781
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
KONDISI KUALITAS AIR PADA PEMELIHARAAN KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain) SECARA RESIRKULASI DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA Muhammad Nur Syafaat, Gunarto, dan Sahabuddin Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan kepadatan kepiting bakau yang dipelihara secara resirkulasi terhadap kondisi kualitas air. Penelitian ini didesain dengan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan dua ulangan. Kepadatan kepiting yang diujicobakan yaitu kepadatan 1 ekor/ bak, 2 ekor/bak, 3 ekor/bak, dan 4 ekor/bak. Jenis filter dalam sistem resirkulasi yang diamati pada penelitian ini ada tiga yaitu: 1) filter arang + rumput laut (Gracilaria sp.), 2) rumput laut (Gracilaria sp.), 3) arang dan satu perlakuan tanpa filter sebagai kontrol. Penelitian berlangsung kurang lebih satu bulan. Pada minggu pertama digunakan filter rumput laut dan arang, minggu kedua digunakan filter rumput laut, minggu ketiga digunakan filter arang dan minggu keempat tanpa filter. Kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, pH, alkalinitas, DO, nitrit, nitrat, TAN (total amoniak nitrogen), dan fosfat. Kualitas air media yang diamati pada berbagai kepadatan kepiting bakau menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) antar kepadatan pada setiap jenis filter yang diujicobakan. Filter arang dengan volume berat yang lebih besar dari rumput laut dengan perbandingan sekitar 8:1 memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menurunkan kadar nitrit dan TAN dibandingkan dengan menggunakan filter rumput laut. Pemeliharaan kepiting bakau secara resirkulasi pada kondisi indoor sampai dengan kepadatan 4 ekor/m2 dapat mengunakan filter arang saja dan bisa juga dikombinasikan dengan filter rumput laut dengan memperhatikan jumlah organisme yang dipelihara, volume air dan berat filter arang, dan rumput laut yang digunakan. KATA KUNCI:
kualitas air, kepiting bakau, kepadatan, resirkulasi, jenis filter
PENDAHULUAN Komoditas kepiting bakau memiliki beragam keunggulan sehingga layak untuk dikembangkan sebagai komoditas budidaya. Balasubrsmanian (2008) mengemukakan beberapa keuntungan dalam budidaya kepiting bakau yaitu: (1) tidak membutuhkan teknologi yang komplek; (2) dapat memanfaatkan tambak bekas udang; (3) memiliki pasar international; (4) merupakan hewan natif pada banyak negara tropis di Asia; (5) transportasi yang mudah, potesial untuk kawasan pedesaan sebagai industrialisasi akuakultur; (6) secara individu dihargai berbeda dengan udang penaid; dan (7) ketahanan sumber daya. Sebagaimana organisme budidaya lainnya, usaha budidaya kepiting bakau mencakup kegiatan pembenihan, pentokolan, dan pembesaran. Kegiatan pembesaran kepiting bakau pada umumnya dilakukan di tambak atau di tambak mangrove (silvikultur). Pemeliharaan kepiting bakau di tambak dinilai lebih ekonomis karena ketersediaan pakan alami di tambak dan penyesuaian dengan habitat alaminya. Pemeliharaan dalam ruangan (indoor) untuk kepiting bakau biasanya dipersiapkan untuk pemeliharaan calon induk dan induk, usaha penggemukan atau usaha kepiting soka dengan menggunakan sistem seluler atau resirkulasi. Kepiting yang dipelihara secara indoor biasanya menggunakan kotak kontainer yang berukuran kecil per individu atau dipelihara dengan kepadatan lebih dari satu ekor pada bak fiber atau bak beton yang ukurannya lebih luas dengan menyediakan shelter di dalamnya untuk menekan kanibalisme. Shelley & Lovatelli (2011) mengemukakan bahwa sistem resirkulasi (pada pemeliharaan kepiting bakau) membutuhkan akses untuk sumber air laut dan tawar dengan kualitas yang baik dan suplai listrik yang mencukupi, sebagai kebutuhan yang signifikan pada sistem tersebut. Sumber air harus bebas dari polusi dengan kisaran pH 7,5–8,5. Pada pemeliharaan secara resirkulasi, peran filter sangat penting untuk menjaga kualitas air tetap stabil dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat menghemat penggunaan air. Shelley & Lovatelli
Kondisi kualitas air pada pemeliharaan kepiting bakau ..... (Muhammad Nur Syafaat)
782
(2011) menjelaskan bahwa penggunaan pasir dan metode filter lainnya dapat mereduksi kekeruhan air yang tinggi untuk memperoleh air yang sesuai untuk hatcheri dan produksi pakan alami. Jenisjenis filter yang biasa digunakan pada sistem resirkulasi yaitu filter fisik yang berfungsi untuk menyaring partikel-partikel organik sehingga air tetap jernih, filter kimiawi untuk menyerap senyawa beracun dalam air misalnya nitrit dan amoniak dan filter biologi yang memanfaatkan organisme perairan baik tumbuhan maupun hewan akuatik untuk dapat meningkatkan kualitas air, misalnya bakteri, rumput laut atau kekerangan. Keberadaan filter dalam sistem resirkulasi diharapkan mampu menekan kadar nitrit dan amoniak dalam air yang merupakan senyawa beracun pada organisme budidaya. Pada penelitian ini, jenis filter yang digunakan ada dua yaitu arang sebagai filter kimia dan rumput laut (Gracilaria sp.) sebagai filter biologi. Arang merupakan karbon aktif yang pada umumnya berbahan baku dari kayu atau tempurung kelapa yang kemudian diproses melalui pembakaran untuk menghasilkan arang. Spotte (1979) mengemukakan bahwa karbon aktif dapat berbentuk tepung atau butiran (>0,1 mm). Anonim (2002) menjelaskan bahwa pada filter kimiawi, air dialirkan melalui bahan seperti karbon. Karbon ini akan menyaring berbagai material berbahaya, misal amonia. Rumput laut yang berperan sebagai filter biologi memiliki fungsi untuk menyerap kelebihan nutrient anorganik (NH4+, NO2-, dan NO3-) (Pantjara, 2012). Filter fisik yang biasanya berupa pasir atau kerikil tidak digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa kepiting yang dipelihara adalah kepiting yang sudah berukuran besar yang secara alamiah hidup pada daerah pesisir pantai yang keruh sehingga tidak terlalu membutuhkan filter fisik. Disamping itu, pecahan-pecahan arang yang terbuat dari tempurung kelapa yang dibungkus dalam waring hijau dan ditempatkan pada posisi masuknya air, selain berfungsi sebagai filter kimia juga dapat berfungsi sebagai filter fisik untuk memerangkap partikel-partikel organik yang melewatinya. Shelley & Lovatelli (2011) menggambarkan bahwa kepiting bakau biasanya hidup pada daerah pesisir pantai yang keruh sehingga kekeruhan yang tinggi bukanlah isu utama, dengan perkecualian untuk kebutuhan air pada kegiatan hatcheri. Pada sistem resirkulasi, selain jenis filter, jenis, dan kepadatan organisme yang dipelihara juga menjadi bahan pertimbangan untuk menciptakan kondisi yang baik selama pemeliharaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan kepadatan kepiting bakau yang dipelihara secara resirkulasi terhadap kondisi kualitas air berdasarkan jenis filter yang digunakan. Selain itu, juga diamati pengaruh perbedaan jenis filter terhadap kondisi kualitas air selama pemeliharaan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi pembenihan kepiting bakau (Scylla sp.) Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP), Maros. Penelitian ini didesain berdasarkan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan dua ulangan. Kepadatan kepiting yang diujicobakan yaitu kepadatan 1 ekor/bak, 2 ekor/bak, 3 ekor/bak, dan 4 ekor/bak. Jenis filter yang diamati pada penelitian ini ada tiga yaitu: 1) arang dan rumput laut (Gracilaria sp.), 2) rumput laut (Gracilaria sp.), 3) arang, dan 4) tanpa filter sebagai kontrol. Jenis arang yang digunakan adalah arang dari tempurung kelapa yang dibungkus memanjang menyerupai karung menggunakan waring hijau sebanyak empat buah dengan bobot kering sekitar 10-15 kg/karung (Gambar 1 dan 2). Rumput laut (Gracilaria sp.) yang digunakan sekitar 5 kg. Bak yang digunakan adalah bak fiber ukuran 1 m x 1 m sebanyak sembilan buah. Sistem pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi dan satu bak digunakan sebagai tandon. Volume total air yang digunakan dalam penelitian ini sekitar 2,3 m3 dengan volume air di dalam setiap bak berkisar 0,24-0,26 m3 dan pergantian air rata-rata 36%/jam/bak. Selama pemeliharaan tidak dilakukan penambahan maupun pergantian air. Masa penelitian kurang lebih satu bulan dan pengamatan untuk tiap jenis filter berlangsung selama satu minggu secara bergantian dengan mengambil sampel air pada hari awal, tengah, dan akhir. Pada minggu pertama digunakan filter rumput laut dan arang, minggu kedua digunakan filter rumput laut, minggu ketiga digunakan filter arang dan minggu keempat tanpa filter. Kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas pH, alkalinitas, DO, nitrit, nitrat, TAN (total amoniak nitrogen), dan fosfat.
783
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Gambar 1. Jenis dan posisi filter yang digunakan pada tandon selama penelitian (A = filter rumput laut + arang, B = rumput laut, C = arang, dan D = tanpa filter)
Gambar 2. Posisi bak pemeliharaan dan tandon pada sistem resirkulasi yang digunakan Hewan uji diberi pakan setiap hari dengan ikan rucah sebanyak 5% dari bobot biomassa. Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau dengan bobot rata-rata 46,11 g/ekor. Kepadatan hewan uji pada masa penelitian dipertahankan dengan mengganti setiap kepiting yang mati dengan kepiting yang baru. Data kualitas air pada pengamatan hari awal, tengah dan akhir untuk setiap jenis filter dianggap sebagai ulangan untuk parameter pH, alkalinitas, nitrit, nitrat, TAN, dan fosfat. Adapun suhu, DO, dan salinitas ulangannya sesuai dengan jumlah ulangan pada setiap perlakuan dengan mengambil nilai rata-rata pada setiap ulangan. Untuk mengetahui adanya pengaruh antar perlakuan terhadap kualitas air yang diamati digunakan analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan jika perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata (P<0,05). Analisis statistik menggunakan program excell 2007. Untuk mengetahui pengaruh jenis filter terhadap kualitas air (nitrit, TAN, nitrat, dan fosfat) dilakukan analisis deskriptif dengan bantuan grafik. HASIL DAN BAHASAN Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian berdasarkan jenis filter untuk parameter suhu, salinitas, pH, DO, alkalinitas, nitrit, TAN, nitrat, dan fosfat disajikan pada Tabel 1. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa berbagai kepadatan yang diujicobakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan kualitas air antar perlakuan untuk setiap jenis filter. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan kepiting bakau untuk kegiatan pembesaran sampai dengan kepadatan 4 ekor/m2 pada bak dengan sistem resirkulasi pada berbagai jenis filter yang dicobakan masih memungkinkan untuk dilakukan bila dilihat dari aspek kualitas air. Pemeliharaan dengan sistem resirkulasi dapat membantu dalam menjaga kualitas air selama pemeliharaan karena adanya ketersediaan filter. Lutz et al. (1998) mengemukakan bahwa sistem resirkulasi atau “re-use”
Kondisi kualitas air pada pemeliharaan kepiting bakau ..... (Muhammad Nur Syafaat)
784
Tabel 1. Nilai rata-rata dan standar deviasi dari hasil pengukuran parameter Note : huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) Perlakuan Parameter KO (± SD)
K1 (± SD)
K2 (± SD)
K3 (± SD)
K4 (± SD)
27,2 ± 0,42
27,12 ± 0,03a
27,15 ± 0 a
27,17 ± 0,03a
27,2 ± 0 a
29 ± 2,83
29,37 ± 0,17a
29,5 ± 0 a
29,25 ± 0,35a
29,5 ± 0 a
7,47 ± 0,46 a 4,91 ± 0,08
7,6 ± 0,37 a
7,66 ± 0,32 a
7,72 ± 0,27 a
7,76 ± 0,24 a
4,44 ± 0,03 a
4,51 ± 0,12 a
Rumput laut ± arang Suhu (°C) Salinitas (ppt) pH DO (mg/L) Alkalinitas (mg/L)
4,68 ± 0,18 a
a
a
a
4,31 ± 0,02 a a
153,33 ± 6,44a
Nitrit (mg/L)
148 ± 4,22 142,1 ± 2,43 152 ± 4,22 153,33 ± 6,44 a a 0,095 ± 0,02a 0,097 ± 0,01 0,084 ± 0,02 0,091 ± 0,02a
TAN (mg/L)
0,246 ± 0,04 a 0,294 ± 0,07a 0,374 ± 0,25 a
0,229 ± 0,07a
0,272 ± 0,07 a
Nitrat (mg/L)
5,43 ± 1,43 a
Fosfat (mg/L)
a
1,91 ± 0,73
0,105 ± 0,01 a
5,59 ± 1,49 a 1,63 ± 0,51a
5,77 ± 2,22 a
5,18 ± 1,39 a
5,94 ± 2,08 a
a
a
1,58 ± 0,59 a
27,71 ± 0,02a
27,76 ± 0 a
1,55 ± 0,61
1,65 ± 0,50
Rumput laut Suhu (°C) Salinitas (ppt) pH DO (mg/L)
27,8 ± 0,76 30 ± 1 7,92 ± 0,23 a 4,7 ± 0,27 a
27,78 ± 0,23a
27,76 ± 0 a
30,66 ± 0,47a 30,83 ± 0,23 a
30,66 ± 0,47a
30,83 ± 0,23 a
7,88 ± 0,32 a
7,94 ± 0,22 a
7,99 ± 0,17 a
8,02 ± 0,18 a
4,16 ± 0,27 a
4,07 ± 0,06 a
4,31 ± 0,11 a a
a
4,17 ± 0,03 a a
150,51 ± 17,05 144,89 ± 17,05 a
Alkalinitas (mg/L)
139 ± 11,16
Nitrit (mg/L)
0,727 ± 0,56 a 0,731 ± 0,56a 0,667 ± 0,48 a
0,99 ± 0,87 a
0,80 ± 0,62 a
TAN (mg/L)
0,292 ± 0,09 a 0,477 ± 0,28a 0,328 ± 0,11 a
0,295 ± 0,14a
0,317 ± 0,12 a
Nitrat (mg/L)
5,37 ± 2,17 a
5,24 ± 1,96 a
6,17 ± 2,79 a
5,54 ± 1,75 a
Fosfat (mg/L)
a
a
a
a
6,39 ± 2,54 a 2,44 ± 0,31a
2,48 ± 0,30
133,6 ± 10,62 139 ± 19,33
2,48 ± 0,31
2,44 ± 0,31
2,44 ± 0,31
Arang 27,08 ± 0,02a 27,11 ± 0,02 a
27,11 ± 0,02a
27,1 ± 0 a
30,33 ± 0 a
30,16 ± 0,23a
30 ± 0 a
7,65 ± 0,14 a
7,67 ± 0,06 a
7,69 ± 0,16 a
7,75 ± 0,13 a
4,55 ± 0,04 a
4,63 ± 0,004 a
4,30 ± 0,209a
Suhu (°C)
27,2 ± 0,81
Salinitas (ppt)
30,7 ± 0,58
30,33 ± 0a
pH
7,62 ± 0,02 a 4,95 ± 0,34
DO (mg/L) Alkalinitas (mg/L)
117 ± 10,62
a
116,8 ± 6,44
Nitrit (mg/L)
0,49 ± 0,37 a
0,46 ± 0,37 a
TAN (mg/L)
4,28 ± 0,19 a
a
122,38 ± 8,44
0,48 ± 0,37 a
0,50 ± 0,44 a
0,57 ± 0,40 a
0,203 ± 0,07 a 0,295 ± 0,09a 0,274 ± 0,09 a
0,304 ± 0,10a
0,300 ± 0,11 a
Nitrat (mg/L)
5,39 ± 2,23 a
5,42 ± 2,28 a
5,35 ± 2,28 a
4,74 ± 1,06 a
5,41 ± 1,85 a
Fosfat (mg/L)
a
a
a
a
3,09 ± 0,30 a
3,05 ± 0,26
3,08 ± 0,28
a
114 ± 4,22
3,09 ± 0,28
3,09 ± 0,30
a
116,75 ± 8,78a
Tanpa filter/kontrol Suhu (°C) Salinitas (ppt) pH DO (mg/L)
27,7 ± 0,98 30 ± 1 7,7 ± 0,26 a 4,74 ± 0,25
27,75 ± 0,02a
27,81 ± 0,02a
27,83 ± 0 a
30,41 ± 0,11a 30,16 ± 0,23 a
30,16 ± 0,47a
30 ± 0,23 a
7,76 ± 0,25 a
7,73 ± 0,23 a
7,66 ± 0,28 a
7,7 ± 0,26 a
4,61 ± 0,01 a
4,35 ± 0,13 a
4,34 ± 0,18 a
Alkalinitas (mg/L)
107 ± 2,43
a
112,5 ± 4,87
Nitrit (mg/L)
0,98 ± 0,56 a
0,90 ± 0,69 a
TAN (mg/L)
4,17 ± 0,53 a
a
111,13 ± 8,78
0,86 ± 0,69 a
0,89 ± 0,74 a
0,85 ± 0,66 a
0,405 ± 0,25 a 0,378 ± 0,18a 0,455 ± 0,18 a
0,495 ± 0,29a
0,436 ± 0,18 a
Nitrat (mg/L)
6,38 ± 1,98 a
5,75 ± 2,39 a
5,94 ± 2,39 a
5,35 ± 2,22 a
5,45 ± 2,09 a
Fosfat (mg/L)
a
a
a
a
3,26 ± 0,11 a
3,18 ± 0,11
3,21 ± 0,13
a
27,76 ± 0 a
110 ± 4,22
3,23 ± 0,13
3,29 ± 0,14
a
115,35 ± 6,44a
785
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
mengandalkan sirkulasi air yang kontinu melalui filter mekanik atau biologi untuk menghilangkan padatan-padatan dan menetralisir amoniak. Jika melihat dari aspek kanibalisme, maka perlakuan dengan kepadatan e” 2 ekor/m2 tanpa sekat masih perlu dipertimbangkan karena selama kegiatan penelitian terjadi pemangsaan pada kepiting bakau yang mengalami moulting meskipun telah disiapkan shelter berupa pipa yang dipotong-potong. Pemeliharaan kepiting e” 2 ekor/m2 pada sistem resirkulasi seperti yang dilakukan pada penelitian ini perlu disiapkan sekat dalam bak sehingga tidak terjadi kontak antar kepiting untuk menghindari kematian akibat kanibalisme. Meskipun semua parameter kualitas air yang diamati tidak berbeda nyata pada kepadatan yang berbeda namun parameter nitrit dan TAN cenderung mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya kepadatan pada setiap jenis filter yang digunakan. Hal ini berkaitan dengan tingkat buangan limbah yang semakin banyak pada budidaya dengan kepadatan yang lebih tinggi baik berupa sisa pakan maupun feses. Lutz et al. (1998) menjelaskan bahwa produk limbah yang berkaitan dengan produksi ikan termasuk amonia dan padatan feses. Tambahan limbah dapat dihasilkan jika pakan yang diberikan tidak termakan. Meskipun parameter nitrit dan TAN cenderung mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya kepadatan namun konsentrasinya masih pada kisaran yang aman untuk kegiatan budidaya (Tabel 2). Nilai oksigen yang diperoleh selama penelitian pada berbagai kepadatan dan jenis filter cukup baik yaitu > 4 mg/L sehingga layak untuk pemeliharaan kepiting bakau. Shelley & Lovatelli (2011) menyarankan konsentrasi oksigen > 5 mg/L namun dijelaskan bahwa kepiting bakau toleran pada level oksigen yang rendah. Penambahan kepadatan menunjukkan pengaruh terhadap penurunan kadar oksigen terlarut pada pengamatan setiap jenis filter meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata. Penurunan kadar oksigen pada bak dengan kepadatan yang lebih tinggi karena tingkat konsumsi oksigen yang lebih banyak. Fujaya (2004) mengemukakan bahwa kandungan oksigen di air hanya 5% atau kurang dibanding kandungan oksigen di udara. Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan hewan air harus memompa sejumlah besar air ke permukaan insang untuk mengambil oksigen. Kenaikan pH melebihi batas yang dapat ditoleransi akan menyebabkan penyakit (alkalosis) atau stress. Alkalosis yang parah dapat menyebabkan kerusakan sel-sel epitel kulit dan insang. Amonia juga akan meningkat toksisitasnya pada pH tinggi (Irianto, 2005). Pada penelitian ini, nilai pH masih pada kondisi yang baik untuk kegiatan budidaya dengan kisaran 7,18-8.21. Shelley & Lovatelli (2011) menyarankan sumber air dalam kegiatan budidaya kepiting bakau harus bebas dari polusi dengan kisaran pH 7,5-8,5. Peningkatan suhu akan diikuti oleh penurunan kelarutan sejumlah besar gas-gas dalam air (Irianto, 2005). Selain suhu, gas-gas kurang terlarut dalam lingkungan air yang bergaram (salinitas tinggi), sehingga jika salinitas meningkat maka ketersediaan oksigen terlarut berkurang (Irianto, 2005). Nilai suhu dan salinitas selama penelitian tergolong baik yaitu berkisar 26,5°C-28,4°C dan 27-32 ppt. Kathirvel et al. (1999) mengemukakan bahwa kisaran salinitas dari 15-35 ppt adalah kisaran yang optimum untuk pertumbuhan dan sintasan yang lebih baik pada kepiting bakau dalam kegiatan budidaya. Pada pemeliharaan larva, air laut yang difilter seharusnya memiliki kisaran salinitas 30-35 ppt dan suhu air 27°C-29°C. Nilai alkalinitas merupakan parameter kualitas air yang dapat menunjukkan kemampuan air dalam menjaga fluktuasi nilai pH. Effendi (2003) menjelaskan bahwa perairan dengan nilai alkalinitas tinggi memiliki sistem penyangga yang lebih baik terhadap perubahan pH. Walaupun fotosintesis berlangsung intensif, namun perubahan pH tidak terlalu besar. Selanjutnya dijelaskan bahwa penyusun alkalinitas yang utama dalam perairan adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-) di mana bikarbonat paling banyak terdapat pada perairan alami. Pengamatan nilai alkalinitas selama penelitian menunjukkan adanya penurunan nilai alkalinitas yang konstan pada setiap pengamatan yang kemungkinan dipengaruhi oleh adanya penyerapan mineral tertentu selama proses moulting dan juga berkaitan dengan sistem resirkulasi yang digunakan. Lee & Wickins (1992) mengemukakan bahwa mineralisasi dari cangkang baru dipengaruhi oleh ketersediaan ion tertentu (kalsium,
Kondisi kualitas air pada pemeliharaan kepiting bakau ..... (Muhammad Nur Syafaat)
786
bikarbonat, dan pH) di perairan sekitarnya, dalam diet, dan pada hewan air tawar dari bahan yang disimpan di dalam tubuh sebelum moulting, perubahan yang muncul dalam komposisi air selama budidaya intensif dan terutama dalam system resirkulasi dapat memiliki pengaruh besar pada proses mineralisasi dan pada kemampuan hewan untuk mengontrol pH darah. Tabel 2 memberikan informasi tentang kisaran yang optimal pada beberapa parameter kualitas air untuk budidaya kepiting bakau. Tabel 2. Parameter kualitas air yang disarankan untuk pengelolaan tambak kepiting bakau Parameter Dissolved oxygen (DO) pH Suhu
Kisaran optimal
> 5 mg/L* (kepiting bakau toleran pada level Dua kali sehari oksigen yang rendah) Dua kali sehari 7,5-9; < 0,5 variasi harian; Optimal sekitar 7,8* 25°C-35°C Maksimum dan minimum mingguan
Salinitas Total ammonia nitrogen (TAN) Un-ionized ammonia (NH3) Nirit (NO2) Alkalinitas Kesadahan Hidrogen sulfida Kekeruhan
Frekuensi sampling
10-25 ppt untuk krablet
Mingguan
*
< 3 mg/L (krablet memiliki toleransi terhadap amonia yang tinggi) < 0,25 mg/L* (krablet memiliki toleransi pada amonia yang tinggi) < 10 mg/L pada salinitas > 15 ppt; < 5 mg/L pada salinitas < 15 ppt > 80 mg/L (idealnya 120 mg/L) > 2.000 mg/L < 0,1 mg/L
*
Pengamatan harian diperlukan Pengamatan harian diperlukan Pengamatan harian diperlukan Pengamatan harian diperlukan Pengamatan harian diperlukan
*
*
20-30 cm
Mingguan Harian
*
K Kisaran untuk Penaeus monodon (digunakan untuk menyediakan petunjuk bagi petani) Sumber: Diadaptasi dari the Australian prawn farming manual (Anonym, 2006) dalam Shelley & Lovatelli (2011)
Pengaruh Jenis Filter Terhadap Konsentrasi Nitrit, TAN, Nitrat, dan Fosfat Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengaruh jenis filter terhadap konsentrasi nitrit, TAN, nitrat, dan fosfat maka ditampilkan kondisi kualitas air selama pemeliharaan berdasarkan jenis filter pada pengamatan awal, tengah, dan akhir (Gambar 3). Kondisi kualitas air untuk parameter nitrit, TAN, nitrat, dan fosfat mengalami fluktuasi dan perubahan yang cukup signifikan setelah dilakukan pergantian jenis filter (Gambar 3). Secara umum terlihat bahwa penggunaan filter pada minggu pertama sampai minggu ketiga efektif dalam menurunkan kadar nitrit dan TAN. Hal ini dibuktikan dengan naiknya kadar nitrit dan TAN pada minggu keempat pada saat tidak ada filter sama sekali. Pada minggu pertama dan ketiga yang menggunakan filter arang menunjukkan adanya penurunan kadar nitrit dan TAN yang signifikan dibandingkan dengan menggunakan filter rumput laut saja. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan filter arang lebih efektif dalam menurunkan kadar nitrit dan TAN dibandingkan dengan hanya menggunakan rumput laut saja. Hasil penelitian Heasman & Fielder (1983) pada pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla serrata) secara resirkulasi dan salah satu filternya adalah arang mampu mendukung kondisi lingkungan yang baik selama pemeliharaan sehingga diperoleh sintasan larva yang tinggi sampai pada fase krablet. Pada saat menggunakan filter rumput laut saja terlihat bahwa nilai nitrit dan TAN mengalami kenaikan sampai dengan 1,85 mg/L untuk nitrit dan 0,8 mg/L untuk TAN pada pengamatan pertama (tengah) namun pada akhir pengamatan menunjukkan adanya penurunan. Kedua jenis filter menunjukkan kemampuan dalam menurunkan kadar nitrit dan TAN sehingga kedua jenis filter dapat dipadukan secara bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif.
787
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Gambar 3. Fluktuasi kualitas air berdasarkan jenis filter pada awal, tengah, dan akhir pengamatan (A) nitrit, (B) TAN, (C) nitrat, (D) fosfat Konsentrasi nitrat selama penelitian mengalami fluktuasi sedangkan fosfat cenderung mengalami peningkatan. Nitrat tidak bersifat toksik yang akut kepada hewan-hewan akuatik meskipun pada konsentrasi yang besar, meskipun efek mengenai periode waktu yang diperpanjang belum bisa dipastikan (Spotte, 1979). Konsentrasi nitrat sampai dengan 1.000 mg/L tidak memberikan efek terhadap pertumbuhan dari Japanese pearl oyster (Pinctada fucada) dengan pH air laut lebih besar dari 8,05 (Kuwatani et al., 1975 dalam Spotte, 1979). Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Fosfor juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik, serta sangat memengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi, 2003). Pertumbuhan Kepadatan hewan uji pada masa penelitian dipertahankan dengan mengganti setiap kepiting yang mati dengan kepiting yang baru sehingga hal ini berkonsekuensi terhadap data pertumbuhan kepiting yang dipelihara, khususnya pada perlakuan dengan kepadatan > 2 ekor/m2. Meskipun dilakukan upaya untuk mengganti kepiting yang mati dengan ukuran yang hampir sama namun tidak semua pergantian kepiting memiliki ukuran yang hampir sama karena keterbatasan hewan uji yang tersedia. Data pertumbuhan kepiting dengan kepadatan yang berbeda pada Tabel 3 digunakan sebagai data pelengkap pada penelitian ini namun tidak bisa dijadikan acuan khususnya kepadatan > 2 ekor/m2, adapun pada kepadatan 1 ekor/m2 tidak terjadi pergantian kepiting selama penelitian sehingga dapat menunjukkan pertumbuhan kepiting yang dipelihara.
Kondisi kualitas air pada pemeliharaan kepiting bakau ..... (Muhammad Nur Syafaat)
788
Tabel 3. Bobot rata-rata kepiting bakau yang di-sampling setiap minggu selama pemeliharaan Bobot rata-rata (g/ekor) – (panjang/lebar karapaks (cm))* Pengamatan K1 Bobot awal rata-rata Sampling minggu pertama Sampling minggu kedua Sampling minggu ketiga
K2
K3
K4
46,11 (4,27/6,3) 63,52 (4,83/6,55) 102,64 (5,62/8,22)
50,2 (4,21/6,17) 48,33 (4,35/6,13) 39,13 (4,05/5,69) 51 (4,25/6,34)
53,29 (4,39/6,59) 39,54 (4,04/6,08)
103,6 (5,64/8,23) 49,42 (4,33/6,16) 49,62 (4,38/6,39) 46,6 (4,20/6,26)
Sampling minggu keempat 103,56 (5,62/8,19) 52,4 (4,25/6,34) 53,96 (4,58/6,87) 50,67 (4,29/6,31) Catatan: * angka dalam kurung menunjukkan panjang/lebar karapak rata-rata (cm)
KESIMPULAN Kualitas air yang meliputi suhu, DO, pH, salinitas, alkalinitas, nitrit, TAN, nitrat, dan fosfat pada berbagai kepadatan tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap jenis filter yang diujicobakan dan nilai parameter kualitas air yang diamati masih pada kisaran yang baik untuk budidaya kepiting bakau. Filter arang dengan volume bobot yang lebih besar dari rumput laut dengan perbandingan sekitar 8:1 memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menurunkan kadar nitrit dan TAN dibandingkan dengan menggunakan filter rumput laut saja. Pemeliharaan kepiting bakau secara resirkulasi pada kondisi indoor sampai dengan kepadatan 4 ekor/m2 dapat mengunakan filter arang saja dan bisa juga dikombinasikan dengan filter rumput laut dengan memperhatikan jumlah organisme yang dipelihara, volume air dan berat filter arang dan rumput laut yang digunakan. DAFTAR ACUAN Anonim. (2002). Panduan praktis-singkap tabir penangkaran Lou han. Redaksi Trubus. Jakarta, 90 hlm. Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 258 hml. Fujaya, Y. (2004). Fisiologi ikan: Dasar pengembangan teknik perikanan. PT Rineka cipta. Jakarta, 179 hlm. Heasman, M.P., & Fielder, D.R. (1983). Laboratory spawning and mass rearing of the mangrove crab, Scylla serrata (Forskal), from first zoea to first crab stage. Aquaculture, 34, 303-316. Irianto, A. (2005). Patologi ikan teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 256 hlm. Kathirvel, M., Srinivasagam, S., & Kulasekarapandian, S. (1999). Manual on mud crab culture. Central institute of brackishwater aquaculture – Indian council of agricultural research). Chennai, India, 18 pp. Lee, D.O., & Wickins, J.F. (1992). Crustacean farming. John wiley and sons, Inc. New York, 392 pp. Lutz, C.G., Richardson, W.B., & Bagent, J.L. (1998). Greenhouse tilapia production in Louisiana. Louisiana State University, 10 pp. Balasubrsmanian, C.P. (2008). Breeding and larva rearing of mudcrab. In Madhu, K., & Madhu, R. Course Manual Winter School. On: Recent advances in breeding and larviculture of marine finfish and shellfish. Central Marine Fisheries Research Institute, Indian Council of Agricultural Research. Cochin, Kerala, India, p. 116-125. Pantjara, B., Mansyur, A., & Parenrengi, A. (2012). Budidaya udang melalui integrated multitrophic aquaculture (IMTA). Dalam Pirzan, A.M., & Susianingsih, E. Petunjuk teknis Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Maros, 25 hlm. Shelley, C., & Lovatelli, A. (2011). Mud crab aquaculture – A practical manual. FAO Fisheries and aquaculture technical paper No. 567. Rome, 78 pp. Spotte, S. (1979). Fish and invertebrate culture water management in closed systems. John wiley and Sons, Inc. Canada, 179 pp.