169
Pembesaran kepiting bakau di tambak ... (Herlinah)
PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA Herlinah, Sulaeman, dan Andi Tenriulo Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90511 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian dilakukan di tambak Instalasi Penelitian Marana, BRPBAP Maros, dengan menggunakan enam petak tambak berukuran luas 250 m2. Petakan tambak dilengkapi dengan pagar dari waring yang dipasang tertancap pada sekeliling bagian dalam pematang tambak untuk mencegah kepiting keluar. Benih kepiting krablet-30 (C-30) dengan bobot rata-rata 0,66 g/ekor ditebar dengan kepadatan 200 ekor/petak dan dipelihara selama 3 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kelayakan pembesaran kepiting bakau di tambak dengan menggunakan 3 perlakuan pakan yakni berupa pelet udang (A), ikan rucah (B), dan gabungan keduanya (C), masing-masing dua kali ulangan dan dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pakan diberikan dua kali sehari selama penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata perlakuan terhadap pertumbuhan, baik pertumbuhan bobot, panjang, maupun lebar karapas (P<0,5) namun berpengaruh tidak nyata terhadap sintasan kepiting bakau. Berdasarkan persentase, kepiting yang mampu mencapai bobot > 75 g (80 g) yakni 58%–90%. Dari pencapaian bobot ini, perlakuan pemberian pelet berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya dan perlakuan pemberian ikan rucah dan pemberian pakan gabungan pelet dan rucah berbeda tidak nyata dan lebih tinggi dibanding pemberian pelet. Oleh karena itu, kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian pakan berupa ikan rucah atau campuran antara ikan rucah dan pelet memberikan pertumbuhan bobot yang lebih baik dibandingkan dengan pelet saja.
KATA KUNCI:
kepiting bakau, pemberian pakan, tambak
PENDAHULUAN Salah satu komoditas tambak yang telah lama dirintis budidayanya adalah kepiting bakau (Scylla serrata ) (Sulaeman, 2005). Namun karena kendala ketersediaan benih dari perbenihan maka perkembangan budidaya kepiting bakau berjalan sangat lambat. Berdasarkan hasil-hasil penelitian perbenihan beberapa tahun terakhir diharapkan ke depan produksi benih di hatcheri tidak lagi menjadi kendala. Kepiting bakau di alam menempati habitat kawasan mangrove atau bakau di daerah yang masih terpengaruh pasang surut. Kepiting bakau terutama yang hidup di sekitar muara sungai, merupakan daerah interaksi dari berbagai unsur ekosistem yang merupakan petunjuk bahwa kepiting memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim (Lavina, 1980). Hal ini merupakan potensi dasar yang penting di dalam pengembangan budidaya kepiting. Walaupun demikian kepiting dengan postur tubuhnya yang kokoh dengan capit yang kuat memiliki sifat pemangsa yang ganas. Hal ini menjadi faktor pembatas di dalam proses domestikasi maupun budidayanya (Baliao et al., 1981; Cholik & Hanafi, 1992). Kuatnya sifat saling memangsa tersebut ditunjang oleh tabiat kepiting yang harus ganti kulit atau moulting pada saat mengalami pertumbuhan. Kepiting bakau mengalami pergantian kulit sekitar 17 kali sejak krablet sampai dengan umur setahun (Sulaeman, 2005). Informasi lain menunjukkan bahwa, aktivitas ganti kulit kepiting bakau dapat mempunyai dua puncak dalam sebulan yakni pada puncak pasang perbani dan purnama, walaupun tidak semua individu mengikuti pola tersebut. Karena kuatnya sifat saling memangsa tersebut maka pemeliharaannya memerlukan strategi yang tepat. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi terjadinya pemangsaan selain melalui penyediaan tempat berlindung adalah pemilihan dan pemenuhan kebutuhan pakan yang cukup dan tepat. Penggunaan ikan-ikan rucah (trash fish atau fish bycatch) atau makanan segar dan segar-beku lainnya yang belum mengalami proses untuk makanan kepiting telah banyak dilaporkan dan umumnya digunakan pada budidaya kepiting di tambak. Namun, penggunaan ikan rucah dihadapkan pada masalah yang membutuhkan penyimpanan khusus. Untuk itu, pakan formula dengan kandungan
170
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
bahan yang sesuai dapat menjadi sebuah alternatif. How-Cheong et al. (1992) meneliti bahwa pakan formula telah dapat diterima dengan baik oleh kepiting bakau. Marasigan (1999) dalam Trino et al. (2001) juga melaporkan bahwa laju pertumbuhan spesifik (Specific Growth Rate, SGR) dari beberapa jenis kepiting bakau yang diberi pakan berupa pelet udang dapat menyamai pemberian pakan berupa pakan yang belum diproses (unprocessed feed). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Kuntiyo (1992) dalam Trino et al. (2001). Namun pemberian pelet ini juga tidak terlepas dari masalah, di mana penggunakan pelet ini akan membutuhkan biaya yang tinggi. Pada budidaya kepiting bakau, biaya pakan komersil ini mencapai 40% sampai 50% dari total biaya produksi ((Millamena & Trino, 1997; Trino et al., 1999). Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat kelayakan pembesaran kepiting bakau di tambak dengan menguji penggunaan beberapa jenis pakan untuk mendapatkan jenis yang baik dan tepat dan dapat memacu pertumbuhan kepiting bakau selama masa pembesaran. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di tambak Instalasi Penelitian Marana, Maros. Penelitian menggunakan enam petak tambak berukuran luas 250 m2. Petakan tambak dilengkapi dengan pagar dari waring yang dipasang tertancap pada sekeliling bagian dalam pematang tambak untuk mencegah kepiting keluar. Benih kepiting krablet-30 (C-30), bobot rata-rata 0,66 g/ekor ditebar dengan kepadatan 200 ekor/petak dan dipelihara selama 3 bulan. Tiga jenis pakan diuji yakni pakan berupa pelet udang (A); ikan rucah (B); dan gabungan keduanya (C); dan didesain berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua ulangan dan diuji pada taraf ketelitian 95%. Pakan diberikan dua kali sehari selama penelitian dengan dosis 6%–8% bobot badan/hari. Data hasil pengamatan dianalisis ragam dengan menggunakan program SPSS 16. Bahanbahan yang digunakan meliputi: krablet, tambak, pakan dan lain-lain. Berbagai peralatan yang digunakan merupakan kelengkapan dari fasilitas tambak seperti pompa, saringan pasir, seser, timbangan, dan lain-lain. Tabel 1 memperlihatkan komposisi nutrisi pakan pelet udang dan ikan rucah yang digunakan selama penelitian. Tabel 1. Komposisi proksimat (%) pakan (pelet) dan ikan rucah penelitian Komposisi (%) Protein Lemak Serat fiber Debu Kelembaban Lainnya Total
Pelet udang
Ikan rucah
27.43 6,53 1,45 7,79 - 56,8 100
26,31 3,43 0,6 - 62,36 7,3 100
Sumber: Tahe (2008); Sulaeman et al. (1993)
HASIL DAN BAHASAN Penelitian pemberian pakan berbeda telah dilakukan, dan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan kepiting bakau terlihat bervariasi antara perlakuan (Gambar 1 dan 2) dan dari analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pakan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan (P<0,05). Pertumbuhan bobot dan lebar karapaks kepiting bakau tertinggi dijumpai pada perlakuan C (kombinasi pelet dan rucah) namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan B (ikan rucah) namun berbeda nyata dengan perlakuan A (pelet). Hasil ini merupakan gambaran atau refleksi dari kebiasaan makan kepiting bakau yang mencabit atau memegang pakan yang akan dimakan. Pemberian pakan berupa pelet walaupun secara kimia mengandung unsur hara yang lebih lengkap dan seimbang
171
Pembesaran kepiting bakau di tambak ... (Herlinah)
Bobot kepiting (g)
140
A=pellet B=rucah C=pellet+rucah
120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
Masa pemeliharaan (bulan)
Gambar 1. Pertumbuhan bobot kepiting bakau (Scylla serrata) selama pemeliharaan di tambak dengan pakan berbeda
Panjang karapas (mm)
70 60 50 40 30
A=pellet B=rucah C=pellet+rucah
20 10 0 1
2
3
Lebar karapas (mm)
100 80 60 40
A=pellet
20
C=pellet+rucah
B=rucah
0 1
2
3
Masa pemeliharaan (bulan)
Gambar 2. Pertambahan panjang dan lebar karapas kepiting bakau (S. serrata) selama tiga bulan pemeliharaan di tambak dengan pakan berbeda namun palatabilitasnya mungkin tidak sesuai dengan kebiasaan makan kepiting bakau. Pertumbuhan bobot paling kecil dijumpai pada perlakuan A, dengan demikian ditinjau dari segi pertumbuhan, pakan pelet saja tidak mampu menunjang pertumbuhan yang optimum, namun kombinasi antara pelet dan ikan rucah memberikan respons pertumbuhan yang lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian di atas, meskipun pakan formula (pelet) dengan kandungan bahan yang sesuai dapat menjadi sebuah alternatif sebagaimana hasil penelitian How-Cheong et al., (1992) yang meneliti bahwa pakan formula telah dapat diterima dengan baik oleh kepiting bakau namun aplikasinya harus dikombinasi dengan ikan rucah. Marasigan (1999) dalam Trino et al. (2001) juga
172
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
melaporkan bahwa laju pertumbuhan spesifik dari beberapa jenis kepiting bakau yang diberi pakan berupa pelet udang dapat menyamai pemberian pakan berupa pakan yang belum diproses (unprocessed feed). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Kuntiyo (1992) dalam Trino et al. (2001). Namun pemberian pelet ini juga tidak terlepas dari masalah, di mana penggunaan pelet ini akan membutuhkan biaya yang tinggi. Pada budidaya kepiting bakau, biaya pakan komersil ini mencapai 40% sampai 50% dari total biaya produksi (Millamena & Trino 1997; Trino et al., 1999). Penelitian dan observasi mengenai pakan dan pemberian pakan untuk kepiting bakau di tambak juga telah dilaporkan oleh Wedjatmiko & Yukarsono (1991), Sulaeman & Hanafi (1992), dan Widjatmiko & Dharmadi (1994). Hasilnya bahwa kepiting bakau dapat memakan segala jenis ikan rucah. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah pertimbangan ekonomis, di mana penggunaan ikan rucah secara langsung juga akan bersaing dengan konsumsi ikan rucah tersebut oleh manusia. Untuk itu, pemanfaatannya perlu pula mempertimbangkan faktor ketersediaannya berdasarkan musim (Cholik, 2004). Seperti pada pertumbuhan kepiting, perlakuan pakan yang diaplikasikan juga berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pencapaian ukuran soka (75 g) yang selanjutnya disebut sebagai kepiting berukuran besar (Tabel 2). Frekuensi kepiting besar tertinggi diperoleh pada perlakuan B (90%) yang berbeda nyata dengan A (58%) namun berbeda tidak dengan C (85,5%). Frekuensi terendah didapatkan pada perlakuan A yang berbeda nyata dengan B maupun C. Dari hasil ini semakin nyata menunjukkan bahwa pakan berupa pelet udang komersial kurang sesuai untuk pembesaran kepiting bakau. Tabel 2. Pertumbuhan, pencapaian bobot, dan sintasan kepiting bakau (S. serrata) yang yang dipelihara di dalam tambak dengan jenis pakan berbeda Pertumbuhan Perlakuan A (Pelet) B (Rucah) C (Pelet+rucah)
Bobot (g)
Panjang karapas (mm)
Lebar karapas (mm)
97.8a 122.5b 130.4b
56a 57a 59a
83a 88b 89b
Besar (? 5g)
Sintasan (%)
58a 90b 88,5b
52a 54,5a 52,3a
Huruf yang sama di belakang angka menunjukkan berbeda tidak nyata (P<0,05)
Berdasarkan nilai sintasan, ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kisaran antara 52%–54,5%, namun nilai sintasan yang diperoleh ini lebih besar dari nilai sintasan pada pemelliharaan Scylla paramamosain yang hanya 41% (Sulaeman et al., 2008). Nilai sintasan yang rendah masih menjadi kendala utama pada pembesaran kepiting bakau selain masalah suplai bibit dan penyediaan pakannya (Cholik & Hanafi, 1991). Kualitas air tambak tidak jauh berbeda antar petakan tambak. Nilai yang terekam selama penelitian disajikan pada Tabel 3. Nilai yang diperoleh masih berada dalam kisaran sebagaimana yang dilaporkan Tabel 3. Nilai peubah kualitas air pada pembesaran kepiting bakau (S. serrata) selama tiga bulan pemeliharaan di tambak dengan jenis pakan berbeda Peubah Suhu (°C) pH Salinitas (ppt) Oksigen terlarut (mg/L) Alkalinitas (mg/L) Amonia (mg/L)
Jenis Pakan A (Pelet)
B Rucah)
C (Pelet + Rucah)
29,7–32,6 7,5–8,5 10–49 3,5–6,5 97–198 0,0036–0,0087
29,7–32,6 7,5–8,5 10–49 3,0–6,5 80–200 0,0050–0,0108
29,3–32,6 7,4–9,0 10–49 2,4–6,5 78–202 0,0062–0,0128
173
Pembesaran kepiting bakau di tambak ... (Herlinah)
oleh Trino et al. (2001) yakni suhu 27,8°C–29,6°C; salinitas 25,2–30,2 ppt; oksigen terlarut 3,7–8,9 mg/L; dan pH 7,8–8,9. Nilai ini juga sesuai dengan hasil penelitian dalam Trino et al. (1999) dan secara umum dapat diterima pada budidaya tambak (Boyd, 1990), kecuali untuk salinitas. Salinitas yang tinggi terjadi karena penelitian bertepatan dengan musim kemarau sehingga pasokan air tawar sulit didapatkan dan salinitas meningkat cukup tinggi. Salinitas selama penelitian mencapai 49 ppt. Salinitas yang tinggi menyebabkan sintasan dan pertumbuhan kepiting menjadi kurang optimum. KESIMPULAN Pemberian pakan berupa ikan rucah atau campuran antara ikan rucah dan pelet pada pemeliharaan kepiting bakau (S. serrata) di tambak memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan bobot dan lebar karapas kepiting bakau dibanding pemberian pakan dengan pelet saja. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Zakaria, selaku teknisi pada instalasi tambak percobaan BRPBAP, atas bantuan dalam penyiapan dan pelaksanaan penelitian dan Hj. Sutrisyani atas bantuannya dalam menganalisis kualitas air di Laboratorium Air BRPBAP. Penelitian ini dibiayai oleh APBN Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2008. DAFTAR ACUAN Anonim 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006–2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Anonim. 2006. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Baliao, D.D., Rodriguez, & Gerochi, D.D. 1981. Culture of mud crab Scylla serrata (Forskal) at different stocking densities in brackish water ponds. Quarterly Research Report SEAFDEC Aquaculture Department, 5(1): 10–14. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Burmingham Publishing, Burmingham, AL 482 pp. Cholik, F. 2004. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. Central research Institute for Fisheries. Mud Crabs (Scylla serrata). Seed Production and Farming. http://www.ctu.edu.vn/colleges/ aquaculture/daotaotuxa/AacrabCWare/ Publication/310CRA.html Cholik, F. & Hanafi, A. 1992. A review of the status of mangrove crab (Scylla sp.) fishery and culture in Indonesia. In: C.A. Angell, (Editor), Report of the seminar on the mangrove crab culture and trade held at Surat Thani, Thailand. November 5 Agustus 1991. Bay of Bengal Programme for fisheries Development, Madras, India. Brackish water Culture, Madras, India, BOBP, p.13–27. Cholik, F. & Hanafi, A. 1991. Status of mud crab (Scylla serrata) fishery and culture in Indonesia. Presented at the Seminar on the Mud Crab Culture and Trade, Bay of Bengal Programme. 5–8 November 1991, Surathani, Thailand. Gunarto & Rusdi, I. 1993. Budi daya kepiting bakau, Scylla serrata di tambak pada padat penebaran berbeda. J. Pen. Budidaya Pantai, 9(3): 7–12. How-Cheong, C., Gunasekera, U.P.D., & Amandakoon, H.P. 1992. Formulation of artificial feeds for mud crab culture: a preliminary biochemical, physical and biological evaluation. In: The Mud Crab (ed. C.A. Angell), Report of the Seminar on Mud Crab Culture and Trade. Bay of Bengal Programme. Madras, India, p. 179–184. Lavina, A.F. 1980. Notes on the biology and aquaculture of Scylla serrata (Forskal). APDM II. SEAFDEC. Aquaculture Dept. Iloilo. Phil., 39 pp. Mangampa, M., Sulaeman, & Lante, S., 2007. Optimalisasi padat tebar benih udang pama (Penaeus semisulcatus) pada pentokolan sistem hapa. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros. (inpress). Millamena, O.M. & Trino, A.T. 1997. Low-cost feed for Penaeus monodon reared in tanks and under semi-intensive and intensive conditions in brackishwater ponds. Aquaculture, 154: 69–78. Sulaeman. 2005. Status perikanan kepiting bakau Genus: Scylla. Makalah disajikan pada Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di NTT Melalui Kegiatan Budidaya Perairan, pada tanggal 20–
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
174
21 Oktober 2005 di Kupang, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. (unpublish). Sulaeman, Yamin, M., & Parenrengi, A. 2008. Pengangkutan krablet kepiting bakau (Scylla paramamosain) dengan kepadatan berbeda. J. Ris. Akuakultur, 3(1): 99–104. Sulaeman, Yamin, M., Parenrengi, A., & Tenriulo, A., 2007. Pembesaran kepiting bakau di tambak. Laporan penelitian Tahun 2007. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Sulaeman & Hanafi, A. 1992. Pengaruh pemotongan tangkai mata terhadap kematangan gonad dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata). (Effect of eyestalk ablation on gonadal maturation and growth of the mangrove crab, Scylia serrata). J. Pen. Budidaya Pantai (Research Journal on Coastal Aquaculture), 8(4): 55–62. Sulaeman, Tjaronge, M., & Hanafi, A. 1993. Pembesaran kepiting bakau, Scylla serrata dengan konstruksi tambak yang berbeda. J. Pen. Budidaya Pantai, 9(4): 41–51. Tahe, S. 2008. Pengaruh starvasi ransum pakan terhadap pertumbuhan, sintasan, dan produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) dalam wadah terkontrol. J. Ris. Akuakultur, 3(3): 401–412. Trino, A.T., Millamena, O.M., & Keenan, C.P. 2001. Pond Culture of Mud Crab Scylla serrata (Forskal) Fed Formulated Diet With or Without Vitamin and Mineral Supplements. Proceedings of the International Forum on the Culture of Portunid Crabs. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Asian Fisheries Science, 14: 191–200. Trino, A.T., Millamena, O.M., & Keenan. C.P. 1999. Commercial evaluation of monosex pond culture of the mud crab Scylla species at three stocking densities in the Philippines. Aquaculture, 174: 109– 118. Wedjatmiko & Dharmadi. 1994. Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuban kepiting bakau (Scylla serrata). (The effect of feeding frequency on mud crab (Scylla serrata) growth). Warta Balitdita (Coastal Aquaculture Newsletter), 6(3): 37–39. Wedjatmiko & Yukarsono, D. 1991. Pola kebiasaan waktu makan kepiting bakau (Scylla serrata) di tambak Kamal Jakarta. (Feeding pattern of mud crab, Scylla serrata in ponds in Kamal, Jakarta). Warta Balitdita (Coastal Aquaculture Newsletter), 3(1): 1–4.