RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 54/PUU-XV/2017 Remisi bagi Narapidana Korupsi I. PEMOHON Suryadharma Ali, Otto Cornelis Kaligis, Irman Gusman, Barnabas Suebu, dan Waryono Karno Kuasa Hukum Afrian Bonjol, S.H., LL.M., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 31 Juli 2017 II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU 12/1995) III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: -
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
-
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
-
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
-
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, “Dalam hal 1
suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang saat ini adalah warga binaan yang sedang menjalankan vonis hukuman atas perkara tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 (1) “Narapidana berhak: i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)” B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3. Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa salah satu wujud pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah adanya pemberian remisi terhadap narapidana yang telah memenuhi kriteria 2
yang diatur dalam Undang-Undang. Pada prinsipnya remisi (pengurangan masa hukuman) itu adalah sarana hukum yang berwujud hak yang diberikan oleh
undang-undang
kepada
narapidana.
Sehingga
dalam
perkembangannya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan bersamaan dengan diundangkannya UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan, maka usaha untuk mewujudkan suatu system pemasyarakatan dengan pembinaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 semakin mantap dan kokoh. Sejalan dengan masalah remisi terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, khususnya narapidana perkara korupsi yang telah diputus dalam sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat kemudian menjadi warga binaan lembaga pemasyarakatan, secara hukum masih mempunyai hak untuk memperoleh pengurangan masa tahanan atau remisi. Seiring dengan diundangkannya UU 12/1995, pemberian remisi terhadap seorang narapidana termasuk dalam hal ini narapidana perkara korupsi juga sudah sejalan dengan prinsip negara hukum modern yang tetap mengedepankan nilai-nilai kodrati manusia atau hak-hak azasi manusia; 2. Bahwa tindak pidana korupsi tidaklah dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang mengidentikan pada suatu kejahatan yang akut dan berpotensi mengganggu sistem keamanan negara dalam perspektif kejahatan lintas negara transnasional. Tetapi penjelasan Undang– Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU 30/2002) dikatakan bahwa “... pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa tetapi dituntut dengan cara – cara yang luar biasa”; 3. Bahwa dari penjelasan UU 30/2002 tersebut pada kenyataannya dikaburkan makna dari pelaksanaan atas rangkaian penegakan hukumnya yang berakhir dengan tata cara pemberian remisi. Bahwa kehadiran PP 99/2012 dalam bagian konsiderans telah memaksakan secara letterlecht vertaling bahwa tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sehingga kekeliruan 3
pemerintah dalam menggambungkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa adalah bertentangan dengan Undang–Undang HAM; 4. Bahwa secara konseptual dan yuridis keberadaan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 hak konstitusional para pemohon yang dijamin UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang berkeadilan certainty)
(fair legal
sepanjang tidak dimaknai pemberian remisi berlaku juga untuk
narapidana korupsi. Tafsir demikian dalam putusan MK Nomor 49/PUUVIII/2010 sejalan dengan putusan MK atas permohon Yusril Ihza Mahendara mengenai kepastian hukum atas jabatan Jaksa Agung menurut tafsir Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik
Indonesia dan Keputusan Presiden; 5. Bahwa kalaupun keberadaan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 dipandang perlu
untuk
dipertahankan,
maka
harus
diberikan
penafsiran
yang
konstitusional, yaitu dengan menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai pemberian remisi berlaku juga untuk narapidana korupsi. Sehingga pemberian remisi tidak dibatasi untuk narapidana korupsi dalam cakupan yang sempit yang berujung pada kerugian konstitusional bagi para Pemohon. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatanbertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknaipemberian remisi berlaku juga untuk narapidana korupsi; 3. Menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatantidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknaipemberian remisi berlaku juga untuk narapidana korupsi:
4
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia; Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
5