UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI SISTEM PEMASYARAKATAN
TESIS
WIDYA PUSPA RINI SOEWARNO 1006789665
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2012
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI SISTEM PEMASYARAKATAN
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
WIDYA PUSPA RINI SOEWARNO 1006789665
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA JAKARTA JUNI 2012
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari pelbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, atas pemberian beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Badan Diklat Kejaksaan R.I. selaku penyelenggara program ini;
2.
Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa, SH., MH selaku pembimbing dalam penulisan tesis ini;
3.
Bapak Prof. H. Mardjono Reksodiputro, SH., MA selaku Ketua Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus selaku ketua sidang/penguji;
4.
Ibu Dr. Surastini Fitriasih, SH.MH selaku penguji;
5.
Yang terhormat para pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
6.
Yang terhormat para narasumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga informasi yang diberikan menjadi amal jariyah sebagai ilmu yang bermanfaat bagi perbaikan pemenuhan hak-hak narapidana dimasa mendatang.
7.
Yang tercinta kedua orang tua penulis, Kolonel Inf.H.Soewarno B (Alm) dan Hj.Endang Herwiyati,BA (Alm). Walaupun sudah tidak berada disisi penulis, papa dan mama selalu menjadi semangat dan inspirasi dalam penyelesaian tesis ini. Tesis ini penulis persembahkan khusus untuk keduanya. Alhamdulillaah janji ini telah terpenuhi.
8.
Untuk kakakku Agung Himawan Sutanto,SE dan adikku Wenny Puspa Sari,ST dan iparku Ainuddin Rosihan Akbar,SE.MM serta keluarga besar Muhammad Amari yang tidak henti-
iv Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
hentinya menyayangi, mendoakan dan memberikan dukungan moril dan materiil demi kelancaran studi ini; 9.
Akhsanu Imaduddin,ST untuk semangat, dorongan, kasih sayang dan doanya kepada penulis.
10. Endang Tirtana, SH.MH atas sumbangan ide dalam penulisan tesis ini. 11. Teman-teman kelas Sistem Peradilan Pidana (SPP) Angkatan 2010 khususnya dari Kejaksaan serta teman-teman di Pusdiklat Kejaksaan RI untuk kebersamaannya selama ini.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 11 Juni 2012
Widya Puspa Rini Soewarno
Begitu indah Allah telah mengatur hidupku,
v Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
ABSTRAK Konsepsi Sahardjo tentang pemasyarakatan merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses dan tujuan pemidanaan di Indonesia dengan masa sebelumnya, yaitu sejak masa penjajahan Belanda dan masa Indonesia merdeka tahun 1945 hingga awal 1963. Secara filosofis pemasyarakatan merupakan sistem yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif, Detterence dan Resosialisasi. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi Reintegrasi sosial yang berasumsi bahwa kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi). Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan manusiawi melalui hak-hak terpidana. Remisi merupakan salah satu hak narapidana yang diatur dalam Pasal 14 huruf-i Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan namun dari hasil penelitian penulis terjadi pergeseran baik dari pengertian, kriteria maupun tujuan dari remisi.Terlebih terhadap narapidana tindak pidana korupsi,penulis melihat adanya deskriminasi terhadap pemberian hak-hak terhadapnya. Hal ini tidak lagi sejalan dengan asas pemasyarakatan yaitu asas pengayoman dan asas persamaan perlakuan dan pelayanan. Ketidakjelasan aturan remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi serta lemahnya pengawasan menjadikan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak narapidana pada umumnya serta narapidana tindak pidana korupsi pada khususnya.Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana tindak pidana korupsi untuk diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum karena narapidana tindak pidana korupsi adalah warga negara yang perlu diayomi walaupun telah melakukan pelanggaran hukum. Penghukuman bukan berarti pencabutan hak-hak yang melekat pada dirinya. Penulis melihat masih kurangnya perhatian sekaligus perlindungan hukum terhadap hak-hak narapidana, hal yang sangat berbeda dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan atau terdakwa karena KUHAP dengan segala ketidaksempurnaan yang masih terkandung didalamnya, telah sangat jauh mengurangi kesewenang-wenangan yang dimungkinkan proses peradilan pidana di bawah HIR. Demi terjaminnya perlindungan atas hak-hak narapidana tindak pidana korupsi maka menurut penulis diperlukan pemberdayaan kembali fungsi Hakim Pengawas dan Pengamat sebagaimana amanat KUHAP. Reposisi Balai Pertimbangan Pemasyarakatan untuk diarahkan sebagai cikal bakal lahirnya suatu badan baru misalnya dalam bentuk Komisi Pemasyarakatan agar fungsi check and balances dapat lebih efektif serta pemberdayaan akan pentingnya Pengawasan masyarakat. Kehadiran instrumen atau perangkat yang mengatur tentang bagaimana keterlibatan masyarakat seperti media, lembaga non pemerintahan (LSM) dan perorangan dalam melakukan kontrol atau pengawasan pada tiap UPT Pemasyarakatan sangat mendesak untuk diwujudkan sehingga proses pembinaan dan pelayanan pada tiap UPT Pemasyarakatan terhadap narapidana dapat berjalan secara optimal. Kata Kunci : Remisi, Sistem Pemasyarakatan
vii Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
ABSTRACT Sahardjo conceptions are the momentum that distinguishes correctional philosophy, process and purpose of punishment in Indonesia with the previous period, ie since the Dutch colonial period and the period of Indonesia's independence in 1945 until early 1963. Philosophically correctional system is already moving far left retributive philosophy, Detterence and Resocialization. Correctional facilities in line with the philosophy of the social reintegration assume that crime is a conflict between the convict with the community so that criminal prosecution is intended to restore conflict or convict reunite with his society (reintegration). Correctional show commitment in the effort to change the condition of prisoners through the coaching process and treat the human rights of prisoners through. Remission is one of the prisoners' rights provided for in Article 14 letter-i of Act No. 12 of 1995 on Corrections, but the authors of the study there was a shift from understanding, and purpose of the remission criteria. Especially to inmates of corruption seen any discrimination against granting the rights to it. It is no longer in line with the principle of stewardship is the principle and the principle of equal treatment shelter and services. Remission to the prisoners' lack of clarity of rules of corruption and weak oversight made the lack of protection for the rights of prisoners in general and prisoners of corruption in particular. The need to question the rights of prisoners of corruption to be recognized and protected by law and law enforcement corruption cases because inmates are citizens who need to be protected although has violated the law. Punishment does not mean deprivation of rights attached to him. The author sees is the lack of attention as well as legal protection of the rights of prisoners, it is very different from the protection of the rights of suspects or accused because of the Criminal Procedure Code and with all the imperfections that still contained in it, was very much reduces the possible arbitrariness of the criminal justice process under HIR. For ensuring the protection of the rights of prisoners of corruption it is necessary according to the authors re-empowerment of the institution of monitoring and controlling Judges functions as mandated by the Criminal Procedure Code. Consideration repositioning Correctional Center to be directed as a forerunner to the birth of a new entity instance in the form of the Commission of Corrections for checks and balances to function more effectively as well as the empowerment of the importance of community supervision. The presence of an instrument or device that regulates how community involvement such as media, non governmental organizations and individuals in the control or supervision at each UPT Correctional very urgent to be realized so that the process of coaching and service to each of the Correctional Unit inmates to run optimally. Key words : Remission, Penitentiary System
viii Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ................................................... ........ 1.2 Rumusan Masalah ................................................................ ...... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................... 1.5 Kerangka Teori ........................................................................... 1.6 Kerangka Konsepsional .............................................................. 1.7 Metode Penelitian ........................................................................ 1.8 Sistematikan Penulisan ............................................................... PIDANA DAN SISTEM PEMASYARAKATAN 2.1 Pemidanaan .................................................................................. 2.1.1 Pengertian ........................................................................... 2.1.2 Tujuan Pemidanaan ............................................................ 2.1.3 Pemberian Sanksi Pidana ................................................... 2.2 Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari SPP.................... 2.3 Remisi ......................................................................................... 2.3.1 Jenis-jenis Remisi .............................................................. 2.3.2 Besaran Remisi........................................................... ....... 2.3.2.1 Remisi Umum ....................................................... 2.3.2.2 Remisi Khusus....................................................... 2.3.2.3 Remisi Tambahan ................................................. 2.3.2.4 Remisi Khusus Yang Tertunda.............................. 2.3.3 Penghitungan Masa Pidana sebagai Dasar Pemberian Remisi................................................................................ 2.3.4 Pengecualian Pemberian Remisi........................................ 2.3.5 Prosedur Pengajuan Remisi ............................................... 2.3.6 Akibat Hukum Diberikannya Remisi................................. 2.4 Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) ....................................... 2.5 Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) ............................... 2.6 Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat)......................
01 06 08 09 09 14 16 19
19 21 23 32 45 59 66 68 68 69 70 72 72 73 73 76 77 83 85
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Remisi Narapidana Tindak Pidana Korupsi ……….................... 95 3.1.1 Remisi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Sistem Pemasyarakatan ..................................................... 120 3.1.2 Remisi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia .......................................... 125 3.2 Pengawasan Pemberian Remisi Narapidana Tindak Pidana Korupsi ....................................................................................... 126 ix Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
3.2.1 Pengawasan Internal .......................................................... 135 3.2.2 Pengawasan Eksternal .................................................... ... 140 3.2.2.1 Peran Serta Masyarakat ...................................... 140 3.3.2.2 Hakim Pengawas dan Pengamat ......................... 145 3.3.2.3 Judicial Control................................................... 150 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan .................................................................................. 4.2 Saran ...........................................................................................
149 151
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Surat Edaran Nomor E.PS.01.10-15 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 28 tahun 2006 terkait Remisi. 2. Surat Edaran Nomor PAS-HM.01.02-42 tanggal 31 Oktober 2011 tentang Moratorium Pemberian Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme. 3. Surat Edaran Nomor PAS-PK 01.01.02-171 tanggal 16 Desember 2011 tentang Pengusulan Pemberian Remisi Bagi Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana Sebagaimana Diatur dalam Pasal 34 Ayat (3) PP Nomor 28 tahun 2006 terkait Kebijakan Pengetatan Remisi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
x Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan Sistem pemasyarakatan bagi masyarakat saat ini lebih identik dengan “ penjara” walaupun dalam kenyataannya tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Secara filosofis, pemasyarakatan pada saat ini sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi pembalasan (retributif), penjeraan (deterance) maupun resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat jera pelaku dengan pemberian penderitaan, tidak pula ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dan masyarakat sehingga pemidanaan lebih ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan terpidana dengan masyarakat1. Pandangan ini paling tidak sejalan dengan perkembangan yang terjadi yaitu semakin banyaknya pihak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan. Menurut R.M Jackson misalnya sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief2 mengungkapkan bahwa pidana penjara termasuk jenis pidana yang relatif kurang efektif. Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana yang dikemukakan olehnya, angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali (reconviction rate) bagi orang yang
1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.OT.02.02 tahun 2009 tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. 2 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Genta Publishing 2010, hlm. 44.
1 Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
2
pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia si pelaku. Reconviction rate yang tertinggi terlihat pada anak-anak yang mencapai 50% sementara untuk mereka yang pernah di pidana, angka tertinggi terlihat pada mereka yang berumur 21 tahun ke bawah yaitu mencapai 70%. Lebih ditegaskan lagi oleh Jackson bahwa reconviction rate tersebut menjadi lebih tinggi lagi setelah orang di jatuhi pidana penjara daripada pidana bukan penjara. Di samping masalah efektivitas yang menjadi perdebatan, sering pula dipersoalkan tentang akibat-akibat negatif dari pidana penjara. Kritik terhadap akibat negatif yang sering di lontarkan pada umumnya menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif tersebut antara lain terampasnya kehidupan seksual yang normal dari seseorang, dengan terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya kemerdekaan berusaha dari orang tersebut yang dapat mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Terlebih pidana penjara itu dikatakan dapat memberikan cap jahat (stigma) yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan. Tak jarang bagi sebagian narapidana, kata penjara merupakan singkatan dari Penderitaan jiwa raga. Kritikan yang cukup menarik dilihat dari sudut pandang politik kriminal yaitu orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara terutama apabila pidana penjara dikenakan kepada anakanak atau para remaja. Pemaknaan sebagian narapidan bahwa penjara adalah Sekolah Tinggi Teknik Kejahatan (STTK) atau Lembaga Pengetahuan Ilmu Kriminal (LPIK) karena memang terjadi transfer pengetahuan antara narapidana satu dengan yang lainnya3. Senada dengan hal tersebut Koesnoen berpendapat bahwa suatu politik perbaikan narapidana yang mengandung sifat pemidanaan dan pembalasan tidak lagi
mendapatkan
sambutan.
Rehabilitasi
narapidana
dalam
suasana
3
Sugeng Puji Leksono, Suara Hati dari Balik Terali Besi, Setetes Asa dari Lowokwaroe Anno 1918, Fisip UMM, 2010 hlm. xxxii
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
3
perikemanusiaan telah menjadi tujuan pasti dari tiap politik kepenjaraan4.Konsep pemidanaan yang hanya berorientasi kepada penghukuman atau pembalasan (punishment philosophy) telah mulai ditinggalkan dan konsep baru yang dianut adalah konsep
pembinaan atau rehabilitasi (treatment philosophy). Undang-
Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan menegaskan sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana melalui proses pembinaan dan memperlakukan secara manusiawi melalui perlindungan terhadap hak–hak terpidana. Komitmen ini pun secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 dimana Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a. b. c. d. e. f. g.
Pengayoman; Persamaan perlakuan dan pelayanan; Pendidikan; Pembimbingan; Penghormatan harkat dan martabat manusia; Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Perlindungan terhadap hak-hak narapidana sendiri mendapat pengaturan
lebih lanjut dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu : a. b. c. d. e. f.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ; Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ; Mendapatkan pendidikan dan pengajaran ; Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; Menyampaikan keluhan ; Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
4
Ibid hlm. 45
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
4
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tahun 2003 menyebutkan bahwa untuk mengatasi kondisi LAPAS yang sebagian besar dalam keadaan over kapasitas maka perlu dilakukan perombakan dalam sistem pemidanaan. Penambahan alternatif pemidanaan lain di samping pidana penjara dapat menjadi titik tolak dalam mengatasi over kapasitas sebagian besar LAPAS di Indonesia. Langkah selanjutnya adalah dengan mengefektifkan pemberian hakhak narapidana yaitu remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku5. Pemberian remisi diharapkan pula akan lebih memotivasi narapidana untuk selalu berkelakuan baik dalam rangka mempercepat proses reintegrasi sosial dan secara psikologis pemberian remisi dapat membantu menekan tingkat frustasi sehingga dapat mereduksi gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas. Secara lebih rinci pengaturan tentang hak narapidana berupa remisi terdapat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 174 tahun 1999 yang mengatur tentang Jenis-jenis remisi berikut besarannya6. Namun,dari peraturan 5
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, Ringkasan Hasil Pengkajian Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia tahun 2003 hlm. 10 6 Pasal 2 menyebutkan remisi terdiri atas : a. Remisi Umum adalah remisi yang diberikan pada Hari Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. b. Remisi Khusus adalah remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika sesuatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
5
perundang-undangan yang mengatur tentang Remisi terlihat adanya perbedaan dalam mendefinisikan berkelakuan baik sebagai syarat untuk perolehan remisi, berbuat jasa terhadap negara, maupun melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan. Terjadinya perbedaan definisi tersebut menunjukkan bahwa peraturan dibuat secara tumpang tindih dan tidak terdapat keselarasan. Sebagai contoh, istilah berbuat jasa terhadap negara maupun melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan di dalam berbagai peraturan itu hanya mencantumkan contoh-contoh perbuatan dan tidak ditentukan definisi yang tegas. Kondisi yang demikian ini menimbulkan berbagai penafsiran pada tataran implementasi peraturan yang pada akhimya dapat menjadi celah bagi petugas terkait untuk menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya. Terkait dengan masalah remisi ini, beberapa waktu terakhir ini ramai deberitakan di media massa tentang kebijakan yang diambil oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang moratorium remisi terhadap terpidana teroris dan korupsi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menunda pemberian pembebasan bersyarat kepada terpidana perkara Pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, Paskah Suzetta dan kawan-kawan. Menurut Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kebijakan untuk mengkaji pemberian remisi terhadap terpidana teroris dan korupsi karena menganggap kedua kejahatan itu sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga efek jeranya harus di tingkatkan7. Selain itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin, sempat melontarkan wacana bahwa hukuman minimal bagi tahanan koruptor adalah lima tahun penjara. Wacana itu keluar akibat hukuman bagi koruptor saat ini yang dapat dibilang sangat ringan, yaitu hanya dalam hitungan bulan penjara. Menurut Denny, hukuman minimal lima tahun itu tujuannya untuk mengirimkan pesan bahwa korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga hukumannya juga harus mengirimkan pesan kejeraan. Efek jera menurutnya, diberikan agar sesuai dengan keadilan di tengah masyarakat. 7
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/10/30 diakses pada 06 November 2011
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
6
Terhadap kebijakan moratorium remisi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini mendapat tanggapan beragam. Salah satu pendapat dilontarkan oleh Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada pemerintahan Presiden BJ Habibie, Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan kebijakan tersebut sebagai suatu pelanggaran hukum dan tidak sepatutnya terjadi dalam negara yang menganut asas hukum. Yusril menjelaskan sesuai dengan Undang-Undang Pemasyarakatan serta keputusan turunannya, dengan tegas mengatur tentang pemberian remisi kepada koruptor dan teroris. Hanya memang, disebutkan pemberian bebas bersyarat, baru dapat dilakukan setelah menjalani sepertiga dari masa hukuman8.
1.2
Rumusan Masalah
Remisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf- i Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan hak yang diberikan terhadap narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana. Apabila dikaitkan dengan ilmu psikologi, remisi mempunyai hubungan dengan rangsangan dan tingkah laku balasannya sebagaimana dikemukakan oleh seorang psikolog Amerika Serikat, B. Watson (1878-1958)9 dengan Stimulus Response Theory. Ia mengungkapkan bahwa setiap tingkah laku pada hakekatnya merupakan tanggapan atau respon terhadap rangsangan (stimulus). Apabila rangsangan yang diberikan memberikan akibat yang positif atau memberikan ganjaran (rewarding) maka tingkah laku balas terhadap rangsangan tersebut juga akan positif dan akan diulangi. Namun sebaliknya, bila rangsang memberikan akibat negatif (berupa punishment) maka hubungan rangsang itu akan dihindari. Begitupula dengan remisi, paling tidak dapat dijadikan stimulus untuk mengurangi
gangguan
keamanan
dan
ketertiban
di
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan Negara. 8 9
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/11/01 diakses pada 06 November 2011 Sugeng Puji Leksono, Op.cit, hlm. xxviii
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
7
Kebijakan moratorium pemberian remisi terhadap terpidana korupsi dan terorisme oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan alasan keduanya sebagai extra ordinary crime mendapat tanggapan beragam. Menjadi sesuatu yang menarik sebagaimana yang pernah diuraikan oleh Thomas Moore (1478-1535), tuntutan pidana dan pemidanaan belaka tidak akan memberantas kejahatan. Dalam 25 tahun ada 72.000 pencuri di gantung di daerah yang penduduknya tiga sampai empat juta orang saja tetapi kejahatan terus saja merajalela. Menurutnya, untuk dapat memberantas kejahatan harus dicari sebab dan menghapuskannya10. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut sehubungan dengan kebijakan pemberian remisi khususnya terhadap narapidana tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Permasalahan utama tersebut diperinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan pemasyarakatan di Indonesia? 2. Bagaimanakah prosedur dan pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi ? 3. Bagaimanakah kebijakan pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi ditinjau dari prinsip sistem pemasyarakatan ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimanakah kebijakan pemasyarakatan di Indonesia. 2. Mengetahui bagaimana pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi. 3. Mengetahui kebijakan pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi ditinjau dari prinsip pemasyarakatan.
10
W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, terjemahan R. A Koesnoen, PT Pembangunan Jakarta 1977 hlm. 46
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
8
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat dari segi teoritis/akademis maupun praktis, yaitu: 1. Manfaat dari segi teoritis/akademis, dapat memberi masukan kepada pemerintah dan legislatif selaku pemegang kebijakan untuk mengkaji ulang aturan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi sesuai denga tujuan awal pemasyarakatan. 2. Manfaat dari segi praktis, dapat memberi masukan kepada pihak terkait yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat untuk lebih memaksimalkan peran dan fungsinya demi perlindungan hak-hak narapidana pada umumnya dan narapidan tindak pidana korupsi pada khususnya serta lebih mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk turut serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
1.5
Kerangka Teori Roscoe Pound mendasarkan basis ideologi teorinya pada pragmatisme Amerika tentang keseimbangan kepentingan. Menurutnya, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Disinilah kemudian muncul teori Pound tentang Law as a tool of Social Engeneering. Secara sistematis Pound mengemukakan 6 langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan hukum sebagai sarana perubahan sosial11, yaitu : 1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum. 2. Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan undang-undang untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang di timbulkan untuk kemudian dijalankan. 3. Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif.
11
Pendapat Roscoe Pound sebagaimana dikutip oleh Satjopto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, dalam Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing 2010 hlm. 163
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
9
4. Memperhatikan sejarah hukum, artinya mempelajari efek sosial yang di timbulkan oleh ajaran-ajaran hukum pada masa lalu dan bagaimana cara menimbulkannya. Studi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana hukum pada masa lalu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi dan psikologis dan bagaimana ia menyesuaikan diri pada kesemuanya itu dan seberapa jauh kita dapat mendasarkan atau mengabaikan hukum itu guna mencapai hasil yang kita inginkan. 5. Pentingnya melakukan penyelesaian individu bukan berdasarkan peraturan hukum semata. 6. Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum dapat tercapai. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan12 sedangkan tujuannya adalah
melakukan
resosialisasi
dan
rehabilitasi
pelaku
tindak
pidana,
pengendalian dan pencegahan kejahatan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana itu terdiri dari empat sub
sistem
yaitu:
Kepolisian,
Kejaksaan,
Pengadilan,
dan
Lembaga
Pemasyarakatan. Sistem ini bekerja untuk melakukan penyidikan, penuntutan sampai penentuan bersalah tidaknya seseorang oleh Hakim dan pelaksanaan pidana penjara13. Dari pengertian dan tujuan sistem peradilan pidana tersebut, dapat dikatakan, bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, maka dibutuhkan proses panjang dan selektif serta adil karena harus menjunjung tinggi hak-hak setiap warga negara. Begitu juga dengan tujuan yang hendak dicapai dari sistem peradilan pidana yang di dalamnya terkandung pidana penjara14. Dengan demikian, pidana di dalam hukum pidana tidak dapat dihindarkan adanya dalam masyarakat, walaupun harus diakui, bahwa pemidanaan merupakan akhir dari
12
Ibid, hlm. 84 Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Ind Hill Co, Jakarta 2008, hlm. 23. 14 Ibid, hlm. 23-24. 13
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
10
puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat15. Mengenai pemidanaan, Muladi berpendapat sebagai berikut : “Pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat di capai apabila tujuan dan theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran berdasarkan proinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana16. Pemidanaan sebagai suatu rangkaian dari sistem Peradilan Pidana menurutnya terdiri atas 17: a. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yaitu pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (criminal policy), c. Tujuan jangka panjang yaitu apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy). Terhadap pelaksanaan pemidanaan, Andi Hamzah berpendapat : “ Pemidanaan hendaknya selalu mengingat pada pedoman penegakkan hak asasi manusia karena bagaimanapun pelaku kejahatan adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat pada dirinya maka terhadap mereka perlu diperlakukan sebagaimana manusia yang lain yang mempunyai hak-hak asasi sebagaimana mestinya”18. Bertolak dari pandangan Dr. Sahardjo, SH tentang hukum sebagai pengayoman, beliau beranggapan bahwa narapidana bukan orang hukuman 15 16 17 18
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 1. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung 1985, hlm. 49 Ibid Andi Hamzah, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1993hlm.45
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
11
melainkan orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan malalui bimbingan. Hal ini membuka jalan perlakuan narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Dengan konsep pemasyarakatan tersebut Dr. Sahardjo tidak ingin lagi melihat kenyataan kehidupan orang-orang hukuman seperti pada masa kolonial. Buruknya perlakuan terhadap orang-orang hukuman pulalah yang mendasari hingga saat ia menjadi Menteri Kehakiman pada tahun 1963 dan mengemukakan idenya tentang pemasyarakatan narapidana. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan cara sistem pemayarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina19. Perkembangan pembaharuan pidana dan pemidanaan saat ini memasuki era baru dari reaksi pemidanaan (punitive reactions) ke arah konsep reaksi pembinaan (treatment reactions)20.Amanat Presiden Republik Indonesia menyampaikan arti penting terhadap pembaharuan pidana penjara di Indonesia yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Pada konferensi Lembaga tahun 1964 dirumuskan 10 prinsip untuk pembimbingan dan pembinaan
dalam sistem
pemasyarakatan, yaitu : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat 2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat di capai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada saat sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus di kenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh di asingkan dari masyarakat.
19
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama Bandung 2006, hlm. 99 20 Bambang Purnomo, Kapita Selecta Hukum Pidana, Liberty Yogyakarta, 1984 hlm. 4
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
12
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara. 7. Bimbingan dan didikan harus berlandaskan azas Pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia penjahat. 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. 10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana untuk diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum karena narapidana adalah warga negara yang perlu di ayomi walaupun telah melakukan pelanggaran hukum. Penghukuman bukan berarti pencabutan hak-hak yang melekat pada dirinya. Penulis melihat masih kurangnya perlindungan hukum terhadap hak-hak narapidana, hal yang sangat berbeda dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan atau terdakwa. Sebut saja sebelumnya hanya terdapat HIR (1941), yang kemudian terjadi kesepakatan dalam Seminar Hukum Nasional Kedua (1968) untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi (dasar) para tersangka yang beberapa tahun kemudian perlu didiskusikan melalui berbagai Pertemuan Cibogo dan berakhir dengan lahirnya KUHAP pada akhir tahun 1981. KUHAP, dengan segala ketidaksempurnaan yang masih terkandung didalamnya, telah sangat jauh (setidak-tidaknya dalam tulisan) mengurangi kesewenang-wenangan yang dimungkinkan proses peradilan pidana di bawah HIR21.
1.6
Kerangka Konsepsional Untuk menyamakan persepsi mengenai istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, maka berikut ini diberikan arti dari istilahistilah dan pengertian yang bersangkutan:
21
Mardjono Reksodiputro, Peran dan Tanggungjawab Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Hak-Hak Yang Menurut Hukum Dimiliki Narapidana,dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 65
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
13
1. Pidana adalah reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu22. 2. Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana23. 3. Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan24. 4. Pembebasan Bersyarat (selanjutnya disebut PB), adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan25. 5. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang di bina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab26. 6. Unit
Pelaksana
Teknis
Pemasyarakatan
(selanjutnya
disebut
UPT
Pemasyarakatan), adalah unit yang melaksanakan kegiatan pemasyarakatan di bidang pembinaan, pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Perawatan Tahanan yang terdiri atas: Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Balai 22
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987 op.cit hlm. 9. M. Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 42. 24 Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3846. 25 Penjelasan Pasal 14 Huruf-k Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor. 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614. 26 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor. 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614. 23
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
14
Pemasyarakatan (Bapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau cabang rutan27. 7. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut BPP), adalah suatu badan penasehat Menteri yang bersifat non struktural28 di bidang pemasyarakatan dan bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan29. 8. Tim Pengamat Pemasyarakatan (selanjutnya disebut TPP) adalah Tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan30. 9. Terpidana adalah seorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap31. 10. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan32.
1.7
Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian Untuk menemukan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini, maka digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif
yang berupaya untuk menguraikan dan memaparkan hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang hendak dibahas. 27
Pasal 1 Angka 3 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 2003 28 Penjelasan Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor. 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614. 29 Pasal 1 Ayat (1) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 30 Pasal 1 Ayat (2) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 31 Pasal 1 Angka-6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor. 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614. 32 Pasal 1 Angka-7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor. 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
15
2.
Pendekatan masalah Sehubungan dengan type penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan undang-undang ini dilakukan untuk meneliti aturan mengenai hak terpidana berupa remisi. Pendekatan analitis dan pendekatan kasus dilakukan untuk menganalisis hak terpidana untuk memperoleh remisi.
3.
Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian yaitu data primer dan data sekunder. a. Data primer Data primer diperoleh melalui studi lapangan (field research). b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka (documentary research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mencari berbagai konsepsi, teori-teori, asas-asas, doktrin-doktrin
dan
berbagai
dokumen
yang
berhubungan
dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Data sekunder terdiri dari bahan-bahan hukum yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu: Meliputi semua peraturan yang berkaitan dengan hak-hak terpidana serta lembaga pemasyarakatan, baik berupa rancangan dan lain-lainya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu: Meliputi kepustakaan hukum, artikel, makalah dan lain-lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu: Meliputi kamus, catatan perkuliahan dan lain sebagainya. 4. Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih sebagai tempat untuk melakukan penelitian dalam rangka menjawab permasalahan ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Wirogunan D.I Yogyakarta. Adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah karena terdapat 16 orang narapidana tindak pidana korupsi yang berasal dari
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
16
Anggota DPRD D.I Yogyakarta masa bakti 1999-2004 yang tersandung masalah dana purna bakti. Pemilihan lokasi ini sekaligus untuk melihat fungsi hakim wasmat terhadap pemberian remisi terpidana korupsiTeknik Pengumpulan Data a. Wawancara Dalam rangka memperoleh data primer dan sebagai konfirmasi terhadap data sekunder, maka dilakukan studi lapangan (field research). Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara mendalam persepsi serta pendapat responden mengenai hak terpidana khususnya tentang remisi. Studi lapangan ini dilakukan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada informan. Adapun Informan-informan yang mempunyai keterkaitan dengan pokok bahasan penelitian ini terdiri atas: 1. UPT Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wiragunan D.I Yogyakarta ; 2. Hakim Pengawas dan Pengamat Pengadilan Negeri D.I Yogyakarta ; 3. Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan D.I Yogyakarta ; 4. Akademisi, yaitu : - Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, SH dari FH. Universitas Indonesia, - Prof.H.Mardjono Reksodiputro,SH,MA dari FH.Universitas Indonesia, - Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH.MH dari FH. Universitas Indonesia, - Prof.Dr.Eddy O.S Hiariej,SH. M.Hum dari FH. Universitas Gajahmada Yogyakarta dan - Sigid Trianto, SH.Msi dari FH. Universitas Gajahmada Yogyakarta. 5. Praktisi, yaitu Samsul Hadi, SH.M.Sc, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi D.I Yogyakarta. 6. Narapidana korupsi ; Beberapa informan sengaja tidak penulis ungkap identitasnya lebih jauh (baik nama maupun inisial) atas permintaan pribadi informan guna menjaga privasi serta untuk menghindari kemungkinan terjadinya intimidasi di kemudian hari atas informasi yang telah diberikan kepada penulis.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
17
b. Studi dokumen Dengan metode ini akan dikumpulkan berbagai bahan hukum beserta catatan dan laporan data lainnya yang terdapat pada berbagai institusi tempat penelitian ini dilakukan. Pengumpulan tersebut meliputi berbagai peraturan dan literatur yang berkaitan dengan Lembaga Pemasyarakatan dan pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi. 5. Analisis Data Keseluruhan data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
1.8
Sistematika Penulisan Peneliti membagi sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan. Peneliti menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian serta sistematika penelitian.
Bab II
Pidana dan Sistem Pemasyarakatan. Pada bab ini akan dibahas sekilas mengenai pemidanaan, sistem pemasyarakatan serta peranan Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub sistem peradilan pidana serta hal-hal seputar Remisi baik pengertian, dasar hukum, jenis dan prosedur pemberian remisi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian remisi tersebut.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Penulis membahas tentang hasil penelitian tentang proses pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidana korupsi serta langkah-langkah
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
18
yang dilakukan oleh pihak terkait dalam pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi. Bab IV Kesimpulan. Pada bab terakhir terdiri atas kesimpulan dan saran-saran bagi pihak terkait guna meningkatkan efesiensi dan efektivitas pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
19
BAB II PIDANA DAN SISTEM PEMASYARAKATAN
2.1
Pemidanaan
2.1.1 Pengertian Berbicara mengenai pidana tentu tidak akan terlepas dari perkataan pidana itu sendiri. Menurut Prof. Van Hamel33, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah : “ Een bijzonder leed, tegenden overtreder van een door den staat gehandhaafd rechttsvoorsschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtbedeeling belaste gezag uit te spreken”(Artinya : Suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah di jatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab ketertiban umum bagi seorang pelanggar yaitu semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus di tegakkan oleh negara). Sementara Prof. Simons34 mengartikan pidana atau straf sebagai : “Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnist wordt opgelegd”.(Artinya : Suatu penderitaaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah di jatuhkan bagi seseorang yang bersalah). Algra-Janssen35 merumuskan pidana atau straf sebagai : “Het middle waarmee de overheid (rechter) degene die een ontoelaatbare handeling pleegt terechtwijst of tot de orde roept. Deze reactive van de overheid op zijn handeling ontneemt de gestrsfte een deel van de bescherming die hij, als hij geen delict gepleegd zou hebben, genlet t.a.v zijn leven, zijn vrijheid, zijn vermogen”.(Artinya : Alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana)”. 33
Van Hamel, Inleiding hal. 444 dalam P.F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, SinarGrafika Jakarta, 2010 hlm.33 34 Simons, Leerboek I hal. 372, ibid 35 Algra-Jansssen, Elementair Strafrecht hlm. 59, ibid hlm. 34
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
20
Terhadap tiga rumusan mengenai pidana tersebut diatas menurut Lamintang dapat diketahui bahwa pidana sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti pula bahwa pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya, hal ini perlu di jelaskan agar di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berfikir dari para penulis di Negeri Belanda karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berfikir dari para penulis Belanda dengan secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel de straft sebagai tujuan dari pidana padahal yang dimaksud dengan perkataan doel de straft sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan36. Hal yang senada dikemukakan pula oleh Sudarto yang menyatakan pemidanaan adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Dikatakan bahwa “penghukuman” berasal dari kata dasar hukum. Sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukum
atau
memutuskan
tentang
hukumnya
(berechten).
“Menetapkan Hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja akan tetapi juga hukum perdata. Selanjutnya Sudarto mengemukakan bahwa istilah “penghukuman” dapat disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam arti yang demikian menurut Sudarto, mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “voorwaardelijk veroordeeld” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”. Akhirnya Sudarto mengemukakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan “straf” namun menurut beliau istilah “pidana” lebih baik dari pada “hukuman”37.
36 37
Ibid Sudarto, Kapita Selecta Hukum Pidana, Alumni Bandung, 2006 hlm. 71
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
21
2.1.2 Tujuan Pemidanaan Pemikiran tentang tujuan dari suatu pemidanaan dewasa ini sedikit banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran para pemikir atau penulis masa lalu. Pada dasarnya menurut Lamintang terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat di perbaiki lagi. Para penganut mazhab hukum alam (natuurrechts-school) pada umumnya mencari dasar dari pemidanaan pada pengertian hukum yang berlaku umum. Mereka yang memandang negara sebagai suatu penjelmaan dari kehendak manusia, telah mencari dasar pembenaran dari pemidanaan pada kehendak individu. Metode tersebut telah dipergunakan antara lain oleh Hugo de Groot, yang untuk memperoleh penjelasan tentang apa sebabnya seorang pelaku harus dipandang layak untuk menerima akibat dari perbuatannya telah melihat pada kehendak alam, yaitu barang siapa telah melakukan sesuatu yang bersifat jahat, maka sudah selayaknya apabila ia juga diperlakukan secara jahat. Pengikutpengikut Hugo de Groot sebagai penganut dari mazhab hukum alam telah berusaha untuk mencari dasar pembenar pidana dari pada asas-asas hukum yang berlaku umum38.Sebagaimana yang dilakukan Rousseau, mencari dasar pembenar dari pidana pada teorinya mengenai Contract Social, bahwa hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum (individu dan kelompok) yang hidup teratur dalam sistem politik negara. Hukum adalah wujud volonte generale (kemauan umum) sehingga berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi. Dan untuk memastikan suatu aturan hukum benarbenar mencerminkan volonte generale, Rousseau mensyaratkan perlu adanya 38
P.F Lamintang, op,cit hlm. 12
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
22
badan legislasi yang merupakan representasi rakyat namun badan tersebut tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa kontrol karena bagaimanapun volonte de corps (kepentingan
golongan
tertentu)
dan
volonte
particuliere
(kepentingan
39
perorangan) selalu menghantui setiap kekuasaan . Sedangkan Beccaria mencari dasar pembenar pada kehendak bebas (free will) dari warga negara yakni yang telah mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya kepada negara agar mereka memperoleh perlindungan dari negara dan dapat menikmati sebagian besar dari kebebasannya. Menurutnya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memungkinkan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hanya badan perundangundangan yang dapat menetapkan pidana yang juga harus dirumuskan secara tertulis dan tertutup bagi penafsiran oleh hakim. Undang-undang harus ditetapkan secara sama terhadap semua orang oleh karenanya tidak di mungkinkan pembelaan terhadap penjahat. Hakim semata-mata merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur40. Teori dari para penulis Jerman disebut teori absolut atau teori pembalasan (Vergeldings Theorien / Retributive) yang dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya kepada filsafat katolik. Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan.Pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana.
Setiap
kejahatan
harus
berakibat
dijatuhkan
pidana
kepada
41
pelanggar .Menurut Hegel sebagai tokoh penganut teori pembalasan yang terkenal misalnya menyatakan pidana merupakan keharusan logis sebagai 39
Charles H. Petterson, Western Pholosophy, Nabraska Vol.1, 1970 dalam Bernard L. Tanya, op.cit hlm. 88 40 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 2005, hlm. 30 41 Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010 hlm.45
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
23
konsekuensi dari adanya kejahatan. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkannya. Demi alasan itu pemidanaan dibenarkan secara moral. Variasi-variasi teori pembalasan diperinci oleh Leo Polak menjadi42 : 1) Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara (rechts macht of gezagshandhaving).Teori ini menggambarkan pidana sebagai paksaan belaka. Akibat teori ini siapa yang secara suka rela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut sebagai penderitaan. 2) Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie). Penganut teori ini adalah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang menyatakan apabila kejahatan tidak di balas dengan pidana maka akan menimbulkan perasaan tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika yaitu penjahat harus dipidana seimbang dengan penderitaan korbannya. Jadi, pidana merupakan suatu kompensasi dari penderitaan korban. Hazewinkel-Suringa menjelaskan bahwa perasaan hukum menjadi pangkal pendapat Herbart namun hal ini akan berbahaya menurut Hazewinkel-Suringa, karena semata-mata sentimen belaka pada rakyat tidak boleh menjadi dasar pidana. 3) Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtsfusreting en blaam). Penganut teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan berlakunya suatu kehendak subyektif yang bertentangan dengan hukum. Sejajar dengan teori Hegel adalah teori Von Bart yang menyatakan semakin besar kehendak menentang hukum maka semakin besar penghinaan yang di jatuhkan. Oleh sebab itu teori ini disebut dengan teori penghinaan atau reprobasi. 42
Ibid hlm. 46-48
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
24
4) Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhving
van
rechtsgelijkheid).Merupakan
teori
yang
pertama
kali
dikemukakan oleh Heymans yang kemudian diikuti oleh Kant, Rumelin, Nelson dan Kranenburg. Menurut teori ini, asas persamaan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. Kranenburg menunjukkan pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Mereka yang sanggup mengadakan syarat-syarat istimewa akan mendapatkan keuntungan dan kerugian yang istimewa pula. Keberatan terhadap teori pembalasan ini adalah pertama, teori ini tidak menerangkan mengapa negara harus menjatuhkan pidana dan kedua, seringkali pidana itu tanpa kegunaan yang praktis. 5) Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang
bertentangan
dengan
kesusilaan
(kering
van
onzedelijke
neigingsbevrediging).Teori ini dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan tetapi keperluan untuk membalas itu ditujukan kepada niat masing-masing orang. Niat-niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat diberi kepuasan namun sebaliknya, niatniat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh diberi kepuasan. Segala yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh di dapatkan orang. 6) Teori mengobyektifkan (objektiverings theorie). Teori ini dikenalkan oleh Polak sendiri yang berpangkal kepada etika. Menurut etika spinoza, tidak seorangpun boleh mendapatkan keuntungan karena suatu petidak seorangpun boleh mendapatkan keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya ( ne malis expeidiat esse malos). Menurut Leo Polak, pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
25
a) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif. b) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi. c) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Menurut Sudarto sekarang sudah tidak ada lagi penganut teori ajaran pembalasan yang klasik dalam artian bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Kalaupun masih terdapat penganut teori pembalasan, mereka sudah menganut teori pembalasan yang modern misalnya van Bemmelen, Pompe dan Enschede. Pembalasan disini bukanlah sebagai tujuan sendiri melainkan sebagai pembalasan dalam artian harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana. Maka dapat dikatakan ada asas pembalasan negatif dimana hakim hanya menetapkan batas-batas dari pidana. Pidana tidak boleh melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Menurut Van Bemmelen, bahwa untuk hukum pidana yang dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap meriupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana yakni
pemenuhan
keinginan
akan
pembalasan
(tegemoetkoming
aande
vergeldingsbehoefte). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada kehidupan masyarakat seharihari (prevensi special). Disamping itu, beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun43. Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan menganggap pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukab dalam arti tidak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan44. Sementara CHR. J. Enschede menganggap pembalasan sebagai 43 44
Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit hlm. 14-15 Ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
26
batas atas ( bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja ia berpendapat bahwa tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dari beratnya tindakan penguasa dalam lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas-batas pembalasan45. Terdapat pula teori tujuan atau teori relatif (verenigingstheorien) yakni teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana sematamata pada satu tujuan tertentu dimana tujuan tersebut dapat berupa46 : a. Tujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan, b. Tujuan untuk mencegah agarorang lain tidak melakukan kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda,menakutkan,memperbaiki atau membinasakan. Teori-teori ini berusaha mencari dasar pembenar dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu yang kemudian dibagi menjadi 2 (dua) macam teori, yaitu: a. Teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen) yang ingin dicapai dari tujuan pidana semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar tidak melakukan kejahatan. Bentuk tertua dari prevensi umum di praktekan sampai revolusi Perancis yang dilakukan dengan cara menakuti orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang di pertontonkan. Terkadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya supaya anggota masyarakat lain ngeri untuk melihatnya. Untuk itu terkenalah adagium Latin nemo prudens punit, quiq peccatum, sed net peccetur (supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum). Pada zaman Aufklarung, abad 18 pelaksanaan pidana yang kejam ini ditentang secara besarbesaran.Keberatan terhadap prevensi umum ini adalah karena dipergunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum bahkan ada kemungkinan
45 46
Ibid P.A.F Lamintang, op.cit hlm.15
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
27
orang yang tidak bersalah dipidana untuk dipergunakan demi maksud prevensi umum tersebut 47. b. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorieen). Dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) yang menyatakan bahwa tujuan prevensi khusus adalah untuk mencegah niat buruk pelaku (dader), mencegah pelanggar
mengulangi
melaksanakan
perbuatannya
perbuatan
jahat
yang
atau
mencegah
bakal pelanggar
direncanakannya.
Van
Hamel
menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah : 1) Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya. 2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. 3) Pidana harus mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin di perbaiki. 4) Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum48. Von Liszt menyebutkan hukum gunanya adalah untuk melindungi kepentingan hidup manusia yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan dan menetapkan batas-batas dari kepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang s atu dengan yang lain. Untuk melaksanakan fungsinya seperti itu, hukum telah menetapkan norma-norma yang harus di tegakkan oleh negara. Negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melanggar norma-norma tersebut. Menurut Listz, ancaman pidana sifatnya memperingatkan dan mempunyai sifat yang menjerakan sedangkan penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan semua warga masyarakat49. Kemudian teori gabungan antara pembalasan dan prevensi bervariasi pula. Ada yang menitikberatkan pembalasan namun ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Penitikberatan pada unsur pembalasan dianut oleh Pompe
yang menyatakan : “orang tidak boleh menutup mata pada
47 48 49
Andi Hamzah, op.cit, hlm.48-49. G.A van Hamel, Inleiding tot de studie van het Nederlandsche Strafrecht, 1929,hlm. 29, ibid P.F Lamintang, ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
28
pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan, artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu dan karena itu hanya akan di terapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum”50. Van Bammelen pun menganut teori gabungan dengan mengatakan: “pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat”. (diterjemahkan dari kutipan Oemar Seno Adji.1980). Grotius mengembangkan teori gabungan (verenigingstheorien) yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori yang dikemukakan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang menyatakan bahaawa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud
tiap-tiap
pidana
ialah
untu
melindungi
tata
hukum.
Pidana
mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana adalah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat. Teori gabungan ini memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat namun kurang banyak dibahas oleh para sarjana51. 2.1.3 Pemberian Sanksi Pidana Modernisasi serta pertumbuhan ekonomi yang tidak terencana telah menyebabkan meningkatnya kejahatan, tidak hanya berhubungan dengan 50 51
W.P.J Pompe, Handboek van het Ned. Strafrecht, 1959, hlm.8-9, ibid E. Utrecht, Hukum Pidana I, 1958, hlm. 186, ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
29
frekuensi kejahatan namun juga perubahan unsur-unsur perbuatannya yang memungkinkan menimbulkan jenis-jenis kejahatan atau tindak pidana baru. Usaha-usaha untuk mengurangi tingkat kejahatan menjadi sangat diperlukan karena kejahatan bukan hanya menimbulkan kerugian dan penderitaan tidak hanya bagi korban namun juga bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dan penderitaan bagi pelaku kejahatan yang di pidana itu sendiri. Untuk menghadapi hal tersebut diperlukan suatu kebijakan kriminal yang terdiri atas tahapan-tahapan, yaitu52 : 1) Tahapan penegakan hukum in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang yang disebut kebijakan legislatif sebagai tahap formulasi hukum. Tahapan ini dapat pula disebut sebagai tahap kebijakan legislatif. 2) Tahapan penegakan hukum in concreto pada penerapan hukum pidana oleh aparat peradilan pidana dari kepolisian sampai pengadilan yang disebut kebijakan yudikatif sebagai tahap aplikasi hukum. Tahapan ini disebut sebagai tahap yudikatif. 3) Tahap penegak hukum in concreto yaitu pada pelaksanaan pidana atau pidana penjara yang disebut sebagai kebijakan eksekutif atau administrasi eksekusi hukum. Tahapan ini merupakan pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Subyek hukum satu-satunya yang mempunyai hak untuk menghukum adalah negara (lembaga yudikatif). Menurut Utrecht, sesuatu yang tidak dapat di sangkal lagi adalah bahwa negara merupakan organisasi sosial yang tertinggi sehingga atas dasar kenyataan tersebut sangatlah logis apabila negara diberi tugas untuk mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi logis menjadi alat satu-satunya untuk dapat mempertahankan pergaulan hukum umum (algemene rechtsverkeer) dalam masyarakat. Hanya apabila hukuman itu dijatuhkan oleh negara sebagai organisasi sosial tertinggi maka kita mempunyai jaminan penuh bahwa hukuman sebagai alat yang paling 52
Barda Nawawi Arief , Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 2005 hlm. 54
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
30
kejam untuk mempertahankan tata tertib umum dijalankan secara seobjektifobjektifnya. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh negara untuk menjatuhkan hukuman maka persoalan yang juga esensial adalah dasar-dasar pembenar penjatuhan hukuman yang dalam lingkup hukum pidana akibatnya berupa nestapa atau penderitaan53. Diantara berbagai jenis pidana pokok yang dikenal, pidana hilang kemerdekaan berupa pidana penjara yang merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak di tetapkan dalam produk perundang-undangan pidana selama ini. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam menuangkan suatu kebijakan kenegaraan dan pemerintahan dalam suatu produk perundang-undangan, dikenal adanya materimateri yang bersifat khusus yang mutlak hanya dapat dituangkan dalam bentuk undang-undang.
Beberapa hal yang bersifat khusus tersebut diantaranya
misalnya54 : a. Pendelegasian kewenangan regulasi atau kewenangan untuk mengatur ( legislative delegation of rule making power) b. Tindakan pencabutan undang-undang yang ada sebelumnya; c. Perubahan ketentuan undang-undang ; d. Penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang- undang; e. Pengesahan suatu perjanjian internasional; f.
Penentuan mengenai pembebanan sanksi pidana dan
g. Penentuan kewenangan penyelidikan, penututan dan penjatuhan vonis.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi tidak terlepas dari tujuan negara untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sanksi pidana harus mempunyai konsep ganda. Dalam konsep yang demikian jelas tampak adanya kewajiban dari negara melalui perangkat yang dimilikinya untuk melindungi dan 53 54
E. Utrecht, op.cit hlm. 158 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta 2006 hal. 213.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
31
mensejahterakan masyarakat pada umumnya dari gangguan perbuatan-perbuatan yang merugikan dan dilain pihak melindungi pelaku kejahatan dengan cara memperbaiki atau memulihkan kembali dan mendidik dengan harapan pelaku kejahatan tersebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik saat kembali kedalam masyarakat. Bertolak dari pandangan yang demikian maka setiap kebijakan yang diambil untuk menghadapi masalah kejahatan dengan sanksi pidana penjara harus merupakan suatu usaha untuk perwujudan kearah tercapainya tujuan untuk mencari keseimbangan antara perlindungan kepentingan masyarakat di satu pihak dan kepentingan narapidana tersebut disisi lain. Dan kebijakan legislatif atau kebijakan formulasi merupakan tahap awal yang paling stategis dari keseluruhan prosees konkretisasi pidana. Namun penetapan kebijakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi tidak selamanya mencapai tujuan sebagaimana yang di harapkan. Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaharuan dan perbaikan baik yang bersifat praktis maupun teoritis untuk mengurangi daya laku dari pidana hilang kemerdekaan tetapi merupakan suatu kenyatan bahwa di satu pihak pidana pencabutan kemerdekaan akan tetap ada55 sekalipun mungkin namanya berbedabeda dan dilain pihak tanpa mengurangi penghargaan atas pembaharu-pembaharu pidana pencabutan kemerdekaan pada pidana pencabutan kemerdekaan tersebut akan melekat kerugian-kerugian yang kadang-kadang sulit untuk diatasi. Terhadap hal ini muncul berbagai pendapat diantaranya : Van Hamel56 sebagaimana dikutip oleh Lamintang berpendapat : a. Bahwa suatu pidana itu boleh saja tidak pernah kehilangan sifatnya sebagai alat untuk mendatangkan suatu penderitaan yang dapat dirasakan oleh seorang 55
Herman G. Moeller, The Correctional Institution in The Climate of Change, dalam UNAFEI, Resource Material Series No.14, Fuchu, Japan, 1968 hlm. 3. Barnes & Teeters, New Horizons in Criminology, 3rd Edition, Prentice Hall of India, New Delhi, 1966 hal. 584 dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 2005, hlm. 77 yang menyatakan “ we have taken the position throughout that prisons as we know then in our culture have failed in rehabilitation and, in fact, have been the instruments in hardening many of their victims in anti social attitudes. We are not prepared to abolish them all at this time, though we are convinced that the swing eventually be in that direction”. 56 Van Hamel, Inleiding hal. 450 dalam Lamintang, opcit. hlm. 53-54
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
32
terpidana, tetapi justru sifatnya yang seperti itulah yang harus dijaga agar jangan sampai memberikan arti yang berlebih-lebihan ataupun memberikan arti yang keliru karena tujuan yang ingin di capai dengan suatu pemidanaan itu seringkali dapat di capai dengan lain-lain tindakan yang sifatnya lebih ringan, hingga sudah sewajarnya apabila tindakaan ini mendapat prioritas untuk diambil. b. Bahwa suatu alat pemidanaan yang dianggap mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan itu karena sifat-sifatnya yang dapat mendatangkan kerugiankerugian secara khusus seringkali dianggap sebagai perlu untuk di kesampingkan. c. Bahwa sebagai suatu alat pemidanaan yang baik adalah suatu pidana yang mempunyai berbagai kemampuan untuk dapat mencapai tujuan dari pemidanaan dengan berbagai cara. d. Bahwa suatu pidana sesuai dengan sifat kualitatif dan kuantitatifnya harus memungkinkan bagi hakim untuk mempertimbangkan penjatuhannya dengan mempertimbangkan unsur kesalahan dan sifat-sifat yang melekat pada diri pribadi dari terpidana. e. Bahwa suatu alat pemidanaan karena sifatnya yang dapat diperbaiki harus sebanyak mungkin dapat memberikan kesempatan untuk membuat perbaikanperbaikan terhadap kemungkinan adanya kesalahan pada waktu hakim memutuskan perkaranya. f. Bahwa suatu alat pemidanaan harus dapat memberikan suatu kepastian bahwa pidana tersebut secara nyata memang dapat dijatuhkan oleh hakim dan bahwa pidana tersebut secara lahiriah memang tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat. g. Bahwa suatu pemidanaan hanya boleh menyangkut diri terpidana secara pribadi. h. Bahwa suatu pemidanaan tidak boleh mengakibatkan dirusaknya pribadi dari terpidana secara fisik karena hal tersebut adalah bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan dan bahwa suatu pidana yang
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
33
dapat mengakibatkan dihancurkannya pribadi dari terpidana secara zedelijk atau secara kesusilaan itu sama sekali tidak pernah boleh dijatuhkan oleh hakim. Terhadap pemberian sanksi pidana, Barda Nawawi Arif57 misalnya berpendapat bahwa: a. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana yang berinduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan zaman kolonial Belanda tidak sesuai dengan pandangan Bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila ; b. Meningkatnya kejahatan yang terjadi merupakan indikasi tidak tepatnya kebijakan pemidanaan yang selama ini di tempuh ; c. Kebijakan menetapkan pidana penjara yang berdasarkan pandangan hidup Bangsa Indonesia dapat memenuhi kebutuhan untuk menjamin keamanan masyarakat; d. Konkretisasi pidana merupakan suatu proses perwujudan kebijakan melalui beberapa tahap dan tahap kebijakan legislatif merupakan tahapan yang paling strategis dalam keseluruhan proses tersebut ; e. Tujuan politik kriminal dengan menggunakan sanksi pidana penjara akan dapat didekati dengan kebijakan perundang-undangan (kebijakan legislatif) yang dapat
menjamin
kelancaran
proses
konkretisasi
atau
mekanisme
penanggulangan kejahatan. Sementara Sudarto berpendapat 58: 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pemugaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 57 58
Barda Nawawi Arief, Op.cit hlm.8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977 hlm. 44
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
34
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau di tanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle). 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan bebas tugas (over belasting). Pendapat lain diungkapkan oleh Herman G. Moeller59 yang berpendapat bahwa ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai, kerugian-kerugian tersebut dapat bersifat filosofis dimana terdapat hal-hal yang saling bertentangan (ambivalence)yang antara lain adalah sebagai berikut : 1) Bahwa tujuan dari penjara, pertama adalah menjamin pengamanan narapidana dan kedua adalah memberikan kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi. 2) Bahwa hakekat dari fungsi penjara tersebut diatas seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga berupa ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat. Jadi, sekalipun penjara diusahakan untuk tumbuh sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan yang manusiawi, namun sifat aslinya sebagai lembaga untuk
melakukan tindakan pengamanan dan pengendalian
narapidana tidak dapat ditinggalkan demikian saja.
59
Ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
35
Buruknya kehidupan para hukuman pernah diungkapkan oleh Gary C. Walters dan Joan E. Grusec bahwa60 : “.. Punishment has been said to lead to a subsequent increase in aggressive behaviour, to lead to physical or physicological avoidance and punishment maybe capable of producing severe and chronic emotional disturbance” (Artinya:hukuman dapat mengakibatkan efek samping berupa peningkatan perilaku agresif, hambatan fisik dan psikologis serta dapat menghasilkan gangguan emosional kronis). Sementara Berner dan Teeters61 menyatakan penjara telah tumbuh sebagai tempat pencemaran (a place of contamination) yang justru oleh penyokongpenyokong penjara dicoba untuk di hindari sebab di tempat ini penjahat-penjahat kebetulan (accidental offenders), pendatang baru di dunia kejahatan (novinces in crime) dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini. Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek maka justru akan sangat merugikan sebab di samping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan yang tidak di kehendaki maka pidana penjara jangka pendek jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana di satu pihak dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut dengan stigmatisasi (stigmatization) atau cap jahat. Menurut Hoefnagels62 stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan masyarakat terhadap dirinya terganggu atau rusak.
Stigmatisasi
mungkin merupakan hasil dari peradilan, penghukuman dan penjara dari kejahatan sendiri sehingga stigma tersebut juga merupakan hasil daripada reaksireaksi. Stigma juga dapat terjadi melalui pihak ketiga dan dalam hal ini pers berperan besar di dalam stigmatisasi saat menyebut nama seseorang atau bahkan 60
Gary C. Walters and Joan E. Grusec, Punishment, University of Toronto, Freeman and Company, San Fransisco, 1977 hlm. 136 61 Bernes & Teeters, opcit. hlm. 584, ibid 62 Hoefnagels, The Other Side of Criminology, an Inversionof The Concept of Crime, KluwerDeventer, Holland hlm. 95-97, ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
36
hanya dengan menyebut huruf awal dari nama di dalam surat kabar. Secara psikologis stigmatisasi dapat menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana. Untuk beberapa kelompok pelaku tindak pidana, stigmatisasi terkadang lebih banyak menimbulkan penderitaan dan oleh karena itu lebih menakutkan daripada pengenaan pidananya sendiri karena publik mengetahui bahwa ia adalah seorang penjahat dengan segala akibatnya. Donald Clemmer63 mengemukakan ciri prisonisasi sebagai berikut : a. Special vocabulary, yaitu adanya sejumlah kata atau istilah “khusus” yang digunakan dalam berkomunikasi. Lahirnya istilah “khusus” diatas disebabkan adanya proses belajar dalam pertukaran kata dari sesama narapidana ataupun mengkombinasikan beberapa kata agar tidak diketahui oleh orang luar. b. Social stratification, yaitu adanya perbedaan latarbelakang kehidupan narapidana dan jenis kejahatan yang dilakukan mengakibatkan munculnya stratifikasi yang dapat dibedakan menjadi kelompok elit, kelompok menengah dan kelompok narapidana yang terbelakang. c. Primary group, yaitu adanya kelompok utama yang anggotanya terdiri dari beberapa orang narapidana saja terutama bagi narapidana yang lebih mengutamakan tindak kriminal. d. Leadership, yaitu adanya seorang pemimpin dalam kelompok utama yang berfungsi sebagai mediator dalam berhubungan dengan kelompok lain yang lebih besar. Dari pengertian dan ciri-ciri prisonisasi tersebut, maka hal tersebut dapat menimbulkan “ketakutan” pada staf pemasyarakatan serta berpotensi melemahkan wibawa petugas. Prisonisasi sendiri dapat berakibat terganggunya proses pembinaan karena narapidana akan lebih cenderung taat atau patuh kepada 63
Donald Clemmer, Prisonization dalam The Sociology of Punishment & Correction, Edited by Norman Jahnston, John Wrlyandsons, Inc. Newyork, 1970 hal. 479 dalam Petrus Irwan Pandjaitan, Pidana Penjara dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat dan Narapidana, Inhill CO, Jakarta, 2009 hlm. 7 yang memberikan batasan prisonization sebagai “the term of prisonization to indicate the taking on in greater or less degree of the folk ways, mores, customs and general culture of the penitentiary”. Sementara TP Morris menggunakan istilah Prisonitation untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati peraturan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
37
narapidana yang menjadi “pimpinan” sehingga kewajiban narapidana untuk mematuhi aturan lembaga tidak di taati. Demikian pula ketentraman dan ketenangan di dalam proses pemasyarakatan lebih ditentukan oleh “pimpinan” atau kelompok tertentu. Selain itu, prisonisasi cenderung menyebabkan narapidana tertentu menjadi tertekan dan hal ini dapat menjadi pemicu kerusuhan di dalam lembaga pemasyarakatan. Bila hal ini terjadi maka hak-hak narapidana menjadi tertindas64. Sehubungan dengan masalah efektivitas pidana, Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan efektivitas suatu sanksi. Faktor – faktor yang dikemukakan antara lain yaitu65: a. Karakteristik atau hakekat dari sanksi itu sendiri ; b. Persepsi warga masyarakat dalam menanggung resiko ; c. Jangka waktu penerapan sanksi negatif itu ; d. Karakteristik dari orang yang terkena oleh sanksi ; e. Peluang-peluang yang memang (seolah-olah) diberikan oleh suatu kebudayaan masyarakat ; f.
Karakteristik dari perilaku yang perlu dikendalikan atau diawasi dengan sanksi negatif itu;
g. Keinginan masyarakat atau dukungan sosial terhadap perilaku yang akan dikendalikan. Disamping itu, terdapat pula 4 (empat) hal yang harus dipenuhi agar hukum dapat berlaku efektif dalam artian mempunyai dampak positif, yaitu : a. Hukum positif tertulis yang ada harus mempunyai taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang jelas ; b. Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hukum ; c. Fasilitas yang mendukung prosees penegakan hukum harus memadai ; dan 64
Ibid Soerjono Soekanto, Dampak Hukum Terhadap Pola Perilaku Manusia, Masalah-masalah Hukum dalam Barda Nawawi Arief, op.cit hlm. 108. 65
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
38
d. Warga masyarakat harus dididik agar dapat mematuhi hukum. Memakai Pancasila sebagai perspektif Indonesia dalam mendiskusikan pemidanaan, bertolak dari asumsi bahwa secara analitis sila-sila Pancasila sebenarnya memberi peluang yang amat besar untuk merumuskan tentang apa yang benar dan yang baik bagi manusia dan masyarakat Indonesia, yang bukan secara kontekstual tetapi juga secara kesahihannya secara konsseptual maupun operasional.Pemidanaan dalam perspektif
Pancasila dengan demikian haruslah
berorientasi pada prinsip-prinsip sebagai berikut 66: 1) Pengakuan manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama manapun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari teerpidana melalui mana ia akan dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain, pemidanaan harus dapat berfungsi sebagai sarana pembinaan mental orang yang di pidana dan mentransformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia yang religius. 2) Pengakuan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apapun. Implikasinya adalah meskipun terpidana berada di dalam lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan dan tingkah laku jahatnya. 3) Menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain sebagai sesama warga negara. Pelaku harus diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan bangsa dan negara dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan.Dengan kata lain, pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa. 66
M. Sholehuddin, op.cit, hlm. 109
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
39
4) Menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmad, mampu mengendalikan diri, berdisiplin dan menghormati serta mentaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat. 5) Menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Paancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk “Manusia Indonesia seutuhnya”. Menurut Muladi apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini menjadi penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem) tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingana atau nilai yang paling berharga dari kehidupan manusia. Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan dalam bermasyarakat67.
2.2
Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari SPP Seperti telah dibahas sebelumnya, Sistem Peradilan Pidana (SPP) mempunyai empat komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Sistem Peradilan Pidana hanya dapat berfungsi dengan baik apabila bagian dari sistem tersebut (sub sistem) bekerja secara terpadu dan terintegrasi. Aparat penegak hukum harus terintegrasi di dalam suatu sistem peradilan pidana dan mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration
67
Muladi, Hak Asasi Manusia, op.cit hlm. 224
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
40
of criminal justice system sehingga terjadi suatu koordinasi yang baik. Keterpaduan tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan sistem peradilan pidana, yaitu 68: 1. Melindungi masyarakat (protect society). 2. Memelihara ketertiban dan stabilitas (maintain order and stability). 3. Mengendalikan kejahatan (control crime). 4. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan serta melakukan penahanan terhadap pelakunya (investigate crimes and arrest offenders). 5. Memberikan batasan tentang bersalah atau tidak kepada pengadilan (provide for judicial determination of guilt or innocence). 6. Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi yang bersalah ( set an appropriate sentence for the guilty). 7. Melindungi hak-hak hukum terdakwa melalui proses peradilan pidana ( protect the constitutional rights of defendents throughout the criminal justice process ). Terkait dengan masalah Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( integrated Justice System) Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa ”cara kerja masing-masing komponen secara bersama-sama dapat diumpamakan sebagai roda-roda (seperti pada arloji) yang harus bekerja sama. Masing-masing harus cermat dan kuat dalam menjaga keseimbangan kerja satu dengan yang lainnya. Dikatakan bahwa kebijakan kriminal yang lebih menentukan adalah kebijakan penyidikan dan penuntutan karena pengadilan sebenarnya dibatasi oleh kebijakan dalam tahap pra-adjudikasi69.Apabila keterpaduan dalam bekerjanya sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapa 3 (tiga) kerugian sebagai berikut, yaitu70 : 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama ; 68
Philip P. Purpura, Criminal Justice, an Introduction, Butterworth Heinemann, Boston 1997
hlm. 5 69
Mardjono Reksodiputro, op.cit.hlm.94 Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, op.cit hlm. 142 70
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
41
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana) dan 3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebut akan menyebabkan sistem peradilan pidana sangat rentan terhadap perpecahan sehingga menjadi tidaak efektif 71. Sementara itu, menurut Mahmud Mulyadi sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) dalam penyelenggaraan suatu peradilan pidana harus mengemban tugas untuk72 : 1. Melindungi masyarakat dengan melakukan penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan serta melakukan tindakan terhadap orang yang merupakan ancaman bagi masyarakat. 2. Menegakkan dan memajukan serta penghormatan terhadap hukum dengan menjamin adanya proses yang manusiawi dan adil serta perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Kemudian melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. 3. Menjaga hukum dan ketertiban. 4. Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut. 5. Membantu dan memberi nasehat kepada korban kejahatan. Menurutnya, makna keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerja bersama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujukan kepada kerjasama dan koordinasi antara subsistem yang ada dengan prinsip unity in deversity. Bahwa setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut memainkan peranan yang spesifik dalam 71
Ibid hlm. 84-85. Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekataan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press 2008 hlm. 97 72
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
42
penanggulangan kejahatan dengan mengarahkan segenap potensi baik anggota dan sumber daya yang ada di masing-masing lembaga dan aktivitas dari masingmasing sub sistem harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy).Lebih lanjut menurutnya, pendekatan sistem yang dipergunakan untuk mengkaji peradilan pidana ini mempunyai implikasi sebagai berikut73: 1. Semua sub sistem akan saling bergantung (interdependent) karena produk (output) suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi sub sistem lainnya. 2. Pendekatan sistem mendorong adanya konsultan dan kerjasama antar subsistem yang pada akhirnya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi sistem tersebut secara keseluruhan. 3. Kebijakan yang diputuskan dan di jalankan oleh salah satu sub sistem akan berpengaruh kepada sub sistem lainnya. Selain itu, aparat penegak hukum sebagai institusi penegak hukum (legal structure) harus juga mampu menerjemahkan peraturan perundang-undangan pidana (legal substance) dan mengaplikasikannya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, pandangan serta penghormatan (legal culture)
aparat penegak hukum terhadap hukum itu sendiri akan sangat
menentukan keberhasilan penegakkan hukum yang secara strategis dirumuskan ke dalam kebijakan penanggulangan kejahatan ( criminal policy). Sistem Pemasyarakatan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana sebagai bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system), pemasyarakatan baik di tinjau dari segi sistem, kelembagaan, cara pembinaan dan sumber daya pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakkan hukum. Pembinaan narapidana secara institusional di dalam sejarahnya di Indonesia dikenal sejak berlakunya Reglemen Penjara Stb. 1917 Nomor 708. Pola ini dipertahankan hingga tahun 1963. Namun, bagi negara Indonesia yang 73
Ibid hlm. 98
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
43
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga diarahkan pada usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Berdasarkan atas pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula dengan institusi yang ada, yang semula disebut dengan rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah
menjadi Lembaga Pemasyarakatan
berdasarkan
Direktorat
Surat
Instruksi
Kepala
Pemasyarakatan
Nomor
74
J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964 . Pola pemikiran yang dikembangkan adalah Narapidana bukan saja menjadi obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang karenanya dikenai pidana sehingga tidak harus di berantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan yang dikenakan kepada narapidana adalah sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana sehingga ia menyesali perbuatannya dan tujuan akhirnya adalah dapat mengembalikannya
menjadi warga masyarakat yang baik, taat
kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial serta keagamaan sehingga tercapai kehidupan bermasyarakat yang aman, tertib dan damai. Adapun pertimbangan dibentuknya pembentukan Undang-Undang Pemasyarakatan yaitu : 1. Bahwa sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakkan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang dilakukannya sehingga daapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan serta dalam pembangunan sehingga dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. 74
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
44
2. Bahwa pada hakekatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumberdaya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. 3. Bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan sendiri dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai Visi, Misi serta tujuan yang hendak di capai, yaitu75 : Visi Yaitu memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, sebagai bagian dari anggota masyarakat serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yaang Maha Esa ( untuk membangun manusia mandiri). Misi Untuk
melaksanakan
perawatan
tahanan,
melakukan
pembinaan
dan
pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan
negara
dalam
kerangka
penegakkan
hukum,
pencegahan
dan
penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Tujuan Dalam pelaksanaan tugasnya, Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tujuan sebagai berikut, yaitu : 1. Untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, dapat memperbaiki diri, mandiri dan tidak mengulangi tindak pidana yang dilakukannya sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan serta dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negaara yang baik dan bertanggungjawab. 75
Himpunan Peraturan Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2009
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
45
2. Untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan atau para pihak yang berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat
penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan di rampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan. Sasaran Sedangkan sasaran yang hendak di capai oleh Lembaga Pemasyarakatan, yaitu : a. Sasaran pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan yang pada awalnya sebagian atau seluruhnya dalam konsisi kurang, yaitu : 1. Kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2. Kualitas intelektual, 3. Kualitas sikap dan perilaku, 4. Kualitas profesionalisme / keterampilan dan 5. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani b. Sasaran pelaksaanaan dalam Sistem Pemasyarakatan pada dasarnya juga merupakan situasi atau kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya tujuan Pemasyarakatan yang merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan ketahanan sosial dan ketahanan nasional serta merupakan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tentang sejauh mana hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaan dari Sistem Pemasyarakatan, yaitu : 1. Isi dari Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas yang ada ; 2. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan gangguan terhadap keamanan serta ketertiban ; 3. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis ;
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
46
4. Meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya baik melalui pemberian remisi, proses asimilasi dan integrasi ; 5. Semakin banyaknya jenis-jenis institusi yang sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis atau golongan narapidana ; 6. Secara bertahap perbandingan antara banyaknya narapidana yang bekerja pada bidang industri dan pemeliharaan adalah 70 : 30 ; 7. Persentase antara kematian dan sakit sama dengan persentase di masyarakat; 8. Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia pada umumnya ; 9. Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara ; dan 10. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultural penjara dalam Lembaga Pemasyarakatan.
2.2.2 Sistem Pembinaan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana maupun anak pidana berdasarkan pada asas-asas76 : a. Pengayoman, merupakan perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberi bekal hidup kepada warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat ; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan, merupakan pemberian perlakun dan pelayanan yang sama kepada warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membedabedakan orang ; c. Pendidikan, merupakan penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila antara lain dengan penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan, kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah ; 76
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, LN tahun 1995 Nomor 77, TLN Nomor 3614
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
47
d. Pembimbingan ; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia, adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, adalah bahwa warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hakhaknya yang lain seperti layaknya manusia dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan, olah raga atau rekreasi dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, adalah bahwa warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dlam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga. Prinsip-prinsip untuk pembimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan sendiri telah dirumuskan dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung pada tanggal 27 April 1974 yang terdiri atas sepuluh rumusan, yaitu77 : 1. Orang yang tersesat harus di ayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat. Jelaslah bahwa yang dimaksud disini adalah masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tesebut tidak hanya berupa finansial dan material tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik (kesehatan), keahlian, keterampilan sehingga orang yang memiliki kemampuan 77
Marlina, Hukum Penitenier, Refika Aditama, Baandung, 2011 hlm. 102-104
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
48
yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melakukan pelanggaran hukum lagi dan berguna dalam pembangunan negara. 2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara. Tidak boleh terdapat penyiksaan terhadap narapidana baik berupa tindaakan, ucapan, cara perawatan ataupun penetapan satu-satunya dekrit yang dialami narapidana hendaknya hanya di hilangkan kemerdekaannya. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan maka terhadap narapidana harus ditanamkan penertiban mengenai norma hidup dan kehidupan serta diberikan kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang terjadi di masa lampau. Oleh karenanya, narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga untuk itu harus diadakan pemisahan antara yang residivis dan yang bukan residivis, pelaku tindak pidana berat dengan yang ringan, macam tindak pidana yang dilakukan, pelaku tindak pidana (dewasa atau anak-anak, laki-laki atau perempuan) serta narapidana dan tahanan atau titipan. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana
tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan nasional. 7. Bimbingan dan penyuluhan harus berdasarkan kepada azas Pancasila sehingga penyuluhan dan bimbingan itu harus berisikan asas-asas yang tercantum di dalamnya. Kepada narapidana harus diberikan pendidikan agama serta diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadahnya. Selain itu kepada narapidana harus ditanamkan jiwa gotong royong, rasa persatuan, rasa kebangsaan serta melibatkan narapidana dalam kegiatan-kegiatan untuk kepentingan bersama dan kepentingan umum.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
49
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana tersebut bahwa ia adalah penjahat. Sebaliknya ia harus selalu tetap di pandang sebagai manusia sehingga petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai katakata yang menyinggung perasaannya khususnya yang berhubungan dengan perbuatannya yang terjadi di masa lampau yang menyebabkan ia masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Segala pelabelan yang negatif (cap sebagai narapidana) hendaknya di hapuskan antara
lain misalnya pengertian tuna
warga, bentuk dan warna pakaian, bentuk dan warna bangunan, cara pemberian perawatan dan cara pengaturan atau pemindahan narapidana. 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. Oleh karenanya, perlu diusahakan agar narapidana mendapatkan mata pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarga yang menjadi tanggungjawabnya dengan disediakan pekerjaan ataupun di mungkinkan untuk bekerja dan di berikan upah untuk pekerjaannya. Sedangkan bagi pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga pendidikan (sekolah) yang diperlukan ataupun diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di luar lembaga pemasyarakatan. 10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Kiranya diperlukan pula gedung atau bangunan pengkhususan menurut fase pembinaan yang dilakukan misalnya gedung sentral untuk menampung narapidana yang baru masuk selama waktu singkat (cara orientassi) sebelum di pindahkan ke lembaga pemasyarakatan yang lain sesuai dengan peruntukan kebutuhan pembinaannya, gedung bangunan sentral untuk mereka yang menjelang bebas sehingga dapat dilakukan program khusus pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Dengan demikian narapidana tersebut lebih mudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat bebas. Gedung atau bangunan bagi narapidana yang sudah bebas namun belum dapat pulang sehingga sementara masih membutuhkan bantuan, gedung atau bangunan sebagai lembaga terbuka.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
50
Secara khusus pembinaan narapidana menurut Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-PK.04.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan adalah agar selama menjalani masa pembinaan hingga selesai menjalani masa pidananya, narapidana dapat : 1. Berhasil menetapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta optimis akan masa depannya. 2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berprestasi dalam kegiatan pembangunan nasional. 3. Berhasil menjadi manusia yang patuh kepada hukum yang tercermin pada sikap dan perilakunya yang tertib dan disiplin serta menggalang rasa kesetiakawanan sosial. 4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian yang tinggi terhadap bangsa dan negara. Dalam rangka upaya pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan maka Lembaga Pemasyarakatan melakukan penggolongan terhadap narapidana dan anak pidana yang didasarkan pada78 : a. Umur ; b. Jenis kelamin ; c. Lama pidana yang dijatuhkan ; d. Jenis kejahatan dan e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. (Menurut
peneliti,
penggolongan
ini
tampaknya
dimaksudkan
untuk
mempermudah pengawasan di bidang keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan atau Rutan). Selain itu narapidana dan anak pidana juga diklasifikasikan secara administratif dalam beberapa register menjadi beberapa golongan menurut tinggi rendahnya pidana yang di jatuhkan oleh hakim kepada mereka, yaitu : 1. Register B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun. 78
Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
51
2. Register B-II a adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 3 bulan samapai dengan 12 bulan. 3. Register B-II b adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana selama 1 hari sampai dengan 3 bulan 4. Register B-III adalah untuk narapidana yang menjalani pidana kurungan 5. Register B-III S adalah untuk narapidana yang menjalani pidana kurungan pengganti denda. (Penggolongan berdasarkan jenis lama masa hukuman ini, bila dicermati lebih lanjut sebenarnya dapat mempermudah tugas dari hakim wasmat untuk melakukan monitoring terhadap pelaksanaan putusan pengadilan berikut hak-hak narapidana. Dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang dapat memperoleh remisi adalah narapidana yang terdaftar dalam register B-I dan B-IIa ).
2.3
Remisi Undang-Undang
Nomor
12
tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan
memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan politik kriminal modern. Terdapat pergeseran paradigma dari pembalasan kearah pembinaan. Pergeseran paradigma pemidanaan ini mudah di pahami karena dinamika perkembangan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih beradab sehingga oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga berlaku dalam masyarakat juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut. Dengan pandangan bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus di berantas dan yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana 79. 79
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
52
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan tentang Hak Narapidana dimana disebutkan dengan tegas bahwa : Pasal 14 Ayat (1) : Narapidana berhak : a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran ; d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; e. Menyampaikan keluhan ; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ; h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) ; j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ; k. Mendapatkan pembebasan bersyarat ; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas ; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) : Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan atas hak-hak narapidana tersebut maka dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 LN tahun 1999 Nomor 69 TLN Nomor 3846 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang kemudian dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 LN tahun 2006 Nomor 61 TLN Nomor 4632.Sebelumnya, pengaturan tentang Remisi sebagai hak bagi narapidana terdapat dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999, yaitu : Pasal 34 Ayat (1) :
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
53
Setiap Narapidana dan Anak pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi80. Ayat (2) : Remisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat ditambah, apabila selama menjalani pidana, yang bersangkutan : a. Berbuat jasa kepada negara81; b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan82; atau c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan83. Pasal 35 “Ketentuan mengenai remisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden”84.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan kemudian dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 LN tahun 2006 Nomor 61 TLN Nomor 4632 dengan alasan perlunya peninjauan ulang terhadap pemberian remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat guna penyesuaian dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat terutama terkait dengan Narapidana yang telah melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban 80
Berdasarkan Penjelasan Pasal 34 Ayat (1) yang dimaksud dengan “berkelakuan baik” adalah mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang di perhitungkan untuk pemberian remisi. 81 Menurut penjelasan Pasal 34 Ayat (2) huruf-a, yang dimaksud dengan “berbuat jasa kepada negara” antara lain: 1. Menghasilkan karya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan. 2. Mencegah pelarian Tahanan, Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan; 82 Menurut penjelasan Pasal 34 Ayat (2) huruf-b, yang dimaksud dengan “perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan” antara lain : 1. Ikut menanggulangi bencana alam;2. Menjadi donor organ tubuh /donor darah yang telah memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. 83 Menurut penjelasan Pasal 34 Ayat (2) huruf-c, yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS” adalah pekerjaan yang dilakukan oleh Narapidana atau Anak Pidana yang diangkat sebagai pemuka kerja oleh Kepala LAPAS. 84 Sebagai tindak lanjut Amanat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan kemudian dibuatlah Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 LN tahun 1999 Nomor 223 tentang REMISI dimana dalam Pasal 1 Ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa “ Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersaangkutan baik selama menjalani pidana”.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
54
yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Terdapat beberapa perubahan yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tersebut. Tentang Remisi sendiri terdapat perubahan bunyi klausula dari ketentuan sebelumnya, yaitu : Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagi berikut : Pasal 34 (1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi. (2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (3) Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Berkelakuan baik; dan b. telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana. (4) Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lembaga Permasyarakatan. Pasal 34 A (1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (3) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. (2) Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 35 Ketentuan mengenai Remisi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Lebih lanjut, dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tersebut disebutkan perlunya memberikan batasan khusus terhadap pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB): 1.
Untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi produsen dan bandar.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
55
2.
Untuk tindak pidana korupsi, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi tindak pidana korupsi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaran negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Selain ketentuan diatas, terdapat beberapa dasar hukum pengaturan mengenai Remisi yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga saat ini yaitu85 : 1. Gouvernement Besluit tanggal 10 Agustus 1935 Nomor 23 Bijblad Nomor 13515 jo 9 Juli 1841 Nomor 12 dan 26 Januari 1942 Nomor 22 yang diberikan sebagai hadiah semata-mata pada hari kelahiran Ratu Belanda ; 2. Keputusan Presiden Nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang termuat dalam Berita Negara Nomor 26 tanggal 28 April 1950 jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 dan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor G.8/106 Tanggal 10 Jaanuari 1947 jo. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 120 tahun 1955 tanggal 23 Juli 1955 tentang Ampunan Istimewa. 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1987 jo. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 01. HN.02.01 Tahun 1987 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1987, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 04. HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 03. HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 10 Maret 1988 tentang Tata Cara Permohonan Perubahan Pidana Seumur Hidup menjadi 85
Dwidja Priyatno, Op.cit hlm. 134
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
56
penjara sementara berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1987. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi); 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.09. HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.10. HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus. Selain itu masih terdapat ketentuan yang masih berlaku saat ini, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 28 tahun 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi. 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 120 tahun 1955 tanggal 23 Juli 1955 tentang Ampunan Istimewa ; 6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HN-01.PK.02.02 Tahun 2010 Tentang Remisi Susulan. 7. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.HN.02.01 Tahun 2006 tentang Remisi Umum Susulan. 8. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah;
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
57
9. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi ; 10. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.10.HN.02.01 tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus. 11. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.04-HN.04.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan Bagi Narapidana dan Anak Pidana. 12. Surat Edaran Nomor E.PS.01-03-15 tanggal 26 Mei 2000 tentang Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara. 13. Surat Edaran Nomor W8-PK.04-01-2586
tanggal 14 April 1993 tentang
Pengangkatan Pemuka Kerja.
2.3.1 Jenis-Jenis Remisi : Berdasarkan Ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi disebutkan bahwa remisi terdiri atas : 1. Remisi Umum Merupakan remisi yang diberikan pada peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus ; dan 2. Remisi khusus Merupakan Remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan daalam setahun maka yang di pilih adalah hari besar yang paling di muliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. 3. Remisi Tambahan Merupakan remisi yang diberikan apabila Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana : a. Berbuat jasa kepada negara ; b. Melakukan perbuatan yang berrmanfaat bagi negara atau kemanusiaan
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
58
c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga Pemasyarakatan. 4. Remisi Dasawarsa Merupakan remisi yang diberikan kepada Narapidana maupun Anak Pidaana bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus tiap 10 (sepuluh) tahun sekali. 5. Remisi Khusus Yang Tertunda 86 Merupakan remisi khusus yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi narapidana. Pemberian remisi ini adalah untuk meringankan masa pidana atau hukuman bagi narapidana yang dalam kurun waktu 6 (enam) bulan telah menunjukkan perbuatan baik di Lembaga Pemasyarakatan namun pengajuann tersebut tertunda karena dalam waktu 6 (enam) bulan setelah statusnya sebagai narapidana belum di perolehnya karena masih menunggu status hukumnya dalam proses peradilan sehingga dengan demikian turunnya surat keputusan tentang remisi bagi narapidana yang bersangkutan juga terlambat daan pengajuan remisi bagi dirinya juga terlambat yaitu diajukan setelah tanggal 17 Agustus pada tahun yang bersangkutan. Ketentuan ini diberikan agar narapidana yang bersangkutan tidak dirugikan dan mempunyai hak yang sama sebagaimana narapidana yang lainnya. 6. Remisi Khusus Bersyarat Merupakan remisi khusus yang diberikan secara bersyarat kapada narapidana dan anak pidana yang pada saat hari raya keagamaannya berlangsung namun masa pidana yang telah dijalaninya belum cukup 6 (enam) bulan. Namun pemberian remisi ini dapat dicabut apabila dalam jangka waktu yang di syaratkan ternyata narapidana atau anak pidana yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran disiplin dan dimasukkan ke dalam register F.
86
Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.HN.02.01 Tahun 2001
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
59
2.3.2
Besaran Remisi
2.3.2.1 Remisi Umum Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi mengatur tentang besarnya remisi Umum yang dapat diperoleh oleh narapidana, yaitu : a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan ; dan b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. (1) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut : a. Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan ; b. Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan ; c. Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima) bulan ; d. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap tahun. 2.3.2.2 Remisi Khusus Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 mengatur tentang besarnya remisi khusus bagi narapidana, yaitu : a. 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan ; dan b. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih. Pemberian remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut : a. Pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); b. Pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan; dan c. Pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari ; d. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap tahun ; Sementara yang dimaksud sebagai hari raya keagamaan menurut Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.02.01 tahun 1999 Pasal 3 Ayat (2) adalah:
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
60
1. Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama Islam; 2. Hari Raya Natal bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama kristen atau katholik; 3. Hari Raya Nyepi bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama Hindu; 4. Hari Raya Waisak bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama Budha; 5. Bagi narapidana dan anak pidaana yang beragama selain tersebut diatas maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999. 2.3.2.3 Remisi Tambahan Sementara Besarnya remisi tambahan diatur dalam Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi dengan pengaturan sebagai berikut : a. ½ (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yag berbuat jasa kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan ; dan b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka. Remisi tambahan bagi narapidana yang menjadi donor organ tubuh dan donor darah berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah disebutkan bahwa: “setiap narapidana yang menjalani pidana sementara baik pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana pengganti denda dapat diusulkan untuk mendapatkan tambahan remisi apabila menjadi donor organ tubuh dan/atau donor darah. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
61
tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan Donor Darah disebutkan bahwa “ pengusulan tambahan remisi tersebut harus disertai tanda bukti atau surat keterangan sah yang dikeluarkan oleh rumah sakit yang melaksanakan operasi donor organ tubuh atau oleh Palang Merah Indonesia yang melaksanakan pengambilan darah. Berdasarkan Pasal 5, pemberian remisi terhadap narapidana yang melakukan donor darah diberikan dengan besaran: a. Sebesar 1 (satu) bulan apabila yang bersangkutan telah menyumbangkan darahnya: 1) 5 kali 2) 10 kali 3) 15 kali b. Sebesar 2 (dua) bulan apabila telah menyumbangkan darahnya : 1) 20 kali. 2) 25 kali. 3) 30 kali c. Sebesar 3 (tiga) bulan apabila telah menyumbangkan darahnya : 1) 36 kali 2) 43 kali 3) 50 kali d. Sebesar 4 (empat)) bulan, apabila telah menyumbangkan darahnya : 1) 59 kali 2) 67 kali 3) 75 kali e. Sebesar 5 (lima) bulan, apabila telah menyumbangkan darahnya : 1) 84 kali 2) 92 kali 3) 100 kali f. Sebesar 6 (enam) bulan apabila telah menyumbangkan darahnya 101 (seratus satu) ke atas. Adapun pengusulan pemberian remisi bagi narapidana yang telah melakukan organ tubuh atau donor darah dilaksanakan dengan menggunakan formulir RT.I dan RT.II. 2.3.2.4 Remisi Khusus Yang Tertunda87 87
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01.HN.02.01 Tahun 2001
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
62
Besaran remisi ini adalah maksimal 1 (satu) bulan. Diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi narapidana.
2.3.3 Penghitungan Masa Pidana Sebagai Dasar Pemberian Remisi Pasal 7 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi mengatur tentang penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi yang akan diperoleh oleh narapidana dan Anak Pidana, yaitu: Pasal 7 (1) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. (2) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan. (3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terputus, perhitungan penetapan lamanya masa menjalani pidana dihitung sejak penahanan yang terakhir. (4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1 (satu) bulan dihitung sama dengan 30 (tiga puluh) hari. (5) Penghitungan besarnya remisi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada agama Narapidana dan Anak Pidana yang pertama kali tercatat dalam buku register Lembaga Pemasyarakatan. 2.3.4 Pengecualian Pemberian Remisi Pasal 12 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi memberikan pengecualian terhadap pemberian Remisi Umum dan khusus bagi Narapidana maupun Anak Pidana yaitu bahwa remisi umum dan khusus tidak diberikan terhadap Narapidana dan Anak Pidana yang : a. Dipidana kurang dari 6 (enam) bulan; b. Dikenakan hukuman disiplin dan di daftar pada buku pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada pemberian remisi ;
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
63
c. Sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas88 ; d. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.
2.3.5 Prosedur pengajuan Remisi Berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999, usulan remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Sementara berdasarkan Pasal 13 Ayat (2) menyebutkan bahwa Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan tentang remisi (tersebut) diberitahukan kepada narapidana dan anak pidana pada Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan. Khusus terhadap narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan Direktur Lembaga Pemasyarakatan 89. Sementara Prosedur pengajuan remisi secara administratif : 1) Petikan putusan atau vonis Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, 2) Berita Acara Eksekusi (P-48 dan BA-8) dari Kejaksaan Negeri, 88
Berdasarkan Penjelasan Pasal 41 Ayat (1) huruf-b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat daan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dimaksud dengan cuti menjelang bebas adalah : a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling lambat 6 (enam) bulan; b. Bentuk pembinaan Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6 (enam) bulan dan telah dinilai cukup baik. 89 Pasal 34 A Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
64
3) Surat Penahanan dari Kepolisian, 4) Kartu pembinaan, 5) Daftar perubahan ekspirasi90. 6) Tidak mempunyai catatan dalam Register F (jenis pelanggaran yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan)
sehingga
apabila
Narapidana
melakukan
pelanggaran maka usulan remisi dapat di batalkan. Tahapan pemberian remisi adalah dilakukannya penilaian dari tim penilai terhadap narapidana atau anak pidana. Kepala Lapas dan Tim TPP kemudian melakukan sidang untuk membahas permohonan remisi disertai dengan data pendukung. Apabila Kepala Lapas menyetujui usulan tersebut disertai dengan pertimbangan dari Tim TPP Daerah maka Kepala Lapas kemudian meneruskan usulan tersebut kepada Kepala Kanwil setempat. Kepala Kanwil setelah menerima permohonan remisi tersebut kemudian meneruskan usulan remisi kepada Dirjen Pemasyarakatan. Apabila berdasarkan pertimbangan dari Tim TPP narapidana tersebut tidak layak memperoleh remisi maka Kepala Lapas harus segera memberitahukan penolakan tersebut kepada narapidana yang bersangkutan. Dirjen Pemasyarakatan setelah menerima usulan tersebut maka dalam jangka waktu 14 (empat belas) segera menentukan sikap untuk melakukan penolakan atau penerimaan terhadap usul remisi tersebut. Bila Dirjen Pemasyarakatan menolak usulan remisi tersebut maka dalam jangka waktu 28 (dua puluh delapan) hari, Dirjen Pemasyarakatan harus memberitahukannya kepada Kepala Lapas melalui Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) setempat dan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari Kakanwil harus memberitahukan penolakan tersebut kepada narapidana yang bersangkutan melalui Kepala Lapas. ( Catatan Penulis : Namun dalam prakteknya, proses tersebut ternyata dapat dipersingkat demi efektivitas dan efisiensi di lapangan. Tampaknya terhadap kasus-kasus dengan terpidana yang tidak begitu mendapat sorotan tajam dalam masyarakat, usulan permohonan remisi ini hanya diajukan oleh Kepala Lembaga 90
Merupakan salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana seperti grasi, remisi dan lain-lain yang dikeluarkan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
65
Pemasyarakatan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat untuk dikeluarkan keputusan pemberian remisi atas nama Menteri Hukum dan HAM. Sementara terhadap pemberian remisi khusus dilakukan oleh Kepala LAPAS dengan tembusan kepada KaKanwil dan Dirjen Pemasyarakatan).
2.3.6 Akibat-Akibat Hukum diberikannya Remisi Dalam Sistem Pemasyarakatan, remisi sebenarnya mempunyai fungsi 91 : 1) Katalisator (usaha untuk mempercepat) upaya meminimalisasi pengaruh prisonisasi. 2) Berfungsi sebagai katalisator (untuk mempercepat) proses pemberian tanggungjawab di dalam masyarakat luas. 3) Sebagai alat modifikasi perilaku dalam proses pembinaan selama di dalam lapas. Secara langsung dapat mengurangi gejala over kapasitas di dalam lapas. 4) Dalam rangka melakukan efisiensi anggaran Negara. Sementara menurut Dwidja Priyatno pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 akan membawa akibat hukum sebagai berikut92 : 1) Pengurangan masa pidana yang akan di jalani oleh narapidana maupun anak pidana. 2) Pemberian remisi mengakibatkan berkurangnya masa pidana yang masih harus dijalani oleh Narapidana. 3) Pengurangan masa pidana yang menyebabkan pembebasan seketika. 4) Pembebasan diberikan kepada narapidana yang setelah dikurangi remisi umum maupun remisi tambahan, masa pidana yang harus dijalani ternyata mengakibatkan masa pidananya habis, tepat pada saat pemberian remisi yaitu pada tanggal 17 Agustus pada tahun yang bersangkutan.
91
Didin Sudirman, Masalah-Masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta hlm. 118 92 Dwidja Priyatno, Op.cit hlm. 140
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
66
5) Masa pembebasan bersyaratan atau pelepasan bersyarat menjadi lebih singkat. Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah menjalani masa pidana selama 2/3 (dua pertiga), sekurang-kurangnya telah menjalani pidananya selama 9 (sembilan) bulan maka dengan pemberian remisi akan mengurangi masa pidana dari narapidana yang bersangkutan dan hal ini akan mengakibatkan masa pembebasan bersyarat menjadi lebih singkat. 6) Akibat hukum lainnya adalah remisi yang di dalamnya mengatur pula ketentuan tentang komutasi atau perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara waktu 15 (lima belas) tahun dengan syarat antara lain narapidana tersebut telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut dan berkelakuan baik93.
2.4
Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Dalam mewujudkan pemantapan peranan pembinaan dalam proses pemasyarakatan terdapat suatu tim yang sangat berperan yaitu Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan ini juga merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 45 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan94. Berdasarkan
Pasal
13
menentukan
tugas
Pokok
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) adalah sebagai berikut : a. Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.
93
Pasal 9 Ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang
Remisi. 94
Pasal 45 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa Pembentukan, susunan dan tata kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditentapkan dengan Keputusan Menteri.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
67
b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan. c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.
2.4.1 Kedudukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Berdasarkan Pasal 12 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 tahun 1999 mengatur kedudukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), yaitu : Pasal 12 (1) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pusat berada di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. (2) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Wilayah berada di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah. (3) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah berada di unit pelaksana teknis pemasyarakatan dan bertanggungjawab kepada masing-masing kepala unit pelaksana teknis pemasyarakatan. Selanjutnya, tugas masing-masing Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) diatur dalam Pasal 14 yaitu : Pasal 14 1. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pusat Tim ini bertugas memberikan saran dan pertimbangan pengamatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang diajukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Wilayah dalam hal : a. Masalah-masalah penempatan dan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. b. Penyelesaian masalah-masalah usul dari daerah tentang asimilasi, pembebasan bersyarat dan remisi. c. Masalah-masalah lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan. 2. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Wilayah Tim ini bertugas memberikan saran dan pertimbangan pengamatan kepada Kepala Kantor Wilayah tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
68
diajukan oleh Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan dalam hal : a. Perkembangan pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan atau perawatan tahanan di semua Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan di wilayah, b. Meneliti, menelaah, menilai usulan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) daerah sebagai bahan pertimbangan kepala kantor wilayah untuk di tolak atau diteruskan kepada Direktur Jendereal Pemasyarakatan. c. Masalah-masalah pembinaan lainnya yang dianggap perlu oleh kepala kantor wilayah. 3. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah Tim ini bertugas untuk memberi saran dan pertimbangan pengamanan kepada Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan mengenai: a. Bentuk dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan atau perawatan tahanan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan. b. Penilaian terhadap pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan atau perawatan tahanan. c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan untuk diteruskan kepada Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT). d. Pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum oleh Warga Binaan Pemasyarakatan untuk diambil tindakan cepat dan tepat guna serta tindakan lain yang timbul dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Untuk melaksanakan tugas yang ditentukan Pasal 13 dan 14 maka Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) mempunyai fungsi sebagai berikut : a. Merencanakan dan melakukan ppersidangan-persidangan ; b. Melakukan administrasi persidaangan, inventarisasi dan dokumentasi ; c. Membuat rekomendasi kepada : 1. Direktur Jenderal Pemasyarakatan ; 2. Kepala Kantor Wilayah bagi Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) wilayah ; 3. Kepala Unit Pelaksana Teknis bagi Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah. 4. Melakukan
pemantauan
pelaksanaan
pembinaan,
pengamanan
dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan atau perawatan tahanan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembinaan narapidana maupun anak pidana dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) ini
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
69
juga merupakan tim penilai terhadap program pembinaan yang dilakukan. Untuk melaksanakan tugas tersebut maka dibentuklah susunan keanggotaan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pusat, wilayah dan daerah yang berbeda-beda. Mengenai susunan keanggotaan tersebut, lebih lanjut Pasal 18 mengatur tentang Pihak yang mengangkat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yaitu : Pasal 18 (1) Ketua, sekretaris dan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pusat ditunjuk dan di angkat berdasarkan Keputusan Menteri (2) Sekretaris dan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Wilayah ditunjuk dan diangkat berdasarkan keputusan masing-masing Kepala Kantor Wilayah. (3) Ketua, sekretaris dan anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah ditunjuk dan di angkat berdasarkan Keputusan masing-masing Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan. Disini tampak Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana dan Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) ini juga merupakan tim penilai terhadap
program pembinaan yang dilakukan. Untuk pelaksanaan tugas tersebut maka dibentuklah susunan keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dimana untuk tingkat lembaga pemasyarakatan terdiri atas95 : 1. Ketua merangkap anggota adalah Kepala Bidang Pembinaan. 2. Sekretaris merangkap anggota adalah Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan. 3. Anggota yang terdiri dari : a. Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas ; b. Kepala Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; c. Kepala Bidang Kegiatan Kerja; d. Kepala Bidang Registrasi dan Kepala Seksi Bimbingan Kerja ; e. Kepala Seksi Keamanan ; f.Dokter / tenaga paramedis lapas ; g. Petugas pembimbingan kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan; h. Hakim Pengawas dan Pengamat; i. Wali Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ; j. Instansi terkait dengan pembimbingan klien pemasyarakatan dan k. Badan atau perseorangan yang berminat terhadap pembinaan. 95
Pasal 16 Ayat (3) huruf-a
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
70
Bahwa penetapan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sebagai tim yang berperan
dalam
proses
pemasyarakatan
dengan
tugas-tugas
pokoknya
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 13 dan 14 tersebut diatas sangat memberikan suatu nilai tambah untuk mencapai keberhasilan dalam proses pembinaan terhadap narapidana daan anak pidana namun cita-cita yang digambarkan dalam pasal-pasal tersebut riskan untuk dapat diwujudkan apabila melihat kembali pada susunan keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Menurut Marlina, dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampak jelas bahwa orang- orang yang berada dalam Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sebagian besar adalah orang-orang yang berada di dalam struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan. Keadaaan yang demikian cukup memberikan kekhawatiran
dalam
mencapai
tujuan
pembentukan
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) itu sendiri karena bagaimana seseorang dapat menilai 2 (dua) pekerjaan yang secara bersamaan merupakan hasil kerjanya dan dalam waktu yang bersamaan pula mempertanggungjawabkannya? Misalnya seorang Kepala Bidang Pembinaan yang bertugas membuat program pembinaan lalu di sisi yang lain Kepala Bidang Pembinaan tersebut juga merupakan Ketua dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Apakah mungkin Kepala Bidang Pembinaan tersebut dapat memberikan kritikan terhadap program kerja yang telah dilaksanakan (yang dibuatnya). Memang dalam ketentuan tersebut ada sebagian pihak berasal dari luar Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi masalahnya pihak tersebut tidak secara mendetail memiliki kemampuan yang cukup untuk mengetahui proses pembinaan pemasyarakatan yang seharusnya dilakukan di samping waktu dan perhatian yang tidak terfokus. Untuk itu sebaiknya dalam menentukan keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dibentuk suatu tim yang independent yang diberi tugas khusus untuk mengadakan pengamatan dan penilaian terhadap pelaksanaan pembinaan narapidana yang terdiri dari
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
71
berbagai unsur masyarakat dengan tugas melakukan penelitian terhadap hasil pembinaan yang telah dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan96.
2.4
Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) Merupakan Badan Penasehat Menteri yang bersifat non struktural di bidang pemasyarakatan dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan97. Adapun saran dan pertimbangan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan98 : a. Pembinaan sumber daya manusia yang melaksanakan pembinaan, pengamanan dan pertimbangan Warga Binaan Pemasyarakatan, b. Penggunaan
metode,
cara
dan
materi
pembinaan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan, c. Perencanaan dan penyusunan program pembinaan serta peran serta masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesadaran Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat hidup secara wajar dan bertanggungjawab, d. Sarana dan prasarana serta hal-hal lain yang mungkin dapat digunakan dalam pembinaan dan pembimbingan secara terpadu, BPP berkedudukan di Jakarta dengan susunan keanggotaan sebagai berikut99: a. Para ahli di bidang pemasyarakatan, b. Wakil instansi terkait, c. Wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan 96
Marlina, op.cit hlm. 133 Pasal 1 Angka-1 Keputusan Menteri Hukum dan Perundnag-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 98 Pasal 4 Keputusan Menteri Hukum dan Perundnag-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 99 Pasal 6 Angka-1 dan 2 Keputusan Menteri Hukum dan Perundnag-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 97
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
72
d. Tokoh masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan Sementara keanggotaan BPP terdiri atas : a. Ketua, b. Sekretaris (yang secara fungsional dijabat oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) c. 17 (tujuh belas) orang anggota, serta d. Dibantu oleh beberapa orang staf sekretariat. Kesemua anggota BPP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri100.
2.5
Hakim Pengawas dan Pengamat Menurut Mardjono Reksodiputro dibutuhkan sinergi diantara sub sistem yang ada. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar efisien dan efektif. Gambaran mengenai kegagalan yang dapat terjadi dalam sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuannya disebabkan oleh karena tidak sinkronnya setiap subsistem dalam melaksanakan peran dan tanggungjawabnya dengan tujuan sistem secara umum. Apabila sistem peradilan pidana dilaksanakan tanpa terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik maka akan tercipta fragmentasi yang akan menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut untuk menanggulangi kejahatan. Adanya wewenang diskresi dapat menjadi pemicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan. Jika tidak ada saling pengertian dan kerjasama diantara subsistem-subsistem peradilan maka akan menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu yang nantinya akan berdampak terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan pidana101. Menurutnya, apabila keterpaduan
100 Pasal 7 Keputusan Menteri Hukum dan Perundnag-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 101 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakkan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia, Jakarta 1993.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
73
dalam bekerjanya sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat 3 (tiga) kerugian sebagai berikut102: a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama; b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana) dan c. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Untuk itulah, keterpaduan dalam sistem peradilan pidana baik pada tahap praadjudikasi, adjudikasi maupun purna adjudikasi merupakan syarat utama. Sementara menurut Soerjono Soekanto nampaknya terdapat kesepakatan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana di berbagai negara mempunyai tujuan tertentu. Dalam hal ini adalah usaha pencegahan kejahatan ( prevention of crime) baik jangka pendek yaitu berupa resosialisasi pelaku kejahatan, usaha jangka menengah yaitu pengendalian kejahatan dan usaha jangka panjang untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial. Dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut, masing-masing petugas hukum meskipun memiliki tugas yang berbeda namun harus bekerja dalam suatu kesatuan sistem artinya masing-masing petugas tersebut harus saling berhubungan secara fungsional karena seperti diketahui bahwa penyelenggaraan peradilan pidana merupakan suatu sistem yaitu suatu keseluruhan rangkaian yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional103. Pendaapat senada diungkapkan oleh Bagir Manan berpendapat bahwa terpadu dalam suatu sistem peradilan adalah adanya keterpaduan antar penegak hukum. Keterpaduan tersebut dimaksudkan agar proses peradilan dapat dijalankan secara efektif, efisien dan saling menunjang dalam menemukan hukum yang tepat 102
Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, op.cit, hal. 142. 103 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya Bandung, 1975 hlm. 71
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
74
untuk menjamin keputusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan maupun menurut pandangan kesadaran atau kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat pada umumnya104. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa di dalam suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated adjudication) sama pentingnya dengan tahaptahap terdahulunya walaupun masih tetap dianut bahwa tahap adjudikasi merupakan tahapan “dominan” dalam keseluruhan proses105. Seorang pelaku tindak pidana akan sampai pada tahapan purna-adjudikasi setelah melalui tahapan-tahapan sebelumnya. Bahwa suatu proses baru berhenti pada saat terpidana dilepaskan kembali ke masyarakat karena telah menyelesaikan suatu pidana yang telah di jatuhkan kepadanya oleh pengadilan. Namun sebenarnya dalam sistem peradilan pidana, tugas utama hakim tidak menjadi terhenti setelah narapidana masuk ke Lembaga Pemasyarakatan untuk menjalankan pidananya. Hakim turut pula bertanggungjawab atas putusan yang dikeluarkannya. Pendapat senada disampaikan oleh Sudarto tentang perlunya jalinan mata rantai antara setiap tahap pemidanaan. Menurutnya, Sistem Pemasyarakatan memandang pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat dengan mengadakan pembinaan terhadap narapidana dan mengembalikan kesatuan hidup dari narapidana, jadi lebih di titik beratkan kepada prevensi spesial. Oleh karena itu, merupakan kenyataan bahwa gagasan pemasyarakatan itu telah menjadi dasar pembinaan para narapidana yang dijatuhi pidana pencabutan kemerdekaan maka hakim mau tidak mau harus memperhitungkan hal tersebut dalam penghukuman. Mungkin ada pendapat bahwa pembinaan narapidana yang merupakan masalah pelaksanaan pidana itu bukanlah urusan dari hakim. Kalau ada pendapat yang demikian maka hal tersebut tidak tepat karena keputusan hakim
harus dilihat dalam rangka sistem penyelenggaraan hukum pidana (
104
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII Press Yogyakarta, 2005 hlm. 93 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peranan Penegak Hukum Melawan Kejahatan, Buku III, op.cit hlm. 84 105
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
75
Strafrechtspflege atau criminal justice) yang pada umumnya merupakan satu kesatuan dalam menanggulangi kejahatan106. Keberadaan Hakim Pengawas dan Pengamat terdapat dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman beserta penjelasannya yang dirumuskan sebagai berikut107 : Pasal 54 (1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. (2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita di pimpin oleh ketua pengadilan. (3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. Pasal 55 (1) Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lain yang mengatur tentang tugas dan tanggungjawab Hakim Pengawas dan Pengamat dapat dilihat dari beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu : Pasal 277 KUHAP (1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. (2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut sebagai hakim pengawas da pengamat ditunjuk oleh ketua pengdilan untuk paling lama dua tahun. Pasal 278 KUHAP Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.
106
Sudarto, Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, FH Undip hlm. 18-19 dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 116 107 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN tahun 2009 Nomor 57, TLN Nomor 5076
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
76
Pasal 279 KUHAP Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 278 wajib dikerjakan, ditutup daan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim sebagimana dimaksud dalam Pasal 277. Pasal 280 KUHAP (1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. (2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh bagi perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. (3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. (4) Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat. Pasal 281 KUHAP Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku naarapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. Pasal 282 KUHAP Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Pasal 283KUHAP Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan kepada hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala. Lebih lanjut, terkait dengan tugas Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat) mendapat pengaturan dalam Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1985 tanggal 11 Februari 1985 dimana tugas Hakim Wasmat adalah : a. Melakukan Tugas Pengawasan, yang meliputi : 1. Mengadakan cheking on the spot, paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali ke Lembaga Pemasyarakatan untuk memeriksa kebenaran berita acara
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
77
pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh jaksa, Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana. 2. Mengadakan observasi terhadap keadaan, suasana dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di dalam lingkungan tembok-tembok lembaga khususnya untuk menilai apakah keadaan Lembaga Pemasyarakatan tersebut sudah memenuhi pengertian bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia” serta mengamati dengan mata kepala sendiri perilaku narapidana sehubungan dengan pidana yang dijatuhkan kepadanya; 3. Mengadakan wawancara dengan para petugas pemasyarakatan terutama para wali-pembina narapidana yang bersangkutan, mengenai perilaku serta hasil-hasil pembinaan baik kemajuan-kemajuan yang diperoleh maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi; 4. Mengadakan wawancara langsung dengan narapidana mengenai hal-ikhwal perlakuan terhadap dirinya, hubungan-hubungan kemanusiaan antara sesama
mereka
sendiri
maupun
dengan
para
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan; 5. Menghubungi Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP atau sekarang dikenal dengan nama TPP- Tim Pengamat Pemasyarakatan) dan jika dipandang perlu juga menghubungi koordinator pemasyarakatan (dijabat oleh Kepala Bidang Pemasyarakatan) pada Kantor wilayah Departemen Kehakiman dalam rangka saling tukar menukar
saran-pendapat
dalam
memecahkan
suatu
masalah
serta
berkonsultasi (dalam suasana koordinatif) mengenai tata perlakuan terhadap narapidana yang bersifat teknis, baik tata perlakuan di dalam tembok lembaga maupun diluarnya. Yang terpenting dari tugas Hakim Wasmat dalam tahap ini adalah penitikberatannya
pada
pengawasan
antara
lain
apakah
Jaksa
telah
menyerahkan terpidana kepada Lembaga Pemasyarakatan tepat pada waktunya, apakah masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan benar-benar dilaksanakan
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
78
secara nyata dalam praktek oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan telah terpenuhi misalnya mengenai pemberian asimilasi, remisi, cuti, lepas atau bebas bersyarat. b. Tugas Pengamatan Merupakan tugas yang ditujukan pada masalah pengadilan itu sendiri sebagai bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan datang yang meliputi : 1. Mengumpulkan data tentang perilaku narapidana yang di katagorikan berdasarkan jenis tindak pidananya (misalnya pembunuhan, perkosaan, narkoba dan sebagainya). Data mengenai perilaku narapidana ini dapat berpedoman pada faktor-faktor antara lain tipe dari pelaku tindak pidana (misalnya untuk pertama kali melakukan tindak pidana, residivis dan sebagainya), keadaan rumah tangganya, perhatian dari keluarga terhadap dirinya (besar sekali, kurang, tidak ada perhatian dan sebagainya), catatan pekerjaannya, catatan mengenai kepribadiannya (tenang, egosentris, emosional dan sebagainya), jumlah teman-teman dekatnya, keadaan psikisnya dan lain-lain. 2. Mengadakan evaluasi mengenai hubungan antara perilaku narapidana tersebut dengan pidana yang dijatuhkan, apakah lamanya pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana dengan perilaku tertentu sudah tepat (cukup) untuk melakukan pembinaan terhadap dirinya sehingga pada waktu dilepaskan nanti narapidana tersebut sudah dapat kembali dan menjadi bagian dari anggota masyarakat yang baik dan taat hukum serta kesopanan, kesusilaan dan tradisi (yang baik) yang berlaku di masyarakat. Hasil atau data dari tugas pengawasan dan pengamatan dari Hakim Wasmat kemudian dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri paling sedikit 3 (tiga) bulan
sekali
dengan
tembusan
ditujukan
kepada
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan, Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, Kepala Kejaksaaan Tinggi, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri juga meneruskan laporan tersebut kepada hakim-hakim
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
79
lainnya yang telah memutus perkara pidana dari narapidana yang bersangkutan agar dapat mereka ketahui hal-hal yang berkaitan dengan putusan mereka. Pengawasan sendiri mempunyai sasaran agar sejauh mungkin dapat mencegah terjadinya pemborosan, kebocoran dan penyimpangan dalam penggunaan wewenang, tenaga, uang dan perlengkapan milik negara sehingga dapat terbina aparatur yang bersih, berwibawa, berhasil guna dan berdaya guna.
c. Metode Pengawasan dan Pengamatan Berdasarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1985 tanggal 11 Februari 1985, metode yang dipergunakan dalam melakukan pengawasan dan pengamatan adalah metode persuasif yang ditunjang oleh asas kekeluargaan dalam artian di dalam melaksanakan tugasnya Hakim Wasmat harus selalu menggunakan tata cara pendekatan yang dijiwai oleh itikad baik untuk mencapai tujuan yang mulia melalui pengarahanpengarahan, saran-saran dan himbauan-himbauan dan tidak dibenarkan sampai menyinggung perasaan pihak-pihak lain ataupun mencampuri secara formal wewenang instansi lain. Apabila terpaksa akan memasuki bidang kewenangan dari instansi lain hendaknya hal itu tetap bertumpu pada sikap kekeluargaan yang dilandasi sifat kearifan dan kebijaksanaan. Dalam hal seorang narapidana berpindah tempat ke Lembaga Pemasyarakatan lain maka data (cukup salinannya saja) mengenai kondisi narapidana yang bersangkutan harus dikirim ke Pengadilan Negeri di daerah hukum mana Lembaga Pemasyarakatan tersebut berada dengan tujuan agar terjaga kelangsungan pengawasan dan pengamatan secara berkesinambungan dan hal tersebut juga akan membawa manfaat dalam membuat keputusan antara lain untuk pemberian remisi, cuti, lepas atau bebas bersyarat dan sebagainya. Dari tugas dan fungsinya melakukan pengawasan dan pengamatan tersebut hakim diharapkan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
80
kejahatan harus menyadari akan maksud dan sasaran dari putusan yang di jatuhkannya
sehingga
tanggungjawabnya
tidak
terhenti
sampai
saat
menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku semata.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
81
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1
Remisi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Pemberian remisi bagi narapidana secara umum pada dasarnya mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi. Namun dalam perkembangannya, remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Perubahan tersebut tidak hanya terkait dengan
pemberian remisi namun juga terhadap pemberian Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas dan Pembebasan Bersyarat (PB). Perubahan tersebut dibuat guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat terutama terkait dengan narapidana yang telah melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau menimbulkan korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Pengaturan Remisi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 terdapat dalam Pasal 34 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 34 (1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi. (2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. (3) Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
82
a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana. (4) Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana apabila memenuhi persyaratan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lembaga Permasyarakatan. Pasal 34 A (1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (3) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. (2) Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Dan pada penjelasan umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan pembatasan tersebut dilakukan khusus terhadap pelaku tindak pidana : 1. Untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi produsen dan bandar. 2. Untuk tindak pidana korupsi, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi tindak pidana korupsi yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 3. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaran negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 4. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat; dan / atau 5. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut dalam Pasal demi Pasal Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tersebut. Menjadi sesuatu yang menarik adalah terhadap Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan hingga saat ini belum mempunyai aturan pelaksana berupa
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
83
Peraturan Presiden sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dengan Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi sebagai aturan pelaksananya108 padahal secara jelas Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 ini menyebutkan : “ Ketentuan mengenai Remisi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden”. Aturan Remisi yang ada hingga saat ini hanya sebatas tataran Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor. E.PS.01.10-15 tanggal 5 Oktober 2007 perihal Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 terkait Remisi. Surat Edaran tersebut ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di seluruh Indonesia. Adapun petunjuk pelaksanaannya berisi hal-hal sebagai berikut : 1. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 mulai diberlakukan pada pemberian Remisi khusus Idul Fitri tahun 2007. 2. Ditujukan kepada narapidana dengan kasus-kasus tertentu sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 yang baru pertama kali akan mendapat remisi dengan persyaratan : a. Berkelakuan baik b. Telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana. 3. Bagi narapidana yang sudah memperoleh remisi tahun 2007 (baik remisi khusus Nyepi dan Waisak maupun remisi umum 17 Agustus 2007) tetap mendapatkan remisi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi dengan penilaian kelakuan baik yang sangat ketat / selektif.
108 Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, LN Tahun 1999 Nomor 69, TLN Nomor 3846 dan berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah”.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
84
4. Remisi sebagaimana dimaksud dalam point 2 diusulkan Kalapas/Karutan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah untuk mendapatkan persetujuan Menteri. 5. Penjelasan mengenai tindak pidana tertentu : a. Terorisme ; b. Narkotika / Psikotropika : Klasifikasi pengedar / bandar (produsen) ; c. Korupsi : Nominal minimal 1 (satu) Milyar ; d. Kejahatan terhadap keamanan negara : Makar ; e. Kejahatan HAM berat : pembunuhan massal (genocide), perbudakan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa. f. Kejahatan transnasional terorganisasi lainnya : illegal logging, traficking, cyber crime dan money laundering 6. Bagi narapidana sebagaimana tersebut pada angka 5 yang pernah memperoleh remisi (baik remisi umum maupun remisi khusus) untuk mendapat remisi berikutnya (termasuk remisi khusus Idul Fitri 2007) agar diusulkan oleh Kalapas/Karutan dengan berkas kelengkpannya ke kantor wilayah dan selanjutnya Kepala Kantor Wilayah meneruskan kepada Menteri Hukum dan Hak
Asasi
Manusia
Republik
Indonesia
melalui
Direktur
Jenderal
Pemasyarakatan. 7. Peraturan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang baru.
Petunjuk teknis pemberian Remisi bagi narapidana korupsi dan terorisme semakin bertambah dengan adanya Kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bermula dengan dikeluarkannya surat Nomor : PAS-HN.01.02-42 tertanggal 31 Oktober 2011 oleh Plh. Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Direktur Bina Pengelolaan Basan dan Baran) yang
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
85
ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia c.q Kepala Divisi Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Disebutkan lebih lanjut bahwa sejalan dengan kebijakan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia terkait dengan Moratorium Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme disampaikan agar Kepala Devisi Pemasyarakatan memerintahkan Kepala UPT Pemasyarakatan segera menindaklanjuti Moratorium Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut : 1. Bagi Kepala UPT Pemasyarakatan yang telah menerima Salinan Keputusan Pembebasan Bersyarat Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme akan tetapi belum di laksanakan diperintahkan untuk menangguhkan pelaksanaannya, 2. Memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak mengusulkan Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme. 3. Memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak melanjutkan usulan atau memberikan Remisi Khusus Natal tahun 2011 bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme. 4. Langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2 dan 3 berlaku sampai adanya ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai pemberian Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme. Adapun alasan dikeluarkannya surat edaran tersebut adalah: “ Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, serta tindak pidana korupsi perlu di golongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Bahwa untuk menegaskan dan mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi secara luar biasa dipandang perlu untuk lebih memperketat pemberian hak
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
86
narapidana tindak pidana korupsi”109. Dan obral pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi jelas bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Menteri Hukum dan HAM memandang bahwa kebijakan pengetatan pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana korupsi sejalan dengan rasa keadilan masyarakat110. Kebijakan melakukan pengetatan pemberian hak narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini kemudian ditindaklanjuti oleh UPT Pemasyarakatan dengan menangguhkan pelaksanaan Pembebasan Bersyarat sejumlah narapidana korupsi dan terorisme. Beberapa narapidana kasus korupsi diantaranya oleh Ahmad Hafiz Zawawi, dkk yang kemudian mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta pada tanggal 15 Desember 2011 dengan gugatan terdaftar dengan register Nomor 217/G/2011/PTUN-Jkt dan R. Saleh Abdul Malik yang mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta pada tanggal 12 Desember 2011 dengan gugatan terdaftar dengan register Nomor 211/G/2011/PTUN-Jkt. Kedua gugatan tersebut saat ini masih dalam upaya hukum Banding namun majelis hakim Pengadilan Tingkat Pertama memenangkan gugatan keduanya terhadap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa alasan yang dipergunakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah tidak termasuk pemberian alasan yang dapat dijadikan dasar Pencabutan Pembebasan Bersyarat yang secara limitative telah diatur oleh peraturan perundang-undangan serta secara substansial bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik diantaranya yaitu Asas Pengharapan. Tidak berselang lama, tanggal 16 Desember 2011 Direktur Jenderal Pemasyarakatan kembali menerbitkan surat dengan Nomor. PAS-PK 01.01.02171 perihal Pengusulan Pemberian Remisi bagi Narapidana yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 terkait kebijakan Pengetatan Remisi Kementerian Hukum 109 110
Putusan Nomor 211/G/2011/PTUN Jkt hlm. 72 Ibid, hlm. 73
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
87
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Kepala Divisi Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Adapun isi dari surat tersebut adalah : “ Menindaklanjuti surat terdahulu Nomor PAS-HM01.02.42 tanggal 31 Oktober 2011 perihal moratorium pemberian hak narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme. Terkait kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan hormat disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 a. Pasal 34A Ayat (1) mengatur bahwa “ Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (3) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan”. b. Pasal 34A Ayat (2) mengatur bahwa “Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri”. 2. Oleh karena itu Kalapas/Karutan dapat mengusulkan remisi bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 (dengan menggunakan blanko terlampir dan disesuaikan dengan masing-masing perkara/jenis tindak pidana). 3. Pengusulan Remisi sebagaimana tersebut pada angka 2 diatas, tanpa kecuali seluruhnya dikirimkan melalui Kepala Kantor Wilayah untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang selanjutnya akan memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk mendapatkan keputusan.
Terhadap surat Dirjen Pemasyarakatan ini masih banyak hal yang perlu dicermati lebih lanjut. Tampak surat edaran tersebut terlihat “memperhalus” pengusulan remisi bagi narapidana korupsi daripada surat edaran sebelumnya tertanggal 31 Oktober 2011. Nampak jelas bahwa surat edaran kedua mendasarkan alas haknya pada Pasal 34A Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa “ Remisi bagi Narapidana sebagimana
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
88
dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (3)111 diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan”. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang menjadi parameter pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan sehingga Menteri dapat memberikan remisi bagi seorang narapidana? Karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut terhadap ketentuan pasal tersebut dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006. Dan pengaturan lebih lanjut tentang remisi ini dalam tataran Peraturan Presiden sebagai aturan pelaksana belumlah ada112. Namun bila melihat kembali pada ketentuan Pasal 34A Ayat (3) narapidana-narapidana tersebut diberikan Remisi apabila “memenuhi persyaratan yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana”. Sehingga berdasarkan aturan tersebut, syarat yang diperlukan bagi narapidana untuk mendapatkan remisi adalah berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana. Penjelasan tentang “berkelakuan baik” penulis temukan dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu pada Pasal 34 yang menyebutkan: “Yang dimaksud dengan berkelakuan baik
adalah mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan
disiplin yang dicatat dalam buku Register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi”. Sehingga dari adanya penjelasan tersebut dapat disimpulkan untuk dapat memperoleh remisi, seorang narapidana korupsi harus memenuhi persyaratan : 1. Mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat dalam buku Register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi 111
Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Berkelakuan baik; dan b. Telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana. 112 Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 menyebutkan bahwa “ Ketentuan mengenai Remisi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden”
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
89
2. Telah menjalani1/3 (satu per tiga) masa pidana. Bila dilihat tidak adanya aturan yang menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “berkelakuan baik” disini, akan membuka celah yang “dapat” digunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memberikan justifikasi. Penilaian atas berkelakuan baik ini dapat bersifat sangat subyektif. Hal serupa dapat dilihat dalam putusan Pengadilan TUN Jakarta Nomor 211/G/2011/PTUN Jkt dimana tergugat (Menteri Hukum dan HAM) dalam jawabannya menyatakan “Dalam hal pemberian Pembebasan Bersyarat, Pasal 43 Ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 mensyaratkan kewajiban memperhatikan “kepentingan, keamanan dan ketertiban umum dan rasa keadilan masyarakat”. Frase kepentingan, keamanan dan ketertiban umum dan rasa keadilan masyarakat merupakan blenket norm atau norma kabur yang dalam teori hukum membuka ruang penafsiran oleh tergugat selaku pejabat yang diberikan wewenang oleh undang-undang Pemasyarakatan maupun PP Nomor 32 tahun 1999 dan PP Nomor 28 tahun 2006 untuk menjalankan ketentuan yang terkait dengan pemasyarakatan termasuk menerbitkan kebijakan mengenai pemberian pembebasan bersyarat113. Sebagai Unit Pelayanan Teknis (UPT) Lembaga Pemasyarakatan, Seksi registrasi mempunyai tanggungjawab melakukan pengolahan data yang berkaitan dengan narapidana. Sebagai bagian dari bidang pembinaan, salah satu tugas pokoknya adalah melakukan penyeleksian dan mempersiapkan pengusulan remisi bagi narapidana untuk kemudian diteruskan kepada kantor wilayah setempat. Menurut Kasubsi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta, Tri Ari, S.Ag. M.Hum menyatakan bahwa : “... Pihaknya secara otomatis akan mengusulkan para narapidana untuk mendapatkan remisi, baik remisi umum maupun remisi khusus dengan catatan sepanjang narapidana yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah di tentukan oleh undang-undang dan tidak mempunyai catatan dalam register F, dalam artian tidak melakukan pelanggaran tata tertib di Lembaga Pemasyarakatan. Bagi narapidana tindak pidana biasa (tindak pidana umum) akan mendapat pengusulan setelah yang bersangkutan menjalani minimal 6 bulan pidananya. Terhadap narapidana yang melakukan tindak 113
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 211/G/2011/PTUN-Jkt hlm.72
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
90
pidana sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 tahun 2006 tetap dilakukan pengusulan remisi setelah yang bersangkutan menjalani 1/3 (satu pertiga) dari masa tahanannya. Usulan tersebut kemudian diteruskan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM D.I Yogyakarta. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM D.I Yogyakarta kemudian meneruskan usulan tersebut kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Kewenangan pemberian remisi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam PP 28 Tahun 2006 tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Jadi, kewenangan untuk memberikan remisi tersebut ada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pihaknya selaku Unit Pelayanan Teknis hanya bersifat sebatas melakukan pengusulan remisi terhadap narapidana yang ada”. Sehubungan dengan Surat Nomor PAS-HM.01.02-42 tanggal 31 Oktober 2011 tentang Moratorium Pemberian Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme khususnya perintah kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak mengajukan usulan atau memberikan Remisi Khusus Natal tahun 2011 bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme, beliau menyatakan : “... bahwa pada saat menerima petunjuk moratorium tersebut, Lapas Kelas II Wirogunan D.I Yogyakarta tidak melakukan pengusulan remisi natal 2011 karena tidak terdapat narapidana korupsi maupun terorisme yang beragama Kristen Protestan maupun Katolik. Saat itu di Lapas Wiragunan hanya terdapat 1 orang narapidana korupsi atas nama Bahtanisyar Basyir namun yang bersangkutan belum memenuhi syarat untuk dapat menerima remisi baik remisi umum maupun khusus. Namun pada saat ini (setelah Desember 2011) lanjutnya, Lapas Kelas II Wirogunan mendapat “kiriman” narapidana korupsi dari Lapas dan Rutan di wilayah D.I Yogyakarta sehingga berjumlah 26 orang”. Mengenai Remisi ia berpendapat : “ Remisi adalah hak daripada narapidana sebagaimana disebutkan dalam UU Pemasyarakatan namun narapidana tidak secara serta akan mendapatkannya. Untuk dapat memperolehnya, narapidana diharapkan selalu berperilaku baik dengan mentaati peraturan lembaga pemasyarakatan. Dapat dikatakan remisi sebagai “hadiah” bagi narapidana yang telah berperilaku baik dengan demikian diharapkan dapat menjadi stimulus untuk mengurangi terjadinya bentrokan dan kekacauan antar narapidana yang mungkin terjadi karena narapidana akan menghindarkan dirinya tercatat dalam register F yang akan berakibat dirinya tidak akan mendapatkan remisi. Perlu diketahui bahwa Kehidupan didalam tahanan yang terisolasi mudah menimbulkan kebosanan dan hal tersebut mudah memicu konflik antar narapidana maupun antara narapidana dan petugas”. Terkait dengan kebijakan pengetatan pemberian moratorium remisi bagi narapidana korupsi dan terorisme, ia secara pribadi berpendapat :
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
91
“ ... disatu sisi kebijakan tersebut adalah wajar karena tindak pidana korupsi dan terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Namun disisi lain, dengan diperketatnya pemberian remisi bagi narapidana korupsi dan terorisme akan menimbulkan masalah baru di lembaga pemasyarakatan. Ditakutkan, kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah para narapidana tersebut akan menjadi sulit untuk diatur dan kecenderungannya akan melakukan pelanggaran terhadap tata tertib di lembaga pemasyarakatan karena secara logika toh dengan bersikap baik dan mematuhi peraturan yang ada tidak ada hasil (reward) yang mereka dapatkan. Walaupun Lapas Wiragunan memiliki kapasitas daya tampung sampai dengan 750 orang narapidana, dan saat ini masih berisi 319 narapidana (per-1 April 2012) namun jumlah pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wiragunan hanya sedikit yang bertugas di bidang pengamanan sehingga sejauh mungkin dilakukan usaha-usaha preventif untuk menghindari terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban didalam Lembaga Pemasyarakatan”. Penulis kemudian melakukan wawancara dengan purposive sampling terhadap 26 narapidana korupsi yang ada di Lapas Kelas II Wirogunan. Terdapat salah saeorang narapidana korupsi yang dihukum dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, denda sebesar Rp 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp 210.122.975,00 (Dua Ratus Sepuluh Juta Seratus Dua Puluh Dua Ribu Sembilan Ratus Tujuh Puluh Lima Rupiah) subsidiair 8 (Delapan) bulan kurungan. Ia kemudian membuat surat pernyataan kepada Kejaksaan tidak sanggup untuk membayar pidana denda maupun uang pengganti sehingga harus menjalani pidana kurungan pengganti denda dan uang pengganti. Sejak ditahan di Rutan Bantul dirinya mengetahui bahwa sebagai narapidana korupsi dirinya tidak akan mendapatkan remisi. Menurutnya, sejak ditahan tanggal 18 Maret 2011 hingga saat ini dirinya belum pernah mendapatkan remisi dan ia tidak mengetahui bagaimana tata cara memperoleh remisi. Yang ia ketahui adalah dirinya harus selalu mentaati peraturan Lembaga Pemasyarakatan (tidak melakukan pelanggaran) agar tidak dicatat dalam Register F114. Saat ditanya tentang pendapatnya mengenai remisi ia mengatakan : 114
Wawancara dilakukan pada tanggal 11 April 2012 di Lapas Kelas II B Wirogunan D.I
Yogyakarta
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
92
“.. saat pertama kali berada di Rutan Bantul dan mengetahui bahwa narapidana korupsi tidak akan mendapatkan remisi, saya sempat dipresi selama hampir 1 (satu) bulan. Sejak awal diperiksa di Kejaksaan hingga persidangan di pengadilan saya sudah membuat surat pernyatan menolak di dampingi oleh penasehat hukum. Saat penulis mengungkapkan bahwa ia berhak di dampingi penasehat hukum secara gratis (probono) dirinya mengatakan telah mengetahui hal tersebut namun menurutnya, dengan menggunakan penasehat hukum maka kemungkinan proses persidangan akan semakin memakan waktu sedangkan dirinya sudah pasrah dan ingin segera proses tersebut cepat berakhir. Sejak awal dirinya menerima putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan tidak melakukan upaya hukum karena tidak ingin terkatung-katung dalam ketidakpastian. Melakukan upaya hukum itu menurutnya ibarat bermain judi, bisa jadi putusan di tingkat berikutnya lebih rendah atau bahkan bebas atau malah yang terburuk akan lebih berat. Harapannya ke depan agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan moratorium remisi tersebut karena kehidupan penjara sama sekali tidak menyenangkan apalagi bagi seorang perempuan seperti dirinya harus terpisah dari suami dan anak. Bilamana remisi tersebut adalah benar hak yang dapat diperoleh narapidana bila berkelakuan baik sebagaimana disebutkan dalam UU Pemasyarakatan maka ia berharap dirinya juga dapat memperolehnya tanpa kecuali”. Lain halnya dengan narapidana korupsi lain “pindahan” dari Rutan Kelas II B Wonosari. Kepada penulis, dirinya mengakui telah direkomendasikan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pusat melalui surat Nomor PAS.2.PK.01.05.06389 tanggal 10 Juni 2011 untuk diberikan Pembebasan Bersyarat dengan syarat telah membayar denda dan uang pengganti atau bila tidak sanggup membayar akan menjalani pidana kurungan dan pidana penjara dari kewajiban membayar uang pengganti. Bila dirinya telah membayar denda dan uang pengganti atau menjalankan pidana kurungan pengganti denda dan uang pengganti maka Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat dirinya akan seger diterbitkan. Kewajiban menjalani pidana kurungan pengganti denda dan pidana penjara dari kewajiban membayar uang pengganti telah ia laksanakan dan sesuai dengan lampiran surat tersebut dirinya “seharusnya” akan bebas pada tanggal 13 Juni 2012 mendatang. Saat penulis menanyakan tentang adanya kebijakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang moratorium yang memerintahkan Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak mengusulkan Remisi, Asimilasi maupun Pembebasan
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
93
Bersyarat bagi narapidana korupsi dan terorisme dengan “kemungkinan” tidak diterbitkannya Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SK PB) atas nama dirinya, Tulus Margiyono menyatakan : “.. terus terang saya juga takut, bingung akan melakukan langkah apa dan akan mengadukan hal tersebut kepada siapa mengingat hingga saat ini SK PB saya belum diterbitkan padahal saya telah menjalani secara penuh pidana kurungan pengganti denda maupun pidana penjara pengganti uang pengganti sebagai syarat dapat diterbitkannya SK PB tersebut. Dan selama 44 bulan menjalani pidana penjara ini saya belum pernah berbuat onar”.115 Wawancara kemudian dilakukan kepada Narapidana Korupsi uang penghargaan purna bakti Anggota DPRD D.I Yogyakarta masa bakti 1999-2004. Bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan terdapat 15 orang narapidana mantan anggota dewan yang tersandung masalah tersebut. Eksekusi dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta sebanyak 2 (dua) kali, dimana tahap pertama dilakukan eksekusi terhadap 13 orang mantan anggota DPRD dan eksekusi secara paksa dilakukan terhadap 1 orang mantan anggota DPRD sementara 1 orang narapidana atas nama Bahtannisyar Basyir yaitu mantan Ketua DPRD D.I Yogyakarta masa bakti 1999-2004 telah terlebih dahulu berada di Lembaga Pemasyarakatan karena perkaranya terlebih dahulu disidik oleh Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta. Wawancara dilakukan terhadap Arief Edy Subiantoro dan Cindelaras Yulianto116 yang saat ini tengah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang tercatat dalam register kepaniteraan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 2.PK/pid/2012/PN.YK tanggal 30 Maret 2012.Mereka mengakui baru di eksekusi ke Lapas Wirogunan tanggal 30 Januari 2012 dan sebelumnya sudah mendengar adanya kebijakan moratorium remisi kepada narapidana korupsi dan terorisme. Walaupun mereka memang belum berhak untuk menerima remisi namun menurut mereka asalkan kebijakan tersebut memiliki dasar hukum yang jelas maka dengan berat hati mereka akan menerimanya. Mereka sendiri mengakui adalah korban dari tumpang tindih dan 115
Wawancara dilakukan pada tanggal 11 April 2012 di Lapas Kelas II B Wirogunan D.I
Yogyakarta 116
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 April 2012 di Lapas Kelas II B Wirogunan D.I
Yogyakarta.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
94
ketidakjelasan peraturan yang ada yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diajukan melalui Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung dengan Gugatan terdaftar dengan Register Nomor 04.G/HUM/ 2001yang telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2005. Lain halnya dengan narapidana korupsi lain yang mempertanyakan tentang keabsahan
berlakunya
kebijakan
moratorium
tersebut
dirinya
juga
mempertanyakan maksud “berkelakuan baik” yang disyaratkan oleh undangundang untuk dapat memperoleh remisi. Menurutnya, apa acuan untuk dapat dikatakan berkelakuan baik tersebut karena tidak adanya aturan yang dapat mendefinisikan maksud berkelakuan baik tersebut117. Penulis kemudian melakukan cross-check atas keterangan tersebut kepada Armunanto selaku Kasubsi Pelaporan dan Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Wirogunan D.I Yogyakarta. Dirinya membenarkan bahwa salah satu syarat untuk dapat memperoleh remisi adalah berkelakuan baik dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi. Saat penulis menanyakan tentang tindakan disiplin seperti apa yang dimaksud sebagai bentuk pelanggaran, beliau hanya menyebutkan jenis pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud seperti menyelundupkan narkoba, telepon genggam, usaha melarikan diri, memprovokasi narapidana lain namun beliau tidak dapat menunjukkan standar baku peraturan yang mengatur secara limitatif perbuatan-perbuatan yang dikatagorikan sebagai pelanggaran disiplin ringan maupun berat tersebut118. Terhadap pro-kontra kebijakan moratorium pemberian remisi terhadap narapidana korupsi dan terorisme ini, penulis berupaya mencari beberapa nara sumber yang terdiri atas praktisi dan akademisi yaitu Prof. Dr. Jur Andi Hamzah,SH dan Prof. H.Mardjono Reksodiputro,SH,MA Guru Besar Hukum 117
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 April 2012 di Lapas Kelas II B Wirogunan D.I
Yogyakarta. 118
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 April 2012 di Lapas Kelas II B Wirogunan D.I
Yogyakarta.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
95
Pidana FH. Universitas Indonesia. Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, SH. M.Hum, Guru Besar Hukum Pidana FH. Universitas Gajahmada dan Sigid Trianto, SH.Msi Dosen Pengajar Teori Hukum dari FH. Universitas Gajahmada. Dari pihak praktisi, nara sumber yang penulis wawancarai adalah Samsul Hadi, SH.M.Sc, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi D.I Yogyakarta. Menurut Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, SH.M.Hum119 kontroversi kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat narapidana kasus korupsi adalah wajar, tergantung dasar teori yang digunakan untuk untuk mempertahankan argumentasi masing-masing pihak. Bagi mereka yang pro dengan kebijakan moratorium tersebut hanya memandang bahwa pemidanaan semata-mata ditujukan untuk pembalasan sesuai dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan. Dan hal ini merupakan ciri utama aliran klasik dalam hukum pidana yang sejak awal kelahirannya telah menimbulkan banyak kritik. Bahkan Jeremy Bentham sebagai salah satu tokoh aliran klasik mengemukakan bahwa pemidanaan tidak boleh ditujukan hanya kepada pembalasan namun yang terpenting adalah mendatangkan manfaat bagi perbaikan diri pelaku kejahatan. Namun bagi mereka yang kontra dengan kebijakan moratorium tersebut berpegang kepada teori relatif dalam hukum pidana bahwa pemidanaan selain ditujukan sebagai pencegahan umum terjadinya kejahatan juga bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan. Oleh karena itu, seorang narapidana tanpa membeda-bedakan kasusnya berhak untuk mendapatkan hak-haknya seperti remisi maupun pembebasan bersyarat selama yang bersangkutan berkelakuan baik dalam menjalani hukuman. Menurutnya, terhadap kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi paling tidak terdapat 4 (empat) hal yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, kebijakan tersebut memperlihatkan sikap apriori terhadap hukum pidana yang berorientasi pada filsafat keadilan retributif semata. Padahal orientasi yang demikian membawa pemerintah Indonesia dalam posisi berhadaphadapan dengan berbagai instrumen internasional, baik yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia maupun yang berkaitan dengan antikorupsi yang telah kita 119
Wawancara dilakukan pada tanggal 17 April 2012 di FH Universitas Gajahmada Yogyakarta
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
96
ratifikasi. Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politk demikian pula konvensi PBB mengenai anti korupsi secara implisit tidak lagi merujuk pada keadilan retributif dalam hukum pidana tetapi mengalami perubahan paradigma baru yaitu keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Keadilan korektif berkenaan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana. Sdangkan keadilan rehabilitatif berhubungan dnegan upaya untuk memperbaiki terpidana sementara keadilan restoratif berkaitan dengan pengembalian aset negara yang di korupsi. Kedua, secara harfiah kata-kata moratorium diartikan sebagai penghentian sementara sehingga moratorium remisi dan pembebasan bersyarat diterjemahkan sebagai penghentian sementara remisi dan pembebasan bersyarat kepada terpidana korupsi. Hal ini selain bertentangan dengan Hak Asasi Manusia juga tidak sesuai dengan perkembangan teori sistem peradilan pidana. M.King dalam A Framework of Criminal Justice memperkenalkan status passage model dimana model ini memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penerimaan status bagi terpidana oleh masyarakat yang diwakili oleh institusi penegak hukum. Masih menurut model ini, masyarakat turut bertanggungjawab untuk memperbaiki narapidana agar tidak melakukan kejahatan. Keterlibatan masyarakat disini dengan cara proses asimilasi yang dijalani oleh narapidana yang berkelakuan baik menjelang pembebasan bersyarat. Ketiga, jika yang dimaksudkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan moratorium adalah pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi haruslah didasarkan pada aturan tertulis dan parameter yang jelas sehingga kebijakan tersebut tidak di salah gunakan. Pengetatatn persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi sangat dimungkinkan sebagai efek jera jika korupsi dilakukan secara terorganisir atau dilakukan oleh aparat penegak hukum atau pejabat negara atau dalam keadaan tertentu. Ini sama halnya dengan penjatuhan pidanan mati yang dimungkinkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan darurat. Keempat,kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi berlaku prospektif. Artinya, kebijakan ini tidak boleh diberlakukan surut termasuk kepada narapidana korupsi yang telah mengalami asimilasi kendatipun pembebasan bersyaratnya baru berlaku pada tanggal setelah kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Suatu postulat dasar dalam hukum pidana yang berlaku universal adalah asas lex favor reo, yang berarti jika terjadi perubahan aturan, tersangka, terdakwa, terpidana atau narapidana harus ditetapkan aturan yang menguntungkan baginya”.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
97
Sementara Sigit Trianto, SH. M.Si120 berpendapat : “ ... terhadap masalah tersebut bisa dilihat melalui 2 (dua) sisi. Pertama, apa yang dilakukan oleh Denny Indrayana melalui moratorium bisa jadi merupakan terobosan baru untuk dapat menjadi sumber hukum baru. Perlu diingat bahwa sumber hukum tidak hanya bersumber pada undang-undang, pendapat ahli, yurisprudensi, adat istiadat maupun perjanjian internasional yang diratifikasi melainkan dapat pula berasal dari hasil revolusi seperti Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maupun Impeachment terhadap Presiden Gus Dur, kan waktu lengsernya Gus Dur belum dikenal adanya Impeachment. Dikeluarkannya moratorium tersebut juga beralasan yaitu untuk memberikan efek jera kepada narapidana korupsi. Sudah kita ketahui karupsi merupakan extra ordinary crime dan merugikan negara secara umum dan masyarakat luas secara khusus namun dalam pelaksanaannya masih banyak kasus korupsi yang bebas.Mungkin hal tersebut juga sebagai wujud apriori terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Yang kedua, saat seseorang dalam proses penyidikan hingga penuntutan di pengadilan dan kemudian mendapat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, ia berada dalam ranah penegakkan hukum (Law Enforcement). Dan proses Law Enforcement berhenti pada tahapan saat seseorang telah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Saat ia mulai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan maka kepadanya tunduk Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ia masuk dalam ranah Pembinaan atau Treatment of Prisoners”. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah121 berpendapat bahwa : “... Moratorium tersebut bertentangan dengan United Nations Convention Against Corruption 2003 khususnya pada Pasal (Article) 30 Ayat 5 yaitu : “ Each State Party shall take into account the gravity of the offences concerned when considering the eventuality of early release or parole of the persons convicted of such offences”. (Setiap negara peserta wajib memperhitungkan ringan/beratnya kejahatan yang bersangkutan ketika mempertimbangkan kemungkinan pembebasan yang di percepat atau pembebasan bersyarat bagi orang-orang yang dihukum karena tindak pidana) dan Indonesia sudah sebagai bangsa yang aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah turut menandatangani konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 tersebut dan merativikasikannya kedalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003”.
120
Wawancara dilakukan pada tanggal 17 April 2012 di FH Universitas Gajahmada D.I Yogyakarta. 121 Wawancara dilakukan pada tanggal 23 April 2012 di FH Universitas Indonesia Jakarta.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
98
Sementara Prof. Mardjono Reksodiputro, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia berpendapat122 : “... terdapat 2 (dua) hal dalam pemberian remisi adalah pertama remisi adalah sebagai “hadiah” untuk mereka yang berkelakuan baik. Ini dilihat dari versi narapidana. Yang kedua dilihat dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, remisi ada kaitannya dengan menjaga ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan, Jangan lupa LP itu bandingan antara narapidana dan petugas dalam suatu waktu bisa 100 banding 1, dan pada waktu-waktu tertentu bandingan petugas tersebut bisa sangat sedikit bila terpidana mencapai seribu orang. Di dalam menjaga ketertiban dalam LP yang begitu luas, kalo ada remisi sebagai hadiah maka mereka mempunyai “hope” atau harapan yaitu apabila saya berkelakuan baik, saya tertib maka saya akan mendapat remisi, maka saya akan cepat keluar. Jadi remisi harus dilihat sebagai upaya mengatur mereka untuk lebih tertib. Moratorium kan sebenarnya dalam pengertiannya yang sekarang adalah penundaan keputusan. Kalau itu maksudnya. Ini tidak sama dengan yang ditawarkan yaitu penghapusan remisi untuk napi tipikor dan saya rasa itu tidak adil. Bila maksudnya itu penundaan maka tidak masalah. Yang menjadi masalah kemaren adalah sebenarnya sudah keluar putusan remisi kemudian di tunda, di bekukan, di frezee. Dan itu tidak fair, tidak adil. Orang sudah diberikan haknya tetapi tiba-tiba dibekukan. Tapi yang dibekukan adalah bagi narapidana yang sudah ada keputusannya. Jadi seperti retro aktif. Jadi menurut saya kekeliruannya disitu, jangan bersifat emosional saat memutuskan sesuatu. Ide untuk tidak memberikan remisi bagi narapidana tipikor itu sudah lama ada. Dan menurut saya itu tidak adil. Bila alasannya mereka jahat (penulis : sehingga wajar untuk tidak diberikan remisi) maka hukumlah yang keras, minta supaya jaksa menuntut tinggi dan hakim memutus tinggi. Selama mereka berkelakuan baik maka berikanlah haknya”. Sementara itu, dari bidang Hukum Administrasi Negara penulis meminta pendapat kepada Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH.MH dari FH.Universitas Indonesia yang menyatakan pendapatnya sebagai berikut123 : “ Suatu peraturan kebijakan atau suatu produk administrasi tidak dapat bertentangan dengan peraturan umumnya atau produk hukum yang menjadi alas dasarnya. Produk administrasi tidak dapat menyimpangi suatu produk hukum, sehingga akan menimbulkan kekurangan yuridis (geen juridische gebreken) yang berakibat pada produk administrasi menjadi batal demi hukum (nietig van rechtwege) jika produk administrasi tersebut memiliki legalitas dan legitimasi yang lemah. Di sisi lain, dapat dimintakan pembatalan jika produk administrasi 122 123
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 April 2012 di FH Universitas Indonesia Jakarta. Wawancara dilakukan pada tanggal 24 April 2012 dan 21 Mei 2012
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
99
tersebut memiliki kesalahan dalam menafsirkan suatu ketentuan. Menurut saya, menteri dan wakil menteri hukum tidak memahami konsep hukum administrasi negara yang komprehensif, sehingga memandang mudah dapat melahirkan suatu peraturan kebijakan tanpa memperhatikan prosedur dan tata cara suatu tindakan hukum tersebut menurut peraturan umumnya. Suatu produk administrasi itu dapat mengesampingkan hukum atau suatu peraturan perundang-undangan (produk hukum), tetapi tidak menyimpangi hukum. Jika suatu peraturan umum sudah mengatur hak, proses, dan mekanisme dalam pemberian remisi, maka yang harus dilakukan bukan membuat produk administrasi yang menyimpangi ketentuan tersebut, tetapi seharusnya melakukan perubahan atas peraturan pemerintah itu. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian SK tersebut diajukan PTUN karena pejabat administrasi negara yang membuat produk administrasi tersebut telah melampaui proses, cara, dan mekanisme administrasi dan hukum yang diatur dalam suatu produk peraturan umumnya. Seharusnya produk administrasi memperjelas atau mengisi makna yang masih belum jelas misalnya pengertian pertimbangan Dirjen PAS dan mengenai berkelakuan baik. Dengan demikian, produk administrasi itu sebagaimana produk pengadilan mengisi hukum, bukan kemudian menyimpanginya”. Terhadap adanya petunjuk bagi UPT untuk tidak melakukan pengusulan remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi tersebut beliau lebih lanjut menjelaskan : “... Menurut hukum administrasi negara, pejabat administrasi negara diam saja dianggap sebagai penolakan, sehingga dapat digugat secara hukum ke peradilan tata usaha negara. Dalam hukum administrasi negara, suatu hak atau tindakan permohonan yang tidak diproses sebagaimana mestinya akan menyebabkan hak terpidana dirugikan karena secara hukum diatur dalam PP tersebut. Kedua, pejabat administrasi negara akan dihadapkan pada ketidapastian hukum yang menurut hukum administrasi negara, jika pejabat administrasi negara melalaikan kepastian hukum berarti melalaikan legitimasi. Melalaikan legitimasi artinya pejabat administrasi negara melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata karena bagi administrasi negara legitimasi lebih diutamakan daripada legalitas. Oleh sebab itu, pejabat administrasi negara perlu segera mengambil tindakan SEGERA dengan melakukan perubahan atas PP tersebut jika memang niat dan kehendaknya untuk memberantas korupsi. Sekali lagi harus diingat pemberantasan korupsi tidak hanya membutuhkan keberanian dan niat baik pejabat administrasi negara, tetapi juga membutuhkan rasionalitas, kehendak yang legal, legitimatif, sehingga upayanya memberantas korupsi tidak mengandung kekurangan yuridis yang akan mudah dipatahkan oleh pihak manapun yang menemukan kelemahan di dalamnya”.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
100
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Samsul Hadi, SH. MSc, seorang Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi D.I Yogyakarta. Menurutnya : “... kebijakan moratorium remisi sudah tepat karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime. Banyak kerugian yang diakibatkan oleh seorang narapidana korupsi. Dan selama ini sudah banyak “keringanan” yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Sebut saja sistem pembuktian terbalik. Ide perampasan aset koruptor juga banyak dipertentangkan, apalagi alasannya kalau bukan agar hasil-hasil korupsinya tetap dapat dinikmati sekeluarnya dari penjara. Selain itu, hasil-hasil korupsi biasanya sudah berada dalam penguasaan pihak ketiga sehingga semakin sulit dan berbelit untuk dilakukan gugatan”. Saat penulis mengungkapkan ide kepada beliau sebagai praktisi sekaligus ujung tombak pemberantasan korupsi dengan alternatif pilihan berupa pemberian putusan yang tinggi sebagai wujud penjeraan bagi koruptor namun dengan pilihan tetap memberikan remisi sebagai haknya, Samsul Hadi berpendapat : “ untuk memberikan putusan yang tinggi itu bisa-bisa saja namun kami juga harus menyesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh terdakwa korupsi yang bersangkutan. Dan untuk kasus yang ada di wilayah D.I Yogyakarta masih relatif kecil kerugian negara yang ditimbulkan, jadi tidak mungkin kami menjatuhkan pidana yang tinggi lanjutnya”. Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan dari pihak akademisi maupun praktisi sendiri terdapat perbedaan pendapat terhadap kebijakan moratorium remisi yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.Kesimpulan tersebut dapat terlihat dari pendapat yang pro atas kebijakan moratorium yang diungkapkan oleh praktisi sementara pendapat kontra maupun netral dikemukakan oleh pihak Akademisi. Pendapat PRO Samsul Hadi,SH.Msc (Praktisi) “ Kebijakan moratorium remisi sudah tepat karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime. Banyak kerugian diakibatkan oleh seorang narapidana korupsi. Dan selama ini sudah
NETRAL Sigit Trianto, SH.M.Si (Akademisi FH. Universitas Gajahmada) “ Mungkin hal tersebut sebagai wujud apriori terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Yang kedua, saat seseorang dalam proses penyidikan hingga penuntutan dan
KONTRA Prof.Dr.Jur.AndiHamzah (Akademisi FH. Universitas Indonesia) “ Moratorium tersebut bertentangan dengan United Nations Convention Against Corruption 2003 khususnya pada Pasal (Article) 30 Ayat 5” Prof.Mardjono Reksodiputro,SH,MA
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
101
banyak “keringanan” yang diberikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
mendapat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, ia berada dalam ranah penegakkan hukum(LawEnforcement dan proses Law Enforcement berhenti pada tahapan saat seseorang telah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Saat ia mulai menjalani pidananya di LP maka kepadanya tunduk Undang-Undang 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ia masuk dalam ranah Pembinaan atau Treatment of Prisoner”
(Akademisi FH.Universitas Indonesia) “Moratorium remisi terhadap narapidana korupsi adalah tidak adil. Bila alasannya mereka jahat (penulis : sehingga wajar untuk tidak diberikan remisi) maka hukumlah yang keras, minta supaya jaksa menuntut tinggi dan hakim memutus tinggi. Selama mereka berkelakuan baik maka berikanlah haknya”. Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej,SH.MH (Akademisi FH Universitas Gajahmada) “Pertama, Hal ini selain bertentangan dengan HAM juga tidak sesuai perkembangan teori sistem peradilan pidana.Kedua, Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politk demikian pula konvensi PBB mengenai anti korupsi secara implisit tidak lagi merujuk pada keadilan retributif tetapi mengalami perubahan paradigma baru yaitu keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif. Ketiga, Moratorium harus didasarkan pada aturan tertulis dan parameter yang jelas sehingga kebijakan tersebut tidak
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
102
di salah gunakan. Keempat, kebijakan moratorium berlaku prospektif (kedepan). Artinya, kebijakan ini tidak boleh diberlakukan surut”. DR.Dian Puji Simatupang, SH.MH (Akademisi HAN, FH Universitas Indonesia) “ Menurut saya, menteri dan wakil menteri Hukum dan HAM tidak memahami konsep hukum administrasi negara yang komprehensif, sehingga memandang mudah dapat melahirkan suatu peraturan kebijakan tanpa memperhatikan prosedur dan tata cara suatu tindakan hukum tersebut menurut peraturan umumnya. Suatu produk administrasi itu dapat mengesampingkan hukum atau suatu peraturan perundangundangan (produk hukum), tetapi tidak menyimpangi hukum”.
Dari beberapa pendapat yang diungkapkan baik oleh akademisi maupun praktisi diatas penulis berpendapat bahwasanya remisi merupakan hak bagi narapidana tanpa melihat jenis tindak pidana yang dilakukan. Terlepas dari kejahatan yang dilakukannya, narapidana tindak pidana korupsi tetap harus dilindungi hak-haknya terlebih apabila ia telah melakukan kewajibannya sebagai narapidana
sebagaimana
telah
diamanatkan
oleh
Undang-Undang
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
103
Pemasyarakatan. Hal ini juga sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan asas pengayoman serta asas persamaan perlakuan dan pelayanan sehingga seharusnya tidak terjadi diskriminasi terhadap narapidana tindak pidana korupsi. 3.2
Remisi Narapidana Korupsi ditinjau dari Sistem Pemasyarakatan. Jauh sebelum adanya kebijakan moratorium pemberian hak narapidana baik untuk Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB) bagi narapidana korupsi dan terorisme berdasarkan Surat Dirjen Pemasyarakatan Nomor PAS-HM.01.02-42, bila saja kita mau mencermati lebih jauh pemberian hak bagi narapidana korupsi dan terorisme khususnya dalam hal pemberian remisi tidak sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan karena menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 disebutkan bahwa sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a. Pengayoman, adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinana diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat ; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan, adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membedabedakan orang ; c. Pendidikan, adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah ; d. Pembimbingan ;
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
104
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia, adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia ; f.
Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, adalah bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi; dan
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada dalam LAPAS tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga. Mengambil salah satu asas yang ada, apabila semua narapidana menurut undang-undang pemasyarakatan tersebut dibina berdasarkan kepada asas persamaan perlakuan dan pelayanan maka tampak jelas bahwa narapidana korupsi tidak diperlakukan demikian adanya. Hal tersebut bisa dilihat bahwa dalam Pasal 34 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006, remisi bagi narapidana Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidana. Sementara menurut peraturan yang sama, yaitu Pasal 34 Ayat (2) narapidana dan anak pidana (penulis : untuk tindak pidana selain disebutkan dalam Pasal 34 Ayat (3) PP 28 Tahun 2006 ) dapat
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
105
diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan selain berkelakuan baik juga telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan. Ini menjadikan narapidana korupsi akan memiliki waktu yang lebih lama daripada narapidana tindak pidana lain untuk dapat berintegrasi dengan masyarakat. Belum lagi adanya ketentuan 34A Ayat (1) yang menyebutkan bahwa remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus yang lain diberikan oleh menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengapa masih diperlukan adanya pertimbangan tertentu dari Dirjen Pemasyarakatan untuk dapat diberikannya remisi karena bila melihat ketentuan pasal 34 Ayat (3) tidak diperlukan persyaratan lain bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan haknya berupa remisi selain berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidananya. Ketidakjelasan ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan apa yang kemudian dijadikan parameter bagi pihak terkait untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan suatu keputusan remisi bagi narapidana korupsi dan narapidana tindak pidana khusus yang lain walaupun ternyata yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan administratif. Dan hal ini merupakan suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh sistem karena akan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum.
3.3
Remisi Narapidana Korupsi ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia (Human Rights), secara universal diartikan sebagai “those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being”. Untuk Hak Asasi Manusia terdapat adagium “ubi jus ibi remidium” (dimana ada hak, disana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya atau memperbaikinya bilamana dilanggar. Kelanjutan logis dari asas ini adalah penafsiran, bahwa hanya apabila ada proses hukum untuk menuntutnya dapat
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
106
dikatakan adanya hak bersangkutan (ubi remedium ibi ius)124. Pelanggaran terhadapnya tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara penguasa dan rakyat (vertikal) namun juga dalam konteks hubungan antar warga masyarakat (horizontal) bahkan antar negara (transnasional). Karena sifat HAM dikatakan sebagai melekat pada martabat sebagai manusia (inherent dignity of men) maka hak-hak ini dikatakan tidak dapat dihapuskan atau dicabut (inalienable rights) dan karena itu pula tidak oleh di langgar (inviolable). Sifat HAM inilah yang membedakannya dengan hak-hak yang diberikan oleh hukum (legal rights). Pembedaan antara hak yang diberikan oleh hukum dengan HAM adalah penting, karena yang pertama dapat diberikan pembatasan sedangkan yang kedua tidak125. Hak-hak yang dapat dibatasi hanyalah hak-hak relatif (derogable rights) sedangkan hak-hak absolut (non-derogable rights) seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, bebas perbudakan, hak persamaan dalam hukum, kebebasan dalam hukum, kebebasan beragama, bebas dari berlakunya hukum secara surut (retroaktif) dan beberapa hak lain tidak dapat dibatasi sekalipun negara dalam keadaan darurat126.Kewajiban asasi merupakan obyek dari hak negara untuk mengatur (right to self regulation) secara yuridis.
Disamping obyek-obyek
pengaturan yang terbatas, hak negara untuk mengatur juga dibatasi atas dasar asas-asas hukum dalam kerangka negara demokratik. Asas-asas hukum yang membatasi pengaturan oleh negara tersebut diantaranya adalah asas legalitas, asas negara hukum, asas untuk menghormati martabat kemanusiaan, asas persamaan dan non-diskriminatif, asas hukum tidak berlaku surut, asas ne bis in idem dan asas proporsionalitas127.
124
Mardjono Reksodiputro, Pandangan tentang Hak-Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Aspek HakHak Sipil dan Politik dengan Perhatian Khusus Pada Hak-Hak Sipil dalam KUHAP, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Op.cit hal. 57 125 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Penerapan Hukum Nasional,Buku Kelima,Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Op.cit 161 126 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, hlm. xii 127 Ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
107
Dalam konstitusi Indonesia, masalah Hak Asasi Manusia mendapat pengaturan dalam Bab XA Amandemen UUD 1945, Pasal 28A sampai dengan 28J. Terhadap kebijakan moratorium pemberian hak narapidana tindak pidana Korupsi dan Terorisme penulis melihat adanya bentuk pelanggaran Hak Asasi yang dimiliki oleh narapidana tersebut, yaitu: 1) Pasal 28 D Ayat (1), yaitu : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 2) Pasal 28 I Ayat (1) ,(2) dan (4), yaitu: (1) “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa. Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” , (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut”. (3) “Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerintah”. Selain adanya pengaturan yang diberikan oleh UUD 1945, Hak Asasi Manusia mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia128. Terhadap permasalahan ini paling tidak terdapat pelanggaran terhadap hak asasi narapidana tindak pidana korupsi, yaitu bahwa: Pasal 3 Ayat (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pasal 4 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi 128
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LN Tahun 1999 Nomor 165 TLN Nomor 3886.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
108
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pasal 17 Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Sehubungan dengan masalah yang diungkapkan penulis sebelumnya, dengan melihat dari jaminan perlindungan yang diberikan oleh konstitusi maka seharusnya tidak diperbolehkan adanya pembedaan perlakuan terhadap narapidana korupsi dan narapidana pelaku tindak pidana lain termasuk dalam pemberian hakhaknya. Tidak boleh terjadi perlakuan yang diskriminatif129 dan pemerintah harus memberi perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak narapidana korupsi tersebut. Bila terdapat sebagian kalangan yang menyatakan bahwa remisi bukan merupakan hak asasi dari narapidana melainkan sebagai hak yang diberikan oleh hukum (legal rights) sehingga dapat ditiadakan sewaktu-waktu pemberiannya maka peniadaan hak tersebut juga harus berlandaskan kepada aturan hukum sehingga tidak cacat hukum formal sebagaimana terjadi pada moratorium pencabutan SK Pembebasan Bersyarat para narapidana korupsi yang sempat terjadi beberapa waktu lalu130.
129
Berdasarkan Pasal 1 Angka-3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Diskriminasi adalah : “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan,pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya. 130 Gugatan Nomor 211/G/2011/PTUN Jkt dan Nomor 217/G/2011/PTUN Jkt
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
109
3.3
Pengawasan Pemberian Remisi Narapidana Korupsi Seperti diungkapkan Mardjono Reksodiputro, secara jelas kita dapat mengatakan sudah ada perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa
dalam
proses
peradilan
pidana
Indonesia.
KUHAP
dengan
ketidaksempurnaan yang masih terkandung di dalamnya telah sangat jauh (setidak-tidaknya dalam tulisan) mengurangi kesewenang-wenangan yang dimungkinkan proses peradilan pidana di bawah HIR. Namun, bagaimana halnya dengan hak-hak terpidana atau narapidana?. Kesamar-samaran hak-hak narapidana ini sehingga para pejabat lembaga pemasyarakatan (penjara) mempunyai kuasa dan diskresi yang sangat besar atas kehidupan narapidana131. Diskresi atau freies ermessen secara etimologi berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka sementara ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga dan memperkirakan. Jika bertitik tolak dari pengertian etimologi diatas maka diskresi atau freies ermessen mengandung arti hak atau kewenangan pejabat administrasi negara untuk mengambil suatu tindakan yang dianggap pantas atau patut sesuai dengan keadaan faktual yang dihadapi oleh pejabat administrasi negara yang bersangkutan132.Menurut Ridwan H.R, terdapat 3 (tiga) alasan atau keadaan kondisional yang menjadikan pemerintah dapat melakukan tindakan diskresif atau tindakan atau inisiatif sendiri, yaitu133 : 1.
Belum
ada
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera. 2.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya.
131 Mardjono Reksodiputro, Peran dan Tanggungjawab Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Hak-Hak Yang Menurut Hukum Dimiliki Narapidana (Suatu Makalah Pembanding),Op.cit, hlm.65 132 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Erlangga,2010, hlm. 70 133 Ibid hlm.73- 75
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
110
3.
Adanya delegasi perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan ini dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam kondisi yang pertama, diskresi mengandung arti sebagai suatu
tindakan pemerintah yang dilakukan atas inisiatif sendiri akibat terjadinya kekosongan hukum (undang-undang) in concreto. Dalam kondisi ini, kekosongan hukum tersebut harus diisi oleh pemerintah dengan menetapkan sendiri hukum yang berlaku terhadap kasus yang bersangkutan karena belum ada undang-undang yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah. Namun demikian, pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena bagaimanapun juga, dalam negara hukum segenap tindakan pemerintah harus ada batasnya. Pembatasan pertama dilakukan oleh hukum dalam arti hukum positif namun jika masalah baru belum terdapat pengaturannya, pemerintah dapat berpedoman pada asas hukum yang hidup dalam keasadaran hukum bangsa Indonesia. Bahkan jika asas hukum tersebut sulit untuk ditemukan, segenap tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara harus diuji terhadap norma-norma kelayakan dan kepatutan. Dalam kondisi kedua, diskresi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atas inisiatif sendiri untuk menjalankan suatu undang-undang karena undang-undang itu sendiri tidak mengatur cara untuk menjalankannya secara khusus. Sebagai contoh, suatu undang-undang menyatakan bahwa pemerintah dapat memberi izin usaha industri kepada warga negara yang mengajukan permohonan namun undang-undang (pembentuk undang-undang) itu sendiri tidak menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin usaha industri tersebut. Jika pemerintah tidak mengambil tindakan untuk menjalankan undang-undang tersebut, dengan sendirinya undang-undang tersebut tidak dapat dijalankan. Maka dalam hal ini, pemerintah harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menjalankan perintah undang-undang tersebut yaitu dengan menetapkan sendiri syarat-syarat untuk memperoleh izin usaha tersebut. Jika tidak ada patokan yang diberikan oleh undang-undang, syarat-syarat tersebut dengan sendirinya
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
111
ditetapkan atas dasar penilaian pemerintah atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Dalam kondisi ketiga, diskresi merupakan tindakan pemerintah yang dilakukan atas inisiatif sendiri karena aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri suatu hal tertentu meskipun kewenangan untuk mengatur hal tersebut sebenarnya dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Dalam kondisi ini, kekuasaan yang lebih tinggi menyerahkan kewenangannya kepada pejabat administrasi negara untuk menjalankan kewenangannya tersebut.jika terjadi penyerahan kewenangan oleh pejabat administrasi negara, pemerintah bertindak seolah-olah sebagai pembentuk undang-undang. Sementara itu, dalam hubungannya dengan wujud tindakan pemerintahan yang lahir dari kewenangan diskresi, bentuk-bentuk tindakan pemerintah dapat berupa134 : 1. Membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dari sisi meteriil mengikat secara umum; 2. Mengeluarkan beschikking (keputusan tata usaha negara) yang bersifat konkret, individual dan final. 3. Melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif. 4. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam keberatan dan banding administratif. Asas diskresi (freies ermessen) merupakan dasar kewenangan bagi pejabat administrasi negara untuk menetapkan suatu kebijakan. Peraturan kebijakan merupakan wujud formal kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara berdasarkan asas diskresi135.Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut kemudian dituangkan dalam suatu format tertentu agar diberlakukan secara umum. Menurut Abdul Hamid S. Attamimi, dalam hal tertentu, bentuk formal peraturan kebijakan seringkali tidak berbeda atau tidak dapat dibedakan dari 134
Saut Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara hlm. 115 dalam Hotma P. Sibuea, ibid hlm. 77 135 Ibid, hlm. 95-100.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
112
format peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsideran “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”, batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian serta penutup yang sepenuhnya menyerupai perundang-undangan136.Namun,
format
peraturan
kebijakan
terkadang
tampil dengan bentuk lebih sederhana daripada format peraturan perundang-undangan misalnya dalam bentuk pengumuman, surat edaran bahkan kerapkali juga peraturan kebijakan tampil dalam bentuk dan format lain seperti nota dinas, surat edaran, petunjuk pelaksanaan (juklak), petunjuk teknis (juknis), pengumuman dan sebagainya137. Namun, walaupun demikian
menurut Philipus M. Hadjon harus tetap
diberikan perhatian terhadap tata tertib norma hukum karena undang-undang menjadi tidak berguna kalau dengan leluasa dapat diterobos oleh peraturan perundang-undangan dibawahnya atau oleh peraturan kebijakan (beleidsregel). Dalam praktek tidak jarang ditemukan suatu undang-undang diterobos oleh peraturan
perundang-undangan
dibawahnya
bahkan
oleh
peraturan
kebijaksanaan138. Sementara menurut Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH.MH berpendapat : “... Surat Edaran adalah norma jabaran yang sah jika tidak bertentangan dengan peraturan umumnya. Jika Peraturan Pemerintah tersebut menghendaki delegasi pengaturan pelaksanaan dengan suatu Peraturan Menteri, misalnya, ya harus dengan Peraturan Menteri. Jika dengan SE maka hal itu termasuk produk administrasi yang mengandung kekurangan yuridis (geen juridische gebreken). Oleh sebab itu, dapat dimintakan pembatalan atau batal demi hukum. Norma jabaran sebagaimana SE bukan diskresi, atau freis ermessen. Itu produk administrasi. Jadi tidak boleh menyimpang dari ketentuan umumnya”. Terhadap pemberian remisi bagi narapidana korupsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 yang belum mempunyai aturan pelaksana, beliau lebih lanjut menyatakan : “... Harus dilaksanakan pengaturannya dengan Peraturan Presiden. Inilah fakta hukum sejak SBY menjadi presiden, adminstrasi negaranya sangat amburadul 136
Ibid, hlm. 102 Ibid,hlm. 103 138 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, 1999 hlm.8 dalam Hotma P. Sibuea, ibid hlm. 132 137
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
113
dan tidak tersistem baik. Akibatnya bertahun-tahun pengaturan pendelegasian tidak dilakukan. Remisi bisa tetap dilaksanakan, hanya soal-soal teknisnya belum diatur. Jika demikian menurut administrasi negara dapat dilakukan dengan norma jabaran (SE) sampai menunggu produk hukumnya muncul. Hanya SE tidak boleh menyimpang dari segi asas, sistem, standar, dan mekanisme yang ditetapkan PP sebagai peraturan umumnya”. Menurut penulis kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait dengan remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi ini perlu untuk dilakukan pengujian lebih lanjut karena menurut Dr.Ni’matul Huda, SH.M.Hum berdasarkan prinsip pendelegasian, norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Menteri, jika tidak diperintahkan sendiri oleh Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah berarti peraturan dimaksud tidak dapat dibentuk sebagaimana mestinya139. Hal ini perlu dilakukan mengingat berdasarkan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 secara jelas disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang Remisi (penulis : bagi narapidana tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus yang lain) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Bila hal tersebut masih belum bisa dilakukan maka mengutip pendapat Dr. Dian Puji N. Simatupang dapat dilaksanakan norma jabaran Surat Edaran namun dengan tetap berpegangan bahwa Surat Edaran tersebut tidak boleh menyimpang dari segi asas, sistem, standar, dan mekanisme yang ditetapkan PP sebagai peraturan umumnya. Terhadap kebijakan moratorium pemberian hak narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme ini, penulis juga melihat tidak terpenuhinya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) antara lain Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)140. Dalam rangka kepastian hukum, keputusan pemerintah atau pejabat administrasi negara yang telah memberikan hak kepada seseorang warga negara tidak akan dicabut kembali oleh badan atau pejabat administrasi negara yang bersangkutan meskipun keputusan itu memiliki cacat 139
Ni’matul Huda, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Nusa Media Bandung, 2011,hlm.94 140 Hotma P. Sibuea, op.cit hlm.161
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
114
atau kekurangan. Jika hak yang dimiliki oleh seseorang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh badan atau pejabat yang memberikan hak itu maka akan terdapat berbagai kerugian yang dapat timbul yaitu: pertama, pemilik hak yang bersangkutan tidak dapat menikmati haknya secara aman dan tentram karena terdapat kemungkinan haknya dapat dicabut sewaktu-waktu. Kedua, pemilik hak akan mengalami kerugian jika sewaktu-waktu haknya dapat dicabut dan karenanya tidak ada kepastian hukum. Ketiga, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan hilang karena tidak ada konsistensi dalam tindakan pemerintah atau pejabat administrasi negara. Yang kedua adalah pelanggaran terhadap Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation)141 yang menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan bagi warga negara. Sebagai konsekuensinya, pemerintah atau pejabat administrasi negara tidak boleh menarik kembali sesuatu harapan yang sudah terlanjur diberikan kepada seseorang, meskipun bagi pemerintah, tindakan pemberian harapan tersebut merupakan sesuatu hal yang merugikan. Dan peraturan kebijakan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dibatalkan oleh hakim Peradilan Administrasi Negara. Hal ini juga terlihat dalam putusan Nomor 211/G/2011/PTUN-Jkt yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa objek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat secara substansi telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu Asas Pemberian Alasan, Asas Pengharapan dan Asas Kepastian Hukum142. Permasalahan lain yang terjadi adalah temuan yang penulis dapat selama melakukan penelitian di Lapas Kelas II Wiragunan adalah apa yang dialami oleh 2 (dua) orang narapidana tindak pidana korupsi dimana salah seorang diantaranya telah 1 (satu) tahun menjalani masa pidananya mengaku bila dirinya belum memperoleh remisi padahal bila mencermati ketentuan yang ada dirinya dapat 141 142
Ibid hlm.162 Putusan Nomor 211/G/2011/PTUN-Jkt Halaman 72-75
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
115
memperoleh remisi karena telah menjalani 1/3 (satu pertiga) dari masa pidananya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006. Selain itu terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan dirinya untuk memperoleh remisi yaitu Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan dimana pada Pasal 1 disebutkan bahwa : “ Remisi khusus yang tertunda adalah remisi khusus yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang pelaksana pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi Narapidana dan besarannya maksimal 1 (satu) bulan” dan pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia berdasarkan usul dari Kalapas / Karutan yang bersangkutan143. Namun dalam kenyataannya, pengajuan remisi khusus yang tertunda tidak dilakukan oleh UPT yang bersangkutan. Hal lain dialami oleh Tulus Margiyono sebagaimana telah diungkap sebelumnya yaitu dirinya telah direkomendasikan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pusat melalui surat Nomor PAS.2.PK.01.05.06-389 tanggal 10 Juni 2011 untuk diberikan Pembebasan Bersyarat dengan syarat telah membayar denda dan uang pengganti atau bila tidak sanggup membayar akan menjalani pidana kurungan dan pidana penjara dari kewajiban membayar uang pengganti. Bila dirinya telah membayar denda dan uang pengganti atau menjalankan pidana kurungan pengganti denda dan uang pengganti maka Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat dirinya akan segera diterbitkan. Kewajiban menjalani pidana kurungan pengganti denda dan pidana penjara dari kewajiban membayar uang pengganti telah ia laksanakan dan sesuai dengan lampiran surat tersebut dirinya “seharusnya” akan bebas pada tanggal 13 Juni 2012 mendatang. Penulis kembali mempertanyakan keaktifan dari TPP Daerah terkait dalam melindungi hak dari narapidana yang bersangkutan karena hanya UPT tersebut yang mempunyai akses secara langsung kepada pihak yang berwenang. 143
Pasal 4 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01.HN.02.01 Taahun 2001tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
116
Untuk meminimalisir terjadinya masalah seperti penulis ungkapkan diatas maka diperlukan adanya suatu pengawasan. Menurut Prayudi , pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan dan apakah sebab-sebabnya144. Sementara
tujuan
utama
dilakukannya
pengawasan
(controle)
terhadap
pemerintah menurut Paulus Effendie Lotulung adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan baik yang disengaja maupun yang tidak sebagai suatu usaha preventif atau juga sebagai usaha untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan tersebut sebagai usaha represif. Dalam praktek, adanya kontrol itu sering dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan145. Lebih lanjut menurutnya, ditinjau dari segi kedudukan organ atau badan yang melaksanakan kontrol terhadap badan atau organ yang dikontrol dibedakan menjadi kontrol intern dan ekstern. Kontrol intern berati pengawasan dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri misalnya pengawasan yang dilakuan oleh pejabat atasan kepada bawahannya secar hirarkis ataupun pengawasan yang dilakukan oleh tim atau panitia verifikasi yang dibentuk secara insidentil dan biasanya terdiri atas beberapa orang ahli dalam bidang-bidang tertentu. Bentuk kontrol semacam ini dapat digolongkan dalam jenis teknis administratif atau lazim pula disebut sebagai bentuk built-in-control146. Kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga
yang
secara
organisatoris/struktural
berada
di
luar
pemerintahan. Termasuk pula kontrol ekstern ini adalah kontrol yang secara tidak 144
Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia Jakarta,1999 hlm.84 dalam Ni’matul Huda, op.cit hlm.169 145 Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.xv dalam Ni’matul Huda, op.cit hlm.170-171 146 Ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
117
langsung melalui badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal terjadi persengketaan atau perkara dengan pemerintah147. Selain pengawasan dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan baik, bukan berarti mencari-cari kesalahan sehingga menurut P.de Haan ada beberapa motif pengawasan yaitu untuk kepentingan koordinasi dan integrasi pemerintahan, pengawasan keuangan dan pengawasan terhadap kecermatan penyelenggaraan pemerintahan berkenaan dengan perlindungan hak dan kepentingan warga negara karena peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum biasanya berjalan pararel dengan pelanggaran hak dan kepentingan warga negara148. Pengawasan juga ditujukan sebagai sarana untuk mengawasi bahwa organ-organ lebih rendah menjalankan tugasnya dengan baik dalam batas tertentu sesuai kebijaksanaan pemerintah149.
3.3.1 Pengawasan Internal Kenyataan bahwa hak-hak narapidana masih begitu samar-samar dan mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro bahwa terdapat diskresi yang terlalu besar dalam memperlakukan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan memang benar adanya. Terbukti dengan dikeluarkannya moratorium terhadap hak-hak narapidana korupsi berupa pencabutan SK Pembebasan Bersyarat dan permasalahan yang dialami narapidana korupsi di Lapas Kelas II Wiragunan yang penulis temukan. Tidak tertutup kemungkinan masih banyak hal serupa yang terjadi di UPT Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di seluruh Indonesia150. Sebenarnya terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat dipakai terhadap masalah tersebut. Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di tiap tingkatannya (Pusat, 147
Ibid Ridwan, Hukum Administrasi di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta,2009, hlm.126 dalam Ni’matul Huda,op.cit hlm. 172 149 Ibid 150 Mardjono Reksodiputro, op.cit 148
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
118
Wilayah dan Daerah) bukan tanpa maksud. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang dibentuk dalam melakukan tugas dan fungsinya bisa dikatagorikan masuk dalam ranah pengawasan151. TPP Daerah misalnya, yang berada di setiap Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan berdasarkan Pasal 14 Ayat (3) Huruf-d Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 mempunyai tugas untuk menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan untuk kemudian meneruskannya kepada Kepala UPT terkait. Apabila dilihat dari susunan keanggotaan TPP Daerah juga tidak hanya berasal dari internal pihak UPT sendiri melainkan juga melibatkan unsur dari luar UPT seperti Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) dan badan dan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan152. Melihat tata kerja dari TPP sendiri paling tidak terdapat 2 macam sidang yang dilakukan, yaitu153 : (a) Sidang Rutin, yaitu sidang TPP yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan. Sidang rutin ini membahas perkembangan pelaksanaan teknis pembinaan dan pembimbingan WBP sesuai pentahapan proses pemasyarakatan. (b) Sidang Khusus, yaitu sidang TPP yang dilaksanakan dan berlangsung setiap waktu sesuai kebutuhan pembinaan dan membahas persoalan-persoalan yang menyangkut pelaksanaan teknis Pembinaan dan Pembimbingan WBP yang memerlukan penyelesaian cepat. Dan tentang remisi termasuk dalam materi sidang TPP dimana pada Pasal 22 Ayat (1) disebutkan : “ Semua usulan materi sidang TPP untuk bahan pembinaan dan pembimbingan WBP baik mengenai usulan Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti 151
Cetak Biru Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2009.
hlm. 150 152 Pasal 16 Ayat (3) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 153 Pasal 20 Ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
119
Menjelang Bebas, Pembebasan Bersyarat, Remisi, Penempatan, Mutasi dan lain sebagainya harus sudah memenuhi syarat substantif dan administratif sebagaimana yang ditetapkan dalam pentahapan pembinaan sesuai ketentuan proses pemasyarakatan ”. Untuk sidang TPP sendiri dianggap sah apabila dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota dan dalam pelaksanaan sidang, baik sidang rutin maupun sidang khusus harus diadakan notulen serta dicatat secara jelas setiap usul-usul dari setiap anggota yang hadir154. Dan setiap persetujuan/keputusan sidang TPP didasarkan kepada musyawarah dan mufakat. Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka dilakukan pemilihan dengan suara terbanyak dengan ketentuan bahwa keputusan diambil lebih dari setengah ditambah 1 (satu)155. Namun, dari penelitian yang dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Wasmat PN Yogyakarta yang bertugas melakukan pengawasan dan pengamatan untuk UPT Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wiragunan dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika D.I Yogyakarta, dirinya yang sudah 1 (satu) tahun ditunjuk sebagai Hakim Wasmat mengaku tidak pernah diundang untuk mengikuti sidang TPP. Hal ini senada dengan keterangan pihak Lapas yang menyatakan minimnya kedatangan Hakim Wasmat ke Lembaga Pemasyarakatan. Kedatangannya hanya 1 (satu) kali dalam kurun waktu 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan. Dari kedua keterangan tersebut Penulis menyimpulkan bahwa melihat komposisi keanggotaan TPP Daerah sendiri yang didominasi oleh orang-orang yang berada dalam struktur organisasi UPT Lembaga Pemasyarakatan, maka tanpa kehadiran Hakim Wasmat maupun badan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan sebagai anggota dari TPP Daerah maka sidang TPP tetap 154
Pasal 21 Ayat (1) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. 155 Pasal 25 Ayat (2) dan (3) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor : M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
120
dapat dilaksanakan dan dianggap sah karena telah dihadiri oleh 2/3 dari TPP Daerah156.Apabila dalam sidang TPP Daerah keberadaan Hakim Wasmat dapat diefektifkan sehingga sidang tidak hanya didominasi dengan kehadiran anggota intern UPT Lembaga Pemasyarakatan maka sidang TPP dapat menjadi lebih transparan. Paling tidak terdapat upaya untuk meminimalkan timbulnya rumor “pungli” dalam pemberian remisi bagi narapidana. Dilain pihak, apabila sidang Rutin TPP yang sedianya dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan sesuai aturan tersebut diatas maka kejadian yang dialami T.M dan narapidana tindak pidana korupsi yang lain sangat kecil kemungkinan untuk terjadi. Sementara itu, keberadaan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) juga dirasa belum menampakkan hasil maksimal karena selama ini Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) hanya memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri. Hasil tersebut juga tidak terpublikasi atau menjadi dokumen yang dapat diakses oleh masyarakat. Terkait dengan kinerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP), aspek yang juga memberikan kontribusi terhadap kurang optimalnya kinerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) adalah terkait dengan kesibukan serta aktivitas dari anggotanya yang cukup tinggi sehingga sulit diantara anggota BPP157 untuk dapat duduk bersama membicarakan dan memberikan
solusi
terhadap
proses
perbaikan
dalam
bidang
pemasyarakatan.Karena koordinasi yang lemah maka kunjungan-kunjungan dalam rangka pengawasan dan menampung setiap permasalahan yang mengemuka ditiap 156 Berdasarkan Pasal 16 Ayat (3) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.02.PR.08.03 tahun 1999 TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA terdiri dari Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris merangkap anggota dan 12 anggota dimana hanya 2 anggota yang berasal dari luar UPT yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat serta Badan dan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan. 157 Susunan Keanggotaan BPP berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Badan Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan terdiri atas : a) Para Ahli di bidang Pemasyarakatan, b) Wakil Instansi Terkait, c) Wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan d) Tokoh Masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
121
UPT
Pemasyarakatan
diinginkan
158
.Kondisi
tidak
tersebut
dapat dapat
berjalan menjadi
sesuai dasar
dengan
yang
argumentasi
untuk
merevitalisasi peran dan fungsi Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) agar lebih efektif dan memiliki dampak yang konkrit serta sebagai upaya untuk menciptakan check and balances. Reposisi Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dapat diarahkan sebagai cikal bakal lahirnya Komisi Pemasyarakatan yang bersifat independent159. Pelaksanaan pengawasan melekat sebagai alat utama untuk memberikan jaminan kualitas (quality assurance) penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara berjenjang di setiap UPT Lembaga Pemasyarakatan, mulai dari Kepala, Kabag/kasubag TU, Kepala Bidang sampai ke Kepala seksi/kepala sub seksi dan pegawai/staff harus dilakukan sesuai aturan yang ada. Dalam pengertian bahwa kewajiban pimpinan organisasi dalam melakukan evaluasi terhadap kinerja bawahannya dilakukan secara terus menerus dimana hasil penilaian ini dituangkan dalam DP3 atau daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan. Namun demikian ada dua unsur dalam DP3 ini yang dianggap tidak relevan lagi digunakan untuk mengukur kinerja pegawai yaitu kesetiaan dan ketaatan karena kedua unsur ini sangat subyektif dan olehnya itu agak sulit untuk memberikan parameter penilaian. Permasalahan lain adalah seberapa jauh efektifitas pengawasan melekat atau pengawasan atasan langsung terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh unit kerja yang berada di bawahnya mengingat masih adanya kecenderungan semangat untuk melindungi korps yang masih cukup tinggi. untuk lebih memastikan berjalannya roda organisasi secara lebih efektif dan efisien maka pihak internal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu menyusun prosedur tetap atau protap pengawasan yang juga mengatur tentang kode etik perilaku bagi semua petugas pemasyarakatan termasuk mekanisme pemberian reward and punishment160.
158
Cetak Biru Lembaga Pemasyarakatan, loc.cit hlm. 155 Ibid 160 Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, op.cit hlm. 153 159
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
122
3.3.2 Pengawasan Eksternal Secara umum dapat dikatakan bahwa pengawasan eksternal memiliki peran yang begitu penting dalam melakukan fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintah. Secara sederhana pengawasan eksternal merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki garis koordinasi secara langsung atau tidak langsung dalam organisasi Departemen Hukum dan HAM sebagai induk dari organisasi pemasyarakatan. Melihat bentuk dan konsep mekanisme kontrol yang ada dalam sistem hukum dan politik yang ada, paling tidak terdapat 2 (dua) bentuk pengawasan eksternal terhadap kinerja organisasi pemasyarakatan, yakni pengawasan oleh masyarakat, dan pengawasan oleh hakim pengawas dan pengamat. 3.3.2.1 Peran serta Masyarakat Dalam konstitusi Indonesia yaitu Amandemen Undang-Undang Dasar
1945
terdapat
hak
pengawasan
oleh
masyarakat
yang
dikonstruksikan sebagai partisipasi publik yaitu pada : a) Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang”. b) Pasal 28C Ayat (2), “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. c) Pasal 28E Ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” d) Pasal 28E Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
123
e) Pasal 28F, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain UUD 1945, partisipasi publik dapat pula kita temukan dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada bab VI Pasal 8 dan Pasal 9 yang mengatur tentang pengertian dan wujud peran serta masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan : Pasal 8 (1) “Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih”. (2) “Hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Adapun bagaimana peran serta serta masyarakat ini diwujudkan dinyatakan dalam pasal 9 ayat (1) yang berbunyi peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diwujudkan dalam bentuk : a) Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara; b) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; c) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan d) Hak memperoleh perlindungan hukum. Dalam Lampiran Inpres No. 1 tahun 1989, juga dikatakan bahwa pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tertulis kepada aparatur Pemerintah yang berkepentingan, berupa sumbangan pemikiran, saran,
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
124
gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media. Adapun mekanisme penyampaian pengaduan dari masyarakat secara lebih terperinci diatur dalam Keputusan MENPAN No: Kep/26/M.Pan/2/2004 tentang
Petunjuk
Teknis
transparansi
dan
akuntabilitas
dalam
penyelenggaraan pelayanan Publik, pada bagian pengaduan masyarakat, dikatakan bahwa: 1) Untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat atas pelayanan yang diberikan aparatur pemerintahan, peru disediakan akses kepada masyarakat
untuk
memberikan
informasi,
saran/pendapat/
tanggapan,complaint/ pengaduan dalam bentuk kotak pengaduan, kotak pos atau satuan tugas penerima pengaduan yang berfungsi menerima dan menyelesaikan pengaduan masyarakat. 2) Setiap orang yang menyampaikan pengaduan, baik secara tulisan maupun
secara
langsung
kepada
pejabat/petugas
penerima
pengaduan diberi surat/ formulir tanda bukti pengaduan. 3) Pada surat/formulir tanda bukti pengaduan disebutkan nama pejabat/petugas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah/ pengaduan tersebut dan jangka waktu penyelesaiannya. 4) Masukan masyarakat, baik berupa informasi, saran, pendapat, tanggapan dan atau pengaduan hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah-langkah upaya perbaikan pelayanan oleh unit pelayanan instansi permerintah yang bersangkutan. 5) Apabila dalam pengaduan terdapat tanggapan masyatakat yang dirugikan, perlu dipertimbangkan pemberian kompensasi. 6) Pengaduan tertulis baik melaui surat maupun media elektronik oleh masyarakat harus disampaikan secara jelas dan bertanggungjawab dengan menyebutkan nama, alamat dan identitas yang sah (bukan surat kaleng).
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
125
7) Apabila dalam pengaduan ternyata terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh petugas pelayanan, maka perlu diberikan sanksi kepada petugas yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paparan mengenai landasan yuridis tersebut diatas menguatkan pentingnya partisipasai publik dalam pengawasan terhadap kinerja organisasi pemasyarakatan. Untuk itu, perlu pengawasan oleh masyarakat
tersebut
dilembagakan
dalam
suatu
mekanisme
pengawasan yang menjangkau ranah kontrol atas kinerja organisasi pemasyarakatan dari tingkat Direktorat Jenderal hingga UPT Pemasyarakatan. Dalam rangka usaha mencapai sistem pemasyarakatan
sebagai
wadah pendidikan dan pembangunan, disamping diperlukannya keaktifan para petugas pemasyarakatan sendiri juga diperlukan keikutsertaan secara aktif dari masyarakat dan instansi-instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Usaha tersebut pernah diusung oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh dalam suratnya kepada Menteri Dalam Negeri
dengan
Nomor : M.UM.01.06-85 tanggal 13 Nopember 1990 perihal Inspeksi di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara161. Pada pokoknya, beliau menghimbau agar Bupati/ Walikota Kepala Daerah untuk sewaktu-waktu dapat mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan/Rutan setempat guna melihat dari dekat keadaan pembinaan narapidana/tahanan ditempat-tempat tersebut. Saran tersebut disampaikan oleh karena dalam kunjungan Direktur Jenderal Pemasyarakatan ke Rumah Tahanan Ternate, Bupati/Kepala Daerah Ternate atas prakarsanya sendiri merasa perlu untuk mendampinginya sehingga dapat secara langsung melihat kondisi rumah tahanan di wilayahnya. Bahkan Bupati menanyakan apakah ia dapat juga sewaktu-waktu mengunjungi Rumah Tahanan untuk 161
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Himpunan Peraturan tentang Pemasyarakatan, 2009,
hlm. 715
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
126
ikut membantu memberikan bimbingan baik dari segi pelayanan narapidana/tahanan maupun terhadap pemeliharaan keamanannya. Dan prakarsa tersebut mendapat apresiasi dari Menteri Kehakiman saat itu dan berharap Menteri Dalam Negeri dapat membantu dan mengharapkan para Bupati/Kepala Daerah lainnya memiliki prakarsa yang serupa. Penulis berpendapat kiranya prakarsa kunjungan dari Kepala Daerah ini dapat mulai diefektifkan sebagai fungsi kontrol eksternal terhadap kinerja UPT Lembaga Pemasyarakatan tanpa adanya maksud untuk mencampuri secara formal wewenang dari instansi terkait melainkan sebagai upaya lebih terjaminnya pelaksanaan hak-hak narapidana.
3.3.2.2 Hakim Pengawas dan Pengamat Seperti halnya juga hak-hak tersangka dan terdakwa, terdapat pula norma-norma yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan khusus atas hak narapidana yang dapat dijadikan pedoman untuk norma-norma nasional kita yaitu : “The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners” dan “The Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”. Khusus untuk terpidana
anak
terdapat
The
Standard
Minimum
Rules
For
Administration of Juvenile Justice. Satu-satunya rujukan yang dapat dipergunakan adalah Pasal 227 sampai dengan 283 KUHAP (Bab XX tentang Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan). Melalui Lembaga Hakim Wasmat ini, kita dapat memperjuangkan diperhatikan 162
narapidana
dan
dilindunginya
hak-hak
terpidana
atau
para
.
KUHAP telah mengintrodusir suatu lembaga baru dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang dikenal sebagai Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat). Gagasan mana berasal dari Menteri 162
Ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
127
Kehakiman Prof. Oemar Seno Adji, SH. Lembaga baru ini merupakan suatu adaptasi dari lembaga serupa yang berlaku di Perancis dalam tahun 1959 dan dikenal dengan nama Judge de l’application des peines (hakim untuk penerapan hukuman). Upaya pencantuman lembaga Hakim Wasmat ini dalam KUHAP dilanjutkan oleh Menteri Kehakiman Moedjono, SH antara lain melalui Keterangan Pemerintah di DPR pada tanggal 9 Oktober setelah Rancangan KUHAP disampaikan ke DPR pada tanggal 12 September 1979. Karena jabatan Hakim Wasmat bukanlah jabatan (pekerjaan) tambahan melinkan suatu jabatan yang teramat penting (kalau tidak mau dikatakan teramat mulia). Melalui jabatan ini, sistem peradilan pidana Indonesia (yang dicita-citakan bersifat terpadu) ingin memperoleh masukan untuk163: 1. Menyempurnakan “kebijakan pemidanaan” (sentencing policy) yang ada dan 2. Menghindari terjadinya pelanggaran atas hak-hak narapidana. Untuk tugas yang kedua ini maka diperlukan adanya seorang hakim yang secara aktif melakukan pengawasan. Sesuai SE-MA Nomor 7 tahun 1985 menggariskan perlunya diadakan “checking on the spot” paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali. Ini tentunya minimal karena untuk lembaga pemasyarakatan yang besar maka kedatangan hakim ini seharusnya beberapa kali dalam sebulan. Adalah tugas
Hakim
Wasmat memikul “beban” untuk meletakkan norma-norma perlakuan terhadap narapidana. Dan apabila terjadi pelanggaran maka tugas Hakim Wasmat untuk menyelesaikannya secara khusus melalui pengadilan. Hak-hak narapidana yang paling perlu untuk mendapat perlindungan adalah, antara lain dalam hal164 : a) Hukuman disiplin; 163 164
Ibid, hal. 72-75 Ibid
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
128
b) c) d) e) f)
Perlakuan dari sesama narapidana; Perawatan kesehatan; Melakukan kegiatan keagamaan; Berhubungan dengan masyarakat diluar Lembaga Pemasyarakatan; Hak-hak lain yang dibenarkan oleh peraturan yang berlaku, sehubungan dengan tetap dihargainya martabat narapidana sebagai manusia.
Keberadaan Hakim Wasmat dalam Pemasyarakatan sebenarnya memiliki fungsi yang strategis namun hal tersebut sepertinya kurang mendapat perhatian dari pihak terkait. Entah karena alasan beban kerja yang terlalu besar karena sebagai contoh yang terjadi di PN Yogyakarta yang hanya menunjuk 1 (satu) orang Hakim Wasmat untuk melakukan pengawasan dan pengamatan di 2 (dua) tempat yang berbeda dengan jumlah narapidana yang besar yaitu di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wiragunan dan Lapas Narkotika D.I Yogyakarta165.Padahal menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 1985 butir VI memungkinkan penunjukan Hakim Pengawas dan Pengamat lebih dari satu orang di satu Pengadilan Negeri. Hal ini bergantung dari besar kecilnya terpidana yang berada di dalam ruang lingkup tugasnya misalnya disatu daerah hukum pengadilan negeri terdapat lebih dari satu lembaga pemasyarakatan atau hanya terdapat satu lembaga pemasyarakatan akan tetapi dengan kapasitas penampung besar166. Tugas yang dibebankan kepada seorang hakim wasmat adalah tugas yang sangat berat karena harus melakukan evaluasi terhadap narapidana dan tindakan yang harus dilakukan. Karenanya, diperlukan seorang hakim dengan pengalaman yang luas (seorang hakim yang senior) untuk memangku jabatan ini. Tidak mungkin jabatan ini dipegang oleh seorang 165 Pasal 277 KUHAP tidak menyebutkan berapa banyak sedianya Hakim Wasmat yang ditunjuk untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Pada Pasal 277 Ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa Hakim Pengawas dan Pengamat ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk paling lama 2 (dua) tahun. 166 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat tanggal 11 Pebruari 1985.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
129
hakim yang baru memulai kariernya167.Selain itu, SE Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 1985 menggariskan perlunya Hakim Wasmat melakukan “ checking on the spot” paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali. Ini tentunya minimal, karena untuk Lembaga Pemasyarakatan yang besar, kedatangan Hakim Wasmat seharusnya beberapa kali dalam 1 (satu) bulan168. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa narapidana tindak pidana korupsi yang ada, saat mereka berada di rutan / lapas asal maupun saat dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wiragunan, mereka belum pernah mendapat kunjungan dari Hakim Pengawas dan Pengamat. Hal ini menunjukan tidak berfungsinya tugas Hakim Pengawas dan Pengamat sebagaimana diamanatkan oleh KUHAP dan SEMA sehingga wajar kemudian terjadi hal-hal sebagaimana temuan penulis diatas. Menjadi sesuatu yang sangat disayangkan mengingat Hakim Pengawas dan Pengamat merupakan satu-satunya lembaga yang menurut KUHAP dan SEMA memungkinkan dilakukannya pengawasan yang lebih mendalam terhadap pola perlakuan UPT terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan. Kemungkinan lain adalah sebuah wujud pembiaran karena pada umumnya hakim mengambil sikap bahwa tanggungjawabnya berakhir dengan diberikannya putusan. Padahal, tanggungjawab moral hakim mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam penjara. Lebih kuat lagi alasan ini bilamana kita mengingat bahwa putusan pengadilan (yang dibuat oleh hakim) diberikan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tegaknya keadilan bagi terpidana juga merupakan tanggungjawab hakim selama yang bersangkutan berada di dalam penjara169.
167
Mardjono Reksodiputro, Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat, op.cit hlm. 74-75 Ibid 169 Mardjono Reksodiputro, Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Rights), Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Loc.cit hlm. 43 168
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
130
3.3.2.3
Judicial Control Dalam praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu170: 1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), 2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking) dan 3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasanya disebut vonis. Beschikking dan vonis selalu bersifat individual dan concret sedangkan regeling selalu bersifat general dan abstract. Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konstitusi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan konstitusional lainnya tidak dilanggar atau disimpangi baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk tindakan-tindakan pemerintah lainnya perlu ada badan serta tata cara mengawasinya. Pengawasan dilakukan dengan cara menilai atau menguji (review) apakah suatu undangundang atau peraturan perundang-undangan lainnya atau tindakan pemerintah yang ada (existing) atau akan diundangkan (akan dilaksanakan) bertentangan atau tidak dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar atau
ketentuan lain yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerintah yang sedang dinilai. Termasuk kontrol eksternal adalah kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial control) yang pada prinsipnya hanya mentitik beratkan pada segi legalitas yang melakukan penilaian (toetsing) tentang sah atau tidaknya suatu perbuatan pemerintah. Kontrol melalui badan peradilan dapat membatasi atau mengendalikan tingkah laku jabatan legislatif dan eksekutif atas dasar konstitusi. Hal ini 170
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm.143
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
131
sangat penting artinya dalam rangka menjamin hak asasi dan kebebasan dasar warga negara serta untuk mencagah terjadinya perbuatan sewenangwenang penguasa171. Dalam rangka kontrol yang dilakukan oleh hakim ini maka hakim berhak melarang dan membatalkan tindakan-tindakan pemerintah yang172: 1. Dilakukan secara sewenang-wenang (arbitrary), semau-maunya dan berganti-ganti (capricious), penyalahgunaan wewenang diskresioner (abuse of discetion) dan lain-lain tindakan yang tidak sesuai dengan hukum. 2. Bertentangan dengan hak-hak konstitusional, bertentangan dengan wewenang/ kekuasaan, previlege atau imunitas. 3. Melampaui batas wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang atau tidak didasarkan pada suatu hak tertentu. 4. Dilakukan tanpa memperhatikan atau menuruti prosedur yang telah ditentukan oleh hukum. 5. Tidak didukung oleh kebenaran di dalam fakta-fakta persoalan yang bersangkutan yang merupakan “substansial evidence” dalam tindakan pemerintah tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis berpendapat bahwa narapidana yang dirugikan atas tidak diterbitkannya suatu keputusan tata usaha negara seperti yang dialami oleh Tulus Margiyono dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang dengan alas hak alasan pengajuan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) huruf-c Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN yaitu173: “ Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengelurkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan 171
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 190191 dalam Ni’matul Huda, op.cit hlm. 128. 172 Ibid, hlm. 130 173 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, LN Tahun 1999 Nomor 77
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
132
itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak melakukan pengambilan keputusan tersebut”. Pengajuan gugatan dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 3 yaitu bila badan atau pejabat tata usaha negara tidak menerbitkan atau mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu yang ditentukan berati merupakan suatu penolakan sehingga dapat dilakukan gugatan oleh pihak yang merasa kepentingannya dirugikan. Lebih lengkap aturan tersebut adalah sebagai berikut : Pasal 3 (3) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (4) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud174. (5) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan diangga telah mengeluarkan keputusan penolakan. Hal senada telah diungkapkan sebelumnya oleh Dr. Dian Puji N. Simatupang, SH.MH bahwa menurut hukum administrasi negara, pejabat administrasi negara diam saja (penulis: tidak mengeluarkan keputusan) dianggap sebagai penolakan, sehingga dapat digugat secara hukum ke Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam hukum administrasi negara, suatu hak atau tindakan permohonan yang tidak diproses sebagaimana mestinya akan menyebabkan hak terpidana dirugikan karena secara hukum diatur dalam PP 28 tahun 2006 tersebut. 174
Penjelasan Pasal 3 Ayat (2) yaitu : “ Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yanag berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan badan atau pejabat tata usaha negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya”.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
133
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN 1.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di indonesia saat ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun1995 tentang Pemasyarakatan. Secara filosofis pelaksanaannya ditekankan kepada konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial agar narapidana dan anak pidana menyadari kesalahannya dan mengembalikannya menjadi warga negara yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dengan manusia lain yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut diperlukan juga keikutsertaan masyarakat baik dengan cara mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.
2.
Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana tindak pidana korupsi untuk diakui dan dilindungi oleh hukum dan penegak hukum karena narapidana adalah warga negara yang perlu diayomi walaupun telah melakukan pelanggaran hukum. Penghukuman bukan berarti pencabutan hak-hak yang melekat pada dirinya. Dan secara filosofis pemasyarakatan merupakan sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan
filosofi
retributif (pembalasaan), deterrence (penjeraan) dan resosialisasi. Sistem pembinaan pemasyarakatan yang dilakukan atas dasar Asas persamaaan perlakuan dan pelayanan ternyata tidak berlaku bagi narapidana tindak
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
134
pidana korupsi. Masih terdapat perlakuan diskriminatif terhadap mereka terbukti dengan pembedaan perlakuan dalam menikmati hak-haknya sebagai narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal tersebut bisa terlihat dalam persyaratan memperoleh remisi dimana bagi narapidana tindak pidana korupsi harus terlebih dahulu telah menjalani 1/3 (satu pertiga) masa pidananya sebelum dapat menikmati remisi. Disamping itu, ketentuan adanya pertimbangan dari Dirjen Pemasyarakatan kepada menteri untuk dapat diberikannya remisi tidak mempunyai parameter yang jelas sehingga semakin menjadi bukti nyata adanya diskriminasi terhadap narapidana tindak pidana korupsi. 3.
Adanya diskriminasi terhadap narapidana tindak pidana korupsi berupa kebijakan moratorium hak narapidana korupsi dan terorisme
menjadi
bentuk nyata bahwa masih adanya filosofi retributif (pembalasaan) dan deterrence (penjeraan) dalam pemidanaan di Indonesia. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau pejabat administratif negara dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dari narapidana. Disisi lain, kebijakan ini akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena tidak adanya konsistensi dalam tindakan pemerintah serta semakin menghambat narapidana tersebut untuk segera dapat berintegrasi dengan masyarakat.
B. SARAN Agar
hak-hak
narapidana
tindak
pidana
korupsi
dapat
lebih
terjamin
pemenuhannya, maka penulis memiliki saran-saran sebagai berikut : 1. Berkenaan dengan keberadaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), meskipun peran dan fungsi TPP telah disebutkan secara sumir dalam regulasi yang ada, namun tetap menyisakan persoalan yaitu tidak adanya gambaran detail tentang tugas TPP. Turunan untuk memberikan gambaran detail peran dan fungsi tersebut sangat diperlukan, khususnya untuk menindak-lanjuti
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
135
semua bentuk keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan dan tahanan. Reposisi Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) untuk diarahkan sebagai cikal bakal lahirnya suatu badan baru misalnya dalam bentuk Komisi Pemasyarakatan agar fungsi check and balances dapat lebih efektif apalagi anggota BPP adalah berasal dari akademisi, tokoh masyarakat, dan representasi dari Pemasyarakatan sehingga lebih independent. 2. Melakukan
pemberdayaan
akan
pentingnya
Pengawasan
masyarakat.
Pengawasan masyarakat saat ini belum berjalan optimal karena hingga saat ini belum terdapat mekanisme teknis prosedur yang pasti dan secara kontinu yang dapat mengakomodasi pengawasan dari masyarakat. Juga belum adanya alur dan mekanisme yang tepat, tidak adanya panduan yang menjadi pegangan sehingga sulit untuk mendapatkan data dan informasi tentang kondisi faktual dalam UPT Pemasyarakatan. Padahal keberhasilan pemasyarakatan ditentukan oleh daya dukung yang optimal dan partisipasi masyarakat yang dicirikan dengana adanya social control dan social support. Dengan adanya kondisi faktual diatas, maka kehadiran instrumen atau perangkat yang mengatur tentang bagaimana keterlibatan masyarakat seperti media, lembaga non pemerintahan (LSM), dan perorangan dalam melakukan kontrol atau pengawasan pada tiap UPT Pemasyarakatan sangat mendesak untuk diwujudkan, sehingga proses pembinaan dan pelayanan pada tiap UPT Pemasyarakatan dapat berjalan secara optimal. 3. Pemberdayaan kembali peran Hakim Pengawas dan pengamat karena posisinya yang cukup penting sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP dan SEMA yang memungkinkan seorang hakim melakukan pengawasan yang lebih spesifik pada pola perlakuan Lapas kepada seorang warga binaan pemasyarakatan. Namun realitas yang ada menunjukkan pelaksanaan pengawasan oleh hakim pengawas dan pengamat tidak berjalannya secara efektif. Selain itu, kedudukan Hakim Wasmat dalam keanggotaan TPP merupakan faktor strategis bagi narapidana untuk dapat memperoleh hak-
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
136
haknya karena posisinya yang independent diluar struktur dari UPT Pemasyarakatan. 4. Perlunya pengujian terhadap kebijakan yang dibuat oleh pejabat administrasi negara merupakan kebutuhan yang mutlak harus dilakukan demi pencegahan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan demi perlindungan terhadap hak-hak warganegara. Walaupun Kewenangan lembaga peradilan untuk menguji peraturan kebijakan tidak diatur dalam undang-undang, lembaga peradilan harus tetap dianggap memiliki wewenang untuk menilai dan menguji peraturan kebijakan yang digariskan oleh pemerintah atau pejabat administrasi negara. Doktrin demikian harus diterima karena lembaga peradilan merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewajiban dari segi hukum untuk menegakkan prinsip negara hukum. Dan peraturan kebijakan yang melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dapat dibatalkan oleh hakim Peradilan Tata Usaha Negara. 5. Melakukan sosialisasi kembali tentang keberadaan Lembaga Ombudsman untuk menyelesaikan pengaduan pelayan publik yang selama ini lebih banyak dilakukan dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan.Penyelesaian melalui pengadilan seringkali memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Keberadaan lembaga Ombudsman merupakan lembaga yang menangani pengaduan pelayanan publik dengan mudah dan dengan tidak memungut biaya. Selain itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya yang meliputi kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik serta memeriksa laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik karena maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
137
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Universitas Indonesia
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
DAFTAR REFERENSI
A.
Buku:
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. ---------- Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung,1998. --------- Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Genta Publishing, Yogyakarta, 2010. Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008. Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Cetakan Kedua (edisi revisi), Pradnya Paramita, Jakarta, 1993. --------- Sistem Peradilan Pidana di indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1993 --------- Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2007. Harsono, C.I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Djambatan, Jakarta, 1995. Huda, Ni’matul dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Nusa Media Bandung, 2011. Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,Jakarta, 2001 Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Loqman, Loebby. Pidana dan Pemidanaan. Datacom, Jakarta, 2002. Manan, Bagir. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta,2005 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011 Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung, 1985 --------- Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang, 2002 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung, 1992. --------- Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, 2005.
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dn Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, 2008. Pandjaitan, Petrus Irwan, dan Chairijah, Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat dan Narapidana, Ind Hill Co, Jakarta, 2009. --------- Petrus Irwan, dan Wiwik Sri Widiarty. Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana. Ind Hill Co, Jakarta, 2008. --------- Petrus Irwan, dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, Ind Hill Co, Jakarta, 2007. --------- Petrus Irwan, dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, PustakaSinar Harapan Jakarta, 1997. Permana, Is Heru, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2007. Pujileksono, Sugeng. Suara Hati dari Balik Terali Besi, Setetes Asa dari Lowokwaroe Anno 1918, Fisip UMM, 2010 Purnomo, Bambang. Kapita Selekta Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta, 1984. Purpura, Phillip. Criminal Justice, an Introduction, Butterworth Heinemann, Boston, 1997 Priyatno, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,Refika Aditama, Bandung, 2009 Reksodiputro, Mardjono. Pembaharuan Hukum Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007 ---------- Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. ---------- Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Pusat PelayananKeadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. Saleh, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru, Jakarta,1987. Sibuea, Hotma P, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, 2010. Sholehhudddin, M. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Soekanto, Soejono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Radjawali Press, Jakarta ,1990. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung, 2006.
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
---------- Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977. Tanya, Bernard. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lints Ruang dan Generasi, Genta Publishing, 2010. Utrecht, E. Hukum Pidana I. Universitas, Bandung, 1968. Wahab, Solichin Abdul, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2002.
B.
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 5 Tahun 1986, LN tahun 1986 Nomor. 77, TLN Nomor. 3614. ---------- Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. UU Nomor 39 Tahun 1999.LN tahun 1999 Nomor. 165, TLN Nomor 3886. ---------- Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. UU Nomor 12 Tahun 1995, LN tahun 1995 Nomor. 77, TLN Nomor 3614. ---------- Undang-Undang tentang Ombudsman. UU Nomor 37 Tahun 2008, LN tahun 2008 Nomor. 139, TLN Nomor 4899. ---------- Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Nomor 48 tahun 2009, LN tahun 2009 Nomor 57,TLN Nomor 5076.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP Nomor 31 tahun 1999, LN tahun 1999 Nomor 68, TLN Nomor 3845. ---------Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP Nomor 32 tahun 1999, LN tahun 1999 Nomor 69, TLN Nomor 3846. ---------Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP Nomor 28 tahun 2006, LN tahun 2006 Nomor 61, TLN Nomor 4632. Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Remisi, Keppres Nomor 174 tahun 1999, LN tahun 1999 Nomor. 223, TLN Nomor. 3845
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
Republik
Indonesia.
Keputusan
Menteri
Hukum
dan
Perundang-undangan
tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 174 tahun 1999 tentang Remisi. Kepmen Nomor M.09.HN.02-01 tahun 1999 tanggal 23 Desember 1999. ------ Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.. Kepmen Nomor M.02.PR.08-03 tahun 1999. ------ Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang REMISI Tambahan bagi Narapidana dan Anak Pidana, Kepmen M.04-HN.02-01 tahun 2000 tanggal 5 Oktober 2000. ------ Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan REMISI Bagi Narapidana Yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara Waktu. Kepmen Nomor M.03-PS.01-04 tahun 2000 tanggal 5 Oktober 2000. ------ Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Remisi Khusus yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan. Kepmen Nomor M.01-HN.02-01 tahun 2001 tanggal 27 April 2001. ------ Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. Permen Nomor M.HH.OT.02.02 tahun 2009. Republik Indonesia, Surat Kepala Direktorat Pemasyarakatan tentang Pemasyarakatan sebagai Proses.SK Dirjen Pas Nomor KP.10.13/3/1 Tahun 1974 tanggal 8 Pebruari 1974 . ------ Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang Petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 28 tahun 2006 terkait Remisi. SE Dirjen Pas Nomor E.PS.01.10-15 tanggal 5 Oktober 2007. ------ Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang Moratorium Pemberian Hak Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme. SE Dirjen Pas Nomor PASHM.01.02-42 tanggal 31 Oktober 2011. ------ Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang Pengusulan Pemberian Remisi Bagi Narapidana yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (3) PP Nomor 28 tahun 2006 terkait Kebijakan Pengetatan Remisi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. SE Dirjen Pas Nomor PASPK.01.01.02-171 tanggal 16 Desember 2011.
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012
C.
Instrumen Internasional:
The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners
D.
Putusan Pengadilan :
Pengadilan Tata Usaha Negara. Putusan Nomor 211/G/2011/PTUN-Jkt. (Penggugat: R. Saleh Abdul Malik dan Tergugat : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) ------
Putusan Nomor 217/G/2011/PTUN-Jkt. (Penggugat: Ahmad Hafiz Zawawi, dkk dan Tergugat : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia)
C.
Sumber Lain :
Internet http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/10/30 http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/11/01
Pemberian remisi..., Widya Puspa Rini Soewarno, FH UI, 2012