BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Menyikapi kejadian-kejadian yang saat ini masih terjadi dimana pada kasus-kasus pidana masih ditemukan praktek-praktek kekerasan dalam hal menangani tersangka yang dilakukan oleh oknum penyidik untuk dapat mengungkap kasus pidana yang dilakukan oleh tersangka itu sendiri, padahal dengan jelas-jelas tata cara penyidikan yang benar sudah diatur dalam KUHAP. Namun ironisnya pemetaan pelanggaran (penistaan) Hak Asasi Manusia berupa bentuk-bentuk penyiksaan terhadap tersangka atau mereka yang terlibat dalam proses peradilan pidana, misalnya merupakan pelanggaran etika dalam proses pemeriksaan, seperti penyiksaan,
interogasi
dengan
penyiksaan,
manipulasi
bukti
meningkat 1, khususnya penyelesaian kekerasan yang dicemarkan
1
Peningkatan pelanggaran hak asasi manusia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun ini dapat diikuti dari berbagai publikasi antara lain : Ke arah Ratiflkasi Konvensi Anti Kekerasan, Kajian Kasus-kasus Penyiksaan Belum Terselesaikan, ELSAM, Jakarta, 1995, hal. 177-179; T. Mulya Lubis, trend Pelanggaran HAM, 1996; Siapa yang paling banyak melanggar HAM, Jawa Pos, 31 Desember 1996, kompas, 20 Oktober 1997: yang juga telah memberitakan pelanggaran HAM berdasarkan pengadfuan yang masuk ke Komnas HAM, Mulya W. Kusuma, Refleksi Akhir tahun 1997 Bidang Politik, hukum dan Kebudayaan : Jalan Mewujudkan HAM belum Lapang, Jawa Pos 31 Desember 1997.
1
2
dalam interogasi pada tahap pemeriksaan pendahuluan 2 kepada tersangka dan terdakwa. Menyikapi terjadinya realitas diatas dengan mengacu pada pengalaman selama 25 tahun berlakunya KUHAP, diakui masih banyak masalah-masalah teknis yuridis dan prakteknya yang masih memerlukan pembenahan. Untuk itu dengan telah pula diratifikasinya Konvensi Anti Penyiksaan, keinginan untuk mengadakan riview dan perubahan terhadap
KUHAP
merupakan
suatu
kebutuhan
yang
mutlak
dilakukan, sebagai konsekuensi akan komitmen kita yang mengklaim diri sebagai negara hukum. Nilai-nilai
global
dalam
Konvensi
Internasional
dan
Pembaharuan KUHAP : 1. Harmonisasi Nilai-nilai Global dalam Konvensi Internasional dan Hukum Nasional. Derasnya arus globalisasi yang melanda dunia saat ini, perlahan tapi pasti telah menimbulkan perubahan di berbagai aspek dan dimensi kehidupan manusia. Dampak dari adanya kemudahan
dalam
penyebaran
informasi
dan
kesempatan
berkomunikasi serta berkembangnya sarana transportasi, memberi peluang bagi setiap manusia mengembangkan cakupan relasi 2
Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik termasuk di dalamnya penyidikan tambahan atas dasar petunjuk-petunjuk dari penuntut umum dalam rangka penyempumaan hasil penyidikan. Dengan perkataan lain pemeriksaan pendahuluan adalah proses pemeriksaan perkara pada tahap penyidikan. Lihat pasal 109 ayat 1 KUHAP dan keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 Nomor M-14/PW/07.03 tahun 1983.
3
sosialnya, dengan lingkup yang hampir tanpa mengenal batas wilayah negara 3. Berkembangnya
peluang
untuk
berinteraksi
secara
leluasa
tersebut akan mendorong terjadinya perubahan dalam tata kehidupan masyarakat di berbagai negara sebab dampak kesemuanya tadi, pada dasarnya dapat memberikan peluang bagi berlangsungnya proses transformasi kultural yang bersifat lintas negara bahkan lintas benua. Ciri-ciri yang ada kini, yang membedakan sifat, ideologi ataupun pandangan hidup sebuah bangsa mungkin hanya akan tinggal bentuk luarnya saja Isinya mungkin sama, semua tingga "label", bahkan telah ditinggalkan sebagian besar penganutnya. Fenomena globalisasi ini telah melanda Indonesia yang menuntut nilai-nilai dan norma-norma baru dalam kehidupan skala nasional maupun internasional 4 dan mengimbas pula pada kehidupan atau pembentukan hukum modern Indonesia. Dalam konteks ini pembangunan hukum Indonesia akan diwarnai oleh energi yang tidak hanya berupa nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental yang bersifat domestik, tetapi juga nilai-nilai yang
3
4
Globalisasi mengandung arti tidak ada satupun negara yang terasing. Semua negara dimanapun letaknya di belahan dunia ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sehingga masyarakat dunia saat ini meliputi seluruh jagad raya. M. Yahya Harahap dalam " ulasan hukum" yang dimuat dalam majalah "Varia Peradilan", tahun VIII No 92. Mei 1993 mengutip pendapat hoshua Meyrowitz yang mengatakan " Many of the thing that define sovereignty are fadfing", maksunya segala sesuatu pengertian dan pernyataan yang menyangkut paham kedaulatan telah menjadi layu. Tidak ada lagi pengertian kedaulatan yang absolute. Dan dalam suasana kehidupan masyarakat bangsa-bangsa sekarang arus nilai-nalai globalisasi telah berada dalam kehidupan yang "saling terkait" atau " interlinked" . Muladi, menjamin kepastian, ketertiban, Penegakan dan Perlindungan Hukum dalam Era Globalisasi, Makalah tanpa tahun, hal 4.
4
bersumber dari kecenderungan internasional yang diakui bangsa bangsa beradab (the international trends of civilized nations) yang seringkali mengandung nilai praktis dalam rangka pendekatan pragmatis. 5 Kecenderungan tersebut tersirat dan tersurat dalam berbagai instrumen internasional seperti : konvensi, deklarasi, resolusi, "guidelines code of conduct, standard minimum rules". Adaptasi terhadap kecenderungan global tersebut dilakukan dengan melalui retifikasi konvensi internasional dengan Undangundang maupun dengan keputusan Presiden. Menurut Muladi, hal ini tidak bertentangan dengan tujuan nasional, karena ikut menciptakan ketertiban dunia, merupakan salah satu pilar tujuan nasional. Disamping itu pula, secara doktriner diajarkan bahwa traktat internasional merupakan salah satu unsur hukum yang diakui, selain Undang-undang, yurisprudensi, doktrin dan hukum kebiasaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum internasional merupakan
bagian
dari
hukum
nasional
(the
principles
of
international law as a part of the law the land ) 6. Namun demikian sudah barang tentu diperlukan langkah -langkah harmonisasi hukum atas dasar relativisme kultural, yang selalu memperhitungkan pengalaman sejarah bangsa, perkembangan realitasrealitas ekonomi, sosial, politik dan budaya serta sistem nilai yang
5
Muladi beberapa pemikiran tentang Pembangunan Nasional Budang hukum Pada Pelita VII Makalah tanpa tahun. 6 Muladi, Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan Perlindungan Hukum dalam Era Globalisasi, Makalah tanpa tahun Op.Cit.
5
belaku. Dalam rangka harmonisasi ini langkah-langkah yang bersifat antisipatif dan proaktif harus dilakukan secara sistemik. Untuk itu diperlukan semacam Tim Pemantau Konvensi Internasional yang bersifat integral, yang mengikutsertakan pula disamping departemen terkait juga lembaga-lembaga non pemerintah yang terkait / relevan. Hal ini disebabkan karena seringkali kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan oleh organisasi-organisasi internasional di bawah PBB dijadikan dasar untuk memantau sampai seberapa jauh negara negara mentaati instrumen-instrumen internasional tersebut. Sebagai contoh untuk mengevaluasi pelaksanaan instrumen internasional Komisi
Hak
Asasi
manusia
(Commission
of
Human
Rights)
menugaskan " special rapporter'. Indonesia pernah dievaluasi oleh pelapor khusus ini, sepanjang menyangkut Hukum Acara Pidana dengan tuduhan adanya perlakuan yang tidak manusiawi (torture) dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana 7. Dengan demikian beradaptasi dengan berbagai kecenderungan internasional (global trends) mau tidak mau harus diikuti, tetapi tanpa harus mengorbankan jati diri sebagai bangsa, singkatnya bagaimana melakukan harmonisasi hukum antara instrumen internas ional dengan hukum nasional, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental khas bangsa Indonesia
7
Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Relevansinya dengan instrumen-instrumen Internasional, Makalah disampaikan pada Penatara Hukum Acara Pidana UNPAR, 13-14 Mi 1985,haI.16.
6
2. Rekomendasi
Konvensi
Anti
Penyiksaan
dan
Urgensi
Pembaruan KUHAP di Indonesia. Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan oleh Pemerin tah Indonseia menjadi UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Penghukuman Yang Kejam merupakan langkah adaptasi terhadap kecenderungan global (global trends) yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Berdasarkan kaidah kebiasaan internasional yang kemudian dirumuskan dalam "Konvensi Wina 1969", ratifikasi adalah tahapan ke-3 yang harus dilalui oleh suatu persetujuan internasional, seperti halnya "Konvensi Menentang Penyiksaan dan penghukuman Yang Kejam" agar dapat mempunyai kekuatan mengikat. Dua tahapan sebelumnya
adalah
penandatanganan
naskah
persetujuan
dan
persetujuan oleh lembaga sesuai dengan konstitusional masing masing. Dilampauinya ketiga tahapan tersebut memiliki akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya 8 Akibat hukum eksternal dimaksudkan negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional tersebut. Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya sesuai dengan persetujuan internasional dimaksud. 9
8
9
Agus Brotosusilo, Dampak Yuridis Pertimbangan Ekonomis dan Cakrawala Sosiologis, Ratifikasi " Aggreement Establishing The World Trade Organization" oleh Indonesia, hukum dan Pembangunan Nomor 2 tahun XXVI, April 1996. Ibid
7
Akibat hukum internal ini tidak terbatas pada usaha untuk merubah
hukum
nasionalnya
agar
sesuai
dengan
ketentuan
persetujuan internasional dimaksud, namun juga harus disertai jaminan bahwa hukum nasional tersebut akan diterapkan secara konsisten dan atau hukum nasional tersebut harus berlaku efektif. Dengan demikian peratifikasian Konvensi Anti Penyiksaan oleh Indonesia melalui Undang-undang, maka secara yuridis formal nasional yang mengikat negara dan masyarakat. Namun demikian ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Anti Penyiksaan tersebut tidak dapat dioperasionalisasikan secara langsung untuk menanggulangi kasus-kasus penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena Konvensi hanya mengatur prinsip prinsip (aturan-aturan) pokok untuk melindungi rakyat dari tindakan tindakan penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan aparatur negara, baik sipil maupun militer. Aturan-aturan pokok tidak mengatur perbuatan yang dilarang (tindak
pidana)
yang
disertai
dengan
sanksi
pidana
tertentu.
Disamping itu aturan-aturan pokok hanya berisi kaidah-kaidah yang mengharuskan
adanya
penjabaran
aturan
itu
dalam
peraturan
perundang-undangan. Dalam bahasa Konvensi Anti Penyiksaan, prinsip-prinsip pokok itu direkomendasikan agar diatur dalam hukum nasional.
8
Di
dalam
undang-undang
Nomor
5
Tahun
1998
tentang
Pengesahan Convention Against Turture and Other Cruel, inhuman of Degrading
Treatment
or
Punishment
(Konvensi
Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) terdapat empat rekomendasi pokok yang perlu diadopsi oleh hukum domestik sebagai berikut 10 : Pertama, penyiksaan menurut ketentuan Konvensi bukan hanya terbatas pada penyiksaan fisik, tetapi juga meliputi penyiksaan mental, tindakan intimidasi dan pemaksaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan atau atas dorongan atau ijin pejabat pemerintah. Kedua, negara wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak pidana penyiksaan. Setiap pernyataan yang dibuat di bawah penganiayaan tidak dapat diajukan sebagai alat bukti dalam proses apapun. Perintah dari atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan. Ketiga, reformasi terhadap pengaturan penyiksaan yang menurut rekomendasi Konvensi harus dijadikan tindak pidana. Agar negara perserta meninjau kembali sistem pemeriksaan pendahuluan meliputi
10
Lihat penjelasan atas UU No. 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, inhuman of Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia). Bab IV poin 2.
9
aturan-aturan
interogasi,
instruksi,
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemenjaraan dan perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan dan dipenjarakan. Disamping itu negara pihak yang memasukkan tindak pidana penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Keempat,
agar
negara peserta
memberikan
ganti
kerugian
terhadap korban tindakan penyiksaan dan mempunyai hak untuk mendapat kompensasi yang adil dan layak termasuk sarana untuk mendapatkan rehabilitasi. Menyikapi keempat rekomendasi pokok danlam Konvensi Anti Penyiksaan tersebut di atas, dan agar Konvensi Anti Penyiksaan dan dioperasionalisasikan
dalam
menanggulangi
praktek -praktek
penyiksaan, kekerasan dan kekejaman lainnya, maka ketentuan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi tersebut harus dijabarkan dalam
peraturan
perundang-undangan
atau
digunakan
untuk
mereformasi perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut. Untuk itu dengan melihat banyaknya permasalahan dalam penerapan KUHAP pada prakteknya, khususnya yang dicemarkan pada tahap pemeriksaan pendahuluan, tiada jalan lain kecuali mengadakan review dan perubahan terhadap KUHAP.
10
Karena itu dengan mengingat hal-hal sebagaimana dikemukakan di atas tadi dapatlah Penulis memilih judul "PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN
PENYIDIK
TERHADAP
TERJADINYA
KEKERASAN DALAM PENYIDIKAN"
B. Identifikasi Masalah Dari Latar Belakang Masalah yang telah penulis uraikan di atas, beberapa masalah pokok yang akan dituangkan oleh Penulis antara lain : 1. Bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan seorang penyidik terhadap terjadinya kekerasan dalam penyidikan ? 2. Bagaimanakah upaya untuk meminimalisir terjadi nya kekerasan dalam penyidikan ?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini dilaksanakan adalah dalam upaya untuk memperoleh data dan informasi yang ada kaitannya dengan pokokpokok permasalahan yang peneliti lakukan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Seperti yang penulis telah ungkapkan di atas bahwa perbuatan penyiksaan dan tindak kekerasan dalam proses penyidikan tindak pidana masih banyak dilakukan oleh aparatur negara baik sipil maupun militer, hal itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sehubungan dengan hal tersebut Penulis mencoba meneliti
11
bagaimanakah penerapan HAM dalam proses penyidikan kejahatan yang ditangani oleh Polres Cirebon Kota yang nantinya akan dianalisa dan sejauhmana perbuatan tindak kekerasan bagi mereka yang melakukannya. Dari data yang diperoleh diharapkan pula dapat mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi terutama yang berhubungan dengan tindak kekerasan dalam proses penyidikan yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian yang dilakukan peneliti dalam rangka menyusun proposal sebagai berikut : 1. Secara teoritis a. Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis dalam hukum Kepolisian. b. Untuk memberikan masukan dan dapat melengkapi serta memperoleh
ilmu
baru
yang
didapat
selama
mengikuti
perkuliahan. c. Untuk memberikan sumbangan pikiran dari hasil penelitian yang telah dilakukan dalam bidang Kepolisian, sehingga akan dapat melengkapi perbendaharaan kepustakaan. 2. Secara praktis Penelitian ini akan dijadikan acuan dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik agar tidak melanggar HAM.
12
E. Kerangka Pemikiran Polisi pada hakekatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup, karena ditangan Polisi hukum mengalami perwujudannya, setidak tidaknya di bidang hukum pidana. Sebagai salah sate komponen sistem peradilan pidana, Polisi banyak berhubungan langsung dengan masyarakat dalam tugasnya sebagai Law Enforcer maupun sebagai Crime Fighter. Secara umum orang melihat Polisi merupakan perwujudan dan monopoli negara untuk melakukan kekerasan, suatu hal yang dapat dilihat dengan mudah dari sosok penampilan polisi dengan seragam dan perlengkapannya. Apalagi dalam melaksanakan tugas penyidikan, kekerasan dianggap sebagai metode yang efektif dalam menyidik apalagi kalau hal tersebut didukung oleh tuntutan untuk menyelesaikan perkara tepat waktu, kurangnya biaya dan prasarana penyidikan, kekerasan dipakai sebagai mekanisme jalan pintas. Kecenderungan untuk lebih mengejar pengakuan bersalah dari pada kebenaran yang hakiki menyebabkan polisi berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkannya. KUHAP tidak meletakkan kewajiban yang tegas tentang pemberitahuan hak-hak tersangka ketika mereka ditangkap, ditahan; dalam hal ini Miranda Rules merupakan pelajaran bagi aparat penegak hukum karena kelalaiannya mengucapkan hak tersangka membawa konsekuensi pembebasan ditingkat Mahkamah Agung Amerika Serikat. Di dunia Intemasional sendiri,
keprihatinan
akan
maraknya
kekerasan
yang
terjadi
13
khususnya dalam penegakan hukum, sudah dimulai sejak disahkannya Declaration of Human Right, tahun 1948 yang kemudian dilanjutkan dalam perjanjian Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Convention Agains Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
F. Metodologi Penelitian Metode dalam penelitian ini berfungsi untuk menerangkan bagaimana data dikumpulkan, dan bagaimana data tersebut dianalisis serta bagaimana hasil analisis tersebut akan dituliskan. 1. Metode Pendekatan Metode merupakan suatu cara untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Oleh karena itu diperlukan cara-cara pendekatan yang mampu menghasilkan suatu analisis yang dapat menjawab permasalahan yang ada. Bertolak dari dari obyek penelitian yang mencakup eksistensi hukum substantif, maka metode pendekatan
yang ditempuh dalam
penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini lebih
menekankan pada data sekunder. Sedangkan sumber data
primer hanya bersifat menunjang. Untuk data sekunder dan data primer yang dipergunakan adalah :
14
a. Data
sekunder
bahan
hukum
primair
adalah
peraturan
perundang-undangan meliputi KUH Pidana, dokumen atau risalah peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian dan hasil karya ilmiah lainnya. b. Data Primer, data yang diperoleh dilapangan yang dalam hal ini ditemui di Polres Kota Cirebon.
3. Teknik Pengumpulan Data. Bertolak dari jenis dan sumber data diatas, maka teknik pengumpulan data yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: a. Studi dokumen, yakni penelitian terhadap berbagai data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian. Jelasn ya studi terhadap sumber data yang berkaitan dengan aspek hukum alat bukti saksi di pemeriksaan. b. Wawancara,
yakni
untuk
memperoleh
informasi
dengan
bertanya langsung kepada yang diwawancarai, yang dilakukan terhadap para penyidik. 4. Teknik Penyajian dan Analisis Data a. Teknik Penyajian Data Teknik
yang
dipergunakan
untuk
menyajikan
data
yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif. Teknik kualitatif
di
pergunakan
untuk
menyajikan
data
berupa
informasi, pendapat, konsep, doktrin, dan analisis h ukum yang ditemukan dalam penelitian ini.
15
b. Analisa Data Analisis data dilakukan secara kualitatif hal ini bertolak dari maksud penelitian yang tidak hanya untuk menggambarkan atau menjelaskan data, melainkan juga mengungkapkan realitas aspek hukum yang ideal dan diharapkan dalam menentukan alat bukti. Analisis data yang bersifat kualitatif ini normatif dan didukung dengan studi lapangan. Analisis dalam kegiatan penganalisaannya bertitik tolak dari analisis yuridis normatif ditempuh untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan, terutama norma hukum positif yang dapat menjadi landasan legalitas bagi penyidik dalam proses penyidikan.
G. Lokasi Penelitian Penelitian skripsi ini dilakukan di Kantor Polres Cirebon Kota Jl. Veteran No. 5 Kota Cirebon
H. Sistimatika Penulisan Untuk
memudahkan
pemahaman
dan
penguraian
permasalahannya, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
:
Pada bab ini membahas alasan pemilihan judul dan identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
16
kerangka
pemikiran,
metodologi
penelitian
yang
dipergunakan serta sistematika penulisan. BAB II :
Bab
ini
membahas
tinjauan
tentang
penyelidikan,
tinjauan Tentang Kekerasan dalam Penyidikan. BAB III :
Bab ketiga ini berisi tentang Pendidikan Penyidik Serta Proses Penyidikan Di Polres Kota Cirebon.
BAB IV :
Bab keempat ini membahas hasil dan pembahasan yang didalamnya membahas Sumber Daya Manusia Polisi Penyidik di Polres Cirebon Kota dan Faktor-faktor Penyebab Tindak Kekerasan dalam Penyidikan.
BAB V
: Bab lima ini merupakan bagian akhir yang akan berisi kesimpulan
dari
semua
sebelumnya serta saran-saran.
pembahasan
bab-bab