Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Pemeliharaan Zoea-5 dan Megalopa Kepiting Bakau, Scylla olivacea dengan Wadah Berbeda Gunarto, Nurbaya dan M. Zakaria Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros 90512 Sulawesi Selatan
Abstract Gunarto and M. Zakaria. 2013. Culture of Scylla olivacea Zoea-5 and Megalops in Different Kind of Tanks. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. The different kind of tanks used for culture of zoea-5 and megalops of mangrove crab, S. olivacea may impact to the degree of stability of an environmental factors mainly water temperature which will influences to the acceleration of zoea-5 and megalops develop to the crablet. The objectives of the study is to find out the suitable of tank condition for culture of zoea-5 and megalops which indicated by the fast develop of zoea-5 and megalops to the crablet and the highest survival rate of crablet. Research was conducted in mangrove crab hatchery located in Marana Research Station of Research Institute for Coastal Aquaculture, Maros. Healty larval zoea-1 from the same broodstock reared in one unit circular fiberglass tank volume 4 ton was filled 3 ton sterile pond water salinity 30 ppt. Larval stocked at the density 100 ind./L. Circular aeration was made to prevent larvae accumulated in the tank bottom. Enrich rotifer, Brachionus plicatilis with HUFA (5 mg/L for two hours) as feed for larvae z-1 to Z-3 was given at the density 8-10 ind./mL. Enrich artemia nauplii with HUFA (50mg/L for two hours) as feed for larvae Z-3 to crablet stage was given at the density 1-2 ind./mL. The lowering of larvae stocking density was conducted after larvae reach zoea-5 and megalops stage. Three different kinds of tanks used for culture the combination of zoea-5 and megalops of S. olivacea, there were ie, A). Circular fiberglass tank volume 4 ton was filled 3 ton of sterilized brackishwater, aerated in circulation system and the tanks were placed in closed room, B). Rectangular cement tank volume 4 ton was filled 3 ton of sterilized brackishwater, aerated in circulation system and the tank was 90% closed with plastic line in surface part, C). Circular cement tank volume 4 ton was filled 3 ton filtered brackishwater, aerated in circulation system and the tank without closed in the surface part. These tanks were stoked with zoea-5 and megalops at approximately 5000 ind (A), 1500 ind (B) and 1360 ind (C). Each treatments in two replications. Naupli artemia at the density 1-2 ind./mL enriched with HUFA at 50 mg/L for 2 hours was given to the zoea-5 and megalops as feed. Monitoring conducted on the time that required megalops develop to the first instar of crablet, percentages of crablet survival rate in each kind of tank condition, water temperature, nitrit, amonium, total organic matter and total Vibrio sp. Result of the research showed that at the day 5-6 some megalops have developed to the first instar crablet and the total number was highest in A tank compared than those of B and C tanks. The high and stabil water temperature in the range of 30-32oC in A tank, may was most important factor that is influenced to the accelerated megalops develop to the first instar crablet. While in B tank, water temperature at the range of 30-31oC and C tank at the range of 27-30oC. Crablet D-7 was harvested and showed that the highest survival rate of crablet was obtained in A tanks (40,14 + 0,424%) then followed by C tank (34,65 + 11,101%) and the lowest was B tank (22,675 + 0,954%). Keywords: Crablet 1nd instar; Kind of tanks; Megalops; Water temperature
Abstrak Penggunaan wadah untuk pemeliharaan campuran zoea-5 dan megalopa kepiting bakau S. olivacea sangat erat kaitannya dengan kestabilan lingkungan terutama suhu air yang akan berpengaruh pada proses kecepatan perkembangan dan tingkat kelulushidupan zoea-5 dan megalopa menjadi kepiting muda (crablet). Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kondisi wadah yang paling tepat untuk pemeliharaan zoea-5 dan megalopa kepiting bakau, S. olivacea dengan indikator megalopa cepat berkembang menjadi crablet dan diperoleh kelulushidupan yang tinggi. Penelitian dilakukan di hatcheri kepiting bakau di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balitbang Budidaya Air Payau, Maros. Larva stadia zoea-1 yang sehat dipelihara di satu unit bak fiber bulat volume 4 ton yang diisi air payau steril salinitas 30 ppt sebanyak 3 ton dengan padat tebar larva 100 ind./L. Aerasi dibuat secara sirkulasi agar larva tidak mengendap di dasar bak. Pakan larva z-1 s/d awal Z-3 adalah rotifer dengan kepadatan 8-10 ind./mL. Rotifer sebelum diberikan ke larva terlebih dahulu diperkaya dengan HUFA sebanyak 5 mg/L selama 2 jam. Setelah larva mencapai stadia z-3 hingga krablet, larva diberi pakan naupli artemia dengan kepadatan 1-2 ind larva/mL. Naupli artemia juga diperkaya dengan
28
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
HUFA sebanyak 50 mg/L. Setelah larva mencapai stadia zoea-5 dan mulai ada megalopa, maka larva dijarangkan dengan cara dipindahkan ke bak yang berbeda yaitu : Tiga jenis bak digunakan untuk pemeliharaan campuran zoea-5 dan megalopa kepiting bakau, S. olivacea yaitu A). Bak fiberglass bulat volume 4 ton diisi air volume 3 ton diletakkan dalam ruang tertutup, dan aerasi dibuat sirkulasi. B). Bak beton segi empat volume 4 ton diisi air volume 3 ton terletak diluar ruang hatcheri, dan permukaan bak ditutup 90% dengan terpal dan aerasi dibuat sirkulasi. C). Bak beton bulat volume 4 ton diisi air volume 3 ton terletak diluar ruang hatcheri dan bak dalam keadaan terbuka tanpa ditutup. Bak A ditebari campuran zoea-5 dan megalopa sekitar 5000 ekor, bak B sekitar 1500 ekor dan bak C sekitar 1360 ekor. Masing-masing dengan dua ulangan. Pakan yang diberikan berupa naupli artemia dengan kepadatan 1-2 ind./mL yang diperkaya dengan HUFA sebanyak 50 mg/L selama 1-2 jam. Pengamatan dilakukan terhadap waktu yang diperlukan megalopa bermetamorfosis menjadi crablet instar 1, kelulushidupan crablet yang dihasilkan dari setiap kondisi bak, fluktuasi suhu air, total Vibrio sp., amoniak, nitrit dan BOT. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah hari ke 5-6 di bak A sudah banyak megalopa bermetamorfosis menjadi crablet instar 1. Bak B juga sudah ada megalopa yang bermetamorfosis menjadi crablet instar 1 tapi jumlahnya lebih sedikit dibanding di bak A. Bak C masih sangat sedikit megalopa bermetamorfosis menjadi crablet instar 1. Suhu yang relatif lebih stabil dan tinggi 30-32oC di bak A, kiranya sangat menentukan kecepatan megalopa berkembang menjadi crablet instar 1, dibanding dengan suhu air di bak B pada kisaran 30-31oC dan di bak C pada kisaran 27-30oC. Crablet D-7 dipanen, ternyata kelulushidupan crablet-D7 tertinggi dijumpai di bak A = 40,14 + 0,424%, kemudian disusul bak C =34,65 + 11,101% dan terendah di bak B = 22,675 + 0,954%. Kata kunci: Crablet instar 1; Jenis wadah berbeda; Megalopa; Suhu air
Pendahuluan Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama pada kepiting betina matang gonad, jantan besar dan padat berisi dengan berat >300 g ataupun kepiting bakau ukuran kecil (100-150 g/ekor) tetapi bercangkang lunak (kepiting soka/ kepiting lemburi/ kepiting cangkang lunak). Untuk memenuhi kebutuhan pasar, di sebagian wilayah Indonesia, kepiting bakau banyak ditangkap dari alam, meskipun budidaya pembesaran kepiting bakau di tambak juga sudah dilakukan di beberapa daerah sejak puluhan tahun yang lalu misalnya di muara sungai Cenranae, kabupaten Bone, Sulawesi Selatan dan daerah Kampung Laut, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Gunarto et al., 1999). Dalam upaya untuk meningkatkan produksi kepiting bakau di Indonesia, maka penelitian pembenihan kepiting bakau telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu (Yunus et al., 1997; Setiyadi et al., 1997) dan pada tahun 2010 telah dimulai lagi penelitian pembenihan kepiting bakau di Balitbang Budidaya Air Payau, Maros (Gunarto dan Panrerengi, 2012; Gunarto et al., 2011; 2012. Pada tahun 2000 an di luar negeri penelitian pembenihan kepiting bakau juga mulai banyak dilakukan (Quinitio et al., 2001; Hamasaki, 2002; Truong et al., 2007; Baylon, 2011). Beberapa permasalahan dalam pembenihan kepiting bakau diantaranya serangan penyakit terutama protozoa, Vibrio sp. dan White Spot Syndrme Virus (WSSV) yang menyerang larva (Nogami dan Maeda, 1992; Zafran, 1996; Des Rosa, 1999; Chen et al., 2000; Jithendran et al., 2010), sehingga larva banyak mengalami kematian sebelum mencapai stadia megalopa. Larva tidak secara sinkron menjadi megalopa atau larva secara sinkron menjadi megalopa tetapi mengalami kematian massal (Hamasaki et al., 2002). Quinitio et al. (2001) menambahkan bahwa bakteri luminecent, Vibrio harveyi dan kanibalism sebagai penyebab utama kematian larva dan kematian tertinggi terjadi selama proses metamorfosis zoea-5 ke megalopa dan megalopa ke crablet-D-1. Stadia megalopa merupakan tahap yang penting dan krusial dalam siklus hidup kepiting bakau, karena kanibalisme yang tinggi dan menyebabkan penurunan kelulushidupan crablet secara drastis (Rodriguez et al., 2001). Hal ini karena megalopa sangat aktif, bebas berenang dan predator (Heasman dan Fielder, 1983). Oleh karena itu perlu segera diperoleh teknik pemeliharaan megalopa yang efektif agar dapat diperoleh jumlah crablet yang lebih banyak. Suhu air sangat berpengaruh pada proses perkembangan larva kepiting bakau (Hamasaki, 2003; Gunarto dan Widodo, 2012), termasuk juga perkembangan megalopa menjadi crablet (Gunarto dan Parenrengi, 2012). Jenis, kondisi dan posisi penempatan wadah untuk pemeliharaan megalopa sangat erat kaitannya dengan kestabilan lingkungan terutama suhu air yang akan berpengaruh pada proses kecepatan perkembangan dan tingkat kelulushidupan megalopa menjadi
29
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
crablet. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan jenis dan kondisi wadah yang paling tepat untuk pemeliharaan megalopa kepiting bakau, S. olivacea dengan indikator megalopa cepat berkembang menjadi crablet dan diperoleh crablet dalam jumlah lebih banyak.
Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di hatcheri kepiting bakau di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balitbang Budidaya Air Payau, Maros. Induk kepiting bakau S. olivacea betina matang gonad stadium III yang diperoleh dari perairan Kampung laut, Cilacap, Jawa Tengah dibawa ke hatcheri kepiting bakau di ITP Marana (transportasi selama tiga hari). Induk tersebut dipelihara dalam bak pemijahan volume 500 L, diisi air payau steril salinitas 30 ppt dan air dibuat sistem resirkulasi. Induk diberi pakan berselang seling terdiri dari cumi-cumi, kekerangan, Anadara sp. dan ikan rucah. Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali per hari. Setelah kurang lebih satu bulan pemeliharaan, induk kepiting bakau betina memijah di dalam bak pemijahan. Induk memijah selanjutnya diinkubasi dalam bak fiber volume 500 L yang diisi air payau steril salinitas 30 ppt sebanyak 250 L. Air dibuat sistem resirkulasi. Lama inkubasi sekitar dua belas hari. Satu hari sebelum telur menetas, maka resirkulasi air dihentikan, air diganti dengan air yang baru. Larva menetas di pagi hari. Larva stadia zoea-1 yang sehat dipelihara di satu unit bak fiber bulat volume 4 ton yang diisi air payau steril salinitas 30 ppt sebanyak 3 ton dengan padat tebar larva 100 ind./L. Aerasi dibuat secara sirkulasi agar larva tidak mengendap di dasar bak. Pakan larva z-1 s/d awal Z-3 adalah rotifer dengan kepadatan 8-10 ind./mL. Rotifer sebelum diberikan ke larva terlebih dahulu diperkaya dengan HUFA sebanyak 5 mg/L selama 2 jam. Selanjutnya setelah larva mencapai stadia z-3 hingga krablet, larva diberi pakan naupli artemia dengan kepadatan 1-2 ind larva/mL. Naupli artemia juga diperkaya dengan HUFA sebanyak 50 mg/L. Setelah larva mencapai stadia zoea-5 dan mulai ada megalopa, maka larva dijarangkan dengan cara dipindahkan ke bak yang berbeda yaitu : A). Bak fiberglass bulat volume 4 ton diisi air payau steril salinitas 25 ppt sebanyak 3 ton dan aerasi dibuat sirkulasi. Bak diletakkan dalam ruang tertutup agar suhu air relatif stabil dan fluktuasinya sempit (30-32oC). Padat tebar campuran zoea-5 dan megalopa adalah 5000 ind./bak. B). Bak beton segi empat volume 4 ton diisi air payau steril salinitas 25 ppt sebanyak 3 ton dan aerasi dibuat sirkulasi. Bak terletak diluar ruang hatcheri dan luas permukaan bak 90% ditutup dengan terpal agar fluktuasi suhu air tidak luas (30-31oC). Padat tebar campuran zoea-5 dan megalopa adalah 1500 ind./bak C). Bak beton bulat volume 4 ton diisi air payau steril salinitas 25 ppt sebanyak 3 ton. Bak terletak di pekarangan hatcheri diluar ruang hatcheri dan bak dalam keadaan terbuka tanpa ditutup, sehingga fluktuasi suhu air paling luas (27-30oC). Larva zoea-5 dan megalopa-D-1 ditebar di bak C sekitar 1360 ekor. Masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Zoea-5 dan megalopa dalam setiap bak diberi pakan alami nauplii Artemia. Nauplii artemia yang baru dipanen dari bak penetasan volume 100 L, sebelum diberikan ke larva terlebih dahulu diperkaya dengan HUFA komersial dengan kandungan EPA 0,6% dan DHA 17%. Untuk pengkayaan, nauplii artemia dimasukkan ember volume 20Lyang diisi air payau steril salinitas 25 ppt sebanyak 10 L dan diberi aerasi. Hufa ditambahkan ke dalam ember sebanyak 50 mg/L. Pengkayaan dilakukan selama 2 jam, kemudian naupli artemia disaring menggunakan plankton net mesh 300 (53 mikron), dicuci dengan air asin dan dibilas dengan air tawar, selanjutnya diberikan ke megalopa dengan kepadatan 1-2 ekor/mL. Pengamatan dilakukan terhadap lama periode megalopa dari setiap perlakuan. Periode megalopa adalah masa yang diawali dengan munculnya megalopa hingga menjadi crablet instar 1. Pengamatan terhadap periode megalopa dilakukan dengan cara mengamati setiap hari terutama di pagi hari sejak dari mulai munculnya megalopa dalam bak pemeliharaan sampai dengan waktu dimana mulai muncul crablet instar pertama. Kelulushidupan crablet yang dihasilkan dari setiap kondisi bak dihitung pada waktu panen crablet-D7 di setiap perlakuan. Fluktuasi suhu air diamati dengan cara monitoring dan mencatat ketinggian suhu air yang dibaca dari thermometer yang dipasang di permukaan air dalam setiap bak. Sampel air media pemeliharaan larva sebanyak 400
30
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
mL diambil pada hari ke 10, 18 dan 26 dibawa ke laboratorium kualitas air Balitbang Budidaya Air Payau, untuk dianalisis kandungan amoniak, nitrit dan Bahan Organik Total (BOT). Pada waktu yang bersamaan juga diambil sampel air menggunakan botol steril sebanyak 20 mL selanjutnya dibawa ke laboratorium Patologi untuk dianalisis kandungan total Vibrio sp. Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif.
Hasil dan Pembahasan Megalopa aktif berenang, sudah mempunyai capit sepasang yang berfungsi untuk menangkap mangsanya dan sifat kanibalismenya sangat tinggi. Pada penelitian ini megalopa aktif berenang sekitar selama tiga hari, selanjutnya turun ke dasar wadah pemeliharaan untuk bermetamorfosis menjadi crablet. Oleh karena kemunculan megalopa yang berasal dari zoea-5 tidak secara sinkron, maka meskipun sebagian megalopa sudah turun ke dasar, tetapi tetap saja masih ada megalopa yang berenang aktif dan melakukan kanibalisme terhadap sesama megalopa ataupun terhadap zoea-5 yang belum bermetamorfosis menjadi megalopa. Periode megalopa adalah ditandai dengan awal dimulainya muncul megalopa hingga awal mulai muncul crablet di bak pemeliharaan. Periode megalopa dari setiap perlakuan dan jumlah crablet yang dihasilkan dari setiap jenis bak dapat dilihat pada Tabel 1. Pada bak yang ditempatkan di ruang tertutup (perlakuan A), periode megalopa ditempuh dalam waktu 5-6 hari. Pada hari pertama kemunculan crablet instar-1, sekitar 8-10% dari populasi megalopa telah bermetamorfosis menjadi crablet. Sedangkan pada bak beton yang 90% permukaannya ditutup terpal (perlakuan B), periode megalopa juga ditempuh selama 5-6 hari, hanya saja kemunculan crablet instar-1 jumlahnya lebih rendah dari yang dijumpai di perlakuan A, yaitu hanya sekitar 3-5% dari populasi megalopa. Pada bak beton bulat dan kondisi terbuka (perlakuan C), periode megalopa juga ditempuh selama 5-6 hari, namun jumlah crablet instar-1 yang muncul hanya sekitar 3% dari populasi megalopa. Periode megalopa pada penelitian ini relatif lebih cepat karena hanya selama 5-6 hari dibanding yang diperoleh Gunarto dan Parenrengi (2012), dimana pada suhu 26,8oC, periode megalopa ditempuh hingga mencapai 12-13 hari. Marichamy dan Rajapackiam (1991) melaporkan periode megalopa selama 8-11 hari pada suhu 27-30oC. Pattanee et al.,(2004) di Thailand mendapatkan rata-rata waktu yang diperlukan untuk perkembangan megalopa menjadi crablet instar pertama adalah selama 10-15 hari. Pada suhu rendah perkembaangan larva menjadi lambat dan kurang nafsu makan (Welch dan Epifanio,1995). Hamasaki, (2003) melaporkan bahwa suhu optimum untuk perkembangan megalopa S. serrata menjadi crablet adalah 29oC. Perbedaan tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh kualitas telur kepiting bakau dan nilai nutrisi yang diberikan ke larva. Kualitas telur kepiting ditentukan oleh banyak sedikitnya kandungan 20:5(n-3) (eicosapentaenoic acid) (EPA) dan 22:6(n-3) (docosahexaenoic acid) (DHA) dalam telur. Kandungan EPA dan DHA dalam pakan larva juga menentukan kecepatan perkembangan larva, persentase molting, periode intermolting dan ukuran lebar karapas dan kelulushidupan hingga mencapai stadia crablet (Suprayudi et al., 2002). Kandungan EPA yang terlalu tinggi (2,4% berat kering) menyebabkan proses molting dari zoea-5 ke megalopa menjadi abnormal dan megalopa banyak mengalami kematian. Kandungan HUFA pada rotifer sebanyak 0,8% berat kering adalah yang optimal untuk memenuhi kebutuhan asam lemak tidak jenuh pada larva kepiting bakau S. serrata. Sedangkan pada waktu diberi pakan artemia, kandungan EPA dan DHA harus diatur agar supaya mencapai 0,7-0,9% dan 0,1-0,5% sehingga menghasilkan kelulushidupan yang tinggi pada crablet instar pertama (Suprayudi et al., 2002).
31
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Gambar 1. Fluktuasi suhu air di tiga jenis bak berbeda sebagai wadah pemeliharaan zoea-5 dan megalopa.
Berdasarkan monitoring suhu air, nampak bahwa di perlakuan A, suhu pada kisaran 30-32oC, perlakuan B pada kisaran 30-31oC dan perlakuan C pada kisaran 27-30oC (Gambar 1). Suhu air yang tinggi di bak pemeliharaan megalopa, dengan kisaran yang sempit yaitu pada kisaran 30-32oC, maka persentase crablet instar-1 yang dihasilkan di hari pertama periode crablet jumlahnya lebih banyak dibanding dengan megalopa yang dipelihara pada suhu air dengan fluktuasi suhu yang lebih luas 27-30oC. Periode crablet adalah ditandai dengan mulai munculnya crablet instar-1 atau di hari pertama nampak adanya crablet di wadah pemeliharaan (crablet-D-1). Pada penelitian ini crablet dipanen pada hari ke tujuh (D-7), kelulushidupan crablet-D7 tertinggi diperoleh di perlakuan A (40,14+0,42%), kemudian disusul perlakuan C (34,65+11,10%) dan yang terendah adalah perlakuan B (22,67+0,95%). Dari data tersebut mengindikasikan bahwa wadah dengan bentuk bulat seperti yang ada di perlakuan A dan C, kemungkinan berpengaruh lebih baik pada total kelulushidupan megalopa menjadi crablet. Sehingga diperoleh jumlah crablet lebih tinggi di perlakuan A dan C, dibanding dengan kelulushidupan crablet yang diperoleh dari wadah megalopa berbentuk segi empat yang ditutup terpal (perlakuan B). Hal ini kemungkinan ada kaitan dengan kemudahan megalopa untuk mendapatkan makanan pada wadah bak bentuk bulat, karena air tersirkulasi dengan baik dibanding dengan megalopa yang dipelihara di wadah bentuk segi empat seperti di perlakuan B. Gunarto dan Panrerengi (2012) menyatakan bahwa produksi crablet hanya pada kisaran 17-23% dari zoea-5 dan megalopa yang dipelihara menggunakan aquarium yang diletakkan di ruang terbuka dengan suhu air pada kisaran 26-28oC. Tabel 1. Periode megalopa dan Kelulushidupan crablet D-7, di wadah pemeliharaan yang berbeda.
Perlakuan
Padat tebar zoea-5 dan megalopa (ekor)
Fluktuasi suhu (oC)
Lama periode Megalopa (hari)
kemunculan crablet instar-1 di hari-1 (%)
Kelulushidupan Crablet-D7 (%)
A
5000
30-32
5-6
8-10
40,14 + 0,42
B
1500
29-30
5-6
3-5
22,67 + 0,95
C
1360
25-30
5-6
<3
34,65 + 11,10
Kanibalisme antar megalopa di wadah bentuk bulat dapat dikurangi karena sirkulasi air berjalan dengan baik dan megalopa tidak mengendap. Sedangkan di wadah bentuk segi empat, megalopa banyak mengendap di pojok karena air yang tersirkulasi hanya di bagian tengah, sehingga di bagian pojok bak, kanibalisme antar megalopa berlangsung, ataupun megalopa atau zoea-5 banyak mengendap di pojok bak, sehingga mengalami kematian akibat kurang mampu
32
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
menangkap makanan (naupli artemia). Selain itu di bak segi empat di perlakuan B, permukaannya 90% ditutup dengan terpal, sehingga sinar kurang masuk ke dalam bak, padahal sinar berperan penting pada megalopa sebagai stimulus visual untuk berburu pakan (Rabbani dan Zeng, 2005). Gunarto et al. (2011) mendapatkan panen megalopa terbanyak diperoleh pada larva kepiting bakau S. paramamosain yang dipelihara dengan pencahayaan sebanyak 82-86 luxmeter, dibanding dengan pencahayaan 44-52 luxmeter dan 66-74 luxmeter. Penelitian yang dilakukan oleh Rodriguez et al. (2001) mendapatkan kelulushidupan crablet sebanyak 48,3-53,3% dari megalopa-D3-5 yang dipelihara selama satu bulan menggunakan hapa di tambak dengan padat tebar 10-30 ind./m2. Hal ini nampak berbeda dengan penelitian ini baik pada umur megalopa dan padat tebar yang digunakan. Rodriguez et al. (2001) menggunakan megalopa umur 3-5 hari. Pada umur tersebut megalopa sudah turun ke dasar wadah pemeliharaan dan sebagian sudah menjadi crablet instar-1, sehingga digunakan satuan ind. megalopa/m2. Oleh karena yang ditebar adalah megalopa yang sudah atau bahkan telah bermetamorfosis menjadi crablet, maka bisa diperoleh kelulushidupan yang tinggi. Hal ini karena stadia crablet lebih tahan terhadap perubahan lingkungan dibanding pada stadia zoea-5 atau megalopa. Pada penelitian ini digunakan zoea-5 dan megalopa-D-1 dengan padat tebar 1360-5000 ind./3 ton volume air. Hal ini karena larva zoea-5 dan megalopa masih aktif berenang mengisi kolom air. Meskipun demikian kelulushidupan crablet-D7 yang diperoleh pada penelitian ini masih tinggi terutama di perlakuan A (Tabel 1). Hal ini kemungkinan karena pengaruh faktor internal yaitu kualitas larva yang baik, dan faktor eksternal diantaranya aman dari serangan penyakit dan jumlah dan kualitas pakan yang cukup. Tingginya kelulushidupan crablet kemungkinan ada kaitan dengan jumlah pakan yang diberikan di setiap perlakuan. Jumlah nauplii artemia yang diberikan ke zoea-5 dan megalopa hingga mencapai stadia crablet-D-1 dapat dilihat pada Gambar 2. Pada hari-1 nampak naupli artemia di perlakuan A (2,5 ind/mL) jumlahnya tertinggi dibanding naupli artemia yang diberikan ke perlakuan C (2 ind/mL) dan perlakuan B (1,75 ind/mL). Pada hari-hari berikutnya hingga hari ke enam, nampak menurun jumlah naupli artemia yang diberikan ke megalopa/crablet yaitu pada kisaran 1,5-2 ind/mL. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada jumlah nauplii artemia yang diberikan ke megalopa di ketiga perlakuan tersebut (P>0,05). Quinitio et al. (2001) memelihara megalopa S. serrata di bak semen dengan kepadatan 1000 ind./ton air dan diberi pakan naupli artemia yang baru menetas dengan kepadatan 3-5 ind./mL, mendapatkan kelulushidupan crablet 32,8+4,8%. Dengan demikian meskipun pada penelitian ini jumlah naupli artemia yang diberikan lebih rendah dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Quinitio et al. (2001), namun kelulushidupan crablet yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih tinggi, terutama di perlakuan A.
Gambar 2. Fluktuasi naupli artemia yang diberikan ke larva zoea-5 dan megalopa di tiga jenis bak berbeda.
33
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Pengelolaan kualitas air dengan baik dan menjaga biosekuritas selama pemeliharaan larva sangat penting agar diperoleh kelulushidupan crablet yang tinggi (Havarasan et al., 2012). Kualitas air pemeliharaan megalopa di tiga jenis bak berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Konsentrasi nitrit terendah pada awal pemeliharaan megalopa dijumpai di perlakuan C (0,0351 mg/L), kemudian disusul oleh perlakuan B (0,726 mg/L) dan perlakuan A (0,781 mg/L). Konsentrasi nitrit terendah pada waktu menjelang dipanen (crablet D-7) dijumpai di perlakuan C (0,0587 mg/L), kemudian disusul di perlakuan A (1,388 mg/L) dan tertinggi di perlakuan B (3,305 mg/L). Nilai LC-50 selama 96 jam pada larva kepiting bakau S. serrata dari zoea-1, 2, 3, 4 dan 5 yaitu masing-masing pada konsentrasi nitrit 41,58; 63,04; 25,54; 29,98; dan 69,93 mg/L (Mary et al., 2007). Konsentrasi amonia terendah pada awal pemeliharaan dijumpai di perlakuan C (0,125 mg/L), kemudian disusul perlakuan A (0,176 mg/L) dan tertinggi perlakuan B (0,252 mg/L). Konsentrasi amonia terendah menjelang crablet di panen juga dijumpai di perlakuan C (0,178 mg/L), selanjutnya disusul oleh perlakuan A (0,533 mg/L) dan tertinggi adalah di perlakuan B (1,134 mg/L). Nell et al. (2005) mendapatkan nilai LC-50 selama 24 jam pada larva kepiting bakau S. serrata stadia zoea-1 dan zoea-5 terhadap amonia tidak terionisasi masing-masing adalah pada konsentrasi 4,05 mg/L dan 6,45 mg/L. Tabel 2. Beberapa parameter kualitas air di tiga jenis bak berbeda sebagai wadah pemeliharaan zoea-5 dan megalopa hingga menjadi crablet D-7. Parameter
A
B
C
LC-50 Zoea-5
Nitrit (mg/L)
0,781-1,388
0,726-3,305
0,0351-0,0587
69,93 mg/L
Amonia (mg/L)
0,176-0,533
0,252-1,134
0,125-0,178
6,45 mg/L
BOT (mg/L)
25,94-45,35
36,58-57,87
22,49-49,11
>50 mg/L
Total Vibrio sp. (cfu/mL)
7,35 s/d 9,63x103
3,85s/d 4,18x103
1,35s/d 1,93x103
105cfu/mL
Konsentrasi BOT (Tabel 2) di perlakuan B (36,58-57,87 mg/L) dari awal sampai menjelang panen paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi BOT di perlakuan A (25,94-45,35 mg/L) dan C (22,49-49,11 mg/L). Total populasi Vibrio sp. paling rendah di perlakuan C (1,35 s/d 1,93x103 cfu/mL) dan tertinggi di perlakuan A (7,35 s/d 9,63x103 cfu/mL). Meskipun populasi Vibrio sp. sudah relatif tinggi (103 cfu/mL), namun bagi zoea-5 dan megalopa kepiting bakau masih aman untuk terus berkembang hingga mencapai crablet. Hal ini juga dijumpai oleh Gunarto dan Panrerengi (2012) dimana populasi Vibrio sp. telah mencapai 103 cfu/mL, namun zoea-5 tetap berkembang hingga mencapai crablet. Berdasarkan pengalaman, populasi Vibrio sp. 105 cfu/mL pada air media pemeliharaan telah mematikan larva kepiting bakau S. olivacea stadia zoea-4. Berdasarkan data kualitas air yang diperoleh, dengan demikian jelas bahwa kualitas air terutama amonia, nitrit dan BOT di perlakuan B paling kurang baik dibanding dengan yang terjadi perlakuan A dan C, sehingga menyebabkan kelulushidupan crablet D-7 yang dihasilkan juga paling rendah di perlakuan B dibanding dengan perlakuan lainnya.
Kesimpulan Kelulushidupan crablet D-7 terbanyak (40,14+0,424%) dijumpai di perlakuan A, yang menggunakan bak fiber bulat dan ditempatkan di ruang tertutup dengan suhu relatif stabil (30-32oC). Kemudian disusul di perlakuan C (34,65+11,105), bak beton bulat terletak di pekarangan hatcheri dan bak dalam keadaan terbuka suhu 27-30oC). Kelulushidupan paling rendah dijumpai di perlakuan B (22,67 + 0,95%), bak beton segi empat terletak diluar ruang hatcheri dan luas permukaan bak 90% ditutup dengan terpal, suhu 30-31oC.
34
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Kualitas air terutama amonia, nitrit dan BOT di perlakuan B paling kurang baik dibanding dengan yang terjadi di perlakuan A dan C, sehingga kemungkinan menyebabkan kelulushidupan crablet D-7 yang dihasilkan juga paling rendah di perlakuan B dibanding dengan perlakuan lainnya.
Daftar Pustaka Baylon, J.C. 2011. Survival and development of larvae and juveniles of the mud crab (Scylla olivacea Forskal (Crustacea: Decapoda: Portunidae) at various temperatures and salinities. Philipp. Agric. Scientist, 94 (2) : 195-204. Chen, L.L., L.C. Fang, C.Y. Lin, C.C. Fang and K.G. Hsiung. 2000. Natural and experimental infection of white spot syndrome virus (WSSV) in benthic larvae of mud crab Scylla serrata. Diseases od Aquatic Organisms, 40 : 157-161. Des R. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pada larva kepiting bakau Scylla serrata Forskal melalui desinfeksi induk selama pengeraman telur. JPPI 5(2) : 28–33. Gunarto, R. Daud dan Usman. 1999. Kecenderungan penurunan populasi kepiting bakau di perairan muara sungai Cenranae, Sulawesi Selatan ditinjau dari analisis parameter sumberdaya. Jurnal Penelitian Perikanan Pantai, 5 (3) : 30-37. Gunarto, A.F. Widodo dan H. Nyompa. 2011. Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting bakau, Scylla paramamosain. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011. Puslitbang Perikanan Budidaya, Jakarta. Gunarto dan A.F. Widodo. 2012. Pengaruh perbedaan suhu air pada perkembangan larva kepiting bakau, Scylla olivacea. Prosiding Indoaqua, Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012. Puslitbang Perikanan Budidaya, Jakarta, Hlm : 281-287 Gunarto dan A. Panrerengi. 2012. The application of probiotic on mud crab, Scylla olivacea zoea-5 larvae reared in laboratory. Proceeding of International Conference of Aquaculture Indonesia. Indonesian Aquaculture Society, P: 80-85. Hamasaki, K., M.A. Suprayudi and T. Takeuchi. 2002. Mass mortality during metamorphosis to megalops in the seed production of mud crab Scylla serrata (Crustacea, Decapoda, Portunidae). Fish Sci 68 : 1226-1232. Hamasaki, K. 2003. Effects of temperature on the egg incubation period, survival and developmental period of larvae of the mud crab Scylla serrata (Forskal) (Brachyura: Portunidae) reared in the laboratory. Aquaculture, 219 (1-4) : 561-572. Havarasan , N., R. Gnanasekaran, A.S.I. Kumari and P. Soundarapandian. 2012. Megalopa production of commercially important long eyed swimming crab, Podophthalamus vigil (Fabricus). Advance in Applied Science Research, 3(4) : 2253-2256. Heasman, M.P. and D.R. Fielder. 1983. Laboratory spawning and mass rearing of the mangrove crab, Scylla serrata (Forskal), from first zoea to first crab stage. Aquaculture, 34 : 303-316. Jithendran, K.P., M. Poornima, C.P. Balasubramaniam and S. Kulasekarapandian. 2010. Diseases of mud crab (Scylla spp.) : an overview. Indian J. Fish. 57 (3) : 55-63. Marichamy, R. and S. Rajapackiam. 1991. Experiment on larval rearing and seed production of the mud crab, Scylla serrata (Forskal). In : The Mud Crab. A report on the seminar convened in Surat Thani (ed. C. A. Angell). Pp. 135-141, Bay of bengal Programme, Madras, India. Mary, L., P.E. Fe and G.A. Gonzales. 2007. Acute toxicity of nitrite to mud crab Scylla serrata (Forsskal) larvae. Aquaculture Research, 38 (14) : 1495-1499. Nell, L.L., F. Ravi and C.S. Colin. 2005. Effects of acute and chronic toxicity of unionized ammonia on mud crab, Scylla serrata (Forskal, 1755) larvae. Aquaculture Research, 36 : 927-935. Nogami, K. and M. Maeda. 1992. Bacteria as biocontrol agent for rearing larvae of the crab, Portunus trituberculatus. Can. J. Fish Aquat. Sci, (49) : 2373 – 2376. Pattanee, J., T. Praphaphan and S. Pripanapong. 2004. Evaluation of different larval feeds for survival and development of early stage mud crab (Scylla olivacea). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 38 : 484-492. Quinitio, E.T., F.D. Parado-Estepa, O.M. Millamena, E. Rodriguez and E. Borlongan. 2001. Seed production of mud crab Scylla serrata jeveniles. Asian Fisheries Science, 14 : 161-174. Rabbani, A.G. dan C. Zeng. 2005. Effects of tank colour on larval survival and development of mud crab, Scylla serrata (Forskal). Aquaculture Research, 36 : 1112-1119. Rodriguez, E.M., E.T. Quinitio, F.D. Parado-Estepa and O.M. Millamena. 2001. Culture of Scylla serrata megalops in brackishwater ponds. Asian Fisheries science, 14 : 185-189. Setyadi, I., Z.I. Azwar, Yunus dan kaspriyo. 1997. Penggunaan jenis pakan alami dan buatan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla serrata. JPPI, (III) 4 : 73 – 77.
35
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Suprayudi, M.A., T. Takeuchi, K. Hamasaki and J. Hirokawa. 2002. The effect of N-3HUFA content in rotifer on the development and survival of mud crab, Scylla serrata, larvae. Suisanzoshoku, 50 (2) : 205-212. Truong, T. Ng., M. Wille, C.B. Tran, P.T. Hoang, V.D. Nguyen and P. Sorgeloos. 2007. Improved techniques for rearing mud crab Scylla paramamosain (Estampador 1949) larvae. Aquaculture Research, 38 : 1539-1553. Welch, J.M. and C.E. Epifanio. 1995. Effect of variations in prey abundance on growth and development of crab larvae reared in the laboratory and in large field-deployed enclosures. Marine Ecology Progress Series. 116 : 55 – 61. Yunus, I. Setiadi, Kaspriyo dan D. Roza. 1997. Pengaruh pH air terhadap kelulushidupan larva kepiting bakau Scylla serrata. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, III (4) : 57 – 61. Zafran. 1996. Efektifitas fungisida dalam menghindarkan infeksi jamur Lagenidium sp. pada larva kepiting bakau Scylla serrata. JPPI, 2(1) : 15-23.
36