211
Polikultur kepiting bakau dan rumput laut ... (Sulaeman)
POLIKULTUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DENGAN METODE TEBAR YANG BERBEDA Sulaeman, Aan Fibro Widodo, dan Herlinah Jompa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Daeng Sittaka No.129, Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian polikultur kepiting bakau, Scylla serrata dan rumput laut, Gracilaria verrucosa, telah dilakukan, akan tetapi masih diperlukan pengkajian tentang metode tebar yang tepat dalam polikultur tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang metode tebar rumput laut yang tepat pada polikultur kepiting bakau dengan rumput laut di tambak. Penelitian dilakukan selama 90 hari di tambak Instalasi Penelitian Marana, BRPBAP, Maros. Penelitian ini menggunakan sembilan petak tambak berukuran 250 m2. Benih yang ditebar adalah krablet-30 dengan padat tebar 1 ekor/m2 dengan bobot rata-rata 0,18±0,03 g, panjang karapas 4,6±0,1 mm dan lebar karapas 5,9±0,1 mm. Padat tebar rumput laut yang diaplikasikan adalah 2 ton/ha. Perlakuan yang diujikan adalah metode tebar rumput laut yang berbeda yaitu: A (metode lepas dasar); B (metode gantung); dan C (gabungan antara keduanya). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan metode penebaran rumput laut menunjukkan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan bobot mutlak, bobot spesifik harian, pertumbuhan panjang dan lebar karapas mutlak, serta spesifik harian, tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap sintasan dan produksi kepiting bakau dan rumput laut. Sintasan dan produksi tertinggi kepiting bakau didapatkan pada perlakuan A: 66,96%; 21,371 kg/250 m2, disusul perlakuan C: 64,06%; 19,495 kg/250 m2; dan terendah pada perlakuan B: 60,58%; 17,497 kg/250 m2.
KATA KUNCI:
kepiting bakau, metode sebar, polikultur, rumput laut
PENDAHULUAN Budidaya kepiting bakau di tambak secara monokultur sudah mulai berkembang di beberapa daerah di Indonesia. Namun teknologi budidaya kepiting bakau hingga kini belum berkembang dengan baik. Salah satu kendala yang dihadapi adalah tingginya tingkat mortalitas karena kanibalisme pada tahap perbenihan dan pembesaran yang berakibat budidaya kepiting menjadi tidak ekonomis. Tingginya mortalitas akibat kanibalisme kepiting masih merupakan faktor dominan yang mempengaruhi hasil pemeliharaan kepiting bakau baik pada masa larva maupun masa pasca larvanya (Rusdi, 1999; Supriatna, 1999; Susanto et al., 2005; Sulaeman, 2009). Penggunaan pelindung (shelter) selama pemeliharaan merupakan salah satu alternatif untuk menekan terjadinya kanibalisme selama pembesaran (Fortes, 1997; Genodepa, 1997; Sulaeman et al., 2008; Sulaeman, 2009). Trino et al. (1997) melaporkan bahwa Gracilaria sp. dapat menjadi pelindung yang efektif dalam budidaya kepiting bakau. Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk pemeliharaan komoditas satu lahan. Sehingga diperoleh manfaat yaitu tingkat produktivitas lahan yang tinggi. Pada prinsipnya terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan komoditas yang harus diatur sehingga tidak terjadi persaingan antar komoditas dalam memperoleh pakannya, selain itu, setiap produk diharapkan dapat saling memanfaatkan sehingga terjadi sirkulasi dalam satu lokasi budidaya. Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat meningkatkan daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu, di mana pertumbuhan produksi akan tetap stabil (Syahid et al., 2006). Budidaya polikultur sudah berkembang di beberapa negara seperti di Cina, Portugal, dan Banglades (Matos et al., 2006; Yang et al., 2001; Zhou et al., 2006,). Polikultur kepiting bakau dan rumput laut sangat cocok diterapkan, karena simbiosis keduanya saling menguntungkan dan keduanya memiliki sifat eurihalin yang toleran pada rentang lingkungan yang cukup lebar terutama salinitas. Rumput laut mendapatkan kelebihan nutrien dalam tambak dan meningkatkan kualitas air terutama sebagai penyuplai oksigen perairan yang dapat digunakan untuk sintasan kepiting bakau. Selain itu, yang terpenting adalah peranan
212
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
rumput laut sebagai pelindung bagi kepiting bakau yang diharapkan mampu meminimalisir kanibalisme yang terjadi selama perbesaran kepiting bakau di tambak. Untuk itulah pemeliharaan kepiting bakau secara polikultur dengan rumput laut dengan metode tebar berbeda dikaji dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang metode tebar rumput laut yang tepat pada polikultur kepiting bakau dengan rumput di tambak. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di tambak Instalasi Penelitian Maranak, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Penelitian ini menggunakan sembilan petak tambak berukuran 250 m2. Benih yang ditebar adalah krablet-30 dengan padat tebat 1 ekor/m2 dengan bobot rata-rata 0,18±0,03 g; panjang karapas 4,6±0,1 mm; dan lebar karapas 5,9±0,1 mm. Ada tiga perlakuan metode tebar rumput laut yang diujikan yaitu: A (metode lepas dasar); B (metode gantung); dan C (gabungan antara keduanya). Pada metode lepas dasar, rumput laut ditebar secara merata pada permukaan dasar di setiap unit tambak percobaan. Pada metode gantung, penanaman dilakukan dengan cara merentangkan tali ris yang telah berisi ikatan tanaman pada tali ris utama dan posisi tanaman budidaya berada sekitar 30 cm di atas dasar perairan. Patok terbuat dari kayu yang berdiameter sekitar 5 cm sepanjang 1 m dan runcing pada salah satu ujungnya. Jarak antara patok untuk merentangkan tali ris sekitar 2,5 m. Setiap patok yang berjajar dihubungkan dengan tali ris poliethilen (PE) berdiameter 8 mm. Jarak antara tali rentang sekitar 20–25 cm. Pada metode gantung digunakan tali panjang yang dibentangkan. Tali sepanjang 50–100 m dibentangkan, setiap jarak 5 m diberi pelampung berupa potongan botol bekas 500 mL. Bibit rumput laut sebanyak 50–100 g diikatkan pada sepanjang tali dengan jarak antar titik lebih kurang 25 cm. Padat tebar rumput laut yang diaplikasikan adalah 2 ton/ha atau dua kali lipat dari padat tebar yang dianjurkan yakni 1 ton/ha (Mubarak et al., 1990). Sebelum budidaya dilakukan persiapan tanah dasar meliputi: pengolahan tanah, pengeringan, perendaman, pencucian, dan pemberantasan hama menggunakan saponin 10 mg/L. Persiapan selanjutnya dengan pengapuran menggunakan dolomit dengan dosis 2.000 kg/ha dan pemupukan awal dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP dengan perbandingan 2:1 sebanyak 200 kg/ha. Pemupukan susulan dilakukan setiap 15 hari sebanyak 10% dari dosis pemupukan awal dan dilakukan selama penelitian yang berlangsung selama 3 bulan. Selama pemeliharaan, kepiting bakau diberi pakan berupa ikan rucah segar dengan kandungan gizi seperti yang tertera pada Tabel 1. Pemberian pakan berupa ikan rucah dilakukan setiap hari dengan jumlah pakan diberikan (3%–5% dari biomassa) disesuaikan dengan kebutuhan, dapat dilihat dari sisa pakan yang tidak termakan. Jika pakan dimakan seluruhnya, maka pemberian pakan selanjutnya sebaiknya ditambah. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan kepiting (bobot, panjang, dan lebar karapas), sintasan, dan nilai produksi. Pengukuran pertumbuhan kepiting bakau dan rumput laut dilakukan setiap 15 hari. Data pertumbuhan, sintasan, dan nilai produksi kepiting bakau yang diperoleh dihitung dan Tabel 1. Komposisi nutrisi ikan rucah yang digunakan sebagai pakan kepiting bakau (Scylla serrata) Ikan rucah Protein kasar Lemak Serat Kelembaban Lainnya Total Sumber: Sulaeman et al. (1993)
Komposisi (%) 26,31 3,43 0,60 62,36 7,30 100,00
213
Polikultur kepiting bakau dan rumput laut ... (Sulaeman)
diuji dengan analisis ragam. Peubah kualitas air meliputi suhu, salinitas, NO2, NO3, NH3, PO4, dan BOT (bahan organik total), diukur setiap minggu dan data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN BAHASAN Hasil penelitian selama tiga bulan diperoleh data pertumbuhan, sintasan, nilai produksi dan data kualitas air (fisika dan kimia air) sebagai pendukung. Pengamatan pertumbuhan, sintasan, dan produksi kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan pertumbuhan dan produksi rumput laut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Pertumbuhan, sintasan, dan produksi kepiting bakau selama 3 bulan pemeliharaan di tambak Perlakuan
Variabel 2
Padat tebar (ind./m ) Bobot awal rata-rata (g) Bobot akhir rata-rata (g) Laju pertumbuhan mutlak (g) Laju pertumbuhan harian (%) Panjang karapas awal (mm) Panjang karapas akhir (mm) Pertambahan panjang mutlak (mm) Laju pertumbuhan panjang harian (%) Lebar karapas awal (mm) Lebar karapas akhir Pertambahan lebar mutlak rata-rata (mm) Laju pertumbuhan lebar harian (%) Sintasan (%) Produksi (kg/250 m2)
A
B
C
1 0,18 127,67 127,49a 141,66a 4,6 62,43 57,83a 64,26a 5,9 88,53 82,63a 91,80a 66,96a 21,371a
1 0,18 115,53 115,35a 132,62a 4,6 60,46 55,86a 62,06a 5,9 85,29 79,29a 88,21a 60,58 b 17,497b
1 0,18 121,91 121,73a 135,26a 4,6 63,35 60,75a 67,50a 5,9 84,43 78,53a 87,25a 64,06c 19,495c
Nilai yang diikuti superscript serupa dalam baris yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 3. Pertumbuhan dan produksi rumput laut selama 3 bulan pemeliharaan di tambak Variabel Padat tebar (ton/ha) Bobot awal rata-rata (kg) Bobot akhir rata-rata (kg) Laju pertumbuhan mutlak (kg) Laju pertumbuhan harian (%) Produksi (kg/250 m2)
Perlakuan A
B
C
2 250 2.36 2.110a 23,44a 2110a
2 250 1.736 1.486b kg 16,51b 1486b
2 250 2.05 1.800c kg 20,00c 1550c
Nilai yang diikuti superscript serupa dalam baris yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan metode penebaran rumput laut menunjukkan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan bobot mutlak, bobot harian, pertumbuhan panjang, dan lebar karapas mutlak dan harian, tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap sintasan, produksi kepiting bakau dan rumput laut.
214
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Laju pertumbuhan rumput laut pada masing-masing perlakuan yaitu A: 23,44%; B: 16,51%; dan C: 20,00%. Laju pertumbuhan berpengaruh terhadap produksi. Produksi rumput laut pada perlakuan A: 2.110 kg/250 m 2; B: 1.486 kg/250 m 2; dan C: 1.550 kg/250 m 2 (Gambar 1). Rendahnya produksi rumput laut pada perlakuan B kemungkinan disebabkan pengaruh kondisi tanah dasar yang mencirikan tanah sulfat masam dengan tingkat kemasaman yang cukup tinggi. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kondisi hidrologi yang kurang mendukung yaitu salinitas yang tinggi mencapai 39 ppt menyebabkan kematian rumput laut. Rumput laut yang mati dan busuk dapat mengeluarkan toksik yang dapat membahayakan sintasan kepiting bakau. Namun demikian produksi yang diperoleh ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasikan pembudidaya pada kondisi hidrologi yang mendukung yaitu 600 kg kering/ha (Hanafi, 2000). Mangampa & Pantjara (2008), melaporkan bahwa Gracilaria verrucosa adalah jenis rumput laut yang sesuai untuk tambak tanah sulfat masam karena memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi ekologi yang luas dan produktivitas tinggi.
Produksi kepiting bakau (kg/250 m2)
25 20 15 10 5 0
Metode lepas dasar
Metode gantung
Metode gabungan
Produksi rumput laut (kg/250 m2)
Perlakuan 2500 2000 1500 1000 500 0
Metode lepas dasar
Metode gantung
Metode gabungan
Perlakuan
Gambar 1. Produksi kepiting bakau (Scylla serrata) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa) Laju pertumbuhan kepiting bakau pada masing-masing perlakuan yaitu A: bobot (141,66%), panjang karapas (64,26%), lebar karapas (91,8%); B: bobot (132,62%), panjang karapas (62,02%), lebar karapas (88,21%); dan C: bobot (135,26%), panjang karapas (67,50%), lebar karapas (87,25%). Sintasan dan produksi kepiting bakau berbeda nyata (P<0,05) antarperlakuan. Sintasan dan produksi tertinggi didapatkan pada perlakuan A: 66,96% dan 21,371 kg/250 m2, disusul perlakuan C: 64,06% dan 19,495 kg/250 m2 dan terendah pada perlakuan B: 60,58% dan 17,497 kg/250 m2 (Gambar 2 dan 3).
215
Polikultur kepiting bakau dan rumput laut ... (Sulaeman)
Laju pertumbuhan panjang harian spesifik (%)
80
A
70 60 50 40 30 20 10 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
80
90
80
90
Waktu pengamatan (hari)
Laju pertumbuhan lebar harian spesifik (%)
120
B
100 80 60 40 20 0 10
20
30
40
50
60
70
Laju pertumbuhan bobot harian spesifik (%)
Waktu pengamatan (hari)
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
C
10
20
30
40
50
60
70
Waktu pengamatan (hari)
Gambar 2. Laju pertumbuhan panjang (A), lebar (B), dan bobot (C) harian spesifik kepiting bakau (Scylla serrata) Sintasan yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Sulaeman et al. (1993) yaitu 35,3% dengan padat penebaran 15.000 ind./ha. Kanibalisme merupakan penyebab utama rendahnya sintasan dalam budidaya kepiting bakau. Sifat kanibal terutama dijumpai ketika masa pergantian kulit (Sulaeman & Hanafi, 1992). Kepiting jantan memiliki sifat teritorial, sehingga akan menyerang jika merasa daerah teritorialnya terganggu. Sifat teritorial merupakan salah satu cara kepiting jantan untuk mendapatkan tempat yang aman saat kawin. Selain itu, sintasan yang rendah
216
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
68 Sintasan (%)
66 64 62 60 58 56
Metode lepas dasar
Metode gantung
Metode gabungan
Perlakuan
Gambar 3. Sintasan kepiting bakau (Scylla serrata) pada perlakuan B kemungkinan besar diakibatkan karena faktor daya dukung lahan. Mortalitas kemungkinan disebabkan pengaruh kondisi tanah dasar yang mencirikan tanah sulfat masam dengan tingkat kemasaman yang cukup tinggi. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kondisi hidrologi yang kurang mendukung yaitu salinitas yang tinggi yang mencapai 39 ppt sehingga sintasan dan laju pertumbuhan kepiting bakau kurang optimum. Selain itu, kondisi hidrologi yang buruk menyebabkan kematian rumput laut, yang dapat meracuni kepiting bakau sehingga mempengaruhi sintasannya. Hasil pengukuran peubah kualitas air tersaji pada Tabel 4. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan seperti oksigen terlarut (DO), suhu, pH, NH3, PO4, dan bahan organik total (BOT) pada setiap perlakuan masih layak untuk budidaya kepiting bakau dan rumput laut di tambak kecuali salinitas. Salinitas yang tinggi karena penelitian bertepatan dengan musim kemarau sehingga pasokan air tawar sulit didapatkan dan salinitas meningkat. Salinitas selama penelitian mencapai 39 ppt. Salinitas yang tinggi menyebabkan sintasan dan pertumbuhan kepiting bakau dan rumput laut kurang optimum. Tabel 4. Kualitas air pada polikultur kepiting bakau (Scylla serrata) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa) dengan metode tebar berbeda Peubah Oksigen terlarut (mg/L) Suhu Salinitas (ppt) pH NH3 (mg/L) PO4 (mg/L) BOT (mg/L)
Perlakuan A
B
C
3,96–4,93 29,6–30,6 23,2–39,3 7,6–8,15 0,144–0,146 0,211–0,214 23,80–30,15
3,77–4,91 29,5–30,6 23,6–39,1 7,43–8,23 0,171–0,176 0,213–0,217 11,45–20,13
3,94–4,99 29,6–30,8 23,0–39,0 7,9–8,20 0,136–0,139 0,221–0,223 23,88–24,22
Zacharia & Kakati (2004) menyatakan, suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase. Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata suhu pada tambak pemeliharaan masih mendukung untuk budidaya kepiting bakau dan rumput laut. Suhu yang optimum untuk kepiting bakau adalah 26°C–32°C (Kuntiyo et al., 1994), sedangkan untuk rumput laut berkisar antara 20°C–28°C (Anonim, 2009). Nilai pH penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokomia di dalam tubuh kepiting bakau. Menurut Christensen et al. (2005), pH optimum untuk kepiting bakau berkisar antara 7,5–8,5. Peubah kualitas air yang mungkin paling berpengaruh adalah
217
Polikultur kepiting bakau dan rumput laut ... (Sulaeman)
salinitas. Salinitas pada ketiga perlakuan berada di luar batas optimum pertumbuhan rumput laut. Mubarak et al. (1990) melaporkan bahwa salinitas yang layak bagi pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp. di tambak adalah 18–30 ppt. Namun demikian, kemampuan rumput laut yang masih bisa tumbuh pada salinitas 45 ppt dapat menjadi kajian lebih lanjut bagi pengembangan budidaya rumput laut di tambak (Tjaronge, 2005). Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli et al., 2000; Neil et al., 2005). Menurut Boyd (1990), amonia di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan, dan pelapukan mikrobial dari senyawa nitrogen. Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme (Lee & Chen, 2003). Boyd (1990) menyatakan, bahwa kandungan amonia meningkat dalam air menyebabkan ekskresi amonia oleh ikan menurun dan kandungan amonia dalam darah serta jaringan meningkat. Hasilnya adalah pH darah meningkat dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim dan stabilitas membran. Amonia tinggi di dalam air juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Oleh sebab itu, dalam media pemeliharaan kepiting bakau maka konsentrasi amonia dalam media tidak lebih dari 0,1 mg/L (Kuntiyo et al., 1994). BOT merupakan indikator subur atau tidaknya suatu perairan. Bahan organik total di perairan dapat berupa bahan organik hidup (seston) dan bahan organik mati (tripton dan detritus). Koesbiono (1981) menyatakan, bahan organik total bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai sumber bahan organik esensial bagi organisme perairan. Sedangkan menurut Reid (1961) dalam Suharyanto (2008), perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah tergolong perairan yang subur. Unsur lain yang menentukan kesuburan suatu perairan adalah kandungan fosfat. Yoshimura dalam Wardoyo (1979) melaporkan bahwa orthofosfat 0,051–0,1 mg/L tergolong perairan dengan tingkat kesuburan baik. Fosfat dan nitrat yang terkandung dalam suatu perairan sangat diperlukan untuk mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan biota yang hidup di dalamnya. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan teknik penebaran rumput laut tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot mutlak, bobot harian, pertumbuhan panjang dan lebar karapas mutlak dan harian, tetapi berpengaruh nyata terhadap sintasan dan produksi kepiting bakau dan rumput laut. Sintasan dan produksi tertinggi kepiting bakau didapatkan pada perlakuan A: 66,96%; 21,371 kg/250 m2, disusul perlakuan C: 64,06%; 19,495 kg/250 m2 dan terendah pada perlakuan B: 60,58%; 17,497 kg/250 m2. Dari hasil ini disarankan agar polikultur kepiting bakau dengan rumput laut sebaiknya dilakukan dengan metode tebar langsung rumput laut. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Zakaria, selaku teknisi pada instalasi tambak percobaan BRPBAP, atas bantuan dalam penyiapan dan pelaksanaan penelitian dan Sutrisyani atas bantuannya dalam menganalisis kualitas air di Laboratorium Air BRPBAP. Penelitian ini dibiayai oleh APBN Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009. DAFTAR ACUAN Anonim. 2009. http://www.perikanan-budidaya.dkp.go.id/detail_berita_fr.php?id=213. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Pounds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University. Alabama. p. 3–163. Cavalli, R.O., Berghe, E.V., Lavens, P., Thuy, N.T.T., Wille, M., & Sorgeloos, P. 2000. Ammonia toxicity as a criterion for the evaluation of larval quality in the prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol., 125C: 333–343. Christensen, S.M., Macintosh, D.J., and Phuong, N.T. 2005. Pond production of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea (Herbst) in the Mekong Delta, Vietnam, using two different supplementary diets. Aqua. Res., 35: 1013–1024. Fortes, R.D. 1997. Mud crab research and development in the Philiphines: an overview. In mud crab aquaculture biology. Proceedings of an international scientific forum held in Darwin, Australia,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
218
21-24 april 1997. ACIAR Proceeding, 78: 27-32. Genodepa, J.G. 1997. Pen culture experiments of the mud crab Scylla serrata in mangrove areas. In mud crab aquaculture biology. Proceedings of an international scientific forum held in darwin, Australia, 21–24 april 1997. ACIAR Proceeding, 78: 89–94. Hanafi, A. 2000. Pemanfaatan tambak tanah sulfat masam untuk budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa . Dipersentasikan pada Seminar Riset Teknologi Pertanian di IP2TP Makassar. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros, Makassar 23–24 Maret 2000, 8 hlm. Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 150 hlm. Kuntiyo, Arifin, Z., & Supratomo, T. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara, 29 hlm. Lee, W.C. & Chen, J.C. 2003. Hemolymph ammonia, urea and uric acid levels and nitrogenous excretion of Marsupenaeus japonicus at different salinity levels. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 288: 39–49. Mangampa, M. & Pantjara, B. 2008. Polikultur udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracilaria verrucosa) dan bandeng (Chanos chanos) di lahan marginal. Prosiding Seminar dan Konferensi Nasional Bidang Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. I: 160– 165. Matos, J., Costa, S., Rodrigus, A., Pereira, R., & Pinto, I.S. 2006. Experimental integrated aquaculture of fish and red sea weeds in Northern Portugal. Aquaculture. 252: 31–42. Mubarak, H., Ilyas, S., Ismail, W., Wahyuni, I.S., Hartati, S.T., Pratiwi, E., Jangkaru, Z., & Arifudin, R. 1990. Petunjuk teknis budidaya rumput laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. 93 hlm. Neil, L.L., Fotedar, R., & Shelley, C.C. 2005. Effects of acute and chronic toxicity of unionized ammonia on mud crab, Scylla serrata (Forsskal, 1755) larvae. Aqua. Res., 36: 927–932. Rusdi, I. 1999. Pengaruh pengkayaan rotifer terhadap sintasan dan perkembangan kepiting bakau Scylla serrata skala laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerja sama dengan JICA ATA-379, p. 173–178. Suharyanto. 2008. Polikultur rajungan (Portunus pelagicus), udang vaname (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng (Chanos chanos), dan rumput laut (Gracillaria sp.) di tambak. Media Akuakultur, 3(2): 107– 113. Sulaeman & Hanafi, A. 1992. Pengamatan terhadap berbagai tingkah laku kepiting bakau, Scylla serrata Forskal. Warta Balitdita, 4(2): 8–12. Sulaeman, Tjaronge, M., & Hanafi, A. 1993. Pembesaran kepiting bakau, Scylla serrata dengan konstruksi tambak yang berbeda. J. Penel. Budidaya Pantai, 9(4): 41–51. Sulaeman, Yamin, M., & Parenrengi, A. 2008. Pengangkutan krablet kepiting bakau (Scylla paramamosain) dengan kepadatan berbeda. J. Ris. Akuakultur, 3(1): 99–104. Sulaeman. 2009. Perbenihan dan perbesaran kepiting bakau. Laporan progress penelitian sub kegiatan tahun 2009. Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau (un-publish). Susanto, B., Marzuki, M., Setyadi, I., Syahidah, D., Permana, I G.N., & Haryanti. 2005. Pengamatan aspek biologi rajungan (Portunus pelagicus), dalam menunjang teknik perbenihannya. Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 10(1): 6–11. Supriyatna, A. 1999. Pemeliharaan rajungan Portunus pelagicus dengan waktu pemberian pakan artemia yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerja sama dengan JICA ATA-379. p. 168– 172. Syahid, M., Subhan, A., & Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Tjaronge, M. 2005. Polikultur rumput laut, Gracilaria sp. dan ikan bandeng, Chanos chanos dengan padat penebaran yang berbeda. J. Pen. Perik. Indonesia, 11(7): 79–85. Trino, A.T., Millamena, O.M., & Keenan, C.P. 1997. Monosex culture of the mud crab (Scylla serrata) at three stocking densities with Gracilaria as crab shelter. In mud crab aquaculture biology. Proceedings of an international scientific forum held in Darwin, Australia, 21-24 april 1997. ACIAR Proceeding, 78: 89–94.
219
Polikultur kepiting bakau dan rumput laut ... (Sulaeman)
Wardoyo, S.T.H. 1979. Kriteria kualitas air untuk keperluan pertanian dan perikanan. Training analisis dampak lingkungan. PPLH, UNDP-PUSDI-PSL IPB. p. 15–40. Yang, H., Fang, Y., & Chen, Z. 2001. Integrated grass-fish farming systems in China. FAO Fisheries Technical Paper, 407: 21–24. Zacharia, S. & Kakati, V.S. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378–382. Zhou, Y., Yang., H.S., Hu., H.Y., Liu., Y., Mao., Y.Z., Zhou., H., Xu, X.L., & Zhang, F.S. 2006. Bioremediation potential of the macroalga Gracilaria lemaneiformis (Rhodophyta) integrated into fed fish culture in coastal waters of north china. Aquaculture, 252: 264–276.