Edisi Maret-April 2013
Daftar Isi 2.
4.
EDITORIAL
Rezim Otoriter itu Telah Kembali
SURAT PEMBACA Orde Baru dengan Gaya Baru
LAPORAN UTAMA 5.
Membongkar Rahim UndangUndang
14. Simbol-simbol “Rasa Orde Baru” di Yogyakarta
KATA MEREKA 19. Mereka yang Bertahan di Atas Stigma
WAWANCARA 25. Hariz Azhar: Perundangan Kita Penuh Kepentingan
KILAS BALIK 28. Masyarakat Diam-diam Merindukan Pemimpin Gaya Orba
RESENSI 34. Hukum Perang dalam Islam
CATATAN PINGGIR 36. Restorasi Kekerasan dan Rekonsiliasi Kekuasaan
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penanggung Jawab: Eko Riyadi, S.H. MH,, Pemimpin Redaksi: M. Syafi’e Editor: Arini Robby Izzati Reporter: Intan Pratiwi, M. Fuad Hasan, Kamil Alfi Arifin, La Arpani. Kontributor: Guntur Narwaya, Folly Akbar Layout: Adin
pledoi 11 07 2013
Alamat Redaksi/ Tata Usaha Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No 517 A, Banguntapan, Bantul Yogyakarta 55198 Tlp. 0274-452032, Fax 0274-452158 www.pusham-uii.ac.id email:
[email protected]
Editorial
Rezim Otoriter itu Telah Kembali Orang-orang pintar yang mentalnya di bawah standar, Tentu lebih besar potensinya berbuat kerusakan (Mustofa Bisri)
B
eberapa tahun ini adalah masa yang paling meresahkan bagi mereka yang peduli terhadap perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia. Betapa tidak? Di tengah belum lama kita menghirup udara transparansi, kebebasan berpendapat, peradilan bagi pelaku korupsi, dan mendorong pertanggungjawaban pengelolaan pemerintahan yang berpihak kesejahteraan rakyat, tapi bersama itu pula, pemerintah rupanya tidak terima menjadi obyek kritik. Pemerintah, dengan aliansi politiknya di legislatif telah mempersiapkan segudang amunisi agar suara masyarakat sipil yang kritis bisa dikendalikan. Pemerintah telah menyulap wakil rakyat sebagai penyuara kepentingan kekuasaan. Kekuasaan sebagai Lord Acton katakan memiliki potensi penyalahgunaan. Potensi korupsi politik cukup besar disana. Di masa lalu, potensi penyalahgunaan kekuasaan itu diantisipasi oleh Montesqieu dengan teori trias politica. Agar tidak korup, kekuasaan dibagi menjadi tiga : eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemerintah yang disebut eksekutif harus diawasi oleh legislatif atau pihak yang mewakili rakyat. Tapi, setelah berabad-abad teori itu dilangsungkan, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif amat sukar untuk dipisahkan. Ketiganya kerap satu suara, dan bersekongkol atas nama kepentingan kekuasaan. Kepentingan rezim yang berkuasa. Di awal reformasi, pemisahan dan pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif dibenahi dengan baik. Legislatif bersuara atas nama kepentingan rakyat. Legislatif menjadi kontrol kekuasaan yang terindikasi menyimpang. Sementara yudikatif, dibenahi dan mulai independen dari pengaruh kekuasaan. Tapi, suasana itu saat ini kembali bermasalah : wakil rakyat sekedar menjadi penyuplai kepentingan pemerintah, sementara yudikatif mau tidak mau harus menjalankan segenap peraturan yang berasal
2
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
dari persekongkolan antara pemerintah dan wakil rakyat. Apalagi, kita sadar bahwa kepolisian dan kejaksaan yang nota bene menjadi elemen peradilan saat ini masih di bawah kekuasaan eksekutif. Hanya kehakiman yang saat ini independen, dan itu pun tak menjamin mereka akan membela kepentingan rakyat, sebab hakim di Indonesia sebagaimana paradigman yang masih dianutnya adalah corong undang-undang. Pengabdi pada peraturan yang diciptakan oleh kekuasaan. Situasi berhukum di Indonesia saat ini memang masih dipenuhi ragam masalah. Mulai pembuatan hukum, penegakan hukum, sampai dengan gugatan masyarakat terhadap hukum karena mengkriminalisasi mereka. Salah satu yang paling meresahkan akhir-akhir ini adalah munculnya beberapa peraturan dan kebijakan yang akan mengancam hak asasi manusia, mengancam demokrasi, mengancam kebebasan pers, mengancam nasib penyuara ketidakadilan, dan berpotensi diperalat kekuasaan untuk berbuat sewenangwenang. Peraturan itu antara lain adalah Undang-Undang Intelejen, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Undang-Undang Keamanan Nasional, Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, dan RUU Ormas. Peraturan-peraturan tersebut secara substansi banyak masalah. Rentan untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil dan organisasi sipil yang kritis terhadap kekuasaan pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut merupakan produk kerjasama pemerintah dan wakil rakyat, dan secara substansi adalah I’tikad mengembalikan rezim yang kuat, sentralistik, militeristik, dan anti kritik. Konfigurasi politik saat ini persis seperti rezim Orde Baru ketika menata kekuasaan otoritariannya. Kehadiran produk hukum keamanan-pertahanan yang meresahkan itu searus dengan rekayasa discourse yang dihembuskan pada pikiran publik saat ini. Disana sini muncul spanduk yang mengagungkan keberhasilan kepemimpinan Soeharto. Padahal, kalau kita mau jujur dan kritis, krisis pengelolaan negara bangsa ini adalah akibat rezim Orde Baru yang sangat otoriter satu sisi, dan pada sisi yang lain ber-klien dengan kepentingan pemodal asing yang menyebabkan Indonesia mengalami ketergantungan dan krisis kesejahteraan. Orde Baru adalah rezim dimana kekuasaan berlangsung monolitik, sentralistik dan militeristik. Suara-suara kritis dibungkam. Orang-orang yang tak sepakat ditangkap. Organisasi gampang dibekukan. Semua orang dipaksa dan atau harus terpaksa tunduk dan patuh pada kepentingan kekuasaan yang bagi mereka adalah korup. Masalahnya, suasana kebijakan mudharat itu telah diputar balik saat ini. Dan, masyarakat kembali menjadi korban atas discourse yang politis itu.
M. Syafi’e Pemimpin Redaksi
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
3
Surat Pembaca
Orde Baru, Dengan Gaya Baru Pledoi hadir dengan gaya khasnya yaitu mengangkat sisi lain, dimana media surat kabar ‘pada umumnya kurang begitu mendapat perhatian. Kini kehadiran majalah pledoi sebagai indpirasi baru dan informasi baru yang berkaitan dengan isu munculnya politik orde baru. Adanya intrik-intrik pencitraan dari pendukungnya pak Harto mantan presiden kedua Indonesia.
stiker yang ditempel di bagian belakang mobil pribadi bahkan gambar soeharto yang tercetak pada kaus oblong yang di jual di malioboro. Sepertinya ada kampanye pencitraan serta “berdana besar”.
Sekarang ini banyak beredar sepanduk baliho, di kaos-kaos, maupun di didnding mobil truk. Tangan kanannya diangkat sejajar dengan telapak tangan terbuka, seolah memberi salam. Senyumannya ramah sehingga kelopak matanya menyipit.
Sepertinya ada seseorang atau kelompok yang terhubung secara politis dengan soeharto yang ingin menaikkan citranya untuk berpolitik. Masyarakat yang sudi membeli dan memasang gambar itu secara terbuka menunjukkan dukungan terhadap Soeharto masih ada. Sepertinya yang menjadi sasarannya adalah masyarakat menengah bawah. Bagaimanapun kangen soeharto ini distorsi sejarah orde baru.
Stiker yang juga berisi tulisan aneka warna itu menyindir susahnya hidup setelah sang jendral tersingkir dari kekuasaan, “piye kabare bro…? BBM mundak maneh yo…? Enak jamanku toh?” Ada juga, Wes mangan apa durung? Piro harga beras saiki? Enakan jamanku to?. Tulisan tersebut menjadikan resah para aktifis terdahulu yang memperjuangkan reformasi 98.
Benarkah rancangan undang-undang Keamanan nasional (RUU KAMNAS) dan munculnya RUU Ormas sebagai bangkitnya orde baru dengan gaya baru, dengan tokoh-tokoh didikan gaya Orde baru. Selanjutnya para aparat bersenjata akan bertindak garang dengan hadirnya UU Kamnas bila disahkan, seperti halnya orde baru bangkit lagi.
Gambar dan tulisan tentang soeharto telah beredah sejak tahun lalu baik melalui brodcas yang dikirim lewat telepon maupun gambar yang dilukis di bak truk, dan
Meskipun wilayah edarnya terbatas kehadiran Pledoi sangat di tunggu oleh masyarakat, karena sebagai media alternative dan memperjuangkan tentang misi kemanusiaannya. Oleh: Ibnu Abdurrohim, pemerhati Lingkungan
4
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
MEMBONGKAR RAHIM UNDANGUNDANG Munculnya berbagai undang-undang baru tentang sistem keamanan, tak lain untuk mengebiri eksistensi masyarakat dalam melaksanakan demokrasi. Undang-undang dirasa malah memposisikan masyarakat sebagai obyek yang harus dijinakan. Oleh : Intan Pratiwi
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
5
MEMBONGKAR RAHIM UNDANG-UNDANG
Liputan Utama
I
MPRES KAMNAS No.2 tahun 2013 masih menyisakan ganjalan di benak masyarakat. Presiden SBY akhir Januari 2013 silam akhirnya menerbitkan IMPRES KAMNAS sebagai bentuk Penanganan Gangguan Keamanan Nasional Dalam Negeri. IMPRES ini ditakutkan malah mengebiri hak masyarakat Indonesia. Baik dalam berpendapat maupun dalam melaksanakan proses demokrasi.
Sekertaris Jendral (SEKJEND) Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Heni Purwanti mengutarakan pendapat, bahwa munculnya berbagai peraturan yang tidak pro masyarakat, mengindikasikan adanya sikap represif dari pemerintah. “Negara yang semestinya menjadi payung hukum bagi masyarakatnya kini tak mampu lagi berperan. Hal ini ditunjukan dari munculnya beberapa peraturan yang dikhawatirkan mengebiri eksistensi masyarakat. Juga memicu cacatnya demokrasi yang kita terapkan saat ini.” ujar Heni. Menarik ingatan pada suatu masa, yaitu orde baru. Kali ini dirasakan Heni sebagai sebuah tolak fikir perundang undangan yang ada. Indikasi kembalinya rezim yang selama ini mengebiri masyarakat mulai mencuat. “Ketika banyak peraturan yang mengebiri eksistensi masyarakat. Hal ini menguak luka lama tentang sejarah orde baru. Dimana suara masyarakat dipasung. Indikasi ini juga tergambar dari peran apparatus Negara, dalam hal ini TNI yang ikut terjun langsung dalam menangani kondisi darurat sipil. Padahal, ketika Negara memposisikan diri represif kepada masyarakat, ini sudah termasuk pelanggaran HAM.” Papar Heni. Hal ini kemudian di perkuat oleh Haris Azhar, selaku Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia menyatakan bahwa pada IMPRES KAMNAS masih ada ketidakjelasan obyek yang diatur. Pada dasarnya IMPRES KAMNAS ingin mengatur tentang gangguan keamanan. Namun, pada beberapa pasal malah menyebutkan tentang konflik social juga soal terorisme. Selain ketidakjelasan obyek yang diatur. Beberapa pasal menyebutkan keterlibatan TNI sebagai kekuasan tertinggi dalam penanganan darurat sipil. Yang seharusnya keterlibatan TNI pada penanganan konflik sipil melalui pertimbangan para wakil rakyat. Munculnya IMPRES KAMNAS sendiri pun bukan tanpa sebab. IMPRES ini kemudian muncul dengan berbagai latar belakang. Proses kemunculannya pun melalui jalan yang terjal. Semenjak terciumnya bau RUU KAMNAS. Banyak pihak yang menolak hal ini. Kemiripan INPRES No 2/2013 dengan draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional tertanggal 16 Oktober 2012. Kedua konsep kebijakan ini tidak bisa memberikan definisi yang jelas tentang
6
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Liputan Utama
obyek yang menjadi pokok permasalahan atau dipersengketakan. Pada kalimat pembuka Inpres ditegaskan bahwa ukuran kondusivitas kehidupan sosial, hukum dan unsur-unsur keamanan nasional dalam negeri ternyata digunakan demi menyokong stabilitas pembangunan nasional. Akan tetapi Inpres ini tidak mampu memberikan identifikasi dan batasan yang konkret tentang faktor-faktor apa saja yang mampu menghambat dan membahayakan pembangunan nasional. Selain itu, seperti yang dipaparkan sebelumnya, bahwa pada implementasinya, dikhawatirkan akan membawa Negara pada sejarah luka lama. Namun, konflik yang terjadi di dalam negeri juga tak bisa di bendung. Konflik horizontal menjadi alasan mendasar. Pun, konflik tersebut juga tidak bisa diselesaikan oleh pihak POLRI selaku badan tertinggi dalam kuasa hukum masyarakat sipil. The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL) dalam siaran persnya Januari silam, mengambil sikap dengan menilai bahwa terjadinya konflik horizontal pada masyarakat memiliki akar persoalan yang kompleks. Dalam hal ini Negara, yang semestinya mampu menjadi penengah dan bagian yang menyelesaikan persoalan seringkali malah memperburuk keadaan. Sikap pemerintah yang tidak pro terahadap masyarakat, juga penanganan kasus yang tidak adil dinilai oleh IMPARSIAL sebagai langkah mundur pemerintah dalam menangani kasus yang terjadi di masyarakat. Kemudian, munculnya IMPRES KAMNAS yang dinilai sebagai solusi oleh pemerintah. Juga tak mampu mengambil peran. IMPARSIAL menilai ini
“
“Ketika banyak peraturan yang mengebiri eksistensi masyarakat. Hal ini menguak luka lama tentang sejarah orde baru. Dimana suara masyarakat dipasung. Indikasi ini juga tergambar dari peran apparatus Negara, dalam hal ini TNI yang ikut terjun langsung dalam menangani kondisi darurat sipil. Padahal, ketika Negara memposisikan diri represif kepada masyarakat, ini sudah termasuk pelanggaran HAM.”
“
bukan sebuah solusi. Karena, bagimanapun pemerintah juga turut bertanggung jawab atas keruhnya suasana konflik yang terjadi pada masyarakat.
Contoh kasus konflik beragama yang santer terjadi di akhir tahun 2012 silam. Seperti yang dilangsir oleh beberapa media. Bahwa posisi pemerintah acapkali sudah main hakim sendiri. Hal ini terbukti dari dua kasus penyerangan Ahmadiyah oleh penduduk asli ke jemaat Ahmadiyah, pemerintah malah melakukan pembiaran atas penyerangan ini. Juga soal beberapa kasus tentang aksi masyarakat dalam mrespon atau menolak suatu kebijakan pemerintah yang dikawal langsung oleh pihak TNI. IMPARSIAL juga menegaskan, bahwa kemunculan IMPRES KAMNAS sebenarnya telah membuktikan kegagalan pemerintah dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. Pemerintah seakan cuci tangan atas konflik social yang terjadi. Sehingga, tumbuhlah payung hukum yang mendiskriminasi posisi masyarakat dalam kekuatan demokrasi. ***
K
emunculan beberapa undang-undang yang tidak pro masyarakat, disinyalir didorong oleh beberapa factor. Baik factor kepentingan, kejadian, juga soal keterputusasaan Negara dalam menyelesaikan konflik social yang terjadi di masyarakat. Ignatius, selaku staff Kementrian Hukum dan HAM Daerah
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
7
Liputan Utama
Yogyakarta mengatakan, bahwa logika Negara saat ini memang sedang kebalik. Ignatius menjelaskan bahwa kemunculan IMPRES KAMNAS, juga beberapa undang-undang yang membatasi prilaku masyarakat dibuat atas berbagai factor. Logika yang dibangun oleh Negara, dalam hal ini apparatus Negara saat ini menjadikan masyarakat sebagai common enemy Negara. Masyarakat adalah seperangkat elemen yang musti di kendalikan. Alih-alih untuk menjaga kestabilan Negara. “Kondisinya saat ini, Negara sudah menganggap bahwa masyarakat adalah pihak yang harus di jinakkan. Negara kini tak lagi memegang fungsi sebagai pengayom. Pergeseran makna dan kognisi social inilah yang kemudian memunculkan sikap Negara yang represif terhadap masyarakat” ujar Ignatius. Negara berangkat dari analogi bahwa kebebasan yang ada di masyarakat sudah terlewat batas. Negara dalam hal ini, pembuat undang-undang berangkat dari 7 poin soal pembatasan HAM. Kebebasan sipil dianggap berbahaya oleh Negara. “Dalam pembuatannya, memang bisa di hubungkan dengan logika pembatasan HAM. Namun, Negara ternyata juga lolos dalam memahami pembatasan HAM ini. Dalam pembatasan HAM internasional juga terdapat aspek aspek yang musti diperhatikan. Pembatasan HAM tidak boleh memasung kreativitas dan keterbukaan hak sipil dalam berpendapat. Saat ini memang perlu adanya revitalisasi pemikiran Negara tentang pembebasan HAM.” tambah Ignatius. Ignatius mengatakan, IMPRES KAMNAS berpeluang terjadinya pelanggaran HAM. Dimana Negara mengambil andil dalam pelanggaran tersebut. Ignatius menjelaskan beberapa indicator. Tentang kekuasaan Dewan Keamanan dalam menyadap, menangkap, juga menyelediki. “Selain itu, pada pembuatannya legal drafter juga dirasa tidak menguasi betul instrument HAM. Sehingga substansi dari IMPRES KAMNAS sendiri pun harus dibenahi.” Ujarnya. ***
T
erbitnya Inpres No 2/2013 amat tidak sejalan dengan agenda reformasi sektor keamanan yang telah membagi peran dan kewenangan antara unsur TNI dan Polri. Inpres ini juga tidak akan bisa memberikan legitimasi hukum bagi para personel keamanan yang diturunkan di wilayah-wilayah kritis/ konflik/ataupun melakukan operasi anti teror untuk melakukan penegakan hukum. Sebagai respons negara, Inpres No 2/2013 tidak mencerminkan adanya kemauan negara untuk mengambil langkah-langkah inisiatif maupun penanggulangan yang tidak merugikan hak-hak konstitusional warga negaranya. Negara
8
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
“
Logika yang dibangun oleh Negara, dalam hal ini apparatus Negara saat ini menjadikan masyarakat sebagai common enemy Negara. Masyarakat adalah seperangkat elemen yang musti di kendalikan. Alih-alih untuk menjaga kestabilan Negara.
“
Liputan Utama
dok. kabarjakarta.com
sebagai pemangku kewajiban hak asasi manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak fundamental warganya, baik dalam situasi konflik – pasca konflik maupun situasi kegentingan lainnya. ***
P
osisi Negara dalam menyikapi masyarakatnya juga tidak terlepas dari kepentingan politik para pemegang kekuasaan. Hal ini terbukti dengan munculnya KAMNAS, juga undang-undang ORMAS, Intelejen, pendanaan teroris yang setelah jauh dikaji, muncul tidak sebagai payung hukum bagi masyarakat. Arah kebijakan ini kemudian dinilai oleh beberapa pihak sebagai hidden agenda para pemegang kekuasaan. Kondisi politik ini dibarengi oleh munculnya berbagai permasalahan menjelang pemilu 2014. Kemunculan undangundang yang tidak pro tersebut kemudian dirasa menjadi alat sebagai langgengnya kekuasaan. Beberapa kasus belakangan sudah merekam tanda tersebut. Misalkan, kasus penembakan lapas cebongan, ber-
lanjut pada kasus pemukulan anggota TNI oleh oknum. Juga perkara HAM yang tidak pernah selesai di tingkatan eksekutor kebijakan. Berbagai kenyataan tersebut membuktikan bahwa tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Hidden agenda kemudian menjadi indikasi sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaan. Ignatius pun mengutarakan pendapatnya. “Reformasi memang belum tuntas. Masih banyak skenarion besar yang dilakukan oleh oknum pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Undang-undang yang bermunculan tersebut kemudian bisa melemahkan kesadaran masyaraat untuk bisa bersikap kritis.” Jelasnya. Heni Purwanti, SEKJED FPPI, mengatakan bahwa kondisi Negara kian tak punya jati diri. Ditengah konflik horizontal, juga desakan kaum capital global yang membuat posisi Negara menjadi begitu sulit untuk bersikap. “Disatu sisi Negara dihimpit oleh kekuatan capital global, tapi disisi lain negara juga tidak bisa menempatkan diri sebagai pengayom masyarakat. Contoh kasus dalam pembangunan stigma buruk terhadap TNI. Disatu sisi mereka adalah bagian apparatus Negara yang semestinya tidak represif terhadap masyarakat. Begitu juga POLISI yang mestinya punya peran yang sama dalam mengayom masyarakatnya.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
9
Liputan Utama
“
“Adanya UU intelejen ini sebenarnya juga bertentangan dengan adanya undang undang keterbukaan informasi. Pada undang undang keterbukaan informasi masyarakat bisa mengakses seluruh data dan informasi pada instansi pemerintah. Namun, munculnya UU Intelejen ini kemudian kebebasan yang semula diharapkan menjadi kontrol sosial, bisa diciderai oleh adanya peraturan yang membuat sebuah institusi Negara menjadi tak tersentuh.”
Namun, pada kenyataannya mereka gagal. Seketika, digulirkan wacana bahwa posisi mereka ini sudah tidak strategis lagi. Wacana pembubaran aparat Negara yang ini pun santer terdengar. Dilematis memang karena, posisi kita sebagai Negara yang sedang berkembang akan terus terkikis rasa nasionalismenya karena gempuran budaya barat. TNI juga POLISI lah satu satunya warga Negara yang selama ini nasionalismenya masih bisa dipertahankan.” Papar Heni. Dilematis ini kemudian membuat Negara mengalami lose in power, padahal keamanan nasional menjadi masalah karena aparat POLISI yang melemah, POLISI juga tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik dan tidak efektif. “Negara memang semestinya mencari solusi yang lebih mengena segala sector, untuk menanggulangi konflik social yang terjadi di tataran masyarakat. Peningkatan mutu kualitas POLISI menjadi salah satu cara, yang tentunya revitalisasi kinerja POLISI juga menjadi harapan masyarakat. Selain itu, perlu adanya pemahaman global pada seluruh warga Negara. Negera bertanggung jawab atas penanaman rasa nasionalisme didalam diri warganya. Karena, nasionalisme hadir sebagai senjata bangsa dalam menghadapi gempuran kapitalisme.” Imbuh Heni. ***
S
elain IMPRES KAMNAS, undang-undang lain hadir yang juga dirasa akan meberangus kebebasan masyarakat adalah UU Intelejen, UU Ormas. UU ini kemudian masih banyak dipertentangkan oleh masyarakat. Kehadirannya membatasi ruang gerak masyarakat dalam menjalankan demokrasi.
“
Meski sudah hampir 2 tahun disahkannya UU No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelejen Negara, kondisi pertentangannya masih terasa hingga kini. Keberadaan UU intelejen Negara ini juga dikhawatirkan menjadi celah bagi apparatus Negara untuk melakukan pelanggaran HAM. Selain itu, kesempatan impunitas kian mendesak dengan legalnya UU Intelejen ini. “Adanya UU intelejen ini sebenarnya juga bertentangan dengan adanya undang undang keterbukaan informasi. Pada undang undang keterbukaan informasi masyarakat bisa mengakses seluruh data dan informasi pada instansi pemerintah. Namun, munculnya UU Intelejen ini kemudian kebebasan yang semula diharapkan menjadi kontrol sosial, bisa diciderai oleh adanya peraturan yang membuat sebuah institusi Negara menjadi tak tersentuh.” Ujar Hendra, selaku ketua dari Aliansi Jurnalis Independen. Hendra juga menambahkan bahwa akibatnya dari pemberlakuan UU Intelejen ini adalah terciptanya sebuah institusi Negara yang tak mam-
10
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Liputan Utama pu ditembus oleh siapapun. Bahkan, bisa menjadi kebal hukum. Celah itu kemudian berpeluang terjadinya pelanggaran HAM. Tentunya tak bisa diselesaikan, karena legitimasi kekuasaan kembali kepada apa yang sudah tercantum dalam UU tersebut. Pembentukannya pun bukan tanpa sebab. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian CONCERN (CRN) pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa pembahasan UU Intelijen Negara di DPR tidak lepas dari urgensi tersedianya payung hukum bagi intelijen negara. Suatu payung hukum untuk menempatkan tindakan dan kedinasan intelijen negara di
ASPEK
tengah-tengah proses konsolidasi demokrasi di tanah air. UU ini memungkinkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem intelijen negara, karena akan ada pengaturan yang lebih jelas dan tegas. Namun, masih banyak yang berkeberatan dengan sebagian rumusan RUU yang diajukan pemerintah, baik dari anggota DPR sendiri maupun masyarakat. Sebagian isu krusial muncul, sehingga pembahasan RUU ini tersendat-sendat. Reaksi memang beragam, tetapi yang berkeberatan umumnya menganggap RUU ini mengancam demokrasi dan HAM. Mereka khawatir, rezim represif akan kembali hadir. Setidaknya ada delapan butir dalam pasal tersebut yang patut dikritisi. Karena, delapan poin ini kemudian yang mampu berpeluang atas pelanggaran-pelanggaran yang sudah disebutkan diatas tadi.
PASAL
PENJELASAN
Definisi Intelijen
pasal 1 ayat (2): “Intelijen negara adalah lembaga pemerintah yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan intelijen.”
Suara kontra menginginkan lembaga intelijen sebagai lembaga negara, bukan lembaga pemerintah, karena khawatir institusi itu akan menjadi sarana abuse of power penguasa.
Penyadapan
Kewenangan dalam Bab VI Pasal 31: “(1) Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi, komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatism, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Intersepsi komunikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam menyelenggarakan fungsi intelijen. (3) Dalam memeriksa aliran dana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), lembaga koordinasi intelijen negara dapat meminta bantuan kepada Bank Indonesia, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang. (4) Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga Kuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memberikan informasi kepada lembaga koordinasi intelijen negara sesuai ketentuan perundang-undangan.”
Dalam pasal ini dikhawatirkan akan menjadi celah besar pelanggaran HAM terjadi, kerena penyadapan seharusnya dilakukan dengan izin dari pihak pengadilan. Lembaga terkait kemudian tidak punya legitimasi untuk hal tersebut. Apabila itu terjadi, maka terjadinya kekerasan juga pelanggaran akan sangat berpeluang.
REKOMENDASI definisi sebagai “lembaga negara” sebenarnya lebih sebagai upaya memahami suasana kebatinan masyarakat, yang belum sepenuhnya pulih dari luka-luka sosial masa lampau.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
11
Liputan Utama
Rahasia Informasi Intelijen
Pasal 39: Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi Intelijen yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Penangkapan
Suara kontra menganggap, kewenangan menangkap akan mengancam HAM dan merusak mekanisme criminal justice system. Kewenangan itu sama halnya dengan legalisasi penculikan
Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN)
fungsi dan kewenangan LKIN yang akan menggantikan kedudukan BIN dinilai terlalu luas. LKIN seharusnya tidak memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana, dan lain-lain.
Pengawasan
mekanisme pengawasan dalam RUU Intelijen Negara ini, hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen, yang dilaksanakan perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen.
Organisasi dan Peran
Dari sisi organisasi, UU Intelijen Negara tidak menganut diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. UU Intelijen Negara tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas.
Hak Korban
Isu kontroversial lain menyangkut hak-hak korban, apabila terdapat tindakan intelijen yang menyimpang dan menimbulkan persoalan HAM. Hal ini akibat trauma masa lalu.
12
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
pengaturan rahasia intelijen seperti ini masih multi-tafsir dan bersifat pasal karet, sehingga mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.
Pada dasarnya, intelijen negara tetap perlu diberi kewenangan penangkapan, namun hanya terbatas pada kasus-kasus yang diduga mengancam keselamatan dan keamanan nasional. Dalam waktu 1X24 jam setelah penangkapan, jika diperlukan penahanan, pihak intelijen negara harus meminta polisi supaya mengeluarkan surat penahanan.
Harusnya, dalam hal pengawasan badan intelijen hendaknya diatur lebih jauh tentang pengawasan internal, pengawasan oleh pimpinan eksekutif, maupun pertanggungjawaban ke publik.
Penyimpangan aparat seperti itu harus diatur tanggungjawabannya, dan kompensasi yang dapat diberikan kepada korban atau keluarga korban. Namun, semua itu atas putusan pengadilan.
Liputan Utama
dok. antarafoto.com
Sistem keamanan yang semestinya menjadi pengayom masyarakat kini memang tak lagi bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Payung hukum yang digawangi oleh undang-undang ternyata malah lahir dari pusaran konflik dan kepentingan. Sehingga, yang semula dibuat untuk melindungi kestabilan dan keamanan Negara, malah menjadi common enemy bagi masyarakat. “Lagi-lagi ketika kondisi Negara sudah tak mampu lagi menjalankan fungsinya secara baik. Masyarakat seharusnya mampu menjadi satu untuk melawan tirani ini. Masyarakat memang harus disadarkan oleh orang orang yang punya tanggung jawab akan hal ini. Mahasiswa, media, akademisi. Semua memiliki peran yang sama dalam membangun bangsa Indonesia. Harusnya masalah masalah internal seperti ini selesai dari pasca penjajahan. Karena, kondisi yang semrawut ini melemahkan bangsa. Kita punya musuh yang lebih kuat. Penjajahan yang lebih keji, karena bukan lagi fisik yang di jajah tapi pola piker dan alam bawah sadar. Gempuran kapitalisme global menjadi agenda besar untuk di lawan.” Papar Heni. Ignatius pun menambahkan bahwa, kesadaran bersama tentang kondisi bangsa menjadi landasan yang penting untuk membangun kembali bangsa. Kebebasan dan reformasi yang sekarang ini memang harus dimanfaatkan. Tetapi masyarakat juga dituntut cerdas dalam bersikap. Maka, ketimpangan yang terjadi pada struktur social mampu di awasi oleh seluruh elemen warga Negara.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
13
14
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013 dok. shadowness.com
Liputan Utama
SIMBOL-SIMBOL
“RASA ORDE BARU” DI YOGYAKARTA
Simbol-simbol yang bercorak Orde Baru atau simbol-simbol “rasa Orde Baru”banyak bermunculan di dalam ruang-ruang publik di Yogyakarta. Bentuknyapun beragam. Di antaranya yang cukup menonjol tahun ini adalah produksi kaos bergambar Soeharto yang massif, dan spanduk-spanduk dukungan terhadap Kopassus. Keduanya tampak sama sekali lain. Tapi pada penilaian tertentu, menyiratkan sebuah pesan besar yang sama dan jalin menjalin.
M
ei tahun ini, reformasi sudah memasuki usianya yang ke 15 tahun. Seperti lazimnya, di dalam setiap momen perayaan hari jadi, pertanyaan-pertanyaan rekflektif seputar capaian dan penilaian terhadap pewujudan agenda-agenda idealis dan altruis gerakan 1998 itu mengemuka. Apakah reformasi masih tetap berjalan di atas lajur awalnya untuk menciptakan tatanan negara-bangsa yang demokratis, sejahtera, berkeadilan hukum, dan bebas korupsi, atau sudah sedemikian jauh berbelok ke persimpangan yang tak tentu arahnya? Bagaimana kehidupan sosio-ekonomi-politik post-Soeharto di Indonesia? Apakah rakyat sudah benar-benar merasakan kenyamanan di dalam pelbagai aspek di zaman reformasi, atau sebaliknya, malah tambah menderita? Pleido edisi kali ini ingin turut merefleksikan seputar hal-ikhwal reformasi, dengan cara menginvestigasi maraknya simbol-simbol “rasa Orde Baru” di ruang-ruang publik Yogyakarta dan kemudian memintakan pendapat dari pelbagai pengamat dan pihak yang dianggap otoritatif. Sebab, bagaimanapun, simbol dan tanda mengandung pesan tertentu di dalam dirinya, yang mesti dibaca secara semiotikdan interdiskursif, sehingga mampu membongkar pesan-pesan besar tersembunyi di balik apa yang sekedar tampak di permukaan terluar teks.
Spanduk Kopassus dan Kaos Soeharto Oleh : Kamil Alfi Arifin
Jika berkeliling di Kota Yogyakarta dalam waktu belakangan ini, tidak susah menemukan dan melihat di ruas-ruas jalan terpampang spanduk-spanduk dukungan terhadap Kopassus. Spanduk-spanduk itu di antaranya bertuliskan: “Basmi Preman, I Love Kopassus”, “Terima Kasih Kopassus dan I Love Polri”, “Terima Kasih Kopassus, Yogyakarta Aman, Preman Minggat” dan lain-lainnya.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
15
Liputan Utama Spanduk-spanduk tersebut dipasang di pelbagai tempat strategis di Yogyakarta, misalnya di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta, perempatan Ngampilan, perempatan Wirobrajan, Jalan Wates, perempatan Tugu, pertigaan Colombo, pertigaan Gejayaan, perempatan Denggung, depan Kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Pingit, dan di beberapa tempat lain di Yogyakarta. Secara faktual-historis, spanduk-spanduk dukungan terhadap Kopassus merupakan respon terhadap kasus penembakan 11 tahanan di Lapas Cebongan Yogyakarta pada bulan Maret yang lalu. Lebih tepatnya, produksi spanduk ini adalah kelanjutan aksi dari sekitar 200 orang yang melakukan demonstrasi untuk mendukung Kopassus. Mereka menamai diri sebagai Pemuda Yogya Anti Premanisme. Aliansi ini terdiri dari pelbagai elemen kelompok di Yogyakarta. Di antaranya, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPPI), Forum Jogja Rembug, Jogja Otomotif Community, dan yang lain. Setidaknya ada sekitar 200 spanduk yang dipasang di Yogyakarta. Dana produksinya cukup jelas, yaitu dari iuran kelompok yang tergabung dalam aliansi mendukung Kopassus. Mereka juga membantah didomplengi oleh kuasa dan kepentingan lain (Tempo, 10 April 2013). Meskipun, munculnya dukungan yang massif terhadap Kopassus ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai upaya mengaburkan persoalan yang sebenarnya. “Pembelokan isu,” kata Hendrawan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta saat diwawancara oleh Pleidoi di sela-sela rapat dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII). Sementara realitas tanda atau simbol “rasa Orde Baru” yang lain, yang juga marak di Yogyakarta saat ini, adalah produksi kaos bergambar Soeharto dan sticker-sticker terkait. Bagian depan kaos itu penuh bergambar Soeharto senyum sambil melambaikan tangan. Sementara bagian bawahnya bertulis kata-kata: “Piye Kabare Bro?, Penak Jamanku To Le?” . Kaos-kaos ini di jual di banyak tempat dengan harga yang murah, yaitu Rp 25.000. Seperti di Malioboro, di Candi Borobudur, di Pantai Kukup dan sebagainya. Saat Pleidoi menyusuri pedagang kaos di Maliboro, nyaris hampir semua lapak di emperan Malioboro menjual kaos mantan presiden yang diturunkan paksa oleh mahasiswa dan rakyat itu. Artinya, produksi kaos itu tidak kecil jumlahnya.
16
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Dari realitas munculnya simbol-simbol “rasa Orde Baru” di Yogyakarta, muncul pertanyaan kritis: mengapa marak simbolsimbol “rasa Orde Baru” belakangan ini di ruang-ruang publik Yogya, bahkan hampir nyaris bersamaan satu sama lain waktu pewacanannya? Apa iya, rakyat benar-benar merindukan zaman Orde Baru karena merasa lebih terpuaskan kehidupannya di banding zaman reformasi sekarang ini? Apakah benar simbol-simbol itu muncul dari inisiatif warga sendiri, atau bagian upaya sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok proOrba?
Penafsiran Diskursif Menanggapi fenomena tersebut, Ridho Al-Qadri, Dosen Ilmu Komunikasi UII yang menekuni kajian semiotika, analisis wacana dan politik ruang, menyangkal dan kurang yakin jika dua simbol itu benar-benar diproduksi dari inisiatif warga sendiri. “Sangat tidak mungkin, massif sifatnya. Untuk membiayai spanduk, kaos, tidak kecil jumlahnya,” ujarnya saat di wawancara di kediamannya. Selain itu, Ridho, juga melihat simbol-simbol itu memiliki pola yang sama. Keyakinan Ridha, semakin masuk akal, saat melihat ada partisipasi dan keterlibatan aktif Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) dalam aliansi besar Pemuda Yogya Anti Premanisme dalam mendukung Kopassus. Sementara untuk produksi kaos bergambar Seoharto agak kesulitan di lacak. Sejauh investigasi yang Pleidoi lakukan, kaos bergambar Soeharto itu diproduksi oleh Grosir kaos Gareng Jogja. Saat Pleido mencoba menguhungi dan meminta konfirmasi terkait motivasi memproduksi kaos tersebut dari pemilik Gareng.Pemiliknya, Endarto, selalu sibuk. “Saya masih di Bandung ini mas”.“Saya masih dalam perjalanan ke Solo,” ujarnya. Kaos yang
Liputan Utama
diambil dari berbagai sumber
diproduksi oleh Gareng di pasaran berjumlah cukup besar. Padahal dari segi penjualan, tidak terlalu laris. Buktinya, jarang terlihat orang memakai kaos itu di Yogyakarta. Apalagi anak-anak muda. Padahal, kata Ridho, segmentasi utama dari produksi kaos itu sudah pasti anak-anak muda. Sebab, “kaos mencerminkan budaya populer”. Apalagi, sambung Ridho, ada kata “Le” di bawah gambar kaos itu. “Jadi sasarannya ini generasi muda,” jelas Ridho. Sejalan dengan Ridho, Hendrawan, di tempat dan waktu yang berbeda, juga mengatakan ada agenda terselubung dari maraknya produksi spanduk dukungan terhadap Kopassus dan kaos bergambar Soeharto. “Ada hidden interest. Bisa jadi ada kepentingan tertentu, perlu dikaji lebih lanjut,” tegasnya. Sehingga dari itu, untuk bisa menangkap pesan besar tersembunyi lebih dari apa yang
sekedar tampak di permukaan terluar teks, Ridho menganjurkan cara baca dan analisis yang canggih serta komprehensif. “Kita posisikan gambar, spanduk ini secara diskursif. Dalam arti terhubung dengan teks-teks yang lain,” pintanya. Tapi yang jelas, Ridho percaya, secara semiotik, kedua simbol tersebut merepresentasikan dan menyiratkan karakteristik Orde Baru. Meskipun untuk menafsirkannya lebih jauh perlu pendekatan analisis wacana. “Gambar ini sudah terkodekan dengan Soeharto sebagai militer dan sebagai presiden. Meskipun secara eksplisit, gambar itu tidak mengatakan itu. Tapi memori sosial menyatakan itu,”pungkas Ridho yang alumni Sekolah Pascasarjana UGM program studi Kajian Budaya dan Media itu. Sementara Kopassus, menurut Ridho, tidak bisa dipisahkan dari Soeharto. Begitu juga sebaliknya, Soeharto tidak bisa dipisahkan dari Kopassus. Secara lebih rinci, Ridho juga menjelaskan penafsiran kata-kata di dalam kaos bergambar Soeharto. “Kata-kata “Le”, itu ujaran Jawa, menunjuk keturunan. Soeharto itu ideologinya Bapakisme. Asal bapak senang. Kultur seperti itu, kultur Jawa. Lebih
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
17
AN RB
STIGMA
P KI
lagi menggunakan ujaran atau sapaan “Le”,” terangnya.
KO
Liputan Utama
Sehingga semakin jelas, dua simbol itu benar-benar merepresentasikan sebuah pesan akan kerinduan pada sosok Soeharto dan berikut rezimnya yang dianggap lebih enak. Hal itu semakin diteguhkan di dalam kata lanjutan di dalam kaos itu, yang seolah-seolah ingin membandingan dengan kondisi kekinian: “Penak zamanku to”. Ketika di tanya, apakah simbol-simbol itu ada kaitannya dengan kepentingan Pemilu 2014 mendatang, Ridho hanya menjawab bisa mungkin. “Bisa jadi, bisa tidak. Secara interdiskursif, meaning-nya kuat ke arah situ,” imbuh Ridho. Sebab, militer berdasarkan hasil bebebapa survei, dianggap semakin menguat dan memiliki kans besar untuk tampil dan menang di pemilihan presiden mendatang. Citra militer belakangan juga dipandang lebih bersih dari kasus-kasus korupsi (meski tidak yang lain, terlebih persoalan HAM berat masa lalu yang belum selesai), dibanding dengan politisi berlatar belakang sipil dan pengusaha, yang belakangan banyak terjerat kasus-kasus korupsi. Apalagi mengingat roda reformasi, meski juga dipimpin dengan seorang militer (namun tak tegas!), dianggap belum mampu mewujudkan idealisme awalnya. Reformasi dianggap gagal. Dalam hal ini, Ari Sujito menilai gagalnya reformasi karena keteledoran elit. “Reformasi gagal karena tidak ada monumen nilai, melainkan hanya monumen kejatuhan Soeharto,” ujarnya dalam sebuah diskusi refleksi gerakan reformasi yang dihadiri Pleidoi di Kantor IRE Yogyakarta.
MEREKA YANG BERTAHAN DIATAS STIGMA
Sehingga bisa jadi, dalam kondisi yang demikian, produksi spanduk dukungan terhadap Kopassus dan kaos bergambar Soeharto, dianggap sebagai bagian upaya untuk semakin memoles citra militer demi mengukuhkan kekuasaannya di ranah politik. “Praktik politik sekarang butuh ruang-ruang kontestasi dalam bentuk apapun,” ujar Ridho. Dalam terang penafsiran semacam ini, jika memang simbol-simbol itu secara kewacanaan dimaksudkan untuk membangkitkan kuasa militerisme di ranah politik, maka hal ini, kata Ridho, merupakan suatu bahaya laten bagi kehidupan politik Indonesia dan mesti segera dilakukan upaya counter yang juga massif oleh gerakan-gerakan demokratik, sebab mengancam reformasi. “Secara wacana, apakah mengancam reformasi? Iya, kalau gambar-gambar ini dilakukan sebagai upaya membangkitkan militerisme akan mengancam semangat reformasi,” tegasnya.
18
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Oleh : La Arpani
Kata Mereka
dok. tribunnews.com
S
orot matanya tajam meskipun umurnya telah lanjut, suaranya lantang dan jelas. Dialah sosok agung yang hidup dibawah tekanan rezim diktator Orde Baru. Tatkala komunis mulai goyah, beliau saat itu baru sebagai anggota biasa yang belum terlalu kenal jauh apa sebenarnya komunis. Nah, setelah publik di seantero NKRI ini mulai ribut soal Pemberontakan G 30 S PKI, baru lah dia mulai sadar bahwa kekagumannya atas salah satu Partai yang selama ini ia pilih disetiap Pemilu adalah bagian dari gerbong komunis. Dan yang paling membuatnya tertekan, tatkala ramainya keca-
man atas Partai yang ia kagumi seperti PKI yang notabene berideologi komunis. Dia adalah Rajiman 69 tahun, pembicaraan Tim Pledoi bersama bapak 5 anak ini, terjadi di kediamanya pada 15 Mei 2013. Disela-sela kesibukan memberi pakan ternak ayamnya, beliau masih mau berkomunikasi dengan tim Pledoi, bapak yang tua renta ini awalnya masih ragu dalam berkomunikasi dengan kami, maklum belum pernah ketemu. Tetapi setelah beberapa lama komunikasi terjadi, baru lah akhirnya dia mau membuka diri untuk berbagi denganTim Pledoi. Dalam mengungkapkan gejolak kekhawatiranya setelah ia sadar bahwa dia adalah pengagum Partai Komunis yang secara kebetulan menjadi incaran para mesin diktator Orde Baru (TNI) tanpa sadar ia terlihat emosi. Secara psikologis kita bisa memahami bahwa itu adalah ekspresi dia mengigat masa-masa di mana dia di stigmatisasi.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
19
N BA
STIGM A I PK
KO R
Kata Mereka
Sepintas terlihat bapak lima anak ini sedikit kecolongan. Ini terlihat dari ungkapanya yang sedikit sinis yang mengatakan bahwa rezim ketika itu sangat biadab, tidak tau diri dan tidak berprikemanusiaan. Lontaran kalimat ini bermula ketika pembicaraan mulai mengerucut pada, apa sih awal mula munculnya tindakan brutal dari sebuah rezim. Pak Joyo (bapak 5 anak) dengan suara yang lantang dan tegas menyebut rezim diktator Soeharto sebagai “rezim penguasa yang dzolim” pasalnya di sebabkan karena kebrutalan rezim Soeharto (Orde Baru) melalui militer menakut-nakuti dengan ancaman, stigma, dan bahkan pembunuhan. Tindakan itu sangat mempengaruhi piskologi masyarakat ketika itu. Menurut Pak Joyo ancaman itu tidak hanya menggentarkan para pendukung PKI dan para simpatisannya, melainkan juga mempengaruhi atau mengacaukan ketenangan mereka yang berada di luar garis kekuatan masa PKI dan sialnya lagi, orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI juga turut disasar oleh skenario rezim Orde Baru. Waktu itu Mas, “jangankan orang yang masuk anggota PKI, orang yang berada di luar PKI pun juga mendapatkan tekanan yang sama dan bahkan tidak ada alasan dan ruang bagi kami untuk memberikan argumentasi untuk membelah diri, yang terjadi ketika itu hanyalah rasa takut dan kesiapan untuk menuruti apa kata aparat”. Ungkap Pak Joyo. Ungkapan di atas bisa di maknai bahwa korban meskipun tidak di penjara sebagai mana tahanan-tahanan politik di masa Orde Baru, namun dengan stigma yang mereka alami, sudah cukup untuk menguatkan argumentasi bahwa mereka sama saja dengan tapol-tapol pada masa Orde Baru. Selama Orde Baru berkuasa nyaris mereka tidak pernah mendapatkan hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan, kesehatan, memilih dan dipilih. Yang ada mereka hanya bisa bertahan hidup di atas bayangbayang ancaman/ teror dari militer. Keberadaan mereka sangat terlokalisir sehingga mereka dengan mudah di intimidasi. Bayang-bayang hegemoni yang mereka rasakan selama kurun waktu 32 tahun tidaklah mudah untuk mereka lupakan begitu saja. Bahkan ibaratnya sudah menjadi luka yang sulit untuk mereka lupakan, sebaliknya citra buruk yang melekat pada diri mereka seakan sulit untuk di terima. Namun seiring dengan berjalannya waktu mereka pun saat ini telah mendapatkan ke-
20
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
percayaan dari masyarakat sekitar. Misal saja waga kampung sekitar pak Joyo yang mempercayakan beliau sebagai kaum atau roy dalam istilah jawa dimana tugas utamanya adalah memandikan mayat dan urusan-urusan lain yang berkaitan dengan soal itu, seperti membuat nisan, memperbaiki pagar atau pembatas kuburan serta aktifitas-aktifitas lain yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pak Joyo dalam keseharianya khususnya di Dusun Poyahan bisa di katakana dia sebagai tokoh yang proaktif dalam hal memperhatikan kepentingan-kepentingan warga yang ada di dusunya, betapa dia di beri peranan yang sangat vital mengurusi persoalan-persoalan kemasyarakatan di Dusun Poyahan desa Solo Harjo. Hal itu dia lakukan untuk membuktikan bahwa dia juga masih punya perhatian besar untuk mendedikasikan tenaga dan pikiranya untuk kemajuan desa atau dusunya. Berikut pernyataan pak Joyo begitu ia di sapa, “ya...hanya ini yang saya bias kerjakan untuk menjawab masa di mana saya 32 tahun di hentikan peranan aktif saya di dalam masyarakat, padahal ketika itu saya masih muda dan tentunya saya masih punya semangat yang tinggi untuk memajukan minimal desa saya, tapi mau bagai mana lagi saya tidak bisa berbuat banyak karena situasi ketika itu telah di kondisikan oleh kekuasaan, maka saat ini setelah saya keluar dari kungkungan itu maka saya harus berbuat apapun sepanjang itu positif dan bermanfaat untuk masyarakat dan desa ini saya harus lakukan. Itulah komitmen saya sampai saat ini” tutur pak Joyo dalam obrolan santai kami di sebelah rumahnya. Bapak 5 (lima) anak ini terlihat begitu besar keinginanya dalam mengawal apa
N BA
STIGM A I PK
yang menjadi kepentingan masyarakat dan desanya, sebuah komitmen agung yang sulit di temukan dalam pribadi di lingkungan desanya. Ketulusan serta keseriusanya dalam mendedikasikan tenaga dan pikiranya menjadi pilihan yang sangat penting dalam hidupnya. Hal itu terlihat dari semangat dia dalam berbicara atau menjelaskan perihal aktifitas dia di tempat dia lahir. Dia bekerja tanpa mengharapkan imbalan hanya dengan modal ikhlas ia rutin menjalankan apa yang di percayakan oleh warga. Akan tetapi rasa tulus itu juga tidak sia-sia di mana dia kadang mendapatkan banyak hal, baik dalam bentuk uang, pengalaman, relasi, dan bahkan penghargaan-penghargaan dari pemerintah setempat. Sebagai tokoh dia pun turut di libatkan dalam kegiatan-kegiatan penting di desa dan yang paling penting lagi bagi dia di mana dia selalu di percayakan sebagai salah seorang yang bertindak sebagai pembawa acara dalam pertemuanpertemuan penting. “Saya kadang-kadang menjadi terharu dan bangga bila di dalam pertemuan-pertemuan justru kepercayaan di berikan kepada saya sebagai pembawa acara, bagi saya itu adalah satu penghormatan besar dan merupakan rahmat dari Allah SWT. Dan saya harus akui bahwa buah dari kesabaran itu selalu bermakna dalam hidup ini, apa yang saya alami saat ini harus di akui bahwa ini semua adalah buah dari kesabaran. Ungkapnya pria paru baya ini pula bahwasanya dia begitu piawai dalam menempatkan dirinya di masyarakat, sehingga dirinya mudah mendapatkan kepercayaan dalam masyarakat dan harus di akui ini bukan lah sikap yang mudah di lakukan orang, sebab sebagian besar kecenderungan orang saat ini lebih berfikir pragmatis
KO R
Kata Mereka
Tapi dalam kondisi yang kental dengan sikap pragmatis seperti saat ini, masih ada sosok seperti pak Joyo, meskipun sudah tua renta tapi masih punya semangat yang luar biasa untuk merubah lingkunganya. Sosok luar biasa ini seakan tanpa beban dalam menjalani hari-harinya, padahal untuk mempertahankan perekonomian keluarganya dia hanya mengandalkan dengan modal berternak. Andalan ternak dia adalah itik dan ayam. Inilah pekerjaan utama dia di dalam menafkahi keluarganya di samping juga mendaptkan dari pemberian anakanaknya. Anak-anaknya ada yang berprofesi asongan, ada yang nelayan, dan ada pula yang berprofesi tukang batu. Dari sinilah mereka kemudian bisa mewujudkan harmonisasi dalam lingkup keluarganya. Meskipun pekerjaan mereka tidak terlalu mentereng, namun dengan pekerjaan yang sederhana itu, mereka bisa membuktikan kepada lingkungannya bahwa mereka bisa mempertahankan hidupnya dengan itu, bahkan mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya. Keluarga luar biasa ini diakui di dalam masyarakat sebagai sosok yang ramah seperti halnya pak Joyo. Hal ini di ungkapkan oleh sosok luar biasa pak Joyo: “ya pekerjaan kami sederhana yang penting halal dan ini bagi kami sudah lumayan cukup, keluarga kami pun dalam masyarakat cukup positif, bahwa anak-anak pun ada yang di percayakan sebagai tokoh dalam lingkunganya. Rupanya dalam nasehatnasehat saya selama ini konsisten di amalkan oleh mereka, oleh karena itu saya sangat bangga terhadap mereka”, ungkapnya sembari menutup pembicaraan ini.
Kesaksian Sang Korban Angin pagi yang berhembus sepoi Pagi itu menjadi penyemangat tersendiri bagi mereka yang berada di luar rumah. Siapa pun yang memanfaatkan kesempatan untuk keluar rumah di pagi itu akan mendapatkan kenikmatan. Samujo 68 tahun dengan santainya mengisap rokok di samping teras rumahnya sesekali terlihat kepalanya menghadap keatas, sembari mengeluarkan asap rokok, terlihat betapa dia menikmati gumpalan-gumpalan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Hembusan udara pagi ketika itu seakan menambah kesempurnaan situasi santai di pagi itu, tidak ada botol atau ge-
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
21
N BA
STIGM A I PK
KO R
Kata Mereka
bisa lepas dari kungkungan itu.
las air minum yang menemani, yang ada hanya sebungkus rokok djarum, betapa dia cukup menikmati suasana itu.Tapi jangan heran, kesederhanaan ayah dari empat anak ini, tertanam benih keberanian dan kejujuran. Teguh dengan kebenaran, membawanya bebas dari setiap jebakan-jebakan hidup yang dijalaninya. Ini semua menjadi relevan tat kala melihat pendirianya dalam menyambut sikap brutal petugas LP Beteng dan anggota RPKAD kala itu. Pria paru baya berperawakan tinggi ini, sepintas terlihat sederhana. Tapi dibalik itu semua menyimpan karakter brilian yang mengagumkan. Komitmenya pada kebenaran pada keagungan Allah mengantarkan dirinya bebas dalam jerat atau stereotipe Rezim Orde Baru. Pasalnya dia adalah salah satu korban 65 yang ketika itu dia di PKI-kan. Rezim Orde Baru tidak saja membuat dirinya terstigmatisasi, namun yang jauh lebih tragis yakni ketika dia harus gagal meraih apa yang menjadi mimpi dan cita-citanya. “kan saya itu cita-citanya masuk tentara, dulu itu biayanya paling 10 ribuh, karena itu saya suka olahraga. Saya dengan teman saya (Sardani dan Sugiman) saat itu ada pendaftaran UPR sekitar tahun 1963. Jadi tahun 1963 itu saya sudah di Jakarta, ya Jakarta saat itu, belum seperti sekarang. Nah pada saat itu saya di terima jadi UPR sama teman saya itu. Setelah meletus Gerakan 30 September 1965, pada saat itu saya tiba-tiba mendapat undangan untuk ke MPP Kota Gede Jogjakarta sekitar tahun 1965 bulan awal, sesampainya di MPP kirain disuruh tugas apa ternyata begitu tiba tidak ada bicara apa-apa, karna di situ sudah banyak polisi yang menunggu kita semua langsung di suruh naik truk dan saat itu juga langsung di bawa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan. Di LP Wirogunan itu penuh para tapol, sampai-sampai tidurnya berdempetan saking padatnya itu, sampai sebagian di bawa di LP Benteng, itu juga full” penuturan Samujo Dalam Wawancara. Di Wirogunan inilah Samujo di ciduk (penjara) selama 4 bulan. Suasana sunyi, senyap, takut, khawatir terus menghantui, betapa dia tidak menyangka akan berada di tempat ngeri dan menakutkan ini. Tidak ada yang paling penting bagi sosok luar biasa ini, yang dia lakukan hanyalah menanti ujung dari prahara ini, hanyalah berdoa. Namun menyerahkan dirinya pada situasi menyeramkan ini bukan lah wujud dari kepasrahanya. Hal ini terlihat ketika dia selalu berdoa dengan harapan agar dirinya
22
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
“Saya di Benteng 4 (empat) bulan, jadi selama empat bulan itu kadang tidak di kasih makan karena itu lagi gawat-gawatNya, kadang-kadang 2 (dua) hari baru di kasih makan, itu pun juga hanya di kasih makan kacang satu sendok. Sehingga di dalam LP semua pada kurus tinggal kulit bungkus tulang. Tetapi saat itu hanya do’a yang menjadi harapan bagi saya, dan Alhamdulillah saya bisa bertahan dan yang paling saya syukuri adalah selama dalam tahanan, saya tidak pernah mendapatkan siksaan seperti teman-teman saya”. Tutur Samujo mengenang masa-masa ia ditahan dalam tahanan tapol. Sosok tua ini selama di LP tidak ada aktivitas lain yang ia lakukan selain berdoa dengan harapan agar cepat-cepat keluar dari jeratan ini. Mengigat perlakuan petugas LP yang tidak manusiawi, memperlakukan para tahanan dengan seenaknya. Di dalam Tahanan, para Tapol ini tidak saja dialpakan dengan makanan, tetapi semua barang-barang bawaanya, juga dirampas. Sungguh ironis, rumah tahanan yang fungsinya membina mental kini berubah layaknya pembajak yang suka memeras orang, bahkan sampai-sampai para Tapol yang tidak sempat menyerahkan barangbarang bawaan mereka seperti uang, arloji, cincin atau barang-barang berharga lainnya, maka konsekuensinya mereka akan disiksa. Dan ketika terjadi perlawanan dari para Napi, maka petugas LP melalui Tentara akan menghabisi para tahanan dengan senjata alias tembak mati. Para tapol ini tidak ada pilihan lain selain mengikuti apa kata aparat, karena hanya itu pilhan satu-satunya yang tidak beresiko. Ketika mereka tidak mengikuti
Kata Mereka
dok. foto.detik.com & store.tempo.co
apa yang di katakan aparat tersebut, mereka di ancam bahkan akan di bunuh. “pertama kali keberadaan kami di LP Benteng, kami kedatangan RPKAD bawa laras panjang langsung menyuruh semua para Tapol untuk masuk di dalam ruang semuanya, setelah itu di minta bagi siapa yang punya uang, jam tangan, cincin, korek api di kumpul di tempat yang sudah di sediakan. Jadi masing-masing pintu sudah di sediakan tempat untuk menaruh barangbarang tersebut. Jadi semua di peringatkan, bagi siapa yang tidak mengumpulkan barang-barangnya akan di bunuh. Setelah barang-barang tersebut terkumpul semua langsung di bawa oleh aparat-aparat itu dengan cara mereka berebutan sesuka mereka”. Kenang Samujo menceritakan kebringasan Aparat Militer RPKAD masa Orde Baru. Sebegitu brutalnya rezim kala itu, seakan para tapol ini tidak bisa berbuat apa-apa. Yang lebih mengerikan lagi para Tapol ini di adu untuk berkelahi satu sama lainnya, pada hal mereka kondisinya sangat lemah akibat perut kosong, karena ja-
rang di beri makan. Mereka di paksa berkelahi, bahkan di ancam bagi yang tidak menuruti apa kata mereka akan di bunuh. Ancaman demi ancaman terus dilakukan sehingga para tahanan ini rela berkelahi sesama mereka meskipun kondisi fisiknya lemah. Yang paling kejam lagi, mereka diadu berkelahi dengan orangorang dekat mereka sendiri, sebuah pemandangan yang sulit dicerna akal sehat. Sungguh kejam Rezim kala itu, pemukulan, siksaan, bahkan pembunuhan sudah menjadi menu istimewa bagi para tahanan ini. Padahal para tahanan ini belum tentu salah, sebab mereka ditahan tanpa melalui proses hukum, ditambah lagi penahanan para tahanan ini juga tidak sesuai prosedur. Bisa di bayangkan betapa kejamnya Rezim saat itu, seakan kebenaran hanyalah milik sepihak (rezim) sehingga yang terjadi hanyalah justifikasi, tanpa ada proses hukum yang jelas dan adil. “saat itu diantara kita sama-sama merasa bingung, lantaran kita tidak tahu apa sebenarnya kesalahannya. Semua rata-rata ceritanya sama, sungguh saya tidak menyangka kalau hal ini akan menimpa saya, saya itu kan belum pernah ikut demo-demo, atau apel-apel apa lagi mau gabung dengan PKI. Wong aku itu hanya tamatan SR, boro-boro mau ngikut PKI, tetapi saya baru tahu setelah saya disuruh ke kantor eee.... apa itu saya sudah lupa, kantor itu kalau sekarang sama lah dengan kantor camat dan sesampainya disana langsung disuruh naik ke truk, mata kami ditutup dan langsung dibawa pergi. Ternyata saat itu juga kita ditahan, ya kita dibawah ke Benteng itu” ungkap nya menambahkan.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
23
N BA
STIGM A I PK
KO R
Kata Mereka
Begitu lah potret bringas Militer ala Orde Baru, dan yang paling kejam dari itu adalah ketika para Napi ini bebas dari tahanan maka imbas yang tak kalah menyakitkan masih saja menghantui. KTP yang mereka miliki diberi kode tersendiri yang membedakan mereka dengan warga lain. Dan atas dasar itu juga mereka akan terkucilkan ditengah-tengah warga, dan tragisnya lagi mereka ini 7 turunan tidak akan bisa menjadi pegawai Negri Sipil (PNS). Mimpi mereka seakan tertelan sebuah masa, dimana mereka harus rela mengubur dalam-dalam semua cita-cita mereka. Samuji bahkan harus membakar ijasanya sendiri lantaran mendengarkan penyampaian neneknya saat dia kelaur dari tahanan. “kamu tidak akan pernah diterima sebagai pegawai negri sipil, bahkan turunan mu sebanyak tujuh lapis juga akan sama dengan kamu. Kenapa nak kamu seberani itu, melakukan hal yang sangat beresiko itu. Apa kamu tidak sadar bahwa kamu itu punya keinginan untuk menjadi tentara, la kenapa juga kamu ikut-ikut organisasi terlarang itu”, kata Samuji menirukan pembicaraan neneknya. Suasana segar disekeliling, bukan lagi suasana menyejukan buatnya. Lantaran dia memikirkan banyaknya konsekuensi yang ia harus terima pasca ia bebas dari tahanan. Samuji harus kerja ekstra aktif, meyakinkan kepada orang-orang dekatnya bahwa apa yang terjadi pada dirinya hanyalah rekayasa Rezim Orde Baru. Dia dibebaskan tepatnya pada bulan Januari 1970, ia ditahan pada umur 23 tahun. Sekali lagi udara segar dilingkungan mereka, bukan hal yang menyenangkan bagi bapak paru baya ini, sebab pasca dikeluarkan dari tahanan mereka tidak dilepas begitu saja. Melainkan mereka masih tetap diintai, dan dikawal masih diikat oleh satu janji. “jadi janji yang kami ikrarkan pada saat kami dikeluarkan itu kurang lebih seperti ini : Pertama, setia mempertahankan dan mengamalkan, dasar dan ideologi negara pancasila serta UUD 1945. Kedua, setia dan menjunjung tinggi kehormatan negara RI beserta perintahnya dan perjuangan bangsa Indonesia. Ketiga, setia dan taat pada peraturan per-undangan pemerintah/ negara serta aturanaturan yang di keluarkan oleh penguasa setempat. Keempat, setia membantu memajukan pembangunan negara dan bangsa
24
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
indonesia pada umumnya dan pembangunan daerah pada khususnya. Kelima, mengutuk sekeras-kerasnya G 30 S/ PKI dan setia membantu penumpasanya hingga tidak ada tempat lagi bagi ideologi komunis di bumi indonesia”. Tutur Samuji. Jadi keluar dari tahanan Samuji dan tahanan yang lain ini belum terlepas dari ikatan, dimana mereka masih disuruh mengikuti apel rutin 2 (dua) kali dalam sebulan disetiap kecamatan mereka masingmasing. Dalam apel mereka diberikan sentuhan/ceramah mengenai agama. Setelah itu, mereka disuruh mengimpulkan batu, kerikil, dan tanah untuk pembangunan kantor-kantor kecamatan atau kantor desa. Selain itu mereka juga disuruh untuk mengikuti kerja bakti dikampung mereka. Itu lah aktivitas yang mereka jalani setelah mereka keluar dari tahanan. “jadi kami keluar itu, bisa dikatakan belum bebas murni. Sebab kami masih disuruh ikut apel dikecamatan. Itu rutin kami lakukan, juga kami disuruh kumpul batu, kemudian cari kerikil, dan pasir untuk pembangunan kantor-kantor seperti kantor camat, rumah jabatan, kantor Desa. Pada hal apa yang kami lakukan itu tidak dibayar, jadi kita kerja cuma-cuma saja, dan pekerjaan kami itu andai kata dikasikan ketukang batu mungkin mereka tidak mau dikasih uang sekali pun. Bayangkan kami kerja itu, harus nyelam disungai nyaril kerikil, pasir juga, jadi mana ada orang mau kerja yang berat dan beresiko itu”. Tutur sosok tua, Samuji dalam wawancara sembari mengakhiri pembicaraan.
Wawancara
dok.tempo.co
PERUNDANGAN KITA PENUH KEPENTINGAN Peraturan berkait pertahanan keamanan telah banyak dibuat dan disahkan di Indonesia. Undang-Undang Intelejen, Inpres Keamanan Nasional, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme, sampai dengan rencana pengesahan Undang-Undang tentang Ormas. Pada dasarnya, peraturan perundangan itu adalah satu paket, yaitu memperkuat otoritas Negara, pengawasan yang ketat terhadap aktifitas masyarakat sipil dan kepentingan bisnis Negara pada saat bersamaan. Kemunculan perundang-undangan itu menjadi penanda kembalinya rezim Orde Baru jilid II. Berikut adalah wawancara Pledoi dengan Hariz Azhar, Koordinator Kontras Jakarta terkait dengan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantarasan Pendanaan Pendanaan Terorisme, relasinya dengan perundangan pertahanan keamanan yang lain, dampak terhadap masyarakat sipil dan bacaan kritis politik kuasa rezim Soesilo Bambang Yudhoyono Oleh : M. Syafi’e
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
25
Wawancara
Apa pandangan Anda terkait dengan munculnya UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme di Indonesia?
Pertama, mestinya Undang-Undang itu harus disahkan bersamaan dengan Undang-Undang Terorisme yang lain, semisal Undang-Undang Pencegahan Terorisme. Keberadaannya mesti terintegrasi. Faktanya tidak seperti itu. Undang-Undang Pendanaan itu terpisah, dan tidak sistematis. Itu menandakan bahwa penanganan terorisme di Indonesia semata berdasar situasi urgen, tapi tidak ada perencanaan yang serius. Nuansa itu juga jelas terbaca dari kebijakan SBY dan legislatif ketika membuat peraturan-peraturan pertahanan keamanan yang lain. Seoalah-olah semuanya serba darurat. Kedua, yang harus kita khawatir dari kemunculan UndangUndang seperti ini ialah bahwa tujuannya tidak semata-mata untuk penanganan terorisme, tetapi untuk memperkuat Negara dan digunakan untuk menangani segala bentuk yang dikatagorikan sebagai ‘ancaman’. Contohnya, sewakatu Perpu Pemberantasan Terorisme disahkan, itu ada korban yang tidak kita duga. Korbannya adalah juru runding GAM di Aceh. Saya pikir, Undang-Undang Pendanaan Terorisme ini juga berpotensi digunakan terhadap segala pendanaan yang dianggap ancaman, dan itu yang tanda kutip bukan untuk kegiatan terorisme. Itu yang saya lihat dari politik perundangan selama ini.
Secara substansi hal apa saja yang Anda anggap bermasalah dari Undang-Undang itu?
Salah satu yang saya kritisi dari Undang-Undang ini adalah tidak adanya mekanisme kontrol jika aparat Negara melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Sebagaimana saya utarakan sebelumnya, Undang-Undang ini sangat berpotensi untuk disalahgunakan. Mestinya ada mekanisme kontrol yang jelas. Tapi memang, nuansa politik hukum pemerintah dan legislatif saat ini seperti itu. Mereka tidak memiliki kemauan untuk mencantumkan mekanisme akuntabilitas dari proses pelaksanaan perundangan dan kebijakan yang ada.
Undang-Undang ini berarti lebih berdampak destruksi pada masyarakat sipil dibanding manfaatnya ya?
26
PLEDOI
Pikiran saya seperti itu. Sebab, Undang-Undang Pendanaan Terorisme ini bersamaan dan terintegrasi dengan perundangan kemananan dan pertahanan nasional yang lain. Sebut saja misal ada Inpres Kamnas, akan ada Undang-Undang Ormas yang secara substansi mengatur pendanaan Ormas, dan itu berpotensi untuk mematikan organisasi-organisasi yang selama ini menjadi pengkritis dan pengawas perilaku Negara, dan beberapa Undang-Undang yang lain. Negara dalam banyak hal tidak profesional, misal dalam penanganan terorisme. Negara seakan terlihat kuat, tetapi disana-sini masih banyak persoalan penanganan yang tidak sesuai prosedur dan melanggar HAM. Di tengah gurita pemerkuatan Negara lewat mekanisme perundangan tersebut, Negara saat ini juga memiliki proyek besar yang sangat penting, yaitu master plan percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia. Jadi ini bersambung antara kepentingan keamanan dan bisnis pada sisi yang lain. Saat ini, tidak ada masyarakat atau pihak manapun dalam Negara yang mau berhadap-hadapan dengan TNI, sebab TNI sudah diperkuat oleh SBY. TNI diperkuat dengan Inpres untuk menangani kemanan, dijamin Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, diperkuat
Edisi Maret-April 2013
Wawancara
Undang-Undang Intelejen dan lainnya. Saya melihatnya, itu semacam etalase yang memunculkan tool yang terdesain. Semua itu bisa menarik para investor asing dan para pihak yang berkepentingan secara politik untuk bermain di Indonesia.
Apakah UndangUndang Pendanaan Terorisme dan perundangan keamanan itu juga bermain kepentingan internasional?
Dampak ril ketika Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme ini diberlakukan apa ya?
Iya jelas ada. Tidak hanya Amerika yang bermain, sebab Amerika telah berhasil menjadikan terorisme sebagai musuh global. Dan Amerika berhasil mengkampanyekan kepada seluruh dunia terkait bahaya terorisme itu. Negara-negara dunia dalam penanganan terorisme seperti ayat Qur’an itu ‘fastabiqul khairat’. Mereka berlombalomba untuk memberantasnya. Indonesia, juga menjadi bagian itu. Ia menciptakan banyak kebijakan untuk memberantas terorisme. Sehingga Indonesia bisa diakui di pentas internasional bahwa telah berhasil dalam pemberantasan terorisme. Artinya, apa yang tertangkap di dunia internasional itu bisa bermakna banyak dan tinggal mempermainkannya dimana. Pandangan saya terkait terorisme di Indonesia, pemerintah masih bertindak diskriminatif, dan tindakan aparat tidak terkontrol sama sekali. Menurut saya, peraturan sudah dibuat, tinggal penegakannya. Problem penegakan hukum di Indonesia adalah bahwa hukum itu penuh dengan kepentingan. Tergantung para penegak hukum dan pelaksananya. Itu menyimpang dari teori hukum yang kita pelajari di fakultas hukum, bahwa ketika sebuah peraturan dibuat maka akan berlaku bagi semua orang. Di Indonesia tidak. Hukum berlaku bergantung kepentingan yang bermain. Seorang penegak hukum, mereka bisa menyebut teroris pada siapa pun, tergantung kepentingan dia. Kualitas peraturan hukum penting, dan tidak kalah penting juga adalah penegakan hukum yang harus diawasi.
Pertama, definisi pendanaan terorisme itu masih belum jelas. Definisi teroris saja masih kabur. Nah, keluarga bagi yang tertuduh teroris itu pasti terlibat dalam bantu membantu pendanaan. Tapi merekakan tidak serta merta bisa ditangkap. Kedua, orang Indonesia itu banyak orang baik, mereka bisa membantu ketika teman atau saudaranya membutuhkan. Apakah ketika tiba-tiba yang dibantu ditangkap dan dituduh teroris, apakah pembantu dana itu langsung ditangkap? Motivasi bantuan dana itu susah untuk didefinisikan. Indikatornya masih kabur. Undang-Undang ini bisa berdampak destruksi di tengah masyarakat, antara satu dengan yang lain bisa saling curiga, saling memusuhi, dan orang yang tidak tahu menahu soal muatan Undang-Undang, ia rentan untuk ditangkap karena ia bisa dituduh terlibat pendanaan. Bagi saya, ini problem serius perundangan yang dibuat oleh pemerintah dan legislatif. Kadang peraturan itu dibuat spesifik, sangat khusus, tapi karena pembuatannya kuat muatan politiknya, indikator dan definisinya tidak jelas, akhirnya peraturan itu bisa berdampak negatif yang massif. Masyarakat kena dampak getah buruknya.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
27
Kilas Balik
MASYARAKAT DIAM-DIAM MERINDUKAN PEMIMPIN GAYA ORBA Oleh: Moh. Fuad Hasan
R
amainya pengunjung sepanjang jalan malioboro menjadikan para pedagang ramai menawarkan barang dagangannya pada pengunjung wisatawan. Beraneka macam yang di jual di seputaran malioboro, mulai, baju, sepatu, sendal, topi, baju batik, kaos, asesoris, dan lain-lain.
Selain yang “mangkal” ada juga yang ngasong, karena memang dia tidak mampu membeli lahan untuk menetap sebagai penjual di area malioboro sebut saja Setio Budi, (50), seorang perantau dari Semarang ke-kota Yogyakarta yang disebut-sebut kota pendidikan dan kota budaya. Dia sangat sederhana, dan tidak terlalu berlebihan, meskipun ngasong, dia selalu menekuni kerjaannya sebagai ngasong asesoris untuk wanita “beginilah kerjaan seorang pengasong”. Sudah lebih dari sepuluh tahun meraup nafkah untuk keluarga dengan ngasong. Sudah lama merasakan hidup di jalanan; pahit, manis, getir sudah dirasakan. Apa lagi sekarang ini mencari nafakah semakin sulit. “Pemerintah sudah tidak lagi memikirkan rakyat” orang miskin makin bertambah. Di media surat kabar dan tv selalu menayangkan koruptor melulu, berbeda dengan eranya pak Harto, tv dan koran tidak terlalu menayangkan para pejabat yang tertangkap korupsi, meski itu di tayangkan hanya sebatas “lewat saja” tidak berkelanjutan penayangannya. Bisa jadi waktu itu memang media tidak terlalu mendalami kasus, karena tekanan dari pemerintah, memang waktu itu pemasungan media sangat kentara sekali, media di dihilangkan kebebasannya (red). Rakyat tidak terlalu tahu persoalan di atas, rakyat dibikin senyaman mungkin oleh pemerintah dan tidak protes. Mungkin rakyat sekarang inilah merindukan kenyamanan gaya orba.
28
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Kilas Balik
Di tengah carut-marutnya sebuah negara kini masyarakat merindukan negara yang aman dan nyaman. Selain itu juga masyarakat sudah bosan dengan kehidupan dimasa sekarang ini yang penuh arogansi, dan merebaknya premanisme dan korupsi. Kini masyarakat merindukan pemerintah Soeharto yang tenang dengan pergolakan politik pun tidak sefulgar sekarang.
yang sudah bosan dengan pemerintahan sekarang, carut-marut dalam kepemeimpinan, dan banyaknya prilaku menyimpang elit politik. Korupsi merajalela dimana-mana, tidak sedikit pejabat yang tersandung kasus korupsi, para elit partai saling serang dengan partai lawan politiknya, yang paling lucu para artis di rekrut untuk menaikkan popularitas partainya.
Akhir-akhir ini muncul sepanduk yang bergambarkan pak Harto presiden Indonesia kedua yang bertuliskan “piye kabare le..., penak jamanku to...”, tak hanya di sepanduk dan baliho besar di pampang di pinggir jalan dimana tempat orang berlalu-lalang melintas di jalanan, selain itu juga terpampang dalam bentuk kaos-kaos yang dijual di pasaran.
Berbagai kalangan berpendapat, perbedaan gaya kepemimpinan Soeharto dengan SBY adalah dalam hal kesungguhan mendengar keluhan rakyat, dan keberpihakan kepada rakyat. Meski pemerintahan Soeharto dijalankan secara otoriter, semua tahu dia sangat dekat dengan rakyatnya, selalu menghayati dengan sungguh-sungguh perasaan dan derita rakyat. Salah satu contoh, misalnya, di pemerintahan Soeharto, harga kebutuhan pokok rakyat murah dan mudah didapat. Tarif listrik, harga BBM selalu dijaga agar tetap murah dan terjangkau. Sampai soal harga pupuk agar petani tidak kesulitan, Soeharto sangat peduli. Selain itu, dia juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar diseluruh wilayah nusantara, yang sampai saat ini belum ada presiden yang mampu membangun sejumlah irigasi pertanian. Maka tak heran, jika di masa pemerintahannya Indonesia dapat berswasembada pangan. Komitmennya menjaga NKRI dan stabilitas keamanan untuk rakyatnya juga sangat tinggi.
Anehnya tulisan tersbut di jawab oleh Partai Nasdem yang berbunyi, “kabare apek mbah! Tenang wae, tak jamin, jamanku luweh penak, he..he..he...!” yang terpambang besar di pertigaan arah jalan kolombo Yogyakarta. Baliho tersebut terletak paling tinggi dibanding baliho-baliho iklan yang lain. Iklan politik ini sangat strategis tempatnya, karena di jalan yang ramai orang melintas, sesekali orang mudah melihat iklan tersebut, karena letaknya di depan para pengguna jalan di saat kendaraan berhenti dilampu merah saat menyala. Kondisi tatanan masyarakat dan politik yang carut-marut saat ini, membuat sosok pemimpin seperti Soeharto sangat dirindukan. Ternyata rakyat Indonesia diamdiam merindukan sosok Suharto, preside era orde baru. Semaua itu, bentuk dari sebuah kekesalan dan kekecewaan sebagaian warga
Bila dibanding-bandingkan, memang masa Soeharto dan masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki beberapa perbedaan. Publik tentunya bertanya apa perbedaan Soeharto dengan Presiden SBY ?
Semua presiden yang muncul setelah Soeharto lengser, termasuk SBY, berasal dari kalangan elite yang tahu dan mengerti persoalan rakyat, tapi tidak pernah mengalami dan merasakan langsung derita sebagai rakyat sehari-hari. Bahkan, SBY di nilai lawan-lawan politiknya lebih mengutamakan politik pencitraan, namun tak pernah membuat hal - hal yang konkret untuk rakyat. Bahkan, semua kebijakannya sangat merugikan rakyat. “Buktinya, harga BBM dan kebutuhan pokok rakyat terus naik. Begitu juga tarif dasar listrik. Sampai–sampai harga pupuk selangit”, timpal Karya Alam seorang pemerhati pemerintahan SBY. Dalam bidang politik, pemerintahannya sungguh terlihat kacau. Antar partai politik saling cakar - cakaran untuk merebut kekuasaan. Pemberantasan korupsi masih memble dan hanya
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
29
Kilas Balik
dok. voanews.com
sebatas omdo (omong doang). Bahkan, sejumlah petinggi Partai Demokrat, yang mengusungnya menjadi presiden, terlibat dalam kasus-kasus suap dan korupsi. Publik belum melihat keberhasilan pemerintahan SBY dalam membangun perekonomian nasional. “Pola kepemimpinan SBY haruslah seperti mantan Presiden Soeharto. Terutama soal ketegasan dalam melaksanakan sebuah kebijakan negara yang prorakyat”. Ada perbedaan, masa Soeharto memang lebih menonjolkan masalah keamanan dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian demokrasi sedikit dikesampingkan. Masa SBY dihadapkan dengan euforia demokrasi dan sesungguhnya ini adalah momen yang kritis untuk SBY. Dia harus mengambil sikap tegas. Karena dia dipilih oleh rakyat dengan 60 persen lebih, sudah semestinya dia tidak boleh ragu-ragu. Presiden SBY seharusnya tidak usah merasa terpenjara oleh partai-partai koalisi yang ada di sekitarnya. Soalnya mantan Presiden Soeharto ketika memimpin pemerintahan tidak merasa kalau dia dipenjarakan oleh partai. Dia tidak merasa ada yang mengikat kakinya. Pak SBY merasa terikat kakinya oleh kepentingan partai-partai, mestinya itu harus dilepaskan. Kondisi krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada saat ini juga pernah dirasakan di masa kepemimpinan Soeharto. Tetapi mantan Presiden Soeharto bisa berhasil mengatasi masalah krisis tersebut. Di masa-masa euforia demokrasi, juga harus mengambil sikap tegas.
30
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Kini, Soeharto diagung-agungkan, padahal dia presiden yang digulingkan oleh rakyatnya. Presiden yang dihujat rakyatnya setelah ia lengser. Semua itu seakan-akan sudah dilupakan rakyat, kenapa? Jawabnya, tentu karena kegagalan presidenpresiden setelah reformasi, termasuk SBY, dalam mensejahterakan rakyat. Kebijakan SBY sudah membuat rakyat terus menjerit dan menangis. Pemerintahan sekarang pun sudah tak bisa lagi menjamin keamanan bagi rakyat, keadilan ekonomi dan hukum. Bahkan, jurang pemisah si kaya si miskin terus melebar. Bila dibandingkan maka keduanya, Soeharto dan SBY, tentu saja punya cita-cita untuk mensejahterakan rakyatnya, namun dengan cara masing-masing. Soeharto mengunakan pendekatan keamanan hasilnya gemilang, Indonesia sempat mencapai kegemilangan ekonomi. Sedangkan SBY, kini masih tertatih-tatih, lerlebih sudah bukan lagi menjadi pengekspor minyak, melainkan pengimpor. Pendekatan cara Soeharto mungkin tidak akan bisa dijalankan SBY. Andai SBY memimpin di masanya Soeharto, setelah 1965, jelas tidak akan mampu, sebab SBY
Kilas Balik
begitu tidak punya ketegasan. Sebaliknya, Soeharto kalau memimpin di masa reformasi seperti sekarang ini, rasanya juga tidak akan kuat, sebab Soeharto anti kritik, tipis telinga. Mendengar kritikan sepedas sekarang, kiranya Soeharto tidak akan tahan.
Apakah Era Kepemimpinan Presiden Soeharto lebih baik daripada Sekarang? Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengatakan tingkat kepuasan publik terhadap agenda reformasi berada di titik terendah. Salah satu penyebab ketidak puasan itu adalah maraknya kasus korupsi yang menyeret petinggi partai. Saat ini partai yang gencar adalah partai keadilan sejahtera (PKS) dan partai Demokrat. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei Indonesia (LSI) memaparkan hasil survei kepuasan publik terhadap reformasi yang berjalan 15 tahun silam, sebanyak 59,20 persen responden tak puas terhadap kondisi negara setelah reformasi. Hasil survei ini menurun dibanding survei-surve sebelumnya, pada tahun 2013 ini 31, 4% publik yang puas atas reformasi. Berbeda dengan dengan tahun 2008 sebesar 45,42%, pada tahun 2010 sebesar 40,7% (red. Tempo). Dilihat dari prosentasenya masyarakat menilai keberhasilan reformasi setiap tahunnya menurun. Ini adalah cerminan masyarakat yang kurang percaya terhadap pemerintahan, dan banyaknya elit partai yang tersandung korupsi. Berdasarkan hasil survei LSI sekitar 83,10 persen publik tidak yakin politikus bebas dari korupsi. Sebesar 80,55% publik
MASYARAKAT DIAM-DIAM MERINDUKAN PEMIMPIN GAYA ORBA
juga tidak percaya politikus bekerja untuk kepentingan rakyat. Suvei ini digelar pada 21-23 mei 2013.(red. tempo). Publik menilai tidak ada kemajuan selama 15 tahun reformasi. Lima bidang yang diagendakan reformasi, yaitu: ekonomi, sosial, politik, hukum dan keamanan mendapat raport merah. Karena publik memiliki kepuasan di bawah 50% di lima bidang ini. Dalam hal lain, partai dianggap tidak serius memberantas korupsi. Bisa kemungkinan moment pemilu 2014 ini antikorupsi masih menjadi isu menarik untuk pemilih. Di era sekarang ini hanya satu yang dibutuhkan di kepemimpinan saat ini yaitu sebuah ketegasan untuk memberikan efek jera bagi yang orang-orang yang membandel. Pemerintahan saat ini hanya dibutuhkan sebuah ketegasan yang sesuai dengan HAM kaerna di era saat ini masyarakat Indonesia begitu mengagungkan HAM. Saat ini kita merasakan era kepimpinan di mana waktu itu hasil didikan dari orde baru, 20 atau 30 tahun lagi kita akan merasakan kepimpinan dari hasil didikan di era reformasi saat ini. Meski era kepemimpinan Almarhum Presiden RI ke-2 Soeharto dianggap korup, tetapi tak membuat publik memandang Soeharto negatif seluruhnya. Pak Harto lebih disukai dibanding SBY? Lembaga Survei Nasional Indo Barometer merilis era Soeharto lebih disukai dibanding kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam surveinya, Indo Barometer menanyakan pendapat publik mengenai kepemimpinan enam presiden Indonesia yakni: era Soekarno, era Soeharto, era BJ Habibie, era Abdurrahman Wahid, era Megawati era Soekarnoputri, terahir era Susilo Bambang Yudhoyono. Data hasil survey tersebut dari yang paling disukai publik. Era orde baru Soeharto (36,5%), eranya SBY (20,9%) terahir Soekarno (9,8%). Sementara data survey yang dianggap berhasil dalam memimpin yaitu: Soeharto (40,5%), SBY (21,9%), Soekarno (8,9%), “Mayoritas publik menyatakan bahwa kondisi saat Orde Baru adalah lebih baik (40,9%) dibandingkan kondisi saat ini (22,8%), publik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan menyatakan Orde baru lebih baik. Namun secara persentase, publik perkotaan menyatakan Orde Baru lebih baik adalah lebih tinggi (47,7%) dibandingkan publik pedesaan (35,7%).
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
31
Kilas Balik MASYARAKAT DIAM-DIAM MERINDUKAN PEMIMPIN GAYA ORBA
petinggi-petinggi saja belum sampai ke bawah. Survei diatas ini dilakukan tanggal 25 April–4 Mei 2011 di 33 provinsi di Indonesia. Jumlah responden 1200 orang dengan tingkat margin of error 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. (red.) Fakta-fakta yang terungkap dari survei dengan responden sebanyak 1.200 orang dan tingkat margin of error 3,0% dan tingkat kepercayaan 95% tersebut kemudian disimpulkan bahwa banyak rakyat Indonesia sekarang merindukan (keadaan) seperti era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dulu “Mayoritas publik menyatakan bahwa Orde Baru adalah lebih baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Namun untuk kondisi hukum yang lebih baik adalah di Orde Reformasi”. “Saya ingin seperti pemerintahannya pak Harto yang tenang dan nyaman, tidak neko-neko”, komentar Sutinah salah satu pedang di seputar jalan malioboro di sela-sela sepinya pengunjung. Menambahkan “sekarang di tv banyak berita para koruptor yang ditangkap kalau tidak ya berita tentang teroris, yang ada di berita itu-itu aja, ngematne bosen mas”, tambah Budi Kasus HAM yang dilakukan Soeharto, Presiden ke 2 RI melakukan tindakan represif terhadap musuh politiknya, masyarakat pun sudah banyak yang tahu kesalahan Soeharto di saat menjadi presiden. Komnas HAM menyatakan paling tidak ada 5 pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto sebagai pelanggaran HAM berat yakni kasus Pulau Buru; Penembakan Misterius (Petrus); Peristiwa Tanjung Priok; Kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua; serta Kasus 27 Juli. Selain itu Soeharto tidak memberikan kebebasan pers, berserikat, berkumpul, berpendapat. Semua harus tunduk pada pemerintahan pusat. (red.) Menyenangkan sekali waktu mengingat-ingat di jaman kejayaan presiden soeharto. bisa hidup aman tentram tanpa ada gangguan dari manapun. bangsa-bangsa lain begitu segan untuk mengusik kedaulatan negeri kita, harga-harga pangan yang begitu stabil dan bahkan kita pernah mencapai swasembada pangan, tingkat pendidikan yang benar-benar terjamin dimana masih adanya wajib belajar 9 tahun sehingga walaupun banyak pengangguran tapi masih berpendidikan, dan korupsi diera itu tetap ada tapi korupsi hanya (masih) dilakukan oleh para
32
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Disaat era sekarang, semua itu hanyalah sebuah mimpi, era reformasi dan demokrasi saat ini begitu kebablasan mengarah ke anarki. banyak rakyat-rakyat Indonesia mudah tersulut emosinya, mudah tersinggung, kurang adanya rasa tepo sliro lagi, kemungkinan hal ini disebabkan oleh masalah penanganan kemiskinan dan pengangguran yang tidak ada solusinya dan mahalnya harga sembako yang membuat masyarakat Indonesia stress memikirkan hal tersebut.
Munculnya RUU Kamnas Muculnya RUU Kamnas banyak yang menduga akan menumbuhkan kembali represi militer, ada intrik-intrik munculnya kekuasan militer yang lebih. Kran militer untuk masuk ke dunia sosial politik akan sangat terlihat. Organ-organ sangat menduga dengan kuat. “munculnya RUU kamnas banyak perdebatan” ujar King Faisal staf ahli DPR Direktur LBH imparsial. Dalam cakupannya ruang lingkup Kamnas terlalu luas “yang tertera dalam RUU Kamnas seharusnya sebatas pada pengaturan tentang pertahanan dan keamanan Negara dalam menghadapi ancaman dari dalam maupun dari luar guna keutuhan, kedaulatan dan keselamatan bangsa dan Negara” imbuh King Faisal. Terlebih dari semua itu “RUU kamnas Sensitif pelanggaran HAM”. Poin-poin yang dianggap krusial adalah intelijen negara diatur secara khusus, titik tekan lebih di fungsikan pada intelijen, adanya sabotase kewenangan, munculnya peluang hadirnya kekuasaan militer. Maka dapat
Kilas Balik
dok. ikohisumut.wordpress.com
menjadi kemungkinan bahwa hadirnya kembali militer tampil seperti era Orba. Temuan itu ditambahkan “ancaman keamanan nasional disegala aspek kehidupan dikelompokkan menjadi; ancaman militer, ancaman bersenjata, ancaman tidak bersenjata” ancaman yang terdiri dari maksud ayat 1 terdiri dari berbagai bentuk ancaman, ancaman bersenjata dapat berupa ancaman potensial dan ancaman aktual, sedangkan ancaman potensial dan ancaman aktual sebagaimana diatur dalam keputusan presiden. Ujar King Faisal Ancaman ideologi seorang juga masuk, kalau misalnya ada orang yang ideologinya dikira nyeleneh dan mengakibatkan ancaman maka orang tersebut menjadi ancaman negara. Terbukti sangat jelas, bahwa kebebasan sudah mulai diintervensi dalam RUU kamnas ini. Bagi dia semua itu tidaklah tepat. Keppres tidak masuk dalam struktur dan rumpun peraturan perundang-undangan. Karena Keppres adalah produk beschiking yang sifatnya individual dan kongkrit. Bu-
kan pengaturan secara umum. RUU Kamnas yang diperlukan bangsa ini adalah “RUU yang dapat memayungi seluruh langkah presiden sebagai kepala negara untuk mencegah dan mengantisipasi (bukan menindak) ancaman dan gangguan yang dapat membahayakan dan merugikan kepentingan bangsa di masa mendatang. RUU Kamnas yang diperlukan harus merupakan ius constituendum dan tidak sematamata diperankan sebagai ius constitutu” ujar Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. RUU Kamnas yang diperlukan harus dapat menghasilkan kebijakan (policy) pertahanan dan keamanan, baik kini dan masa mendatang, sehingga dapat segera menangkal ancaman baik dari luar maupun dari dalam terhadap keutuhan NKRI. Dalam dua keadaan (keadaan darurat dan krisis dalam keadaan normal), Dicey, ahli hukum tata negara (1959), menyatakan bahwa antara lain bahwa ada saatnya ketika negara dalam keadaan darurat atau menghadapi invasi, demi kepentingan hukum itu sendiri, prinsip rule of law harus dilanggar, tetapi harus diawasi dan direview ketat oleh parlemen. Merujuk pada usulan Dicey, pengambilan langkah-langkah oleh presiden dalam dua keadaan tersebut merupakan kekuasaan diskresi yang dikontrol oleh parlemen dan layak dilaksanakan oleh setiap kepala negara di dalam masyarakat beradab.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
33
Resensi
HUKUM PERANG DALAM ISLAM
D
i dunia ini, benturan peradaban selalu terjadi. Tidak sedikit yang memilih kontak fisik sebagai bentuk penyelesaian. Berbagai peperangan yang bergejolak dan tercatat dalam sejarah telah mengakibatkan berbagai bencana kemanusiaan yang mengenaskan. Tengok saja konflik yang terjadi di Palestina hingga saat ini, mulai dari penyerangan membabibuta - tidak mengindahkan masyarakat sipil, hingga perlakuan terhadap tawanan secara tidak manusiawi menjadi realitas yang memprihatinkan. Keganasan perang semakin hari semakin bertambah dari setiap generasinya. Terlebih jika kita melihat kemajuan yang begitu pesat dalam bidang pengembangan persenjataan. Satu pencetan tombol saja sudah sanggup membunuh ribuan manusia. Sangat mengerikan. Beruntung Perang Dunia (1 & 2) yang menewaskan 71 juta terjadi disaat persenjataan belum canggih, jika sekarang mungkin akan ada ratusan juta manusia yang menjadi korban perilaku primitif manusia tersebut.
DATA BUKU
Perang merupakan peristiwa kehidupan yang sulit untuk dihindari, apalagi dihilangkan. Bahkan Ibnu Khaldun mengatakan jika perang Judul buku : Islam dan Hukum Humaniter akan terus terjadi di dunia ini sejak dimulainya kehidupan. Benar saja, Internasional sejarah mencatat dalam rentang waktu 5000 tahun telah berkecamPenulis : Komite Internasional Palang buk 14 ribu peperangan. Dan sepanjang 3400 tahun terakhir, dunia Merah(ICRC) hanya mengalami masa damai selama 240 tahun saja. Penerbit : Mizan Tahun : 2012 Tebal : XIV + 468 Halaman ISBN : 978-979-433-696-0
Oleh :Folly Akbar
34
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Jadi wajar, jika Hukum Humaniter Internasional (HHI) dibuat tidak untuk menghentikan perang, melainkan sebatas upaya mengatur perang yang memperhatikan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Dimana hak dan kewajiban kedua kelompok yang terlibat konflik menjadi sesuatu yang harus diperhatikan. Karena hingga kini, perang tidak dimaknai sebagai proses penyelesaian konflik, tapi sebagai pembalasan dan ajang “unjuk gigi” kepada lawan. Akibatnya tragedi kemanusiaan menjadi hal yang sulit dihindari dalam peperangan. Hukum humaniter merupakan istilah yang baru, yang kemungkinan digunakan pertama kali oleh Komite Internasional Palang Merah pada konferensi pakar hukum yang diadakan pertama kali di Jenewa pada 1971. Masyarakat dunia lebih suka mengaitkan hukum humaniter dengan Konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa. Hanya sedikit yang mengkaitkan hukum humaniter dengan konsep ajaran Islam. Mungkin disebabkan keberadaan ayat-ayat
Catatan Pinggir perang dalam Al-Quran menjadi pembahasan yang sangat sensitif, dan hingga kini menjadi stereotip untuk mengidentifikasi Islam sebagai agama mendukung perang, pro-kekerasan dan aksi terorisme. Melalui bukunya yang berjudul ”Islam dan Hukum Humaniter Internasional” ICRC berusaha menampilkan pengaruh Islam dalam pembentukan HHI. Dalam menjelaskan korelasi tersebut, ICRC menggunakan tiga belas kumpulan makalah karya para sarjana muslim yang ahli dibidangnya dan dua orang ahli hukum barat sebagai landasan.
jenewa memerintahkan untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik, Islam pun demikian. Jika konvensi jenewa berusaha melindungi orang-orang yang tidak ikut serta secara langsung dalam aksi permusuhan, Islam pun demikian. Bahkan pada tingkatan yang lebih tinggi dari memaafkan dan mengampuni, Islam memerintahkan agar kejahatan dibalas dengan kebaikan.
Umat Islam generasi awal telah menerapkan dengan baik prinsip menghormati tawanan perang yang ditunjukan dengan menyediakan kebutuhan sandang, pangan, papan untuk tawanan perang. Bahkan lebih baik dari apa yang mereka konsumsi dan pakai untuk diri mereka sendiri. Sering diasumsikan secara tidak benar, bahwa Islam Sebenarnya prinsip-prinsip kemanusiaan ajaran Islam yang dan ‘aktor-aktornya’ tidak memiliki peran signifikan luhur terhadap korban perang yang luka, sakit dan tewas dalam tahap awal perkembangan HHI. Dari masuknya kekaisaran Turki Usmani ke dalam sistem hukum Negara- ini mendahului konvensi internasional yang baru muncul beberapa abad kemudian. negara Eropa (1856) sampai Konfererensi Perdamaian Oleh karena itu, hukum humaniter dalam Islam sebeDen Haag Pertama (1899), ‘aktor Islam’ diasumsikan narnya telah sangat maju dan sangat modern melampaui hanya memiliki peran sekunder dalam pengembangan Hukum Internasional Publik peperangan. Terlihat dari be- masanya dan masa-masa sesudahnya. Karena sejak awal, telah mewajibkan kombatan dari kalangan umat Islam unberapa penelitian, bahwa Islam pada awalnya mewakili tuk senantiasa menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan pihak timur –menjadi penentu dalam hukum modern dengan aturan yang sangat detail. itu sendiri. Hukum ini, karena tren internasional dan kemanusiaanya, terpaksa mengakomodasi sejumlah sisMengacu pada semua yang telah dikemukakan, dari tem budaya dan hukum yang lain –yang pada giliranya segi esensi dapat dikatakan bahwa konsep Islam tentang meninggalkan akar kekristenanya. Karena itu, Islam HHI tidak berbeda dengan konsep hukum positif, meskimendorong mengenalkan HHI sebagai hukum sekuler pun secara tidak persis seluruhnya. Konsep humaniter internasional. yang merupakan bagian integral warisan hukum bagi Sejenak menengok sejarah, nyatanya Islam berkontribusi besar dalam upaya humanisasi dan tradisi dimasa itu (Abad 5M). Dan sangat mungkin, jika Islam menjadi agama pertama yang memberikan petunjuk bagi manusia beradab untuk mewujudkan suatu peperangan yang adil dan manusiawi, dan bukan untuk menghancurkan atau membasmi pihak musuh. Ketika perang, Islam mengharamkan untuk memutilasi kombatan yang sudah tewas –yang kala itu dianggap lumrah serta melarang membunuh tentara yang sudah menyerah. Selain itu, Islam juga sangat tegas dalam memerintahkan untuk melindungi masyarakat sipil (non kombatan). Kalau mau mengakui, konvensi-konvensi Jenewa memiliki relevansi yang kuat dengan prinsip yang menjadi fokus utama agama-agama samawi. Prinsip tersebut adalah Tuhan memberikan keistimewaan kepada manusia dibandingkan makhluk lainya. Jika konvensi
manusia harus menjadi sarana untuk meyebarluaskan HHI di Negara-negara Islam. Kaidah-kaidah tadi merupakan refleksi bagian terbesar dari budaya hukum Negara-negara tersebut. Karena itu, sudah menjadi perhatian utama hukum untuk menjadi –bukan harus menjadi—unsur efektif dan utama dalam menjamin universalitas HHI. Banyak korelasi-korelasi lain, baik dari aspek historis maupun sumber normatif yang dikemukakan para penulis dalam buku ini. Mayoritas penulis yang berlatar belakang sarjana muslim sedikit banyaknya membuat perspektif dalam memahami Islam dan HHI hampir mirip dalam beberapa tulisan. Buku ini recommended bukan hanya bagi para pegiat hukum dan HAM, tapi bagi semua kalangan, mengingat konflik saat ini terjadi di seluruh aspek kehidupan. Selain guna menambah cakrawala pengetahuan itu sendiri.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
35
Catatan Pinggir Catatan Pinggir
RESTORASI KEKERASAN DAN REKONSOLIDASI KEKUASAAN “Otoritarianisme tumbuh inhern dalam demokrasi konstitusional” (Richard H. Pildes)
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
1.“Tragedi Cebongan” merujuk pada peristiwa kejadian pembunuhan terencana yang terjadi di Rumah Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Sleman, yang dilakukan beberapa oknum aparat pasukan Kopassus terhadap korban empat tersangka (pembunuhan Anggota Kopassus sebelumnya yang bernama Heru santoso di Hugos Cafe Yogyakarta. Kejadian ini kemudian menyeret hampir belasan orang anggota Kopassus Grup II Kandang menjangan kartasuro. Sampai paper ini dituliskan, proses persidangan atas beberapa tersangka pembunuhan itu masih berlangsung.
36
PLEDOI
Baru-baru ini tentu semua mata masyarakat akan dikejutkan dengan ‘Tragedi Cebongan’.1 Barangkali dua kata ini tepat untuk menggambarkan sebuah kejadian yang anomali tentang bagaimana wajah ‘kekerasan’ begitu amat vulgar dan tanpa malu-malu dipertontonkan di hadapan publik. Peristiwa itu tak hanya menampar keras wajah lembaga hukum baik polisi maupun institusi lembaga pemasyarakatan. Tragedi Cebongan adalah gambaran paling liar dan banal bagaimana wajah negara bisa dimengerti hari-hari ini. Apakah negara dalam konsepsi ideal masih ada? Selalu pertanyaan kritis yang harus diulang adalah bagaimana bisa ‘negara’ tidak mempercayai ‘negara’? Ada banyak istitusi negara yang terlibat untuk merespon dan menyelsaikan kasus ini tetapi masing-masing justru secara biner kontradiktif. Tesis ini tentu berangkat dari bagaimana kisah besar itu terjadi. Institusi pertahanan yang menjadi komponen penting dari negara dengan peralatan kekuasaanya terlibat dalam sebuah tindakan di luar hukum. Jikapun atas nama apapun, bukankah penghilangan nyawa di luar keputusan hukum yang abash dan legal merupakan pelanggaran hukum yang amat berat. Setidaknya, sampai tulisan ini diterbitkan proses peradilan atas kasus ini masih terus berlangsung. Tentu kasus yang hampir serupa berderet menghiasi wajah media kita. Dari pimpinan insitusi kepolisian yang terjerat kasus korupsi, aparat kepolisian yang terkenan kasus pemerkosaan berencana, kasus pembunuhan yang dilakukan aparat tentara, amuk massa dengan pengrusakan dan pembakaran yang dilakukan sepasukan tentara pada kantor negara, hingga praktik kriminalitas yang menyebar yang tak jarang juga melibatkan pihak-pihak keamanan yang seharusnya diberi mandat untuk
Edisi Maret-April 2013
Catatan Pinggir
memberi rasa aman bagi masyarakat. Kegelisahan ini tentu hadir tidak hari ini saja. Kita akan diingatkan oleh bagaimana bangsa Indonesia pernah hidup dalam bayangbayang sejarah kekuasaan yang sarat dengan tampilan wajah teror dan kekerasan.2. Namun tentu tidak salah bahwa konteks hari ini, pertanyaan ini mendapat penambahan aspek kualitasnya karena hadir dalam era dimana situasi ‘demokrasi’ dan kebebasan relatif diberi tempat ketimbang jaman sebelumnya. Atau sebaliknya, justru dalam era “demokrasi liberal” ini maka segala kebermungkinan akan bisa kita temukan, termasuk kejadian-kejadian anomali di luar dari kesadaran pikir umum yang ada? Barangkali ini bagian dari gambaran paradoks dan ironi demokrasi liberal yang perlu kita telisik ulang.
Metamorfosis Rezim Kekerasan Janji perubahan pada jargon reformasi, sadar atau tidak sadar memberi harapan pada wajah baru yang berbeda dari yang sebelumnya. Tapi memang ekspetasi itu hadir dalam euforia yang cukup besar atas sebuah kondisi keterpurukan dan kejahatan masa lalu yang begitu dahsyat. Meminjam konsepsi untuk menggambarkan hal ini oleh Immanuel Kant disebut sebagai “Radical Evil”. Wajar jika kemudian semua orang berharap lebih. Harapan Kebebasan yang begitu akan hadir di depan mata, lama kelamaan kemudian malah menepi. Wajah ‘Radical Evil” seakan kembali hadir. Rezim saat ini lagi-lagi sejatinya tak mengalami keterputusan dengan yang lama. Barangkali sesungguhnya, rezim lama tak sepenuhnya menghilang dan bahkan masih kuat mengakar. Ya, kekuasaan lama itu tak melenyap. Ia justru cerdik mematamorfosis dalam kerangka yang lebih baru dalam aroma dan watak yang lama.
2. Lihat, Frans Husken dan Huub de Jonge (eds), Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965 - 1998, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2003.
3. Lihat, Agung Putri, Menelisik Jebakan Otoritarianisme Saat beberapa kejadian seperti “Tragedi Cebongan” hadir dan bayang-bayang di Alam Bebas : Sebuah Kata akan menguatnya kembali rezim kekerasan, maka psikologi masyarakat ditarik untuk Pengatar untuk buku : Baskara T. Wardaya (ed), Menelusuri melihat sosok sempurna wajah kejahatan yang bertemu antara ‘kejahatan yang lalu’ Akar Otoritarianisme di Indodan ‘kejahatan yang kini’. Bagi para pegiat dan aktifis demokrasi tentu ini sebuah nesia, Penerbit Elsam, Jakarta, 2007, hal. xi.
langkah devolusi kemunduran. Selaras dengan apa yang pernah dicatat oleh Martha Minow bahwa “kekerasan hidup secara simultan antara yang lalu dan sekarang, memperkuat kumpulan-kumpulan fantasi distorsi, mitos dan kebohongan”.3 Kebangkitan yang lama telah memberi trauma yang penting akan ingatan persitiwa masa lalu. Namun bagi kekuatan lama dan pendukungnya, gairah kahadiran yang lama adalah memori romantisme dan harpan yang dinanti. Ketegangan ini sering terjadi saat bangunan transisi reformasi belum beranjak matang dan masih berproses.
4. Tentu saja kita bisa mengingat Tragedi sejarah tiang ‘Orde Baru’ didirikan yakni saat transisi Politik 1965. Perubahan itu tak hanya mengkisahkan sebuah transisi kekuasaan, tetapi juga tumbal dan tragedi kemanusiaan yang paling besar yang pernah Bukan kebetulan bahwa peristiwa seperti ‘Tragedi Cebongan” itu tidak hanya lewat dalam sejarah bangsa ini bertumbuh. Banyak buku dan hadir pada tahun-tahun ini saja. Sekedar mengingatkan akan perjalanan sejarah, kisah narasi kurban yang sejak bahwa tragedi-tragedi yang lebih besar dalam intensitas dan kualitas yang lebih reformasi kemudian muncul. mengerikan pernah lewat dalam sejarah bangsa ini.4 Kejahatan-kejahatan kema- Buku-buku yang berkisah tentang sejarah 1965 juga banyak nusiaan atas nama rezim disiplin negara bahkan begitu massif terjadi sejak rezim kemudian hadir untuk memberi Orde Baru berkuasa. Negara bahkan dengan tanpa batas bisa mengartikulasikan perpektif baru tentang sejarah yang sebenarnya.
kekuasaannya dengan berbagai manifestasi kekerasan dengan minim kritik dan kon-
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
37
Catatan Pinggir
trol seperti sekarang. Pemenjaraan, penghilangan, pembunuhan dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya bahkan bisa menjadi cerita yang beruntun. Tentu saja kisah narasi ini baru diketahui secara lebih terbuka saat-saat ketika Rezim kekuasaan Orde Baru mulai kehilangan kontrol atas otoritas kekuasaan. Rezim Orde Baru adalah rentang kisah dimana sipil hanya menjadi kelas kedua. Secara politis institusi-institusi kekerasan negara seperti Militer dan kepolisian memiliki peran kekuasaan yang cukup dominan. Tak hanya merembah dalam aktifitas-aktifitas lapangan, bahkan secara epistemik berkuasa atas nalar sejarah bangsa yang dimengerti hingga hari ini.5 Kredo ungkapan bahwa sejarah adalah milik para penguasa seratus persen adalah benar. Sejarah ditentukan oleh mereka yang dengan modal kekuasaannya mampu dan sanggup menghitam putihkan narasi tentang bagaimana sejarah bangsa ini harus dibaca dan dilihat. Jikapun berbeda dalam konteks dan setting waktu yang ada, bisakah kita mengatakan ada garis kecenderungan dan pola yang sama atas berbagai peristiwa kekerasan dan terusiknya rasa tidak aman masyarakat? Dalam jenis yang beragam dan bentuk-bentuk manifes yang berbeda, ada tiga kesamaan diantara sekian persoalan keamanan itu yang minimal bisa kita baca : Pertama, isntitusi negara justru menjadi aktor dan pelaku utama dalam kejahatan dan kekerasan yang terjadi; Kedua, negara absen untuk memberikan jaminan rasa aman untuk masyarakat dengan begitu eksistensi peran negara perlu dipertanyakan lagi: Ketiga, mekanismemekanisme kontrol, teror dan politik kekerasan masih menjadi kultur yang dipakai untuk menjaga otoritas kekuasaan yang dimiliki negara. Tentu saja ketiga hal ini bahkan telah bermetamorfosis dengan berbagai perkembangan kemajuan yang ada termasuk yang tidak bisa dilupakan adalah politik diskursif negara atas pembenaran kekerasan yang hari-hari ini kerap muncul. 5. Lihat, Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam : membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, Penerbit Syarikat, Yogyakarta, 2008.
Dalam kasus yang paling kini yakni ‘Tragedi Cebongan’, negara berwajah ganda dalam memberikan tafsir atas kasus. Satu sisi mendorong kasus untuk segera dituntaskan dalam prosedural hukum yang benar, namun sisi lain membiarkan kasus ini menggelinding secara ‘anarkhi’.6 Di ujung lain kemudian tangan yang lain memberikan opini diskursif yang secara tidak langsung memberikan kesan toleransi atas 6. Lihat bagaimana beberapa institusi negara yang ter- kasus tersebut.7 Bentuk jalin-menjalin modus diskursif yang disertai dengan politik libat dalam pengawasan kasus pengerahan dukungan atas institusi negara kemudian secara simultan dilakukan. seperti Komnas HAM bergerak Secara psikis dan politis, melihat berlebihnya respon institusi negara justru memperdengan beberapa tekanan dan teror. Artinya negara sejatinta lihatkan kesan ‘kepanikan’ dalam merespon isu tersebut. Dalam era keterbukaan dan tidak secara serius secara kommeredupnya hirarkhi kekuasaan yang tertutup, maka sulit memang setiap modus prehensif menyelesaikan kasus kekuasaan akan tertutup rapi. Masyarakat bahkan dalam akal sehat yang biasa bisa ini dengan benar. 7. Berbagai spanduk dukun- mengakses, membaca dan menilai bagaimana kasus tersebut harus dilihat. Namun gan terlihat tidak berimbang. mayoritas yang diam karena dimensi ketakutan membuat kasus ini menggelinding Dukungan kepada Kopassus seolah tanpa respon yang besar dari masyarakat. Justru dukungan terhadap pelaku muncul dalam berbagai bentuk seperti baliho dan poster. Han(dalam hal ini pelaku pembunuhan) makin terlihat meluas. ya dibeberapa situs dunia maya dan jejaring sosial, masyarakat terlibat cukup dinamis dalam memberi interpretasi kasus ini.
38
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013
Catatan Pinggir
Kecenderungan Restorasi Otoritarianisme Pasca Soeharto, Indonesia sebenarnya bisa dikatakan belum memberi gambaran akan wajah reformasi yang sebenarnya. Apa yang terjadi dalam banyak hal hanyalah ‘reposisi kekuatan politik lama’ dalam wajah-wajah yang baru. Dalam banyak bidang masih terasa aroma kekuasaan lama yang sedang menanti momentum kebangkitannya. Memang sejarah tak bisa diputar ke belakang. Namun setidaknya oligarkhi yang bercokol sejak Soeharto berkuasa masih memainkan peranan penting. Dalam restorasi barunya, kekuasaan itu kemudian lebih belajar dalam pengalaman kegagalannya. Memang secara ekonomis telah terjadi perubahan ke arah liberalisasi. Namun perkembangan atas proses libersalisasi ini tidak dibarengi dengan adanya demokratisasi politik,8 Jikapun kini susah berkembang era multipartai, namun secara prinsip ia hanya masih berkutat pada ‘formalisme’ dan ‘proseduralisme politik’. Dalam kenyataan lain, sejatinya masing-masing kekuatan dalam masing-masing partai yang berbeda, terjalin wajah lama yakni ‘jalinan oligrakhi kekuatan ekonomi politik’. Wajar jika kita dalam era liberaslisasi ini kita temukan sebuah kekuatan politik partai yang benar-benar baru hadir sebagai perimbangan politik lama. Kondisi ini juga relevan untuk menggambarkan kondisi politik pertahanan dan keamanan kita hari ini. Mungkin yang sudah berubah sejak hadirnya reformasi TNI adalah prinsip tidak hadirnya mereka secara dominan dalam kancah politik sipil yang dalam era Soeharto sangat kentara. Reformasi pertahanan memang mendorong TNI untuk kemudian ke barak dan melepaskan hegemoninya dalam politik dan aspek asktifitas sosial lainnya. Kita harus mengakui ini sebagai satu langkah kemajuan dari Reformasi dalam bidang pertahanan. Ada perubahan mendasar dalam relasi sipil militer dimana era demokratisasi memang mensyaratkan adanya supremasi sipil atas militer. Tentu saja supremasi sipil yang dimaksud diletakkan dalam bingkai politik secara lebih luas. Hasnan Habib dalam catatan terhadap perubahan paradigma relasi sipil militer juga menekankan pada penghormatan atas kekuasaan sipil yang demokratis. Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah sispil yang dipilih oleh brakyat secara demokratis dan oleh karenanya harus didukung sepenuhnya oleh Militer.9 Tentara secara profesional tetap mempunyai ‘otonomi’ sebagai lembaga negara yang prosefional bekerja dalam rangka pertahanan negara. Namun kondisi beberapa kasus yang mengemuka justru memperlihatkan sebuah arus geliat akan hadirnya ‘restorasi otoritarianisme’ dalam politik pertahanan dan sekaligus keamanan. Hadirnya beberapa Undang-undang dan rancangann undangundang seperti persoalan Intelijen, penanganan konflik sosial hingga rancangan Undang-undang tentang Ormas menunjukan kecenderungan tersebut. Ditambah lagi memang transisi reformasi politik keamanan yang hadir dalam perubahan paradigma baru Kepolisian juga tidak mulus berjalan. Reformasi Kepolisian terlihat dikerjakan setengah hati. Dalam aspek tertentu justru telah banyak dibajak oleh berbagai kepentingan oligarkhi untuk urusan dan kepentingan lain. Maka sejak reformasi kepolisian digulirkan yang terlihat perubahan hanya berhenti pada teks normatif.
8. Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, hal. 131. 9. Lihat, Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer PascaOrde Baru dan Prospeknya di Masa Depan” dalam Jurnal Politik Progresif 2 (1), Tahun 2002 yang dikutip dalam bukunya aAbdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945 - 2004, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 322.
Edisi Maret-April 2013
PLEDOI
39
Catatan Pinggir Lagi-lagi reformasi kemudian hanya dibaca dalam dimensi normatif dan prosedural. Tak terhitung memang biaya dan dukungan dari berbagai stakeholder sudah disumbangkan usaha pembaharuan reformasi Kepolisian, namun harus diakui berbagai ganjalan sering ditemukan. Harus jujur dikatakan pula bahwa ada problem nalar mendasar yang sifatnya lebih sistemik yang secara kultural membuat eformasi ini berjalan di tempat. Nalar paradigma ini lagi-lagi berkelindan dengan bingkai besar kekuasaan. Secara formal normatif institusi Kepolisian sudah menjadi sipil tetapi paradigma yang terpakai masih memakai pola nalar politik lama. Tentu pekerjaan yang memang harus keras untuk bisa melakukan reformasi yang mendasar pada dimensi paradigmatik ini. Problem besarnya jika reformasi dalam bidang pertahanan (TNI) maupun keamanan (kepolisian) tidak terkawal dengan baik. Maka bisa jadi apa yang ditemukan adalah pembalikan nalar berpikir. Berbagai hadirnya problem keamanan yang semkain akud dari dalam skala kecil smpai yang besar bisa jadi salah dimengerti sebagai kesalahan sistem demokrasi hari ini. Mungkin tidak seluruhnya pernyataan dan anggapan semacam ini salah. Tetapi yang akan menakutkan justru orang yang semakin patah arang dan jenuh akan penantian hadirnya perubahan, bisabisa akan menengok pada masa lalu sebagai refrensi pikiran. Isntitusi negara yang gagal merubah dirinya bahkan kemudian bisa bersuara bahwa justru kehendak reformasilah yang salah. Maka ia seakan menjadi panggilan sejarah untuk dihadirkan dan diundang kembali dalam peran lamanya. Langkah ini kalau tidak hati-hati dibaca akan benar-benar terjadi. Kecenderungan politik diskursif ini tidaklah main-main. Terlihat dan terkesan secara sistematik ada kecenderungan pembangunan politik diskursif dari kekuatan politik lama termasuk hegemoni militer dan kepolisian untuk mengembalikan pada sistem politik lama. ‘Politik pelupaan’ dan ‘politik pengingatan semu’ kemudian dibangun bersamaan. Kekuatan-kekuatan politik lama itu kemudian secara cerdik menghilangkan sisi sejarah sebenarnya dengan kemudian sisi yang lain secara partikularitas mengedepankan aspek narasi sejarah yang sudah dikemas sedemikian rupa. Dalam kegamangan masyarakat yang diam dan masih terhinggapinya trauma ketakutan, maka janji semacam ini bisa efektif mengundang rasa simpatik dan dukungan. Ilustrasi potongan-potongan kecenderungan ini sedikit nampak dalam bertebarannya poster tentang Soeharto yang tertempel di mobil angkutan umum dan truk angkutan yang kira-kira berbunyi “Piye Luwih apik jamanku to?” (Gimana lebih bagus jamanku (Soeharto) kan?). Semua metafora ungkapan yang sarat dengan politik membangun kembali citra politik lama.
40
PLEDOI
Edisi Maret-April 2013