FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
SKRIPSI
Oleh M. NAJAMUDIN SAYUTI C1K 008 042
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MATARAM 2012
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
Oleh M. NAJAMUDIN SAYUTI C1K 008 042
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MATARAM 2012
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian
: Frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan berat kepiting bakau (Scylla serrata) : M. Najamudin Sayuti : C1K 008 042 : Budidaya Perairan : Budidaya Pertanian :
Nama NIM Program Studi Jurusan Tanggal Pengesahhan
Mengesahkan, Pembimbing Utama
(Dr. Ir. Siti Hilyana, M.Si.) NIP. 19651008 199203 2 001 Pembimbing Pendamping
Penguji
(Alis Mukhlis, S.Pi., M.Si.) NIP. 19720715 200501 1 002
(Dr. Ir. Lolita Endang Susilawati, MP. ) NIP. 19600315 198503 2 003
Ketua Program Studi Budidaya Perairan,
Dekan Fakultas Pertanian,
Nunik Cokrowati, S.Pi., M.Si. NIP. 19790313 200801 2 013
(Prof. Ir. H. M. Sarjan, M.Ag.CP.,Ph.D.) NIP. 19620402 198703 1 002
RINGKASAN M.NAJAMUDIN
SAYUTI.
Frekuensi
pemberian
pakan
terhadap
pertumbuhan berat kepiting bakau (Scylla serrata) (dibimbing oleh Dr. Ir. Siti Hilyana, M.Si. dan Alis Mukhlis, S.Pi.,M.Si.). Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu sumber daya perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting, pemanfaatan komersial dari komoditas ini semakin meningkat, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor. Tingginya permintaan terhadap kepiting bakau ini merupakan hal yang wajar, mengingat bintang yang berkulit keras ini selain memiliki rasa gurih dan enak juga bernilai gizi tinggi. Untuk memenuhi permintaan kepiting bakau yang terus meningkat dari tahun ke tahun maka kegiatan budidaya merupakan pilihan yang paling tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemberian
pakan terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) di
tambak. Wadah pemeliharaan yang digunakan yaitu keranjang plastik berbentuk persegi
panjang dengan panjang 46 cm, lebar 33 cm, dan tinggi 16,5 cm.
Keranjang dibagi menjadi dua bagian dengan cara memasang plastik sebagai sekat di bagian tengahnya, sehingga satu keranjang akan berisi dua ekor kepiting. Sekat tersebut dijepit dengan menggunakan kawat di bagian atas dan bawahnya. Bagian dasar keranjang dilapisi dengan plastik agar pakan yang diberikan tidak lolos keluar dari keranjang tersebut. Selanjutnya keranjang diikat pada potongan bambu yang panjangnya melebihi lebar keranjang kemudian dilepaskan pada rakit yang telah dibuat di atas permukaan air tambak. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau dengan berat 140-190 g/ekor, sedangkan perlakuan yang digunakan yaitu frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, 1 kali 2 hari, dan 1 kali 3 hari. Setiap ekor kepiting diberi makan ikan mujair dengan jumlah pakan yang diberikan 10% dari bobot tubuh per hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan 1 kali sehari merupakan frekuensi pemberian pakan yang paling tinggi terhadap penambahan bobot kepiting bakau (0,1199 kali dari bobot awal),dibandingkan frekuensi pemberian 2 kali sehari (0,0919 kali dari bobot awal), pemberian 1 kali 2 hari (0,0779 kali dari bobot awal), dan pemberian 1 kali 3 hari (0,0765 kali dari bobot awal). Walaupun pemberian pakan 1 kali sehari menunjukkan pertumbuhan yang tinggi tetapi melewati masa puncak paling cepat yaitu pada hari ke 22 dibandingkan pada pemberian pakan 1 kali 3 hari yang menunjukkan pertumbuhan berat rendah tetapi melewati masa puncak pada hari ke 24. Dari analisis
keragaman
ternyata
frekuensi
pemberian
pakan
yang berbeda
menunjukkan hasil yang tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan berat kepiting bakau.
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayahNya Penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Frekuensi Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan Berat Kepiting Bakau (Scylla serrata)” dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada : 1.
Dr. Ir. Siti Hilyana, M. Si. selaku Pembimbing Utama dan Alis Mukhlis, S.Pi., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping, yang telah banyak memberikan arahan dan dorongan mulai dari penyusunan rencana penelitian, selama penelitian, sampai penyelesaian skripsi.
2.
Bapak dan Ibu tercinta yang tak kenal lelah untuk melimpahkan kasih sayangnya, agar selalu jadi yang terbaik dan menjadi anak yang baik
3.
Tim FCA yang telah banyak membantu
4.
Kakakku dan adik2ku segala doa, motivasi dan dukungannya selama ini.
5.
Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Budidaya Perairan yang telah banyak memberikan nasihat dan ilmu yang merupakan bekal Penulis untuk ke depannya.
6.
Tim Scylla Jerowaru Irwan, Imonk, Juhrin, A. Baoq, Muhammad/nyamot dan Ivan, Seha, Cenk, Ardien, Ryo, Laksmi, Tomi, Rizka terima kasih atas bantuan dan persahabatannya selama ini dan banyak membantu selama persiapan penelitian.
7.
Keluarga besar HIMAPIKA 08 tercinta dan rekan-rekan Budidaya Perairan seperjuangan di kampus Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Semoga Allah SWT membalas segala bantuan dari semua pihak yang telah
diberikan kepada Penulis dengan kebaikan yang berlipat ganda. Amin. Akhirnya, Penulis pun menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan adanya kritik,
koreksi, dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi perbaikan dan penyempurnaan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya. Amin. Mataram, Agustus 2012 Penulis,
M. Najamudin Sayuti C1K 008 042
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ....................................................................................
i
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii RINGKASAN.................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI ...............................................................................................
v vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................................
1
Tujuan Penelitian ......................................................................................
2
Kegunaan Penelitian............................................................................. .......
2
Hipotesis..... ..............................................................................................
3
Kerangka Pikir.............. ............................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
4
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau.... ............................................
4
Habitat dan Kebiasaan Hidup.... ................................................................
7
Pakan dan Kebiasaan Makan.... .................................................................
9
Pertumbuhan Kepiting Bakau.................................................................... 11 Parameter Kualitas Air.... .......................................................................... 12 METODE PENELITIAN.... ............................................................................. 15 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................... 15 Alat dan Bahan.......................................................................................... 15 Rancangan Percobaan.... ........................................................................... 16 Prosedur Penelitian.... ............................................................................... 16 Persiapan Wadah Pemeliharaan dan Konstruksi Rakit.... ........................... 16 Persiapan Bahan Uji.................................................................................. 18
Pelaksanaan Penelitian.... .......................................................................... 18 Parameter Penelitian.................................................................................. 19 Pertumbuhan Spesifik (Berat Tubuh dan Lebar Cangkang)........................ 19 Pertumbuhan Relatif (Berat Tubuh dan Lebar Cangkang).......................... 20 Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)............................................ 20 Pengukuran Kualitas Air.... ....................................................................... 21 Analisis Data............................................................................................. 21 HASIL DAN PEMBAHASAN.... .................................................................... 22 Pola Pertumbuhan Berat............................................................................ 22 Pertumbuhan Nisbi dan Laju Pertumbuhan Spesifik.... .............................. 24 Survival Rate atau Tingkat Kelangsungan Hidup....................................... 30 Kualitas Air............................................................................................... 30 KESIMPULAN DAN SARAN.... .................................................................... 33 Kesimpulan............................................................................................... 33 Saran......................................................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA.... .................................................................................. 34 LAMPIRAN.... ................................................................................................ 36
\
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Parameter Kualitas Air untuk Budidaya Kepiting ………............................. 13 2. Pengukuran Kualitas Air ……………………………………………… ........ 21 3. Hasil uji-t pertumbuhan nisbi………………………………………….......... 29 4. Hasil uji-t laju pertumbuhan spesifik…………………………………… ...... 29 5. Survival rate atau Tingkat Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau ……......... 30 6. Kisaran Kualitas Air Selama Penelitian ………. .......................................... 30
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) ............................................. ......
8
2. Perbedaan Kepiting Bakau Jantan dan Betina........... ....................................
9
3. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................... 15 4. Keranjang Plastik sebagai Wadah Pemeliharaan……………………............ 17 5. Konstruksi Wadah Pemeliharaan ………… ................................................. 17 6. Grafik Rata-Rata Pertumbuhan Berat Kepiting Bakau Selama 24 Hari ......... 22 7. Pertumbuhan Nisbi Kepiting Bakau Selama Penelitian................................. 24 8. Pertumbuhan Nisbi dan Laju Pertumbuhan Spesifik ..................................... 27
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Data Pertumbuhan Kepiting Bakau Selama Penelitian................................... 36 2. Data Pertumbuhan Nisbi Kepiting Bakau...................................................... 37 3. Data Laju Pertumbuhan Spesifik Kepiting Bakau ................................... ...... 40
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu sumber daya perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting, pemanfaatan komersial dari komoditas ini semakin meningkat, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor. Tingginya permintaan terhadap kepiting bakau ini merupakan hal yang wajar, mengingat bintang yang berkulit keras ini selain memiliki rasa gurih dan enak juga bernilai gizi tinggi. Untuk memenuhi permintaan kepiting bakau yang terus meningkat dari tahun ke tahun maka kegiatan budidaya merupakan pilihan yang paling tepat. Usaha budidaya kepiting bakau, pada umumnya masih mencari sistem teknologi dan manajemen penggunaaan sarana produksi yang tepat dan efisien. Pada usaha pembesaran masih terbatas dalam pengaturan lama masa pemeliharaan kepiting. Waktu pemberian pakan masih tidak menentu, masih bersifat mencari sehingga efisiensi pakan dengan pertumbuhan optimal dari kepiting. Oleh karena itu, dalam pembesaran kepiting bakau, pemberian pakan yang tepat dan sesuai dengan sifat dari kepiting itu sendiri harus dilakukan. Dalam pemberian pakan, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah frekuensi pemberian pakan. Frekuensi pemberian pakan yang tepat,
sangat
penting dilakukan agar mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memberikan pakan sehingga pemberian pakan menjadi lebih efisien. Namun sampai saat ini belum ada acuan yang baku mengenai frekuensi pemberian pakan untuk
penggemukan kepiting bakau. Menurut Soim (1996) Kepiting bakau adalah pemakan bangkai yang rakus (voracious scavenger), yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuari yang keruh dan berhutan bakau. Menurut Tim Peneliti Balitbang Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah (2005) bahwa perlakuan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari mempunyai tingkat efisensi yang lebih baik dibanding pada perlakuan frekuensi pemberian pakan kepiting bakau 2 kali dan 1 kali sehari dengan padat tebar 15 ekor/m2 sementara Jayanti (2010) mengatakan bahwa frekuensi pemberian pakan yang berbeda menghasikan pertumbuhan, frekuensi moulting, rasio konversi pakan dan kelangsungan hidup yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Untuk menjawab permasalahan diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan Berat Kepiting Bakau (Scylla serrata).
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata)
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan frekuensi pemberian pakan yang tepat dalam penggemukan kepiting bakau (Scylla serrata), agar mendapatkan hasil pertumbuhan yang optimal.
Hipotesis Hipotesis yang diuji dalam: H0: frekuensi pemberian pakan tidak mempengaruhi pertumbuhan berat kepiting bakau H1: frekuensi pemberian pakan memberi pengaruh pada pertumbuhan berat kepiting bakau Kerangka Pikir Kepiting Bakau
Pertumbuhan
Kualitas air
Pakan
Sifat fisiologis
Frekuensi pemberian 2 kali sehari
1 kali sehari
Kepiting Bakau Jantan
1 kali 2 hari
Pertumbuhan Optimal 1 kali 3 hari
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau Menurut Kordi (2007), kepiting bakau diklasifikasikan ke dalam: Filum
: Arthropoda
Klas
: Crustacea
Ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus
: Scylla
Spesies
: Scylla serrata
Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scylla serrata) (Sumber :Asmara, 2004). Kepiting bakau adalah hewan berkulit keras dari kelas Crustacea, ordo Decaphoda, familia Portunidae dan Genus Scylla. Crustacea merupakan hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan oleh proses ganti kulit (moulting). Ordo Dechapoda ditandai dengan adanya 10 buah (lima pasang) kaki, pasangan
kaki
pertama
disebut
capit
yang
berperan
sebagai
alat
penangkap/pemegang makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas
(pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan pasangan kaki selebihnya sebagai kaki jalan. Dengan capit dan kaki jalan, kepiting bisa berlari cepat di darat dan berbekal kaki renang dapat berenang dengan cepat di air sehingga tergolong Swimming Crab (Portunidae). Genus Scylla ditandai oleh bentuk carapace yang oval dengan bagian depan memiliki 9 duri pada sisi kiri dan kanan serta 4 duri di antara kedua matanya. Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depannya di antara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal capit kanannya lebih besar dari capit kirinya dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit. Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan kaki perenang. Kaki perenangnya terdapat pada bagian ujung perutnya dan ujung kaki kaki perenang ini dilengkapi dengan alat pendayung (Rangka, 2007).
Gambar 2. Perbedaan kepiting bakau jantan (kiri) dan betina (kanan) (Sumber :Asmara, 2004). Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama. Pada kepiting bakau jantan dicirikan oleh abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segi tiga sama kaki, sedangkan pada betina dewasa agak membundar dan melebar. Kepiting bakau jantan dan betina juga dapat dibedakan dengan membandingkan pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh. Kepiting bakau jantan dan betina
yang lebar karapasnya 3-10 cm, berat capitnya sekitar 22 % dari berat tubuhnya. Setelah ukuran karapasnya mencapai 10-15 cm, capit kepiting bakau jantan menjadi lebih berat yakni 30-35 % dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama 22 % (Kordi, 2007). Perbedaan kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2. Ada 3 jenis kepiting bakau yang dinilai memiliki potensi pasar yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica, dan Scylla transquebarica. S. serrata dapat dibedakan dengan dua jenis lainnya berdasarkan morfologi terutama bentuk duri baik pada carapace maupun pada bagian capitnya serta warna dominan pada tubuhnya. S. serrata memiliki duri yang relatif pendek dibanding dua species lainnya. Warna kemerahan hingga orange terutama pada capit dan kakinya, sedangkan pada jenis lain dominan warna ungu pucat atau kehitaman. Ciri lain yaitu pada Scylla oceanica berwarna kehijauan dan terdapat garis-garis biru coklat hampir pada bagian seluruh tubuhnya kecuali bagian perut. S. transquebarica berwarna kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya. Secara umum Scylla oceanica, dan Scylla transquebarica memiliki ukuran lebih besar daripada S. serrata untuk umur yang sama. Kepiting jantan dicirikan oleh bagian abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa agak membundar dan melebar. Pada kepiting dewasa, yang jantan memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan dengan betina untuk umur yang sama demikian pula halnya dengan ukuran tubuhnya (Rangka, 2007).
Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depannya di antara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal capit kanannya lebih besar dari capit kirinya dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit. Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan kaki perenang. Kaki perenangnya terdapat pada bagian ujung perutnya dan ujung kaki kaki perenang ini dilengkapi dengan alat pendayung.
Habitat dan Kebiasaan Hidup Dari namanya kepiting bakau merupakan hewan yang khas di hutan bakau atau ekosistem mangrove. Kepiting bakau juga ditemukan di daerah estuaria, perairan pantai berlumpur dan di tambak-tambak air payau. Kepiting bakau dan seluruh suku Portunidae adalah hewan yang selalu berada di habitat (tempat hidup) berair karena alat pernapasannya berupa insang. Walaupun demikian, kepiting bakau tidak selalu terendam dalam air, sering juga ditemukan berada di tempat yang kering asal lembab. Sejak muda kepiting bakau telah menempati perairan dengan habitat belumpur yang merupakan dasar habitat hutan bakau. Sebagai binatang yang bersifat bentik dan suka membenamkan diri di dalam lumpur, kepiting bakau merupakan hewan yang hidup pada habitat ”keras” yang selalu kekurangan oksigen. Kepiting bakau harus mampu mengantisipasi kondisi lingkungannya yang sangat dipengaruhi oleh mobilitas tanah, pengaruh air tawar dna laut, dan juga pengaruh pasang surut. Dengan demikian, kepiting bakau mampu beradaptasi
dengna kehidupan yang sebagian merupakan kehidupan dengan kekurangan air (Kordi, 2007). Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya dari perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau di sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya berlimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terdapat suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan pantai sebanyak lima kali (sampai Zoea V), kemudian berganti kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini dia mulai beruaya pada dasar perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya
pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Kasry, 1996).
Pakan dan Kebiasaan Makan Kepiting bakau muda dan dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous scavanger). Sedangkan larva kepiting bakau bersifat pemakan plankton di antaranya jenis diatom, tetraselmis, klorela, rotifera, larva ekinodermata, larva berbagai moluska, cacing, dan sebagainya. Larva kepiting bakau menyukai makanan berupa hewan-hewan planktonik hidup yang bergerak daripada berupa tumbuhan (fitoplankton) atau yang mati dan diam. Makanan hidup dan bergerak diperlukan karena larva diperkirakan memperoleh makanan bukan dengan mengejar makanan, tetapi dalam kemampuan berenangnya yang masih terbatas bertabrakan dengan organisme makanan secara kebetulan. Makanan planktonik hidup ini sangat penting bagi sintasan (survival rate) larva kepiting. Dalam mencari makanan, kepiting bakau muda dan dewasa lebih suka merangkak, walaupun kepiting bakau juga dapat berenang. Kepiting bakau baru mulai keluar dari persembunyiannya beberapa saat setelah matahari terbenam. Dalam semalam, kepiting bakau mampu merangkak sejauh 200-1000 m untuk mencari makan. Ketika matahari akan terbit, kepiting bakau kembali membenamkan diri. Karena itu, kepiting bakau digolongkan ke dalam hewan nokturnal atau hewan yang aktif pada malam hari (Kordi, 2007).
Jenis pakan yang dapat diberikan untuk pembesaran kepiting antara lain ikan rucah segar, ikan kering tawar, usus ayam, kulit sapi atau kambing, bekicot, keong sawah, kepiting dan daging ular. Dari sekian alternatif tersebut yang terbaik adalah ikan rucah segar. Pakan ikan rucah segar mudah tenggelam sehingga peluang dimakan kepiting lebih besar karena kepiting lebih suka mencari makan di dasar tambak. Sedangkan ikan kering tawar dan usus ayam terapung di air, sehingga keberadaannya tidak langsung diketahui oleh kepiting. Selain itu jika pakan yang diberikan bersifat terapung maka dengan adanya angin mudah terkumpul di satu tempat sehingga penyebarannya tidak merata (Soim, 1996). Waktu makan kepiting bakau pada malam hari yaitu pada pukul 18.0006.00 WIB, waktu makan yang dominan yaitu pada selang waktu 18.00-24.00 WIB yang diindikasikan dengan besarnya persentase berat pakan yang dikonsumsi pada selang waktu tersebut. Pada waktu siang hari kepiting bakau juga makan namun dalam jumlah dan frekuensi yang jauh lebih kecil dibandingkan pada malam hari, Hal tersebut menunjukkan bahwa kepiting bakau aktif mencari makan pada malam hari (nokturnal), sedangkan pada waktu siang hari kepiting bakau cenderung bersifat pasif (Almada, 2001). Jenis pakan yang dikonsumsi kepiting bervariasi, tergantung stadia/ukuran kepiting. Sejak fase megalops sampai dewasa kepiting bakau bersifat bentik dan suka berbenam diri kedalam lumpur. Pada fase zoea bersifat pemakan plankton, setelah megalops bersifat carnivora, dan kepiting muda hingga dewasa bersifat omnivorus scavenger, yaitu senang memakan daging. Oleh karena itu beberapa alternatif pakan yang bisa diberikan adalah antara lain ikan rucah segar, ikan
rucah kering tawar, kulit sapi/kambing, jenis siput (keong sawah), bekicot, daging ular, belut, dan kerang (kepah/joi atau sejenisnya) (Rangka, 2007).
Pertumbuhan Kepiting Bakau Jumlah makanan yang diberikan setiap hari tidak dapat ditentukan secara tepat. Demikian pula waktu maupun berapa kali makanan diberikan dalam sehari. Pada prinsipnya makanan diberikan sekenyangnya. Untuk itu, dalam menentukan jumlah makanan bagi kepiting sebaiknya didasarkan pada pengalaman pemberian makanannya di tambak. Kita dapat secara langsung menentukannya dengan terus menerus mengamati berapa banyak makanan yang diberikan untuk jangka waktu tertentu yang habis atau belum dimakan (Kasry, 1996). Hubungan lebar karapas dengan berat tubuh kepiting bakau Scylla sp. menunjukkan hubungan yang erat, dimana peningkatan lebar karapas diikuti dengan berat tubuhnya. Pola pertumbuhan pada kepiting bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica jantan bersifat allometrik positif sedangkan Scylla serrata dan S. tranquebarica betina bersifat allometrik negatif. Berdasarkan parameter pertumbuhan, laju pertumbuhan (K) dan panjang infinitive (L) yang dianalisa baik dengan metode Bhattecharya maupun ELEFAN dari program paket FiSAT serta t0 dihitung dengan menggunakan persamaan Pauly menunjukkan bahwa kepiting bakau jantan cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan kepiting bakau betina (Tuhuteru, 2004). Pemeliharaan kepiting bakau selama dua bulan yang diberikan pakan keong mas menunjukkan bahwa kepiting bakau jantan memiliki pertumbuhan panjang
lebih tinggi dibandingkan kepiting bakau betina. Hal ini diduga karena keong mas mengandung zat kapur (kalsium) yang tinggi. Menurut Purcahyo (2010) dalam Rosdiana (2011), keong mas mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 54,29 % dan komposisi zat kapur (kalsium) sebesar 8,3 %. Menurut Mujiman (2004) dalam Rosdiana (2011), bahwa kepiting bakau mempunyai sifat karnivora sehingga mempunyai kemampuan memanfaatkan protein lebih baik dibandingkan lemak dan karbohidrat, sehingga kepiting bakau jantan lebih menyukai pakan keong mas untuk mempercepat pertambahan karapas. Ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam yaitu ukuran, jenis kelamin, dan kelengkapan anggota tubuh sedangkan faktor luar yaitu ketersediaan pakan, cahaya, suhu, dan salinitas. Pertumbuhan kepiting bakau dicirikan dalam dua gambaran yaitu perubahan ukuran seiring berjalannya waktu dan perubahan bentuk tubuh. Perubahan bentuk tubuh dipengaruhi oleh regenerasi anggota tubuh yang hilang atau putus. Apabila terdapat bagian tubuh kepiting yang hilang atau putus maka energi untuk pertumbuhan lebih terfokus untuk pembentukan jaringan baru anggota tubuh yang hilang atau putus ( Rusdi dan Karim, 2006).
Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan variabel yang sangat menentukan tingkat kehidupan kepiting sebab semua bangsa crustacea baik udang maupun kepiting sangat sensitif terhadap kondisi buruknya parameter kualitas air yang cukup signifikan, fenomena seperti ini dapat mengakibatkan kepiting stres dan akan berlanjut
dengan kematian. Pemberian pakan yang berlebihan juga dapat mengakibatkan kualitas air menjadi tidak stabil yang diakibatkan oleh penumpukan sisa pakan. Pengukuran kualitas air secara komplit sangat dianjurkan seperti halnya pada pemeliharaan udang ditambak, tetapi pada kegiatan usaha penggemukan kepiting tidak dilakukan sedetail mungkin atau terlalu dituntut untuk mengukur parameter kualitas air tetapi lebih disarankan untuk melakukan pergantian air secara rutin pada saat pasang tinggi sebagai solusi yang sangat tepat dan efektif (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Tabel 1. Parameter Kualitas Air untuk Budidaya Kepiting Parameter Jenis tanah Keasaman (pH) tanah
Kategori Liat berpasir 4-5
Suhu air
28-32o C
Salinitas
24-30 ppt
Sumber : Nurdin, 2010 Kepiting bakau tergolong hewan euryhaline (mampu mentolerir kisaran salinitas yang luas) antara 0-35 ppt (part per thousand), namun laju pertumbuhan terbaik pada salinitas 10-15 ppt. Karenanya lokasi yang coock diiplih untuk budi daya kepiting pada salinitas 10-35 ppt. Suhu yang cocok untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah antara 23-32 oC. Kepiting bakau masih bisa mentolerir suhu sampai 42 oC. Namun pada suhu tersebut laju pertumbuhan kepiting sudah menurun, sedangkan suhu minimal yang mulai mengganggu pertumbuhan kepiting sekitar 20 oC. Kandungan oksigen terlarut (DO = Dissolved Oksygen)
untuk pertumbuhan terbaik kepiting antara 4-7 ppm (part per million), dan pH antara 7-8,5. Namun pada pH air 6,5 kepiting masih dapat hidup dan tumbuh (Kordi, 2007). Hasil penelitian Rusdi dan Karim (2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan crablet yang baik berada pada kisaran salinitas media 10 sampai 22 ppt dibandingkan pada media bersalinitas 4, 28 dan 34 ppt. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan harian crablet tertinggi dihasilkan pada media bersalinitas 16 ppt dan terendah 34 ppt. Tingginya pertumbuhan bobot mulak dan laju pertumbuhan harian crablet kepiting bakau yang dihasilkan pada media bersalinitas 16 ppt diduga salinitas tersebut paling ideal bagi crablet S. paramamosain. Pada salinitas tersebut diduga kerja osmotik crablet rendah sehingga penggunaan energi untuk osmoregulasi (adaptasi lingkungan) rendah, sehingga porsi energi untuk pertumbuhan lebih besar.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Mei-Juni di tambak Dusun
Serumbung Desa Pemongkong Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Jerowaru Pemongkong
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keranjang plastik berukuran 46 cm x 33 cm x 16,5 cm sebagai wadah pemeliharaan, plastik sekat sebagai sekat keranjang, tali senar D-2000 sebagai pengikat sekat dalam keranjang, tali rafia dan tali nilon diameter 6 mm sebagai pengikat keranjang pada rangka rakit, bambu sebagai rakit dan patok rakit, paku, gergaji, parang, palu, penggaris, timbangan digital, termometer, pH meter, refraktometer, serok dan
coolbox. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kepiting bakau jantan ukuran 140-190 g/ekor dan ikan mujair. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), hal ini dikarenakan penelitian ini dilaksanakan di satu tambak sehingga semua unit percobaan mendapatkan pengaruh lingkungan yang sama. Perlakuan didasarkan pada frekuensi pemberian pakan yang berbeda yaitu pemberian pakan 2 kali sehari, 1 kali sehari, 1 kali 2 hari, dan 1 kali 3 hari FI
= 2 kali sehari (Pagi 4% dan Sore 6%)
FII
= 1 kali sehari (Sore 10%)
FIII
= 1 kali 2 hari (Sore 20%)
FIV
= 1 kali 3 hari (Sore 30%) Setiap perlakuan tersebut akan diulang sebanyak enam kali, sehingga
diperoleh 24 unit percobaan.
Prosedur Penelitian
Persiapan Wadah Pemeliharaan dan Konstruksi Rakit Tahap pertama yang akan dilakukan adalah pembuatan media rakit dan
wadah sistem baterai. Bahan dasar rakit terbuat dari bambu berdiameter 10 cm dan potongan bambu. Rakit bambu dibentuk menyerupai persegi panjang dengan panjang 2,5 m dan lebar 2 m. Rakit dipasang seperti bagan tancap, dimana tiang penyangganya terbuat dari bambu dengan tinggi 3,5 m. Bambu tersebut dipasang dan diikat pada semua sisi rakit, kemudian ditanam di dasar tambak.
Wadah pemeliharaan terbuat dari keranjang plastik berbentuk persegi panjang dengan panjang 46 cm, lebar 33 cm, dan tinggi 16,5 cm. Keranjang dibagi menjadi dua bagian dengan cara memasang plastik sebagai sekat di bagian tengahnya, sehingga satu keranjang akan berisi dua ekor kepiting. Sekat tersebut dijepit dengan menggunakan kawat di bagian atas dan bawahnya. Bagian dasar keranjang dilapisi dengan plastik agar pakan yang diberikan tidak lolos keluar dari keranjang tersebut. Selanjutnya keranjang diikat pada potongan bambu yang panjangnya melebihi lebar keranjang kemudian dilepaskan pada rakit yang telah dibuat di atas permukaan air tambak. Wadah pemeliharaan (keranjang) dan rakit masing-masing dapat dilihat pada Gambar 4. dan Gambar 5.
Gambar 4. Keranjang Plastik Sebagai Wadah Pemeliharaan
Gambar 5. Konstruksi Wadah Pemeliharaan
Keterangan: A = Bambu diameter 10 cm B = Keranjang plastik C = Bilahan bambu D = Tali nilon diameter 6 mm E = Patok (bambu)
Persiapan Bahan Uji Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau
dengan berat 140-190 g/ekor dan berjenis kelamin jantan yang diperoleh dari hasil penangkapan dialam yang memiliki kriteria: anggota tubuhnya lengkap, segar, warna cerah hijau kecoklatan atau coklat kemerahan. Kepiting bakau yang telah memenuhi syarat diadaptasikan di dalam tambak selama tiga hari. Selama persiapan dilakukan pemberian pakan sebanyak 10 % dari bobot tubuh, dengan frekuensi pemberian satu kali sehari, yaitu pada pukul 18.00. Pemeliharaan pada hari ke-empat, kepiting uji dipuasakan selama 24 jam.
Pelaksanaan penelitian Kepiting bakau yang telah diadaptasikan, kemudian ditimbang berat dan
diukur lebarnya sebagai data awal penelitian. Penimbangan berat dilakukan dengan menggunakan timbangan digital ketelitian 1 g, sedangkan pengukuran lebar dilakukan dengan cara mengukur lebar karapasnya menggunakan jangka sorong. Proses selanjutnya yaitu penebaran bibit yang dilakukan pada pagi hari
(pukul 08.00) yang bertujuan agar bibit tidak stres akibat suhu yang tinggi. Dua ekor kepiting dimasukkan ke dalam setiap wadah (keranjang persegi) yang telah diberi sekat dengan posisi wadah menghadap atas. Sebagai data pertumbuhan, dilakukan pengukuran berat dan lebar karapas setiap 6 hari sekali yaitu pada hari ke-0 (awal perlakuan), ke-6, ke-12, ke-18, dan ke-24 dari awal pemeliharaan. Selama pemeliharaan, kepiting bakau jantan diberikan pakan berupa ikan rucah segar yang dipotong kecil-kecil sebanyak 10 % per hari dari bobot tubuhnya.
Parameter Penelitian Parameter utama dalam penelitian ini adalah pertumbuhan spesifik (berat),
dan pertumbuhan relatif
(berat), dan tingkat kelangsungan hidup sedangkan
parameter penunjang adalah panjang karapas, kualitas air yang meliputi suhu, salinitas (kadar garam), pH (derajat keasaman), dan DO (oksigen terlarut).
1)
Pertumbuhan spesifik (berat tubuh dan lebar cangkang) Laju pertumbuhan spesifik harian baik berdasarkan pertambahan berat
tubuh maupun lebar cangkang dihitung menggunakan rumus menurut Koopmans & Wijffels (2008) yaitu:
Wp ln Wp 1 SGR t
.................................................................. (1)
Keterangan: SGR : Spesific Growth Rate atau laju pertumbuhan spesifik (per hari) Wp : Berat atau Lebar cangkang pada periode pengamatan (gram atau cm) Wp-1: Berat atau Lebar cangkang pada satu periode sebelumnya (gram atau cm) Δt
: Rentang waktu pengamatan dalam satu periode (hari)
2)
Pertumbuhan relatif (berat tubuh dan lebar cangkang) Pertumbuhan nisbi atau relatif kepiting bakau dihitung menggunakan rumus
menurut Effendi (1997) yaitu:
h=
................................................................................ (2)
Keterangan : h
= Pertumbuhan relatif
Wt
= Berat atau Lebar cangkang pada akhir pengamatan
Wo
= Berat atau Lebar cangkang pada awal pengamatan
3.1.1. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) Persentase tingkat kelangsungan hidup (survival rate) kepiting bakau (Scylla serrata) yang diujicobakan
dihitung menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Effendi (1997) yaitu:
SR =
100 % ........................................................................ (3)
Keterangan: SR
= Survival Rate atau persentase kelangsungan hidup (%)
Nt
= Jumlah kepiting bakau pada akhir pengamatan (ekor)
No
= Jumlah kepiting bakau pada awal pengamatan (ekor)
Pengukuran Kualitas Air Parameter kualitas air yang akan diukur adalah suhu, salinitas (kadar garam), pH (derajat keasaman), dan DO (oksigen terlarut) (Tabel 2). Pengukuran dilakukan setiap enam hari sekali selama penelitian. No.
Parameter
Alat Ukur
1
Suhu
Termometer
2
Salinitas
Refraktometer
ppt
3
pH
pH meter
-
4 Oksigen terlarut DO meter Tabel 2. Pengukuran Kualitas Air
Satuan o
C
ppm
Analisis Data Data hasil penelitian akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam atau analysis of variance (ANOVA) pada taraf nyata 5 %, artinya rentang kesalahan dalam penelitian ini sebesar 5 % atau hasil dari analisis data tersebut diyakini 95 % benar. Jika dari data sidik ragam diketahui bahwa frekuensi pemberian pakan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (significant), untuk melihat perlakuan frekuensi pemberian pakan mana yang memberikan hasil yang berbeda nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5 %
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Pertumbuhan Berat Kepiting Bakau Rata-rata pertumbuhan berat kepiting bakau selama penelitian (24 hari) menunjukkan pola pertumbuhan yang polynomial mengikuti persamaan regresi y=ax2 + bx + c. Hubungan antara pertumbuhan berat kepiting dengan lama pemeliharaan pada masing-masing perlakuan dinyatakan dengan y= -0,0185x2 + 1,1222x + 156,2 dan R2= 0,9837 (2 kali sehari), y= 0,03x2 + 1,3295x + 160,22 dan R2 = 0,9642 (1 kali sehari), y=-0,0106x2 + 0,6929x + 167,67 dan R2= 0,8597 dan untuk 1 kali 3 hari yaitu y= -0,0202x2 + 0,9591x + 165,08 dan R2= 0,9663 (Gambar 1). 185 y = -0.010x2 + 0.692x + 167.6 R² = 0.859
Berat rata-rata (g)
180 175
y = -0.020x2 + 0.959x + 165.0 R² = 0.966
170
y = -0.03x2 + 1.329x + 160.2 R² = 0.964
165
y = -0.011x2 + 1.010x + 156.3 R² = 0.974
160 155 150 0
6 2 kali sehari
12
18
Hari ke-
1 kali Sehari
1 kali 2 hari
24
30
1 kali 3 hari
Gambar 6. Grafik rata-rata pertumbuhan berat kepiting bakau selama 24 hari
Berdasarkan persamaan regresi tersebut untuk ke-empat perlakuan dapat diketahui bahwa kepiting bakau akan mencapai pertumbuhan optimal dan selanjutnya terjadi penurunan. Pertumbuhan yang optimal berturut-turut yaitu perlakuan pemberian pakan 1 kali sehari yaitu pada hari ke-22, pemberian pakan 1 kali 3 hari yaitu pada hari ke-24, pemberian pakan 1 kali 2 hari yaitu pada hari ke33, dan pada pemberian pakan 2 kali sehari menunjukkan pertumbuhan optimal paling lama yaitu pada hari ke-44. Tingginya pertumbuhan optimal pada pemberian pakan 1 kali sehari diduga karena jumlah pemberian pakan sebesar 10 % sudah mencukupi untuk pertumbuhan optimal. Hal ini sesuai dengan penelitian Agus (2008) yang mengatakan bahwa dosis pemberian pakan sebesar 10%/BB/hr sudah mencukupi kebutuhan energi untuk pertumbuhan. Pemberian pakan 1 kali 3 hari mencapai pertumbuhan optimal yang lebih cepat dibandingkan pemberian pakan 1 kali 2 hari dan pemberian pakan 2 kali 1 hari. Hal ini diduga karena pada perlakuan pemberian pakan 1 kali 3 hari tingkat stres kepiting lebih tinggi dibandingkan perlakuan pemberian 1 kali 2 hari dan 2 kali sehari karena tingkat pengosongan lambung lebih lama dengan tingkat stres. Suarsito (2005) mengatakan bahwa ikan karnivora akan menimbun lemak lebih banyak dengan tujuan untuk cadangan protein dalam pertumbuhan selama tidak ada makanan (puasa). Pemberian pakan 2 kali sehari menunjukkan pertumbuhan optimal yang paling lama, hal ini diduga jumlah pakan yang diberikan pada sore hari lebih rendah. Hal ini didukung pendapatnya Agus (2008) bahwa jumlah pakan yang diberikan pada malam hari akan menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi.
Menurut Agus (2008) mengatakan bahwa Secara fisiologis kepiting membutuhkan energi dalam pakan dipergunakan untuk ber-adaptasi, pemeliharaan atau pengganti sel atau jaringan yang rusak, aktivitas, metabolisme, reproduksi (bagi kepiting dewasa) dan yang terakhir energi pakan dipergunakan untuk pertumbuhan dan moulting (ganti kulit)
Pertumbuhan Nisbi Laju Pertumbuhan Spesifik Laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan nisbi selama pemeliharaan (24 hari) Hasil perhitungan pertumbuhan nisbi kepiting bakau selama 24 hari (Lampiran 2 dan Lampiran 3) diperoleh bahwa penambahan bobot kepiting tertinggi adalah pada perlakuan pemberian pakan 1 kali sehari yaitu 0,1199 dari berat awal, Urutan berikutnya adalah perlakuan 2 kali sehari yaitu 0,0919 dari berat awal, perlakuan 1 kali 2 hari yaitu 0,0779 dan perlakuan 1 kali 3 hari yaitu 0,0765 (Gambar 7).
Gambar 7. Pertumbuhan nisbi(kiri) dan laju pertumbuhan spesifik kepiting bakau selama penelitian
Tingginya penambahan bobot pada perlakuan pemberian pakan 1 kali sehari juga ditunjukkan dengan tingginya laju pertumbuhan spesifik (0.0048 hari-1). Hal ini diduga terkait dengan waktu pemberian pakan dimana pemberian pakan pada perlakuan 1 kali sehari sebanyak 10% dari bobot tubuh. sesuai dengan pernyataan Agus (2008) dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan kepiting yang dipelihara dalam sistem single room mencapai pertambahan berat rata-rata 58,8 g/ ± 18 hari. Terjadinya pertumbuhan kepiting tersebut karena dosis pemberian pakan yang diberikan sebesar 10 %/BB/hr sudah mencukupi kebutuhan energi untuk pertumbuhan. Dan waktu pemberian pakan 1 kali sehari dilakukan pada pukul 19.00. Sesuai dengan hasil penelitian Almada (2001) juga menunjukkan bahwa kepiting bakau lebih banyak makan pada malam hari (pukul 18.00-06-00 WIB) Perlakuan pemberian pakan 2 kali sehari menghasilkan laju pertumbuhan spesifik sebesar 0.0037 hari-1 dimana nilai ini lebih kecil dibanding dengan perlakuan pemberian pakan 1 kali sehari. Faktor jumlah pakan yang diberikan memberi pengaruh terhadap rendahnya nilai laju pertumbuhan spesifik karena pada pemberian pakan 2 kali sehari pemberian pakan pada sore hari adalah 6 % sedangkan sisanya 4 % diberikan pada pagi hari yang kurang direspon oleh kepiting uji dilihat dari sisa pakan yang tidak termakan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Tim Peneliti Balitbang Perikanan dan Kelautan (2005) bahwa frekuensi yang sesering mungkin dapat menghasilkan tingkat kecepatan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pemberian pakan sekaligus diberikan secara keseluruhan.
Pemberian pakan 1 kali 2 hari menghasilkan pertumbuhan spesifik sebesar 0.0031 hari-1. Diduga karena lamanya pakan berada di air sehingga kandungan nutrisi pada pakan akan berkurang. Hal ini dipertegas oleh Tim Peneliti Balitbang Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah (2005) yang mengatakan bahwa jenis pakan apabila berada dalam air terlalu lama maka akan diurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih kecil berupa asam-asam amino penyusunnya kemudian menghasilkan produk amoniak yang cukup berbahaya bagi kehidupan kepiting. Pemberian pakan 1 kali 3 hari menghasilkan penambahan bobot yang terendah juga ditunjukkan pertumbuhan spesifik paling rendah yaitu 0.0030 hari-1. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan konsumsi pakan. Berdasarkan hasil penelitian Agus (2008) pada hari kedua pakan telah habis dimakan mengakibatkan kepiting stres dan memberontak karena tidak adanya makanan. Selain itu diduga karena nilai nutrisi dari pakan yang telah menurun akibat dari lamanya perendaman dalam air. Tingkah laku beberapa kepiting dalam single room yang mengalami stres akibat perubahan lingkungan tersebut selalu bergerak bahkan terlihat sering menggantung pada atap dan dinding single room sehingga badannya tidak berada didalam air. Adanya perbedaan pertumbuhan nisbi dan laju pertumbuhan spesifik diduga karena kepiting bakau mempunyai sifat-sifat sendiri dalam hal pola kebiasaan makan dan makanannya. Pada waktu siang hari kepiting bakau pasif dan cenderung bersembunyi di balik batu karang, sedangkan pada malam hari kepiting bakau cenderung bergerak mencari makan (nokturnal) (Almada, 2001).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pertumbuhan nisbi (Lampiran 2) dan laju pertumbuhan spesifik (Lampiran 3) dengan tingkat kepercayaan 95%, maka hasilnya tidak berbeda nyata, artinya pada setiap perlakuan frekuensi pemberian pakan tidak menunjukkan pe perbedaan rbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan nisbi dan laju pertumbuhan dari kepiting tersebut. Arianty (1997) dalam Fadnan (2010) mengatakan secara keseluruhan pada pertumbuhan berat kepiting jantan dipengaruhi oleh kualitas lingkungan yang mendukung dan pakan yang diberikan. Kualitas pakan yang diberikan sudah cukup baik karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi untuk menunjang pertumbuhan berat kepiting jantan. Winarti (2008) mengatakan bahwa kandungan nutrisi ikan mujair adalah kadar protein 18,3 %, kadar lemak 0,8 %, dan kadar air 71 %.
Laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan nisbi setiap periode pengamatan (6 hari) Hasil laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan nisbi kepiting bakau
setiap periode pengamatan selama periode pertama sampai periode periode keempat dap dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 8.. Pertumbuhan nisbi (kiri) dan Laju pertumbuhan spesifik (kanan)
Pertumbuhan nisbi maupun laju pertumbuhan spesifik kepiting bakau periode pertama lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang lain. Terjadinya pertumbuhan berat kepiting pada periode awal tersebut karena tingginya nafsu makan yang disebabkan proses penangkapan dari alam hingga proses adaftasi dan pemuasaan sebelum penelitian dan pada saat diberi pakan lebih responsif. Hal ini sesuai dengan penelitian Fadnan (2010) yang mengatakan bahwa tingginya nafsu makan pada minggu pertama disebabkan oleh proses penangkapan di alam hingga proses adaftasi sebelum penelitian sehingga kepiting dalam keadaan tidak makan (puasa). Pertumbuhan pada periode selanjutnya menurun dibandingkan pada periode pertama diduga kepiting sudah gemuk karena aktifitas gerak kepiting sangat terbatas sehingga meminimalisasi energi gerak untuk pertumbuhan. Agus (2008) mengatakan bahwa pada budidaya single room energi untuk pertumbuhan dan moulting dapat dimaksimalkan. Selain dari energi gerak yang diminimalisasi, energi untuk perkawinan (reproduksi) juga bisa dikendalikan, sehingga energi untuk pertumbuhan dan moulting dapat ditingkatkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Fadnan (2010) yang menunjukkan penambahan bobot kepiting hanya terjadi pada minggu awal dan pertumbuhan minggu selanjutnya akan menurun karena kepiting sudah gemuk. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan nisbi (Lampiran 2 dan Lampiran 3) dapat kita lihat bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel maka dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan frekuensi pemberian pakan
pada periode pertama sampai periode keempat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik maupun pertumbuhan nisbi.
Rata-rata Ragam jumlah sampel Db t-hitung t-tabel Signifikansi
1 vs 2 0,04661 0,00074 23 44 4,35215
Periode ke1 vs 3 1 vs 4 2 vs 3 0,04661 0,00754 0,01535 0,00074 0,00002 0,00045 23 23 23 44 36 44 6,50336 3,39797 1,84520
2 vs 4 3 vs 4 0,01535 0,00572 0,00045 0,00017 23 23 40 39 -1,54314 -4,14220
2,01537 2,01537 2,02809 2,01537 2,02108 s S S Ns Ns Tabel 3. Hasil uji-t pertumbuhan nisbi kepiting bakau
Rata-rata Ragam jumlah sampel Db t-hitung
1 vs 2 0,04661 0,00074 23 44 4,35215
2,02269 ns
Periode ke1 vs 3 1 vs 4 2 vs 3 2 vs 4 3 vs 4 0,04661 0,00754 0,01535 0,01535 0,00572 0,00074 0,00002 0,00045 0,00045 0,00017 23 23 23 23 23 44 36 44 40 39 6,50336 3,39797 1,84520 -1,54314 -4,14220
t-tabel 2,01537 2,01537 2,02809 2,01537 2,02108 2,02269 Signifikansi s S S Ns ns ns Tabel 4. Hasil uji-t laju pertumbuhan spesifik kepiting bakau Hasil uji-t terhadap pertumbuhan nisbi dan laju pertumbuhan spesifik setiap periode menunjukkan perbedaan yang signifikan pada awal pemeliharaan. Sedangkan antara periode dua, tiga, dan empat tidak berbeda nyata. Dari tabel diatas perlu dilakukan pemberian pakan pada minggu awal sangat berperan pada peningkatan bobot tubuh kepiting bakau. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Data selengkapnya pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Survival Rate atau Tingkat Kelangsungan Hidup No.
Perlakuan
Rerata (%)
1
Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari
100
2
Frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari
100
3
Frekuensi pemberian pakan 2 hari sekali
100
4
Frekuensi pemberian pakan 3 hari sekali 100 Tabel 5. Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau
Rata-rata tingkat kelangsungan hidup pada penelitian ini mencapai 100% (Tabel 5). Hal ini sesuai dengan penelitian Fadnan (2010) yang mencapai 100%. Pemeliharaan kepiting menggunakan sistem baterai (kepiting dipelihara secara individu pada suatu wadah pemeliharaan) sehingga mencegah terjadinya kanibalisme terhadap sesamanya. Menurut Avelino et al. (1999) dalam Agus (2008), selain terjadi kompetisi yang dapat menyebabkan rendahnya angka kelangsungan hidup hewan uji, peluang sifat kanibalisme pun dapat menyebabkan kematian. Terlebih jika dalam budidaya tersebut dicampur antara kepiting jantan dan kepiting betina, maka kepiting jantan kecil akan selalu diserang oleh kepiting jantan besar dimana kecenderungan kepiting jantan untuk menguasai ruang, pakan dan betina akan sangat tinggi
Kualitas Air Kualitas air dari media pemeliharaan sangat berguna untuk menunjang pertumbuhan
kepiting
bakau.
Selama
penelitian
berlangsung
dilakukan
pengukuran parameter fisika dan kimia perairan meliputi suhu, salinitas, pH, dan Do (Tabel 6).
No. Parameter Kisaran 1 Suhu 28-34 oC 2 Salinitas 28-34 ppt 3 pH 8,5-9,0 4 Oksigen terlarut 4,7-6,3 ppm Tabel 6. Kisaran kualitas air selama penelitian Parameter kualitas air masih dalam kisaran yang bisa diterima untuk pertumbuhan kepiting bakau. Hasil penelitian Yukasano (1991) salinitas air berkisar antara 6,0-20 ppt pada siang hari dan 10,0-23,0 ppt pada malam hari. Suhu air berkisar antara 31,8-35,0 oC pada siang hari dan 28,5-32,0 oC pada malam hari. Fadnan (2010) nilai kandungan oksigen terlarut (Do) pada saat penelitian adalah 3,6 ppm sampai 6,9 ppm, pH air berkisar antara 6-6,8. Salinitas berkisar antara 15-29,5 ppt dan suhu 29,4-34,1 oC. Kordi (2007) mengatakan kepiting bakau tergolong hewan euryhaline antara 0-35 ppt namun laju pertumbuhan. Kepiting bakau tergolong hewan euryhaline (mampu mentolerir kisaran salinitas yang luas) antara 0-35 ppt (part per thousand), namun laju pertumbuhan terbaik pada salinitas 10-15 ppt. Karenanya lokasi yang cocok diiplih untuk budi daya kepiting pada salinitas 10-35 ppt. Suhu yang cocok untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah antara 23-32 oC. Kepiting bakau masih bisa mentolerir suhu sampai 42 oC. Namun pada suhu tersebut laju pertumbuhan kepiting sudah menurun, sedangkan suhu minimal yang mulai mengganggu pertumbuhan kepiting sekitar 20 oC. Kandungan oksigen terlarut (DO = Dissolved Oksygen) untuk pertumbuhan terbaik kepiting antara 4-7 ppm (part per million), dan pH
antara 7-8,5. Namun pada pH air 6,5 kepiting masih dapat hidup dan tumbuh (Kordi, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Frekuensi pemberian pakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan nisbi kepiting bakau
Pemberian pakan 1 kali sehari memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain karena jumlah pemberian pakan yang diberikan pada perlakuan 1 kali sehari sebesar 10 % dari bobot tubuh yang diberikan pada sore hari
Saran Frekuensi pemberian pakan kepiting bakau terhadap pertumbuhan sebaiknya diberikan pakan 1 kali sehari
DAFTAR PUSTAKA Agus, 2008. Analisis Carryng Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kabupaten Pemalang. Jawa Tengah. http://eprints.undip.ac.id/18247/1/Muhamad_Agus.pdf [5 Agustus 2012]. Almada. 2001. Studi tentang waktu makan dan jenis umpan yang disukai kepiting bakau (Scylla serrata). [Skripsi, unpublished]. Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/ 123456789/14186/ C01dpa.pdf?sequence=1 [12 Juli 2012]. Asmara H. 2004. Analisis Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. [Skripsi, unpublished]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/ 123456789/16799/C04has.pdf?sequence=1 [23 Juli 2012]. Effendi I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Fadnan M. 2010. Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup pada Penggemukan Kepiting Bakau (Scylla sp.). Harpodon Borneo, Vol.3 No.2. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Borneo Tarakan. Kalimantan Timur. Jayanti. 2010. Pengaruh frekuensi terhadap pertumbuhan kepiting bakau (Scylla Paramamosain). Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile /4539828306_abs. pdf [20 Juni 2012]. Kasry. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhratara. Jakarta. Koopmans M., Wijffels R.H. 2008. Seasonal Growth Rate of the Sponge Halidona oculata (Demospongiae: Haplosclerida). Mar biotechnol. 10:502510 Kordi K. 2007. Budidaya Kepiting Bakau (Pembenihan, Pembesaran, dan Penggemukan). Aneka Ilmu. Semarang. Nurdin. 2010. Cara Cepat Panen Kepiting Soka dan Kepiting Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Rusdi I., Karim M. Y. 2006. Salinitas Optimum bagi Sintasan dan Pertumbuhan Crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Sains & Teknologi, Vol.6
No.3 : 149-157. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makasar. Soim. 1996. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya. Jakarta. Tim Peneliti Balitbang Jawa Tengah. 2005. Pembuatan Demplot Budidaya Kepiting Soft Cell sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. http://www.google.co.id/search?q=Tim+Peneliti+Balitbang+Jawa+Tengah+ 2005.+Pembuatan+Demplot+Budidaya+Kepiting+Soft+Cell+sebagai+Upay a+Pemberdayaan+Masyarakat+Pesisir.+&ie=utf8&oe=utf8&aq=t&rls=org. mozilla:id:official&client=firefox-a [21 April 2012]. Tuhuteru A. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) dan Scylla tranquebaria di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. [Skripsi, unpublished]. Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/15901/C04 ATU.pdf?sequence=2. [19 Februari 2012]. Yukasano D. 1991. Hubungan Jenis Ikan Sebagai Pakan dan Tingkat Pemberiannya dengan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata). [Skripsi, unpublished]. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/39943/C91 DYU.pdf?sequence=1. [19 Februari 2012].
Lampiran 1. Data pertumbuhan kepiting bakau selama penelitian Tabel pertambahan berat kepiting bakau dan lebar cangkang selama penelitian (24 hari) Perlakuan
Ulangan
Berat (g) pada hari ke-
0 6 12 1 140 148 153 2 159 164 167 3 162 167 176 2 kali sehari 4 183 192 201 5 150 161 160 6 140 148 145 1 147 154 156 2 148 158 160 3 171 169 175 1 kali sehari 4 170 188 199 5 140 148 150 6 181 194 192 1 158 163 170 2 182 192 191 3 148 152 154 2 hari sekali 4 140 152 152 5 190 196 196 6 182 185 186 1 190 198 200 2 175 188 188 3 159 165 166 3 hari sekali 4 145 147 153 5 162 164 166 6 156 166 168 Ket : * data moulting tidak dimasukkan
18 156 169 176 201 168 146 156 162 175 199 152 193 170 188 154 152 196 186 200 189 165 153 171 171
24 157 170 176 201 170 230* 161 167 179 212 159 313* 177 196 156 156 200 191 202 191 166 157 171 175
Lebar cangkang (cm) 0 24 9,09 9,09 10,12 10,12 9,76 9,76 9,97 9,97 9,27 9,27 9,09 10,01 9,09 9,09 8,92 8,92 9,48 9,48 10,06 10,06 9,09 9,09 9,27 10,05 9,77 9,77 9,57 9,57 9,14 9,14 8,96 8,96 10,02 10,02 9,37 9,37 10,05 10,05 10 10 9,45 9,45 9,01 9,01 9,5 9,5 9 9
Lampiran 2. Data pertumbuhan nisbi kepiting bakau Tabel data pertumbuhan nisbi kepiting bakau selama penelitian (24 hari) Perlakuan
Ulangan
Periode I
Periode II
2 kali sehari
1 2 3 4 5 6
0,0571 0,0314 0,0309 0,0492 0,0733 0,0571 0,2991 0,0499 0,0165 0,0476 0,0676 -0,0117 0,1059 0,0571 0,0718 0,3383 0,0564 0,0388 0,0316 0,0549 0,0270 0,0857 0,0316 0,0165 0,2474 0,0412 0,0252 0,0421 0,0743 0,0377 0,0138 0,0123 0,0641 0,2444 0,0407 0,0254
0,0338 0,0183 0,0539 0,0469 -0,0062 -0,0203 0,1264 0,0211 0,0295 0,0130 0,0127 0,0355 0,0585 0,0135 -0,0103 0,1229 0,0205 0,0236 0,0429 -0,0052 0,0132 0,0000 0,0000 0,0054 0,0563 0,0094 0,0176 0,0101 0,0000 0,0061 0,0408 0,0122 0,0120 0,0812 0,0135 0,0141
Total Rata-rata Standar deviasi
1 kali sehari
1 2 3 4 5 6
Total Rata-rata Standar deviasi
2 hari sekali
1 2 3 4 5 6
Total Rata-rata Standar deviasi
3 hari sekali
Total Rata-rata Standar deviasi
1 2 3 4 5 6
Ket : * data moulting tidak dimasukkan
Periode III 0,0196 0,0120 0,0000 0,0000 0,0500 0,0069 0,0885 0,0147 0,0188 0,0000 0,0125 0,0000 0,0000 0,0133 0,0052 0,0310 0,0052 0,0063 0,0000 -0,0157 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 -0,0157 -0,0026 0,0064 0,0000 0,0053 -0,0060 0,0000 0,0301 0,0179 0,0473 0,0079 0,0136
Periode IV 0,0064 0,0059 0,0000 0,0000 0,0119 0,5753* 0,0242 0,0048 0,0050 0,0321 0,0309 0,0229 0,0653 0,0461 0,6218* 0,1972 0,0394 0,0167 0,0412 0,0426 0,0130 0,0263 0,0204 0,0269 0,1703 0,0284 0,0116 0,0100 0,0106 0,0061 0,0261 0,0000 0,0234 0,0762 0,0127 0,0101
Selama penelitian 0,1214 0,0692 0,0864 0,0984 0,1333 0,0429 0,5516 0,0919 0,0334 0,0952 0,1284 0,0468 0,2471 0,1357 0,0663 0,7195 0,1199 0,0712 0,1203 0,0769 0,0541 0,1143 0,0526 0,0495 0,4676 0,0779 0,0320 0,0632 0,0914 0,0440 0,0828 0,0556 0,1218 0,4587 0,0765 0,0282
Lampiran 2. (lanjutan) Tabel hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pertumbuhan nisbi selama penelitian Sumber keragaman db JK KT F P Perlakuan 3 0,12013 0,04004 1,41696 0,2672 ns Error 20 0,56518 0,02826
db 3 20 23
JK 0,00101 0,01526 0,01628
KT 3,3778*10-4 7,6318*10-4<-
F 0,44260
P 0,7251 ns
Tabel hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pertumbuhan nisbi pada periode kedua Sumber keragaman Perlakuan Error Total
db 3 20 23
JK KT -4 5,72701*10 1,909*10-4 0,00970 4,8481*10-4<0,01027
F 0,39376
P 0,7588 ns
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pertumbuhan nisbi pada periode ketiga Sumber keragaman db Perlakuan 3 Error 20 Total 23
JK KT -4 9,27827*10 3,0928*10-4 0,00310 1,5475*10-4<0,00402
F 1,99854
P 0,1467 ns
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) pertumbuhan nisbi pada periode keempat Sumber keragaman db Perlakuan 3 Error 20 Total 23
JK 0,06676 0.54379 0.61055
KT 0,02225 0.02719<-
F 0,81842
P 0,4989 ns
Lampiran 2. (lanjutan) Hasil uji t pertumbuhan nisbi membandingkan setiap periode
Rata-rata Ragam jumlah sampel db t-hitung
1 vs 2 0,04661 0,00074 23 44 4,35215
Periode ke1 vs 3 1 vs 4 2 vs 3 2 vs 4 3 vs 4 0,04661 0,00754 0,01535 0,01535 0,00572 0,00074 0,00002 0,00045 0,00045 0,00017 23 23 23 23 23 44 36 44 40 39 6,50336 3,39797 1,84520 -1,54314 -4,14220
t-tabel Signifikansi
2,01537 s
2,01537 s
2,02809 2,01537 s ns
2,02108 ns
2,02269 ns
Lampiran 3. Data laju pertumbuhan spesifik kepiting bakau Tabel data pertumbuhan spesifik kepiting bakau selama penelitian (24 hari) Perlakuan
Ulangan
Periode I
2 kali sehari
1 2 3 4 5 6
0,0093 0,0052 0,0051 0,0080 0,0118 0,0093 0,0485 0,0081 0,0026 0,0078 0,0109 -0,0020 0,0168 0,0093 0,0116 0,0543 0,0090 0,0062 0,0052 0,0089 0,0044 0,0137 0,0052 0,0027 0,0402 0,0067 0,0040 0,0069 0,0119 0,0062 0,0023 0,0020 0,0104 0,0397 0,0066 0,0041
Total Rata-rata Standar deviasi
1 kali sehari
1 2 3 4 5 6
Total Rata-rata Standar deviasi
2 hari sekali
1 2 3 4 5 6
Total Rata-rata Standar deviasi
3 hari sekali
Total Rata-rata Standar deviasi
1 2 3 4 5 6
Periode II 0,0055 0,0030 0,0087 0,0076 -0,0010 -0,0034 0,0205 0,0034 0,0048 0,0022 0,0021 0,0058 0,0095 0,0022 -0,0017 0,0200 0,0033 0,0038 0,0070 -0,0009 0,0022 0,0000 0,0000 0,0009 0,0092 0,0015 0,0029 0,0017 0,0000 0,0010 0,0067 0,0020 0,0020 0,0134 0,0022 0,0023
Ket : * data moulting tidak dimasukkan
Periode III 0,0032 0,0020 0,0000 0,0000 0,0081 0,0011 0,0145 0,0024 0,0031 0,0000 0,0021 0,0000 0,0000 0,0022 0,0009 0,0051 0,0009 0,0010 0,0000 -0,0026 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 -0,0026 -0,0004 0,0011 0,0000 0,0009 -0,0010 0,0000 0,0049 0,0029 0,0078 0,0013 0,0022
Periode IV 0,0011 0,0010 0,0000 0,0000 0,0020 0,0757* 0,0040 0,0008 0,0008 0,0053 0,0051 0,0038 0,0105 0,0075 0,0806* 0,0321 0,0064 0,0027 0,0067 0,0069 0,0022 0,0043 0,0034 0,0044 0,0279 0,0047 0,0019 0,0017 0,0018 0,0010 0,0043 0,0000 0,0039 0,0126 0,0021 0,0017
Selama penelitian 0,0048 0,0028 0,0035 0,0039 0,0052 0,0023 0,0225 0,0037 0,0011 0,0038 0,0050 0,0019 0,0092 0,0053 0,0036 0,0288 0,0048 0,0025 0,0047 0,0031 0,0022 0,0045 0,0021 0,0020 0,0187 0,0031 0,0012 0,0026 0,0036 0,0018 0,0033 0,0023 0,0048 0,0183 0,0031 0,0011
Lampiran 3. (lanjutan) Tabel hasil analisis sidik ragam (ANOVA) laju pertumbuhan spesifik selama penelitian (24 hari) Sumber keragaman SGR Error Total
db JK 3 1,31698*10-5 20 5,54853*10-5 23 6,86551*10-5
KT 0,43890*10-5 0,2774*10-5<-
F 1,58238
P 0,2249 ns
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) laju pertumbuhan spesifik pada periode pertama Sumber keragaman Perlakuan Error Total
db JK 3 0,24790*10-4 20 3,88291*10-4 23 4,13082*10-4
KT 0,08263*10-4 0,1942*10-5<-
F 0,04256
P 0,7368 ns
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) laju pertumbuhan spesifik pada periode kedua Sumber keragaman Perlakuan Error Total
db JK KT -4 3 0,14891*10 0,04964*10-4 20 2,58845*10-4 0,1294*10-4<23 2,73736*10-4
F 0,38351
P 0,7660 ns
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) laju pertumbuhan spesifik pada periode keempat Sumber keragaman Perlakuan Error Total
db JK KT F -4 -4 3 0,25093*10 0,08364*10 2,01511 -4 -4 20 0,83016*10 0,0415*10 <-4 23 1,08109*10
P 0,1442 ns
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) laju pertumbuhan spesifik pada periode keempat Sumber keragaman db Perlakuan 3 Error 20 Total 23
JK 0,45352*10-4 1,17156*10-4 1,62508*10-4
KT 0,15117*10-4 0,0586*10-4<-
F 2,58073
P 0,0821 ns
Lampiran 3. (lanjutan) Hasil uji t laju pertumbuhan spesifik membandingkan setiap periode Periode ke1 vs 2 Rata-rata
1 vs 3
0,00754
0,00754
0,00754
0,00250
0,00250
23
23
23
23
23
44
44
36
44
40
39
t-hitung
4,35965
6,55606
3,39797
1,83770
-1,56706
-4,17370
t-tabel
2,01537
2,01537
2,02809
2,01537
2,02108
2,02269
s
s
s
ns
Ns
ns
23
db
Signifikansi
-5
0,00094 4,683*10-5
Jumlah sampel
-5
3 vs 4
1,204*10
1,865*10
-5
2 vs 4
1,204*10
1,865*10
-5
2 vs 3
1,865*10
Ragam
-5
1 vs 4