Jurnal komunikasi, ISSN 1907-898X Volume 6, Nomor 2, April 2012
Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
Sumekar Tanjung Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta Abstract Nowadays, the position of men and women has no difference. Men and women are treated equally as a commodity. The phenomenon of hegemonic masculinity have been well understood, despite the fact that media especially magazine, is a medium for the contest between masculinity and femininity. This study focuses on how masculinity of man is represented in Cosmopolitan Indonesia Magazine (August, September, October and December 2011 editions). Keywords: semiotic, woman magazine, masculinity
Abstrak Saat ini, posisi laki-laki dan perempuan tak lagi berbeda. Laki-laki maupun perempuan diperlakukan sama sebagai komoditas. Fenomena hegemoni maskulinitas telah lama dipahami, terlepas dari fakta bahwa media terutama majalah, adalah ajang bagi kontes antara maskulinitas dan femininitas. Kajian ini akan berfokus pada representasi maskulinitas laki-laki di majalah Cosmopolitan Indonesia (edisi bulan Agustus, September, Oktober, dan Desember 2011). Kata Kunci: semiotika, majalah perempuan, maskulinitas
Pendahuluan
ada model tunggal dalam maskulinitas. Ini secara
disebabkan karena model maskulinitas
kultural laki-laki harus menonjolkan sisi
diungkapkan secara berbeda dalam suatu
maskulin. Sedangkan perempuan juga
konteks budaya dan waktu tertentu.
Masyarakat
mencatat
bahwa
harus menonjolkan sisi feminin. Istilah
Meski
maskulinitas
dan
maskulin sendiri sebenarnya berasal dari
femininitas adalah konsep nilai yang
bahasa Inggris “muscle” atau otot, yaitu
kontradiktif,
sifat-sifat yang hanya mendasarkan pada
dipertukarkan. Artinya, femininitas tidak
kekuatan otot atau fisik (Smiler, 2004).
mesti hanya dimiliki perempuan dan
Meski tidak ada definisi konkret, maskulin
maskulinitas tidak hanya dimiliki laki-
atau maskulinitas lebih dipahami sebagai
laki. Sebab pada praktiknya, laki-laki
konsep gender tentang perilaku yang
mengandalkan
dibangun secara sosial dan berkaitan
dalam pekerjaan mereka tidak serta merta
dengan kelelakian. Sesungguhnya tidak
hanya mengandalkan keberanian, tapi
tapi
sikap
keduanya
feminin.
dapat
Misal,
91
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
juga harus berkomunikasi secara lembut,
maskulin
sopan, dan tidak semena-mena. Kemudian
demikian, media semakin kuat dalam
pada
masyarakat
memengaruhi masyarakat. Segala yang
memandang mereka sebagai sosok lemah
dibeberkan oleh media dianggap sebagai
lembut, pasif, dan pemalu. Stereotipe ini
sesuatu yang normal, wajar, benar, dan
tidak selamanya berlaku secara murni
standar.
pihak
perempuan,
dalam masyarakat. Dalam praktiknya,
telah
terbantahkan.
Meski
Sebagai wilayah yang dijadikan
perempuan juga mengandalkan kekuatan
perebutan
saat bekerja. Mereka juga menggunakan
menjunjung
tinggi
maskulinitas
ketegasan
hegemonik
dalam
masyarakat.
serta
keberanian
saat
tanda
dan
makna,
media
memutuskan suatu hal dalam menghadapi
Maskulinitas hegemonik dapat dipahami
situasi tertentu.
sebagai pembenaran dan pengesahan atas
Berlawanan dengan hal di atas,
dominasi kuasa laki-laki dalam kehidupan
masyarakat patrilineal Indonesia menilai
sosial.
bahwa perempuan tidak memiliki karakter
hegemonik dapat dibaca pada salah satu
maskulin. Seharusnya perempuan hanya
majalah franchise populer di Indonesia
memiliki
yakni
karakter
feminin
saja.
Beroperasinya
Cosmopolitan.
Sedangkan bagi perempuan yang tidak
Majalah
feminin,
dinyatakan
maskulinitas
Di
Indonesia,
Cosmopolitan
Indonesia
melanggar
dan
menduduki
Demikian
pula
Femina dan Tempo, sebagai majalah
karakter maskulin yang hanya dimiliki
franchise asing pertama yang memperoleh
laki-laki. Jika laki-laki tidak mengadopsi
kue iklan terbanyak tahun 2010 (Laporan
dan
Tahunan AJI, 2011: 110).
memperoleh
sanksi.
memiliki
lingkungan sebagai
sosial
banci,
karakter akan
maskulin, menyebutnya
klemar-klemer,
dan
kemayu.
peringkat
ketiga
setelah
Sebagai majalah perempuan, tentu saja Cosmopolitan Indonesia memuat segala
informasi
tentang
perempuan.
Pandangan dominan tentang citra
Meski demikian, sasaran Cosmopolitan
ideal perempuan dan laki-laki, sebenarnya
Indonesia tidak serta merta hanya untuk
telah
perempuan.
diimbangi
oleh
penggambaran
Dalam
beberapa
Entertainment,
Man
rubrik Manual,
alternatif dalam sejumlah teks media dan
seperti
produk
Misalnya,
Informer, Shopping, Love and Lust, You,
perempuan sudah digambarkan menjadi
You, You, Only in Cosmo, Your Work
pemimpin, berambut sangat pendek, dan
Zone, Fashion and Beauty, Health Check,
memakai celana panjang. Sementara laki-
Weekend, dan In Every Issue, isinya
laki mengasuh anak, memasak, berambut
secara khusus ditujukan kepada laki-laki.
panjang, dan berprofesi sebagai pelatih
Cosmopolitan Indonesia juga menyajikan
tari. Ini berarti, stereotipe feminin dan
tulisan yang mencirikan stereotipe laki-
92
budaya
populer.
Sumekar Tanjung, Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
laki pada diri perempuan, seperti artikel
pendekatan subjektif yang sering disebut
tentang kesuksesan perempuan dalam
juga
karir. Dengan demikian, citra perempuan
pendekatan semacam ini dianggap tidak
yang
akan ada replikasi yang sama persis,
serba
feminin
tidak
selalu
dengan
humanistik.
Dengan
mendominasi Cosmopolitan Indonesia.
karena
Dalam kaitannya dengan maskulinitas
hubungan antara peneliti dan subjek yang
hegemonik,
memberikan
diteliti) selalu terikat oleh konteks ruang
penggambaran melalui isi, pemberitaan,
dan waktu yang berbeda pula. Jelasnya,
dan kebijakan yang banyak dijalankan
dengan perbedaan ruang dan waktu, maka
oleh maskulinitas. Pada maskulinitas yang
akan
hegemonik
masing-masing peneliti.
media
sebenarnya
tidak
hanya
realitas
berbeda
perempuan yang tersubordinasi, laki-laki
yang
pula
Semiotika
diteliti
(serta
pemaknaan
dalam
hal
dari
ini
yang berada dalam situasi dan kondisi
merupakan metode analisis yang tepat
yang
turut
untuk memperoleh pemahaman tentang
tersubordinasi. Penampilan fisik yang
makna tersembunyi dalam foto. Untuk
dinilai mengundang ketertarikan pembaca
dapat
seperti perut six packs, berotot, kekar,
dianggap
minoritas
juga
pembacaan
tentang
maskulinitas
dalam
Majalah
sehat, modern, berkeringat, dan trendy,
Cosmopolitan
Indonesia,
dikelola
rubrik.
digunakanlah prinsip analisis semiotika
Sedangkan laki-laki yang berbadan biasa,
yang mampu menjelaskan berbagai tanda
wajah tidak menarik, ketinggalan jaman,
teks verbal dan teks visual dalam artikel.
dan
dalam
norak
beberapa
pun
diremehkan.
memaknai
maka
Ini
Pada teks verbal, peneliti mengacu pada
menunjukkan betapa konsep mengenai
Barthes (2000) mengenai denotasi dan
maskulinitas berubah-ubah.
konotasi.
Berawal dari latar belakang di atas,
Peneliti
dalam
mengintepretasikan makna teks verbal
penelitian ini ingin menjawab bagaimana
dengan
makna maskulinitas pada laki-laki yang
representatif. Kemudian diartikan dengan
Cosmopolitan
maksud yang terkandung di dalam teks
dideskripsikan Indonesia
edisi
majalah
Agustus,
September,
cara
memilah
teks
yang
tersebut, sesuai dengan apa yang tertulis dalam tahap denotasi dan konotasi.
Oktober dan Desember 2011.
Untuk mengetahui maskulinitas yang
Metode Penelitian
ditampilkan
Indonesia,
maka
Cosmopolitan
peneliti
melakukan
Penelitian ini merupakan riset
penelitian terhadap teks verbal dan teks
interpretatif dengan pendekatan kualitatif
visual. Teks verbal yang diteliti adalah teks
dan
(unsur kata dan kalimat) yang mewakili
berparadigma
kritis.
Penelitian
interpretatif merupakan studi tentang 93
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
atau
merepresentasikan
maskulinitas
ratusan artikel yang ada, delapan artikel
secara sosial budaya. Teks adalah pesan-
dipilih untuk diteliti. Pemilihan artikel
pesan tertulis, yaitu produk bahasa dalam
tersebut
bentuk tulisan. Sedangkan teks visual
keterwakilan konsep maskulinitas yang
adalah
paling
“teks”,
yang
di
dalamnya
didasarkan sering
pada
muncul.
faktor
Pemilihan
ini
melibatkan unsur-unsur visual. Di sini,
disimpulkan setelah dilakukan pembacaan
teks visual yang dimaksud adalah foto
secara
dalam artikel.
Cosmopolitan Indonesia edisi Agustus
Penentuan
objek
dilakukan
secara
purposif
memilah
objek
yang
menyeluruh
terhadap
penelitian
2011 hingga Januari 2012. Tentu saja,
dengan
dalam penentuan luas objek penelitian,
dianggap
prinsip kejenuhan data menjadi suatu
merepresentasikan konsep maskulinitas
pertimbangan (Muhadjir, 2000).
dalam majalah Cosmopolitan Indonesia.
Pada teks visual atau foto (foto
Seluruh anggota populasi artikel dalam
pendamping
Cosmopolitan Indonesia diseleksi dan
menggunakan
dipertimbangkan
pemilihan konotasi dari Barthes dalam
berdasarkan
konsep
maskulinitas. Objek yang dipilih yakni
The
delapan (Agustus,
artikel
dalam
September,
artikel), enam
Photographic
penulis
tahap Message
prosedur (2000).
empat
edisi
Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam
Oktober
dan
dua bagian besar, pertama, konotasi yang
Desember 2011) yang terpilih dari enam
diproduksi
edisi (Agustus 2011 hingga Januari 2012)
intervensi langsung terhadap realita itu
Cosmopolitan
Pemilihan
sendiri. Ini terdiri dari tiga hal, yakni trick
tersebut didasari oleh faktor kebaruan
effect, pose, dan objek. Kedua, konotasi
majalah dan kedekatan waktu penelitian.
yang diproduksi melalui wilayah estetis
Indonesia.
melalui
modifikasi
atau
Pada rentang Agustus 2011 hingga
foto, yakni photogenia, aestethism, dan
Januari 2012, terdapat 10 rubrik tetap
sintaksis. Keenam prosedur ini digunakan
dalam
sebagai
tiap
edisi.
Umumnya,
prinsip
prosedur
format
sebagai
dominan, melainkan hanya salah satu di
bentuk
antaranya.
penyampaian. artikel yang
Adapun
artikel ragam
digunakan Cosmopolitan
Ini
digunakan
Keenam
Cosmopolitan Indonesia menggunakan penulisan
tidak
meneliti.
disebabkan
secara karena
kehadiran tanda utama dianggap sebagai
Indonesia yakni artikel how to, artikel
pendukung
atas
wawancara, artikel profil dan artikel
kemudian
mengaitkan
informasi.
konteks sosial dalam masyarakat. Tahap
Pada
enam
edisi
tersebut
ditemukan sebanyak 313 artikel. Dari 94
tanda
lain.
Peneliti
teks
dengan
ini disebut sebagai mitos yang digunakan sebagai uji validitas data.
Sumekar Tanjung, Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
Maskulinitas dalam Konsep Biologis
atau hormon yang dibawa. Keempat,
dan Konstruksi Sosial
dalam pendekatan semiotika, perbedaan
Istilah
maskulin
sebenarnya
maskulinitas
dan
femininitas
berasal dari bahasa Inggris “muscle” atau
menjadikannya sebagai ruang simbolik. Di
otot,
hanya
sini, maskulinitas didefinisikan sebagai
mendasarkan pada kekuatan otot atau
non-femininitas. Penanda maskulinitas
fisik (Smiler, 2004). Meski tidak ada
(memiliki
definisi
atau
femininitas (tidak memiliki phallus). Ini
sebagai
digunakan untuk memeriksa hubungan
konsep gender tentang perilaku yang
kekuasaan secara simbolis antara laki-laki
dibangun secara sosial dan terkait dengan
dan perempuan (Connell, 1995: 68-70).
yaitu
sifat-sifat
konkret,
maskulinitas
yang
maskulin
lebih
dipahami
kelelakian. Sesungguhnya tidak ada model tunggal
dalam
maskulinitas.
Ini
phallus)
dibedakan dengan
Maskulinitas pada diri laki-laki telah diatur semenjak kelahirannya saat
disebabkan karena model maskulinitas
bayi. Setelah
diungkapkan secara berbeda dalam suatu
diberikan batasan-batasan sesuai jenis
konteks budaya dan waktu tertentu.
kelamin, memperoleh hak tertentu, dan
Connell
berpendapat
bahwa
orangtua
dilahirkan,
bayi
menggantungkan
segera
harapan
maskulinitas tidak akan ada jika tidak
kepadanya hingga dewasa nanti. Banyak
dipersandingkan
femininitas.
orang mengatakan, “ini anak laki-laki”
sebenarnya
atau “ini anak perempuan” ketika bayi
tidak memiliki makna apapun. Hanya
lahir. Pembedaan ini membuat tiap orang
saja,
mengasumsikan bahwa faktor biologis
Terminologi dalam
masyarakat Connell
dengan
maskulinitas struktur
sosial,
mencerminkan
kemudian
perilaku demikian.
melakukan
berpengaruh pada perilaku gender.
empat
Menurut Badinter, bayi laki-laki
klasifikasi atas pemahaman maskulinitas
atau perempuan memulai kehidupannya
dalam perspektif ilmiah. Pertama, dari
di dalam tubuh perempuan. Bayi laki-laki
pandangan
nantinya
positivis,
maskulinitas
perlahan
meninggalkan
berupaya menggambarkan “what men
femininitas mereka dari sang ibu ke diri
actually are” dengan menghubungkan
yang
antara hal biologis atau pengelompokan
perempuan
sosial. Kedua, dari pendekatan normatif,
femininitas mereka layaknya seorang ibu.
masyarakat
sendiri
Tidak seperti femininitas yang diwariskan
terhadap “what men ought to be”. Ketiga,
begitu saja dari ibu, tapi maskulinitas
perspektif
memiliki
harus diciptakan oleh seorang anak laki-
maskulinitas
laki. Dalam perspektif yang ditulisnya,
pemahaman
memiliki esensialis bahwa
konsep yang
diperoleh dari kepribadian masing-masing
Badinter
maskulin.
Sedangkan
menurunkan
kemudian
bayi sikap
memberikan 95
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
kesimpulan bahwa tipe laki-laki dewasa yang
tidak
menurunkan
Kuasa Maskulinitas Hegemonik
nilai-nilai
Kini semakin sulit untuk menarik
keibuan disebut “tough guy”. Sedangkan
kesimpulan secara jelas tentang masalah
mereka yang menurunkan perilaku dan
maskulinitas dalam masyarakat. Konsep
nilai-nilai keibuan adalah “soft man”
maskulinitas dilanggengkan secara turun-
(Badinter, 1995: 43).
temurun dalam kondisi budaya setempat.
Dalam pengamatannya, muncul
Seperti
feminin,
pencitraan
maskulin
perbedaan pemahaman maskulinitas yang
diaplikasikan dalam segala hal, simbol,
telah
Dulu,
benda, dan warna. Apa yang dianggap
maskulinitas dilihat sebagai suatu hal
maskulin di suatu tempat, dapat dianggap
yang timbul secara alamiah dari segi
feminin dalam budaya lain. Ini tergantung
biologis. Namun, kini laki-laki dituntut
pada konteks sosial budaya setempat.
untuk
ditemukan
sebelumnya.
membuktikan
maskulinitasnya,
Upaya melanggengkan itu sendiri
hingga menjadi suatu kewajiban untuk
dapat
dilakukan. Meski tidak ada aturan tertulis,
maskulinitas
namun semua masyarakat di dunia seolah
berusaha
mempertahankan
memiliki standar yang sama tentang
kelelakian
sepanjang
maskulinitas.
“melanggengkan”
Laki-laki
sebagai
turun-temurun, masa.
wujud yang konsep Konteks atau
memiliki
“mempertahankan” ini tercakup dalam
untuk
satu hal, yakni kekuasaan. Pencapaian
memperkokoh maskulinitas. Pertama, “no
kuasa atas kontrol maskulin terhadap
sissy stuff” atau laki-laki tidak boleh
perempuan, diperoleh melalui pengaturan
memiliki sikap dan sifat keperempuanan.
kehidupan pribadi dan proses budaya.
Kedua, “be a big wheel”. Seorang laki-laki
Inilah yang kemudian dikatakan sebagai
harus memiliki kekuatan, kekuasaan dan
maskulinitas hegemonik.
aturan
yang
diharuskan
dikatakan
tidak
tertulis
status. Ketiga, “be a sturdy oak”. Laki-laki
Dominasi maskulinitas hegemonik
harus memiliki jiwa yang kokoh dan keras.
di sini memiliki tiga efek terhadap laki-
Terakhir, “give ‘em hell”, laki-laki harus
laki. Pertama, dijelaskan oleh Connell
bertanggung jawab, agresif, dan mampu
sebagai
mengambil risiko (Beynon, 2002). Meski
keterlibatan
empat aturan tersebut muncul puluhan
memenuhi standar hegemonik (1995: 79).
tahun sebelumnya, namun beberapa di
Alih-alih tanpa menempatkan diri pada
antaranya masih berlaku saat ini.
garis hegemonik, laki-laki yang berada
complicity laki-laki
atau yang
proses tidak
pada posisi ini mengambil keuntungan sebagai strategi untuk memperkuat dan mendominasi. 96
Efek
kedua
adalah
Sumekar Tanjung, Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
subordinasi,
kemampuan
maskulinitas
Meskipun dampak yang diberikan media
hegemonik untuk mendorong keluar dan
tidak secara langsung terjadi, namun
menekan kelompok laki-laki penentang
cukup signifikan dalam memengaruhi
hegemonik. Misalnya, penolakan laki-laki
seseorang.
heteroseksual
pencitraan tertentu dari suatu peristiwa
terhadap
homoseksual.
Media
dapat
membentuk
Ketiga, efek marjinalisasi yang cenderung
atau
terjadi pada kaum kulit hitam. Perspektif
sebagai
majalah
mendukung
masyarakat. Pencitraan yang sudah begitu
mereka para kaum kulit putih yang lebih
melekat dalam masyarakat, berkembang
teratur dan rapi daripada kulit hitam.
menjadi
pada
umumnya
suatu
kelompok
dan
kebenaran
stereotipe
dipahami
umum
yang
dalam
kemudian
identitas
diteruskan intra dan intergenerasi. Salah
maskulinitas hegemonik saat ini selaras
satu stereotipe yang berkembang dalam
dengan konsep maskulinitas tradisional.
masyarakat Indonesia dan dunia adalah
Connell mencatat bahwa posisi hegemonik
mengenai
selalu
dianggap menyimpang dari norma.
Dalam
banyak
unik
hal,
dalam
setiap
pola
kaum
homoseksual
yang
hubungannya dengan gender di mana berada. Ia tidak langsung menetap pada
Maskulinitas
diri seseorang, melainkan diperebutkan.
Dahulu dan Sekarang
Akibatnya, relasi gender masyarakat dapat dikatakan Pemain
sebagai yang
arena
perjuangan.
dominan
memperoleh
eksistensi yang nyata (Connell, 1995: 7677). Teori ini relevan dengan penelitian yang
dilakukan
Cosmopolitan
terhadap Indonesia.
majalah Sebagai
representasi gaya hidup, majalah dapat dilihat sebagai ruang hegemoni atas perilaku,
minat,
Kesemuanya
berada
dan
karakter.
dalam
lingkaran
maskulinitas. Meski pembentukan
konteks
Majalah,
tradisional,
majalah identik dengan suatu media yang dicetak dan dikemas secara khusus yang biasanya
tersegmentasi
secara
jelas.
Setidaknya, majalah memiliki cakupan berupa tiga aspek. Pertama, majalah lebih beragam penggunaannya. Kedua, majalah lebih personal penggunaannya. Ketiga, tema majalah lebih bersifat mendalam, memungkinkan menganalisis
pembacanya kembali
pesan
untuk yang
disampaikan. demikian, dan
proses penyebaran
maskulinitas tidak serta merta menjadi milik budaya, tapi juga media. Media merupakan agen sosialisasi sekunder yang dampak
Dalam
dalam
penyebarannya
paling
luas.
Awal Amerika,
perkembangannya
majalah
umumnya
di hanya
dikonsumsi oleh kaum laki-laki saja. Sebab masa itu tingkat melek hurufnya lebih tinggi daripada kaum perempuan. Karena
itu,
pemberitaannya
pun 97
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
berorientasi pada kepentingan kaum laki-
tidak masuk akal, kedangkalan isi, sampai
laki pada masa itu. Abad 19 mulai muncul
rasisme. Pangsa pasarnya yang terbatas
majalah
konsumen
pada masyarakat kelas atas, cenderung
perempuan dan pemberitaannya seputar
membuat majalah semacamnya bereaksi
aktivitas
dan
terhadap kritik seperti ini dengan diam.
keterampilan rumah tangga. Orientasi
Isinya yang seksis secara tidak langsung
pasar
jelas.
menempatkan perempuan sebagai objek
selanjutnya
seks dengan memasang mereka sebagai
dengan di
target
waktu
menjadi
Perkembangan membuat
senggang semakin
teknologi
terciptanya
segmentasi
dan
clothes
sekadar
hangers
dan
bukan
spesialisasi isi majalah hingga mampu
sebagai diri sendiri (Johani, 2000: 99).
membidik
Kebanyakan
Majalah-majalah ini menjual apa yang
majalah bertahan dengan rumus baku dan
tidak dimiliki oleh pembacanya dan apa
isi medianya didikte oleh pengiklan,
yang
dengan cara menekankan pola isi seperti
semacam ini adalah menjual impian.
apa yang akan membantu pemasaran
Mereka mengisi tiap halaman dengan
produk-produk mereka. Atau bisa juga
fantasi-fantasi
yang
berdasarkan
hubungannya
dengan
konsumen.
gagasan-gagasan
para
ingin
mereka
miliki.
Majalah
tidak
ada
kenyataan.
pemilik media tentang apa yang mereka
Kebahagiaan perempuan yang semula
anggap dapat menaikkan tiras.
telah direkonstruksi oleh budaya, semakin
Meski
tidak
begitu
cermat
diperkokoh
melalui
memperhatikan perkembangan majalah
bertindak
yang tumbuh sejak 1970-an, namun dari
perempuan diarahkan melalui ketekunan
pengalaman
menggunakan
wacana
yang
diperoleh
dari
pemahaman
majalah.
Keahlian
produk-produk
feminin
fashion
tanpa
penyusun, menyiratkan bahwa di sana ada
dan
idealisme
menghiraukan dorongan yang monoton
laki-laki
dan
perempuan
khususnya untuk mengembangkan diri
mengikuti
dari pembacaan media ini.
sebagai individu. Mandiri, berwawasan
Sesuai dengan pemikiran Billman,
luas, dan tidak didominasi kekuasaan laki-
”Men
laki.
juga
masculine status through the repetition of
mengonsepsikan citra perempuan ideal,
building and maintaining this masculine
tak terbelenggu rutinitas rumah tangga,
body image” (dalam Journal Universitas,
tapi juga responsif.
Vol. 2, Fall 2, 2006: 4). Fenomena ini
Majalah-majalah
ini
Majalah kecantikan dan fashion
are
now
maintaining
their
terjadi dan tercermin dalam majalah, Cosmopolitan,
Men’s
Health,
seperti Cosmopolitan, Vogue, Esquire,
seperti
selama ini memiliki citra kurang baik oleh
Esquire, dan For Him (berada di bawah
masyarakat.
elitisme,
naungan MRA Grup). Majalah tersebut
mempromosikan standar kecantikan yang
selalu menampilkan laki-laki yang “ideal”
98
Dari
tuduhan
Sumekar Tanjung, Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
dan tidak pernah menampilkan laki-laki
memproyeksikan tubuhnya pada konsep
gemuk.
ideal milik media. Untuk mendukung gaya memberikan
hidup ini banyak media mengangkatnya
julukan metroseksual dalam artikelnya di
menjadi berita, bahkan kolom khusus.
Mark
Simpson
1994.
Banyak pula majalah perempuan atau
untuk
majalah for men memajang tubuh mereka
mendeskripsikan suatu jenis baru laki-laki
dalam ruang tertentu. Contohnya, seorang
muda yang eksotis dalam iklan pakaian
laki-laki hanya menggunakan pakaian
dalam Calvin Klein yang dikenakan oleh
dalam. Penggunaan butter memberikan
seorang model. Kategori laki-laki baru ini
efek mengkilap pada tubuh, serta otot
memiliki karakter sendiri, yakni sifat
model
narsistik yang tinggi, sehingga dia selalu
maskulin. Menurut Gauntlet (2002: 191)
memperhatikan
(dandy).
menyebut model laki-laki seperti ini
Menurut Simpson, gejala yang disebut
sebagai laki-laki eye candy. Penyajian
sebagai
tubuh laki-laki seperti ini tidak menutup
suratkabar Artikel
Independent tersebut
pada
ditulis
penampilan
laki-laki
baru
ini
hanyalah
yang
dapat
memperkuat
konstruksi dari pengiklan majalah glossy
kemungkinan
(istilah yang selalu digunakan Simpson
Cosmopolitan tidak hanya perempuan,
untuk menunjuk majalah gaya hidup),
tapi
yang menjual produk mahal dengan
homoseksual.
mengeksploitasi ketidakamanan laki-laki moderen (Wibowo, 2006: 189-190). Konsep femininitas
maskulinitas membawa
bahwa
sisi
juga
laki-laki
pembaca bahkan
para
Dari delapan artikel terpilih, terdapat empat kategori maskulinitas yang sering
dan
problematika
muncul. Kategorisasi disimpulkan setelah melakukan
pengamatan
menyeluruh
tentang tubuh. Gaya hidup yang telah
terhadap artikel tersebut. Ketiga kategori
menjelma
komoditas,
ini peneliti beri nama: “consumer bodies”,
menganggap konsep pendisiplinan dan
“instrumental bodies”, dan “objectified
pembentukan
bodies”.
menjadi tubuh
sebagai
suatu
Penamaan
ketiga
kategori
standar. Kriteria tubuh ideal pun melanda
tersebut dilakukan dengan pertimbangan
laki-laki. Di negara-negara maju, banyak
utama
bermunculan istilah “new man”, yang
konsep maskulinitas secara umum.
menggambarkan
representasi
hampir mirip dengan “laki-laki macho”. New man menjadi potret beralihnya lakilaki sebagai tontonan atau objek. Melihat seolah tubuhnya
hal
memiliki sendiri.
tersebut,
1.
Consumer Bodies Asumsi
laki-laki
merupakan
bahwa
pelanggan
perempuan utama
budaya
kecemasan
pada
konsumen, sudah ketinggalan zaman.
Mereka
selalu
Sementara itu, tidak mengejutkan jika 99
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
dalam hubungan antara media populer
bernilai (Giddens, 1991: 5). Dengan cara
dan konsep maskulinitas menghasilkan
ini,
individu yang konsumtif. Kartajaya dalam
Cosmopolitan Indonesia terkait dengan
Marketing in Venus mengungkap bahwa
konsumsi produk tertentu. Representasi
pasar potensial saat ini adalah Wo-Man.
seperti
Yakni, bukan hanya perempuan, tapi juga
promosi,
laki-laki yang kewanita-wanitaan. Bukan
pengiklan dalam majalah Cosmopolitan
dalam
Indonesia
arti
melainkan
beralih
orientasi
laki-laki
yang
seks, mampu
keterwakilan
ini
laki-laki
sekaligus
mengingat yang
dalam
menjadi
arena
tingginya
minat
berorientasi
pada
konsumen kelas atas. Benar jika Foucault
mengekspresikan perasaannya (Kartajaya,
(2008)
2002:
pada
pemegang kunci dalam filsafatnya. Tubuh
Beckham sebagai ikon laki-laki yang
berelasi kuat dengan kekuasaan yang
bertubuh ideal dan menarik, membuat
membentuknya .
19).
Dengan
merujuk
meletakkan
tubuh
sebagai
laki-laki ingin mengonsumsi produk yang sama, sekaligus menjadi pusat perhatian bagi yang melihat. Seperti
Kini, tubuh yang sempurna identik
diungkapkan
maskulinitas
yang
2. Instrumental Bodies
Benwell,
berevolusi
dalam
dengan prestasi, kontrol sosial dalam masyarakat,
dan
konstruksi
media.
majalah, erat kaitannya dengan cara kerja
Dengan cara ini, mudah dipahami bahwa
kapitalisme atas kebutuhan penyegaran
kebutuhan kesempurnaan tubuh menjadi
pada pasar saat produknya sudah usang.
faktor pendorong industri media untuk
Jika diasumsikan bahwa target pasar
meningkatkan
pemasaran
produk.
selama ini adalah perempuan, maka
Kesempurnaan
diasumsikan
sebagai
strategi yang diterapkan adalah strategi
kewajiban sosial saat ini. Memiliki tubuh
diferensiasi dengan produk baru untuk
yang
menyasar pasar yang baru. Walaupun
menunjukkan komitmen dan konsistensi
esensi
untuk
dari
produk
barangkali
tidak
sempurna,
harus
mendisiplinkan
mampu
diri.
Majalah
berbeda secara signifikan dengan produk
Cosmopolitan
lama, tapi komunikasi pemasaran yang
pembacanya
dibangun adalah produk baru.
seperti yang terlihat dalam majalah.
Sasaran pasar yang berbeda, kemasan positioning
Indonesia untuk
mendesak
menduplikasi
diri
Masalah penampilan fisik, rekayasa body
yang
building, kemudian menjamurnya pusat-
berbeda. Dengan kata lain, penubuhan
pusat olahraga, menjadi industri yang
atas
turut mengonstruksi laki-laki modern.
yang
berbeda laki-laki
industri
dan sangat
menguntungkan
media dan pemodal.
Sesuai
pendapat Giddens, bahwa komodifikasi atas diri menekankan gaya pada diri yang 100
Laki-laki lemah
lembut
bertubuh dan
loyo
kerempeng, dianggap
Sumekar Tanjung, Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
melempem dan tidak sepenuhnya menjadi
hasrat perbaikan tubuh selalu diliputi
laki-laki, sebab kemampuannya dalam
kecemasan yang tak pernah selesai.
menjaga perempuan akan diragukan. Dan
Praktik
pendefinisian
laki-laki
lingkungan pun menerima standarisasi itu
maskulin seperti ini telah ada sebelumnya
sebagai
dan
pada era 1880 hingga 1930. Eugene
packs.
Sandow eksis di jamannya sekitar tahun
Sedangkan dalam tuntutan stereotipe
1889. Ia merupakan cikal bakal bentuk
tradisional, laki-laki sebaiknya harus kuat
tubuh idaman binaraga seperti sekarang.
mengangkat beban apa saja, sehingga bisa
Sandow
terlihat keperkasaan dan kejantanannya.
World’s Strongest Man” di Amerika.
Sesuai dengan pemikiran Billman, ”Men
Kegemarannya memperlihatkan tubuh,
are now maintaining their masculine
sekaligus memperlihatkan kekuatannya di
status through the repetition of building
hadapan publik menjadikannya sebagai
and maintaining this masculine body
standar fisik hingga saat ini.
suatu
yang
menyebutnya
wajar six
sebagai
memperoleh
julukan
“The
image” (dalam Journal Universitas, Vol. 2, Fall 2, 2006: 6). Sistem kapitalisme memberikan kontribusi berupa pengaruh yang besar pada
body
pembentukan
image.
Kapitalisme adalah sang penentu standar tubuh ideal masa kini bagi laki-laki dan perempuan agar mereka memperbaiki penampilan
secara
berkesinambungan,
hingga mencapai ukuran yang diidealkan. Meskipun itu sangat tidak dimungkinkan karena tak akan terjadi pencapaian titik kepuasan
di
membenarkan Foucault
masyarakat. apa
bahwa
Perbaikan
demi
yang
tubuh
dinyatakan
selalu
perbaikan
Ini patuh.
dilakukan
tanpa meminta ijin pada tubuh untuk disakiti
dan
dipoles.
Semakin
tinggi
kemauan seseorang merenovasi tubuh, maka semakin tinggi pula peluang bagi investor untuk mengembangkan produk kejantanan dan kecantikan. Sedangkan
3. Objectified Bodies Dalam hal ini, objektifikasi diri merupakan pementingan penampilan fisik daripada
kompetensi
fisik
untuk
menentukan kualitas tubuh. Tambahan properti
butter
seperti
dan
air
menimbulkan efek mengkilap, sehingga lekuk tubuh dan otot terlihat jelas. Adapun Vogue dan Harper’s Bazaar adalah
majalah
pertama
yang
menggunakan fotografi fashion dengan laki-laki sebagai objek. Fenomena foto laki-laki bertelanjang dada (male nude) atau
perempuan
yang
menampakkan
bagian tubuh secara terbuka, telah muncul sejak tahun 1800-an. Hanya saja, saat itu istilah yang digunakan adalah erotic photography.
Ini
diawali
dengan
penggambaran seseorang dalam bentuk lukisan. kemudian
Dengan
kemajuan
erotic
teknologi,
photography 101
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
berkembang dan lebih dikenal dengan
selalu
nude photography. Sedangkan objek yang
menunjuk majalah gaya hidup), yang
hanya menampakkan setengah bagian
menjual
tubuhnya yang terbuka tanpa pakaian,
mengeksploitasi ketidakamanan laki-laki
maka disebut semi nude photography.
modern (Wibowo, 2006: 189-190).
digunakan produk
Simpson mahal
untuk dengan
Dengan pemahaman ini, sangat sesuai
jika
Pin-Up
ilustrasi
menggambarkan
laki-laki
sedemikian
Penutup Proyek
penubuhan
merupakan
rupa dan berorientasi pada “laki-laki
publikasi visual terlaris dalam industri
baru”. Pada era 1980-an, di negara-negara
media. Terlebih, majalah merupakan agen
maju bermunculan istilah “new man”.
sosialisasi yang sangat potensial. Pada
Laki-laki
satu sisi, penyajian ini menggambarkan
ini
perempuan
memiliki yang
sifat
seperti
mempunyai
rasa
fenomena
maskulinitas
yang
selalu
perhatian dan kelembutan. Laki-laki jenis
berubah dari masa ke masa. Sedangkan
ini
pada sisi lain, tubuh laki-laki berlaku
berasal
dari
berpendidikan
kelas
baik,
menengah,
dan
intelek.
sebagai
tanda yang memiliki
makna
Sementara itu pada 1990-an muncul laki-
intertekstualitas
laki baru yang dikenal sebagai “new lad”.
global, sekaligus menarik perhatian laki-
Penunjukan
laki untuk menjadi konsumen baru.
maskulinitasnya
melalui
sepakbola, seks bebas, dan mementingkan leisure time sebagai masa bersenangsenang. Akhirnya laki-laki “metroseksual” menjadi jenis laki-laki baru di era 2000an yang hingga kini belum tergantikan. Metroseksual
industri
media
Cosmopolitan Indonesia memang menghadirkan ragam ilustrasi visual yang berbeda pada tiap halaman dan edisi. Namun
jika
Cosmopolitan
diamati
menyeluruh,
Indonesia
menawarkan
potret
konsep tubuh laki-laki maskulin yang
objek
ideal secara homogen. Yang dimaksud
tontonan. Akibatnya, konsep maskulinitas
homogen yakni, Cosmopolitan Indonesia
baru telah dibangun dan digambarkan
merupakan
majalah
secara sosial. Laki-laki jenis ini memiliki
lisensinya
dipegang
kesadaran
Magazines
beralihnya
menjadi
oleh
laki-laki
terhadap
menjadi
penampilan
fisik
waralaba
International
oleh
yang Hearst
di Amerika.
selayaknya perempuan dan jauh dari
Tentu saja tidak hanya Cosmopolitan
kesan maskulin. Tidak heran jika Simpson
Indonesia, majalah lain yang bernaung di
menjuluki
sebagai
bawahnya meliputi Esquire, Her World,
menambahkan
Men’s Health, Parent’s Guide, Seventeen,
bahwa gejala yang disebut sebagai laki-
dan Bazaar sudah dipastikan content-nya
laki-laki
metroseksual.
jenis
Simpson
ini
laki baru ini hanyalah konstruksi dari pengiklan majalah glossy (istilah yang 102
Sumekar Tanjung, Pemaknaan Maskulinitas pada Majalah Cosmopolitan Indonesia
tidak berbeda jauh dengan perspektif Cosmopolitan Indonesia.
Billman, Brett N. “The Enfleshment(s): Maintenance
Penelitian semacam ini diharapkan dapat menjadi jendela untuk memahami konsep maskulinitas yang terus berubah pada kawasan tertentu. Ini bertujuan sebagai literasi media bagi masyarakat
of
Hegemonic
Masculinity,” Journal Universitas, Vol. 2 (Fall, 2006), hal. 4. Connell,
R.W.
Masculinities.
1995.
Cambridge: Polity Press. Foucault,
Michel.
2008.
Ingin Tahu
agar tidak terkena terpaan media yang
Sejarah Seksualitas. Trans. Rahayu
mengkhawatirkan.
S. Hidayat. Jakarta: Yayasan Obor
Sebab
media
diperlakukan seperti barang dagangan, pengusaha
hanya
menerbitkan
media
yang laku dijual tanpa memperdulikan fungsi sosial media itu sendiri. Bahkan media tidak konsisten dalam memegang prinsip utama penerbitan media yakni komitmen
untuk
menyajikan
Indonesia. Gauntlet, David. 2002. Media, Gender and
An
Introduction.
London: Routledge. Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late
keberagaman content.
Identity:
Modern
Age.
Cambridge:
Polity Press. Johani, Mikael. “Beautiful Magazines,” a+, Agustus 2000. Daftar Pustaka Aliansi
Jurnalis
Kartajaya, Hermawan. 2002. Marketing
Independen.
2011.
Menjelang Sinyal Merah: Laporan Tahunan
Aliansi
Jurnalis
Independen. Jakarta: AJI. Badinter,
Elisabeth.
Masculine
1995.
Identity.
XY:
New
On York:
Roland
Barthes
Reader, ed. Susan Sontag. London: Vintage.
Philadelphia:
University Press.
Gramedia
Pustaka Utama. Muhadjir,
Noeng.
2000.
Metodologi
Rake Sarasin. Smiler, A.P. 2004. “Thirty Years After the Concepts
Open
and
Measures
of
Masculinity”. Journal of Sex Roles, Vol. 50, Nos. ½. Wibowo,
Beynon, John. 2002. Masculinities and Culture.
Jakarta:
Discovery of Gender: Psychological
Barthes, Roland. 2000. “The Photographic A
Venus.
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Columbia University Press.
Message,”
in
S.
Kunto
“Metrosexual,”
Adi.
Resistensi
2006. Gaya
Hidup: Teori dan Realitas, ed. Alfathri Adlin. Bandung: Jalasutra. 103
Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 2, April 2012
104