“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Dian Yulviani
PELAKSANAAN GRASI DAN REMISI NARAPIDANA Oleh Dian Yulviani*)
Abstrak Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Bentuk pidana penjara dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Pada zaman dahulu pidana penjara tidak dikenal di Indonesia (hukum adat), yang dikenal adalah pidana Pembuangan. Kebutuhan yang normatif sesuai hak-hak penghuni Lembaga Pemasyarakatan adalah kesempatan untuk melanjutkan program pembinaan tahap III dalam bentuk asimilasi maupun program pembinaan tahap IV dalam bentuk integrasi yaitu cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, remisi kepada terpidana yang berkelakuan baik (Pasal 7 Kep. Res No. 5 Tahun 1987/Kep Men Keh No.11.03.HM.02.01 Tahun 1988 tentang tata cara permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara. Pada Undang-undang No. 22 Tahun 2002 pasal 1 ayat (1) tentang grasi, Undang-undang No.12 Tahun 1995 pasal 14 ayat (1) tentang Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden RI No. 174 tahun 1999 pasal 1 ayat (1) tentang Pemberian Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana. Pemberian Grasi dan Remisi bagi Narapidana mempunyai pengaruh positif terhadap hasil pembinaan dan merupakan dorongan untuk merubah sikap prilaku menjadi lebih baik dan berguna bagi sesamanya. Kata Kunci : Hukum Penitensier (Grasi, Remisi) A. PENDAHULUAN Sistem pemasyarakatan yang dicetuskan oleh almarhum Dr. Sahardjo, SH tahun 1963 sebagai pengganti sistem kepenjaraan, dikembangkan pada konfrensi kepenjaraan di Lembang, Bandung tahun 1964 sebagai suatu sistem perlakuan/pembinaan pelanggar hukum, dan semakin kokoh posisi dan fungsinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Perubahan yang bergulir sejalan dengan proses reformasi dan transformasi global yang ditandai dengan terbentuknya masyarakat yang sangat keritis dan mengemukanya berbagai permasalahan yang syarat dengan
muatan-muatan hak azasi manusia, demokratisasi dan isu-isu sentral lainnya serta munculnya berbagai tingkat, bentuk, jenis dan pelaku kejahatan, baik yang bersifat transnational crime, organized crime, white collar crime, economic crime di samping berbagai tindak pidana yang bersifat konvensional dan tradisional. Dalam kaitan itu pengertian secara substansif, hukum pidana dihadapkan pada tiga persoalan pokok, yaitu menyangkut masalah perbuatan pidana (tindak pidana/delik), pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan. Dari ketiga persoalan tersebut, maka yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
16
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
pemidanaan. Bahwa ancaman pidana yang dicantumkan pada tiap-tiap delik pada hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Ini berarti, suatu perbuatan yang diancamkan dengan pidana penjara dua tahun atau lebih, setidak-tidaknya dipandang lebih tercela dibanding dengan perbuatan lain yang diancamkan dengan pidana penjara satu tahun. Demikian pula halnya dengan ancaman pidana mati atau ancaman pidana seumur hidup. Lebih lanjut di dalam pasal 10 KUHP diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan) dan pidana tambahan yang terdiri dari: Pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim. Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam pasal 12 KUHP ditegaskan : (1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. (2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilapaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam pasal 52 dan 52a (L.N. 1958 No. 127) Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Bentuk pidana penjara dewasa ini merupakan bentuk utama
Dian Yulviani
dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Pada zaman dahulu pidana penjara tidak dikenal di Indonesia (hukum adat), yang dikenal adalah pidana Pembuangan. Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tidak begitu banyak yang memberikan sorotan, dan bahkan terkesan sebagai ”anak tiri”. Ilmu pengetahuan hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini masih banyak membicarakan masalahmasalah dogmatik hukum pidana dari pada sanksi pidana. Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi. Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tidak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Fungsi pidana sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat ”pembalasan” terhadap orangorang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya dalam masyarakat dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan, berubah dan berkembang ke arah fungsi pidana, khususnya pidana penjara, sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian kedalam masyarakat. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran, surat (An Nashr: 3) ”Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
17
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Bertolak dari ide dasar Dr. Sahardjo SH, seperti yang penulis kemukakan terdahulu tujuan dari pidana penjara adalah di samping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karna hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat serta mendidiknya agar ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Tujuan pemenjaraan yang demikian adalah pemasyarakatan. Hal tersebut dipertegas dalam Al-Quran surat (Al Israa: 36) ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Dari rumusan tujuan pembinaan di atas dapat dinyatakan bahwa ide Sahardjo menganut sistem campuran penjeraan (deterrent) dan reformasi terpidana. Tujuannya ada dua yaitu: mengayomi masyarakt dari perbuatan jahat dan membimbing terpidana sehingga dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna. Sistem Pemasyarakatan yang dimaksud tertuang dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 pasal 1 ayat (2) tentang pemasyarakatan yang bunyinya yaitu : Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan
Dian Yulviani
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pembinaan tersebut dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan selaku pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan dan pembinaan warga binaan pemasyarakatan. Adapun pembinaan dan pembimbing meliputi pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kemandirian. Namun demikian kita mengenal beberapa perbedaan perlakuan terhadap terpidana. Perbedaan perlakuan secara normatif berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan memperhatikan penggolongan terpidana berdasarkan: Jenis kelamin, umur, tingkat pemeriksaan (untuk tahanan), kewarganegaraan, jenis kejahatan, lama pidana dan resedivis. Adapun perbedaan perlakuan yang dapat menimbulkan ekses negatif yaitu perbedaan yang timbul berdasarkan status sosial, kharisma dan tingkat intlektual, khusus untuk pidana seumur hidup dan residivis mempunyai perasaan dibedakan dalam pembinaan maupun hak-haknya sebagai sesama terpidana. Di samping adanya perbedaan perlakuan yang dapat menimbulkn ekses negatif, pemenuhan kebutuhan manusia juga harus selalu diperhatikan seperti kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pakaian yang sesuai menurut kebutuhan kerja, olahraga dan sehari-hari. Kebutuhan pangan yaitu pemenuhan makan dan minum sesuai dengan kalori yang dibutuhkan tiap hari sesuai kapasitas kerja, umur dan jenis kelamin. Kebutuhan papan yaitu tempat tinggal hunian yang memenuhi standar kesehatan dan lingkungan yang bersih dan hijau. Demikian pula dengan kebutuhan asasi adalah kunjungan keluarga, diberikan secara longgar dengan tidak
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
18
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
mengurangi keamanan dan ketertiban, penyampaian keluhan dengan melakukan komunikasi tidak mengurangi kerahasiaan dan martabat manusia, pemberian pendidikan yang seimbang menurut kebutuhan rohani dan kebutuhan intlektual sesuai kemampuan. Kebutuhan yang normatif sesuai hakhak penghuni adalah: Kesempatan untuk melanjutkan program pembinaan tahap III dalam bentuk asimilasi maupun program pembinaan tahap IV dalam bentuk integrasi yaitu cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, pembebasan bersayarat, remisi kepada terpidana yang berkelakuan baik (Pasal 7 Kep. Res No.5 Tahun 1987/KepMenKeh No.11.03.HM.02.01 Tahun 1988 tentang tata cara permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara. Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan adalah : 1. Apakah pemberian grasi dan remisi mempunyai pengaruh positif bagi narapidana ?. 2. Bagaimanakah eksistensi grasi dan remisi dikaitkan dengan sistem Pemasyarakatan ?. B. PEMBAHASAN A. Grasi dan Remisi Sebagai Salah Satu Evaluasi Pembinaan Dalam konteks dengan strategi pemasyarakatan, proses permohonan grasi dan remisi tidak semulus seperti apa yang dibayangkan dan diharapkan oleh para terpidana penjara seumur hidup yang menjalani pidananya penulis mengambil contoh atas kasus ”Steven Rasid” warga negara Nigeria pada mulanya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang kemudian dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang kemudian sambil menunggu
Dian Yulviani
turunnya permohonan perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dengan surat tanggal 14 Januari 2005, nomor putusan 1831 K/VIP/2004/MARI, waktu itu kondisi terpidana dalam keadaan sehat. Sambil menunggu keputusan Presiden turun dan untuk mengurangi rasa jenuh mengikuti pembinaan di LP Pria Klas I Tangerang maka dipindahkan ke LP Nusa Kambangan. Ketika mengajukan permohonan pengurangan masa pidana yang bersangkutan berharap mendapat pidana 18 Tahun, sedang dalam putusannya ia adalah penyuplai. Di LP Nusa Kambangan ia mengalami sakit serius. Untuk mempermudah konsultasi ke Kedutaan Nigeria di Jakarta dalam rangka pengobatan biaya dan sebagainya maka Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI memindahkan kembali dari LP Nusa Kambangan ke LP Pria Klas I Tangerang. Jadi apakah perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara memberikan pengaruh positif terhadap pembinaan prilaku terpidana? Berdasarkan penelitian penulis di LP Pria klas I Tangerang dapat merubah prilakunya lebih baik/positif, tolok ukurnya apakah narapidana yang bersangkutan dapat memenuhi syarat pengusulan perubahan hukuman melalui semacam rapor penilaian hasil pembinaan minimal selama 5 tahun memiliki nilai berkelakuan baik. Sehubungan dengan itu sesuai dengan penelitian penulis banyak persoalanpersoalan yang harus dihadapi dan diatasi oleh terpidana ketika sudah berada di dalam lembaga pemasyarakatan, diantaranya adalah menghindari keributan-keributan antar sesama, perlakuan petugas lembaga, pelarian dan terjadinya pembunuhan diantara sesama terpidana.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
19
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Ketika hal-hal tersebut tidak dapat dihindari oleh terpidana, maka ini sudah merupakan salah satu kendala untuk mendaptkan rapor penilaian hasil pembinaan dan selanjutnya. Oleh karena itu dalam proses pemasyarakatan terlibat proses pemantapan hubungan-hubungan sosial, pengembangan pencapaian konsep diri dan orang lain mempelajari keahlian pandangan motivasi, yang diperlukan bagi keikut sertaannya dalam masyarakat khususnya di dalam lembaga pemasyarakatan. Ini adalah merupakan re orientasi seseorang pada saat ia menjadi anggota masyarakat yang baru, sehingga seseorang perlu mengetahui apa yang diharapkan oleh seseorang, baik dalam arti nilai-nilai dan tingkah laku, peran apa-apa yang seharusnya dilakukan dan harus pula berkeinginan melaksanakan tingkah laku dengan mencari tujuan yang tepat. Menurut pengamatan penulis adalah sangat tidak beralasan ketika orang berpendapat bahwa proses sosialisasi dalam tembok penjara adalah lebih bersifat menindas atau menghambat perkembangan pembinaan terhadap narapidana agar menjadi warga negara yang baik dibanding dengan proses sosialisasi dalam masyarakat bebas di luar tembok penjara. Justru lingkungan sosial dimana seorang menjadi penjahat/ pelanggar hukum, secara psikologis lebih menekan seseorang dibanding narapidana yang telah berada dalam tembok penjara. Namun demikian sejak seseorang narapidana menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan terhadapnya diterapkan peraturan-peraturan dan disiplin yang ketat. Kewajiban petugas lembaga pemasyarakatan untuk menggeledah setiap narapidana, mencukur rambut yang gondrong, pemberian nomor-nomor pengenal dan segala macam prosedur administratif
Dian Yulviani
yang harus dilalui, walaupun hal tersebut sudah mengandung sifat-sifat menekan yang membuat narapidana sudah kehilangan kebebasannya. Jadi sosialisasi yang dimaksud di atas adalah suatu proses interaksi bagi seorang nara pidana untuk menjadi warga yang baik dan patuh pada hukum dan peraturan serta disiplin sesuai ketentuan. Selanjutnya kendala dalam proses permohonan grasi dan remisi tersebut dapat dilihat dari faktor interen adalah penilaian secara berkaitan dan terpadu antara jabatan yaitu Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri, Jaksa atau Kepala Kejaksaan negeri, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman/Hukum dan HAM RI, dimana pejabat-pejabat tersebut mengajukan usulan kepada Presiden. Jadi usulan tersebut tidak sesederhana seperti yang diharapkan oleh terpidana yang bersangkutan. Kedua faktor merupakan kendala yang sangat erat keterkaitannya karena ketika permohonan grasi tersebut masih dalam proses, ini berarti waktu diturunkan persetujuannya tidak dapat dipastikan sehingga salah satu pengaruhnya terhadap narapidana akan merasa jenuh, putus asa dalam melaksanakan pembinaan yang diselenggarakan petugas pemasyarakatan. Tidak jarang kemungkinan lain narapidana tersebut mengalami emosional tak terkendali atau jiwa tak setabil/tertekan secara psikologis. Hal tersebut sangat berhubungan dengan kondisi kesehatan. Faktor ini pula yang terjadi pada narapidana yang menjadi objek penelitian penulis sehingga agak sulit mengadakan wawancara. Namun penulis mencoba mengadakan interviu secara bertahap dan menyelami dari segi kejiwaan apakah penantian turunnya grasi dan remisi dalam rangka pengurangan masa pidananya masih
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
20
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
merupakan harapan masa depan atau sebaliknya malah menimbulkan keputusasaan. Bila ditinjau lembaga pemasyarakatan sebagai wadah, tempat melakukan proses pembinaan narapidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, menurut ”Mulder” bahwa pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas narapidana adalah sementara, dan akhirnya tetap diantara kita. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat pula dilihat dari perspektif relatifitas bahwa tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki diri sendiri. Namun berdasarkan uraianuraian di atas, secara manusiawi terdapat kecenderungan bahwa orang yang telah dijatuhi pidana seumur hidup dan telah dikuatkan dengan penolakan grasi oleh Presiden akan berbuat semaunya di dalam lembaga pemasyarakatan, karena narapidana tersebut berfikir bagaimana pun juga ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, dengan mentaati peraturanperaturan dan taat terhadap disiplin yang berlaku, namun tidak ada kesempatan baginya akan mengalami perubahan pidana. Ini berarti tetap menjalani pidana seumur hidup. Sehingga jika penulis mengamati dari kendala ini maka ide pemasyarakatan akan mengalami kerancuan berhadapan dengan masalah terpidana seumur hidup. Demikian kendala-kendala sepintas yang peneliti dapat simpulkan berdasarkan pengamatan di Lembaga Pemasyarakatan Pria Tangerang. Jika dikaji sistem pembinaan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan, petugas menggunakan pendekatan sosial, dan keamanan. Pendekatan ini melahirkan pandangan bahwa
Dian Yulviani
narapidana yang mendapatkan pidana panjang perlu mendapatkan pengawasan keamanan secara maksimal. Oleh karena itu kepada mereka diterapkan perlakuan dengan mengklasifikasikan kedalam beberapa klasifikasi menurut lamanya pidana. Sebelum penulis mengemukakan klasifikasi tersebut, maka penulis akan menampilkan keadaan isi lembaga pada saat mengadakan penelitian tanggal 10 Juli 2008 sebagai berikut : a. Kapasitas 600 orang b. Isi 1881 orang terdiri dari: A II 4 orang; A III 2 orang; seumur hidup 1 orang; pidana mati 3 orang; B I 1551 orang; B IIA 254 orang; B IIB 8 orang; B III 58 orang (sumber data pada bagian registrasi LP Pria Klas I Tangerang) Melihat isi dibanding dengan kapasitas, ini berarti sudah mencapai over kapasitas. Ini merupakan salah satu kendala dalam melaksanakan pembinaan dan pengamanan. Berdasarkan jenis hukuman dan klasifikasi jenis kejahatan, maka penulis menguraikan sebagai berikut: B I adalah narapidana yang dijatuhi pidana di atas 1 tahun, sedangkan B II dan seterusnya adalah yang dijatuhi pidana 4 samapai 12 bulan, dan seterusnya. Sehubungan dengan tampilan data isi lembaga pemasyarakatan di atas, penulis ingin menganalisis tentang pidana seumur hidup bagai narapidana yang bernama: Steven Rasid, warganegara Negeria, No Reg.B I.01.01/D/SH/2007/2008 pasal 182 (1) a. UU No 22 Tahun 1997 denda 250.000.000; status Heroin, prantara, non suntik; agama Khatolik; pendidikan S1; Pekerjaan swasta; tempat kelahiran Benin Negeria (38 Tahun). Secara kronologis narapidana yang bersangkutan pertama ditempatkan di lembaga pemasyarakatan Pemuda/
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
21
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Rutan Tangerang, dengan petikan putusan pengadilan negeri Tangerang pasal 226 KUHP No.1831K/Pit 2004, kemudian dipindah ke lembaga pemasyarakatan narkoba Cipinang, dipindah ke lembaga pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang dipindah lagi ke lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan; karena menderita sakit akut maka untuk memudahkan lanjutan pengobatan dan pembinaan narapidana tersebut dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang. Untuk memperkuat penelitian penulis bahwa grasi dan remisi merupakan salah satu evaluasi pembinaan terhadap narapidana maka penulis menampilkan proses grasi yang dilaksanakan oleh penegak hukum mulai dari penahanan sampai saat ini yaitu sebagai berikut: Termohon kasasi berada di dalam tahanan: Penyidik sejak 2 Juli 2003 s/d 21 Juli 2003; Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 22 Juli 2003 s/d 30 Agustus 2003; Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 31 Agustus 2003 s/d 29 September 2003 dan sejak tanggal 30 September 2003 s/d 29 Oktober 2003; Perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 17 Desember 2003 s/d 14 Februarai 2004 dan seterusnya; Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi sejak 9 April 2004 s/d 7 Juni 2004; Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung atas permintaan Pengadilan Tinggi selama 60 hari, sejak 8 Juni s/d 8 Agustus 2004.
Dian Yulviani
Berdasarkan penetapan Ketua Mahkamah Agung RI (MARI) tanggal 28 Oktober 2004 No.964/TU/763/2004/S. 414. TAH/PP/2004. MA, terdakwa diperintahkan untuk ditahan selama 50 hari, terhitung sejak tanggal 18 Desember 2004. Mahkamah Agung membaca putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 5 Maret 2004 No.997/PID/2003.PN Tangerang, membaca putusan Pengadilan Tinggi Bandung; membaca permohonan Kasasi/PID/Pengadilan Negeri Tangerang, tanggaal 30 Agustus 2004, membaca akte penyerahan risalah kasasi Jaksa Penuntut Umum yang diajukan pada tanggal 30 Agustus 2004, dan diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 2 September 2004; Membaca surat-surat yang berkaitan dan seterusnya... mengadili, mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri tangerang tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 7 Juni 2004; Mengadili sendiri, menyatakan terdakwa Steven Rasid sah dan diyakinkan bersalah dalam tindak pidana, terbukti secara tanpa hak dan melawan hukum, dan menerima, menjadi prantara peredaran narkotika golongan I jenis heroin, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Steven Rasid dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana denda sebesar 250.000.000; memerintahkan barang bukti berupa dua bungkus plastik yang terbungkus kaos kaki berisi narkotika berupa heroin, dengan berat bruto 350 gram dan dua bungkus kantong plastik hasil penyisiran laboratories dengan
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
22
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
berat 22,6760 gram dan 22,7583 gram dirampas dan dimusnahkan; Membebani termohon kasasi terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi yang telah ditentukan sebesar Rp 2.500; demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah pada hari Selasa tanggal 4 Januari 2005 oleh Arbijoto, SH Hakim Agung yang ditunjuk Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua sidang... Timur Manurung, SH dan Aji M. Imron Wari SPN, MH, Hakim-hakim anggota dan ditetapkan dalam sidang terbuka. Adapun permohonan grasi telah diajukan kepada Presiden lewat Kepala lembaga pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang dengan nomor putusan 1831 K/VIP/2004 MARI tanggal 14 Januari 2005, namun sampai saat ini permohonan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara tersebut belum mendapatkan persetujuan. Namun ketika penulis mengadakan penelitian di lembaga pemasyarakatan apabila melihat hasil pembinaan 5 tahun ke belakang permohonan grasi dari terpidana seumur hidup menjadi pidana penjara sementara jumlahnya relatif kecil atau hampir tidak ada karena prosesnya memakan waktu yang tidak dapat ditentukan sehingga tidak jarang narapidana tersebut menjadi stres, frustasi dan sakit atau merasa putus asa, akibatnya prilakunya yang baik akan menurun kadang-kadang membuat suatu keributan. Selanjutnya remisi, bila bagi narapidana penjara sementara (grasinya) belum turun belum dapat diusulkan remisinya sedangkan bagi narapidana B I (di atas satu tahun) di lembaga pemasyarakatan ini sudah dilaksanakan dalam satu tahun itu ada dua remisi; pertama remisi Kemerdekaan 17 Agustus (remisi
Dian Yulviani
umum) dan ke dua remisi keagamaan yaitu hari besar umat beragama sesuai dengan agama yang dianutnya. Tentang syarat-syarat permohonan grasi dan remisi tersebut telah dibahas pada bagian terdahulu. Dengan demikian berhasilnya permohonan grasi dan remisi ini merupakan suatu keberhasilan pelaksanaan pembinaan. B. Kedudukan Grasi Dan Remisi Dalam Sistem Pemasyarakatan Salah satu falsafah pembinaan narapidana yang paling mendasar bahwa narapidan bukan orang hukuman melainkan orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui bimbingan. Oleh karena itu falsafah pemidanaan merupakan landasan bagi penegak hukum dalam pembinaan terpidana lebih lanjut. Ini berarti tujuan pemidanaan itu harus tertuang di dalam putusan hukum oleh Hakim disidang pengadilan, sehingga aparat penegak hukum yang lain menyadari serta mendukung terlebih bagi masyarakat. Dengan demikian keterkaitan falsafah pemidanaan dengan tujuan pemasyarakatan akan mempengaruhi para pegawai dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana. Namun kenyataan yang ada sekarang ini, falsafah pemidanaan yang terkandung di dalam hukum pidana Indoneisia adalah pembalasan (retribution). Hal ini terlihat masih dicantumkannya hukuman mati sebagai pidana pokok sehingga hukuman ini sematamata sebagai pembalasan oleh karena itu tidak ada manfaat lain bagi hukuman bagi narapidana kecuali hanya imbalan atas kejahatan yang diperbuat. Ini berarti mempengaruhi fungsi lembaga pemasyarakatan hanya untuk membuat narapidana menderita. Di lain pihak makna dari ke sepuluh
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
23
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
prinsip pokok pemasyarakatan mengandung misi untuk menjadikan narapidana sebagai orang yang taat kepada hukum, memiliki keterampilan, memberikan pekerjaan bukan hanya terampil dalam bekerja tetapi dengan latihan-latihan khusus dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam hidup, dengan keyakinan diri yang ditanamkan selama masa pembinaan sehingga setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat bekerja di masyarakat dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Walaupun sampai saat ini masih terdapat kelemahannya, dimana pekerjaan yang diberikan kepada narapidana baik bentuk maupun jenisnya tidak lagi seimbang dengan kebutuhan masyarakat, karena pengaruh dari perkembangan teknologi semakin canggih atau dengan kata lain dukungan sarana prasarana dan anggaran biaya untuk melaksanakan program pembinaan tersebut masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk melaksanakan ke sepuluh prinsip pokok pemasyarakatan masih banyak mendapatkan hambatan. Namun demikian, ini tidak berarti tujuan pemasyarakatan akan menghasilkan kegagalan dan hilangnya semangat kerja petugas pemasyarakatan. Ini terbukti dari faktor penerimaan masyarakat terhadap mantan narapidana, tidak sekedar menerima menjadi anggota keluarga di lingkungannya, tetapi menerima bekerja di berbagai lapangan sesuai minat dan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting dalam pembinaan narapidana. Dalam konsep pembinaan narapidana sudah dimunculkan pentingnya hubungan narapidana dengan pembina, keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu lembaga pemasyarakatan mem-
Dian Yulviani
butuhkan tenaga-tenaga yang berkualitas di samping ahli dalam bidang pemasyarakatan, bidang hukum, psikiater, psikolog, sosiolog, dokter, sarjana teknik, ahli perusahaan dan lain sesuai dengan kebutuhan teknis operasional lembaga pemasyarakatan, walaupun kenyataannya penerimaan pegawai harus disesuaikan dengan formasi yang tersedia. Sehingga tidak jarang ketentraman di dalam lembaga pemasyarakatan merupakan gambaran ketidak setabilan para pembina dalam menjalankan sistem yang ada. Di sisi lain ketidak setabilan pegawai/pembina dalam melakukan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kesejahteraan yang kurang memadai dibanding tanggung jawab yang cukup berat, bahkan faktor pendidikan dan mentalitas pegawai yang kurang memadai sehingga ketika terjadi keributan, bahkan pelarian narapidana maka akan berakibat pegawai tersebut dikenakan hukuman disiplin. Selain petugas pembina pemasyarakatan keluarga harus ikut aktif dalam membina narapidana karena keluarga adalah orang yang paling dekat dengan narapidana. Dari hasil penelitian penulis di lembaga pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang bahwa narapidana yang sering mendapatkan kunjungan/ besukan keluarga, dibanding dengan yang jarang/sama sekali tidak mendapatkan kunjungan/besukan keluarga, akan terlihat lebih memiliki semangat hidup, termotivasi ini berarti si terpidana juga mendapatkan perhatian dari anggota keluarga, sehingga keluarga juga mendapat peran selaku pembina narapidana. Sebaliknya jika narapidana berasal dari keluarga yang kurang harmonis dan kurang mengetahui makna dari kunjungan/besukan keluarga terhadap narapidana, sekaligus dapat dikatakan
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
24
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
peran keluarga sebagai pembina kurang berhasil, karena mereka tidak mengetahui perkembangan pembinaan dan tidak dapat memberikan semangat kepada narapidana tersebut. Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 pasal 14 ayat (1) tentang Pemasyarakatan mengatur, bahwa narapidana berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya. Jika keluarga sama sekali tidak mengetahui proses, perkembangan pembinaan narapidana yang bersangkutan maka petugas lembaga pemasyarakatan tidak dapat berharap banyak mengikut sertakan peran keluarga tersebut dalam pembinaan. Tentu tidak dapat diberikan penilaian yang sama bagi setiap narapidana, misalnya berdasarkan wawancara penulis ada seorang narapidana yang mengatakan bahwa ia adalah merupakan bagian dari keluarga, dengan ia menjadi narapidana perannya selaku kepala keluarga akan diambil alih oleh anggota keluarga yang lain sehingga keluarga akan mengalami disfungsi begitu pula sebaliknya. Dipihak lain keluarga biasanya hanya tahu bahwa ia hanya mempunyai hak untuk bertemu dengan anggota keluarga yang menjadi narapidana, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus ikut aktif dalam membina anggota keluarganya yang menjadi narapidana, oleh karenanya pihak lembaga pemasyarakatan memberikan penjelasan mengenai program pembinaan. Dengan demikian akan membantu pelaksanaan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Demikian pula halnya dengan peran masyarakat misalnya dengan menunjukan perhatian, Kepala Kelurahan dimana terpidana/keluarganya tinggal, selain sering mengunjungi narapidana di lembaga pemasyarakatan juga membantu membina berupa menjamin
Dian Yulviani
jika narapidana mendapatkan cuti, pelepasan bersyarat, cuti menjelang bebas, sebaliknya ketika narapidana memberikan surat pembebasan dengan pemberitahuan kepada Kepala Lingkungan berarti Kepala Lingkungan wajib menerimanya. Untuk selanjutnya pembinaan dilakukan oleh keluarga dan masyarakat terhadap mantan narapidana harus diwujudkan dengan cara bagaimana masyarakat merangkul kembali mantan narapidana tersebut, kerena perhatian masyarakat untuk memberikan dukungan sangat membantu mantan narapidana dalam upaya beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain kepedulian masyarakat sangat diperlukan dalam ikut serta membina mantan narapidana tersebut. Karena mantan narapidana adalah orang yang tengah mencari kembali jati dirinya, yang juga diharapkan oleh masyarakat. Sejauh mana partisipasi masyarakat terhadap mantan narapidana dalam rangka mendukung keberhasilan tugas pembinaan yang telah dilaksanakan berdasarkan konsep pembinaan yang terdiri dari tiga elemen yaitu: Petugas pemasyarakatan dan penegak hukum terkait, keluarga yang merupakan keluarga inti atau keluarga dekat dan masyarakat berupa orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih berada di luar lembaga pemasyarakatan, misalnya masyarakat biasa, pemuka masyarakat atau pejabat setempat, dilaksanakan secara bekerja sama sehingga mantan narapidana tersebut benar-benar merasa bertobat dan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi pembangunan. Pelaksanaan asimilasi (membaurnya narapidana dengan masyarakat), yang dapat dilakukan di dalam maupun di luar lembaga dalam rangka
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
25
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
Pembebasan Bersarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah wujud dari pola reintegrasi sosial pembinaan narapidana. Yang dimaksud dengan Pembebasan Bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan ketentuan 2/3 dari masa pidana tersebut tidak kurang dari sembilan bulan, dan yang dimaksud dengan Cuti Menjelang Bebas adalah cuti yang diberikan setelah narapidana menjalani lebih dari 2/3 masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama enam bulan. Berdasarkan pengamatan penulis di lembaga pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang, walaupun masyarakat jelas memiliki peran yang sangat berarti dalam proses pelaksanaan pola reintegrasi, namun dari masyarakat sendiri cenderung tidak sepenuhnya menerima kehadiran narapidana ditengahtengah mereka. Hal ini terbukti dari ketika dilaksanakannya proses reintegrasi dalam rangka asimilasi Tim Pertimbangan Pemasyarakatan selalu dalam keputusannya mempertimbangkan antara lain apakah tempat/ masyarakat dimana narapidana tersebut akan melaksanakan pembauran dalam rangka berintegrasi dapat menerimanya, ataukah mereka masih merasa dendam, sehingga pelaksanaannya harus mendapatkan jaminan keluarga atau kepala lingkungan dimana narapidana berada. Khusus bagi narapidana asing, tidak diberikan asimilasi, kecuali dalam rangka dirawat di rumah sakit yang berada di luar lembaga pemasyarakatan, ini memerlukan jaminan keluarga atau kedutaan besar atau konsulat dari warga negara yang bersangkutan. Dari temuan singkat tersebut kiranya dapat dikemukakan bahwa,
Dian Yulviani
walau pun seorang narapidana telah memperoleh suatu keputusan dari Tim Pertimbangan Pemasyarakatan dengan memberikan lepas bersyarat atau pun asimilasi atas dasar kelakuan baik selama dalam pembinaan di lembaga pemasyarakatan, ini tidaklah merupakan suatu jaminan bahwa narapidana tersebut akan menemukan masyarakat yang dapat menerimanya dengan baik. Menurut penulis hal ini mungkin bahwa pola kultur tradisional kita menolak setiap orang yang menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. Atas dasar penilaian penulis rasanya pihak Pemerintah pada umumnya sudah seharusnya banyak memberikan bantuan dan perhatiannya kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan proses re-integrasi narapidana. Tujuan re-integrasi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat dengan mengaktipkan pembinaan seefisien mungkin, adalah sebagai hasil penilaian terhadap perilaku narapidana baik dalam lembaga pemasyarakatan maupun di luar lembaga pemasyarakatan, dengan maksud mengurangi angka atau jumlah narapidana yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan. Dalam hal pelaksanaan pembinaan, pola re-integrasi pembina pemasyarakatan bekerjasama dengan Balai Pemasyarakatan yang secara berkala mengadakan bimbingan baik kepada mantan narapidana maupun narapidana yang sedang mengikuti peroses re-integrasi. Setelah turun persetujuan Grasi Presiden, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan mengusulkan remisi bagi narapidana tersebut. Kendala yang sering dihadapi di lapangan adalah masalah kapan waktu turunnya pengurangan pidana atau grasi yang disetujui oleh Presiden. Bila narapidana tersebut mendapatkan persetujuan kemudian akan disusul oleh remisi,
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
26
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
maka dalam sistem pembinaan pemasyarakatan masih ada kemungkinan untuk tetap dapat kembali ke masyarakat sebagaimana tercantum dalam prinsip ke lima dari prinsip pemasyarakatan bahwa selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Karena memberi kelongaran kepada narapidana yang sudah sadar untuk berintegrasi dengan masyarakat, ini adalah cara yang terbaik dalam pelaksanaan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan. Pembinaan secara ekstramural (di luar lembaga pemasyarakatan), dilakukan disebut asimilasi yaitu peroses pembinaan narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka kedalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pembinaan secara ekstramural dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan yang disebut dengan re-integrasi, yaitu proses pembimbingan narapidana yang telah memenuhi persyaratan untuk hidup dan berada kembali di tengah tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan. Yang menjadi persoalan dalam sistem pembinaan pemasyarakatan ini adalah proses re-integrasi yaitu mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat bebas pada umumnya. Sehingga yang menjadi masalah utama dalam pembinaan ini adalah terletak pada jangka waktu atau lamanya seorang narapidana harus menjalani pidananya dan masa adaptasi sesama narapidana. Apabila penulis meneliti kasus yang terjadi pada narapidana seumur hidup di lembaga pemasyarakatan Pria Klas I Tangerang yang berjumlah satu orang, yang bernama Steven Rasid, Warga
Dian Yulviani
Negara Nigeria sudah dalam pembinaan selama lima tahun, dengan kondisi sakit akut, sedangkan penantian turunnya grasi belum menentu, maka penulis dapat menarik kesimpulan sementara, bahwa narapidana seumur hidup dalam arti yang sesungguhnya justru sudah tidak mendapat kesempatan untuk berasimilasi dan berintegrasi secara total dengan masyarakat. Dengan demikian jenis pidana ini tidak menunjukan relevansi jika dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan sarana pembinaan. Kecuali permohonan graasi dapat disetujui oleh Presiden, demikian pula dengan usulan remisinya dapat diproses. Maka narapidana seumur hidup tersebut dapat menjalani masa pembinaannya sesuai dengan tahaptahap pembinaan bagi pembinaan narapidana yang lain. C. PENUTUP Pemberian Grasi dan Remisi bagi Narapidana mempunyai pengaruh positif terhadap hasil pembinaan dan merupakan dorongan untuk merubah sikap prilaku menjadi lebih baik dan berguna bagi sesamanya. Jika sistem Pemasyarakatan menekankan pada Pembinaan Narapidana, maka narapidana seumur hidup dalam arti yang sesungguhnya justru sudah tidak mendapatkan kesempatan berintegrasi sosial secara total dengan masyarakat. Bagi narapidana seumur hidup yang berkesembatan mendapat grasi, remisi dan re-integrasi dalam mengikuti pembinaan jangka panjang selama-lamanya 20 tahun, kurun waktu tersebut narapidana kemudian diberi kelonggaran dengan perjanjian sesuai peraturan yang berlaku, akhirnya mendapat pembebasan murni. Walaupun jumlahnya sangat kecil dan
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
27
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015
berpengaruh positif terhadap prilakunya, sedangkan narapidana asing setelah bebas murni di laporkan kepada Kedutaan Besar yang bersangkutan untuk dipulangkan ke Negara asalnya melalui Imigrasi. Eksistensi pelaksanaan grasi dan remisi dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan adalah cara yang terbaik dalam pelaksanaan pembinaan di lembaga Pemasyarakatan karena, memberikan kelonggaran kepada narapidana yang sudah sadar berperilaku baik untuk berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip ke lima dari pemasyarakatan, bahwa selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh di asingkan dari masyarakat. Seyogyanya dilaksanakan percepatan penyelesaian permohonan grasi bagi narapidana yang telah memenuhi persyaratan dan bagi narapidana yang di tolak grasinya oleh Presiden tetap diberikan motivasi untuk menghindarkan rasa putus asa dan menimbulkan keributan di Lembaga Pemasyarakatan. Hendaknya jumlah pengajuan remisi terseleksi dengan baik dengan harapan lebih banyak lagi narapidana yang mendapatkan remisi sehingga dapat mengurangi isi lembaga pemasyarakatan, itu berarti memudahkan pelaksanaan pengawasan dan menghindarkan over kapasitas. Selain itu hendaknya lebih ditingkatkan eksistensi dari grasi dan remisi karena hal tersebut dapat mengangkat hak narapidana. D. DAFTAR PUSTAKA
Dian Yulviani
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara cet XXI, 2001. Panjaitan Petrus Irwan, Simorangkir Pandopotan, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, cet 2 Jakarta : Midas Surya Grafindo, 1995. Priyatno Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, 2006. Purnomo Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Repisi cet 7 Yogyakarta : Ghalia Indonesia, 1994. Reksodiputro Marjono, Pembinaan Narapidana Seminar Nasional Terpidana II, UI, 1993. Sudirman Didin, Reposisi dan Revitalisasi Pemasarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Almadra Dunia Perkasa, 2007. Dokumen : Indonesia, Undang-undang No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika, Jakarta : Tamita Utama, 2000. ________, Undang-undang No 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Jakarta : Tamita Utama, 2000. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1985.
Literatur : H S Harsono CI, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan 1995.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
28