SUMMARY REPORT FORUM DISKUSI IFRS ANTARA BUMN DAN TIM IMPLEMENTASI IFRS IAI Topas Galleria Hotel – Bandung, 8 Mei 2010
Pada tanggal 8 Mei 2010, Telkom berkesempatan menjadi tuan rumah untuk acara diskusi antara BUMN dengan Tim Implementasi IFRS yang diadakan di Hotel Topas, Bandung. Acara dibuka dengan sambutan oleh Direktur Keuangan Telkom Sudiro Asno, Ketua Tim Implementasi IFRS BUMN Arif Arryman, serta perwakilan Kementrian BUMN Anjang Kusuma. Acara ini dihadiri oleh 74 peserta yang berasal dari beberapa BUMN, seperti: Telkom, Telkomsel, Pertamina, Bank Mandiri, PLN, Antam, BNI, BRI, BTN, Semen Gresik, dan PGN. Selain itu, perwakilan dari Kementrian BUMN dan Kantor Akuntan Publik seperti PWC dan KPMG dan tentunya dari IAI. Dalam acara ini dihadirkan beberapa penyaji, yang dibagi menjadi 4 sesi, berasal dari Telkom, PLN dan Bank Mandiri serta didampingi dengan tim implementasi IFRS IAI yang diketuai Dudi Kurniawan. Tiap penyaji membahas materi dalam satu sesi kemudian dibahas di forum oleh tiap panelis untuk kemudian dilakukan tanya jawab.
Berikut ini rangkuman materi dan tanya jawab dari diskusi tersebut.
Sesi 1: Assesment PSAK oleh Telkom untuk implementasi IFRS 2011 Pembicara: - Akhmad Ghozali (Telkom) - Tim implementasi IFRS IAI (Dudi Kurniawan & tim)
DSAK IAI mengeluarkan PPSAK 1 di 16 Juni 2009 tentang pencabutan PSAK 32 (Akuntansi Kehutanan), PSAK 35 (Akuntansi Pendapatan Jasa Telekomunikasi), PSAK 37 (Akuntansi Penyelenggaraan Jalan Tol). Dampaknya antara lain berpengaruh pada:
1. Pengakuan pendapatan Sebelum PPSAK 1 pendapatan interkoneksi dapat diakui secara nett sesuai ketentuan di PSAK 35, namun sekarang harus dicatat secara gross sehingga diperlukan penyesuaian pencatatan pendapatan. 2. Untuk pendapatan principal-agent diatur mengikuti BAS 7. Akibatnya, jika perusahaan bertindak sebagai principal maka pendapatan dicatat secara gross, sementara jika perusahaan bertindak sebagai agent, maka yang diakui hanya pendapatan fee. 3. Aset Pola Bagi Hasil (PBH) Sebelumnya menurut PSAK 35, aset harus dikapitalisasi sebagai Aset Tetap Kerjasama sebesar biaya perolehan aset dan ditandingkan dengan akun Pendapatan yang Ditangguhkan.
Sekarang dikapitalisasi sebagai Aset Tetap
dengan akun tandingan sesuai PSAK 30R yakni Kewajiban Jangka Panjang.
DSAK IAI juga mengeluarkan PPSAK 5 tentang pencabutan ISAK 6 : Instrumen Derivatif Melekat pada Kontrak dalam Mata Uang Asing.
Sebelum ada PPSAK 5,
pengukuran embedded derivative dilakukan atas dasar kontrak pembelian/penjualan item non keuangan yang harganya didenominasi dalam mata uang asing. Sekarang ini, seluruh kontrak pembelian/penjualan dengan mata uang asing harus dilakukan assesement embedded derivative. Oleh karena itu, potensi perhitungan dan pengakuan derivatif melekat pada pembelian/penjualan yang didenominasi mata uang asing lebih besar. Selain itu, tidak ada interpretasi tegas antara penentuan mata uang Dollar US sebagai mata uang yang lazim digunakan dalam bisnis lokal. Sehingga diperlukan interpretasi atau panduan aplikasi lebih jelas atas penentuan commonly used currency. DSAK IAI belum melakukan pengujian dan analisis mendalam, apakah mata uang tersebut merupakan denominated currency. Hal itu masih diserahkan kepada masingmasing perusahaan untuk disesuaikan dengan lingkungan bisnisnya.
Sesi 2: PSAK 50 dan 55 (Revisi 2006)
Pembicara: - Budi Sulistyo (Bank Mandiri) - Tim implementasi IFRS IAI (Dudi Kurniawan & tim)
Penerapan PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) diberlakukan per tanggal 1 Januari 2010 setelah ditunda dari 1 Januari 2009. Penerapannya berlaku secara prospektif. Berikut ini perubahan mendasar dan analisa dampak atas penerapan PSAK 50 & 55: 1. Klasifikasi : asset dan kewajiban dibagi berdasarkan kategori FV through profit/loss (FVPTL), HTM, AFS, dan loan & receivables. Implikasinya adalah bankbank harus me-review klasifikasi seluruh instrumen keuangan yang dimiliki per tanggal 31 Desember 2009 sesuai dengan intensi dan kemampuan finansial Bank. Hal ini menentukan perlakuan akuntansi yang tepat untuk masing-masing instrumen keuangan tersebut. 2. Effective interest rate (EIR) & transaction cost : pendapatan bunga diakui menggunakan effective interest rate dan bukan contractual rate lagi. Sehingga bank harus mengidentifikasi biaya dan fee yang dapat dikategorikan sebagai biaya transaksi. Selain itu bank harus menentukan tingkat materialitas biaya transaksi dan fee yang terkait langsung (attributable) yang harus diamortisasi dengan metode EIR. 3. Fair value : dilakukan sesuai hirarki penentuan nilai wajar. Sebagai dampaknya bank harus melakukan mark to market aset keuangan yang dikategorikan sebagai FVTPL atau AFS dengan menggunakan bid price dan kewajiban keuangan yang dikategorikan sebagai FVTPL dengan menggunakan ask price dan juga bank perlu menyesuaikan sistem yang dimiliki. 4. Impairment : cadangan kerugian penurunan nilai (penyisihan piutang aktiva) dibentuk apabila asset terbukti mengalami penurunan nilai dan tidak lagi berdasarkan kolektibilitas BI. Dampak yang diakibatkan cukup luas, di antaranya yakni: bank perlu menggunakan judgment internal dalam menentukan kriteria tersebut,dan judgment tersebut perlu di-review oleh auditor/konsultan yang
independent agar dapat diyakini telah sesuai dengan best practice. Diperlukan pula adanya unit independen yang melakukan verifikasi atas keandalan informasi arus kas yang disusun Unit Bisnis. Selain itu bank perlu memperbaiki kualitas data historis yang dimiliki, terutama untuk menghitung Recovery Rate (RR) yang akan dipakai dalam menentukan angka LGD (LGD = 1 –RR) dan bank perlu mengembangkan internal rating yang dimiliki, agar tersedia untuk seluruh segmen kredit dan dapat digunakan untuk perhitungan impairment triwulanan.
Banyak kendala dalam implementasi PSAK 50 & 55, khususnya dari aspek kebijakan akuntansi, ketersediaan data, SDM, komparabilitas laporan keuangan, serta waktu pelaporan. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari regulator, terutama dari sisi pajak dan dualisme BI. Terdapat perbedaan perhitungan PPA yang digunakan oleh pihak pajak yakni berdasarkan kolektibilitas BI dengan ketentuan PSAK 50 dan 55 (revisi 2006) yang menggunakan konsep impairment. Belum terdapat kejelasan rekonsiliasi antara laba menurut PSAK 50 dan 55 (Revisi 2006) dengan laba menurut pajak. Di samping itu, masih terdapat dualisme pada ketentuan BI dalam perhitungan PPA untuk tujuan perhitungan KPMM
dengan perhitungan CKPN menggunakan konsep
impairment sesuai PSAK 50 dan 55 (Revisi 2006) maupun Revisi PAPI.
Sesi 3: PPA dan ESC: Transaksi Pembelian, Sewa Pembiayaan atau Perjanjian Konsesi Jasa dalam Case PLN. Pembicara: -
Abdul Hakam (PLN)
-
Tim Implementasi IFRS IAI (Dudi Kurniawan & Tim)
ISAK 16, Perjanjian Konsesi Jasa tidak bisa dilepaskan dari ISAK 8, Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa, Dari assessment PLN terhadap ISAK 8, PPA/ESC merupakan perjanjian yang mengandung sewa. Kemudian dilanjutkan assessment terhadap PSAK 30, Sewa, termasuk kategori sewa pembiayaan
PSAK 7R: Pengungkapan Pihak-Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa Pembicara: -
Marisi Purba (Telkom)
-
Tim Implementasi IFRS IAI (Dudi Kurniawan & Tim)
Pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya (dirujuk sebagai entitas pelapor) (a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut: (i)
memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;
(ii)
memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
(iii)
personel manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor
(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut: (i)
Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama.
(ii)
Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain.
(iii)
Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.
(iv)
Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
(v)
Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pasca kerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor.
(vi)
Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi dalam butir (a).
(vii)
Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas.
Departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor bukan merupakan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Untuk BUMN dirasa perlu juklak tersendiri mengenai pihak mana yang termasuk related party untuk BUMN. Kapan BUMN menjadi entitas sendiri, kapan menjadi bagian integral dari pemerintah. Banyak sekali pihak2 yang kemungkinan besar harus diungkapkan oleh BUMN, namun kembali lagi harus dilihat signifikansi maupun materialitasnya. Manfaat atas disclosure dari related tersebut juga harus diperhatikan.
Question & Answer (QnA)
Sesi 1: Assesment PSAK oleh Telkom untuk implementasi IFRS 2011 1. Perubahan nama KAP yang telah ditunjuk melalui RUPS apakah berakibat secara hukum? Secara legal merupakan entitas yang sama sehingga tidak berdampak. Dibutuhkan RUPS khusus kecuali jika signing partner berada dalam entitas yang sama. Hal ini sudah menjadi praktek umum, selama secara legal tidak menyalahi aturan. Diperlukan disclosure yang memadai untuk peristiwa tersebut.
2. Restatement di PT Inti menurut KAP tidak menjadi masalah, namun menjadi masalah di pemerintah yang dirugikan karena cadangan umum di BUMN menjadi berkurang Rp 20M. Bagaimana dengan hal ini? Merupakan hal umum terjadi jika terjadi kesalahan masa lalu yang baru diketahui di periode berikutnya, maka kemudian dikoreksi di periode terjadinya dan harus dijelaskan di laporan keuangan tentang mengapa hal tersebut terjadi, dan dampaknya. Pada kebanyakan kasus, hal tersebut tidak berdampak pada arus kas. Perusahaan perlu mencari pendamping independen yaitu pihak yang bisa menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi, misalnya dari pihak KAP maupun dari legal (namun sebenarnya dari sisi legal cukup sulit, karena belum tentu memahami mengenai akuntansi).
3 Pencatatan dengan nilai wajar perlu dilakukan assesment atas aset sewa guna usaha dan aset PBH yang berbeda dari sisi penyajian, bagaimana dampak pada penyajian asetnya?
IFRS bersifat substance over form, sehingga ada pencabutan terhadap standar-standar spesifik yang hanya mengatur industri spesifik. Dari skema PBH, penyajian asetnya tetap di PBH namun yang berbeda hanya measurementnya sesuai dengan PSAK 30 R.
4 Menurut BAS 7, revenue dapat dibukukan secara gross atau nett. Kenapa harus ada pertimbangan tambahan untuk penentuan gross atau nett, tidak disimplifikasi saja harus gross? Sesuai standar, tidak dapat dilakukan simplifikasi. Pada dasarnya revenue dicatat secara gross kecuali untuk kasus-kasus tertentu. Harus ditentukan penganggung resiko, penentu harga, primary obligor, dan lain-lainl. Jika hanya menerima fee saja, maka harus dicatat secara nett sesuai BAS 7. Untuk sisi investor, pembedaan gross/nett ini sangat berguna agar tidak misleading dalam menilai permasalahan principal – agent.
Sesi 2: : PSAK 50 dan 55 (Revisi 2006) 1. Upaya restrukturisasi akan berdampak pada perpajakan, apa yang dapat dilakukan owner untuk mengantisipasi implementasi PSAK 50 dan 55. Penanganan terhadap kredit-kredit itu tetap. Yang berbeda adalah pencatatan di pembukuan.
2. Untuk pengklasifikasian aset, apakah harus dilakukan di awal dan dapat digunakan sebagai ukuran pencapaian? Klasifikasi harus dilakukan dari awal. Diperbolehkan melakukan reklasifikasi hanyalah pada 1 Januari, jika melakukan reklas selain pada tanggal tersebut akan terkena penalti. Klasifikasi diserahkan kepada manajemen
tergantung
kekonsistenan.
pada
intensi
manajemen
dan
perlu
3. Konsep impairment menurut Semen Gresik tetap ada 2 pola yaitu CKPN dan PPA, bukan beralih jadi CKPN saja. PPA untuk mencadangkan sesuatu yang potensi tidak tertagihnya besar. Bagaimana hal ini jadi berbeda dengan Bank Mandiri? Untuk impairment terkait time value of money dan PPA untuk pencadangan kolektibilitas piutang diperlukan guideline untuk periodenya. Di Bank Mandiri, hanya CKPN yang berlaku. PPA seharusnya tidak perlu ada,namun pajak dan BI yang menghendaki ada untuk tujuan mereka. BI concern mengenai CAR-nya. Pajak belum mengadopsi aturan baru.Maka dari itu diharapkan dukungan dari Pajak dan BI agar terdapat kesesuaian dengan PSAK 50 dan 55 nya. Jika di Semen Gresik tetap ada 2 konsep, kemungkinan karena perbedaan industri, PPA yang di definisikan di perbankan berbeda dengan yang dimaksud dengan di industri semen.
4 Perbedaan pandangan di antara auditor akan suatu standar akan berdampak pada perusahaan, apakah impairment dalam CKPN disajikan sama dengan PPA? Diperlukan diskusi dengan auditor dari awal, bahkan bukan hanya dengan auditor, tapi juga dengan konsultan, vendor, tim DSAK IAI dan sebagainya. Judgement yang berdasarkan supporting data akan membantu dalam meminimalisir diskusi berkepanjangan atas perbedaan persepsi tersebut.
5. Mengapa seringkali jumlah PPAP yang dibentuk bank jauh melebihi dari yang diwajibkan oleh BI? Bagaimana treatment akuntansi untuk kelebihan PPAP yang ada? Bank membentuk PPAP, yang wajib adalah berdasarkan persentase kolektibilitas, namun selain itu perlu melihat histori kredit dari debitur. PPAP tidak boleh direverse, sehingga PPAP akan lebih besar dari CAR.
Diatur dalam buletin teknis no 4 bahwa pada awal penerapan PSAK 50,55, jika PPAP yang dihitung lebih dari CKPN, maka kelebihannya dibukukan ke Retained Earning.
6. Apakah ada standar untuk EIR yang akan digunakan, atau ada justifikasi manajemen? Apakah bisa menggunakan rate yang beda untuk aset yang sama? Untuk aset yang sama harus diukur dengan EIR yang sama dan harus diungkapkan. Di standar sudah diatur, apakah yang digunakan original EIR atau variable.
7. Jika ada piutang ke related party, apakah bisa untuk tidak dicadangkan? Tetap harus dicadangkan dan didisclose sesuai standar. Untuk piutang karena sudah diukur dengan fair value maka tidak perlu provisi lagi. Sesi 3: PPA dan ESC: Transaksi Pembelian, Sewa Pembiayaan atau Perjanjian Konsesi Jasa dalam Case PLN.
1. Bagaimana hubungan antara pemerintah dengan PLN? Terkait aspek legal, perlu mempelajari dampak dari perubahan UU 15/1985 dengan UU 30/2009, apakah PLN bisa menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah, sehingga PLN bertindak sebagai grantor bukan operator. Jika pemerintah sebagai grantor, PLN sebagai operator, maka PLN tidak mencatat aset. Namun belum ada jawaban pasti bagaimana posisi Pemerintah-PLN, sehingga perlu dilakukan diskusi lebih lanjut.
2. Hak monopoli PLN yang telah dicabut namun karena hanya PLN yang merupakan BUMN yang menangani listrik maka operasional di daerah-daerah masih dilakukan oleh PLN. Yang harus diperhatikan atas IFRIC 12 dan IFRIC 4 ialah kesesuaiannya dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Sampai saat ini IAI masih berpegang pada standar yang ada. Masukannya akan disampaikan ke DSAK. PLN harus menentukan kebijakan akuntansi atas transaksi tersebut dianalogikan dengan PSAK yang sudah ada.
3. Terkait Kewajiban Publik Universal (KPU) dimana masing-masing operator menyisihkan 0,75% dari labanya untuk membangun infrastruktur untuk kepentingan publik. Setelah 4 tahun diserahkan ke pengelola. Minta masukan kepada IAI bagaimana mengenai pencatatan aset-nya.
Sesi 4: PSAK 7R: Pengungkapan Pihak-Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa
1.
Menjelaskan mengenai Konsep negara vs pemerintah. Suatu negara harus memenuhi kriteria adanya pemerintah. Sehingga semua pihak dalam jurisdiksi negara adalah related party untuk BUMN, sehingga menjadi sangat luas, namun sekali lagi harus diperhatikan materialitas dan signifikansinya
2. Perlu definisi yang jelas mengenai related party dan under common control. Ada peraturan dimana auditor tidak boleh mengaudit perusahaan lain yang menjadi related party perush tersebut, sementara jika yg termasuk related party menjadi semakin banyak, sedangkan auditor juga terbatas, maka akan menjadi suatu masalah. Kembali pada konsep arm’s lenght transaction untuk penentuan related party atau tidak. Indonesia tidak sama kondisinya dengan negara-negara maju lain yang menerapkan IFRS. Mungkin diperlukan Juklak dari DSAK untuk membahas khusus soal related party BUMN ini. Apakah termasuk related party atau tidak, perlu dianalisis terlebih dahulu, kemudian baru dianalisis apakah transaksinya arm length atau tidak
Untuk pengadopsian IFRS juga harus dipertimbangkan kondisi domestik. Konsep ”influence” dan ”control” perlu diperjelas agar tidak meluas permasalahannya. Karena standar ini baru diluncurkan dan merupakan konvergensi, tidak menutup kemungkinan untuk diubah, namun memerlukan waktu yang cukup lama. Pembahasan permintaan perubahan standar sebaiknya dilakukan sebelum standar tersebut resmi ditetapkan dan diberlakukan. Kekhawatiran akan terlalu luasnya lingkup related party, bisa tidak terjadi kaitannya dengan pertimbangan materialitasnya.