“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Warsito
MENGOPTIMALKAN KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUGAS DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) MENUJU BIKAMERAL SESUNGGUHNYA MELALUI AMANDEMEN UUD 1945 OLEH MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Oleh Warsito*)
Abstrak Sejak anggota DPD dilantik secara resmi pada 1 Oktober 2004, usia DPD pada 1 Oktober 2015 sudah memasuki sebelas tahun, apa saja sesungguhnya yang telah dikerjakan lembaga Negara ini untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C Jo. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali, dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, di samping ketiadaan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab issu-issu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu melakukan terobosan-terobosan yang tidak dikerjakan oleh DPR, guna memikat hati aspirasi rakyat daerahnya. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini, sangat monoton sekali, hanya menjalankan tugas rutinitas untuk memenuhi ketentuan konstitusi dan UU. No. 17 Tahun 2014, Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD {UU.MD3)). Kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna, harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna DPD selama ini, tidak mendasar bahkan tidak ada hubungannya dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. Keberadaan DPD saat ini, hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar kuat dan sejajar dengan DPR. Sudah saatnya, MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan memberi kewenangan, ataukah dibubarkan, karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memilik arti (meaningless). Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah, untuk meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima UUD 1945, kelak yang diusung DPD, dipastikan bukan semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi, ada kepentingan yang jauh lebih besar daripada itu, yaitu, sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Kata Kunci : Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Hukum Tata Negara
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Satyagama Jakarta Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
42
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
A. PENDAHULUAN Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilembagakan secara konstitusional atas dasar ketentuan Pasal 22C Jo. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 Nopember Tahun 2001. Keberadaan DPD selama ini anomali, dilahirkan tetapi tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi layaknya lembaga-lembaga negara lain. Sehingga aspirasi daerah yang disampaikan kepada DPD tidak dapat ditindaklanjuti secara maksimal. Banyak pakar hukum tata Negara dan pemerintahan selama ini menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki DPD itu “terbatas”, menurut hemat penulis, sesungguhnya, jika menyimak dengan saksama ketentuan Pasal 22C jo. Pasal 22D UUD 1945 dengan 3 (tiga) fungsi yang dimiliki DPD: legislasi, pertimbangan dan pengawasan yang disampaikan kepada DPR, hal itu, bukan merupakan kewenangan, tetapi, hanyalah sebuah pertimbangan atau pengawasan yang sifatnya tidak menjadi keharusan untuk diterima DPR. Anggota MPR berjumlah 692, terdiri dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan 132 anggota DPD (UU. Nomor: 17 Tahun 2014, Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD {UU. MD3}). MPR dari unsur anggota DPR, sewaktuwaktu dapat membubarkan DPD, ketika memasuki ruang sidang paripurna Majelis dengan agenda perubahan UUD 1945. Sebab, mekanisme perubahan konstitusi mengenai syarat usulan minimal 1/3 anggota majelis, 2/3 kourum kehadiran, maupun 50% ditambah satu anggota majelis putusan untuk merubah UUD 1945, jumlah anggota DPR yang merangkap anggota MPR, sudah memenuhi persyaratan untuk itu. Pelemahan DPD dapat
Warsito
disimak dengan saksama mengenai jumlah anggota DPD yang tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah anggota DPR. Padahal syarat minimal usulan perubahan konstitusi itu 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan jumlah anggota DPD itu hanya 132 orang, DPD harus dapat menggenapi syarat 1/3 usulan perubahan konstitusi sebanyak 230 orang. Jumlah anggota DPR, dan DPD yang tidak proporsional, bagaikan tembok raksasa bagi DPD, untuk menembus benteng keperkasaan DPR menuju amandemen UUD 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berkedudukan sebagai lembaga negara telah melakukan perubahan UUD 1945 selama empat kali sejak 1999-2002, hasil perubahan itu antara lain, yakni, telah membubarkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sisi lain, hasil amandemen UUD 1945 tersebut MPR melahirkan lembaga Negara bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang secara substansial fungsinya sama saja dengan DPA sebagai pemberi pertimbangan dan pendapat yang tidak memiliki implikasi yuridis, jika sebuah pertimbangan atau pendapat itu tidak ditindaklanjuti. Komposisi keanggotaan MPR menurut Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 (redaksi lama) sebagai berikut:“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggotaanggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah amandemen UUD 1945 Pasal 2 Ayat (1) berubah menjadi sebagai berikut:“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
39
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
dan diatur lebih lanjut dengan undangundang”.1 Perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan pergeseran sistem ketatanegaraan dan bekerjanya mekanisme check and balances secara optimal antarcabang kekuasaan negara dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi. Bahan tayangan materi sosialisasi putusan MPR telah memetakan dengan lengkap tugas dan wewenang MPR pasca amandemen UUD 1945 yaitu: a. Mengubah dan menetapkan UUD; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945; d. Melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya; e. Memilih dan melantik Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; f. Memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila keduanya berhenti secara bersamaan. Penulis, selama ini menyimak dengan saksama dinamika perkembangan DPD dari tahun ke tahun. Sejak anggota DPD dilantik secara resmi pada 1 Oktober 2004, usia DPD sudah memasuki sebelas tahun, apa saja sesungguhnya yang telah dikerjakan lembaga Negara ini untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara, dan hal-hal apa saja yang belum dilakukan. Keberadaan lembaga DPD saat ini nyaris tak terdengar bunyinya, disamping ketiadaan kewenangan yang dipasung oleh konstitusi, ketidakberdayaan lembaga ini juga diakibatkan ketidakproaktifan lembaga ini mencari terobosan-terobosan baru untuk menjawab issu-issu faktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. DPD perlu 1
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Psl 2 Ayat (1).
Warsito
melakukan terobosan-terobosan yang tidak dikerjakan oleh DPR, guna memikat hati aspirasi rakyat daerahnya. Kegiatan persidangan yang dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini, sangat monoton sekali, hanya menjalankan tugas rutinitas untuk memenuhi ketentuan konstitusi dan UU. MD3. Kegiatan DPD yang gemar melakukan sidang paripurna, harus segera diakhiri diganti dengan kegiatan yang lebih menyentuh urgensi masyarakat. Substansi persidangan paripurna DPD selama ini, tidak mendasar bahkan tidak ada hubungannya dengan kondisi yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara. Sebagai lembaga negara baru, penulis, sudah sering menyampaikan ke media masa, agar DPD giat melakukan sosialisasi, baik melalui media cetak, maupun elektronik. Hal ini, agar keberadaan DPD lebih menarik dimata publik, sosialisasi yang paling efektif dilakukan melalui media elektronik, mengingat hampir seluruh masyarakat pedesaan sudah memiliki televisi. Cara efektif sosialisasi yang lain, dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah tentang DPD-RI kepada siswa/siswi tingkat SLTP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun masyarakat umum di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan kegiatan seperti ini, DPD akan dikenal luas oleh masyarakat. Keberadaan DPD saat ini, hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar kuat dan sejajar dengan DPR. Dengan realitas fungsi DPD yang terpasung di konstitusi, semua pihak utamanya MPR, yang memiliki kewenangan untuk merubah UUD 1945, harus memiliki jiwa kenegarawanan, amanah, jujur, saksama, dan mandiri. Setiap anggota
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
40
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
DPR dalam menentukan sikap tidak boleh bergantung kepada partainya, tetapi lebih kepada kemandirian sebagai pribadi anggota, yang dijamin hak konstitusionalnya, untuk senantiasa bertindak untuk kebenaran dan keadilan. Dalam hal memberikan dukungan usulan perubahan undang-undang dasar itu, setiap anggota DPR, bukan bertindak mewakili fraksi, apalagi bertindak dalam kedudukannya untuk dan atas nama partai, tetapi lebih bersifat sebagai perjanjian personalia, sebagai hak setiap anggota yang dijamin dalam undang-undang dan konstitusi (Pasal 37 UUD 1945). Menurut Sri Soemantri, salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasr 1945 ialah dibentuknya badan baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah. Dalam ketentuan lama (sebelum diubah), tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang. Dalam undang-undang yang kemudian ditetapkan yang dimaksud dengan utusan-utusan dari daerahdaerah ialah wakil dari provinsiprovinsi yang jumlahnya antara 4 (empat) sampai dengan 8 (delapan) orang, tergantung dari jumlah penduduk warga Negara di masing-masing provinsi. Hal ini dituangkan dalam undang-undang.2 Sri Soemantri lebih lanjut mengemukakan, DPD mempunyai tiga macam fungsi, yaitu, fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi DPD tersebut dimiliki secara terbatas, dalam arti tidak 2
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 17.
Warsito
meliputi keseluruhan fungsi yang pada umumnya ada pada Majelis Tinggi. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 22D, fungsi legislasi diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: a. Fungsi legislasi DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan: 1. Otonomi Daerah; 2. Hubungan Pusat dan Daerah; 3. Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah; 4. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya; serta 5. Yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila fungsi legislasi akan dijalankan dalam undang-undang perlu dijelaskan makna kelima fungsi tersebut. Yang perlu juga dipikirkan ialah bagaimana fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh Dewan Perwakilan Daerah. Hal ini akan berkaitan dengan hak dan kewajiban DPD (sebagai lembaga) dan hak dan kewajiban sebagai anggota DPD. b. Fungsi Pertimbangan Seperti diatur didalam UUD 1945 {Pasal 22D Ayat (2)}, DPD juga memiliki fungsi pertimbangan. Fungsi ini oleh DPD disampaikan kepada DPR. Hal ini berkenaan dengan: 1. Rancangan undang-undang tentang anggaran dan pendapatan belanja Negara; 2. Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. c. Fungsi Pengawasan Fungsi ini tercantum dalam perubahan ketiga UUD 1945 {Pasal 22D Ayat (3)}. Dalam ketentuan tersebut dikatakan: DPD dapat melakukan
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
41
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: 1. Otonomi Daerah; 2. Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; 3. Hubungan pusat dan daerah; 4. Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; 5. Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara; 6. Pajak; 7. Pendidikan; dan 8. Agama.3 Sudah saatnya, MPR mengkaji ulang keberadaan DPD, memilih dipertahankan dengan memberi kewenangan, ataukah dibubarkan, karena selama ini hanya sebagai lembaga negara yang tidak memilik arti (meaningless). Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah, untuk meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima UUD 1945, kelak yang diusung DPD, dipastikan bukan semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi, ada kepentingan yang jauh lebih besar daripada itu, yaitu, sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan latar belakang mengenai identifikasi dan pembahasan dalam permasalahan diatas, maka dalam merumuskan masalah ditata sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kedudukan DPD sebagai lembaga negara tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regeling)?. 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan keberadaan DPD selama ini 3
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 20.
3. 4. 5.
Warsito
tidak dapat melakukan fungsi saling mengimbangi dan saling mengontrol (checks and balances) antar lembaga-lembaga negara?. Bagaimana fungsi DPD selama ini dalam bidang legislasi, pertimbangan dan pengawasan?. Bagaimana peran DPD sebagai lembaga negara dalam rangka menindaklanjuti aspirasi rakyat?. Apakah sikap yang harus diputuskan MPR tentang keberadaan DPD selama ini?
B. PEMBAHASAN A. Perlunya Amandemen Konstitusi Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:1-2) menyatakan, secara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang-Undang Dasar suatu Negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Menurutnya, dalam berbagai literatur hukum tata Negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari: 1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum; 2. Jaminan dan perlindungan hakhak asasi manusia; 3. Peradilan yang bebas dan mandiri;
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
42
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagi sendi utama dari asas kedaulatan rakyat. Ke empat prinsip atau ajaran diatas merupakan “maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (Negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip diatas, namun tidak di implementasikan dalam praktek penyelenggaraan Negara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai Negara yang konstitusional. Sedangkan Wirjono Projodikoro (1989:10) masih di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:7) istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara. Sementara itu, Sri Soemantri (1987:1), di dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda (2003:9) dalam Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet (Undang-Undang Dasar), di atas, L.J. Van Apeldoorn membedakan secara jelas diantara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar Negara-negara dunia termasuk di Indonesia.4 Pada 2007 lalu, hampir saja MPR melakukan perubahan kelima UUD 4
Thaib, Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal.1,2,7,9).
Warsito
1945. Penulis, telah mengemukakan artikel yang diterbitkan di Harian Media Indonesia (11/5-2007) bahwa usulan perubahan kelima UUD 1945 pada Tahun 2007 itu inisiator dari DPD, dalam perjalanannya dihambat oleh para elite politik dengan berbagai argumentasinya. Tujuan penghambatan tersebut disinyalir DPR tidak ingin DPD menjadi lembaga Negara kuat dan sejajar, yang akan menjadi rivalnya dalam pertarungan legislasi. Padahal, usulan perubahan UUD 1945 ketika itu telah mencapai 238 anggota MPR, dari jumlah anggota MPR 678. Dengan demikian, telah memenuhi syarat usulan perubahan konstitusi minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR 678. Kegagalan amandemen tersebut salah satunya disebabkan oleh sikap DPD sendiri yang tidak kritis dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh pimpinan MPR 7 Agustus 2007, sebagai batas waktu untuk menarik/memberikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Tenggat waktu tersebut justru merugikan DPD karena memberikan kesempatan kepada elite-elite politik untuk menarik dukungannya kembali. Dugaan kuat, elite politik akan menghambat usulan amandemen konstitusi yang digagas DPD itu terbukti, sebagaimana penulis uraikan dalam artikel di harian Media Indonesia pada tanggal 29 Mei 2007. Menjelang tenggat waktu yang telah ditentukan oleh Pimpinan MPR, dukungan berkurang tinggal 204 anggota, akhirnya, MPR menyatakan usulan amandemen UUD 1945 yang digagas DPD tidak memenuhi persyaratan konstitusi. Istilah tenggat waktu tersebut tidak diatur di dalam konstitusi, dan Peraturan Tata Tertib MPR. Tata Tertib MPR telah memberikan jalan keluar, apabila usulan perubahan UUD 1945 tersebut telah memenuhi persyaratan konstitusi, maka selambat-lambatnya sembilan puluh
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
43
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
hari MPR menindaklanjuti usulan amandemen tersebut. Justru batas waktu 90 hari disalahgunakan oleh pimpinan MPR memberikan keputusan untuk menarik atau memberikan dukungan amandamen. MPR seharusnya bersikap netral, bahkan melarang penarikan dukungan usulan amandemen UUD 1945 kembali, karena tidak sesuai dengan asas konsensualitas/kesepakatan dalam isi perjanjian. Sifat perjanjian apabila telah ditandatangani, maka seketika itu juga mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dihormati, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Keputusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR pada tanggal 22 Mei 2007, untuk menentukan batas waktu pemberian atau penarikan dukungan sampai 7 Agustus 2007 pukul 24.00 WIB, adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya Pimpinan MPR sudah bisa langsung mengagendakan sidang majelis karena syarat 1/3 usulan perubahan UUD telah terpenuhi. Hal ini, agar DPD dapat berkonsentrasi tahap berikutnya, mencapai kourum 2/3 kehadiran anggota MPR. Dan tahap berikutnya, mencapai lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis, untuk merubah UUD 1945 agar kelembagaan DPD kuat sejajar dengan DPR. Setiap anggota MPR, itu bukan mewakili atau bertindak untuk dan atas nama fraksinya atau partainya. Tetapi, kedudukan anggota Majelis di dalam membuat persetujuan usulan perubahan UUD, lebih bersifat perjanjian personalia anggota Majelis yang dijamin oleh undang-undang, maupun Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 37 UUD 1945). Penulis, mengamati dengan saksama, bahwa Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang keras untuk melakukan
Warsito
amandemen kelima UUD, tetapi belum berhasil. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada pilihan lain, DPD dipertahankan dengan diberi kewenangan, ataukah dibubarkan saja. Penggalangan dukungan usulan amandemen UUD 1945, yang telah dilakukan dengan susah payah DPD, dihambat oleh elite-elite politik dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD ketika itu, tidak berdaya menghadapi benteng raksasa tembok DPR yang merangkap anggota MPR, atas penarikan dukungan usulan amandemen UUD 1945. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi, juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana ditentukan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Setelah DPD gagal mengusulkan amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya, sejurus kemudian, DPD berpendapat, dan mendesak agar calon presiden perseorangan dibolehkan maju dalam pemilihan presiden 2009 lalu, tanpa harus melalui perubahan UUD 1945. Menurutnya, aturannya cukup diwadahi di dalam bentuk UU Pilpres. DPD tahu betul, bahwa jika calon perseorangan yang digagas DPD diusulkan melalui amandemen UUD 1945, akan sulit menembus benteng keperkasaan DPR yang merangkap menjadi anggota MPR. Padahal, usulan DPD memasukkan calon perseorangan presiden di dalam konstitusi, agenda utamanya adalah menuju DPD menjadi bicameral sesungguhnya. Usulan dari Dewan
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
44
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Perwakilan Daerah, agar kesempatan bagi calon Presiden dari jalur perseorangan diperbolehkan untuk berkompetisi mudah dimentahkan. Dalam rapat kerja dengan panitia khusus rancangan undang-undang pemilihan umum (6/92007), sejumlah anggota DPR mementahkan pendapat DPD tentang calon perseorangan dalam pemilu presiden itu bisa dibuka (kompas 7/9-2007). Reasoning DPD mengusulkan calon perseorangan presiden dalam undangundang, karena konstitusi sama sekali tidak mengatur ketentuan ini, DPD berpendapat, bahwa calon perseorangan itu tidak dilarang, juga tidak dianjurkan, dengan demikian, DPD mengambil kesimpulan sendiri, bahwa calon perseorangan presiden itu diperbolehkan. Usulan DPD tersebut disanggah oleh beberapa anggota DPR yang sebelumnya terlibat dalam perubahan UUD 1945, argumentasinya, bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dan tidak bisa ditafsirkan lain, lebih lanjut ditegaskan ketentuan pemilihan presiden dan wakil presiden itu adalah muatan konstitusi, tentunya tidak cukup hanya ditentukan dalam produk setingkat undang-undang. Sanggahan tersebut disampaikan oleh Patrialis Akbar (Fraksi Partai Amanat Nasional) meminta kepada DPD agar membaca UUD 1945 secara komprehensif tidak secara parsial. (Kompas, 7/9-2007). Gagasan DPD untuk memasukkan calon perseorang presiden diwadahi dalam bentuk undang-undang, jelas menyalahi UU. No. 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebab, di dalam undang-undang tersebut dijelaskan hierarki Peraturan Perundang-Undangan, dimana peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundangundangan yang lebih rendah (Lex
Warsito
superior derogat legi inferiori). Dengan memegang norma hukum tersebut, maka untuk memasukkan calon perseorangan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu haruslah merubah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Apabila DPD berkeinginan untuk memasukkan calon presiden dan wakil presiden dari unsur perseorangan, lebih baik DPD ”menjelma” menjadi MPR mengusulkan perubahan UUD 1945, ketimbang DPD sekedar memberi usulan kepada DPR untuk mewadahi calon perseorangan presiden di dalam undang-undang. DPD perlu memahami, bahwa jurisdiksi/wilayah kewenangan untuk membentuk undang-undang itu berada ditangan DPR dan presiden. Ketika MPR dibelah (cleaving ) terdiri dari DPR dan DPD, kesempatan bagi DPD untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 terkait pasal calon perseorangan presiden. DPD perlu menghitung dengan cermat, berhasil atau tidaknya usulan perubahan UUD 1945, agar tidak terperosok ke dalam lubang kedua kalinya. Jika dihitung secara realistis, keinginan DPD untuk amandemen UUD 1945, itu sulit diwujudkan, mengingat, jumlah anggota DPD itu hanya 132, kurang dari 1/3 minimal usulan perubahan konstitusi dari jumlah 692 anggota MPR. Tahapan berat berikutnya yang harus dilalui, adalah persyaratan kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, putusan perubahan UUD 1945 itu harus disetujui lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR. Mekanisme perubahan UUD 1945 seperti ini, akan sulit ditembus DPD mengingat jumlah
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
45
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
anggota DPD itu tidak proporsional dengan jumlah anggota DPR. Marilah kita menyimak dengan saksama kutipan Ir. Soekarno berikut ini: “Saya insyaf sedalam-dalamnya, bahwa panitia rancangan itu jauh dari sempurna, memang kami hanya manusia belaka dan juga bukan ahli. Oleh karna itu kami mengakui betul-betul bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang UndangUndang Dasar yang bersifat supel. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan zaman. Maka oleh karena itu, saya menguatkan pendirian Panitia perancang, bahwa inilah sebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yang menghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kita telah membikin gentlement-agreement. Rancangan Undang-Undang Dasar ini adalah satu penghormatan kepada gentlement-agreement. (diucapkan oleh Ir. Soekarno pada sidang kedua Rapat Besar BPUPKI tangga1 15 Juli 1945). Kutipan Ir. Soekarno di atas dapat dijadikan pembelajaran amat berharga dalam ketatanegaraan saat ini. Betapapun hebat dan ulungnya Soekarno, beliau memiliki kerendahan hati mengakui bahwa rancangan UUD 1945 yang telah diperbuatnya adalah hasil karya manusia biasa, ditinjau dari aspek filosofis, tidaklah pernah akan lengkap apalagi mencapai tingkat kesempurnaan, sehingga di dalam Pasal 37 UUD 1945 diberikan ruang untuk dapat dirubah sesuai dengan perkembangan zamannya, mengingat dinamika hukum itu akan senantiasa hidup di masyarakat (living law). Jadi masih ada ruang untuk amandemen
Warsito
UUD 1945, apakah DPD dibubarkan atau dipertahankan dengan diberi wewenang. Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan prinsip yang mendasari bangunan parlemen Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 berkembang dari anutan prinsip supremasi parlemen dan pembagian kekuasaan (distribution of power) ke prinsip pemisahan kekuasaan (sparation of power) dan “check and balances”. Sejak perubahan pertama UUD 1945 MPR tidak dapat lagi disebut sebagai lembaga tertinggi Negara yang mempunyai kedudukan paling tinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga lainnya. Di bidang legislatif terdapat tiga institusi, yaitu MPR, DPR, dan DPD, ditambah dengan BPK yang juga berfungsi sebagai instrumen kontrol di bidang keuangan Negara. Di bidang yudikatif, terdapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung disertai Komisi Yudisial yang berfungsi dalam rangka rekruitmen hakim dan kontrol atas integritas dan kehormatan para hakim dengan kemungkinan mengusulkan pemberhentian mereka. Sedangkan di bidang eksekutif, terdapat jabatan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai satu kesatuan institusi kepresidenan. Lembaga-lembaga yang menyandang ketiga cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif tersebut di atas, diletakkan diatas basis pengaturan yang sederajat satu sama lain, dan mempunyai hubungan yang saling mengandalkan satu sama lain dalam rangka menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan demokrasi. Masih menurut Jimly, MPR sebelumnya dianggap merupakan penjelamaan seluruh rakyat, dan karena itu sistem rekruitmen anggotanya ditentukan berlapis-lapis dengan mengendalikan tiga
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
46
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
pilar perwakilan, yaitu melalui prosedur perwakilan politik (Political representation), utusan daerah (perwakilan daerah = regional representation), dan utusan golongan (perwakilan fungsional = functional representation). Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena itu, (1) hakekat perwakilan daerah pada DPD dan hakekat perwakilan rakyat pada DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakekat perwakilan daerah dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur rekruitmenya. Calon DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan oleh partai politik. (3) Karena hakekat DPD terkait erat dengan kepentingan daerah, maka fungsi-fungsi yang dimilikinya seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi pertimbangan dikaitkan secara khusus dengan kepentingan daerah atau berkenaan dengan hal-hal yang mempunyai sangkut paut langsung dengan kepentingan daerah.5 Dewan Perwakilan Daerah yang dilahirkan melalui perubahan UUD 1945, justru menjadi problematika sendiri di dalam konstitusi. Kehadirannya tidak diberikan kewenangan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan kembali perubahan kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaannya dalam rangka menyempurnakan sistem ketatanegaraan agar dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (check and balances) antar lembaga-lembaga negara. Dewan Perwakil5
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 116
Warsito
an Daerah analoginya anak lahir kondisi sudah “teramputasi”. Keberadaannya hanya sebatas memberikan pertimbangan dan pendapat kepada DPR mengenai rancangan undang-undang bidang tertentu. Dengan peran dan fungsi yang terbatas itu sulit bagi DPD menjalankan tugas konstitusionalnya secara maksimal. Menurut Komisi Konstitusi, karena wewenang DPR berbeda dengan wewenang DPD, maka restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bicameral itu hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipelogi unikameral atau bicameral. Tetapi restrukturisasi dan rekonstruksi ini sudah bermasalah sejak awal karena yang dihasilkan adalah ‘parlemen asimetrik’, dalam hal sistem pemilihan, jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga (kamar) mekanisme pengambilan putusan dan hubungan inter-kameral pada umumnya. DPD menjadi pihak minoritas dalam pengambilan putusan. Akibatnya, pelembagaan perwakilan wilayah (spatial representation), baik pada tingkat konstitusi maupun legislasi, tidak dengan sendirinya meningkatkan watak keterwakilan daerah. Sikap Kenegarawanan MPR tidak perlu ragu untuk melakukan perubahan kembali UUD 1945. Sikap kenegarawanan seperti yang diperagakan oleh Ir. Soekarno perlu dimiliki seluruh anggota MPR, beliau memiliki kesadaran dan kejujuran yang tinggi bahwa rumusan konstitusi yang pernah disusun oleh timnya tidaklah pernah akan lengkap apalagi sempurna karena yang merumuskan hanyalah manusia-manusia biasa. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR selama empat kali sejak 1999-2002, diakui banyak kemajuan dicapai oleh perumus perubahan UUD 1945. Salah satu gebrakan MPR
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
47
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
adalah dapat diselenggarakannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang diatur di dalam konstitusi. Hasil amandemen, UUD 1945 juga dapat secara tegas membatasi kekuasaan kepala negara maksimal dua kali masa jabatan agar tidak terjadi a buse of power. Dengan kemajuan konstitusi itu, maka konstitusi hasil amandemen jauh lebih baik ketimbang sebelum dilakukan perubahan. Namun hasil perubahan UUD 1945 tersebut tidak dimungkiri juga terdapat berbagai macam permasalahan (baca: itu kekurangan MPR). Salah satu kelemahan itu adalah MPR melahirkan lembaga DPD tetapi tidak memberinya kewenangan. MPR sudah tepat menghapuskan DPA karena tidak berfungsi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, tetapi di sisi lain MPR membarter melahirkan lembaga DPD yang secara substansi mempunyai fungsi dan tugas sama saja dengan DPA. Sifat pertimbangan kedua lembaga negara itu sama-sama tidak memiliki implikasi yuridis, artinya apabila pertimbangan itu tidak dilaksanakan, tidak ada konsekuensi yuridis dampak yang ditimbulkan akibat dari pertimbangan tersebut. Jika eksistensi DPD tetap ingin dipertahankan sebagai lembaga negara (baca: legislatif murni), maka DPD harus diberi kewenangan turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Layaknya sebuah lembaga negara dilahirkan keberadaannya tidak hanya diberi kewenangan, tetapi juga diharapkan untuk mendatangkan kemasalahatan umat. Semua lembagalembaga negara yang ada diberikan kewenangan oleh konstitusi kecuali DPD, maka itu produk DPD menjadi tidak bernilai (meaningless). Selain melahirkan DPD tidak memberikan kewenangan, MPR juga tidak konsisten dengan lima kesepakatan
Warsito
dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I yang membidangi amandemen. Salah satu kesepakatan itu adalah “Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal”. Berkaitan dengan kesepakatan dasar itu maka pasal 7C UUD 1945 yang menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”, adalah rumusan yang tidak tepat. Seharusnya rumusan yang tepat adalah presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD. Rumusan Pasal 7C UUD 1945 itu sangat membahayakan konstitusi karena berpeluang menimbulkan interpretasi bahwa presiden itu dapat membubarkan DPD. MPR tidak belajar dari kasus presiden Adurrahman Wahid yang telah memberikan maklumat membekukan MPR/DPR 23 Juli 2001 sehingga diturunkan MPR melalui Sidang Istimewa. Boleh jadi alasan pembekuan MPR/DPR oleh Abdurrahman Wahid mengingat tidak ada larangan di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi hanya diatur di dalam penjelasan. Sekalipun wewenang MPR telah direduksi, antara lain tidak berwenang mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden), kenyataannya DPD masih lebih lemah ketimbang MPR. MPR masih memiliki wewenang yang kuat yaitu, dapat mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; juga dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Hal lain kewenangan MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking), dalam hal: Menetapkan Wapres menjadi Presiden; memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres; memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
48
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Untuk Apa DPD? Editorial Media Indonesia 29/12/ 2007 berjudul ‘Kesetaraan DPR dan DPD’ mengajak kita semua untuk kontemplatif sejenak mengenai keberadaan DPD. Dalam Editorial tersebut menyatakan bahwa ‘ada dan tiadanya lembaga DPD ini tidak menggenapkan, juga tidak mengganjilkan’, sebab konstitusi memberikan kewenangan terbatas. Pertanyaannya, untuk apa lembaga DPD ini dilahirkan jika keberadaannya tidak bermanfaat?. Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi manfaatnya tidak ada, produknya meaningless (tidak memiliki arti). Lembaga ini wewenangnya dipasung oleh konstitusi tidak dapat membuat produk dalam bentuk regelling (bersifat mengatur) maupun beschikking (berupa penetapan). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga ‘Pengawasan yang disampaikan DPD itu kemudian masuk keranjang sampah DPR’. (Editorial Media Indonesia 29/12-2007). Dengan peran dan fungsi yang serba terbatas itu, ada distansi (jarak) yang jauh antara wewenang DPR dengan DPD diberikan oleh konstitusi. Namun keterbatasan wewenang DPD itu, tidak boleh dijadikan alasan DPD untuk mereduksi kelembagaanya sendiri. DPD dapat melakukan terobosanterobosan politik amelioratif (memperbaiki kinerjanya) untuk merebut hati rakyat, asalkan kegiatan itu tidak
Warsito
melanggar ketentuan konstitusi. DPD adalah lembaga negara yang dilahirkan antifisial (percobaan). Oleh karenanya, harus ada upaya untuk merekonstruksi dan meredefinisi kelembagaan DPD kembali agar sesuai dengan paham demokrasi. Dapatkah Presiden Membubarkan DPD? Pemasungan DPD tidak terbatas mengenai nihilnya wewenang yang dimiliki. Pemasungan kewenangan kepada DPD sudah diatur sedemikian sistemik di dalam konstitusi. Yang lebih membahayakan lagi konstitusi memberikan ruang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Mari kita memerhatikan dan menyimak dengan sungguh-sungguh Pasal 7C UUD 1945: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’. Rumusan UUD demikian itu secara hukum, memberikan peluang kepada presiden untuk membubarkan DPD. Hal itu dapat terjadi jika sewaktu-waktu ada konflik sengketa lembaga negara antara presiden dengan DPD. Rumusan konstitusi yang tepat semestinya adalah: ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD’. Penambahan kata ‘dan DPD’ tersebut, dimaksudkan untuk memberikan ketegasan kepada presiden untuk tidak membubarkan DPD selain dilarang membubarkan DPR. Hal lain, agar rumusan UUD 1945 dan consensus lima kesepakatan dasar yang dicapai oleh fraksi-fraksi MPR melalui Panitia Ad Hoc I membidangi amandemen dapat berjalan konkordan. Salah satu kesepakatan dasar itu adalah: ‘Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal yang bersifat normatif dimasukkan kedalam pasal-pasal.’ Kini, UUD 1945 pasca amandemen, tidak memiliki penjelasan lagi, mengingat hal-hal yang bersifat normatif antara lain mengenai
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
49
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
larangan pembubaran parlemen oleh presiden telah dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Ironisnya, pasal yang mengancam eksistensi DPD tersebut, tidak pernah diajukan keberatan oleh DPD. DPD terpaku merubah UUD 1945 secara parsial hanya terkait penguatan kelembagaannya. Dibubarkan Atau Dipertahankan Sejak 1 Oktober 2004 anggota DPD dilantik, sudah hampir limabelas tahun keberadaan lembaga DPD terbentuk. Mari kita merefleksi sejenak keberadaan lembaga ini. Apakah lembaga ini sebenarnya bermanfaat untuk rakyat atau tidak?. Jangan biarkan lembaga DPD ini hanya bekerja memenuhi ketentuan: Konstitusi; UU. MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD); dan Peraturan Tata Tertib DPD, tetapi produknya tidak bernilai (meaningless). Apabila keberadaan DPD dibuat sebagai lembaga konsolasi (hiburan) dalam sistem ketatanegaraan, maka lebih baik lembaga DPD ini dibubarkan saja. Sebaliknya, jika MPR memilih mempertahankan keberadaan DPD, maka, konsekuensinya lembaga ini harus diperkuat melalui amandemen Pasal 22D UUD 1945. Kesimpulannya, MPR tidak boleh melahirkan lembaga Negara setengah hati atau mengambang seperti DPD. Tuan-tuan anggota MPR, mengapa membuat UUD mudah ketinggalan zaman dan cepat usang (verourded)?. Ketahuilah bahwa, ratusan milyar uang rakyat telah tersedot untuk kegiatan operasional anggota DPD dan Sekretariat Jenderalnya, tetapi mengapa tuantuan melahirkan DPD ini tidak bermanfaat untuk rakyat?. Marilah memerhatikan dengan saksama tugas DPD (bukan kewenangan) di dalam Pasal 22D UUD 1945 yang hanya ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pem-
Warsito
bentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan hanya bersifat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Fungsi DPD jika dikaji secara mendalam, sama sekali tidak ada gunanya, karena aspirasi rakyat akhirnya bermuara ditangan DPR. Jika begitu, mengapa tidak langsung menyampaikan aspirasi rakyat kepada DPR saja?. Keberadaan DPD saat ini hanya bersifat komplementer (pelengkap) dalam sistem ketatanegaraan. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya agar sejajar dan kuat dengan DPR. Adapun Mekanisme Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah diatur secara jelas dan tegas didalam konstitusi. Berdasarkan Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) Usul perubahan Pasal-Pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah 692 anggota MPR (DPR 560, DPD 132). Jadi 1/3 nya 692 anggota MPR adalah 230 sebagai syarat usulan perubahan konstitusi untuk diagendakan dalam sidang MPR. Ayat (2) untuk mengubah PasalPasal UUD 1945 kourum sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR (692x2/3)= 461 anggota MPR. Apabila kourum sebagaimana dimaksud telah terpenuhi, maka sidang majelis dapat diteruskan dan dapat mengambil keputusan untuk merubah/tidaknya UUD 1945. Sebaliknya apabila kourum kehadiran tidak terpenuhi, maka sidang majelis tidak dapat diteruskan, dengan sendirinya
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
50
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
sidang majelis tidak dapat mengambil keputusan. Disni pentingnya kourum kehadiran 2/3 dari jumlah anggota majelis agar sidang majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 tetap dapat dilaksanakan. Ayat (3) apabila kourum telah terpenuhi, maka, untuk dapat mengubah UUD 1945, dibutuhkan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR (692:2+1) dibutuhkan jumlah 347 anggota MPR untuk amandemen konstitusi. Apabila ternyata dalam sidang majelis nanti 50%+1 anggota MPR menyetujui usulan materi amandemen UUD 1945 untuk membubarkan DPD, maka tamatlah riwayat DPD. Jika sebaliknya, sidang majelis mengagendakan penguatan DPD, maka DPD menjadi lembaga negara strong bicameralisme sejajar dengan DPR turut pengambilan keputusan dalam bidang legislasi. Tetapi permasalahannya memperkuat DPD akan berdampak kepada Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: ’Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ini artinya apabila amandemen tersebut disetujui maka, presiden dalam membentuk undang-undang bukan hanya memerlukan persetujuan dari DPR saja, tetapi juga wajib memerlukan persetujuan dari DPD. Pertemuan antara DPR dengan DPD untuk membentuk undang-undang tidak sadar telah membentuk cluster bernama MPR sebagai joint session (sidang gabungan antara DPR dengan DPD). Hal lain penguatan DPD akan mengacaukan Pasal 3 UUD 1945 mengenai tugas dan kewenangan MPR yang bukan sebagai pembentuk undang-undang. Sedangkan kewenangan MPR itu antara lain, menetapkan dan merubah UUD 1945. Seperti itulah
Warsito
gambarannya, jika MPR membubarkan atau memperkuat kelembagaan DPD akan berdampak kepada pasal-pasal konstitusi yang lain. MPR sebelum melakukan perubahan UUD 1945 terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1983 tentang Referendum, karena dianggap tidak senafas dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD 1945. Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Referendum tersebut menyatakan bahwa: “Apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk merubah UndangUndang Dasar 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Referendum tersebut justru mempermudah mekansime perubahan konstitusi itu sendiri sekaligus sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat. Perubahan UUD 1945 yang diserahkan sepenuhnya kepada MPR menjadikan MPR tidak cermat ketika merubah UUD 1945, tercermin dengan sikap menyetujui usulan perubahan UUD, kemudian sesaat secara sepihak menarik dukungannya kembali. Ketetapan MPR tentang referendum tersebut sayangnya telah dicabut berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/ 2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Jika Tap MPR tentang Referendum belum dicabut sudah dipastikan rakyat akan memilih membubarkan DPD. Sebenarnya Ketetapan MPR tentang referendum tersebut tidak perlu dicabut, karena fungsinya sebagai supporting atau ruh daripada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tentang mekanisme perubahan UUD. Referendum tersebut dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keinginan rakyat peduli terhadap konstitusinya sendiri. Dengan demikian maka, fungsi rakyat itu
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
51
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
benar-benar diposisikan sebagai pemegang kedaulatan sepenuhnya, seperti tercermin dalam pemilihan presiden dan/atau wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Mengapa perubahan konstitusi itu tidak menyertakan partisipasi rakyat?. Referendum tidak akan menghalangi atau menghilangkan essensi dari makna konstitusi sebagai staatfundamentalnorm (norma dasar) suatu negara. Lex superior derogat legi inferiori, Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berkali-kali penulis menyampaikan melalui media masa, bahwa Dewan Perwakilan Daerah saat ini kelembagaannya hanya dijadikan accessories di dalam sistem ketatanegaraan, karena perikatan pokok konstitusi sebenarnya adalah DPR yang mempunyai kekuatan penuh di parlemen. DPD yang dilahirkan dari amandemen konstitusi, kini protes meminta amandemen untuk penguatan kelembagaannya. Jika DPD kuat, dalam batas penalaran logis, kewenangan DPR menjadi dimadu bersama DPD dalam pertarungan legislasi. Penting dipertanyakan, relakah DPR memberikan persetujuan amandemen kelima UUD 1945 untuk memperkuat kelembagaan DPD?. Setiap anggota mejelis dituntut senantiasa mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan penuh rasa tanggungjawab, mengubur dalam-dalam kepentingan pribadi, kelompok maupun partainya. Seorang negarawan/tidaknya tercermin dalam sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan dalam bentuk produk konstitusi yang dihasilkannya, apakah di dalam konstitusi tersebut hukum yang determinan, ataukah sebaliknya, politik yang dikedepankan. Apabila, jawabannya hukum yang determinan terhadap politik, maka,
Warsito
konstitusi tersebut dijamin akan menjadi hukum yang hidup (living law) yang akan memberikan jaminan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sebaliknya, apabila politik yang lebih determinan terhadap hukum, maka cepat atau lambat langsung atau tidak langsung, konstitusi itu pasti akan ketinggalan zaman dan mudah lapuk (verourderd). Rumusan konstitusi yang baik di suatu negara pembuatannya haruslah mengedepankan aspek juridis, tetapi tidak mengesampingkan dari sudut pandang filosofis, sosiologis, historis dan politis. Dibutuhkan sikap kenegarawanan oleh MPR, bahwa rumusan Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 itu ada pemasungan terhadap kelembagaan DPD yang sudah terstruktur sedemikian sistemik. Lihat Pasal 22C yang menyatakan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR, ini rumusan yang tidak tepat. Kemudian Pasal 37 UUD 1945, yang menyatakan bahwa untuk merubah UUD 1945 harus diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan, jumlah anggota DPD itu saat ini hanya 132 orang, tidak ada 1/3-nya dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Contoh lain, Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Muatan konstitusi ini sangat berbahaya sekali, karena membuka peluang terjadinya interpretasi hukum presiden dapat membubarkan DPD. Seharusnya rumusan konstitusi yang tepat adalah “presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR dan DPD”. Kini Dewan Perwakilan Daerah telah berjuang keras untuk melakukan amandemen kelima UUD tetapi belum berhasil. Demi terciptanya suatu ketatanegaraan yang baik, maka tidak ada
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
52
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
pilihan lain memilih, apakah DPD dipertahankan diberi kewenangan ataukah dibubarkan saja. Penggalangan dukungan amandemen yang telah dilakukan dengan susah payah oleh DPD, dipermainkan dengan cara menarik dukungannya kembali. DPD hanya pasrah tidak berdaya atas penarikan dukungan ini, karena tidak ada sanksi atau ketentuan yang mengatur secara tegas didalam perjanjian yang dibuat oleh DPD. Celakanya lagi, DPD hanya giat melakukan pengumpulan dukungan amandemen dalam bentuk tanda tangan anggota majelis, perjanjian tidak dibuat selayaknya sebuah perjanjian yang berisi asas konsensualitas (asas kesepakatan) yang mengikat sebagai peraturan yang wajib ditaati, dan tidak boleh ditarik kembali oleh salah satu pihak. Suatu perjanjian tidak hanya secara tegas didasarkan kepada undang-undang, tetapi juga menyangkut norma-norma kepatutan dan kebiasaan. Upaya terakhir yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Daerah saat ini hanyalah bisa bisa bekera keras merapat DPR, agar kelembagaannya tidak mati muda dibubarkan. Masih ada kesempatan bagi Dewan Perwakilan Daerah meyakinkan rakyat, bahwa amandemen kelima yang diusung oleh DPD bukan hanya semata-mata untuk kepentingan DPD, tetapi lebih daripada itu sebagai pengabdian anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. C. PENUTUP DPD yang dilahirkan tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, menyisakan permasalahan bagi DPD. Majelis dapat mengagendakan perubahan UUD 1945 untuk
Warsito
memperkuat atau membubarkan DPD. Kedudukan DPD sebagai lembaga Negara sederajat dengan kepresidenan, DPR. DPD, MK, MA, BPK, KY, tetapi belum optimal menjalankan fungsi saling mengimbangi dan saling mengontrol antar lembaga-lembaga Negara. Fungsi DPD terbatas hanya legislasi, pertimbangan dan pengawasan, menjadikan produk DPD tidak memiliki arti. DPD tidak ikut memutuskan UU, meski DPD diikutkan pembahasan rancangan UU tertentu, tetapi lembaga ini tidak turutserta dalam pengambilan keputusan legislasi. Selama ini, DPD sebagai lembaga Negara tidak berdaya jika berhadapan dengan DPR yang memiliki kekuatan penuh di parlemen. Jika MPR masih melihat fungsi DPD berperan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan DPD harus diperkuat di dalam UUD 1945. MPR harus mengevaluasi keberadaan DPD selama ini, apakah bermanfaat atau tidak. Melihat DPD yang dilahirkan tidak diberikan kewenangan sedikit pun oleh konstitusi, MPR harus segera mengadakan sidang Majelis dengan agenda perubahan UUD 1945 untuk memperkuat atau membubarkan DPD. Ada dua pilihan bagi MPR, yang pertama, jika DPD dipertahankan berikan kewenangan seperti layaknya lembaga-lembaga negara lain. Kedua, jika DPD terus dibiarkan sebagai pelengkap penderita, lebih baik dibubarkan saja. Tetapi jika MPR tetap tidak mengambil keputusan dari kedua opsi tersebut, maka Presiden atas nama konstitusi dapat saja membubarkan DPD dengan mengacu ketentuan Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan: ”Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”. Rumusan konstitusi ini dapat di interpretasikan bahwa tidak ada larangan Presiden untuk membubarkan DPD.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
53
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Kedudukan DPD memang lembaga Negara yang sederajat dengan kepresidenan, DPR. DPD, MK, MA, BPK, KY tetapi karena tidak diberikan kewenangan, DPD tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal melakukan kegiatan saling mengimbangi dan saling mengontrol antar lembaga-lembaga Negara. Karena fungsi DPD sebatas legislasi, pertimbangan dan pengawasan tentu produk DPD tidak memiliki arti. DPD tidak ikut memutuskan UU, meski DPD diikutsertakan pembahasan rancangan UU tertentu, tetapi lembaga ini tidak turut serta dalam pengambilan keputusan di bidang legislasi. Ini artinya konstitusi melahirkan DPD tidak konsisten karena hanya sebagai lembaga komplementer belaka. MPR harus melakukan langkahlangkah terobosan melihat DPD yang tidak berdaya ini, MPR perlu mengevaluasi keberadaan DPD. Hanya ada dua opsi mempertahankan atau membubarkan DPD. Jika MPR masih melihat DPD berperan dan berfungsi dalam sistem ketatanegaraan, maka kewenangan DPD harus diperkuat di dalam UUD 1945. Sebaliknya, Jika DPD sudah tidak memiliki arti, maka MPR jangan ragu-ragu untuk segera membubarkan. D. DAFTAR PUSTAKA Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 sesudah empat kali diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia,2003. Assiddiqie, Jimly. Pergumulan Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. cet. 1. Jakarta: Universitas Indonesia, 1966.
Warsito
Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. cet. 1. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Admosudirdjo, Prajudi. Konstitusi Indonesia Seri Konstitusi dalam Bahasa Indonesia-Inggris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987. Buyung Nasution, Adnan. Asprasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995). Indriati S., Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan (1) Jenis Fungsi dan Materi Muatan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. Indriati S., Maria Farida. Eksistensi Ketetapan MPR Pasca Amandemen UUD 1945. Yuridika. Vol. 20 No. 1, JanuariFebruari 2005. Indrayana Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, diterjemahkan dari Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reformn 1999-2000: An Evaluation of ContitutionalMaking Transtition. Bandung: Penerbit Mizan, 2007.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
54
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Joeniarto. Ilmu Hukum Tata Negara dan sumber-sumber Hukum Tata Negara. Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1968. Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011. Marzuki, Laica. Dari Timur ke Barat Memandu Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. (Studi SosioLegal atas Konstituante 1956-1959), Jakarta: Temprint, 2001. Projodikoro Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1989. Soemantri M, Sri. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1993.
Panduan
Memasyarakatkan UndangUndang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.
Panduan Sosialisasi Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004. PERATURAN AN Indonesia.
PERUNDANG-UNDANG-
Undang-Undang 1945.
Dasar
___________.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 1/MPR/ 2003, Tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. ___________. Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.10, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389. __________.
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni, 1987. Thaib,
Warsito
Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No.12, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
Dahlan; Jazim Hamidi; dan Ni’matul Huda. Teori dan Hukum Konstitusi. Cet. 3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
55
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 2, Juli 2015
Warsito
JURNAL _________. Jurnal Ilmiah Hukum Negara Hukum Jurnal, (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR-RI , 2011), Volume 2 No. 2, Nopember 2011. _________. Bahan Tayang Materi Sosialisasi Pancasila Sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk Negara, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI,2014). _________.UUD 1945 Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:(Sekretariat Jenderal MPR:2004). Hal. 116
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
56