393
Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah)
PENGARUH SUHU DAN SALINITAS PADA SINTASAN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea DI PANTI BENIH KEPITING INSTALASI TAMBAK MARANAK, MAROS Herlinah, Aan Fibro Widodo, dan Gunarto Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sittaka No.129, Maros 90512, Sulawesi Selatan Email: litk
[email protected]
ABSTRAK Kualitas air media pemeliharaan pada fase awal larva yang sangat dominan berpengaruh adalah faktor suhu dan salinitas. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu dan salinitas yang optimal bagi sintasan zoea kepiting bakau Scylla olivacea. Penelitian dilaksanakan di panti benih Kepiting Instalasi Tambak Maranak BRPBAP Maros. Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap yakni penelitian dan pengamatan suhu dan salinitas pada waktu/periode yang berbeda. Suhu diset dalam 3 perlakuan yakni 28°C, 30°C, dan 32°C sedangkan salinitas 26 ppt, 28 ppt, dan 30 ppt masing-masing dua ulangan dan keduanya didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Zoea-1 dipelihara di dalam bak fiber 300 L dengan padat tebar larva 100 ekor/L. Pakan yang diberikan berupa rotifera dan naupli Artemia. Pengaturan suhu menggunakan thermostat heater dan salinitas diatur melalui mengenceran dengan air tawar. Pergantian air dilakukan pada stadia zoea-1 dan zoea-2 sebanyak 10%, stadia zoea-3 dan 4 sebanyak 30% dan zoea 5 sebanyak 40%. Peubah yang diamati adalah sintasan, kecepatan perkembangan stadia, dan kualitas air berupa salinitas, pH, DO, suhu air, nitrit dan amoniak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi suhu maupun salinitas tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap perkembangan dan sintasan larva. Namun demikian, pada bak pemeliharaan dengan suhu 30°C relatif lebih baik dibanding pemeliharaan pada suhu 28°C dan 32°C. Sedangkan untuk penelitian salinitas diperoleh pemeliharaan larva pada salinitas 26 ppt relatif lebih baik dibanding salinitas 28 dan 30 ppt. KATA KUNCI:
suhu, salinitas, sintasan, kepiting bakau, S. olivacea
PENDAHULUAN Kegiatan penelitian perbenihan dan pembesaran kepiting bakau genus Scylla telah dirintas sejak lama karena merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting, sebagai komoditas budidaya. Menurut Noor et al. (1992), kepiting bakau sangat digemari masyarakat di wilayah Indo Pasifik karena hewan ini memiliki daging dan telur dengan kandungan protein yang cukup tinggi. Namun demikian budidaya kepiting bakau menjadi kurang berkembang dengan baik yang antara lain disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan benih alam, sifat kanibalisme yang tinggi pada setiap stadia dan patogen yang menyebabkan tingginya kematian pada tahap perbenihan sehingga diangga kegiatan budidaya kepiting menjadi tidak ekonomis. Teknologi perbenihan kepiting bakau yang telah ada saat ini diakui belum sempurna, namun perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir ini meskipun sangat lamban dan belum optimal namun telah menunjukkan beberapa kemajuan. Berbagai aspek mulai dari penyediaan induk hingga pemeliharaan larva masih harus diteliti dalam upaya peningkatan produksi benih kepiting dari perbenihan. Aspek yang kritis dalam pembenihan kepiting bakau adalah pemeliharaan larva hingga menjadi megalopa. Periode kritis pada larva ikan adalah pada saat peralihan sumber nutrisi dari dalam (endogenous) yang berupa kuning telur (yolk) dan butir minyak (oil globule) ke nutrisi dari luar (Imai, 1980). Selanjutnya Battaglene et al. (1994) menyatakan bahwa sintasan larva ikan dipengaruhi oleh faktor nutrisi, ukuran makanan, kepadatan makanan, kelengkapan nutrisi pakan dan kondisi pemeliharaan larva (intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut). Hal tersebut kemungkinan juga berlaku pada larva kepiting bakau. Boer et al. (1993) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla spp.) terjadi beberapa fase dalam pertumbuhannya, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa. Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
394
pergantian kulit (moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut masa pemijahan sampai megalopa. Fase larva adalah fase yang sangat sensitif karena larva sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik suhu maupun salinitas serta jenis dan kualitas pakan yang diberikan. Untuk itu, perlu diketahui secara tepat mengenai aspek lingkungan khususnya suhu dan salinitas yang sesuai bagi kehidupan larva pada fase awal zoea-1 hingga zoea5 sebelum masuk ke fase selanjutnya yakni megalopa. Berdasarkan daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25°C-27°C dan salinitas 29‰33‰ dan secara gradual salinitas dan suhu air ke arah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa yang memasuki muara sungai dapat mentolerir salinitas air yang rendah (10‰-24‰). Tingkat zoea berlangsung lebih kurang 3-4 hari berganti kulit sebelum menjadi tingkat selanjutnya (Kasry, 1996 dalam Rosmaniar, 2008). BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Panti Benih Kepiting Instalasi Tambak Maranak BRPBAP Maros. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan suhu dan salinitas yang optimal bagi sintasan zoea (zoea 1 – zoea 5) kepiting bakau S. olivacea. Larva zoea yang digunakan merupakan hasil pemijahan induk kepiting yang diperoleh dari pengumpul kepiting bakau di Kabupaten Bone. Induk tersebut kemudian dipelihara di dalam bak fiber dengan dasar pasir menggunakan sistem resirkulasi air. Larva (zoea-1) yang baru menetas dipelihara menggunakan bak fiberglass kerucut volume 300 L, diisi air payau sebanyak 250 L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan pasir dan arang selanjutnya air dialirkan lagi melalui saringan membran (membrane filter) dan disinari dengan sinar ultraviolet (UV). Padat tebar zoea-1 adalah 100 ind./L. Pakan larva adalah rotifer yang dipertahankan pada kepadatan 10 20 individu/mL dan setelah masuk ke stadia Zoea-3, selain rotifer juga ditambahkan naupli artemia sebanyak 2-5 individu/mL. Penelitian dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap yakni penelitian suhu dan penelitian salinitas pada waktu/periode yang berbeda. Suhu diset dalam 3 perlakuan yakni 28°C, 30°C, dan 32°C sedangkan salinitas 26 ppt, 28 ppt, dan 30 ppt masing-masing dua ulangan dan keduanya didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengamatan dilakukan terhadap sintasan zoea setiap tiga hari sekali dengan cara mengambil air sebanyak 200 mL sebanyak tiga hingga empat kali di setiap bak, kemudian dihitung kepadatan larva/200 mL, selanjutnya hasilnya dikonversi ke rata-rata kepadatan larva/L. Di samping itu, juga dimonitor kecepatan perkembangan stadia menggunakan mikroskop fluoresensi. Kualitas air juga dipantai terutama kestabilan suhu dan salinitas yang diset sesuai perlakuan, serta amoniak, nitrit dan fosfat dari masing-masing perlakuan. Data suhu dan salinitas yang diperoleh dianalisis secara terpisah dengan analisis ragam menggunakan perangkat lunak SPSS 19. HASIL DAN BAHASAN Hasil penelitian aplikasi suhu maupun salinitas yang diterapkan pada larva zoea kepiting bakau jenis S.olivacea tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap sintasan zoea seperti yang terlihat pada Gambar 1 dan 2. Berdasarkan Gambar hingga hari ketiga kepadatan larva masih stabil, namun memasuki hari keempat, kepadatan larva pada ketiga perlakuan suhu langsung drop hingga 60% meskipun sebelumnya telah dilakukan antisipasi penyediaan pakan alami berupa rotifer yang cukup. Pada penelitian ini ukuran rotifer yang diberikan ke zoea-1 sekitar 30 mikron dengan populasi 20 individu/ mL. Sirait (1997) dalam Rosmaniar (2008) mengatakan larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva tingkat zoea. Makanan terdiri dari berbagai jenis organisme planktonik seperti diatom, chlorella, rotifer, larva echinodermata, larva berbagai moluska dan cacing. Perlakuan suhu 30°C memberikan hasil sintasan yang relatif lebih baik daripada suhu 28°C dan 32°C meskipun berdasarkan analisa statistik tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) antara ketiga perlakuan. Widodo dan Sulaeman (2009) melaporkan bahwa perbedaan salinitas tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap sintasan tetapi berbeda nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan megalopa kepiting bakau
395
Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah)
Gambar 1. Sintasan larva kepiting S.olivacea dengan suhu berbeda
Gambar 2. Sintasan larva kepiting S.olivacea dengan salinitas berbeda S. serrata. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan salinitas 25 dan 30 ppt. Hasil yang senada juga ditunjukkan oleh spesies Scylla paramamosain. Rusdi & Karim (2006) melaporkan, salinitas media tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sintasan crablet kepiting bakau (S. paramamosain) akan tetapi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan bobot mutlak dan laju petumbuhan harian. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian tertinggi dihasilkan pada media bersalinitas 16 ppt dan terendah 34 ppt. Menurut Nontji (2005), suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhu dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik dalam laut serta kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Hill et al. (1989) dan Anonim (1989), suhu mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20°C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan berhenti. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
396
untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Masih menurut Hill et al. (1989), bahwa di perairan estuaria, kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 24°C-28°C, di perairan hutan mangrove, kepiting bakau didapatkan pada kisaran 26,5°C-35°C (Hutasoit, 1991). Sama halnya dengan perlakuan suhu, kecenderungan pada perlakuan salinitas juga menunjukkan penurunan populasi larva zoea pada hari keempat. Dan secara umum, salinitas 26 ppt memperlihatkan jumlah populasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan salinitas 28 dan 30 ppt meskipun berdasarkan analisis statistik tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) antara ketiga perlakuan (Gambar 2). Salinitas seringkali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya ialah jumlah bobot semua garam yang terlarut dalam 1 liter air yang dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil, garam per mil) (Nontji, 2005). Menurut Hill (1976), salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat ganti kulit (moulting). Anonim (1989), melaporkan walaupun kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau, belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif denga kondisi perairan yang bersalinitas rendah. Kasry (1996), mengatakan sebaliknya kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15- 29 ppt walapun belum diketahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya. Anonim (1989) menyebutkan perubahan salinitas mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme kepiting bakau (Scylla sp.) dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas. Anwar et al. (1984) menyatakan, kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungan melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Menurut Soim (1999), kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 ppt atau digolongkan ke dalam air payau. Rendahnya sintasan atau jumlah populasi pada kedua siklus pemeliharaan dengan suhu dan salinitas berbeda akibat serangan jamur yang memenuhi permukaan tubuh larva (Gambar 3 atas kanan). Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor di luar faktor utama yang menjadi fokus
Gambar 3 . Visualisasi dengan mikroskop fluoresensi : zoea sehat (atas kiri), zoea terinfeksi Lagenidium sp. (atas kanan), rotifera (bawah kiri), dan artemia (bawah kanan)
397
Pengaruh suhu dan salinitas pada sintasan larva ... (Herlinah)
penelitian. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 1, di mana kandungan amoniak maupun nitrit pada media pemeliharaan larva berada di atas ambang toleransi. Nilai amoniak yang disarankan untuk media air pemeliharaan budidaya adalah 0,05-0,1 mg/L dan nitrit 0,01-0,05 mg/L (Adiwijaya et al., 2003; Effendi, 2000; SNI, 2006). Hal ini memicu munculnya organisme pengganggu seperti protozoa dan tumbuhnya jamur yang menyerang larva hingga memicu kematian massal. Apabila larva kepiting terbebas dari serangan protozoa dan jamur, maka populasi larva yang dipelihara akan stabil setelah hari ke empat. Hal ini mengindikasikan bahwa rotifer yang disediakan dimakan oleh larva kepiting tersebut (Gambar 3 bawah kiri). Tabel 1. Kisaran kualitas air selama penelitian
Peubah KA
Nilai Kisaran (mg/L)
Nitrat (NO3-N) Amoniak (NH3-N)
0,521 – 0,678 0,009 – 0,231
Nitrit (NO2-N) Fosfat (PO4-P)
0,0763 – 1,098 1,480 – 2,407
Sulfat (SO4)
1,122 – 1,143
Pengelolaan larva agar tidak terinfeksi jamur dan protozoa sangat penting untuk langkah keberhasilan pemeliharaan larva kepiting bakau. Untuk hal tersebut harus diawali sejak masa pengeraman, dimana induk setelah memijah harus segera dipisahkan secara tersendiri dan disterilkan dengan larutan formalin 200 mg/L selama 5 menit, sebelum masuk ke wadah pengeraman. Setelah larva menetas hanya larva yang lincah berenang-renang di permukaan air yang digunakan untuk penelitian/dibudidayakan. KESIMPULAN Suhu dan salinitas yang mampu memberikan sintasan serta perkembangan larva yang lebih baik pada pemeliharaan larva zoea kepiting bakau S.olivacea adalah masing-masing 30°C dan 26 ppt. DAFTAR ACUAN Adiwijaya, D., Rahardjo, S.P., Sutikno, E., Sugeng, & Subiyanto. 2003. Petunjuk teknis budidaya udang vanname (Litopennaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara, 29 hlm. Anonim. 1989. Life Cycle of Mud Crab (Scylla serrata). Queesland Departement of Primary Industries. QDPI Leaflet QL 84002. Brisbane IP. Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisjam, & A.J. Whitten. 1984. Ekologi ekosistem Sumatera. Gadja Mada University Press. Yogyakarta, hlm. 127-148 Battaglene, S., C., S, McBride, & R. B. Talbot. 1994. Swim bladder inflantion in larvae of cultured sand whiting, Sillago ciliata Cuvier (Sillaginidae). Aquaculture 128 : 177 – 192. Boer, D.R., Zafran, A. Parenrengi, & T. Ahmad. 1993. Studi pendahuluan penyakit kunang-kunang pada larva kepiting bakau, Scylla serrata. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 9(3): 119-124. Effendi, H. 2000. Telaahan kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor, hlm. 146154. Hill, B.J., D.L. Fowler, & M.J. Van Den Avyle. 1989. Blue crab, fish and wildlife service. U.S. Army of Enginering Coastal Ecology Group and U.S. Department of the Interior Washington D.C. 18 pp. Hill, B.J. 1976. Natural food foregint clearance rose and activity of mud crab, Scylla serrata. Marine Biology. 34: 109-116 Hutasoit, B. 1991. Telaah segi-segi ekologi kepiting bakau. Fakultas Perikanan IPB. Bogor
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
398
Imai, T. 1980. Sensory anatomy and feeding of fish larvae. In J.E. Bardach, J.J. Magnuson, R.C. May, & J.M. Reinhard (Eds.). Fish behavior and its use in the capture and culture of fishes. ICLARM Conference Proceeding, 5: 512. Kasry, A. 1996. Budidaya kepiting bakau dan biologi ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Noor, G.R, M. Khazali, & I.N.N. Suryadipura. 1992. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PKA/ WI – IP. Bogor. Rosmaniar. 2008. Kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisik kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Rusdi, I. & Karim M.Y. 2007. Salinitas optimum bagi sintasan dan pertumbuhan krablet kepiting bakau (Scylla paramamosain). Jurnal Sains & Teknologi, 6(3): 149-157. Soim, A. 1999. Pembesaran kepiting. Penerbit Swadana. Jakarta, 21 hlm. SNI. 2009. SNI 01-7246-2006 produksi udang vaname di tambak intensif. Widodo, A.F., & Sulaeman. 2009. Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Megalopa Kepiting Bakau. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, hlm. 191-196.