1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Film-film yang bertemakan kekerasan pada umumnya ditemukan pada
film-film yang berlatar belakang
action dewasa, seperti film perang, horror,
maupun adegan-adegan kekerasan lainnya. Film-film kekerasan tersebut dapat membentuk pemikiran khalayak mengenai berbagai macam adegan yang secara tidak perlahan dapat membentuk ideology atau pandangan mengenai perilaku kekerasan, perlawanan fisik, dan adegan seks dalam kehidupannya. Tetapi adegan-adegan yang sarat dengan kekerasan tersebut tidak hanya kita jumpai pada film action dewasa saja, dalam film kartun anakpun banyak kita jumpai adegan-adegan kekerasan yang dapat menimbulkan berbagai macam persepsi yang berbeda-beda pada setiap orang yang menontonnya, termaksud anak-anak itu sendiri. Seperti umumnya anak – anak, respon awal mereka setelah menonton televisi biasanya adalah terpukau atau terkagum- kagum dengan kehebatan tokoh jagoan yang berhasil menumpas lawannya dalam film yang mereka saksikan, dan mereka kemudian cenderung menirukannya. Seorang anak yang berumur 6- 12 tahun umumnya baru mengalami perasaan kagum, senang atau tidak senang terhadap informasi yang mereka terima, karena mereka belum pada taraf menilai bahwa ini salah atau benar
1
2
khayalan atau sungguh – sungguh, baik atau jahat. Mereka mencerna tayangan berdasarkan pertimbangan rasional yang lebih didorong oleh perasaan bukan didasarkan oleh pemikiran. Itulah sebabnya anak – anak cenderung menirukan segala hal yang mereka saksikan dan mereka dengar termasuk dalam film kartun. Kekerasan yang muncul dilayar kaca juga memungkinkan anak berfikir bahwa kekerasan adalah hal biasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana mereka biasa melakukan kekerasan tanpa merasa bersalah. Anak-anakpun menjadi biasa berteriak, mengeluarkan kata-kata kasar, dan melakukan tindakan kekerasan karena mereka menirukan tayangan film kartun dalam televisi. Kalau mengamati isi tayangan film kartun secara umum yang diputar televisi swasta nasional, maka kita masih saja menjumpai pemakaian bahasa tak mendidik anak, misalnnya ‘kiss my butt (cium pantat saya)’. Kekerasan verbal berupa kata kasar seperti itu diperkental dengan aneka umpatan, hujatan, kecaman, maupun hinaan. Belum lagi penayangan adegan kekerasan fisik berupa adegan tabrakan maupun adegan merusak barang / bangunan dengan cara membanting, menginjakinjak barang. Kekerasan berikutnya adalah perkelahian tanpa senjata, seperti (pemukulan, tendang, banting, cekik, gampar), dan perkelahian dengan menggunakan benda tumpul, seperti (pisau, belati, pedang). Eskalasi kekerasan fisik terus dipertinggi melalui adegan-adegan tembakmenembak dan adegan menggunakan bahan peledak. Bahkan, untuk kepentingan
3
dramatisi tak jarang ditampilkan tubuh terluka atau tubuh berdarah (lelehan, tetesan, keceran, muncratan). Dijumpai pula film kartun yang menyajikan detik-detik sang tokoh jahat menjelang ajal, dengan memperlambat gerak (slowmotion), setelah ditusuk pedang, korban perlahan-lahan tersungkur, dan tak bergerak lagi. Dan seluruh corak dan jenis tayangan meminggirkan nilai hidup dan kemanusiaan itu telah menjadi menu makanan sehari-hari kesadaran anak. Berikut ini film-film kartun di Global TV yang mengandung unsur kekerasan: 1. Naruto
8. Oh Yeah Cartoon
2. Avatar
9. Jimmy Neutron
3. Danny Phantom
10. Teenage Robot
4. Spongebob
11. Ultraman Cosmos
5. Chalkzone
12. Ultraman Gala
6. Shaolin Wujang
13. Captain Tsubatsa
7. Skyland
Dari ke-13 tayangan tersebut, penulis mengambil dua judul film kartun tersebut untuk menjadikan bahan acuan penulis dalam membuat penelitian ini. Dan judul film tersebut adalah Naruto dan Avatar. Adapun Tema dalam film kartun Naruto adalah menceritakan tentang seorang remaja yang bernama ‘Naruto Uzumaki’ yang mempunyai cita-cita menjadi seperti bapaknya sendiri, yang mana bapaknya dahulu adalah seorang
4
‘Hokage’. Dan untuk menjadi seorang hokage itu tidaklah mudah, karena itu naruto harus belajar untuk menjadi hokage yang kuat agar nantinya naruto dapat memberantas musuh-musuh, pemberontak dikampungnya, serta dapat melawan musuh terbesarnya, yaitu ‘Orochimaru’. Yang menarik dalam film ini adalah temanya yang berunsur kekerasan, dimana dalam setiap episodenya tayangan naruto ini selalu menampilkan kekerasan sesara ekspresif baik secara fisik maupun mistis yang terkadang disertai darah. Sedangkan tema dalam film kartun Avatar adalah salah satu film buatan Nikcloden yang paling laris. Bersetting dikehidupan ratusan tahun sebelum masehi, cerita ini berpusat pada usaha Aang untuk menguasai keempat elemen dasar yaitu air, bumi, api, udara untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran yang diakibatkan oleh Negara api. Dan dalam petualangan ini, Aang akan dibantu oleh Katara dan Sakata (suku penendalian air), Appa sibisau terbang, Taf (pengendali bumi), serta banyak tokoh fantastis lainnya yang mana musuh utama Aang dalam cerita ini adalah raja api yang juga dibantu oleh putra-putrinya Zukko dan Azula. Kedua tayangan tersebut tidak tepat dikategorikan sebagai film anak karena mengandung kekerasan, adu jotos, darah muncrat, sampai kepala copot dan saat penayangannya pun tidak menampilkan klasifikasi acara, yang seharusnya dipindahkan jam tayangnya menjadi lebih malam dengan menampilkan klasifikasi ‘R’ dan ‘BO’. Tayangan film kartun berseri Naruto yang digemari anak-anak ternyata memang telah ditegur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena film yang
5
ditayangkan di Global TV ini merupakan 1 dari 4 tayangan televisi yang dianggap melanggar Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Dan, tayangan yang dianggap bermasalah adalah Bleach, Cinta SMA, Detective Conan, dan Naruto.1 Selain dianggap melanggar Undang-undang no 32/2002, tayangan itu juga tidak sejalan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2007, karena mengandung unsur kekerasan yang diantaranya fisik, psikologi, dan social, baik tindakan verbal maupun non verbal.2 Acara tersebut juga tidak melindungi anak-anak serta remaja, tidak menampilkan klasifikasi penggolongan tayangan, dan tentunya tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan dan kesusilaan. Maka dari itu KPI meminta lembaga penyiaran untuk lebih berhati-hati agar tidak menayangkan program yang berisikan kekerasan, baik verbal maupun fisik termaksud penggunaan kata-kata yang cenderung merendahkan ataupun menghina martabat manusia, makian, serta menghina agama dan Tuhan. Adapun akibat dari tayangan film kartun Naruto di Global TV disinyalir menjadi penyebab kematian ‘Revino Siahaya’, anak berusia 10 tahun, yang bunuh diri akibat meniru gaya dalam film kartun Naruto. Kasus mengenaskan di Semarang Jawa Tengah pada awal 2008 ini dalam proses investigasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).3
1
http://indonesiatvguide.blogspot.com//2008/02/menyikapi-sisi-buruk-naruto.html ibid 3 ibid 2
6
Terlepas dari ada atau tidaknya pengararuh Naruto terhadap kematian Revino, kasus mengenaskan ini memperlihatkan kembali kepada publik luas betapa tayangan film kartun memiliki pengaruh buruk terhadap perilaku anak. Catatan itu menjadi penting diangkat karena selama ini masyarakat cenderung memandang film kartun merupakan konsumsi aman untuk anak. Padahal, banyak film kartun yang isinya dominan nilai negatif dengan menekankan tokoh kartun menyelesaikan persoalan dengan cara-cara kekerasan, sehingga pesan utama tayangan adalah : Kekerasan Wajib Dibalas Kekerasan!. Adapun 3 efek buruk yang akan dialami anak-anak yang menonton kekerasan ditelevisi secara potensial adalah : 1. Meningkatnya sikap antisosial atau perilaku agresif. 2. Rasa tumpul terhadap kekerasan yang ditandai semakin bisa menerima kekerasan didunia nyata dan terkikisnya rasa peduli kepada orang lain. 3. Meningkatnya rasa takut seseorang sebagai korban kekerasan. Enggak sedikit tindak kriminal yang justru dilakukan setelah mendapat ‘ilham’ ketika nonton tayangan kekerasan ditelevisi maupun media lainnya seperti video game, seperti yang sangat fenomenal terjadi adalah kasusunya ‘Eric Harris (18)’ dan Dylan Klebold (17)’, dua pelajar Columbine Hige School di Littleton Colorado, Amerika, yang menewaskan 11 rekannya dan seorang guru pada 20 April 1999. Dari keterangan temannya diperoleh, Dylan Lkebold bisa berjam-jam main game yang tergolong penuh kekerasan seperti Doom, Quake, dan Redneck Rampage.4
4
ibid
7
Ron Solby5 dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, behwa ada 4 macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak : 1. Dampak Agresor, dimana sifat jahat anak semakin meningkat. 2. Dampak korban, dimana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain. 3. Dampak pemerhati, disini anak menjadi kurang peduli terhadap kesulitan orang lain. 4. Dampak nafsu meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan. Penelitian yang dilakukan pada 700 orang di New York selama 17 tahun menunjukan bahwa anak pra remaja yang menonton tayangan kekerasan ditelevisi lebih dari satu jam perharinya, cenderung menjadi anak yang melakukan kekerasan pada usia dewasanya. Lebih lanjut penelitian ini menunjukan bahwa kekerasan termaksud perkelahian dan perampokan, bertambah jika anak tersebut menonton televisi lebih dari tiga jam perharinya.6 Brand Bushman dan L. Rowell Huesmann7 dalam ‘Effects of Television Violence on Aggresion’ (2001), menegaskan anak usia kurang dari 7 (tujuh) tahun amat rentan menonton adegan kekerasan di televisi, karena mereka ini cenderung menganggap fantasi dan kekerasan kartun sebagai kenyataan.
5
majalah permata, edisi juni 2002 www.adipura.com 7 http://.menyikapi -sisi-buruk-film-anak-anak.com 6
8
Kesimpulan ini mengukuhkan pernyataan bersama Komunitas Kesehatan Publik (Public Health Community) Amerika Serikat pada Juli 2000 : ‘Sudah saatnya ditegaskan adanya hubungan sebab akibat antara kekerasan tayangan dengan perilaku agresif anak.8 Dalam artikel di ‘Scientific American’9 edisi maret 2002, hasil penelitian pada anak kecil yang sering menonton tayangan kekerasan fisik yang berat, menunjukan adanya perubahan peramanent pada struktur dan jaringan saraf keotak. Menurut penelitian Dr. Teicher dari ‘Havard Medical School’ : Jika tayangan kekerasan yang sering dialami itu terjadi pada masa kritis, ketika masa kecil, saat otak sedang dibentuk oleh pengalaman, hal itu dapat menggangu struktur dan fungsi jaringan saraf yang sukar diperbaiki lagi setelah terbentuk. Akibatnya anak menjadi depresi, dan tindakan negatif lainnya, emosi mereka cenderung tidak terkendali. Akibat dari tayangan kekerasan yang menjadi tontonan kesukaan atau banyak yang menggemarinya, sudah jelas bahwa kekerasan sudah menjadi hiburan masyarakat kita. Ditambah lagi, semakin banyaknya program acara-acara tayangan anak yang cenderung bertema kekerasan yang disukai pemirsa dan anakanak karena dilihat dari maraknya tayangan yang serupa distasiun televisi lainnya. Dari berbagai macam tayangan seperti itulah banyak sekali factor terciptanya kecenderungan-kecenderungan isi kekerasan ditelevisi yang pastinya
8 9
ibid kompas, minggu, kekerasan pada anak, PIK Gramedia 24 Maret 2002, hal. 20
9
akan dapat lebih cepat mengubah gaya sang anak akibat menonton tayangan yang mengandungt unsur kekerasan tersebut. Dari berbagai kecenderungan kekerasan tersebut, orang tua harus lebih memperhatikan anaknya dalam menonton televisi, karena jika orang tua membebaskan anak-anak asik didepan televisi sungguh suatu tindakan yang memprihatinkan, walaupun sekarang ini beberapa stasiun televisi yang membuat program menerapkan logo atau ikon-ikon tertanda khusus disudut kanan layar televisi, tetapi itu bukan merupakan jaminan anak-anak akan memilih jenis acara yang ditayangkan.10 Tanpa menyudutkan pihak penyelenggara pihak siaran televisi setiap kali memberikan peringatan untuk mendampingi anak-anak saat menonton televisi, kehadiran siaran televisi sepanjang hari dirumah-rumah mau tidak mau membawa perubahaan budaya. Sesuai dengan anjuran pihak penyelenggara televisi, semestinya orang tua selektif memilihkan acara yang layak untuk anak-anaknya. Kalupun terpaksa anak-anak memilih acara yang diinginkan, semestinya anak-anak didampingi dan diberikan penjelasan tentang acara yang ditontonnya. Apa boleh buat. Memang cara itu yang semestinya diterapkan oleh kehadiran televisi bagi anak-anak. Telalu banyak menonton membuat anak-anak akan malas belajar dan kurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi dalam belajar, selain itu anak-anak akan menjadi seseorang yang bertingkah laku seperti pemberontak akibat banyak menonton televisi dan cenderung menirukannya. Tetapi, harus diakui televisi juga 10
M.Rizka Chamami, “ Mendewasakan Penonton Televisi”. NewletterKomisi Penyiaran Indonesia, Oktober-Desember 2007, hal 2
10
sebenarnya memilki dampak yang positif, misalnya anak-anak dapat belajar melalui bahasa melalui acara yang ada dalam tayangan televisi, karena acara documenter juga menambah pengetahuan anak-anak akan sejarah maupun daerahdaerah diluar tempat tinggalnya, ataupun tentang bahaya dan dosa menganiaya seseorang, dimana dalam tayangannya tetap ditampilkan adegan kekerasan tersebut. Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker11 produser anak-anak, serta penulis, banyak memberikan contoh tentang pengaruh media terhadap anak-anak yang khawatir itu memang orang tua, karena anak-anak hanya punya satu pikiran tentang penonton televisi, yaitu “Senang”. Pemahaman tentang kekerasan dan perilaku dewasa sebuah film saat ini dapat menjadi sesuatu yang samar. Perubahan cara pendang dalam konteks kebudayaan yang berbeda dalam suatu bangsa menjadikan sebuah tayangan film yang bermuatan kekerasan, seks, maupun perbedaan suku dan ras menjadi sebuah konteks dalam sebuah industri perfilman yang menarik dan menjual. Mengingat begitu besarnya pegaruh film terhadap anak, meka hal ini menjadi suatu keprihatinan bagi kita bahwa disadari atau tidak kadang-kadang anak menonton tayangan yang muatannya tidak sesuai untuk usia dan tahap perkembangannya,
keprihatinan
harus
muncul
mengingatnya
anak-anak
merupakan generasi penerus bangsa.
11
kompas, minggu, Sumber Hiburan Televisi, PIK Gramedia 17 November 1996, hal 19
11
Akan jadi seperti apa Bangsa ini jika diisi oleh orang-orang yang tumbuh dengan paparan kekerasan dan tayangan yang tidak sesuai usia dan tahap perkembangannya. Maka dari itu, peneliti berusaha menemukan bingkai tayangan kekerasan ditelevisi terhadap film kartun di Global TV tersebut yang ditinjau sebagai tayangan kekerasan yang tidak sesuai bagi anak-anak.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah : Sejauh mana kecenderungan isi kekerasan fisik pada film kartun di Global TV?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan isi kekerasan fisik dalam film kartun di Global TV.
1.4 Signifikansi Penelitian 1.4.1 Signifikansi Akademis Penelitian yang dilakukan tentang kecenderungan isi kekerasan fisik dalam film kartun di Global TV ini diharapkan bisa menjelaskan, atau merinci (elaborasi) keberlakuan teori-teori efek media atau hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh menonton tayangan kekerasan terhadap anak-anak.
12
1.4.2 Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pengelola stasiun Global TV agar mengurangi jumlah tayangan kekerasan pada setiap program anak-anak.