai salah satu media komunikasi, film dianggap dapat menyampaikan pesan secara efektif. Dalam sebuah artikel, Diskursus Film Islam, menurut Soelarko, 1978, efek terbesar film adalah peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan oleh setiap orang. Sehingga apa yang dilihat penonton dalam film, lebih mudah untuk diterima dan ditiru karena film mempunyai kekuatan untuk memainkan emosi. Film secara nyata menampilkan gambar bergerak yang dapat dilihat dan didengar sekaligus. Dengan demikian penonton dapat menangkap content film baik yang tersirat maupun tersuratnya dengan gamblang. Film pun menjadi media yang sangat unik karena dengan karakter audio-visualnya mampu memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial kepada para khalayak. Para penonton dapat merasakan cerita layaknya pada kehidupan nyata ketika menyaksikan gambargambar bergerak, berwarna, dan bersuara. Sedikit melihat sejarahnya, film dibuat karena perpanjangan dari teknologi fotografi. Kamera pembuat gambar bergerak ini pertama kali dibuat oleh Eardweard Muybridge dan Marey pada tahun 1882. Mereka membuat photographic gun camera yang dapat memotret 12 gambar dalam satu piringan.
1
2
Kamera ini terus berkembang dari waktu ke waktu dan memunculkan proyektor sebagai penampil gambarnya. Dan selanjutnya muncul ide-ide kreatif dengan menambahkan warna, animasi, serta suara sehingga tercipta film seperti sekarang. (http://lutviah.net/2011/01/14/media-massa-film/ diakses tanggal 9 Desember 2012) Di Indonesia sendiri, film pertama kali muncul pada tahun 1926 yaitu film Loetoeng Kasaroeng produksi NV Java Film Bandung. Namun perkembangan film saat itu masih sangat sedikit dan hanya tercatat film Terang Boelan yang sangat terkenal pada era tersebut. Selanjutnya bioskop-bioskop justru tutup karena sedikitnya produksi film nasional. (http://bincangmedia.wordpress.com/tag /sejarah-film-indonesia/ diakses tanggal 9 Desember 2012) Selanjutnya industri film di Indonesia mengalami pasang surut yang begitu menarik.
Menurut
Fajar
Junaedi,
dosen
Ilmu
komunikasi
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, film sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi ketika film itu dibuat. Dalam artikelnya yang berjudul Membaca Indonesia dari Film dan Sinema Indonesia, ia menjelaskan bahwa terjadi relasi yang kuat antara film dan sinema sebagai bentuk kebudayaan dengan institusi politik yang berkuasa di masanya. Ia mencontohkan di masa kolonialisme, film yang datang ke Indonesia pada awal tahun 1900-an didominasi film-film dari Dunia Pertama (First World) yaitu Eropa dan Amerika Serikat. (Junaedi, 2009) Pada masa Orde Baru, film-film yang tayang merupakan gambaran kegagahan militer pada era itu. Film yang ada kebanyakan menggambarkan
3
Soeharto yang masih aktif sebagai militer pada saat itu. Seperti dalam film Janur Kuning yang memperlihatkan kehebatan Soeharto merebut Yogyakarta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. (Junaedi, 2009) Saat ini ketika Indonesia memasuki masa Demokrasi yang digemborgemborkan sebagai masa kebebasan, berbagai tema film pun bermunculan. Tidak hanya film tentang nasionalisme, film bergeser ke tema religi dan remaja. Para sineas berkreasi dengan ide-ide mereka dan mencoba menyampaikan pesan dalam film yang mereka buat. Film Ada Apa dengan Cinta yang muncul pada tahun 2000 menjadi awal kebangkitan film Indonesia era ini. Film yang menceritakan kehidupan percintaan remaja Cinta dan Rangga tersebut sukses di pasaran dan membuat produksi film Indonesia melesat. Setelah itu kehidupan remaja menjadi salah satu agenda penting yang diangkat oleh para sineas ke dalam film. Berbagai film yang menggambarkan remaja sebagai masa di mana seseorang mencari jati diri mereka banyak diangkat dalam film. Seperti dalam film Virgin, Best Friends, dan Married By Accident. Ketidakharmonisan dalam keluarga, sikap acuh dari orang tua, dan pengaruh lingkungan sekitar membuat para remaja tersebut mencari tempat “pelarian” sebagai wadah mereka mengeksiskan diri. Namun, tema penting kehidupan remaja yang sekaligus bisa menjadi sarana pendidikan tersebut sayangnya justru lebih banyak menonjolkan sisi hiburan dan seringkali banyak membawa dampak negatif dalam remaja. Hikmat Darmawan, seorang kritus menyebutnya sebagai film melayu yang mendayudayu.
4
“Tema remaja berkutat dalam tema mendayu-dayu yang itu-itu juga, khayalan cinta (atau, belakangan, seks) yang melambung-lambung selayaknya khayalan kekanakan ABG, dan pertimbangan pasar yang memelihara selera banal itu. Tema remaja tidak diolah selayaknya kehidupan remaja yang ada dalam realita kehidupan. Kehidupan cinta yang ‘berlebihan’ serta hanya mempersoalkan ‘dapat’ dan ‘tak dapat’ lebih menonjol dari masalah keluarga, ekonomi yang melatarbelakanginya. (http://old.rumahfilm.org/resensi/resensi_juno.htm diakses tanggal 9 Desember 2012). Padahal, fungsi film sebagai salah satu media dalam peta komunikasi massa menjadi penting ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa media memiliki fungsi informatif, edukatif, dan hiburan. Namun pada kenyataannya, seringkali tidak semua fungsi dapat terpenuhi. Seringkali film hanya memuat fungsi hiburan tanpa memperhatikan kedua unsur lainnya. Banyak film merupakan refleksi dari kenyataan atau kisah nyata kehidupan.
Sebagai
dokumen
sosial
dan
budaya
yang
mencerminkan
masyarakatnya, dan sebagai corak narasi yang multitafsir, film bisa berucap banyak tentang budaya dan masyarakat yang menghasilkannya (Idy Subandi A, 2007 : 173). Melalui film, penonton dapat melihat miniatur kehidupan yang didramakan sehingga kita dapat memahami problematika kehidupan. Film Mata Tertutup mencoba melihat bagaimana salah satu sisi kehidupan remaja yang begitu dekat dengan realitas kehidupan. Fajar Riza Ul Haq menjelaskan film ini akan mengurai identitas remaja dalam konteks tantangan kebangsaan masa kini. Oleh karenanya, film ini lebih mengedepankan fungsi pendidikan yang mengedepankan dialog dan tukar pengalaman dalam proses pembelajaran. (Maarif Institue, 2012 : 21).
5
Remaja merupakan masa transisi dimana dalam masa ini seseorang akan mencari identitas pribadi mereka. Menurut Erikson, 1968 (Atkinson, dkk. 1999 : 233) perkembangan utama remaja adalah membentuk identitas, untuk mencari jawaban atas pertanyaan “Siapa saya?” dan “Ke mana saya akan menuju?”. Erikson menyebutnya dengan istilah krisis identitas. “Remaja menjadi periode ekperimentasi peran di mana orang muda dapat mengekplorasi perilaku, minat, dan ideologi alternatif. Banyak keyakinan, peran, dan cara perilaku mungkin dicoba, dimodifikasi, atau dibuang sebagai upaya membentuk konsep diri yang terintegrasi.” (Atkinson, dkk. 1999 : 233) Dalam masa pencarian identitas, remaja dihadapkan pada situasi yang membingungkan, di satu pihak ia masih kanak-kanak, di lain pihak ia sudah bertingkah laku seperti orang dewasa. Dalam usaha mencari identitas pribadinya tersebut, remaja mulai memiliki pendapat sendiri, cita-cita, serta nilai-nilai sendiri yang terkadang bertentangan dengan norma yang ada (Sarwono, 2009 : 72). Tingkah laku remaja oleh Charles Horton Cooley (Soekanto. 1984 : 127) diungkapakan dengan istilah “looking glass self” -- seolah-olah merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu. Semakin meningkat usia dan kematangan anakanak semakin rumit pula keadaan yang dihadapi. Cooley berpendapat, remaja akan berusaha menyembunyikan keinginan-keinginannya, serta berusaha mencari cara-cara terselubung untuk menyalurkan keinginan-keinginannnya tersebut. (Soekanto. 1982 : 128) Film Mata Tertutup meperlihatkan bagaimana para remaja yang masih mencari identitas pribadinya, terdorong masuk ke dalam kelompok yang mengatasnamakan agama sebagai ideologinya, yaitu Negara Islam Indonesia
6
(NII). Kondisi para remaja yang masih labil dan tidak mendapatkan apa yang diinginkan dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya, menyebabkan mereka mudah dibujuk untuk mengikuti kelompok-kelompok tertentu yang dianggap mampu menampung dan mewujudkan sesuatu sesuai kehendak mereka. Pencarian identitas remaja menuntut mereka untuk tetap eksis, yang dalam pengertian filsafat, eksis tidak cukup hanya dengan adanya keberadaan mereka namun secara aktif sadar akan keberadaannya, dan mampu mengarahkan keberadaannya itu ke suatu tujuan yang dikehendakinya sendiri (Sarwono, 2009 : 41). Masalah-masalah sosial dalam keluarga maupun lingkungan negara yang banyak terjadi dan tidak terselesaikan
mengakibatkan anak-anak
tersebut
mencari pelarian. Mereka mencari tempat di mana mereka bisa eksis dan mendapat pengakuan. Penggambaran dua tokoh utama dalam film yaitu Jabir dan Rima memilih masuk ke NII dan jaringan Islam fundamentalis, merupakan bentuk pencarian
identitas
dan
sebagai
bentuk
pengembangan
diri.
Mead
menjelaskannya, dalam salah satu tahapan perkembangan manusia the generalized other. “Hanya sepanjang ia mengambil sikap sebagai anggota kelompok terorganisir, dan terlibat dalam aktivitas sosial kooperatif yang terorganisir, ia akan mampu mengembangkan diri sepenuhnya.” (Ritzer and Goodman, 2007 : 284) Dorongan keluarga Jabir yang kondisi ekonominya lemah hingga ia mendapat penolakan dari pesantren tempatnya sekolah, membuatnya masuk dalam kelompok jihad yang memaksanya melakukan bom bunuh diri. Sedangkan
7
Rima, akhirnya memutuskan masuk ke NII karena sebagai perempuan, ia merasa hak-haknya tidak dipenuhi dalam kondisi negara sekarang ini. Dengan masuk NII ia berharap bisa membuka ruang bagi dirinya dan rekan-rekannya agar perempuan tidak dipandang sebelah mata. Khelmy K. Pribadi, produser lini Mata Tertutup menjelaskan bahwa akar dari larinya mereka ke dalam kelompok fundamentalis merupakan konklusi dari keadaan sosial-politik-ekonomi kebangsaan yang tidak memihak, yang tidak memberikan ruang bagi sebagian kita, yang dari itu kemudian memberi ruang tafsir bagi perlawanan atas keadaan. (Maarif Institue, 2012 :14) Kondisi negara dan keluarga digambarkan seperti baik-baik saja namun sebenarnya tidak menjanjikan jalan keluar ke kehidupan yang lebih baik. Adrian Jonathan Pasaribu, seorang kritikus film mengungkapakan, dalam film Mata Tertutup NII mewakili sebuah perubahan skala besar, sebuah pemaknaan ulang atas relasi kuasa di tubuh masyarakat, yang diharapkan orang-orang di dalamnya bisa menyelesaikan masalah personal mereka. (Maarif Institue, 2012 : 36) Menurut George Herbert Mead (Soekanto, 1984 : 8) dalam penjelasannya mengenai Teori Interaksionisme Simbolik, manusia secara naluriah memang selalu membentuk kelompok dengan dasar komunikasi, terutama lambanglambang sebagai kunci memahami kehidupan sosial manusia. Manusia dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan lambang-lambang tersebut. Manusia membentuk perspektif-perspektif tertentu, melalui suatu proses sosial di mana mereka memberi rumusan hal-hal tertentu bagi pihak-pihak lain.
8
Setiap individu dalam kelompok akan berusaha mengikuti aturan main dalam kelompok dengan melakukan tindakan seperti yang diinginkan kelompok. Dalam teori interaksionisme simbolik hal tersebut dijelaskan bahwa manusia menggunakan interpretasi orang lain sebagai bukti “kita pikir siapa kita”. Manusia akan melakukan interaksi dengan proses intepretatif dua arah di mana tidak hanya memahami bahwa tindakan seseorang adalah produk dari bagaimana ia mengintrepetasi perilaku orang lain, tetapi juga bahwa intrepetasi ini akan memberi dampak terhadap perilakunya yang diintrepertasi dengan cara tertentu pula. (Jones, 2009 : 142) Jabir dan Rima sebagai tokoh sentral dalam film, melakukan peran dalam kelompok sesuai tujuan dalam kelompok tersebut. Kedua tokoh melakukannya dalam konsep diri aku “me” yang oleh Mead (Ritzer and Goodman, 2007 : 285) dijelaskan terdapat dua fase diri dalam manusia yaitu saya “I” dan aku “me”. Saya “I” adalah tanggapan spontan individu terhadap individu lain. Saya “I” merupakan tindakan yang terdorong oleh diri kita sendiri, bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Sedangkan aku “me” adalah apa yang kita lakukan sesuai dengan apa yang orang lain harapkan. Dalam tindakan kelompok, aku “me” lebih banyak terlihat karena kita membawa kumpulan sikap yang terorganisir dalam kelompok tersebut ke dekat kita, dan sikap itulah yang banyak mengendalikan kita dalam konsep aku “me”. (Ritzer and Goodman, 2007 : 287) Dalam Film digambarkan bagaimana Rima, seorang mahasiswa yang diceritakan sebagai perempuan bebas harus hidup dalam sebuah masyarakat yang
9
punya norma dan aturan terutama mengenai aturan hidup sebagai perempuan. Hal tersebut masuk dalam perilaku Rima dalam aku “me’. Namun dengan idealisme bahwa wanita harus punya kedudukan yang sama dengan lelaki, ia merasa tidak puas dengan kondisi masyarakat sekarang ini yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang. Rima dalam aku “I” merasa dirinya harus mencari suatu kelompok yang sesuai dengan jalan pikiran bahwa wanita harusnya mendapat hak yang sama dengan lelaki. Dalam kekalutan yang dihadapinya, Rima memutuskan masuk dalam jaringan NII, dan akhirnya memang harus bertindak sesuai apa yang menjadi rule actions kelompoknya. Untuk mencapai keinginannya agar mendapat pengakuan sebagai seorang wanita dalam NII, Rima melakukan semua perintah dari pemimpin kelompoknya. Namun kenyataan di NII bahwa ternyata keinginannya agar hak-hak wanita diakui sederajad hanyalah isapan jempol belaka. Ia melihat Istri dan anakanak pemimpin justru diabaikan atas nama penghormatan terhadapa suami. Kekecewaannya berujung pada kebimbangan yang akhirnya membawanya keluar dari NII. Ini memperlihatkan
ia dalam saya “I” memutuskan sesuatu untuk
dirinya sendiri sesuai keinginannya. Dalam film tersebut fluktuasi pembentukan diri Rima antara “me” dan “I” terjadi sesuai dengan pemikiran Rima sebagai perempuan berprinsip, di mana dia merasa hak-haknya sebagai perempuan tidak diakui. Pada akhirnya Rima mencari kelompok yang dianggap bisa memenuhi keinginannya.
10
Begitu juga Jabir yang seorang santri dari sebuah pondok pesantren harus keluar karena tidak bisa membayar biaya sekolahnya. Saya “me” Jabir dituntut oleh lingkungannya untuk membayar pendidikannya agar tetap bisa sekolah, namun tidak bisa dilakoninya dan membuatnya harus keluar. Dalam kekalutannya melihat keluarganya yang miskin, iunya yang terus banting tulang untuk melihatnya terus sekolah, ia memutuskan bekerja sebagai tukang cuci angkot di terminal sebagai pelariannya dari masalah. Pertemuannya dengan seorang yang ternyata dari jaringan terorisme dan mengajaknya masuk kedalam jaringan tersebut, membuat saya “I” Jabir muncul dan bergejolak dalam keinginannya mencari jalan lain untuk belajar agama agar bisa menyenangkan orang tuanya. Dalam masa kalut khas remaja yang diharuskan mencari penyelesain masalahnya sendiri, Jabir masuk dalam jaringan teroris dan membuatnya bertindak sesuai ajaran yang diterimanya dalam kelompok barunya. Jabir dalam memutuskan melakukan bom bunuh diri yang dalam kelompoknya disebut jihad. Keinginannya untuk membuat ibunya senang dan bisa membawanya masuk surga menajdi dorongan kuat untuknya akhirnya menerima tawaran menjadi pelaku bom bunuh diri. Namun, di akhir cerita, Jabir dalam aku akhirnya sempat ragu ketika akan berangkat melakukan tugasnya sebagai pelaku bom bunuh diri. Pertengkarannya dengan sahabatnya, Husni di depan rumah memperlihatkan sisi aku “I” jabir tentang kebimbangannya akan keputusannya menjadi pelaku bom bunuh diri.
11
Fluktuasi pembentukan identitas diri terus berulang dalam setiap fase diri yang dilakoni Jabir dan Rima. Namun dalam film Mata Tertutup, fluktuasi ini digambarkan tidak semua fase pembentukan identitas diri manusia positif. Ada pula hal-hal negatif yang membuat seseorang dapat bertindak salah. Mead (Ritzer and Goodman, 2007 : 286) menjelakan bahwa “I” bereaksi terhadap aku “me” yang mengorganisir sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya sendiri. Kelompok yang diikuti mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “me”. (Ritzer and Goodman, 2007 : 287). Berbeda dengan film remaja kebanyakan, film karya sutradara besar Garin Nugroho, ini mengangkat isu organisasi radikal dan NII sebagai benang merah. Film terbaru garapan sutradara Garin Nugroho 'Mata Tertutup' telah dijadwalkan tayang di bioskop 21 Cineplex mulai Kamis (15/3/2011). Namun, tiba-tiba
film
tersebut
batal
tayang.
(http://hot.detik.com/movie/read/2012/03/15/152349/1868364/229/film-matatertutup-garin-nugroho-dicekal diakses tanggal 7 April 2016). Mata Tertutup ini, melihat kenyataan bahwa kehidupan remaja sangat rawan terkena dampak negatif dari adanya kelompok-kelompok fundamentalis masyarakat . Fajar Riza Ul Haq, eksekutif produser film Mata Tertutup dalam tulisannya Film dengan Sebuah Misi memberikan gambaran serius betapa anak muda yang sedang dalam pencarian jati diri sangat rentan terpengaruh bahkan direkrut oleh jaringan terorisme. Di awal tulisannya, ia mencontohkan kasus
12
terorisme di Klaten pada tahun 2010 dan 2011 yang melibatkan para pelajar. Pada 8 Maret 2011, Pengadilan Negeri Klaten mengadakan sidang perdana kasus terorisme dengan tersangka berusia 17 tahun dan 6 rekan sebaya. (Maarif Institue, 2012 : 18) Untuk itulah Film Mata Tertutup menjadi menarik diteliti karena berbeda dengan film remaja kebanyakan yang hanya berkutat masalah khayalan cinta seperti dijelaskan diatas. Karena diangkat dari hasil riset MAARIF Institute film ini menjadi film dokumenter-drama yang sangat dekat dengan realitas kehidupan masyarakat. Penelitian ini akan melihat dan manganalisa bagaimana para tokoh didalamnya mengalami fluktuasi dalam pembentukan identitas pribadi mereka. Kondisi remaja yang masih labil mengalami proses sosial dalam ideal type “I” dan real type “me” masing-masing tokoh dalam film. Berbagai faktor seperti ketidakpuasan terhadap negara, masalah ekonomi, serta kondisi soasial menjadi faktor yang mempengaruhi bagaimana identitas diri seseorang terpengaruh dan menjadi fluktuatif dalam ke-aku-an “I” maupun saya “me”. Namun yang menjadi menarik adalah, bahwa tidak dipungkiri faktor negatif pun bisa masuk dan menyeret remaja pada tindakan yang negatif. Untuk itulah perlu pencegahan dan penanganan terhadap faktor-faktor negatif tersebut agar remaja tidak terjebak halhal negatif. Pada hakekatnya film merupakan media komunikasi dan ekspresi dari pembuatnya. Dalam komunikasi massa, film digunakan sebagai sarana baru yang
13
digunakan untuk menyebarkan hiburan, informasi, maupun sebagai sarana pendidikan kepada masyarakat umum. Film memberikan peluang bagi semua kalangan untuk mempelajari budaya melalui visualisasi yang disuguhkan. Dalam kaitannya dengan komunikasi, film merupakan produk komunikasi massa karena jangkauan khalayaknya yang luas dan sekaligus. Film memberikan pesan-pesan yang dibawa oleh produsen film yakni Garin Nugroho kepada khalayak. Pesan tersebut akan membentuk makna ketika diintrepetasikan oleh khalayak. John Fiske menjelaskannya bahwa pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang, melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. (Fiske, 2006 : 10). Dengan demikian makna yang dimiliki oleh film bukan berasal dari film itu sendiri melainkan dari hubungan antara pembuat film dengan penikmat atau penonton dari film itu sendiri. Kemudian yang perlu diperhatikan, film dengan pesan yang dibawanya bisa menimbulkan intrepetasi yang berbeda-beda dari khalayaknya. Pembaca (dalam film adalah penonton) dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama. (Fiske, 2006 :11). Lantas makna film yang ditangkap oleh pemirsa pun akan beragam. Hal tersebut disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah tingkat kecerdasan dan kedewasaan penonton itu sendiri dalam menerjemahkan simbol atau tanda yang ada dalam sinetron. Pemaknaan film dibentuk dalam proses produksi sebuah film terkait dengan addresser (si pemberi pesan), dimana
14
proses produksi ini akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan disampaikan kepada penonton atau addresse. Film Mata Tertutup ini pun mempunyai kasus yang sama. Pesan mengenai penggambaran
pembentukan
identitas
remaja
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya yang disampaikan sang sutradara (Garin Nugroho) menjadi menarik untuk diteliti. Kedekatan isi cerita dengan realita kehidupan remaja saat ini yang memang rentan terhadap hal-hal negatif seperti masuk dalam kelompok fundamental, menjadikan film ini penting sebagai sarana pendidikan karakter. Tentu akan terdapat pemaknaan yang beragam dari khalayak film ini, untuk itulah penelitian ini akan menganalisis bagaimana pembentukan identitas remaja yang fluktuatif terbentuk dan direpresentasikan dalam film. Analisis wacana akan digunakan sebagai pisau untuk membuka pesan film ini. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. (Eriyanto, 2011: xv). Alex Sobur (2001 :48) menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan studi mengenai struktur pesan dalam komunikasi. Analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Oleh karenanya, bahasa tidak dapat dipisahkan dari analisis wacana. Bahasa adalah suatu sistem kategorisasi, di mana kosakata tertentu dapat dipilih yang akan menybabkan makna tertentu (Eriyanto, 2011:15). Roger Fowler, dkk melihat suatu bahasa sebagai sitem klasifikasi yang menggambarkan teks berita.
15
Dan bagaimana bahasa yang dipakai itu membawa konsekuensi tertentu ketika dibaca khalayak. (Eriyanto, 2011: 166). Tugas analisis adalah mengkritisi pesan tersembunyi dalam teks bahasa tersebut. Karena bahasa dalam suatu pesan bukan hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan-pengungkapan maksud-maksud dan makna tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pernyataan. Dengan analisis wacana, peneliti akan melihat representasi pembentukan identitas diri fluktuatif remaja dalam film Mata Tertutup dengan menggali pesan yang terkandung didalamnya secara mendalam. Halliday menjelaskan dalam pemahaman bahasa tersebut terletak pada kajian teks. Teks di sini tidak berdiri sendiri melainkan terdapat konteks yang merupakan aspek dari proses yang sama. “Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya: teks yang menyertai teks itu, adalah konteks. Namun pengertian yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata (non-verbal) lainnya-keseluruhan lingkungan teks itu.” (Halliday dan Hasan, 1994: 6) Di dalama film, setting dan penokohan akan mendukung bagaimana makna dihasilkan dari teks yang disampaikan. Untuk itulah peneliti akan mengguanakan analisis wacana dari
M. A. K Halliday untuk menganalisis
wacana pembentukan identitas diri fluktuatif remaja yang direpresentasikan dalam film Mata Tertutup.
16
B. RUMUSAN MASALAH Beradasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah : 1. Secara Umum Bagaimana pembentukan identitas diri fluktuatif remaja yang direpresentasikan dalam film Mata Tertutup? 2. Secara Khusus a. Bagaimana konsep-diri aku “I” (Ideal Type)
yang terjadi
direpresentasikan dalam film Mata Tertutup? b. Bagaimana konsep-diri saya “Me” (Real Type) yang
terjadi
direpresentasikan dalam film Mata Tertutup?
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Secara Umum Untuk menganalisa dan mendskripsikan bagaimana pembentukan identitas diri fluktuatif remaja yang mengarah pada organisai radikal yang direpresentasikan dalam film Mata Tertutup. 2. Secara Khusus a. Untuk menganalisa dan mendskripsikan deskripsi
bagaimana
konsep-diri aku “I” (ideal type) yang terjadi direpresentasikan dalam film Mata Tertutup. b. Untuk menganalisa dan mendskripsikan deskripsi
bagaimana
konsep-diri saya “me” (Real type) yang terjadi direpresentasikan dalam film Mata Tertutup.
17
D. MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan seperti di atas maka penelitian dihararapkan dapat mengetahui bagaimana pembentukan identitas diri fluktuatif remaja yang direpresentasikan dalam film Mata Tertutup. Bagaimana identitas diri remaja muncul dalam konsep diri aku “I” dan saya“Me” ditampilkan dalam adegan (gestur, mimik) serta dialog-dialog yang muncul dalam film. Dengan begitu diharapkan pihak terkait baik itu remaja itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan dapat menghindari dan mengatasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri remaja yang negatif.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata latin communis yang berarti “sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyan, 2007: 46).
Komunikasi akan berlangsung lancar jika terdapat kesamaan
antara bentuk komunikasi yang digunakan dan pesan yang dimaksud. Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar ataupun yang salah (Mulyana, 2007: 46). Littlejohn (Mulyana, 2007: 63) menyebutkan setidaknya terdapat tiga pandangan mengenai komunikasi yang dapat dipertahanakan. Pertama, komunikasi harus terbatas pada pesan yang secara sengaja diarahkan kepada orang lain dan diterima oleh mereka. Kedua, komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima,
18
apakah disengaja ataupun tidak. Ketiga, komunikasi harus mencakup pesanpesan yang dikirimkan secara sengaja namunsengaja ini sulit ditentukan. Tubbs dan Moss (Mulyana, 2007: 65) mendefinisikan komunikasi sebagai proses penciptaan makna antara dua orang (komunikator 1 dan komunikator 2) atau lebih. Harold Lasswel (Mulyana, 2007: 69) menjelaskan cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?” Dari definisi tersebut dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, sumber (source), pesan, saluran, penerima (receiver), dan efek. Kajian dalam studi komunikasi, oleh karenanya sangat erat kaitannya dengan pesan dan makna. Terdapat dua mahzab utama dalam studi komunikasi yang sering digunakan para ilmuwan sebagai landasan pemikirannya. Dua mahzab ini berdasarkan asumsi bahwa definisi umum tentang komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan. John Fiske (2006: 8-11) dalam bukunya Cultural and Communication Studies menjelaskan mazhab pertama melihat komunikasi sebagai pesan atau disebut dengan mazhab “proses”. Bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Komunikasi dilihat sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi
19
mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain dan demikian pula sebaliknya. (Fiske, 2006: 8) Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Dalam mazhab ini komunikasi dilihat berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. (Fiske, 2006: 9) Berbeda dengan mazhab proses yang melihat ke tahap-tahap dalam proses komunikasi guna melihat di mana letak kegagalan komunikasinya, mazhab kedua menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi. Hal tersebut mungkin disebabkan dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. (Fiske, 2006: 9) Mazhab proses melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi, sedangkan mazhab produksi dan pertukaran pesan merupakan konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang pararel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan terstruktur ini.
20
Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis.
pesan teks
makna
produser pembaca
Rreferent
Gambar 1: Pesan dan makna (Fiske, 2006: 11) Dari gambar tersebut terlihat bahwa makna dihasilkan tidak hanya pesan yang disampaikan dari produser ke pembaca, namun dalam rangka menghasilkan makna terdapat referent (pihak luar) yang turut mempengaruhi. Seperti halnya film, membaca maknanya bukan hanya melihat pesan yang dibawa oleh produser dan dibaca oleh pembaca (penonton). Namun lebih leluasa dimaknai dengan hadirnya referent (diluar produser dan penonton) yang mempengaruhi pemaknaan atas teks atau pesan film tersebut. Penelitian dalam film Mata Tertutup pada akhirnya akan melihat pesan atau isi teks yang dibawa oleh produser dan dibaca oleh penonton, serta referensi lain yang turut mempengaruhi pembacaan makna film tersebut.
21
2.
Pesan Pesan merupakan konsep penting yang dipergunakan dalam banyak ulasan teoritis, praktis, dan empiris tentang komunikasi manusia (Fisher, ...: 364). Agar komunikasi dapat berlangsung, harus terdapat pesan dalam bentuk tanda (Fiske, 2006: 59). Pace dan Faules menyatakan terdapat dua bentuk umum tindakan orang yang terlibat komunikasi, yaitu penciptaan pesan dan penafsiran pesan. Pesan di sini tidak harus berupa kata-kata, namun bisa juga merupakan pertunjukkan (display), termasuk pakaian, perhiasan, dan hiasan wajah, atau yang lazimnya disebut pesan nonverbal (Mulyana, 2007:65). Jadi intrepetasi atas pesan merupakan inti dari komunikasi. Pesan adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima yang mewakili seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. (Mulyana, 2007:70) Clavenger dan Matthews (Fisher, ....:370) menjelaskan pesan merupakan peristiwa simbolis yang menyatakan suatu penafsiran tentang kejadian fisik, baik oleh sumber ataupun penerima. Senada, Borden mengaitkan pesat secara ekplisit dengan perilaku simbolis – perlaku yang hanya dapat bersifat simbolis jika penafsiran pada perilaku itu terjadi dalam pikiran sumber atau penerima. Pesan memiliki tiga komponen yaitu makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresantasikan objek (benda),
22
gagasan dan perasaan, baik ucapan ataupun tulisan. Pesan juga dapat dirumuskan secara nonverbal seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh. (Mulyana, 2007: 70) 3.
Film sebagai Bentuk Komunikasi Massa Media komunikasi manusia, terus berkembang seiring dengan perkembanggan teknologi. Selain itu, tekanan ekonomi, politik, sosial dan budaya
masyarakatnya
pun
turut
mempengaruhi
bagaimana
media
komunikasi massa terus berubah dan berkembang. Film merupakan salah satu media massa yang menampilkan gambar dan suara sekaligus. “Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas simenatrogafi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya...” (UU No. 8 Tahun 1992 tentang PERFILMAN, BAB I, Pasal 1) Dalam proses pembuatannya, film merupakan rangkaian kolaboratif dari berbagai pihak seperti produser, sutradara, penulis skenario, penata fotografi, kameramen, penata suara, aktor/aktris, penyunting gambar, dan lain-lain. Pada dasarnya, film dibuat untuk ditonton secara massal. Hasil dari seluruh proses pembuatannya akan ditonton oleh khalayak (audience), sehingga dapat dikatakan film berhubungan langsung dengan masyarakat luas. Dennis Mc Quail berpendapat : “Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat umum.” (Mc Quail, 1996 :13) Selain itu, film juga berperan sebagai propaganda. Seperti yang diungkapkan Dennis Mc Quail bahwa film mempunyai jangkauan, realisme
23
pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Namun yang paling utama adalah adanya pesan yang ingin disampaikan. Film merupakan bahasa gambar. Film menyampaikan ceritanya melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lain, dari satu emosi ke emosi lain, dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Sebagai salah satu bentuk media massa, film merupakan transfer informasi dari pembuat film denga khalayak yang akan menjadi penontonnya. Film menyampaikan ide dan gagasan dari pembuatnya melalui adegan dan bahasa yang dirangkai dengan bentuk simbol dan tanda yang membawa pesan tertentu. Film merupakan salah satu media komunikasi yang sangat efektif menyampaikan
pesan
karena
sifat
audio-visualnya.
Ron
Mottram
mengemukakan bahwa film adalah salah satu media yang sangat komunikatif. “... film merupakan bagian penting dari sistem yang digunakan oleh para individu dan kleompok untuk mengirim dan menerima pesan (send and receive messages). (Subandi, 2007 : 172) Melalui film kita dapat mengekspresikan seni dan kreativitas sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai ataupun kebudayaan dari berbagai kondisi masyarakat. Film menyajikan gambar dengan narasi yang mengandung “pesan moral” sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Menurut Ron Mottram (Idy
Subandy
A,
2007)
mengatakan
bahwa
sebagai
komunikasi
(communication), film merupakan bagian penting dari sistem yang digunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima pesan (send and receive messages).
24
Sepakat dengan Ron Mottram, J. Lotman yang dikutip oleh Idy Subandi mengungkapkan, “the most powerful function of film is the communicative.” (fungsi yang paling kuat dari film adalah komunikatif). Sebuah film, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya adalah sebuah cermin diri bagi pembuat maupun penontonnya. Bagaimana perkembangan kebudayaan dari sebuah masyarakat dapat disaksikan dalam film-film yang diproduksi sesuai eranya. Menurut seorang pustakawan Universitas Indonesia Kalarensi Naibaho, film merupakan bukti eksistensi sebuah budaya. Sama seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman dan pemirsanya. “Film juga merupakan dokumen sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Melalui film kita tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan sosial masyarakat pada era tertentu.” (http://staff.blog.ui.ac.id/clara/2011/01/06/film-aset-budaya-bangsa-yangharus-dilestarikan/ diakses tanggal 9 Desember 2012)
Karena kelebihan yang mampu menghadirkan suatu peristiwa ke depan khalayak itulah, maka tentu tidak sembarangan peristiwa yang disajikan dalam sebuah film. Ideologi yang diusung oleh produsen
film
tentulah merupakan pesan yang dianggap penting sehingga layak dikonsumsi masyarakat. Dengan wacana-wacana yang diangkat dalam sebuah film, diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat luas. 4.
Film sebagai Wacana Wacana menurut Teun A. Van Dijk tidak hanya melihat struktur teks semata, tapi juga bagaimana teks itu diproduksi. (Eriyanto, 2011: 221). Proses
25
produksi tersebut melihat bagaimana struktur sosial dominasi, kelompok kekuasaan dan bagaiaman kognisi dibentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Guy Cook menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang lekat dengan wacana: teks, konteks dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya katakata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut direproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. (Eriyanto, 2011: 9) Penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal dengan kognisi sosial ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan. (Eriyanto, 2011 : 222). Menurut Halliday, wacana tidak hanya terbatas pada bahasa yang tertulis atau terungkap, namun juga tindakan dan lingkungan sosial yang melingkupi terjadinya bahasa. Halliday tidak melihat bahwa bahasa hanya sebagai kumpulan aturan dan label untuk tata bahasa. Namun bahasa sebagai sumber daya sebagai wujud interaksi dan memaknai lingkungan dan diri kita sendiri. (Derewinka, 2012: 129)
26
Film oleh karenanya merupakan salah satu bentuk wacana, dimana didalamnya terdapat bahasa dalam bentuk verbal maupun non verbal. Film juga bukan berarti hanyalah sebuah media komunikasi yang bisa dipahami hanya dari segi tekstualnya melainkan film juga sebagai sarana perdebatan yang lebih luas mengenai representasi proses sosial yang telah menghasilkan gambar, suara, tanda dan tujuan untuk sesuatu (dalam wacana ini yang disebut dengan konteks). Film merupakan produk budaya dan wujud praktek sosial, nilai yang terkandung dari sebuah film dapat memberitahu kita tentang sistem dan proses sebuah budaya. (Turner, 1993 : 41) 5.
Kelompok Pembentukan kelompok terjadi melalui proses sosial dan sosialisasi. Proses sosial merupakan merupakan proses awal dimana para individu dalam satu masyarakat akan menyesuaikan diri satu sama lain. Proses sosial merupakan suatu proses, yang berarti bahwa ia merupakan suau gejala perbahan, gejala penyesuaian diri, gejala pembentukan. (Susanto, 1983 : 12) Proses sosial itulah cikal bakal terbentuknya sebuah kelompok sehingga akan terjadi proses sosialisasi. Charlotte Buehler menjelaskan : “Sosialisasi ialah proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hisup dan bagaimana cara berfikir kelompoknya, agar supaya dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. (Susanto, 1983 : 12) Melalui sebuah proses sosial, sebuah kelompok terbentuk melalui interaksi sosial orang-orang dimana didalamnya akan terjadi komunikasi dan kontak sosial. Kenyataan bahwa manusia tidak dapat menyelesaikan atau mencapai tujuannya sendiri, maka manusia bergabung dalam sebuah
27
kelompok yang setujuan. Bierens dan Haan (Susanto, 1983 : 37) menjelaskan bahwa suatu kelompok memperoleh bentuknya dari kesadaran dan keterikatan pada anggota-anggotanya. Menurut Cartwright & Zander, 1971, kelompok adalah suatu kolektif yang terdiri atas berbagai organisme dimana eksistensi semua anggota sangat penting untuk memuaskan berbagai kebutuhan individu. Artinya, kelompok merupakan suatu alat untuk mendapatkan berbagai kebutuhan individu. Individu menjadi milik kelompok karena mereka mendapatkan berbagai kepuasan sebaik mungkin melalui organisasi yang tidak dengan mudah mereka
dapatkan
melalui
cara
(http://upzzpu.wordpress.com/2011/04/03/kelompok-dan-identitas/
lainnya. diakses
tanggal 17 November 2012) Sebuah kelompok akan membentuk individu-individu untuk mencapai tujuan kelompoknya. Secara psikologik manusia akan masuk dalam golongan ata kelompok tertentu sebagai tempat untuk “berlindung” dan merasa aman (Susanto, 1983 : 37). Anderson dan Parker (Susanto, 1983 : 37) menekankan bahwa kelompok adalah kesatuan dua atau lebih individu, yang mengalami interaksi psikologik satu sama lain. Susanto
menarik
kesimpulan
bahwa
pembentukan
didasarkan adanya (Susanto, 1983 : 39) a. Keyakinan bersama akan perlunya pengelompokan dan tujuan b. Harapan yang dihayati oleh anggota-anggota kelompok
kelompok
28
c. Ideologi yang mengikat semua anggota. Teori kelompok dari Lasswell dan Kaplan serta Friedrich membagi kelompok berdasarkan kepentingan individu. Mereka mengklasifikasikan kelompok dalam 3 golongan, yaitu (Susanto, 1983 : 56) a. Kelompok
kepentingan
(interset
group);
kelompok
yang
hanya
menitikberatkan relasi dari tujuan bersama tanpa mempermasalahkan loyalitas kelompok. b. Kelompok kepentingan khusus (special interest group); menitikberatkan kepentingan
kelompoknya
sedemikian
rupa,
sehingga
dapat
mengorbankan kepentingan masyarakat luas, demi realisasi kepentingan kelompoknya. c. Kelompok kepentingan umum (general interest group); kelompokkelompok yang berusaha untuk mewujudkan kepentingan kelompoknya, mellaui dan bersama dengan realisasi tujuan dan kepentingan kelompokkelompok lain atau masyarakat luas. Sedangkan Anderson dan Parker mengklasifiksikan kelompok menjadi : (Susanto, 1983 : 31) a. Kesatuan ekologi; merupakan suatu ikatan “kebetulan”, yaitu karena merupakan hasil penghimpunan dari orang-orang yang menempati suatu daerah tertent, dalam jangka waktu yang lama dan karenanya mengalami integrasi sebagai akibat dari hbngan ekonomi dan sosial. b. Kelompok berdasarkan dorongan naluriah manusia; merupakan ikatan dari dua orang atau lebih yang bertem dalam lingkungan yang sama atau
29
berhasil mengatasi hambatan jarak georgrafis sehingga terjadi komunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lain. c. Lembaga-lembaga masyarakat; merupakan alat untuk memungkinkan suatu masyarakat menacapai tujuan-tujuan tertentu. d. Organisasi; merupakan kesatan-kesatan manusia yang telah diaur secara sistematik dalam usaha mencapai tujan tertentu, dalam setiap unit anggota mempunyai tugas-tugas tertentu, yang telah ditentukan terlebih dahulu secara resmi. e. Himpunan; sekumpulan jumlah manusia yang untuk sementara waktu mempunyai perhatian terhadap satu masalah tertentu dimana menjadi rangsanagn bagi terbentuknya sebuah himpunan. Dalam komunikasi, pembentukan sebuah kelompok tidak terlepas dari interaksi orang-orang didalmnya yang secara sadar maupun tidak selalu melakukan interaksi. Rogers dan Rogers (Effendy, 2003 : 114) memandang organisasi sebagai suatu struktur yang melangsungkan proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan diamana operasi dan interaksi diantara bagian yang satu dengan yang lainnya dan manusia yang satu dengan yang lainnya berjalan secara harmonis, dinamis, dan pasti. Bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang digunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat merupakan atribut yang ada untuk keberlangsungan sebuah organisasi. Dengan menekankan bahwa organisasi adalah sekumpulan orang-orang dengan tujuan yang sama
30
melakukan komunikasi dan berinteraksi sat sama lain dengan memainkan perannya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan bersama.
6.
Identitas Kelompok Identitas kelompok tidak bisa dilepaskan dari tujuan kelompok sehingga mempengaruhi tingkah laku orang-orang dalam kelompok tersebut. Tingkah laku orang-orang tersebutlah yang menjadikan adanya tingkah laku kelompok. Terdapat dua teori yang menjelaskna tentang teori kelompok. Pertama kelompok tidak lain adalah sekumpulan individu dan tingkah laku kelompok adalah gabngan dari tingkah laku-tingkah laku individu secara bersama-sama. (Sarwono, 2009 : 208) Gustave Le Bon (Sarwono, 2009 : 209) menjelaskan teori tingkah laku kelompok yang kedua bahwa bila dua orang atau lebih berkumpl di suatu tempat tertentu, mereka akan menampilkan perilaku yang sama sekali berbeda daripada ciri-ciri tingkah laku individu-individ itu masing-masing. Le Bon menyebutnya dengan istilah “Jiwa Kelompok”. Orang dalam kelompok akan bertindak berbeda dari ia sebagai individu. Sebagai anggota kelompok seseorang dapat saja melakukan hal-hal luar biasa yang tidak pernah dilakukannya kalau dia sedang berada sendirian. Sedangkan Kurt Lewin (Sarwono, 2009 :210) menyatakan bahwa perilaku kelompok tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu. Keduanya akan saling pengaruh memengaruhi. “Perasaan kebersamaan dalam kelompok menyebabkan terjadinya intensifikasi beberapa tingkah laku khususnya tingkah laku yang
31
mendapat dukungan atau simpati dari orang lain. saling memengaruhi dalam kelompok ini yang disebut situasi sosial, dan situasi sosial inilah yang memengaruhi individu.” Dari kaca sosiologi, Blumer mengistilahkan kehidupan kelompok adalah kompleks aktivitas tanpa henti. “Masyarakat tidak tersusun dari pameran tindakan yang saling terisolasi. Namun juga ada tindakan kolektif yang memerlukan penyesuaian tindakan masing-masing individual menjadi sebuah garis tindakan...masing-masing aktor saling memberi tanda sat sama lain, tidak hanya kepada diri sendiri.” (Ritzer dan Goodman, 2007 : 307) 7.
Identitas Diri Menurut Erikson yang dikutip oleh Valentini dan Nisfiannoor dalam Jurnal Provitae Vol 2 No 1, Identitas adalah “suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan sensasi fisik dari tubh, body image, memori, tujuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dimiliki seseorang, suatu perasaan yang berhubngan dengan rasa keunikan dan kemandirian.” (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 3) Meminjam istilah Burke (Aloliliweri, ... : 32), identitas diartikan sebagai self-meaning, dimana sesorang menampilkan identitas dengan memberikan makna diri dalam relasinya dengan sesama manusia. Konsep identitas selalu berhubungan dengan peran terhadap sebuah posisi atau kebudayaan. Peran dalam definisi identitas oleh Corsini juga dapat didefinisikan sebagai peran sosial seseorang serta persepsi seseorang terhadap perannya tersebut. (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 4) Identitas diri seseorang bukan hanya apa yang dilakukan atas dirinya sendiri melainkan juga identitas yang dilakukan dan diterima atas sebuah lingkungan atau masyarakat dan kelompok. Identitas diri merujuk tidak hanya
32
selalu pada hal positif, namun bisa dalam bentuk identitas negatif, tergantung pembentuknya. Menurut Mardi J. Horowitz dalam Self-Identity Theory and Research Methods, menyebutkan bahwa: The word identity itself refers to continuity in a sense of self within a person, and the word also refers to how that person is socially regarded. The cultures in question may say whether that regard is positive or negative, making the person feel pride or shame. An approach that can describe identity conflicts may be valuable in contemporary cultural studies. The reason is that continuity is not as traditional as it once was because change is rampant. An individual’s roles are now subject to a high degree of plasticity because of the modern high rate of alterations in economy, belonging, and ecology. Cultures clash socially, and within the individual mind. (Horowitz, Mardi J. 2012. Self-Identity Theory and Research Methods. Journal of Research Practice Volume 8, Issue 2, Article M14) Pencarian identitas diri terjadi ketika manusia berada pada tahap remaja. Erikson (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 4) mengistilahkannya sebagai psychological morotarium dimana pada masa ini remaja memiliki komitmen. Komitmen inilah yang akan mengarahkan pada hal-hal yang dipilih serta keyakinan dan kepercayaan yang dipilih seseorang. “Komitmen ini dapat meliputi hal-hal ideologis maupun hal-hal yang bersifat pribadi. Kemampuan remaja untuk setia pada komitmen mereka mempengaruhi kemampuan mereka untuk menyelesaikan krisis identitas.” (Valentini dan Nisfiannoor, 2006 : 4) Berdasarkan beberapa pengertian identitas diri di atas, dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan sebuah terminologi yang cukup luas yang dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya. Identitas diri dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, prinsip moral atau gaya sosial.
33
8.
Konsep Diri Perilaku dan tindakan sesorang merupakan ekpresi dari keinginankeinginan yang terdapat dalam diri sesorang dimana manusia adalah makhluk individual maupun makhluk sosial. Mead memandang tindakan sebagai “unit primitif” dan mengidentifikasi empat basis dan tahapan tindakan yang saling berhubungan (Ritzer dan Goodman, 2007 : 273) a. Impuls; tahap pertama yaitu dorongan hati/impuls yang meliputi stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebuthan untuk melakukan sesuatu terhadapa rangsangan tersebt. b. Persepsi; aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls dan berbagai alat yang tersedia ntuk memuaskannya. c. Manipulasi; setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya
adalah memanipulasi
objek atau
mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu. d. Konsumsi; tahap pelaksanaan/ konsumsi atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Tindakan yang dilakukan seseorang itulah yang akan menimbulkan rangsangan bagi tindakan orang lain. Orang-orang saling memberikan isyarat yang akan mendapatkan umpan balik dari orang lain. Isyarat yang dimaksud baik berupa gesture maupun bahasa tekstual maupun simbol-simbol. Isyarat
34
akan menjadi simbol signifikan dimana simbol dari pengirim dan penerima simbol mempunyai persepsi yang sama. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain tidak mungkin menyadari kenyataan bahwa dirinya adalah manusia. (Mulyana, 2007: 8) George Herbert Mead (Mulyana, 2007: 11) mengatakan setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat – dan itu dilakukan lewat komunikasi. Konsep diri terikat rumit dengan definisi yang diberikan orang lain kepada kita sehingga akan terjadi kesulitan memisahkan siapa kita dan siapa kita menurut orang lain. Namun meski demikian, kita tidak pernah secara total memenuhi pengharapan orang lain tersebut. Akan tetapi kita berupaya berinteraksi dengan mereka, pengharapan, kesan, dan citra mereka tentang kita akan sangat mempengaruhi konsep diri kita, perilaku kita, dan apa yang kita inginkan. (Mulyana, 2007:10) Dalam teori interaksionisme simbolik Mead menekankan pada tiga hal yaitu Mind, Self, and Society yang diturunkan menjadi judul buku karyanya. Menurut Mead (Ritzer dan Goodman, 2007 : 280) mind, didefinisiskan sebagai percakapan seseorang dengan dirinya sendiri. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagi objek maupun subjek
35
dimana di sini terjadi proses sosial yaitu adanya komunikasi antar manusia. Society mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk aku “me”. Mead (Ritzer and Goodman, 2007 : 285) menjelaskan terdapat dua fase diri dalam manusia yaitu “I” dan “me”. “I” adalah tanggapan spontan individu terhadap individu lain. “I” merupakan tindakan yang terdorong oleh diri kita sendiri, bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Sedangkan “me” adalah apa yang kita lakukan sesuai dengan apa yang orang lain harapkan. “Ke-aku-an “I” bereaksi terhadap “me” yang mengorganisir sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya sendiri. Dengan kata lain “me” adalah penerimaan atas orang lain yang degeneralisir.” (Ritzer and Goodman, 2007 : 286) Pada tingkat kelompok, ke-aku-an “me” meskipun tidak sepenuhnya hilang, akan lebih menonjol karena sifat “I” akan lebih banyak tertutup oleh apa sikap yang diharapkan dalam kelompok. Menurut Mead (Ritzer and Goodman, 2007 : 287) masyarakat atau kelompok mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentu aku “me”. F. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran dalam penelitian ini bermula dari adanya film Mata Tertutup karya Sutradara Garin Nugroho. Peneliti akan melihat pembentukan identitas diri remaja dalam film tersebut. Setelah melihat film Mata Tertutup secara keseluruhan, penulis melihat pembentukan identitas diri terjadi dalam konsep-diri saya “I” dan aku “me”. Pembentukan identitas diri tersebut tentu tidak
36
lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, selanjutnya peneliti akan menganalisis sesuai dengan teori yang relevan untuk menghasilkan makna dalam pesan.
Bagaimana konsep-diri Aku “I” terjadi
Film Mata Tertutup
(Ideal Type) Potret pembentukan identitas diri remaja dalam film
Analisis Wacana
Kosep-diri
Bagaimana konsep-diri Saya“Me” terjadi (Real Type)
G. KONSEP 1. Pembentukan Identitas Diri Remaja Pembentukan identitas remaja merupakan fase dimana remaja mencari makna diri dalam relasinya dengan sesama manusia. Pada fase ini remaja mencari keyakinan dan kepercayaan dan selanjutnya akan mempengaruhi peran yang dilakoninya dala masyarakat 2. Film Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas simenatrogafi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
37
video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya. (UU No. 8 Tahun 1992 tentang PERFILMAN, BAB I, Pasal 1) 3. Konsep-Diri Konsep-diri merupakan pandangan diri kita mengenai siapa diri kita. Siapa diri kita tersebut merupakan tidak bisa terlepas dari cara pandang orang lain terhadap diri kita yang dilekatkan pada kita. Oelh karena konsep-diri melihat bagaimana orang berperilaku sebagai dirinya sendiri dan diri yang berperilaku menurut kehendak orang lain. Konsep-diri oleh Herbert Mead dijelaskan dalam dua fase yang saling berhubungan satu sama lain yaitu saya “I” dan aku “me”. “I” melihat bagaimana diri berperilaku sesuai dirinya sendiri. Sedangkan “me” melihat bagaimana diri berperilaku menurut kehendak orang lain, sesuai apa yang dilekatkan orang lain pada diri kita. 4. Analisis Wacana Analisis wacana adalah suatu analisis yang memfokuskan dalam meneliti pesan yang tersembunyi dalam suatu teks. Analisis ini akan menyingkap pesan yang implisit terdapat dalam teks sehingga menghasilkan makna.
38
H. METODE PENELITIAN Metode penelitian dipergunakan peneliti guna memberikan kerangka kerja dalam memahami objek yang akan menjadi sasaran ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan ditunjukkan untuk melihat pesan yang dibawa oleh film terkait dengan wacana pembentukan identitas diri remaja. 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode analisis wacana. Penelitian kualitatif merujuk pada prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi, apa yang ditylis dan dikatakan oleh orang lain dan tingkah laku yang diamati. Menurut Pawito, penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan
untuk
memeberikan
penjelasan-penjelasan
(explanations),
mengontrol gejala0gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. (Pawito, 2007 : 35)
2.
Obyek Penelitian Dalam penelitian ini yang mejadi objek penelitian adalah adegan-adegan
dalam film “Mata Tertutup” yang mewacanakan pembentukan identitas diri remaja. Film ini merupakan produksi Maarif Institute dan Yayasan SET dengan sutradara Garin Nugroho.
39
3.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu : a.
Sumber data primer Data primer yang digunakan diambil dari cuplikan-cuplikan gambar yang ada dalam film Mata Tertutup. Adegan-adegan dalam film dipilih secara selektif disesuaikan dengan teori yang digunakan penulis dalam penelitian. Pemilihan adegan tersebut dilakukan dengan purposive sampling sesuai masalah yang diteliti sehingga didapatkan data yang sesuai serta bersifat mendalam.
b.
Sumber data sekunder Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yaitu buku, artikel, jurnal, dan data dari situs internet.
4.
Teknik Sampling Penelitian dilakukan dengan mengambil cuplikan adegan secara selektif
disesuaikan dengan konsep teoritis yang dipakai. Sebagaimana yang diungkapkan Pawito dalam Penelitian Komunikasi Kualitatif, teknik penetuan subjek penelitian komunikasi kualitatif berbeda dengan kuantitafif, dimana kualitatif lebih mendasarkan diri
pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu
(purposeful selection) sesuai dengan tujuan penelitian (Pawito, 2007: 88). Oleh karena itu, sifat metode penarikan subjek dari penelitian kualitatif adaalah purposive sampling. Sehingga didapatkan substansi keterwakilan data dan informasi. Kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Halliday.
40
5.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
mengumpulkan scene yang secara dominan menampilkan pembentukan identitas diri fluktuatif remaja pada film Mata Tertutup. Kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Halliday dengan memeperhatiakan aspek audiovisual dalam film. Peneliti juga melakukan studi literatur, dari berbagai sumber untuk mengetahui persoalan dalam film secara lebih mendalam untuk kemudian dianalisis. 6.
Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana sebagai pendekatan
analisis. Littlejohn berpendapat, “Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana. (Sobur, 2001 : 48) Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan telaah mengenai sebuah teks. “Analisis wacana merupakan studi mengenai struktur pesan dalam komunikasi. Analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. (Sobur, 2001 :48) Analisis wacana tidak hanya semata-mata melihat bahasa yang digunakan dalam sebuah media, melainkan pesan dan isi dari bahasa tersebut. “Kalau analisis kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan.” (Eriyanto, 2011 : xv )
41
Menurut Syamsuddin dari segi analisisnya, ciri dan sifat wacana dapat dikemukakan sebagai berikut : (Sobur, 2001 : 49) a. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule of use – menurut Widdowson) b. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth) c. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tutura melalui intrepetasi semantik (Beller) d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done – menurut Labov) e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language – menurut Coulthard) Pada penelitian ini penulis menggunakan model analisis wacana dari Halliday. Halliday menyatakan bahwa wacana dalam pengertian Linguistik Sistemik Fungsional adalah bahasa (baik lisan maupun tulis) yang sedang melakukan pekerjaan di dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural (Santosa, 2010 : 1). Dalam bahasa sederhana, Halliday menjelaskan bahwa wacana memusatkan perhatian pada ilmu bahasa yang disebut teks, tetapi selalu dengan tekanan pada situasinya sebagai konteksnya tempat naskah itu terbentang dan harus ditafsirkan (Halliday dan Hasan, 1994 : 6). Pendapat Malinowski (Halliday dan Hasan, 1994 : 8) pun senada bahwa teks tidak dapat terlepas dari konteks situasi maupun kulturalnya agar dapat
42
dipahami sebaik-baiknya. Konteks situasi merupakan lingkungan langsung yang berada dalam penggunaan bahasa. Menurut Halliday terdapat tiga pokok bahasan dalam konteks situasi, yakni (Santosa, 2010 : 2) : 1.
Medan Wacana (Field) Merujuk pada suatu kejadian dengan lingkungannya, yang sering diekspresikan dengan apa yang terjadi, kapan, di mana, bagaimana terjadinya sebuah kejadian.
2.
Pelibat Wacana (Tenor) Merupakan tipe partisipan yang terlibat dalam kejadian tersebut, status dan peran sosial yang dilakukan oleh partisipan tersebut.
3.
Sarana (Mode) Meliputi dua sub aspek, yakni saluran (channel) merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan kejadian tersebut (lisan atau tulis). Aspek lainnya yakni medium yang digunakan untuk menyalurkan proses sosial tersebut. Dalam analisa wacana lisan seperti dalam percakapan, seminar, atau
debat termasuk juga dalam analisis teks film, model dinamik dalam konteks situasi lebih banyak digunakan. O’Donnell (Santosa, 2010 : 3) menyatakan hal ini disebabkan wacana tersebut aspek medan, pelibat, dan sarananya dapat berubah sepanjang wacana berjalan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wacana akan berubah jika konteks kultural dan kontes situasinya berubah (Santosa, 2010 : 6)
43
Analisis wacana menurut Halliday ini berbeda dengan analisis wacana menurut Van Dijk yang melihat bahwa konteks merupakan konstruk metal yang secara individual menghasilkan intrepetasi yang berbeda terhadap kejadian sosial yang sedang berjalan. Van Dijk melupakan bahwa konteks situasi meupakan sistem semiotika sosial yang dibangun melalui hubungan antar partisipan yang mempunyai status dan peran sosial yang berada di dalamnya. Van Dijk juga kurang menempatkan medan dan sarana sebagai aspek yang ikut membangun konfigurasi konstektual tersebut. (Santosa, 2010 : 4) Halliday menjelaskan suatu wacana (baik lisan maupun tulis), juga mengandung tiga metafungsi yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Ketiga fungsi tersebut bekerja secara simultan untuk merealisasikan tugas yang diemban wacana tersebut didalam suatu konteks situasi. Medan
wacana
berdekatan
dengan
metafungsi
ideasional
(memperkirakan makna pengalaman). Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa medan meliputi kejadian dan lingkungannya sementara metafungsi ideasional mengekpresikan makna pengalaman dan logikal. Pelibat wacana berdekatan dengan metafungsi interpersonal (memperkirakan makna antar pelibat). Hal tersebut karena pelibat menggambarkan hubungan peran dan satus partisipan sementara metafungsi interpersonal menunjukkan ada interaksional dan transaksional. Selanjutnya, mode wacana berdekatan dengan metafungsi tekstual (memperkirakan makna tekstual). Hal tersebut karena mode wacana meliputi hal yang diharapkan oleh para pelibat melalui bahasa dan metafungsi tekstual merupakan sistem dan makna suatu wacana. (Santosa, 2010 : 5)
44
Dari uraian diatas, maka dalam penelitian ini untuk meneliti bagaiamana pembentukan identitas fluktuatif remaja diwacanakan dalam Film Mata Tertutup, peneliti menggunakan wacana Halliday. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan hanya sebatas melihat pada level teks yang menggambarkan pembentukan identitas fluktuatif remaja. Model wacana Halliday juga digunakan karena dalam analisisnya, Halliday membedah interaksi antara teks dan situasi (konteks) yang didasarkan pada tiga konsep yaitu medan wacana, pelibat wacana dan mode wacana yang selalu berubah sepanjang wacana. Pun demikian dalam Film Mata Tertutup, setiap scene
yang
ditampilkan
dengan
teksnya
selalu
berganti
setting
dan
latarbelakangnya sehingga akan menimbulkan fenomena sosial yang berbeda. Dengan begitu, analisis wacana Halliday yang juga membedah tidak hanya teks namun juga konteksnya akan membantu peneliti dalam melihat lebih dalam bagaiamana pembentukan identitas fluktuatif remaja diwacanakan dalam Film Mata Tertutup.