Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Suhu dan Salinitas yang Baik bagi Kelulushidupan Larva Zoea Kepiting Bakau Scylla spp. Lokal pada Sistem Pemeliharaan Terkontrol E. Jamal, B. J. Pattiasina, A. Y. Pattinasarany, C. Soamolle dan E. Tomu Aquaculture Study Program Faculty of Fisheries dan Marine Science Pattimura University, Poka-Campus 97234 email:
[email protected]/
[email protected]
Abstract E. Jamal, B. J. Pattiasina, A. Y. Pattinasarany, C. Soamolle and E. Tomu. 2013. Suitable temperature and salinity for survival rate of local Scylla spp. mud crab under controlled rearing system. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. One of the most factors that caused low survival of mud crab Scylla spp. larvae when reared under controlled condition in seeding production stage is water quality. This research was focused on determining the suitable temperature and salinity of rearing condition for larvae survival of mud crab S. tranquebarica and S. serrata. Larvae of both Scylla spp. were produced by breeder where collected from Ambon Island waters. Their gonad was matured and incubated in laboratory. Fourty individu of larvae were reared inside six replicated bottle with each volume was about 40 mL, and then were placed into six treating aquarium with equipped by water circulation just under 20%. The temperatures treatment comprised 27,83±0,78°C; 29,78±1,0°C; 30±0,59°C for S. transquberica and 27,17±0,72°C; 28,42±0,72°C; 30,25±0,45°C for S. serrata meanwhile salinity treatment were 31, 33 and 34 ppt. The result showed that the range of temperature 28-30°C and salinity 31 ppt was suitable for zoea larvae survival rate of S. tranqueberica and S. serrata. Thus in high fluctuated temperature, the survival rate of zoea larvae zoea of both Scylla species were higher in optimum salinity (31 ppt) compare to high salinity. However the resistance of zoea larvae of S. tranquebarica was higher than zoea larva of S. serrata on different temperature and salinity level. This finding could be considered for the seeding production technology of local Scylla spp. in future. Keywords: Mud crab; Salinity; Scylla spp.; Survival rate; Temperature; Zoea larvae
Abstrak Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kelulushidupan larva kepiting bakau Scylla spp. pada produksi benih secara terkontrol adalah kondisi kualitas air media pemeliharaan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suhu dan salinitas yang baik bagi kelulushidupan larva kepiting bakau Scylla spp. lokal pada pemeliharaan terkontrol. Larva dihasilkan dari induk kepiting bakau S. tranqueberica dan S. serrata yang berasal dari perairan Pulau Ambon setelah gonad dimatangkan dan diinkubasi di laboratorium. Larva dipelihara di dalam enam buah botol bervolume 40 mL (ulangan) yang ditempatkan ke dalam enam buah akuarium perlakuan yang dilengkapi dengan sistem pergantian air sebesar 30%. Suhu rata-rata±SD perlakuan tercatat terdiri atas S. transquberica meliputi 27,83±0,78°C; 29,78±1,0°C dan 30±0,59°C dan S. serrata 27,17±0,72°C; 28,42±0,72°C dan 30,25±0,45°C, sedangkan salinitas terdiri atas 31, 33 dan 34 ppt. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelulushidupan larva zoea S. tranqueberica dan S. serrata lebih tinggi pada kisaran suhu °C dan salinitas 31 ppt bahkan pada kondisi shock fluktuasi suhu yang besar, kelulushidupan larva zoea kedua jenis Scylla juga terlihat lebih tinggi pada salinitas 31 ppt dibandingkan salinitas 33 dan 34 ppt. Larva zoea S. tranquebarica memiliki ketahanan yang lebih tinggi daripada larva zoea S. serrata pada tingkatan suhu dan salinitas berbeda. Temuan ini dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi rancangan teknologi produksi benih kepiting bakau Scylla spp. lokal di masa depan. Kata kunci: Kepiting bakau; Salinitas; Scylla spp.; kelulushidupan; Suhu; Larva zoea
Pendahuluan Kepiting bakau Scylla spp. merupakan salah satu komoditi perikanan ekonomis penting yang dapat dijumpai pada habitat mangrove dan tersebar luas pada wilayah tropis, sub tropis dan temperate (Davis, 2003; Siahainenia, 2008; Pattiasina, 2010). Kepiting bakau Scylla secara taksonomi terdiri atas empat jenis, antara lain S. serrata, S. olivacea, S. paramamosain dan S.
158
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
tranquebarica dan saat ini diperdagangkan baik secara lokal maupun internasional. Beberapa negara konsumer kepiting bakau terbesar antara lain Perancis, USA, Inggris, Jepang, Taiwan, Hong Kong, Singapore, Korea dan Thailand (Agbayani, 2001; Siahainenia, 2008; Pattiasina, 2010; Ferdoushi et al., 2010). Seiring tingginya permintaan pasar, tekanan penangkapan populasi kepiting bakau di alam pun semakin meningkat. Hal ini diindikasikan dengan semakin menurunnya jumlah dan ukuran populasi kepiting bakau di alam, terutama pada wilayah Asia Tenggara (Le Vay, 2001; Pattiasina, 2010). Budidaya kepiting bakau pun hingga saat ini seluruhnya masih mengandalkan stok alami dan masalah utama dalam pengembangannya adalah tidak adanya ketersediaan benih (Davis, 2004; Nghia et al., 2007; Pattiasina, 2010; Baylon, 2010 dan 2011; Ikhwanuddin et al., 2012). Untuk itu pengembangan teknologi hatchery kepiting bakau sangat penting diperhatikan. Keberadaan teknologi hatchery merupakan suatu prasyarat dalam pengembangan budidaya di suatu wilayah, namun hingga saat ini teknologi hatchery kepiting bakau masih masih menghadapi permasalahan utama yakni rendahnya kelulushidupan larva. Kondisi kualitas air pemeliharaan yang kurang optimal terkait dengan adanya perbedaan karakteristik fisik-kimia lingkungan dan spesies dari suatu lokasi geografis merupakan salah satu penyebabnya (Qiao, 2005; Nghia et al., 2007; Pattiasina, 2010; Ravi dan Manisseri, 2012). Kualitas air pemeliharaan, terutama suhu dan salinitas berpengaruh terhadap metabolisme Scylla (Paital and Chainy, 2012), dan secara signifikan berpengaruh terhadap kelulushidupan larva kepiting bakau (Davis, 2003; Baylon, 2010 dan 2011; Ravi dan Manisseri, 2012; Ikhwanuddin et al., 2012). Meskipun telah banyak penelitian tentang pengaruh faktor suhu dan salinitas atau kombinasinya terhadap beberapa fase didalam siklus hidup kepiting bakau Scylla spp. telah dilakukan namun keberhasilannya masih rendah dan bervariasi pada beberapa wilayah, antara lain 60% di Taiwan, 26% di Australia dengan sistem resirkulasi dan 15-20% di Malaysia (Xu et al., 2007; Baylon, 2011; Hassan et al., 2011). Anger (2001) menyatakan bahwa suhu dan salinitas yang baik adalah suhu dan salinitas yang sama dengan lingkungan alaminya. Oleh karena itu diperlukan data dan informasi tentang suhu dan salinitas yang cocok bagi kelulushidupan dan perkembangan larva sangat penting untuk teknologi hatchery kepiting bakau Scylla (Nghia et al., 2007). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suhu dan salinitas yang cocok bagi kelulushidupan larva zoea kepiting bakau Scylla spp. yang berasal dari perairan Pulau Ambon. Informasi ini penting bagi manajemen kualitas air pemeliharaan larva kepiting bakau lokal di masa datang.
Materi dan Metode 2.1. Sumber larva Larva berasal dari induk betina S. tranquberica dan S. serrata dari perairan sekitar Pulau Ambon. Induk yang matang gonad dengan berat berkisar antara 400-450 g dipelihara di dalam tanki bervolume 1000 L secara terpisah dengan laju pertukaran air sebesar 75% dengan substrat pasir setinggi ± 20 m untuk menjaga telur tidak berhamburan. Sebelum ditempatkan kedua induk didesinfeksi menggunakan formalin 200 mg/L selama 30 menit. Selama pemeliharaan induk diberikan pakan segar ikan momar (Decapterus sp.) sebanyak 10% dari bobot tubuh dengan waktu pemberian pakan hanya pada sore hari. Sisa pakan disipon setiap hari dan substrat pasir diganti setiap minggu. Warna telur dimonitor setiap hari dan ketika warna telur menjadi abu-abu, induk dipindahkan ke akuarium bervolume 50 L yang seluruh dinding ditutupi plastik hitam 2.2. Pemeliharaan larva Dua belas hari setelah diinkubasi, telur ditetaskan. Sifat fototaksis positif larva tahap awal, digunakan untuk mengumpulkan larva pada permukaan air sehingga memudahkan larva dikoleksi dengan saringan berukuran 150 μm (dengan memilih individu yang aktif berenang) (Nghia et al. 2007; Mia dan Shah, 2010). Setelah itu larva dibilas dengan air laut di dalam tanki 200 L. Kemudian ke dalam masing-masing enam buah botol silinder bervolume 400 mL (dasar botol diberi plankton net ukuran 200 μm) dimasukkan 40 individu larva yang ditempatkan di dalam
159
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
kontener plastik yang dilengkapi dengan heater (water bath system, modifikasi Baylon, 2011) dan aerasi serta pertukaran air sebesar 30% per menit. 2.3. Pemberian pakan Larva zoea diberi makan sekali sehari yakni ada pagi hari dengan Branchionus plicatilis (50 individu/larva) dan Nannocloropsis sp. (50.000 sel/mL). Baik rotifer maupun Nannocloropsis sp. diperoleh dari hasil inokulum laboratorium pakan hidup Balai Budidaya Laut Waiheru Ambon. Monitoring kualitas air selain parameter perlakuan dilakukan setiap yakni pH 7,6-7,9 dan DO 5,6 mg/L. 2.4. Desain eksperimen Parameter perlakuan terdiri atas suhu dan salinitas yang masing-masing memiliki enam (6) ulangan dan diuji secara terpisah. Suhu air dipertahankan dengan menggunakan heater dengan termostat merek Hydrosafe plus, 150 W. Suhu perlakuan rata-rata±SD (bergeser dari yang diinginkan akibat pengaruh lingkungan) yakni S. transquberica meliputi 27,83±0,78°C; 29,78±1,0°C dan 30±0,59°C sedangkan S. serrata 27,17±0,72°C; 28,42±0,72°C dan 30,25±0,45°C. Salinitas larutan stok terdiri dari 31 ppt, 33 ppt dan 34 ppt yang dibuat melalui pencampuran air tawar dan atau konsentrat air garam dengan air laut salinitas insitu (33 ppt) yang dihitung dengan menggunakan rumus pengenceran V1/V2=N1/N2 (V: volume, N: konsentrasi, 1: awal, 2: akhir). 2.5. Pengambilan dan analisis data Kelulushidupan larva kepiting bakau (S) dihitung dengan menggunakan rumus jumlah larva akhir (St) dibagi dengan jumlah larva awal (So) dan dikalikan dengan 100%. Selanjutnya data kelulushidupan suhu dan salinitas berbeda ditampilkan dalam bentuk grafik batang dengan menggunakan Program Excel Windows 7 serta uji beda kelulushidupan larva zoea terhadap salinitas berbeda menggunakan one way ANOVA.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu dan salinitas berpengaruh terhadap kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica dan S. serrata lokal, meskipun kelulushidupan larva zoea dari kedua jenis Scylla ini hanya bertahan kurang dari 4 hari penelitian. Larva zoea S. tranquebarica hanya mampu bertahan selama 3-4 hari sedangkan S. serrata hanya bertahan 2-3 hari (Gambar1, 2 dan 3). Pada perlakuan suhu, dibandingkan dengan kelulushidupan larva zoea pada suhu lainnya, kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica terlihat cenderung lebih tinggi pada suhu rata-rata±SD 27,83±0,78oC (53±24%) dan 29,78±1,0oC (58±17%) dan mencapai hari ke-3 (Gambar 1), sedangkan S. serrata terlihat cenderung lebih tinggi pada suhu rata-rata±SD 28,42±0,72oC (74±5%) meskipun hanya mencapai hari ke-2 (Gambar 2). Berdasarkan temuan ini dapat dikatakan bahwa suhu yang baik untuk kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica dan S. serrata adalah berkisar pada 28-30oC. Berbeda dengan perlakuan suhu di atas, pada perlakuan salinitas, kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica mampu mencapai hari ke-4, meskipun hanya dijumpai pada salinitas 31 ppt sedangkan larva zoea S. serrata mampu mencapai hari ke-3 pada semua tingkatan salinitas (Gambar 3). Pada salinitas 31 ppt juga terlihat capaian kelulushidupan larva zoea baik S.tranquebarica (61±22%) maupun S. serrata (16±5%) lebih tinggi daripada kelulushidupan larva zoea pada salinitas 33 dan 34 ppt yakni S.tranquebarica ≤ 50±9% dan S. serrata ≤10±4% (Gambar 3), namun secara statistik pengaruh salinitas terhadap kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica dan S. serrata ini tidak berbeda nyata, yakni P=0,35 dan P=0,87>0,05 secara berturut-turut. Sisi lain hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara umum kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica lebih tinggi dibandingkan dengan kelulushidupan S. serrata pada kedua perlakuan baik suhu maupun salinitas dan perbedaannya signifikan secara statistik, yakni P = 3,36E-05 dan 0,03 < 0,05.
160
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Persentase Sintasan Larva Zoea 1 S. tranquebarica (%)
31,5 31 30,5 30 29,5 29 28,5 28 27,5 27 26,5 26 27,83±0,78
29,78±1,0
120
Hari ke-1
100
Hari ke-2
60 40 20 0
30±0,59
Suhu Pemeliharaan Larva Zoea S. tranquebarica
Hari ke-3
80
27,83±0,78
(oC)
29,78±1,0
Suhu Pemeliharaan
30±0,59
(oC)
Gambar 1. Suhu pemeliharaan (kiri) dan kelulushidupan larva zoea kepiting bakau S. tranquebarica (kanan).
Variasi respon kelulushidupan larva zoea S. tranquebarica dan S. serrata terhadap suhu dan salinitas yang berbeda pada penelitian ini menjelaskan bahwa kelulushidupan larva zoea dari jenis Scylla berbeda dapat dioptimalkan melalui penanganan kondisi suhu dan salinitas pemeliharaan yang optimum dalam aplikasi teknologi hatchery. Rendahnya kelulushidupan pada penelitian ini juga dialami oleh Zeng dan Li (1992) dan Hassan et al. (2011) akibat kematian semua larva zoea setelah hari kelima dan hari keempat periode kultur. Lebih jauh Hamasaki (2011) menyatakan bahwa rata-rata kelulushidupan larva tahap awal kepiting bakau adalah 10% dan 20-30% tidak dapat mencapai juvenil selama produksi benih di hatchery. Tingginya mortalitas larva zoea ini selama periode kultur disebabkan oleh ketidakmampuan larva untuk melepaskan karapaks lama secara keseluruhan sebelum karapaks yang baru mengeras (moulting death syndrom) sebagai akibat dari kondisi lingkungan (suhu dan salinitas) yang kurang optimum salah satunya (Genodepa, 2004; Samuel and Soundadarpardian, 2010; Baylon, 2011). Meskipun Larva zoea S. serrata memiliki kisaran toleransi yang luas yakni antara 25-30oC (Zeng dan Li, 1992), namun larva sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan suhu bahkan yang sangat kecil sekalipun pada kondisi kultur (Ravi dan Manisseri, 2012). Kejutan suhu didalam proses kultur larva zoea sebagai akibat dominasi pengaruh suhu udara (akibat volume wadah pemeliharaan yang kecil) ataupun kegagalan peralatan kultur diduga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya kelulushidupan larva zoea kedua jenis Scylla pada penelitian ini (Ikhwanuddin et al., 2012).
Persentase Sintasan Larva Zoea 1 S. serrata (%)
31 30 29 28 27 26 25 27,17±0,72
28,42±0,72
30,25±0,45
Suhu Pemeliharaan Larva Zoea S. serrata (oC)
120 Hari ke-1
100
Hari ke-2 80 60 40 20 0 27,17±0,72 28,42±0,72 30,25±0,45
Suhu Pemeliharaan (oC)
Gambar 2. Salinitas pemeliharaan (kiri) dan kelulushidupan larva zoea kepiting bakau S. serrata (kanan) pada berbagai tingkatan salinitas.
Kelulshidupan larva zoea mencapai optimum pada suhu dan salinitas tertentu berhubungan dengan respon fisiologik-biokimia kedua jenis Scylla (Xu et al., 2007). Temuan kisaran suhu optimum 28-30oC bagi kelulushidupan larva zoea pada penelitian ini adalah sama atau berada pada kisaran suhu optimum yang dinyatakan oleh Nurdiani dan Zeng (2007) dan Baylon (2011),
161
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
sedangkan Hamasaki (2003) lebih tegas menyatakan suhu 29oC merupakan suhu terbaik untuk kelulushidupan larva S. serrata. Lebih jauh Hoang (1999); Nurdiani dan Zeng (2007) dan Baylon (2011) merekomendasikan kisaran suhu untuk kepentingan budidaya larva zoea Scylla adalah secara berturut-turut 28-30oC dan 29-30oC karena dapat memperpendek siklus atau perkembangan larva. Disisi lain meskipun diketahui larva Scylla memiliki kisaran toleransi salinitas yang luas yakni 20-30 ppt (Nurdiani dan Zeng, 2007) dan 20-35 ppt (Baylon, 2010), namun tergantung lokasi dan spesies (Baylon, 2011; Ravi dan Manisseri, 2012). Kisaran salinitas yang baik untuk larva zoea 1 hingga zoea 4 S. olivacea adalah 30-35 ppt (Baylon, 2011) sedangkan untuk larva S. paramamosain adalah 29-31 ppt (Hoang, 1999) dan 30 ppt (Nguyen dan Truong, 2004). Dengan demikian temuan salinitas optimum 31 ppt bagi kelulushidupan larva zoea kedua jenis Scylla pada penelitian ini diduga masih berpeluang untuk diteliti lebih lanjut pada kisaran salinitas dibawah 31 ppt sampai dengan 20 ppt. 120
Hari keHari ke-
100
Hari ke80 Hari ke60 40 20 0
Persentase Sintasan Larva Zoea S. serrata (%)
Persentase Sintasan Larva Zoea S. tranquebarica (%)
120
Hari ke-1
100
Hari ke-2
80
Hari ke-3
60 40 20 0 31 ppt
31 ppt 33 ppt 34 ppt Salinitas Pemeliharaan
33 ppt
34 ppt
Salinitas Pemeliharaan
Gambar 3. Kelulushidupan larva zoea kepiting bakau S. Tranquebarica (kiri) dan S. serrata (kanan) pada salinitas pemeliharaan 31, 33 dan 34 ppt.
Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran pengaruh interaksi suhu dengan salinitas terhadap kelulushidupan larva zoea sebagaimana telah dikemukakan oleh Nurdiani dan Zeng (2007), Baylon (2010) dan Baylon (2011). Larva zoea Scylla terlihat lebih mampu mentolerir kondisi interaksi salinitas tinggi dengan fluktuasi suhu ambient daripada dengan fluktuasi suhu dengan heater-thermostat. Interaksi fluktuasi suhu ambient dengan salinitas optimum (31 ppt) bahkan memperlihatkan kelulushidupan larva zoea kedua jenis Scylla yang tertinggi. Kematian yang tinggi pada salinitas tinggi diduga akibat tekanan hipoosmotik selama fase awal (postmoult, intermoult) siklus moulting zoea I (Samuel dan Soundadarpardian, 2010). Tekanan hiper- dan hipoosmotik, dan atau perubahan rasio Na+/K+ di air berpengaruh serious saat moulting, metamorphosis dan kelulushidupan larva kepiting berhubungan dengan pembelanjaan energi untuk osmoregulasi lebih besar daripada untuk pertumbuhan. Lebih jauh dikatakan salinitas mempengaruhi awal moulting dan durasi siklus, tergantung daya toleransi spesies (Samuel dan Soundadarpardian, 2010; Romano dan Zeng, 2006, 2011; Ravi dan Manisseri, 2012). Pada suhu yang tinggi mengakibatkan aktivitas hormon meningkat sehingga tingkat ecdysis juga meningkat, terutama pada wilayah tropis, suhu yang tinggi pada salinitas yang tinggi mempercepat dekomposisi kutikula akibatnya sebagian sisa cadangan energi internal dari kuning telur digunakan sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari larva (Samuel dan Soundadarpardian, 2010; Romano dan Zeng, 2006, 2011; Ravi dan Manisseri, 2012). Meskipun pada saat larva tidak memiliki eksoskeleton, hiper-osmositas diperlukan untuk menyediakan tekanan turgor untuk menjamin integritas kutikula larva yang tipis. Romano dan Zeng, 2006, 2011; Samuel dan Soundadarpardian, 2010; Ravi dan Manisseri, 2012). Oleh karena itu, kasus kematian larva zoea yang lebih tinggi pada salinitas tinggi yakni 33 dan 34 ppt pada penelitian ini diduga disebabkan oleh ketidakmampuan larva untuk osmoregulasi apalagi insang pada fase larva zoea yang merupakan organ penting untuk transpor ion aktif belum sempurna perkembangannya (Romano dan Zeng, 2006; 2011). Temuan pada penelitian ini juga menjelaskan bahwa larva zoea S. serrata lebih sensitif terhadap suhu dan salinitas yang berbeda pada penelitian ini. Kelulushidupan larva zoea S. serrata
162
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
juga terlihat lebih rendah (bertahan < 2 hari) pada kombinasi salinitas tinggi (33 ppt) dengan fluktuasi suhu di penelitian ini. Disamping itu S. tranquebarica memiliki kelulushidupan lebih tinggi (bertahan 4 hari) pada kondisi kelulushidupan rendah (31 ppt) meskipun terjadi fluktuasi suhu pada penelitian ini. Kondisi ini diduga karena pengaruh faktor ontogenik dan kualitas induk. Sebagai contoh secara alami preferensi distribusi spasial S. serrata pada zona bagian depan hutan dan laut sedangkan S. tranquebarica, paramamosain dan olivacea pada bagian belakang dan tengah hutan mangrove (Siahainenia, 2008), meskipun kebutuhan kelulushidupan suatu species dapat berubah menurut fase hidupnya (Samuel dan Soundadarpardian, 2010). Mengacu pada pernyataan di atas maka ketahanan spesies Scylla yang berbeda pada penelitian ini secara ontogenik diduga sebagai konsekuensi dari suhu dan salinitas habitat alami masing-masing spesies. Salinitas S. serrata diduga cenderung lebih stabil daripada salinitas S. tranquebarica cenderung lebih labil akibat besarnya pengaruh daratan pada habitat alaminya.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa 1) suhu dan salinitas yang baik bagi kelulushidupan larva zoea kepiting bakau S. tranquebarica dan S. serrata lokal adalah kisaran suhu 28-30oC dan salinitas 31 ppt. Pengaruh fluktuasi suhu terhadap rendahnya kelulushidupan larva zoea dapat dikurangi dengan menggunakan salinitas optimum dan larva zoea S. tranquebarica memiliki ketahanan yang lebih tinggi daripada larva zoea S. serrata terhadap perubahan suhu yang besar. Salinitas optimum bagi kelulushidupan larva zoea kedua Scylla lokal pada penelitian ini masih berpeluang untuk diteliti pada salinitas yang kurang dari 31 ppt.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui Program Penprinas MP3EI 2011/2012 yang telah mendanai penelitian ini pada tahun 2012 dan kepada Kepala Balai Konservasi-LIPI Ambon serta staff yang telah memberikan tempat, fasilitas, sarana dan prasarana selama penelitian ini berlangsung.
Daftar Pustaka Agbayani, R.F. 2001. Production economics and marketing of Mud Crabs in the Philippines. Asian Fisheries Science. 14(2): 201-210. Anger. 2001. The biology of decapod crustacean larvae. Crustacean Issues, 14: 407p. Balkema, Lisse, The Netherlands. Hassan, A., T.N. Hai, A. Chatterji and M. Sukumaran. 2011. Preliminary study on the feeding regime of laboratory reared mud crab larva, Scylla serrata (Forsskal, 1775). World Applied Sciences Journal, 14 (11): 1651-1654. Baylon, J.C. 2010. Effects of salinity and temperature on survival and development of larvae and juveniles of hte mud crab, Scylla serrata (Crustacea: Decapoda: Portunidae). Baylon, J.C. 2011. Survival and development of larvae and juveniles of the mud crab [Scylla olivacea Forskal(Crustacea: Decapoda: Portunidae)] at various temperatures and salinities. The Philippines Agricultural Scientist, 94: 195-204. Davis, J.A. 2003. Development of hatchery techniques for the mud crab Scylla serrata (Forsskal) in South Africa. PhD thesis, Faculty of Agricultural and Applied Biological Sciences, Ghent University, Belgium,163pp. Ferdoushi, Z.Z. Xiang-guo and M.R. Hasan. 2010. Mud crab (Scylla sp.) marketing system in Bangladesh. As. J. Food Ag-Ind, 3(02): 248-265. Hamasaki, K. 2003. Effects of temperature on the egg incubation period, survival and developmental period of larva of mud crab Scylla serrata (Forskal) (Brachyura: Portunidae) reared in the laboratory. Aquaculture, 219: 561-572. Hamasaki. 2011. A review of seed production and stock enhancement for commercially importat portunid crab in Japan. Aquacult. Int., 19: 217-235.
163
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Hoang D.D. 1999. Preliminary studies on rearing the larvae of the mud crab (Scylla paramamosain) in South Vietnam, in: Keenan, C. P., Blackshaw, A., 9eds) Proceeding of an international scientific forum, Mud Crab Aquaculture and Biology. Canberra, ACIAR Proceeding 78: 147-152. Mia, M.Y. and M.M.R. Shah. 2010. Effect of salinity on the survival and growth of mud crabling, Scylla serrata . Univ. j. zool. Rajshahi, 29-32. Ikhwanuddin, M., M.N. Azra, M.A.D. Talpur, A.B. Abol-Munafi and M.L. Shabdin. 2012. Optimal Water Temperature and Salinity for Production of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus 1st Day Juvenile Crab. International Journal of the Bioflux Society, 5: 4-8. Le Vay, L. 2001. Ecology and management of Mud crab Scylla spp. Asian Fisheries Science. 14(2): 101-112. Nghia, T.T., M. Wille, T.C. Binh, H.P. Thanh, N. VanDanh and P. Sorgeloos. 2007. Improved techniques for rearing mud crab Scylla paramamosain (Estampador 1949) larvae. Aquaculture Research, 38, 1539-1553. Nguyen, C.T. and Q.T. Truong. 2004. Effect of salinity and food types on thedevelopment of fertilized eggs and zoea larvae of mud crab (Scylla paramamosain), in: Allan, G. Fielder, D. (eds.), Proceeding of the ACIAR crab aquaculture scoping study and workshop, Mud Crab Aquaculture in Australia and Southeast Asia. Canberra, ACIAR Working Paper 54:47-52. Nurdiani, R. and C. Zeng, 2007. Effects of temperature and salinity on the survival and development of mud crab, Scylla serrata (Forsskål), larvae. Aquaculture Research, 38: 1529–1538. Paital, B. and G.B.N. Chainy. 2012. Biology and conservation of the genus Scylla in India sub continent. J. Environ. Biol., 33: 871-879. Pattiasina, B.J. 2010. Efektivitas pemberian serotonin dan suplementasi kolesterol serta ablasi terhadap poses pematangan ovari induk kepiting bakau (Scylla serrata). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 131 hlm. Qiao, Z.G. 2005. Advances on seed rearing technology in mud crab Scylla serrata. Journal Marine Fisheries, 20 (12) : 41-49 Ravi, R. and M.K. Manisseri, 2012. Survival rate and development period of the larvae of Portunus pelagicus (Decapoda, Brachyura, Portunidae) in relation to temperature and salinity. Fisheries and Aquaculture Journal, 2012: FAJ-49. Romano, N. and C. Zeng. 2006. The effects of salinity on the survival, growth and haemolymph osmolality of early juvenile blue swimmer crabs, Portunus pelagicus. Aquaculture, 260, 29: 151–162. Romano, N. and C. Zeng. 2011. Importance of balanced Na+/K+ ratios for blue swimmer crabs, Portunus pelagicus, to cope with elevated ammonia-N and differences between in vitro and in vivo gill Na+/K+-ATPase responses. Aquaculture, 318: 154–161. Samuel, N. J. and P. Soundarapandian. 2010. Effect of Salinity on the Growth, Survival and Development of the Commercially Important Portunid Crab Larvae of Portunus sanguinolentus (Herbst). Current Research Journal of Biological Sciences, 2(4): 286-293. Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Xu H., C.X. Ai., Q.W. Lin, Y.F. Chen and Y.H. Shen. 2007. Effect of Salinity Stress on the Activities of ATPase and Phosphatase in the Mud Crab (Scylla serrata). Journal of Agro-Environment Science-03. Zeng, C. and S. Li. 1992. Effect of temperature on survival and development of the larvae of Scylla Serrata. Journal of Fisheries of China 03.
164