Edisi November-Desember 2012
Daftar Isi Editorial 2. Penyalahgunaan We- wenang
Surat Pembaca 4. Polisi Bagai Perampok
Bersenjata Dan Berser- agam Resmi
Kata Mereka 16. Pengakuan Tersangka di
Laporan Utama 5. Kasus Rezza Belum Tuntas 9. Penyalahgunaan Wewenang Masih Terjadi 13. Kritik Membangun Untuk Kepolisian
Apa Kabar Polisi 21. Sorotan Tajam Bagi
Opini 27. Institusi Berpayung Pasal, Masih Ada Pelanggaran 30. Pengusaha Miskin Korban Rekayasa 36. Bersikap Kritis Terhadap RUU Kemanan Nasional
Kepolisian Harus Ber benah
Tahanan
Lembaga Kepolisisan
Wawancara 25. Enny Soeprapto: Institusi Resensi 39. Ramuan Menuju
Masyarakat Terdidik
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penanggung Jawab: Eko Prasetyo, Pimpinan Redaksi: M. Syafi’e Editor: Puguh Windrawan Reporter: M. Fuad Hasan, Intan Pratiwi, Katarina Ekowati, La Arpani, M. Syafi’e, Kontributor: Sumiardi, Anik Malussolekhah, Desain: Adin
pledoi 25 06 2013
Alamat Redaksi/ Tata Usaha Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No 517 A, Banguntapan, Bantul Yogyakarta 55198 Tlp. 0274-452032, Fax 0274-452158 www.pusham-uii.ac.id email:
[email protected]
Penyalahgunaan Wewenang M. Syafi’e
Hukum pasti bertitik tolak pada satu hal, yaitu hubungan manusia dan hukum. Semakin landasan sebuah teori bergeser ke faktor peraturan, maka ia menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mosaik sosial kemanusiaan (Bernard L. Tanya)
2
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
M
empersalahkan masyarakat atas kesalahannya tentu sangat mudah. Tinggal mengurai tindakan, kualifikasi kesalahan, dan setelah itu ada jelas sanksi hukumnya. Tapi, untuk mempersalahkan pemangku kebijakan atas penyalahgunaan wewenangnya, kita tidak bisa berharap banyak apakah kesalahan itu diproses secara hukum, dan diberikan sanksi yang setimpal. Bahasa refleks masyarakat seringkali muncul : ‘begitulah hukum, tajam ke bawah tapi pasti tumpul ke atas’. Ucapan itu sederhana, tapi senantiasa muncul karena masyarakat merasa begitu banyak ketidakadilan atas perilaku pemangku kebijakan yang sewenang-wenang, dan masalahnya tidak terjamah oleh supremasi hukum.
Salah satu potret penyalahgunaan wewenang itu kerap muncul di institusi kepolisian. Mengapa? Karena institusi ini begitu lengkap dengan segenap otoritas dan kekuasaan. Otoritas itu antara lain adalah kewenangan untuk menangkap, menahan, menembak, dan menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam aturan hukum. Polisi memiliki begitu banyak perangkat pemaksa : mulai borgol, senjata api, penjara, sampai dengan pasukan yang bisa ditugaskan setiap saat. Dengan kewenangan yang begitu kuat itu, alat pemaksa yang tidak main-main, institusi dan aktor kepolisian menjadi sangat rentan atas penyalahgunaan wewenang. Mereka dengan kekuasaannya bisa bertindak apapun. Memisahkan kepentingan diri sendiri dengan tanggungjawab tugas pada sisi yang lain menjadi sangat kabur.
Editorial
Masyarakat sangat rentan oleh kesewenangwenangan polisi. Betapa tidak? Masyarakat adalah orang-orang biasa ditemui, diawasi dan dipersoalkan berkait dengan tindakan-tindakanya. Kalau masyarakat bersalah, dan diproses secara hukum, itu sudah menjadi jalan yang benar. Tapi, tidak semudah itu hukum itu ditegakkan. Satjipto Rahardjo mengatakan, penegakan hukum bukanlah pekerjaan yang mudah, tidak sekedar membalikkan telapak tangan dan hanya menerapkan pasal-pasal. Dalam penegakan hukum, seorang polisi pasti dihadapkan dengan satu yang kompleks : aturan hukum satu sisi, dan kepentingan kemanusiaan pada sisi yang lain. Ketika penegak hukum sudah menerapkan hukum sebagaimana dalam pasal, mungkin tidak bermasalah menurut teks hukum, tapi menurut dimensi kemanusiaan dan keadilan, bisa jadi itu masalah besar. Disitulah ada etika penegakan hukum, dimana dan bagaimana hukum itu harus ditegakkan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat.
bisa mengatakan bahwa penegakan hukum bukanlah satu yang steril dari ragam kepentingan.
Penegakan hukuman adalah salah satu area yang dimana penyalahgunaan akan berlangsung. Tapi kita harus tahu, bahwa tidak hanya disitiu penyalahgunaan wewenang itu berlangsung, masih banyak tempat yang lain dimana kekuasaan dapat berjalan tidak sesuai rel yang semestinya. Dalam kondisi itu yang dibutuhkan saat ini kontrol terhadap kekuasaan. Tidak hanya kontrol internal dalam satu institusi kekuasaan, tapi yang paling penting juga adalah kontrol dari ekstenal kekuasaan. Institusi-institusi negara yang memang khusus dibentuk sebagai lembaga pengawasan harus Memang harus diakui bahwa penegakan hukum didorong independensinya, netralitasnya, dan kewenanbukanlah satu yang mudah, karena selain persoalan gan pengawasannya yang kuat. Selain itu, masyarakat legis dalam aturan hukum dan soal kemanusiaan juga harus menjadi bagian penting pengawasan itu. pada sisi yang lain, penegakan hukum juga bisa tidak Mengapa? Karena masyarakat adalah orang-orang berdasar kepentingan keduanya. Aturan hukum bisa yang rentan untuk diberlakukan sewenang-wenang dipermainkan, dan dalam banyak hal bahkan diperoleh aparat. Mulai salah tangkap, salah tembak, tidak jualbelikan. Pasal-pasal yang ada dalam teks mungkin mendapatkan keadilan dalam proses hukum, tidak tidak bekerpentingan atas apapun, tapi penegak hukum dipenuhi hak-haknya dalam peradilan, diberlakukan yang berkuasa menerapkan pasal-pasal itu sangat potidak senonoh dan seterusnya. tensi untuk mempermainkan dan menjual belikannya. Peta penyalahgunaan wewenang itu terbentang luas. Penerapan satu pasal, atau pasal-pasal yang lain bisa Setiap saat itu kerap terjadi, dan tidak ada penghukuberdampak penghukuman, pembebasan, dan atau pemman yang setimpal bagi pelakunya. Akibat dari situasi beratan atau pengurangan satu hukuman. Disini kita itu, penyalahgunaan wewenang kerap tidak terkontrol di negeri ini. Untuk menggambarkan potret buram itu, Pledoi edisi kali ini akan mengulas perihal penyalahgunaan kekuasaan itu. Kami memfokuskan beberapa contoh penyalahgunaan itu dengan apa yang terjadi di Yogyakarta.
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
3
Polisi Bagai Perampok Bersenjata &Berseragam Resmi
P
OLISI, bukan kah polisi adalah sekelompok anggota dimana mereka memiliki tugas dan wewenang untuk memberi kenyamanan dan keamanan bagi penduduk masyarakat dan melindungi kaum yang lemah. Tapi mengapa yang terjadi sekarang malah sulit membedakan antara polisi dan perampok. Bisa dikatakan polisi jaman sekarang adalah perampok berseragam resmi yang di lindungi oleh undang-undang atau pemerintah. Jelasnya siapa yang berani melawan polisi, maka akan melawan pemerintah juga. Bukan hanya pengamen, pengemis, atau sebagainya yang menjadikan Jalanan sebagai sumber mata pencaharian, bahkan POLISI juga melakukannya dengan basa-basi adakan razia. Anehnya, polisi selalu mencari kesalahan bagi para korban yang telah menjadi sumber mata pencaharian mereka. Bekerja keras, berlatih dengan penuh semangat tanpa menyerah demi mendapatkan sebuah pangkat yang bisa di bilang cukup mulia, disiplin setiap waktu. Tapi akhirnya pangkat pun telah membutakan mata hati mereka. Tidak membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Karna banyak kita jumpai mereka bisa dibilang mata duitan. Misalnya seorang
pengendara motor melakukan pelanggaran lalu lintas di jalan, dan yang terjadi kepada pelanggar tersebut bukan mendapatkan sebuah sanksi, namun di biarkan lewat karena telah memberi uang sogokan kepada polisi tersebut. Dan satu lagi, jika salah seorang pelanggar itu adalah kerabat dari polisi itu sendiri, maka mereka membiarkannya lewat begitu saja, karena mereka menyimpan raza sungkan kepada kerabatnya itu. Dimana kedisiplinan seorang polisi sebagai anggota yang terpelajar dalam kepolisiannya. Sekarang masyarakat telah menilai anggota kepolisian sebagai anggota yang menggunakan kesempatannya untuk menindas kaum yang lemah, mereka hanya mementingkan keadaan sekitarnya dan terutama mementingkan keluarga. Di sini kami sebagai penulis merasa sangat prihatin atas prihal yang telah terjadi dalam dunia kepolisian, kami berharap penuh kepada anggotaanggota kepolisian atau para petugas keamanan yang telah mendapat tugas untuk melindungi masyarakat dan mengayominya, bukan malah sebaliknya dengan memerangi masyarakat, sehingga masyarakat merasa termusuhi dan merasa kurang nyaman dengan hal tersebut. Wafiq Hasbi Mahasiswa Jurusan Ahwalu Syahsyiah (AS) Fakultas Syariah UIN SUKA
4
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Kasus Rezza
BELUM TUNTAS Kasus yang terjadi pada Rezza sebenarnya bisa dijadikan bahan pembelajaran. Kepolisian masih perlu dikontrol agar kinerjanya menjadi lebih profesional.
Oleh:
M. Fuad Hasan
R
ezza Eka Wardhana, 16 tahun, adalah anak dari pasangan Nugroho dan Ida Kuswara. Sulung dari dua bersaudara. Rezza, demikian ia akrab dipanggil, menjadi korban kekerasan. Ia mengalami luka berat dan dirawat di rumah sakit. Terkait hal ini, Polres Gunung Kidul mengungkapkan hasil penyelidikan internal terkait dengan kronologis jatuhnya Rezza pada 25 Oktober 2012.
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
5
Liputan Utama Dilakukan dua jam sebelum Rezza menghembuskan nafas terahirnyadi RS Bethesda. AKBP Ikhsan Amin, Kapolres Gunung Kidul, membantah kalau anak buahnya yang bernama Brigadir Mahmudin, melakukan pemukulan menggunakan helm pada Rezza. Ungkapan itu disampaikan Ikhsan Amin pada 28 Oktober 2012. Menurutnya, hasil penyidikan yang dilakukan Tim Polda DIY tak menemukan fakta adanya pemukulan. Pemeriksaan juga telah dilakukan terhadap tiga saksi dari Kepolisian, masing-masing Bripka Jarmanto, Brigadir Nanang, dan Briptu Rudi. Ikhsan Amin bercerita saat jumpa pers.“Pada kamis malam, 25 Oktober 2012,bertepatan saat malam takbir Idul Adha. Sejumlah kendaraan peserta konvoi takbir melintas di pertigaan gedung DPRD. Mereka dibelokkan ke arah kiri. Saat itu, Rezza yang melintas dari jalan Ksatrian, berbelok kekanan, untuk menuju Jalan Katamso. Bersamaan dengan itu, Brigadir Mahmudin menyebrang jalan. Ia jalan kaki sambil menenteng helm”. “Saat sedang berjalan, Brigadir Mahmudin dikagetkan suara sepeda motor Rezza,” ujar Ikhsan Amin. Polisi itu berusaha menghalangi laju motor RX King yang digunakan Rezza. Menurut Ikhsan Amin, Brigadir Mahmudin menggunakan helm untuk menghalangi laju motor. “Hanya saja tidak mengenai muka Rezza, namun bagian depan motor,” tambah Ikhsan Amin. Rezza pun jatuh terpanting membentur aspal. Motor RX King bernomor AB 3663 SW yang dikendarainya berputar hingga berbalik arah. Sayangnya, kata Ikhsan Amin, Rezza tidak mengenakan helm. Luka yang dideritanya pun cukup parah, saat kepalanya beradu dengan aspal. Ikhsan Amin menambahkan, melihat kondisi Rezza terkapar, sejumlah Polisi dan warga langsung membawanya ke rumah sakit Gunung Kidul, sebelum akhirnya dirujuk ke Bethesda. “Rezza jatuh sendiri,” tutur Ikhsan Amin. Sebenarnya masalah tidak berhenti sampai disini. Persoalan kemudian bergulir, karena muncul anggapan bahwa jatuhnya Rezza juga disebabkan oleh pukulan Polisi. Seto Mulyadi dari Komisi Nasional Perlindungan Anak bahkan sempat membesuk Rezza di Bethesda pada 1 November 2012. “Kami sung-
...
Gambar 1. Pin doa dan solidaritas untuk Rezza dalam acara 7 hari setelah meninggal http://testisbro.blogspot.com/ Gambar 2. Rezza saat ditengok Kak Seto (Edzan Raharjo/detik.com)
6
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
guh sangat prihatin dan menyayangkan kejadian ini. Kami berdoa semoga Tuhan memberikan kebaikan dan kesembuhan buat anak Rezza, sehingga bisa sehat kembali dan kembali sekolah, bermain dan kumpul kembali bersama keluarga dengan keadaan kurang suatu apapun,” ujar Seto Mulyadi. Ia menambahkan, berkaitan dengan dugaan pemukulan aparat keamanan terhadap Rezza, maka lembaganya mengecam keras tindakan kekerasan tersebut. Harapannya, kasus ini juga segera dituntaskan oleh pihak Kepolisian. Sebenarnya pihak keluarga sangat menyayangkan situasi ini. Apalagi saat pihak Kepolisian menyatakan Rezza terluka parah akibat kecelakaan tunggal. Mereka mempunyai kesan Polisi terlalu cepat menyimpulkan. Keterangan saksi yang berjumlah 4-5 orang, sebenarnya menguatkan dugaan Rezza menjadi korban pemukulan. Dengan kata lain, penyebab kecelakaan yang mengakibatkan Rezza meninggal adalah Polisi. Walaupun sebelumnya, ia sempat koma sembilan hari di rumah sakit Bethesda.
Keinginan Keluarga; Polisi Meminta Maaf Ida Kuswara, ibu korban, meminta Kepolisian untuk memakai hati nurani dan melakukan penyelidikan kasus ini. Pasalnya, bukti–bukti yang ada belum terungkap secara jelas, salah satunya yakni hasil forensik. Dia berharap, Polisi benar-benar bersikap terbuka dan jujur dalam mengungkap kasus ini. Dia meminta Kepolisian konsisten memberikan statemen, agar tidak semakin dicemooh masyarakat. Bagi keluarga Rezza, yang terpenting saat ini adalah Kapolres Gu-
Liputan Utama nung Kidul segera meminta maaf kepada keluarga Rezza, masyarakat Gunung Kidul serta DIY. Pernyataan yang terlalu dini, bahwa Rezza mengalami kecelakaan tunggal, sangat melukai keluarga dan masyarakat. “Sikap Kapolres untuk melindungi korpsnya sangat kentara. Ungkapan Kapolres itu belum ada landasan yang kuat, karena pernyataannya belum dilakukan olah TKP,” ujar Bambang Tiok, Ketua JPP. Setidaknya, ungkapan Kapolres itu bisa termasuk pada pembohongan publik, karena memberikan pengakuan yang salah. Bambang menambahkan, Kapolres harusnya ditindak oleh Kapolda. Kapolres dianggap tidak serius memproses anak buahnya. “Seandainya terbukti di pukul maka polisi yang jaga waktu itu tahu persis kejadiannya,” tambah Bambang. Selanjutnya, pembuatan BAP dianggapnya juga tidak benar. Polisi menekan kepada saksi, bahwa saat bersaksi mengatakan mengayunkan tangan. Sementara di BAP melambaikan tangan ini.“Sangat terlihat sekali dalam pemakaian bahasa dalam BAP, pemahamannya jelas berbeda. Ada kelompok-kelompok perekayasaan,” tambahnya. Maka, pemeriksaan ulang menjadi penting untuk dilakukan kembali. Bambang juga menjelaskan, pihak Polisi bersedia memeriksa ulang dengan di damping JPP. Dalam hal ini, JPP diwakili LBH. Yang sudah di periksa ada 6 orang dari masyarakat, 14 orang dari Kepolisian. Ada perbedaan pendapat antara Kepolisian dengan kesaksian warga masyarakat. Polisi melihat bahwa pada saat jatuh, kaki Rezza masih di atas motor. Ketika polisi menyatakan kaki Rezza di atas motor, posisi Rezza mestinya berdekatan dengan motor. Namun ber-
beda dengan pengakuan dari saksi masyarakat. Antara tubuh Rezza dengan motor itu jauh. “Di hari kematian Rezza, Polisi memberikan uang pada keluarga sebagai ungkapan maaf dan bela sungkawa, namun keluarga menolak dari pemberian itu,” kata Bambang, sesuai informasi langsung dari pihak keluarga. Meskipun kapolres meminta izin untuk malukakan otopsi, untuk Sementara keluarga tidak ingin di otopsi, kiranya dari analisa forensic itu sudah cukup menjadi bukti. JPP tidak berhenti namun akan mencari saksi ahli yang lebih kuat. Walaupun polisi punya kewenangan untuk melakukan otopsi. Kepala instalasi kedokteran forensic RSUP DR. Sarjito memastikan penyebab luka di kepala Rezza bisa di urai melalui analisa medis. Professor DR. Cahyo dokter forensic mengungkapkan “ bahwa Rezza kena pukul, kalau dia jatuh mesti ada cidera di tulang leher. Luka yang dialami Rezza seperti halnya kena benda tumpul” ungkapnya menaruh curiga. Untuk membantu mempermudah penyelidiakan kasus tersebut, pemerintah Daerah (Pemda) membentuk tim pemimpin Provinsi (pemprov) yang Ketuanya adalah ibu Sari Murti Dekan Fakultas hukum Atmajaya. Bambang merasa aneh dalam pembentukan tim tersebut. Anehnya tim terbentuk dari polisi dan mempertanyakan kenapa melibatkan polisi dalam tim? Bagi dia dalam tim itu terbentuk dari orang-orang yang independen dan tidak terikat dari institusi polisi. Karena sejauh ini polisi seperti halnya melakukan pengaburan fakta, dilahat dari statemen awal yang selalu membela COPnya. Tindak lanjut dari kasus ini, akhirnya Bripka Mahmudin
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
7
Liputan Utama ditetapkan menjadi tersangka. Polda DIY menahannya pada hari Senin, 5 November 2012. Ia dianggap telah melakukan pemukulan menggunakan helm pada motor Yamaha RX King yang dikendarai Rezza. Hal itu disampaikan oleh AKBP Anny Pudjiastuti, Kepala bidang Humas (Kabid Humas) Polda DIY. Penyidik Polda DIY belum memastikan pasal yang akan dikenakan pada tersangka. Jika nanti ditemukan unsur kesengajaan, tersangka bisa dikenai pasal 351 KUHP ayat 3, dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara. Namun kalau ada unsur ketidaksengajaan, akan dikenai pasal 359 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. “JPP yakin ia pelaku bukan pelaku tunggal,” ujar Bambang. Pihaknya berusaha mencari saksi yang belum tersentuh. Harapannya, mampu mengungkap kasus ini secara setail dan mendalam.
Peta Perkembangan Kasus Rezza
Sumber: Tribun Jogja minggu 4 November 2012
8
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Penyalahgunaan Wewenang
MASIH TERJADI Himpitan ekonomi, permasalahan pribadi ternyata juga mempengaruhi kinerja Polisi. Lepas dari itu semua, profesionalisme Polisi memang perlu ditingkatkan.
N
ovember silam, salah seorang pemuda berusia 16 tahun harus menghembuskan nafas terakhirnya secara tidak wajar. Bertepatan dengan malam takbiran Idul Adha silam, Rezza Eka Wardhana menjadi korban dari tindak pengamanan Polisi. Siswa SMA Dominikus Wonosari ini menerima pukulan dari helm Polisi, hingga mengakibatkan dirinya koma selama sembilan hari, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Oleh:
Intan Pratiwi
Kuat dugaan, hal ini dilakukan oleh oknum polisi bernama Mahmudin, berpangkat Bripka. yang mengayunkan helm ke arah kepala Rezza, saat Rezza melintas dengan motornya. Hal ini terkait dengan iring-iringan kelompok takbiran. Ayunan helm Mahmudin terekam jelas daat rela perkara. Saat itu, Rezza melintas dengan motor berkecepatan 80 km/ jam. Belum diketahui secara pasti, apa motif Mahmudin saat itu. Nugroho Priyo Widiatmoko, ayah Rezaa, menuntut agar kasus ini diusut tuntas. “Mengapa dan bagaimana hal ini bisa terjadi? Kasus anak saya ini harus dijadikan pelajaran. Agar ke depan tidak ada lagi Rezza-Rezza lainnya,” katanya, saat ditemui Pledoi, di depan ruang IMC RS Bethesda, pada 3 November 2012 silam. Ibu kandung Rezza bahkan tak kuasa menahan haru dan tak bisa berkata. Isak tangisnya menyeruak tatkala ia harus menerima kenyataan bahwa anak sulungnya harus berpulang di usia muda. Tak banyak informasi yang bisa digali dari sang ibu. Namun, lirih tangisnya mengisyaratkan luka yang mendalam. Hingga saat ini, Pledoi belum bisa mewawancarai Mahmudin, soal kasus yang
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
9
Liputan Utama
menjerat dirinya. AKBP Ikhsan Amin, Ketua Tim Investigasi Polda DIY, menyatakan bahwa kasus ini adalah kasus tindak pidana, tidak hanya dikenakan pasal kode etik saja. Sebenarnya ada kasus lain yang sama sekali terpisah dari soal Rezza. Belum lepas dari ingatan kita, tentang kasus yang melibatkan oknum Polres Bantul. Ada dugaan, oknum Polisi tersebut memperkosa seorang wanita. Juga kasus pengusiran secara paksa wanita tuna wisma di daerah Imogiri, Bantul, yang berujung pada penculikan. Dugaannya juga dilakukan oleh institusi yang sama. Untuk melakukan klarifikasi ke dua kasus tersebut, Pledoi bertandang ke Polres Bantul. Sayangnya, Pledoi tidak bisa melakukan wawancara. Alasannya, tidak ada surat permohonan untuk melakukan tugas jurnalistik tersebut. Kasus lain adalah insiden pada saat aksi penolakan BBM bulan Maret silam, antara mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan pihak Kepolisian. Ada 3 korban luka akibat pemukulan yang dilakukan oleh Polisi. Hal ini diceritakan kembali oleh Nur Syiam, Mahasiswa semester 5, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta semester 5. Ia salah satu korban luka akibat aksi penolakan BBM tersebut. Sebenarnya ia tak mengikuti aksi tersebut. Niatnya hanya untuk melihat aksi yang dilakukan teman-temannya. Di luar perkiraannya, keadaan mulai memanas. Banyak mahasiswa yang berhamburan masuk ke dalam kampus. Polisi mulai masuk ke area universitas. Melihat hal itu, Siyam kembali duduk di kantin untuk bergabung dengan teman yang lain. Tiba-tiba dua oknum Polisi mendatanginya. “Satu memakai seragam, yang satu tidak. Mereka menarik saya keluar kantin. Sesampainya di bibir pintu kantin sebelah timur, saya langsung dipukul di bagian pelipis hingga berdarah,” ujar Siyam. Ia juga bercerita, bahwa ia dikepung oleh 7-8 oknum Polisi. Dipaksa mengaku mengikuti aksi yang berujung ricuh tersebut. Tak banyak yang bisa dilakukan mahasiswa asal Indramayu ini. Dengan bercucuran darah, ia dibawa ke Polsek Depok Timur. *** Pelanggaran sejenis sebenarnya sudah tercatat. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindaka Kekerasan (KontraS) dan LBH Yogyakarta bahkan menilai dari tahun 2010 hingga 2011, pengaduan masyarakat tentang pelanggaran hak perlindungan hukum mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dilansir KONTRAS terdapat 6 klasifikasi kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Kepolisian. Dengan jumlah 102 kasus sepanjang tahun 2009. Pada tahun 2010 yang dihimpun oleh LBH Yogyakarta, di daerah Yogyakarta sendiri erdapat 47 kasus tentang pelanggaran HAM yang diterima oleh warga, terkait dengan keluhan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang layak.
10
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Tiba-tiba dua oknum Polisi mendatanginya. “Satu memakai seragam, yang satu tidak. Mereka menarik saya keluar kantin. Sesampainya di bibir pintu kantin sebelah timur, saya langsung dipukul di bagian pelipis hingga berdarah,” ujar SyIam.
Liputan Utama No
Jenis Tindakan
2009
1
Penembakan (Meninggal/ Luka)
48
2
Penyiksaan (Meninggal/ Luka)
9
3
Penangkapan
2
4
Perkosaan
1
5
Penganiayaan
37
6
Salah Tangkap
5
Sumber: data KontraS
Penyalah gunaan wewenang memang tak seharusnya terjadi ditubuh Kepolisisan. Hal ini sangat bertentangan dengan citra Polisi sebagai aparat yang seharusnya mampu mengayomi dan melindungi masyarakat.
Memasuki tahun 2012, KontraS mencatat pada kasus Aksi Penolakan Kenaikan Harga BBM April silam, hampir diseluruh bagian Indonesia menggelar aksi penolakan tersebut. Tindakan represifpun muncul pada aksi ini. Tercatat 763 orang mengalami kekerasan aparat Kepolisian dan sekitar 529 berakhir dengan penangkapan dan penahanan di kantor Polisi. Sedangkan pihak pengawas internal yang dalam hal ini dilakukan langsung oleh SAT PROVOS dan PAMINAL (PROPAM), SAT PROPAM POLRESTA Yogyakarta mencatat tahun 2011 silam terdapat 26 kasus yang terjadi di daerah kodya Yogyakarta, dengan klasifikasi 3 golongan berat dan 24 golongan ringan. Data ini didapatkan Pledoi saat bertandang ke SAT PROPAM Polresta Yogyakarta 22 November silam. Penggolongan berat pada tahun 2011 harus melibatkan 1 oknum Polisi yang tersangkut kasus pidana. Dan dua kasus disersi. Disersi adalah meninggalkan kantor lebih dari 30 hari secara berturut-turut. Mengakhiri tahun 2012 ini, sudah tercatat 10 laporan, dengan klasifikasi 3 pelanggaran berat, dan 7 pelanggaran ringan. Penipuan dan penggelapan menjadi salah satu kasus pidana yang menyandung tubuh Kepolisian. Juga kasus pencabulan dan perzinaan, yang pada tahun 2012 menjadi catatan kelam institusi Kepolisian. Penyalahgunaan wewenang memang tak seharusnya terjadi ditubuh Kepolisian. Hal ini sangat bertentangan dengan citra Polisi sebagai aparat yang seharusnya mampu mengayomi dan melindungi masyarakat. Bukan malah menjadi common enemy oleh masyarakat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, dalam buku karangan Hinton & Newburn menyatakan bahwa kewenangan luas yang dimiliki oleh Kepolisian memiliki kontradiksinya sendiri. Otoritas yang mereka miliki untuk menangkap, memeriksa, menahan dan menggunakan kekerasan, di saat yang juga dapat mengganggu kebebasan dan hak-hak sipil. Sementara otoritas ini dimiliki bahkan oleh aparat Kepolisian di jenjang yang paling rendah, di mana pengawasan dan kontrolnya relatif rendah.
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
11
Liputan Utama
Selain itu, Nur Syiam salah satu korban kekerasan polisi pada masa aksi, menuturkan bahwa pangkat polisi juga berpengaruh dengan tindakan represifnya. “Yang memukul saya itu jabatannya masih rendah kayaknya. Sesampainya saya di Polres Sleman dan langsung bertemu dengan Wakapolres, saya malah di beri makan, minum dan diajak bercanda juga sharing pengalaman,” ungkap Syiam. Syiam menduga, jabatan dan pencarian eksistensi diri menjadi salah satu alasan sikap represif polisi pangkat rendah. Di samping biasanya usianya yang masih muda. “Jadi belum bisa mengontrol emosi dengan baik,” tambahnya. Pernyataan ini juga sepertinya ada hubungannya. Koalisi Reformasi Polisi dalam pernyataan sikapnya mengatakan, berawal dari romantisme sejarah masa lalu, saat Polisi masih tergabung dengan ABRI, yang notabene unsur militeristik sangat kental didalam sana, membuat aspek militer belum terlepas dari tubuh Polri. Sehingga, kasus pelanggaran HAM, penggunaan kekerasan secara berlebihan, penyalahgunaan kekuasan serta korupsi menjadi catatan hitam di tubuh Kepolisian. Hamzal Wahyudin, Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, menuturkan bahwa kurangnya pendidikan tentang HAM dan kurangnya pemahaman tentang metedologi hubungan ke masyarakat, juga menjadi pengaruh penyalahgunaan wewenang oleh oknum Polisi. Seringkali kedapatan apa yang dianggap polisi sebagai wilayah perilaku ‘tegas’ tidak mampu diterima oleh masyarakat. Takaran atau persepsi ‘tegas’ antara Polisi dan masyarakat jelas berbeda. SAT PROPAM sebagai satuan pengawas internal di tubuh POLRI sendiripun masih mendapati banyak anggota Polisi yang melanggar, baik pelanggaran berat maupun ringan. Seperti data yang telah tersaji di atas. Hal ini diakui oleh AKP Pardiyana, KASI PROPAM POLRESTA Yogyakarta. Menurutnya, permasalahan pribadi internal menjadi salah satu pemicu dari penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum Polisi. “Permasalahan keluarga, himpitan ekonomi, yang berhubungan dengan permasalahan pribadi juga banyak berdampak pada kinerja sehari-hari. Sehingga, terkadang bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan diri, bisa menjadi lose control,” papar Pardiyana.
12
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, menuturkan bahwa kurangnya pendidikan tentang HAM dan kurangnya pemahaman tentang metedologi hubungan ke masyarakat, juga menjadi pengaruh penyalahgunaan wewenang oleh oknum Polisi.
Kritik Membangun
UNTUK KEPOLISIAN P
olisi sebagai institusi keamanan negara. Dilihat dari makna dasar Polisi sendiri adalah bhayangkara (pasukan keamanan) negara; hamba hukum, petugas penjaga keamanan, ketertibatan dan keadilan. Kita ketahui dari definisi tersebut, banyak wewenang atau tanggungjawab Polisi. Urusan-urusan sosial masyarakat ikut andil didalamnya. Polisi identik dengan menyeramkan dan menakutkan.
Oleh:
M. Fuad Hasan
Sebenarnya kita mempertanyakan kewenangan Polisi, karena sejauh ini kita melihat banyak sekali tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain. “Kita coba tengok dari aksi-aksi para polisi-polisinya. Seperti adanya penggrebekan pasangan di hotel-hotel. Bukankah bagian wilayah kepariwisataan?” ujar Bambang Tiok, Ketua Jaringan Pengawas Polisi (JPP). Jika melihat tugas seorang Polisi dalam ranah keamanan dan ketertiban (Kamtib), tugas ini hampir mirip dengan tugas TNI, yaitu pertahanan dan keamanan (Perkam), letak kemiripannya itu pada keamanannya. Dalam konteks kinerja, sebagai upaya untuk mengamankan kerusuhan-kerusuhan dalam negeri, demontrasi, lalulintas, kriminalitas dan lain-lain. Slogan yang kerap terdengar adalah ‘polisi pengayom masyarakat’.Namun tidak mudah mengaplikasikannya“Slogan itu dipertanyakan masyarakat,” ungkap Muhtar, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga aktivis HMI MPO. Masih banyak ulah oknum Polisi yang menyeleweng dari hukum, dan lepas dari hamba hukum, bahkan menjadi keresahan dan menjadikan masyarakat takut atas keberadaannya. “Tengok saja kekerasan dan kewenangan di tingkat Kepolisian yang sangat merebak” imbuh Muhtar, kesal. Sejauh ini, masyarakat masih mempercayai bahwa institusi Kepolisian adalah yang pertama kali menerima laporan dari masyarakat, dan langsung berhadapan dengan korban serta pelaku. Selanjutnya, disebut sebagai bantuan pertama kepada korban. Hal ini merupakan bagian esensial yang terlebih dahulu dilakukan agar tidak memunculkan apa yang disebut secondary victim akibat perilaku polisi terhadap korban. Seperti melaporkan barang-barang kehilangan seperti laptop, motor,
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
13
Liputan Utama
Sejauh ini, pandangan masyarakat tentang Polisi ‘selalu mencari-cari’ celah kesalahan dan itu mempunyai sifat yang berlebihan disaat menggunakan wewenangnya....
dompet hilang dan barang lainnya. Walaupun terkadang warga selalu menghakimi sendiri ketika berhasil menemukan pencuri. “Sejauh ini, pandangan masyarakat tentang Polisi ‘selalu mencari-cari’ celah kesalahan dan itu mempunyai sifat yang berlebihan disaat menggunakan wewenangnya. Karenanya, jabatan sebagai modal awal untuk melakukan kesewenang-wenangan dalam hal apapun, oknum Polisi menggunakan kewenangannya over,”tambah Bambang. Berangkat dari kegelisahan dan keprihatinan terhadap kinerja kepolisian ketidakprofessionalan Polisi dan kesewenangan Polisi, terbentuklah JPP, pada 29 Juli 2010 silam. “Kerjasama dilakukan dibeberapa lembaga yang berperan banyak di masyarakat, misal LBH, ICM, Pusham UII, Pukat UGM, Walhi dan lembaga lainnya,” ujar Bambang. Ia juga berharap masyarakat secara resmi bisa mengadu ke JPP, terutama hal yang berkaitan dengan pengaduan, permintaan pendampingan dan informasi. Sejauh ini yang menjadi kendala bagi JPP adalah masyarakat yang takut mengadu. Sejatinya, JPP melayani masyarakat yang berupa aduan dan informasi. “Sejauh ini yang menjadi sorotan dan keluhan masyarakat adalah seputar Reserse dan Satlantas,” imbuh Bambang Sebagian yang telah dilakukan oleh JPP dalam mendampingi korban yang berkaitan dengan STNK telat pajak. Salah satunya Agus, karyawan salah satu perusahaan, melaporkan kasus tersebut ke JPP. Sedangkan JPP menanggapi dengan baik. Agus merasa janggal dengan kasusnya. Saat itu,Polisi meminta pengendara untuk menunjukkan surat kendaraan. Surat yang telah ditunjukkan telat pajak, kemudian yang disita adalah SIM. Pengendara dikenai pasal 288 tentang menunjukkan surat kendaraan, padahal pengendara bisa menunjukkan surat kendaraan hanya saja telat pajak.
14
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
“Urusan pajak bukanlah urusan Polisi,” sahut Bambang. Kasus tersebut didiskusikan di LBH, yang telah dihadiri salah seorang advokad, Nur Ismanto, anggota JPP, HMI Jogja, mahasiswa Fakultas Hukum UII dan LBH sendiri. Dalam diskusi tersebut mengkaji lebih dalam tentang penerapan hukum pasal 288. Nur Ismanto menjelaskan, penerapan pasal tersebut tidak tepat. “STNK yang dikatakan mati adalah ketika STNK yang telat 2 tahun, kalau dalam hitungan bulan, belum di anggap mati,” ujarnya. Dalam Perkap No. 5 Tahun 2012, STNK dinyatakan mati sejak setelah 2 tahun keterlambatan. Selama masih belum mencapai keterlambatan dua tahun, masih dinyatakan bahwa STNK itu tidak mati, namun terlambat. Setelah 2 tahun dari batas akhir masa berlaku, masih belum di bayarkan pajak keterlambatannya, maka STNK itu bisa dikatakan mati. Berbeda dengan terlambat, kalau dikatakan terlambat. Setelah dua tahun, Polisi bisa menghapus data base nomor kendaraan Sedangkan untuk masalah urusan pajak, tidak seharusnya Polisi melakukan ikut campur tangan, karena itu adalah urusan daerah dan masuk pada Pendapatan Daerah (Penda). Selanjutnya JPP melakukan uji materi di Pengadilan Sleman. Memang Polisi salah dalam penerapan pasal. “Gugatan JPP menang,” tambah Bambang. *** Bambang mencontohkan kasus lain. Ada istilah jual beli pasal di Reserse. Contohnya, a menipu b, selanjutnya a mel-
Liputan Utama apor ke c (Polisi). Setelah a ditangkap, c menayakan apakah a mau di tangkap atau bagaimana?“Masalahnya, jika mau dimasukkan ke pidana mepet banget kasusnya, bisa jadi kasus ini masuk di perdata. Ada unsur penekanan dari polisi pada kedua belah pihak baik yang melapor maupun yang dilaporkan. Memang kasus ini agak susah di ungkap, namun itu terjadi,” kata Bambang. Olah Pantauan Pengawal (Patwal) juga menjadikan rakyat resah, karena mengakibatkan jalan macet. Meskipun dalam undang-undang siapapun boleh melakukan pengawalan, namun tidak serta merta seorang yang tidak ada kepentingan untuk rakyat dengan seenaknya memakai fasilitas umum dengan dalih kepentingan pribadi. “Kepentingan pengusaha mengalahkan kepentingan publik, disini adalah masyarakat,” ujar Bambang. Banyaknya pengawalan secara liar terlebih lagi tidak adanya etika dalam kordinasi. Penyalahgunaan Wewenang Polisi dapat di petakan menjadi beberapa macam:
1
Pungutan liar, kerap terjadi pada proses penerbitan SIM, STNK, BPKB, STCK, laporan/pengaduan perkara, pos-pos jaga lalu-lintas, kegiatan patroli, pangkalan ojek, pedagang kaki lima, dan sebagainya.
2
Pemerasan, sering terjadi jika masyarakat ingin kasusnya dipetieskan atau tutup perkara (SP3). Selain itu terjadi pula dalam modus ‘biaya permohonan untuk tidak ditahan’.
3
Percaloan, banyak terlihat dalam praktik-praktik calo perkara, dengan menjadi makelar kasus alias markus. Percaloan juga terjadi dalam pengurusan SIM, STNK, BPKP, kasus-kasus tenaga kerja, dan sebagainya.
4
Manipulasi, biasanya hal ini terjadi dalam pembuatan sketsa gambar kecelakaan lalu-lintas, penerapan unsur pasal, rekayasa pengakuan atau keterangan, dan sebagainya.
5
Kolusi, modusnya antara lain aksi damai dengan masyarakat pelanggar hukum dan bersifat ‘tahu sama tahu’ untuk meneruskan atau tidak meneruskan perkara.
6
Korupsi, biasanya terjadi dalam kasus pembebanan biaya tertentu kepada masyarakat dengan dalih sebagai prosedur, misalnya dalam uang jaminan penangguhan penahanan dan lainnya.
7
Penipuan, modusnya membohongi atau menakut-nakuti masyarakat sehingga masyarakat terpaksa menyerahkan sejumlah uang.
8
Penggelapan barang bukti, modusnya dengan cara menyisihkan sebagian barang bukti seperti kayu hasil curian (illegal logging), narkoba, kendaraan bermotor, yang kemudian digunakan untuk tujuan di luar proses perkara.
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
15
Beberapa tersangka mengalami tindakan yang tidak semestinya di dalam tahanan. Tidak semuanya memang. Ada oknum Polisi yang ternyata berperilaku baik. Memberi perhatian kepada tersangka. Oleh:
Katarina Ekowati
16
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Kata Mereka
P
enyalahgunaan wewenang atau abuse of power, suatu hal yang tidak asing dan sering kita dengar. Beberapa oknum pejabat sering kita dengar melakukan tindakan tersebut. Salah satunya adalah oknum Polisi. Meski demikian, berdasarkan keterangan Samsudin Nurseha, Direktur LBH Yogyakarta, untuk tahun belakangan di Yogyakarta, kasus abuse of power yang dilakukan oleh oknum Polisi mengalami penurunan. Samsudin menyatakan bahwa yang masih sering dijumpau adalah proses penyidikan yang melampaui batas waktu. Seharusnya sudah jelas diatur mengenai batas waktu, yaitu 30 (tiga puluh) hari untuk kasus ringan, 60 (enam puluh) hari untuk kasus sedang, dan 90 (sembilan puluh) hari untuk kasus berat. “Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah melewati batas waktu yang telah ditentukan. Alasannya belum mendapatkan cukup bukti dan mereka masih memerlukan waktu untuk melakukan penyidikan,” tutur Samsudin. Agak berbeda dengan pernyataan Vicky Seven Brando, lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia pernah mengalami maupun melihat beberapa tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum polisi di daerah asalnya Pagar Alam, Sumatera Selatan. Salah satunya adalah saat Vicky membuat atau memperpanjang
masa berlaku SIM-nya. Vicky menuturkan bahwa masih terjadi korupsi. Korupsi yang dimaksud di sini ada kaitannya dengan biaya yang harus dia bayarkan. Tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya. Lebih mahal dari yang telah ditentukan. Selain itu, Vicky juga menuturkan bahwa terhadap para pencuri di daerahnya, beberapa oknum Kepolisian masih sering melakukan pemukulan. Tindakan kekerasan masih dilakukan oleh beberapa
Menurut penuturannya, Vicky pernah melihat dalam proses penyidikan, perilaku oknum polisi membuat tersangka merasa tidak nyaman baik dari sikapnya, gayanya, maupun cara yang digunakan dalam menyidik. oknum. Menurut penuturannya, Vicky pernah melihat dalam proses penyidikan, perilaku oknum polisi membuat tersangka merasa tidak nyaman baik dari sikapnya, gayanya, maupun cara yang digunakan dalam menyidik. Cerita lain didapatkan oleh Pledoi. Dialami oleh seorang yang berinisial GS, seorang mahasiswa di salah satu PTN di DIY. Ia mengalami pemukulan yang dilakukan oleh oknum Polisi di Polsek Ketandan Yogyakarta. Kasus ini
memang terjadi saat GS duduk di bangku SMA. Berdasarkan keterangannya, sampai saat ini, di sekolah yang sama masih ada beberapa siswa yang juga mengalami kasus sepertinya. Kasus ini sebenarnya adalah kenakalan remaja yang pada akhirnya berujung di sel tahanan. Kasus GS berawal dari tawuran atau tindakan saling pukul antar siswa yang berbeda sekolah. GS dan dua orang temannya melakukan pemukulan terhadap siswasiswa dari SMA lain. Siswa yang dipukuli tidak terima dan membawa rombongan, bermaksud untuk membalas perbuatan GS dan teman-temannya. Pihak sekolah GS melaporkan kejadian ini kepada Polisi, dengan alasan ‘demi keamanan’ maka GS dan dua orang temannya dijemput oleh Polisi tanpa ada pendampingan dari pihak sekolah, maupun pihak keluarga GS dan kedua orang temannya. Keluarga dari mereka bertiga baru mendapatkan kabar dari pihak Kepolisian setelah anak mereka tiba di Polsek Ketandan. Setelah sampai di Polsek Ketandan, ternyata bukan tindakan pengamanan yang dilakukan, justru dilakukan penyidikan dengan cara yang tidak lazim. GS dan kedua orang temannya diminta membuka baju dan bajunya disita. Kemudian mereka disidik satu persatu. Pada waktu penyidikan berlangsung mereka dihadapkan pada tiga buah kipas angin besar yang langsung mengarah
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
17
Kata Mereka lengkap. Setelah dirasa cukup, polisi tersebut meminta GS dan teman-temannya berhenti berlari dan polisi itu kemudian bertanya, “Siapa di antara kalian yang berantem tadi?”
ke tubuhnya. Hal itu membuat mereka sangat tidak nyaman dan akhirnya membuat mereka sakit. Tanpa sehelai baju dan dihadapkan pada tiga kipas angin besar. Dapat kita bayangkan betapa dinginnya. Satu persatu mereka disidik, dengan cara yang sama dan dalam waktu yang cukup lama, menurut keterangan GS. Setelah penyidikan selesai, mereka dimasukkan ke dalam sel tahanan, dan masih tanpa menggunakan baju. Sel tahanan dalam kondisi yang sangat tidak layak untuk ditempati. Sangat kotor dan bau pesing. Hanya ada selembar tikar yang ternyata baunya juga sangat pesing. Ternyata penderitaan mereka belum berakhir. Mereka tidak diberikan makan oleh pihak Polisi, bahkan meminta izin untuk ke kamar mandi pun tidak boleh. Mereka tidur beralaskan koran yang dibawakan oleh salah satu orang tua dari teman GS. Bahkan baju pun tetap disita dan akhirnya orang tua masingmasing membawakan baju untuk anaknya. Saat malam tiba, ada beberapa oknum Polisi mendatangi sel mereka saat mereka tertidur. Polisi berada di luar sel tahanan tanpa membuka pintunya dan langsung memarahi GS dan teman-temannya, agar hormat ketika ada Polisi datang. Kemudian satu per satu dari mereka dipukul kepalanya beberapa kali oleh oknum Polisi tersebut. GS dan kedua orang temannya dipaksa berlari mengelilingi sel tahanan yang sangat sempit. Hal itu membuat pusing, hingga badannya sempoyongan dan akhirnya terjatuh dan menghantam dinding sel tahanan. Akan tetapi, Polisi tersebut tidak menghiraukannya dan tetap menyuruhnya kembali berlari. Ketika mendatangi GS dan temantemannya, oknum Polisi tersebut menggunakan seragam
18
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab, kemudian pemukulan pun terjadi kembali. Kemudian GS pun mengaku bahwa dia telah berantem. Tetapi di luar dugaan, ternyata bukan berhenti pemukulan, justru GS kembali dipukul oleh polisi tersebut. Setelah dipukul, GS diminta untuk memukul temannya. Hanya saja GS tidak melakukannya, hanya memegang kepala temannya. Kemudian, polisi meminta GS untuk mendekat ke pintu sel dan polisi itu kembali berkata, “Sini tak ajari mukul!” Sambil dia mencontohkan memukul kepala GS. Hal itu terjadi berulang-ulang karena GS masih belum mau memukul temannya. Pada akhirnya, GS sudah tidah tahan dengan sakitnya dipukuli, GS memukul salah satu temannya, dan teman yang terkena pukulan itu memukul teman yang satu lagi sehingga terjadi saling pukul antar teman dalam satu sel tersebut. Akibatnya bisa ditebak, lebam di wajah dan gigi pun menjadi bergoyang. Akhirnya adegan saling pukul pun berhenti, petugas Polisi meninggalkan GS dan kedua orang temannya di dalam sel yang bau, dingin, lembab, kotor, tanpa alas, dan dalam keadaan lapar, tanpa ada sedikit makanan. Hingga akhirnya para orang tua membawakan makan untuk anak-anaknya.
Kata Mereka Keesokan harinya, ayah GS mendatangi sekolah. Menanyakan bentuk pertanggung jawaban dari pihak sekolah, terkait dibawanya tiga orang siswa oleh Polisi. Pihak sekolah beralasan, ini hanya tindakan pengamanan untuk GS dan kedua orang temannya agar tidak diserang oleh pihak sekolah lawan mereka. Akan tetapi, ketika ditanyakan siapa yang mendampingi anak-anak ke kantor Polisi, pihak sekolah mengaku tidak ada yang mengawasi. Ayah GS memaksa agar ada dari pihak sekolah yang melihat keadaan ketiga siswa yang ternyata ditahan.
tinggal tersangka dengan membawa narkoba dan diletakkan di kamarnya. Ia dipaksa mengakui barang tersebut adalah miliknya, sehingga solah-olah memang benar-benar tertangkap basah. Jika tak mengaku, menurut penuturan FA, akan dipukuli.
Setelah dia mau mengikuti skenario itu dan mengakui barang tersebut adalah miliknya, maka ia akan dibawa ke kantor polisi, yaitu POLTABES Yogyakarta. Dengan keadaaan di borgol, dia di dudukkan di bawah, sedangkan Polisi duduk di kursi di mobil yang membawanSetelah berdiskusi dan bernegosiasi, akhya ke kantor polisi. Ia diinjak oleh oknum polisi irnya GS dan kedua orang temannya dibebasyang duduk di kursi itu.Sesampainya di kantor kan dari sel tahanan. Mereka dikenai wajib polisi, dia mendapatkan ‘perlakuan sambutan’ lapor seminggu 2 kali, selama 3 bulan berturutdari para Polisi jaga. Salah satu oknum polisi turut pada jam-jam sekolah. Ayah GS mengejaga bertanya, luhkan alasan pengamanan yang ternyata “Sehat nggak kamu?” berujung penahanan. Mengeluhkan kondisi Memilih menjawab sehat atau tidak sehat anak-anak di sel tahanan dan cara penyidikan pun ternyata seperti buah simalakama. Saat yang dilakukan oleh pihak Kepolisian. Jalur menjawab sehat, maka dia disuruh push up perdamaian pun ditempuh. minimal 100 kali dan skotjam minimal 50 kali. Kapolsek Ketandan waktu itu meminta Ketika ada salah satu tersangka juga yang maaf kepada orang tua ketiga siswa yang menjawab sedang tidak sehat, maka Polisi ditahan. Akan tetapi yang masih disesalkan tersebut berkata, “Nggak sehat, kok masuk Ayah GS hingga sekarang, adalah kejadian sel? Kalau nggak sehat tu masuk rumah pemukulan di malam hari, di dalam sel tahanan sakit,” sambil memukuli tersangka. Perlakuan yang tidak sempat diproses. Pasalnya, GS dan sambutan selesai, tiba saatnya penyidikan. kedua temannya tidak berterus terang soal Penyidikan pun dilakukan dengan cara yang pemukulan itu. Orang tua baru mengetahui tidak seharusnya. Dia dipukuli, dibentak dan saat kasus ini nyaris rampung. diancam akan ditembak, dicambuk dengan ikat pinggang, bahkan jempol kakinya diinjak den*** gan menggunakan kaki kursi, jika tidak mau Kejadian lain soal perlakuan di sel tahanan. mengakui apa yang disangkakan terhadapnya. Ini dialami oleh FA, lulusan S1 di salah satu PTS ternama di Yogyakarta. Ia adalah seorang yang disangka menggunakan narkoba. FA menceritakan, sebenarnya barang bukti yang diamankan dan dituduhkan memang telah dibuat oleh Polisi. Polisi mendatangi tempat
Selesai penyidikan ternyata penderitaan yang dialami FA dan para tersangka lain belum selesai. Mereka dimasukkan ke dalam sel tahanan, di dalam sel tidak hanya tersangka narkoba saja, tetapi tersangka kasus lain seperti pemerkosaan, penganiayaan, dan penjambretan, maupun pencurian yang masih dalam
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
19
Kata Mereka tahap penyidikan. Semua di dalam sel tahanan yang sama. FA juga menceritakan perlakuan oknum polisi jaga terhadap tersangka kasus lain yang berada dalam satu sel tahanan dengannya. Untuk tersangka kasus pemerkosaan, dipaksa mengolesi alat kelaminnya dengan balsem panas yang telah disediakan. Untuk tersangka kasus pencurian, terdapat luka tembak dikakinya. Menurut pengakuannya, tersangka tersebut dengan sengaja ditembak secara langsung oleh oknum Polisi dengan jarak dekat. Alasan yang digunakan Polisi kepada media masa, keluarga tersangka maupun masyarakat adalah tersangka mencoba melarikan diri, tersangka melawan petugas, dan untuk memberikan efek jera kepada tersangka.
Menurut FA, para tersangka memang dijadikan semacam ‘mainan’ oleh para oknum Polisi jaga. Akan tetapi, ada tersangka yang aman, terbebas dari semua perlakuan yang tidak manusiawi itu. Ternyata, ia terbebas setelah memberikan sejumlah uang kepada oknum Polisi yang biasa disebut ‘uang kondisi’.
... Gambar 1. Sumber gambar http://www.indhie.com/ Gambar 2. Sejumlah tahanan pidana kriminal umum yang ditahan di ruang tahanan Polda Metro Jaya saat digelandang untuk dilakukan pendataan. Sumber gambar http://www.lensaindonesia.com/
20
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Menurut FA, para tersangka memang dijadikan semacam ‘mainan’ oleh para oknum Polisi jaga. Akan tetapi, ada tersangka yang aman, terbebas dari semua perlakuan yang tidak manusiawi itu. Ternyata, ia terbebas setelah memberikan sejumlah uang kepada oknum Polisi yang biasa disebut ‘uang kondisi’. Masih menurut penuturan FA, tersangka memang diperlakukan seolah-olah mereka adalah ‘ladang uang’ bagi para oknum Polisi jaga. Bahkan, untuk menghubungi pihak keluarga, Polisi jaga menyediakan handphone yang disewakan kepada para tersangka. Tarifnya Rp. 5 ribu/jam. Handphone tersebut tanpa simcard. Tersangka menyediakan simcard sendiri yang berisi pulsanya sendiri. Oknum Polisi tersebut hanya menyewakannya dengan baterai yang terisi. Dapat dibayangkan, menurut FA, hanya bermodal sebuah handphone yang bisa digunakan untuk sms dan telepon saja, dalam sekali shift jaga, oknum Polisi itu bisa mendapatkan uang tambahan sebesar Rp. 40 ribu, karena sekali shift jaga kurang-lebih 8 jam seharinya. Akan tetapi, masih menurut cerita FA, tidak semua Polisi jaga berperilaku seperti itu. Ada Polisi jaga yang membela tersangka, ketika terjadi pemukulan yang dilakukan oleh Polisi jaga lain, melerai dan mengamankan tersangka. Ada juga yang terkesan cuek dan tidak mempedulikan apa yang dilakukan teman jaga nya kepada para tersangka, tetapi setelah adegan pemukulan selesai, Polisi tersebut memberikan obat secara diam-diam kepada tersangka yang terkena pukul. Kejadian semacam ini terkadang memang sulit ketika ingin diproses lebih lanjut. Pihak keluarga kebanyakan tidak mengetahui keadaan tersangka yang sebenarnya. Buktinya susah untuk didapatkan. Menurut penuturan FA, karena selama minimal 2 minggu tersangka tidak boleh dijenguk oleh pihak keluarga, maupun teman. Alasan dari pihak Polisi, masih belum bisa dijenguk karena kasus masih dikembangkan untuk mencari tersangka lain. Setelah sekitar 2 minggu tentu saja luka-luka, memar, lebam disekujur tubuh sudah mulai membaik.
SOROTAN TAJAM BAGI LEMBAGA KEPOLISIAN Lembaga Kepolisian masih mendapat sorotan tajam. Sebagai garda terdepan penegakkan hukum, tentu harapan masyarakat begitu tinggi terhadap lembaga ini. Pertanyaannya; mampukah Kepolisian menjawab tantangan itu? Oleh:
La Arpani
P
enyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum bukan merupakan hal baru dan tidak asing lagi di telinga kita. Hal ini rentan terjadi. Salah satunya di lembaga Kepolisian. Soal kedisiplinan menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan secara baik. Dalam peraturan kedisiplinan, setiap anggota Polri, dalam pelaksanaan tugas dan kewenanganya dilarang: menyalahgunakan kewenangan, menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan, penyalahgunaan barang, uang atau surat berharga milik dinas, melakukan pungutan yang tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain. Selain peraturan disiplin seperti diatas, seorang anggota Polri juga diwajibkan untuk mentaati kode etik profesi Polri. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. Di mana ditegaskan dalam kode etik profesi Polri tersebut ada empat etika yang harus di taati, yaitu:
Pertama, etika kepribadian, yaitu merupakan sikap moral anggota polri terhadap profesinya di dasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama. Kedua, etika kenegaraan, yaitu merupakan sikap moral anggota polri yang menjunjung tinggi landasan ideologis dan konstitusional negara republik indonesia yaitu pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga, etika kelembagaan, yaitu merupakan sikap moral anggota Polri terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut di junjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya. Keempat, etika dalam hubungan dengan masyarakat, yaitu merupakan sikap moral anggota polri yang senantiasa memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kecarut-marutan Kepolisian dalam penegakkan hukum masih dapat di lihat meskipun isu reformasi ditubuh kepolisian telah didendangkan. Sayang, hal itu masih sebatas wacana juga. Ini terlihat dari pembebasan Gayus ke pulau Bali. Untuk sebuah skandal
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
21
Apa Kabar Polisi
yang menjadi perhatian publik, kehadiran Gayus di Bali adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Sehingga dari situ dapat dikatakan bahwa semangat melindungi korps (esprit de corps) di maknai dengan cara yang keliru. Padahal, bila mau menyelamatkan korps, semua yang terlibat dalam pelarian Gayus harus dihukum. Demikian halnya dengan kasus simulator SIM yang melibatkan petinggi Kepolisian, Irjen Pol Djoko Susilo.
Publik Butuh Reformasi, Bukan Janji Sederet anomali ditubuh Kepolisian, sebagaimana kasus-kasus yang terjadi selama ini, membuat citra lembaga ini semakin buruk di mata publik. Asumsi ini bukan saja muncul dari publik, akan tetapi para pengamat, bahkan dari pihak Kepolisian pun mengatakan hal yang sama. Mereka memang mengakui, di Kepolisian banyak masalah seperti korupsi dan sejenisnya. Seperti yang dilontarkan Nanan Sukarna, Wakil kepala Kepolisian RI, dalam Seminar Nasional Komisi Kejaksaan, di Hotel Atlet Century, Kamis, 11 Oktober 2012, seprti yang dilansir oleh tempo.co Nanan mengakui dan membenarkan, ada praktek korupsi di lembaga Kepolisian. Ada beberapa alasan, mengapa kemudian terjadi korupsi di lembaga terse-
Alasan yang lain adalah ketidakberanian bawahan menolak praktek korupsi dan pengaruh untuk terlibat tindakan itu. Lagi-lagi Nanan jujur pada kenyataan, bahwa Polisi memang tidak lepas pada praktek korupsi. Mereka dihadapkan pada kenyataan sulit untuk tidak menerima suap. Ini sebenarnya berhubungan dengan moralitas dan ketidaktegasan pimpinan yang membiarkan praktek ini yang kemudian menjadi tradisi. Satu hal yang lepas di singgung Nanan adalah proses untuk masuk menjadi anggota Polisi yang berbiaya tinggi. Praktek ini sebenarnya merupakan pembuka jalan bagi Polisi untuk melakukan tindakan korupsi. Dengan kegamangan seperti ini, maka reformasi atau upaya perbaikan di tubuh Kepolisian menjadi sesuatu yang penting untuk segera dilakukan. Reformasi pada tatanan kepemimpinan, baik itu pada level atas (Kapolri) sampai pada level bawah (Kapolda dan seterusnya). Reformasi yang dimaksud, tentu saja tidak semata pergantian orang. Tapi yang paling terpenting adalah menghadirkan
SOROTAN TAJAM BAGI LEMBAGA KEPOLISIAN but. Alasan pertama karena masalah kecilnya gaji. Menurutnya, masalah gaji itu memang menjadi salah satu kesulitan dalam pemberantasan korupsi. “Dikatakan jangan korupsi, tapi bagaimana kalau gajinya tidak cukup untuk menyekolahkan anak?” kata Nanan. Alasan lain adalah pengaruh ketidaktegasan pimpinannya. Sudah selayaknya, pimpinan harus berintegritas, tauladan, anti gratifikasi, dan menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme.
22
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
mindset institusi kepemimpinan Kepolisian RI yang lebih demokratis, berbasis HAM, dan memiliki agenda reformasi Kepolisian yang terukur. Sudah selayaknya reformasi pada level kepemimpinan atau komando Kepolisian lebih berbasis kepada blue print (agenda kerja) yang bisa dipertanggung-
Apa Kabar Polisi
jawabkan. Setiap komando satuan kerja sudah selayaknya memiliki agenda kerja transparan, sehingga publik bisa terlibat mengontrol target dan capaian selama masa jabatan. Dengan agenda kerja terukur dan transparan, maka konsistensi kinerja juga akan lebih dimungkinkan, karena tidak terganggu dengan mutasi komando. Dengan sistem demikian, para pimpinan komando satuan, selain menjalankan pertanggung jawaban vertikal kepada komando di atasnya, juga harus melakukan pertanggung jawaban horisontal kepada publik. Kepolisian juga diharapkan membuat dan mengembangkan sistem reward dan punishment kepada oknum Polisi. *** Dalam kehidupan ini, perubahan adalah sesuatu yang tak mungkin dihindari. Dapat dikatakan, bahwa semua hal di dunia ini pada hakekatnya memang selalu berubah. Salah satu spektrum perubahan yang penting untuk disikapi adalah perubahan masyarakat (social change). Salah
hidupan yang terbaik dan paling tepat untuk komunitas masyarakat tersebut. Dalam konteks ini, perubahan masyarakat merupakan suatu pergantian atau modifikasi pola kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor penyebab perubahan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar kehidupan masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, merebaknya fenomena supremasi hukum, HAM, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi maupun akuntabilitas, telah memicu derasnya perubahan dalam masyarakat. Hal ini kemudian melahirkan paradigma baru bagi masyarakat dalam memandang lembaga pemerintahan. Kondisi ini memicu tuntutan terhadap fungsi lembaga pemerintahan, yang lebih akuntabel, transparan, dan berorientasi terhadap pelayanan masyarakat. Gareth Morgan pada tahun 2006 mengungkapkan, teori kontijensi organisasi (contingency theory of organization) yang menyimpulkan bahwa organisasi adalah suatu sistem terbuka. Ada interaksi antara komponen internal organisasi dengan lingkungan eksternal (yang juga sering disebut dengan lingkungan stratejik) yang sangat menentukan kesuksesan organisasi tersebut untuk mencapai tujuannya. Jika terjadi ketidaksesuaian (gap) antara kondisi komponen internal dengan tuntutan eksternal, dan jika dibiarkan, akan menyebab-
Masyarakat yang terus berubah memang membutuhkan pelayanan prima dari institusi Kepolisian. Pelayanan prima itu hanya bisa dilakukan, jika Polisi mampu menangkap, membaca, dan menafsirkan kebutuhan masyarakat yang dilayani. satu teori perubahan masyarakat yang sangat popular adalah teori modernisasi masyarakat dan perubahan sosial yang digagas oleh Hans Haferkamp dan Neil J. Smelser, pada tahun 1992. Intinya, suatu masyarakat akan mencapai situasi modern, yaitu sejahtera lahir dan batin, apabila masyarakat itu mampu mengubah dirinya sendiri untuk mencari pola ke-
kan fungsi dan peran organisasi tersebut diambil alih oleh organisasi lain. Misalnya, jika Polisi tidak sanggup bertindak tegas terhadap penyebaran minuman keras illegal, prostitusi, perjudian, dan sebagainya, maka fungsi dan peran penindakan akan diambil alih oleh organisasi lain, misalnya organisasi massa, yang bisa bertindak anarkis di luar koridor hukum. Dengan demikian, ketidaksesuaian ini harus ditu-
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
23
Apa Kabar Polisi
tup dengan cara memperbaiki komponen internal organisasi, dengan melakukan manajemen perubahan atau reformasi. Inilah yang menjadi dasar pemikiran disusunnya road map untuk revitalisasi ini, yaitu untuk memperbaiki komponen internal Polri untuk mampu mengikuti tuntutan perkembangan lingkungan stratejik dan tantangan tugas yang semakin kompleks. Masyarakat yang terus berubah memang membutuhkan pelayanan prima dari institusi Kepolisian. Pelayanan prima itu hanya bisa dilakukan, jika Polisi mampu menangkap, membaca, dan menafsirkan kebutuhan masyarakat yang dilayani. Dalam tataran ini, Polisi tidak boleh bersikap eksklusif yang memisahkan atau mengalienasi dirinya. Masyarakat mengidam-idamkan lahirnya Polisi yang gigih membentuk dirinya menjadi pembaharu. Bukan sekadar teguh menerapkan hukum sesuai dengan das sollen-nya, tetapi juga menjadikan hukum sebagai ‘investasi edukasi’ yang bisa mendidik dan mencerahkan masyarakat. Perkembangan berbagai spektrum kejahatan yang begitu pesat, juga membutuhkan jawaban cepat, kemampuan prima, dan keberanian memutuskan, tanpa terpaku pada regulasi birokrasi berbasis ‘meminta dan menunggu petunjuk’. Jika regulasi semacam ini yang lebih mengemuka, tidak salah jika muncul stigma publik yang menempatkan Polisi sebagai subyek hukum yang terkesan selalu tertinggal dengan penjahat atau kejahatan itu sendiri. Artinya tantangan Polri ke depan bukan hanya menghadapi berbagai gangguan, ancaman keamanan, kejahatan konvensional, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan transnasional. Tetapi, juga bagaimana institusi ini mampu menghapus potret buram dan membangun citra diri yang baik, sehingga akan menguatkan peran dan fungsinya sebagai penyelenggara fungsi Kepolisian. Dengan kata lain, Polisi harus mampu terus meningkatkan kredibilitas dan kapabilitasnya, sehingga menjadi handal dan profesional dalam menjalankan tugasnya menghadapi berbagai perubahan dan tantangan, terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa Polisi adalah etalase (showcase) bagi perubahan di masyarakat. Apakah suatu pemerintahan peka terhadap perubahan, dalam hal ini tuntutan reformasi, dapat dilihat dari perubahan dan penampilan Polisinya. Memang, setiap terjadi perubahan di masyarakat, Polisilah yang pertama kali terkena imbasnya dan menjadi etalase atau parameter dari perubahan itu. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya jika Polisi harus selalu berada satu langkah di depan perubahan masyarakatnya.
24
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Penyalahgunaan wewenang kerap menimpa polisi. Kekuasaan yang amat besar bisa dengan mudah disalahgunakan. Karena itu butuh pengawasan yang ekstra bagaimana polisi bertindak, bertugas dan mendasarkan setiap tindakanya sesuai dengan koridor hukum. Di Indonesia, setelah reformasi telah terbentuk komisi-komisi pengawasan terhadap aparat negara, di antaranya adalah Komisi Polisi Nasional (Kompolnas). Berikut adalah petikan wawacara Pledoi dengan Enny Soeprapto, salah seorang Komisioner Komnas HAM periode 2002-2007.
INSTITUSI KEPOLISIAN
HARUS BERBENAH Saat inikan masa reformasi, dimana kinerja penegak hukum termasuk kepolisian harus diawasi. Pandangan Anda bagaimana ? Ya saat ini kan kita masih dalam era transisi dari paradigma lama yang tercampur antara aparat pertahanan keamanan dengan paradigma kepolisian yang sipil. Itu berlangsung selama selama 30 tahun. Paradigma baru kepolisian baru berjalan setelah adanya Undang-Undang kepolisian tahun 2002. Jadi baru berjalan kurang lebih 10 tahun. Di samping itu, institusi Polri juga dihadapkan dengan kebutuhan personel. Polri harus meningkatkan jumlah anggotanya dalam waktu yang dekat. Kebutuhannya sangat tinggi hingga sampai kerata-rataan yang wajar antara satu polisi untuk beberapa orang warga negara. Karena itu yang terjadi adalah keperluan untuk pendidikan kilat dan perekrutan kilat. Sudah tentu dalam proses itu ada kekurangan-kekurangan. Pendidikan Polisi pun terlalu pendek. Masalahnya, polisi apapun tugasnya, dimana pun dia bertugas nantinya, dia harus mengikuti pendidi-
Oleh:
M. Syafi’e
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
25
Wawancara kan dan pelatihan hukum. Padahal belajar hukum itu tidak bisa dalam enam bulan, dan pelajari dalam tempo yang singkat. Terkait dengan transisi itu, pengawasan terhadap tugas polisi itu harus kuat. Di samping itu, pendidikan polisi harus dibenahi, agar paradigma polisi betul-betul menjadi pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. Materi tentang prinsip-prinsip HAM penting untuk juga diajarkan, biar mereka tidak lalai terhadap tanggungjawabnya.
Bagaimana dengan keterlibatan masyarakat sipil ? Saya mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan pelaksanaan tugas kepolisian. Karena bagi saya, masyarakat sipil adalah orang yang paling dekat dengan para korban. Itu tidak bisa disangkal. Para korban itu merasa lebih nyaman untuk berhubungan dengan masyarakat sipil karena biasanya tidak terlalu formal, dan kapan saja bisa. Sementara lembaga-lembaga negara itu sukanya formal. Dan saya kira, tugas perguruan tinggi adalah mengadvokasi sektor pendidikan di tubuh kepolisian.
Apa pandangan Anda terkait pendidikan kepolisian saat ini ? Saya beberapa kali diundang menjadi narasumber di sekolah staf Sespim. Sespim itu dari perwira pertama, lalu menjadi perwira menengah, dan yang tertinggi itu jadi Jendral. Itu saya tidak lihat dalam daftar narasumber yang berasal dari perguruan tinggi. Apalagi kalangan yang mewakili masyarakat sipil, belum bisa masuk. Keterlibatan perguruan tinggi dan masyarakat sipil saya kira sangat penting karena disitu landasan teoritik tentang tugas dan basis HAM bisa terdiskusikan.
Untuk mengurangi penyalagunaan wewenang di kepolisian, apakah juga perlu didorong lembagalembaga pengaduan ? Pertama, Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) itukan lemah sekali. Itukan karena pengawasannya bersifat internal. Tentu tidak mungkin bebas dan independen. Kalau toh Komisi itu menyampaikan
26
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
rekomendasi, faktanya tidak digubris. Kalau memang serius ya harus serius, Komisi itu harus dibuat independen dan tidak berada di di lingkungan kepolisian. Fakta matinya lembaga pengawasan itu juga terjadi Komisi Kejaksaan, itu kan sama saja dengan inspektorat.
Bagaimana komentar Anda terkait lembaga pengaduan saat ini ? Semuanya bermasalah. Sekarang, negara telah membentuk beberapa Komisi, diantaranya Komnas HAM, Ombudsman, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan beberapa lainnya. Komnas Perempuan itu dibentuk dengan Keppres, itu kalau menerima pengaduan tidak bisa menindak lanjuti sendiri karena tidak memiliki kewenangan kuasi yuridis. Seseorang kalau mengadu biasanya dirujukkan dan diminta agar ke KOMNAS HAM atau lembaga-lembaga yang melakukan pendampingan seperti LBH, Kontras, dan lain-lain. Itu juga banyak terjadi di Komisi-Komisi yang lain. Jadi sangat penting untuk diperbaiki lagi.
Selain pengawasan, apalagi yang harus didorong sehingga penyalahgunaan oleh polisi bisa berkurang? Memang harus ada tindakan prepentif dan refresif. Kita harus lihat polisi itu berada di barisan paling depan dalam menghadapi persoalan publik. Saya tidak tau ada berapa polsek se-Indonesia. SoaMereka. Kalau kita berkunjung di Polsek yang ada di daerah terpencil, tidak usah jauh-jauh, misal di Lampung saja itu siapa yang mengawasi kasuskasus pencurian disana? Apalagi dengan yang ada di Pedalaman Papua? Itu harus jelas penanggungjawabnya. Lalu, tindakan preventifnya juga harus ditingkatkan. Pendidikan polisi harus digalakkan di Polda-Polda, biar secara kognisi bisa bertanggungjawab dan memiliki pengetahuan perihal hak asasi manusia dan bagaimana menangani persoalan persoalan sosial yang terus berkembang.
Institusi Berpayung Pasal,
Masih Ada Pelanggaran
P
agi itu, ruangan PROPAM Polresta Yogyakarta belum begitu ramai. Saat itu masih pukul 8.30 pagi. Para anggota Polisi memang belum selesai melaksanakan apel. Saya menyusuri ruangan yang tak begitu besar, namun cukup menampung beberapa anggota PROPAM ini. Janji bertemu dengan KASI PROPAM memang sudah dibuat 2 minggu yang lalu. Seperti layaknya insititusi yang penuh dengan kedisiplinan, proses menembus bagian PROPAM ini juga tak begitu mudah. Saya harus balik 3 kali hanya untuk mengantar surat, membuat janji, menunggu konfirmasi janji, hingga bisa bertemu, namun hanya meninggalkan secarik catatan pertanyaan. Seperti biasa, disuruh kembali lagi setelah dihubungi. Dua minggu terhitung sejak detik itu, saya mendapat kepastian.
Oleh:
Intan Pratiwi*
Tak banyak yang bisa diobrolkan oleh KASI PROPAM hari itu, saya langsung diketemukan dengan salah satu staffnya, sedangkan Pardiyana, KASI PROPAM masih sibuk dengan kegiatannya. Sofyan namanya, menyambut saya dengan senyum hangat dan ramah. “Oh, mbaknya yang kemarin. Ya, tunggu sebentar ya mbak? Saya ambilkan datanya,” katanya ramah. Sembari menunggu Bripka Sofyan menyiapkan data yang saya minta. Saya memotret beberapa sisi ruangan PROPAM ini. Setelah beberapa take saya ambil, seiring dengan kedatangan Bripka Sofyan kehadapan saya dengan membawa map berwarna kuning berisi beberapa lembar jawaban dari outline yang saya titipkan, 2 minggu lalu. Setelah membacanya secara skiping, benar saja. Masih ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab di tulisan tersebut. Ya, tentang terminologi kesalahan, juga soal profil Provost. Sesungguhnya data tersebut tak banyak saya singgung dalam tulisan kali ini. Inspirasi saya muncul ketika satu pertanyaan saya tentang terminologi kesalahan oknum Polisi tak mampu tergambarkan dari secarik kertas dari PROPAM tersebut. “Soal terminologi kesalahan, nggak bisa rigid dipaparkan, mbak. Undang-undangnya saja di buku ini,” Bripka Sofyan langsung melangsurkan buku tebal berwarna biru. Tebalnya menyerupai KBBI. Buku yang berisi 7 peraturan yang menga-
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
27
Opini tur tindak tanduk anggota Polisi. Termasuk KEP, juga beberapa undang undang lain. Membicarakan tentang penyalahgunaan wewenang Polisi memang tak kunjung usai, sebelum reformasi di tubuh Kepolisian dilakukan. Setidaknya, itu salah satu judul e-book yang saya baca. Judulnya, ‘Kado Kontras Untuk POLRI Bhayangkara, Dalam Rangka HUT POLRI yang ke-66’. Dalam e-book tersebut banyak yang dituturkan. Salah satunya, tentang banyaknya penyalahgunaan dalam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh oknum Polisi. Hingga saya menarik beberapa kesimpulan. Banyak hal yang semestinya mampu dirubah dari paradigma lama soal Polisi dibenak masyarakat. Hal ini juga tentunya harus dibarengi dengan perubahan perilaku dari anggota Polisi itu sendiri. Reformasi Kepolisian bukan lagi isapan jempol. Indonesia tetap membutuhkan badan penegak hukum sebagai stabilitas negara. Namun, badan penegak hukum ini juga semestinya mampu memposisikan dirinya sebagai wada institusi yang arif dan ramah terhadap masyarakat. Paradigma militeristik masih muncul. Hal ini melekat ditubuh Polisi karena manisnya romantisme sejarah masa lalu. Pasca reformasi, ternyata belum banyak membawa perubahan di tubuh POLRI sendiri. Sifat militeristik yang disematkan secara tersirat ditubuh Polisi menjadikan institusi POLRI saat ini menjadi institusi yang ‘menakutkan bagi masyarakat’. Tentu hal ini benar-benar dirasakan oleh banyak warga Indonesia pada khususnya. Sudah banyak data dan laporan warga pada pihak pengawas swasta, seperti LBH, ICW, KONTRAS, juga LSM lain yang mendapati laporan warga tentang prilaku semena-mena anggota Polisi. Hal ini menjadi sangat rancu, ketika institusi Polisi yang sadar hukum, dan dipayungi oleh banyak pasal, juga tata aturan kerja yang seabrek. Masih saja terdapat praktik kecurangan di dalamnya. Untuk membicarakan soal kode etik saja, ada 6 peraturan yang memayungi. PPRI NO.1/2003 Tentang Pemberhentian anggota Polri, PPRI NO.2/2003 Tentang Peraturan Disiplin POLRI, PPRI NO.3/2003 Tentang Laks. Teknis Institusi Peradilan, KEP/42/IX/2004 tentang Atasan yang Berhak Menghukum, KEP/43/IX/2004 Tentang Cara Penyelesaian Disiplin. Juga yang paling general, yang mestinya menjadi pegangan anggota Polisi, yaitu PP KAPOLRI NO.7/2006 Tentang Kode Etik Profesi Polri. Dalam peraturan diatas, diatur dengan sangat jelas bagaimana seharusnya perilaku Polisi saat berhadapan dengan masyarakat. Namun, selama ini, semua itu hanya matang dalam tataran peraturan. Implementasinya masih sangat rendah.
28
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Paradigma militeristik masih muncul. Hal ini melekat ditubuh Polisi karena manisnya romantisme sejarah masa lalu. Pasca reformasi, ternyata belum banyak membawa perubahan di tubuh POLRI sendiri. Sifat militeristik yang disematkan secara tersirat ditubuh Polisi menjadikan institusi POLRI saat ini menjadi institusi yang ‘menakutkan bagi masyarakat’.
Opini Tindakan
Jumlah
Penembakan dan pembunuahan diluar proses hukum
39
Penyiksaan
60
Penganiayaan
50
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang
24
Intimidasi
30
Bentrokan TNI Polri
8
Pembiaran tindakan kekerasan
10 Total jumlah
221
Data yang dihimpun Kontras sepanjang Juni 2011 hingga Juni 2012, tercatat masih ada 221 penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum Polisi dalam bentuk kekerasan juga tindakan represif.
Waktu
Jumlah Laki-Laki
... *Reporter Majalah Pledoi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Penggiat Forum Diskusi Mahasiswa Peduli Gender (Fodikma-Gender)
Korban Perempuan Kelompok
Juli
15
24
2
-
Agustus
15
57
-
-
September
5
15
1
-
Oktober
11
48
-
-
November
13
17
1
3
Desember
2
5
-
-
Januari
10
14
-
-
Februari
22
25
-
5
Maret
19
22
1
3
April
32
29
6
4
Mei
25
31
-
8
Juni
18
22
-
5
Total
187
309
11
30
Semestinya memang kekerasan tak lagi terjadi di tanah yang subur ini. Kita tak hendak mencari siapa yang salah. Tak perlu juga menghakimi tersangka dengan penuh dendam. Karena, apabila penuh dendam juga amarah, tak ayal menyamakan diri ini sama seperti apa yang kita tolak selama ini. Mungkin, hati bangsa kudu berbicara lantang tentang cita-citanya, mungkin kita harus meneriakan lagi kisah perjuangan para pahlawan dalam merebut kedaulatan ini. Agar disetiap benak, terlebih penting hati anak bangsa ini bisa lebih peduli dengan keadaan bangsa. Bangsa ini sudah cukup terpuruk dengan kemiskinan. Jangan perparah dengan tidak adanya payung hukum bagi mereka yang lemah. Jangan perparah keadaan dengan menjadi represif di tanah air ini.
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
29
Opini
PENGUSAH MISKIN KORBAN REKAYASA S
Oleh :
Sumiardi Sekjen Jaringan Pemantau Polisi (JPP) DIY dan JATENG
30
PLEDOI
ungguh tragis nasip si tukang cuci yang semula ingin mengembangkan usaha loundrinya dan berharap mendapatkan keuntungan untuk biaya hidup keluarganya, berawal dari seorang pelanggan yang tidak mau membayar uang tagihan terhadapnya, tak disangka-sangka proses penagiahan yang dilakukan akan menjadi masalah di kemudian hari hingga menghantarkan dirinya dan seorang pelanggan lainnya keruang tahanan, tentu bukan atas kesalahan dirinya sendiri dalam menagih hutang terhadap seorang pelanggan melainkan akibat prilaku penyidik polisi yang mecoba memanfaatkan kondisi tersebut menjadi lahan untuk mendapat uang dari hasil penyelidikannya itu di kantornya (pemerasan), atas tindakan polisi buruk tersebut terhadap seseorang yang di sangkakan melakukan tindak pidana, seolah menambah daftar prilaku buruk kepolisian di Indonesia dalam menyelesaikan kasus-kasus atau perkara yang di tanganinya, terlebih apabila seorang yang di sangkakan adalah bukan pelaku yang sesungguhnya (salah tangkap), atau dalam sangkaan tersebut sesungguhnya tidak ada jenis pelanggaran pidana yang dilakukan (salah pasal), atau bahkan apabila proses dalam menegakan hukum ternyata juga aparat hukum melanggar hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia (kejahatan NEGARA). Adalah perempuan bernama Rinda Herawati seorang perempuan berusia 32 tahun, merupakan warga Mlati kabupaten Sleman, dan seorang laki-laki bernama Sutrino berusia 38 tahun (pelanggan lainnya) keduan warga negara tersebut adalah menjadi salah satu korban pemerasan dan rekayasa hukum oleh penyidik polisi dalam catatan akhir tahun ini.
Edisi November-Desember 2012
HA
Opini Belum juga lupa publik di gemparkan dengan kasus kematian seorang pelajar bernama Rezza korban penganiyayaan oleh oknum polisi yang baru beberapa waktu lalu di kabupaten gunung kidul yang di akibatkan tingkah laku aparat kepolisian tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, atau kasus-kasus yang di lakukan oleh anggota polisi di berbagai daerah di Indonesia, dan kini Daerah IstimewaYogyakarta kembali di gemparkan dengan tindakan aparat hukum melakukan pemerasan yang di lakukan oleh anggota Polsek Mlati di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Dalam kasus pemerasan yang baru beberapa waktu yang lalu terjadi bermula pada tanggal 28 Oktober 2012 pukul 12.00 WIB, Perempuan bernama Rindra dan Sutrisno yang keduanya adalah warga Mlati kabupaten Sleman kedatangan 4 orang anggota polisi Reskrim yang berasal dari Polsek Mlati dan kemudian tiba-tiba membawanya ke kantor Polsek Mlati Sleman dengan alasan agar menjelaskan persoalan yang dialaminya dengan seorang perempuan yang bernamaYuli Devianti (seorang pelanggan) terkait laporan atas adanya dugaan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan yang dilakukannya, akan tetapi tindakan polisi tersebut di lakukan tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan ataupun surat tugas lainnya dari instasi kepolisian secara resmi, yang berujung pada pemerasan terhadap dirinya yang dilakukan oleh anggota polisi, setiba di kantor polsek kemudian dirinya diinterogasi dan di tahan tanpa ada pendampingan hukum, dan juga tidak di perkenankan menghubungi piha keluarga dan tidak pula di perkenankan
membawa peralatan untuk beribadah didalam tahanan. Melihat kasus singkat diatas Pertanyaannya adalah; Sudahkah polisi bertindak secara profesional sebagai aparat hukum yang melindungi, mengayomi, melayani, mengakkan hukum dan menghormati Hak Asasi Manusia?, dan sudahkah polisi menegakkan keadilan bagi masyarakat? Sesuai dengan cita-cita hukum itu snediri. Dalam keterangannya di kantor LBH Yogyakarta menyatakan “Kami dipaksa mengakui penganiayaan yang tidak kami lakukan,”. Ia menyatakan, saat diinterogasi polisi, ia tidak boleh berkomunikasi dengan keluarga. Telepon seluler disita dan tidak didampingi pengacara atau yang tahu hukum. Sedangkan Saat polisi menginterogasi terhadap Sutrisno, pistol diarahkan ke perutnya di bagian atas. Dalam interogasi tersebut Rinda mengatakan, ia memang berkasus dengan Yuli, seorang warga Mlati, sebagai pelanggan usaha, Tetapi hanya sebatas Yuli tidak membayar biaya cucian sebesar Rp 213.000., Memang ia mengakui ada percekcokan mulut, tetapi tidak ada penganiayaan yang dilakukan. Saat itu pula Rinda ditemani oleh salah seorang pelanggan bernama Sutrisno dan salah seorang pegawainya. Alih-alih mendapatkan uang tagihan biaya cucian, Rinda justru dilaporkan ke polisi Sektor Mlati, Sleman. Akibatnya, Rinda pada 28 Oktober diciduk polisi dan diinterogasi soal penganiayaan. Ia dipaksa oleh penyidik untuk mengakui menganiaya Yuli. Ia ngotot tidak menganiayanya. Lalu ia memberikan saksi, yaitu Sutrisno. Lalu Sutrisnopun ikut diciduk polisi untuk diinterogasi tanpa melalui prosedur yang benar menurut UndangUndang. Sewaktu diperiksa penyidik polsek mlati Ia dipaksa penyidik yang bernama Brigadir Erdan Sunaryo, Brigadir Satu Ginanjar Satria A., dan Brigadir Juwanto. Satu lagi seorang penyidik yang ia lupa namanya. Rinda dipaksa agar menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa Sutrisno yang menganiaya Yuli. Begitu juga sebaliknya Sutrisno mendapatkan intimidasi serta paksaan untuk mengakui bahwa Rinda telah melakukan penganiayaan terhadap Yuli. Saat di interogasi, sepucuk PISTOL ditodongkan ke perut bagian atas Trisno, oleh karenanya mau tidak mau Sutrisnopun mengakui telah melakukan penganiyayan terhadpa Yuli meski tidak melakukan, interogasi dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan wajar menurut aturan perundang-undangan adalah suatu kejahatan yang tidak dapat di tolelir terlebih dilakukan oleh aparat hukum dengan alasan menegakan hukum,
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
31
Opini hal tersebut juga sangatlah bertentangan dengan prinsip hukum “Right to remain silent/berhak untuk diam” dengan kata lain memmberikan keterangan yang bebas termasuk didalamnya tersangka tidak menjawab dari pertanyaan penyidik adalah hak asasi yang di lindungi undang-undang, hal tersebut tertuang dalam Pasal 52 KUHAP yang menyatakan ; “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa behak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim” Menurut keterangannya setelah kasus itu bergulir, disepakati penyelesaian perkara tersebut dihadapan para penyidik Mapolsek Mlati atas arahan peyidik bahwa ada uang damai antara dirinya dengan Yuli dan sekali gus agar perkaranya di anggap selesai agar tidak sampai pengadilan karna akan segera di tutup, jumlah uang tersebut totalnya Rp 20.000.000,.meski yang pada permintaan awalnya penyidik memintanya Rp 50.000.000,. akan tetapi pada akhirnya kesanggupan rinda hanya sebesar Rp 20.000.000,. yang dalam rincian pembagiannya Rp 10.000.000 untuk Yuli dan Rp 10.000.000 lg untuk polisi sebagai biaya menutup kasus. Dalam waktu tidak lama Uang sebesar Rp 10.000.000,.diserakan kepada Yuli yang sebelumnya tidak diperbolehkan bertatap muka langsung dengan Yuli yang bermasalah dengannya oleh penyidik polisi dengan alasan karena uang yang dibawanya kurang, uang tersebut sudah diberikan kepada Yuli yaitu pada tanggal 28 November hari itu juga setelah ada kesepakatan dan diperbolehkan menghubungi pihak keluarga dan juga Rp 5.000.000., diserahkan kepada penyidik, sedangkan sisanya baru satu bulan kedepan akan diberikan ke polisi lagi karna harus cari pinjaman kesana kemari akan tetapi ekspresi polisi tersebut marah di karenakan uang tidak sesuai dengan yang disepakati. Dalam keterangannya “Pemberian uang damai di kantor polsek, yang Rp 5000.000., saya minta waktu satu bulan,” ungkapnya. Setelah dipikir-pikir ia mengeluarkan uang sebesar Rp 15.000.000., tanpa ada penganiayaan yang dilakukan, dengan demikian kemudian ia melaporkan kasus tersebut ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan setelah laporannya tersebut ungkap salah satu anggota polisi di polda, para penyidik sudah dimintai keterangan. “Polisi lalu mengembalikan uang itu kepada Rinda dengan paksa, dulu tidak ada surat penangkapan, tetapi saat memberikan uang itu, baru diberikan. Sedangkan tanda tangan kami dipalsukan,” ungkapnya. Sementara itu dalam penahanan yang dilakkukan oleh mapolsek Mlati atas tuduhan pengeroyokan dan penganiyayaan terhadap Yuli keduanya tersangka tidak di perbolehkan membawa dan menggunakan alat komunikasi apapun untuk menghubungi pihak keluarga untuk memberitahukan bahwa meraka ada masalah di kantor polisi dan sekaligus akan meminta keluarga mencarikan uang pinjaman untuk membayar tebusan yang
32
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Rindra tidak di perbolehkan membawa mukenah atau perlengkapan ibadah lainya, padahal perlengkapan tersebut merupakan syarat utama ketika seorang muslim akan mendirikan sholat atau setidaknya aurat tertutup dalam melakukan sholat, hal tersebut ketika di konfimasai kepada pihak Mapolsek beralasan untuk menjaga dan mengatisipasi terjadinya bunuh diri oleh tersangka di dalam tahanan
Opini diminta oleh penyidik polsek, sedangkan dalam tahanan tersebut hanya di perbolehkan menggunakan pakaian seadanya tanpa di perbolehkan menggunakan celana panjang atau kain sarung untuk beribadah, sedangkan Rindra tidak di perbolehkan membawa mukenah atau perlengkapan ibadah lainya, padahal perlengkapan tersebut merupakan syarat utama ketika seorang muslim akan mendirikan sholat atau setidaknya aurat tertutup dalam melakukan sholat, hal tersebut ketika di konfimasai kepada pihak Mapolsek beralasan untuk menjaga dan mengatisipasi terjadinya bunuh diri oleh tersangka di dalam tahanan alasan tersebut tentulah masih dapat di atasi dari sisi teknis pelaksanaannya tidak sebanding bila seorang muslim harus kehilangan kewajibannya terhadap kepercayaan atau tuhannya. Lebih daripada itu dalam proses pembuatan BAP kedua tersangka tidak di diberikan hak-haknya untuk di dampingi orang yang mengerti hukum. Sedangkan disisi lain ketika pihak keluarga dengan didampingi LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum dan Jaringan Pemantau Polisi (JPP) untuk memberikan dukungan moril keduanya yang ingin menanyakan perkembangan kasus kepada pihak Mapolsek sangat berbelitbelit seoalah menganggap remeh terhadap pihak keluarga, dan hampir tidak seorangpun anggota polsek yang bersedia menemui anggota keluarga dengan alasan yang tidak rasional yaitu sejumlah peniydik tidak ada di kantor karena sedang melakukan kegiatan yang hemat pihak kuasa hukum itu tidak begitu penting di bandingkan kunjungan keluarga Rindra dan Sutrisno, kemu-
dian setelah dilakukan kordinasi dalam waktu lebih dari 1 jam pihak kluarga kemudian diterima sebagai pengunjung dan tidak mendapatkan penjelasan yang di inginkan pihak keluarga terkait perkembangan kasus nya dan itupun Rindra sudah dipindahkan penahannnya ke polsek Sleman sedangkan Sutrisno masih tetap di tahanan polsek Mlati.
Profesional Hanya Mimpi - Melanggar HAM Itu Tradisi Salah satu kasus yang terjadi di atas tentunya mengetuk rasa keadilan dan kemanusiaan kita dalam penegakan hukum yang jauh dari profesionalme para aparat hukumnya terutama penyidik polsek Mlati kabupaten Sleman Yogyakarta. Dalam hal tugas dan kewenangan polisi adalah sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat serta menegakkan hukum sesuai dengan Pasal 13 huruf {b} dan {c} UU No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, merupakan dasar polisi dalam menjalankan fungsinya sebagai aparatur negara, dengan mempertimbangkan tugas dan kewengan tersebut kiranya penyidik dalam menginterogasi seseorang yang disangkakan, atau dalam menyelsaikan kasus-kasus yang terjadi di linggkungan masyarakat dapat dilakukan secara profesional berdasarkan undang-undang yang berlaku dan rasa keadilan serta mengedepankan kemanusiaan, karena keberadaan undang-undang tersebut merupakan perintah kepada institusi negara yang dijalankan oleh aparatnya, bukan sebaliknya justru menodai hukum dan keadilan dengan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan bagi masyarakat, mengintimidasi bahkan merekayasa hukum demi keuntungan pribadi. Sedangkan kasus yang terjadi di atas telah tampak jelas di hadapan kita dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik sangat bertentangan dengan hati nurani yang selayaknya menegakkan hukum dan kebenaran yang terjadi. Rindra adalah seorang yang berprofesi sebagai tukang loudry dengan kata lain dapat disebutkan sebagai pengusaha kecil yang patut mendapatkan keadilan atas kasus yang di alaminya bukan malah sebaliknya menjadi korban polisi yang dengan kewenangannya melakukan pemerasan dan merekayasa hukum dan kebenaran yang sesungguhnya. Lebih lengkap tentang tugas dan keweangan polisi dapat di lihat dalam penjelasan Pasal 13 tersebut yang menyebutkan bahwa “dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kes-
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
33
Opini usilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia”. Dengan demikian amatlah jelas aturan yang mendasari aparat hukum dalam menjalankan tugas dan kewengannya dalam undang-undang agar berjalan dengan baik karna aturan yang mendasarinya telah tertuang dalam undang-undang dan di perlengkap oleh peraturan pemerintah daitambah lagi dengan peraturan Kapolri sebagai SOP dalam menjalankan perintah undang-undang, akan tetapi dalam implementasi tentu akan terlihat jauh dari apa yang di perintahkan dalam undang-undang. Apa bila kita merujuk padas satu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja yang mengatur secara teknis tentang mekanisme dalam melakukan penyidikan termasuk tatacara penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan dan sebagainya, hak-hak tersangka tersebut amatlah jelas dilindungi dalam undang-undang ini. Seperti halnya sebagai berikaut dalam Pasal 18 ayat {1} KUHAP yang menyebutkan : “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tesangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penagkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yag dipersangkakan serta tempat ia di periksa”. Sedangkan Pasal 18 ayat {2} menyebutkan: “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud ayat {1} harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilaksanakan”. Dalam perkara di atas penyidik tidak melakukan sebagaimana perintah undang-undang yaitu dalam penangkapan tidak menunjukan surat perintah penagkapan, dan pula penyidik tidak membertahukan kepada pihak keluarga, bahkan penyidik tidak memperbolehkan tersangka menghubungi pihak keluarga dengan alansan yang tidak masuk akal yaitu karena uang yang di berikan tidak sesuai dengan yang dijanjiakan. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan Pasal 60 KUHAP yang menyebutkan; “Tersangaka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi pengguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.” Sedangkan mengenai hak tesangka dalam hal jaminan atas pendampingan hukum peyidik juga mengabakainnya setelah BAP selesai di buat oleh penyidik baru kemudian tersangka diberikan haknya tersebut untuk mencari pendampingan hukum dan itupun ketika kasus tersebut terhendus oleh media. Padahal dalam Pasal 54 KUHAP sangant jelas menyatakan bahwa ; “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat kukum selama
34
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Dengan begitu terperinci dan jelas tertuang dalam undang-undang yang mengatur bagaimana tatacara menjalankan tanggung jawab polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang yang berlaku dan begitu jelasnya pula pengaturan dan penghormatan terhadap HAM, maka tidak ada alasan bagi institusi tersebut untuk mengatakan bahwa “itu hanyalah perbuatan oknum” yang seakan dalam istilah tersebut institusi polisi tidak ada kesalahan dalam berbagai bentuk kontrofersial terhadap tanggung jawabnya di hadapan masyarakat luas.
Opini dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan”.
gadilan yang telah memperoleh kekuasan hukum tetap”.
Demikian pula hak tersangka yang dalam penahanan tidak mendapatkan haknya-haknya ketika di tahan di Malpolsek Mlati adalah hak menjalankan ibadahnya padahal dalam hak untuk menjalankan agama dan kepercayaannya telah dijamin dalam pasal 28a hingga Pasal 28i Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 E ayat {1} menyebutkan bahwa ;
“Menyebutkan bebas memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
“..Setiap orang bebas memeluk agama dan beriadat menurut agamanya...” Pasal 28 G ayat {2} UUD 1945 menyebutkan bahwa ..“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan drajat martabat manusia”.. Lebih jelas Pasal 28 I ayat {1} menjamin bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Sementara itu jaminan atas penghormatan terhadap hak asasi untuk tidak disiksa, bebas intimidasi, hak untuk mendapatkan pendaping dan bantuan hukum, hak untuk menjalankan ibadahnya telah dijamin dalam UU No.39 Thun 1999, Pasal 18 ayat{4} menyebutkan ; “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pen-
Pasal 22 ayat {1}
Lebih daripada undang-undang di atas apa bila kita merujuk pada instrumen dan piagam Internasional sebagaimana negara Indonesia merupakan bagian darinya mungkin kita akan merasa malu sebagai bangsa yang merdeka dan menjungjung tinggi HAM dan demokrasi dan negara yang dikenal dengan budayanya serta tatakramnya, tapi perlu dilihat terlebih dahulu budaya yang patut dibanggakan meliahat aparatur hukumnya yang koruptif, yang mana masih jauh idealnya sebagai aparat yang pengayom, pelindung pelayan dan penegak hukum serta menghormati HAM. Dengan begitu terperinci dan jelas tertuang dalam undang-undang yang mengatur bagaimana tatacara menjalankan tanggung jawab polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang yang berlaku dan begitu jelasnya pula pengaturan dan penghormatan terhadap HAM, maka tidak ada alasan bagi institusi tersebut untuk mengatakan bahwa “itu hanyalah perbuatan oknum” yang seakan dalam istilah tersebut institusi polisi tidak ada kesalahan dalam berbagai bentuk kontrofersial terhadap tanggung jawabnya di hadapan masyarakat luas. Kisah pemerasan yang terjadi di atas adalah menambah catatan penting bagi kita terhadap prilaku polisi kepada masyarakatsnya sendiri kekerasan, intimidasi perbuatan curang alias manipulasi dan pemerasan, melanggar hukum serta melanggar HAM seakan menjadi simbol dan tradisi yang tidak ada ujungnya terhadap institusi penegak hukum, meskipun disadari bahwa keberadaan polisi amatlah penting sebagai suatu negara untuk menjaga keutuhan suatu bangsa bukan malah sebaliknya yang dalam realitas polisi selalu menjadi hujatan dan perlawanan bagi masyarakatnya sendiri akiabat ketidak profesionalan para aparaturnya, dengan demikian tidak ada salahnya pula apabila bila dilingkungan masyarakat yang menyebutkan bahwa “sekian banyak polisi di dunia ini” tetapi “tidak ada polisi yang baik di negri ini”. Pernyataan demikan apakah dapat dibenarkan oleh fakta-fakta dilapangan? Untuk mencari kebenaranya mari kita lihat dan amati kinerja kepolisian republik Indonesia di kehidupan dan lingkungan kita masing-masing.
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
35
Opini
Bersikap Kritis terhadap
Ruu Kemanan Nasional
K
eamanan nasional merupakan kondisi dinamis bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang menjamin keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan warga negara masyarakat, dan bangsa, terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional dari segala ancaman (RUU Kamnas pasal 1 ayat 1).
Oleh
M. Fuad Hasan
Sedangkan yang dimaksud ancaman sendiri adalah upaya pekerjaan, tindakan baik dari dalam maupun dari luar negeri yang dinilai dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah, NKRI dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan (RUU Kamnas pasal 1 ayat 2). Ruang lingkup keamanan nasional meliputi kemanan insani, keamana publik, keamanan ke dalam, keamanan ke luar. Status keadaannya berkaitan dengan status hukum tata laksana pemerintahan yang berlaku. Yaitu tertib sipil, darurat sipiul, darurat militer, dan perang. Spektrum ancaman dimulai dari ancaman paling lunak sampai ancaman palig keras. Yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya. Yang menjadi sasarannya terdiri atas bangsa dan Negara, keberlangsungan pembangunan nasional, masyarakat dan insani.
... Sumber Gambar. http://militaryzone.wordpress. com
36
PLEDOI
Unsur kemanan nasional terdiri dari tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan berbagai elemen masyarakat, sesuai dengan kompetensinya yang berperan sebagai pelaksana penyelenggaraan keamanan nasional, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan penyelenggaraan keamanan dan melibatkan peran aktif penyelenggara intelijen nasional, yang bertugas mengembangkan sistem peringatan dini, sistem informasi, dan analisis untuk menentukan kemungkinan ancaman yang perlu ditindak anjuti oleh dewan keamanan nasional, guna perumusan dan strategi.
Edisi November-Desember 2012
Opini
Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan nasional meliputi tingkat nasional di tangan Presiden, tingkat strategis di tangan pemimpin kementerian, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Kepala BNBP, dan pemimpin lembaga pemerintah non Kementerian. Sedangkan tingkat operasional di tangan panglima/ komandan kesatuan gabungan terpadu. Tingkat taktis di tangan komandan satuan taktis. Pengawasan penyelenggaraan sistem keamanan nasional dilakukan secara berlapis melalui mekanisme pengawasan konsentrik, sesuai dengan kaidah pengaman demokratis yang meliputi pengawasan melekat, pengawasan ekskutif, pengawan legislatif, pengawasan publik, dan pengawasan pengguna kuasa khusus.
Cakupan RUU Kamnas Ruang lingkup Kamnas terlalu luas, yang tertera dalam RUU Kamnas seharusnya sebatas pada pengaturan tentang pertahanan dan keamanan negara dalam menghadapi ancaman dari dalam maupun dari luar guna keutuhan, kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Di dalamnya ada kerancuan, bahwa keamanan insani dan publik masih merupakan domain kemanan dalam negeri yang mungkin dapat menjadi domain kemanan negara, apabila telah menimbulkan suatu ekskalasi akibat, yang telah mengancam bangsa dan negara. Pada hakekatnya, ruang lingkum Kamnas lebih pada ancaman, yang lebih menekankan pada dalam dan luar negara yang tak lepas dari suatu kesatuan.
setiap warga negara untuk turut serta dalam pembelaan negara. Padahal, apabila materi muatannya lebih jauh dari itu. Mengenai pentingnya kemanan insani, yang di dalamnya identik dengan pemenuhan hak dasar manusia (HAM), sebetulnya lebih penting untuk ditekankan. Mestinya dicantumkan juga ketentuan yang terkait dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia warga negara seperti pasal 28 A, pasal 28 C ayat (2), pasal 28 D ayat 1, pasal 28 E, 28 F, pasal, 28 G, pasal 28 I ayat 1 dan ayat 5. Peting juga untuk mencantumkan beberapa peraturan perundangundangan terkait di luar UU pertahanan Negara, UU POLRI, dan UU TNI. Ketentuan umum dalam RUU lebih pada intelijen, dimana ketentuan umum dicantumkan secara khusus, sebagai salah satu unsur utama keamanan nasional yang sejajar dengan unsur utama lainnya, sementara unsur yang lain tidak dicantumkan posisi TNI dan POLRI. Mestinya intelijen tidak perlu dicantumkan secara khusus di dalam ketentuan undang-undang ini, karena nantinya akan diatur di dalam undang-undang intelijen negara. Disamping itu, undang-undang ini juga bukan merupakan produk hukum lex spesicialis untuk mengatur intelijen, akan tetapi lebih pada fungsi intelijen sebagai salah satu unsur utama keamanan nasional. Adanya ancaman tidak bersenjata cukup menghantui masyarakat, trauma akan kejadian di masa Orba. Dari definisi ancaman tidak bersenjata terlalu bias dan absurd. Yang tertuang dalam RUU Kamnas pasal 17 ayat 4 yang berbunyi, ketentuan mengenai bentuk ancaman bersifat potensial atau bersifat aktual sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan tersebut dapat mencampuri ranah perlindungan HAM bagi warga negara, kendati dengan dalih keamanan nasional. Melihat dari status Kamnas, tidak perlunya menentukan status tertib sipil karena kondisi tersebut merupakan kondisi yang normal dari suatu bangsa. Penekanan perlu diberikan terhadap status darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1959, meskipun telah mengatur status keamanan nasional atau yang dikenalnya dengan keadaan darurat, namun substansi undangundang tersebut penyesuaian (revisi) sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan bangsa secara kontemporer.
Jika ditilik semangat yang dikedepankan hanyalah aspek pertahanan dan keamanan negara, serta kewajiban bagi
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
37
Opini Perihal Dewan Keamanan Nasional Dewan Keamanan Nasional bertugas merumuskan ketetapan kebijakan dan strategis keamanan nasional, menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman, menetapkan unsur utama dan unsur pendukung penyelenggaraan nasonal sesuai dengan eskalasi ancaman, menyelenggarakan keamanan nasional, menelaah dan menilai resiko dari kebijakan dan strategi yang ditetapkan, dan menelaah dan menilai kemampuan dukungan sumber daya bagi penyelenggaraan keamanan nasional. Posisi Dewan Keamanan Nasional lebih identik dengan Dewan Pertimbangan Presiden. Tugas atau wewenangnya lebih ditekankan pada melakukan penilaian, pengkajian, penganalisaan, dan pengajuan rekomendasi terhadap situasi dan kondisi keamanan nasional. Penentuan keamanan nasional serta penetapan unsur utama dan unsur pendukung tetap berada di tangan Presiden. Begitulah wewenang yang mesti dijalani oleh Dewan Keamanan Nasional. Menempatkan Presiden dan Wakil Presiden sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dewan Keamanan Nasional tidaklah tepat. Presiden dan Wakil Presiden seharusnya berada di luar struktur pengurus dalam Dewan Keamanan tersebut. Seharusnya cukup di bawah Menkopolhukam, dengan jajaran Kepala Lembaga Negara terkait. Di tingkatan daerah cukup, diberikan wewenangnya kepada Kepala Daerah dan jajaran Kepala Lembaga Negara di daerah terkait. Pada ranah klausul kuasa khusus, penjelasan pasal 54 huruf e RUU Kamnas, menyebutkan bahwa kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap, dan melakukan tindakan paksa, pengawasannya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lainya. Siapakah yang dimaksud dengan unsur keamanan nasional dalam penjelasan tersebut tidak terjawab. Apakah seluruh unsur dalam keamanan nasional yang dimaksud dalam RUU tersebut memiliki seluruh kuasa khusus yang sebagaimana dimaksud? Penjelasan ini rentan disalahgunakan dan multi tafsir. Klausul unsur pendukung RUU Kamnas tidak mendefinisikan secara jelas. Unsur keamanan yang ada di tentukan dalam pasal 20 RUU tersebut meliputi unsur keamanan nasional tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan berbagai elemen masayarakat sesuai dengan kompetensinya. Sedangkan dalam pasal 35 langsung ditentukan mengenai unsur utama dan unsur pendukung, namun tidak dijelaskan mana yang menjadi unsur utama dan mana yang menjadi unsur pendukung dalam penanggulangan jenis dan bentuk ancaman. Apakah ketentuan tersebut sama dalam setiap jenis dan bentuk ancaman. Hal itu juga tidak bisa dijawab dalam RUU Kamnas tersebut.
38
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
Ramuan Menuju
MASYARAKAT TERDIDIK “Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong kebutuhan peningkatan kemampuan teknologi dan realisasi produksinya, ” Jean Francois Lyotard
D
Judul : Restorasi Pendidikan Indonesia; Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya Penerbit : Ar-Ruzz Media Yogyakarta Terbit : Pertama, 2011 Pengarang : Tim Kreatif LKM UNJ Tebal buku : 196 Halaman
Oleh:
Anik Malussolekhah
eras arus globalisasi turut mendera dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang mulanya asing dengan istilah modal, kini terbiasa dengan hal itu. Arus deras globalisasi yang meniscayakan kaburnya batas antar negara mendorong Indonesia turut berkompetisi dalam kancah global. Ikut sertanya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) membawa implikasi terhadap pendidikan. Efek nyata yang terlihat adalah Peraturan Presiden No. 7 tahun 2007, pendidikan ditetapkan sebagai badan usaha yang terbuka terhadap penanaman modal asing. Sejarah pendidikan formal Indonesia yang dimulai sejak politik etis memang menyisakan banyak problem. Sejak awal pendirian sekolah oleh kolonial memang tidak bercita-cita memajukan ilmu pengetahuan. Hanya mencetak pegawai rendahan. Model pendidikan yang hanya mencetak pegawai seperti ini kembali menjangkiti kondisi pendidikan Indonesia kini. Pragmatisme menyerang dunia pendidikan tinggi. Jurusan yang siap kerja laris bak kacang goreng. Jurusan-jurusan seperti agama, filsafat dan yang tidak siap kerja lainya sepi peminat. Sekolah-sekolah kejuruan juga banyak dibuka. Fenomena ini jelas menggambarkan bagaimana ‘pendidikan how to’ menemukan relasinya dengan arus globalisasi. Arus globalisasi mempertemukan kuasa modal dengan pendidikan. Pendidikan yang bermesraan dengan modal menumbuhkan harga yang mahal. Harga mahal inilah yang membuat pendidikan menjadi komoditi yang dikomersilkan. Ketika pendidikan menjadi komoditi yang dikomersilkan para siswa dan mahasiwa menjadi konsumen pendidikan. Posisi mereka tidak lagi subjek tapi objek. Disinilah humanisme berlangsung. Ditengah carut marut dunia pendidikan ini, muncul banyak pemikiran untuk mencari jalan keluarnya. Salah satunya adalah Tim
Edisi November-Desember 2012
PLEDOI
39
Resensi Kreatif Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (LKM UNJ). Tim kreatif LKM UNJ mencoba menyibak belukar pendidikan dengan menawarkan restorasi pendidikan Indonesia berbasis budaya. Melalui buku ini mereka menjelaskan secara sistematis kondisi pendidikan kini dan menawarkan gagasan. Maraknya buku-buku yang membedah masalah pendidikan tidak membuat buku ini latah mengikuti mainstream. Dimulai dari bab pertama yang mengupas masalah pendidikan mutakhir kemudian bab dua, menjelaskan secara historis perjalanan pendidikan Indonesia. Pada bab tiga, buku ini memberikan inspirasi pendidikan dari beberapa negara, misal Jepang, Korea, India dan Turki. Di bab empat inilah gagasan restorasi pendidikan ditawarkan. Bab pertama buku ini menjelaskan situasi mutakhir pendidikan Indonesia yang terdera arus globalisasi. Efek nyata akibat globalisasi dipaparkan menjadi beberapa judul dalam bab pertama. Pada bab dua, para penulis mengetengahkan refleksi historis perjalanan pendidikan Indonesia. Di bab dua, buku ini juga menuturkan spirit filosofis dari model darma taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Selain itu, buku ini juga menyembulkan masalah intektual yang semakin pragmatis. Misi mulia intelektual untuk mengabdi pada rakyat dengan segala pengetahuan yang dimiliki menjadi urgen ditengah situasi Indonesia kini. Pertanyaan quo vadis asketisme intektual menutup bab dua dalam buku ini. Buku ini juga menyuguhkan inspirasi model pendidikan dibeberapa negara. Misal model pendidikan “shusin” di Jepang yang dilakukan oleh para Samurai. Shusin merupakan model pendidikan moral pada era shogun Tokugawa dan restorasi Meiji menjadi contoh pertama dari bab tiga. Demam hallyu atau gelombang pop Korea dijelaskan dalam buku ini sebagai siasat glokalitas negeri ginseng. Dengan budaya lokal yang kuat, bagaimana suatu bangsa mampu melakukan diplomasi budaya dan membangun industri budaya yang kuat adalah contoh yang di kedepankan. Kemudian Turki dan India Negara yang ditawarkan buku ini untuk menjadi contoh model pendidikan Indonesia. Bab terahir memaparkan perlunya membangun karakter khas pendidikan Indonesia. Karakter ini kemudian menjadi benteng Indonesia ditengah arus deras globalisasi. Perlunya konservasi budaya bangsa lewat pendidikan juga dipaparkan dalam bab empat. Budaya bangsa melalui pendidikan seni budaya menjadi hal yang penting dalam suaka kultural bangsa. Restorasi pendidikan menuju masyarakat literasi menjadi penutup bab ini. Bab terahir buku ini menjadi penting karena ramuan menuju masyarakat terdidik ada dalam bab terahir. Pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan menjadi hal urgen dilakukan. Nilai
40
PLEDOI
Edisi November-Desember 2012
pendidikan karakter penting ditanamkan untuk membentuk manusia Indonesia yang utuh. Budaya sebagai harta yang tak ternilai harganya harus diapresiasi dalam dunia pendidikan. Melalui pendidikan seni budaya dalam setiap jenjang sekolah, pendidikan terluruskan tidak hanya memenuhi permintaan pasar tetapi membangun kearifan local dan karakter lokal dalam dinamika global. Budaya masyarakat literasi yang mampu mengartikulasikan segala fenomena sosial, teknologi dan berfikir kritis menjadi keharusan untuk membangun bangsa yang beradab dan memimpin dalam dinamika global. Langkah stategis menuju masyarakat literasi yang ‘melek wacana’ dan ‘melek kultural’ menjadi pamungkas dalam buku ini. Tiada gading yang tak retak. Adigium yang terkenal itu juga berlaku untuk buku ini. Buku yang ditulis keroyokan oleh tim kreatif LKM UNJ ini terlihat singkat dalam memaparkan gagasannya. Kurang elaboratif dalam penulisan, sehingga tidak mendalam dalam memaparkan gagasan ataupun permasalahan. Selain itu tiga ide restorasi pendidikan sepertinya porsinya perlu ditambah agar semakin banyak gagasan yang ditelurkan. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan buku ini perlu diapreasiasi. Buku yang tidak begitu tebal dan tak perlu mengeryitkan dahi saat membacanya pantas Anda masukan dalam daftar koleksi buku anda.