139
Laju pemangsaan larva kepiting bakau ... (Aan Fibro Widodo)
LAJU PEMANGSAAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrata) TERHADAP PAKAN ALAMI ROTIFERA (Brachionus sp.) Aan Fibro Widodo, Sulaeman, dan Muslimin Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jln. Makmur Dg. Sitakka No.129 Maros, Sulawesi Selatan 90512 Email:
[email protected]
ABSTRAK Pemberian rotifera sebagai pakan alami dalam pembenihan kepiting bakau telah banyak dilakukan. Permasalahan penting yang perlu diketahui dalam pemberian pakan rotifera adalah laju pemangsaan larva kepiting bakau terhadap pakan rotifera yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pemangsaan larva kepiting bakau, Scylla serrata terhadap pakan rotifera, Brachionus sp. Penelitian dilaksanakan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Sulawesi Selatan. Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau stadia zoea-1 yang berasal dari satu cohor hasil pembenihan dari induk kepiting bakau yang dilakukan oleh Instalasi Perbenihan BRPBAP Maros. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan adalah kepadatan rotifera yang diberikan sebagai pakan zoea-1 kepiting bakau, yaitu: A (625 ind./mL); B (500 ind./mL); C (375 ind./mL); D (250 ind./mL); dan E (125 ind./mL). Peubah yang diamati adalah laju pemangsaan, sintasan, dan peubah kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan rotifera yang diberikan sebagai pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju pemangsaan dan sintasan larva kepiting bakau. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan A, yaitu kepadatan rotifera 625 ind./mL dengan laju pemangsaan sebesar 259,1667 ind./larva/jam dan sintasan 86,0%.
KATA KUNCI: kepiting bakau, kepadatan, rotifer, zoea
PENDAHULUAN Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting dan menjadi salah satu dari 12 produk perikanan ungggulan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Scylla serrata bernilai ekonomis karena rasa dagingnya yang enak dan mengandung banyak nutrisi penting (Efrizal et al., 2001; Bulanin & Ronal, 2005). Sulaeman (1992) menyatakan bahwa daging kepiting bakau (S. serrata) mengandung 65,72% protein dan 0,88% lemak, sedangkan ovarium (telur) kepiting mengandung 88,55% protein dan 8,16% lemak. Meningkatnya permintaan pasar kepiting bakau merangsang para pembudidaya tambak untuk membudidayakan kepiting bakau di tambak. Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya adalah ketersediaan bibit. Ketersediaan bibit yang terbatas membuat para petani tambak cenderung menggantungkan pada hasil tangkapan alam. Penurunan populasi mulai terjadi akibat terjadinya tangkap lebih (over fishing), seperti yang terjadi di perairan muara Sungai Cenranae, Sulawesi Selatan (Gunarto et al., 1999). Direktorat Jenderal Perikanan (1999) melaporkan bahwa 61,6% produksi kepiting bakau berasal dari penangkapan langsung di alam sedangkan dari hasil budidaya baru sekitar 38,4%. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dikembangkan usaha perbenihan dan perbesaran kepiting bakau. Pakan alami merupakan jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua kegiatan pembenihan. Pakan alami termasuk fitoplankton, zooplankton ukuran kecil, dan larva hewan invertebrata telah diketahui sebagai makanan dalam pemeliharaan larva (Watanabe & Kiron, 1994). Jenis pakan yang diberikan bervariasi sesuai bukaan mulut larva kepiting bakau. Pemberian rotifera sebagai pakan alami dalam pembenihan kepiting bakau telah banyak dilakukan (Brick, 1974; Yunus et al., 1996; Rusdi, 1999). Permasalahan penting yang perlu diketahui dalam pemberian pakan rotifera adalah laju pemangsaan larva kepiting bakau terhadap pakan rotifera yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pemangsaan larva kepiting bakau (Scylla serrata) terhadap pakan alami rotifera (Brachionus sp.) sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi kepadatan rotifera setiap waktu pemberian pakan.
140
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Balai Riset Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Sulawesi Selatan. Hewan uji yang digunakan adalah kepiting bakau stadia zoea-1 yang berasal dari satu cohor hasil perbenihan dari induk kepiting bakau yang dilakukan oleh Instalasi Perbenihan BRPBAP Maros. Pemilihan zoea1 dilakukan secara acak dengan menggunakan metode sampling kemudian zoea dipelihara dengan kepadatan 100 ind./L dalam stoples kaca volume 2 L dengan diameter 20 cm dan tinggi 19 cm. Stoples masing-masing diisi air laut sebanyak 1 L dengan salinitas 30 ppt dan diaerasi terus-menerus. Air laut yang digunakan disaring dengan membran filter dan kemudian dilewatkan di bawah lampu ultra violet. Selama masa penelitian lingkungan dikondisikan sama dengan kultur massal (salinitas 30 ppt dan suhu 28°C). Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang dicobakan adalah kepadatan rotifera yang diberikan sebagai pakan zoea-1 kepiting bakau, yaitu: A (625 ind./mL); B (500 ind./mL); C (375 ind./mL); D (250 ind./mL); dan E (125 ind./mL). Peubah yang diamati adalah laju pemangsaan, sintasan, dan peubah kualitas air. Pengamatan terhadap laju pemangsaan zoea terhadap rotifera berlangsung selama 6 periode pengamatan. Setiap periode pengamatan berlangsung selama 4 jam pemeliharaan. Kepadatan rotifera dihitung di bawah mikroskop dengan alat bantu Sedgwick Rafter Counter Cell (SRC). Laju pemangsaan dihitung berdasarkan kepadatan awal rotifera dikurangi dengan kepadatan akhir pengamatan dibagi waktu setiap periode pengamatan (Amin et al., 2008). Sintasan larva kepiting bakau dihitung di akhir pengamatan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriftif yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. HASIL DAN BAHASAN Uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan rotifera berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju pemangsaan dan sintasan larva kepiting bakau. Rata-rata laju pemangsaan larva kepiting bakau terhadap rotifera disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Pada Tabel 1 dan Gambar 1 terlihat bahwa laju pemangsaan tertinggi diperoleh pada perlakuan A (625 ind./mL) yaitu sebesar 259,1667 ind./ larva/jam, disusul perlakuan B (207,7778 ind./larva/jam), C (155,8333 ind./larva/jam), D (103,8889 ind./larva/jam), dan terendah pada perlakuan E (51,9445 ind./larva/jam). Rata-rata sintasan larva kepiting bakau pada akhir penelitian disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2. Sintasan tertinggi diperoleh pada perlakuan A (625 ind./mL) sebesar 86,0%, menyusul berturutturut perlakuan B (500 ind./mL), C (375 ind./mL), D (250 ind./mL), dan E (125 ind./mL) dengan masingmasing sintasan sebesar 73,3%; 53,0%; 37,3%; dan 19,7%. Tabel 1. Laju pemangsaan larva kepiting bakau terhadap rotifera Peubah Kepadatan awal zoea (ind./L) Kepadatan awal rotifera (ind./mL) Laju pemangsaan zoea (ind./larva/jam) Sintasan zoea (%)
Perlakuan A
B
C
D
E
100
100
100
100
100
625
500
375
250
125
259,1667e
207,7778d
155,8333c
103,8889b
51,94445a
86,0e
73,3d
53,0c
37,3b
19,7a
Rotifera telah banyak digunakan sebagai pakan dalam pembenihan kepiting bakau (Brick, 1974; Yunus et al., 1996; Rusdi, 1999). Rotifera dapat diberikan langsung pada benih kepiting, tetapi ada yang diperkaya terlebih dahulu (Rusdi, 1999; Supriyatna, 1999). Penggunaan pakan berupa rotifera biasanya diberikan dari hasil kultur secara massal. Salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam laju pemangsaan larva kepiting bakau adalah kepadatan rotifera yang diberikan. Hasil penelitian
141
Laju pemangsaan larva kepiting bakau ... (Aan Fibro Widodo)
Gambar 1. Laju pemangsaan larva kepiting bakau (Scylla serrata) terhadap rotifera (Brachionus sp.)
Gambar 2. Sintasan larva kepiting bakau ( Scylla serrata ) pada masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa semakin tinggi kepadatan rotifera yang diberikan, semakin tinggi pula nilai laju pemangsaan larva kepiting bakau. Peningkatan laju pemangsaan ini dikuti pula dengan peningkatan sintasannya.
142
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Amin et al. (2008) melaporkan bahwa larva kepiting bakau ( Scylla paramamosain ) memiliki kemampuan memangsa rotifera sebesar 457 ind./larva/jam pada 3 periode pengamatan dengan tiap periode selama 4 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan memangsa larva kepiting bakau, S. serrata, lebih besar dibandingkan dengan larva S. paramamosain. Larva S. serrata mampu memangsa rotifera sebanyak 259,1667 ind./larva/jam pada 6 periode pengamatan dengan tiap periode pengamatan selama 4 jam. Hal ini diduga karena perilaku S. serrata yang lebih agresif dibandingkan dengan S. paramamosain. Meskipun perbandingan perilaku antara kedua jenis kepiting ini belum banyak dilaporkan, namun dari hasil pengamatan terlihat jelas bahwa larva S. serrata lebih agresif dibandingkan larva S. paramamosain. Larva S. serrata umumnya pergerakan renangnya di kolom air lebih lincah dan cepat, hal ini menyebabkan larva lebih cekatan menangkap mangsa dengan capitnya. Faktor penting lainnya yang diduga berpengaruh dalam laju pemangsaan larva kepiting bakau adalah kesesuaian antara ukuran pakan dengan bukaan mulut larva. Larva kepiting bakau pada stadia awal (zoea-1 dan 2) membutuhkan ukuran pakan ± 150 μm (Cowan, 1986). Rotifera mempunyai ukuran 150–180 μm (Susanto et al., 2004). Setyadi et al. (1997) melaporkan ukuran mulut larva kepiting bakau diduga sekitar 0,1 mm. Ukuran mulut kepiting bakau Brazilia (Panopeus austrobesus) tingkat zoea juga diduga berukuran 0,1 mm (Ikenoeu & Kakufu, 1992). Pemberian rotifera pada larva memiki beberapa keuntungan yakni ukuran yang relatif kecil sehingga mudah dimangsa, mudah dicerna, dan mudah diperkaya asam lemaknya (Yunus et al., 1996; Rusdi, 1999). Tamaru et al. (1995) melaporkan bahwa beberapa ikan laut seperti belanak (Mugil cephalus), bandeng (Chanos chanos), dan kerapu (Epinephelus sp.) juga membutuhkan rotifera untuk pertumbuhan dan sintasannya. Mortalitas biasanya terjadi karena larva tidak memperoleh asupan makanan secara optimum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena pakan yang tersedia ukurannya tidak sesuai dengan bukaan mulut larva. Kematian larva yang tinggi dikarenakan pada fase kritis stadia larva, terjadi peralihan pemanfaatan makanan dari kuning telur (endogenous feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding). Apabila terjadi kesenjangan pemanfaatan energi dari endogenous feeding ke exogenous feeding maka akan menyebabkan kematian larva (Hunter, 1980; Roger & Westin, 1981; Effendie, 2004). Sementara Husain & Higuchi (1980) menyatakan bahwa tingkat kematian larva yang tinggi pada stadia awal larva disebabkan karena ukuran pakan yang kurang sesuai. Hasil pengukuran peubah kualitas air tersaji dalam Tabel 2. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan meliputi oksigen terlarut (DO), pH, dan amonia (NH3), sementara suhu dan salinitas dikondisikan sama seperti kondisi kultur massal. Tabel 2. Kualitas air pada pemeliharaan larva kepiting bakau ( Scylla serrata ) dengan pemberian kepadatan rotifera berbeda Peubah
Kepadatan rotifera (ind./L) 625
500
Oksigen terlarut 5,9 + 0,1 6,2 + 0,1 (mg/L) pH 8,0 + 0,1 7,8 + 0,4 NH3 (mg/L) 0,140+0,161 0,133+0,133
375
200
125
5,9+ 0,2
5,8 + 0,2
6,0 + 0,2
8,0+ 0,1 0,289+0,425
7,9 + 0,3 7,8 + 0,2 0,154+0,148 0,063+0,029
Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase (Zacharia & Kakati, 2004). Menurut Kuntiyo et al. (1994) suhu yang optimum untuk kepiting bakau adalah 26°C-32°C. Nilai pH penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokomia di dalam tubuh kepiting bakau. Kuntiyo et al. (1994) juga melaporkan bahwa pH optimum untuk kepiting bakau berkisar antara 7,5 dan 8,5. Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli et al., 2000). Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme (Lee & Chen, 2003). Konsentrasi amonia dalam media pemeliharaan tidak boleh lebih dari 0,1 mg/L (Boyd, 1990; Kuntiyo et al., 1994). Hasil
143
Laju pemangsaan larva kepiting bakau ... (Aan Fibro Widodo)
penelitian Yunus et al. (1996) menunjukkan bahwa suhu 25°C–33oC, salinitas 33–34 ppt, pH 8,24– 8,32 dan oksigen terlarut 5,60–5,68 mg/L mendukung sintasan kepiting bakau sebesar 18,55%– 74,08%. Berdasarkan hal tersebut maka kualitas air di seluruh wadah penelitian cukup baik dan layak dalam mendukung kehidupan larva kepiting bakau. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa kepadatan rotifera yang diberikan sebagai pakan berpengaruh nyata terhadap laju pemangsaan dan sintasan larva kepiting bakau. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan A, yaitu kepadatan rotifera 600 ind./mL dengan laju pemangsaan sebesar 259,1667 ind./larva/jam dan sintasan 86,0%. Perlu penelitian lebih lanjut tentang laju pemangsaan kepiting bakau (S. serrata) terhadap jenis pakan alami yang berbeda. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Rusli, selaku teknisi BRPBAP, atas bantuan dalam penyiapan dan pelaksanaan penelitian dan Hj. Sutrisyani atas bantuannya dalam menganalisis kualitas air di Laboratorium Air BRPBAP. Penelitian ini dibiayai oleh APBN Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009. DAFTAR ACUAN Amin, M., Yamin, M., & Muslimin. 2008. Pengaruh kepadatan jasad pakan rotifera (Brachionus plicatilis) terhadap kemampuan memangsa dan sintasan larva kepiting bakau (Scylla paramamosain). Prosiding Seminar Nasional Kelautan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, hlm. 1–4. Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University. Alabama, p. 3–163. Brick, R.W. 1974. Effect of water quality, antibiotic, phytoplankton, and food on survival and development of larvae of Scylla serrata (Crustacea: Portunidae). Aquaculture, 3: 231–244. Bulanin, U. & Ronal, R. 2005. Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau di Laguna Gasan Gadang. J. Pen. Mangrove dan Pesisir, V(1): 5– 12. Cavalli, R.O., Berghe, E.V., Lavens, P., Thuy, N.T.T., Wille, M., & Sorgeloos, P. 2000. Ammonia toxicity as a criterion for the evaluation of larval quality in the prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol., 125C: 333–343. Cowan, L. 1986. Crab farming in Japan, Taiwan and Philipine. Queensland Department of Primary Industry, G. Brisbane QLD 4001, p. 1–55. Efrizal, Nurman, & Novriansyah. 2001. Luas ruang gerak yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup bakau, Scylla serrata Forskal, pada kerambah bambu sistem sekat. J. Pen. Mangrove dan Pesisir, V(1): 13–21. Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Statistik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta, 61 hlm. Effendie, I. 2004. Pengantar akuakultur. Penerbit Penebar Swadaya. Bogor, 187 hlm. Gunarto, Daud, R., & Usman. 1999. Kecenderungan penurunan populasi kepiting bakau di perairan muara Sungai Cenranae, Sulawesi Selatan ditinjau dari analisis parameter sumber daya. J. Pen. Per. Pantai, V(3): 30–37. Hunter, J.R. 1980. The feeding behavior and ecology of marine fish larvae. In, Fish behavior and its use in the capture and culture of fishes. J. E. Bardach, J. J. Magnuson, R. C. May and M. Reinhart (eds), ICLARM, Manila, Philhippines, p. 287–330. Hussain, N. & Higuchi, M. 1980. Larval rearing and development of the brown spoted grouper, Epinephelus tauvina (Forskal). Aquaculture, 19: 339–350. Ikenoue, H., & Kakufu, T. 1992. Rotifer (Brachionus plicatilis) culture techniques. In modern of Aquaculture in Japan. Second revised edition. Kodansa Ltd. Tokyo, p. 255–259. Kuntiyo, Arifin, Z., & Supratomo, T. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara, 29 hlm.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
144
Lee, W.C. & Chen, J.C. 2003. Hemolymph ammonia, urea and uric acid levels and nitrogenous excretion of Marsupenaeus japonicus at different salinity levels. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 288: 39-49. Yunus, K. Suwirya, Kasprijo, & Setyadi, I. 1996. Pengaruh pengkayaan rotifer (Brachionus plicatilis) dengan menggunakan minyak hati ikan cod terhadap sintasan larva kepiting bakau Scylla serrata. J. Pen. Perik. Indonesia, II(3): 38–45. Roger, B.A. & Westin, D. T. 1981. Laboratory studies on effect of temperature and delayed initial feeding on development of striped bass larvae. Trans. Am. Fish. Soc. 110: 100–110. Rusdi, I. 1999. Pengaruh pengkayaan rotifer terhadap sintasan dan perkembangan kepiting bakau Scylla serrata skala laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerjasama dengan JICA ATA-379, p. 173–178. Sulaeman. 1992. Nilai ekonomis kepiting bakau Scylla serrata. Warta Balitdita, IV(2): 27–30. Supriyatna, A. 1999. Pemeliharaan rajungan Portunus pelagicus dengan waktu pemberian pakan artemia yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerjasama dengan JICA ATA-379, hlm. 168– 172. Susanto, B., Marzuqi, M., Permana, G. N., & Haryanti. 2004. Penyediaan pakan alami (Rotifera dan Artemia) untuk menunjang teknologi perbenihan rajungan (Portunus pelagicus). WARTA Penelitian Indonesia, X(4). www.rca-prpb.com/.../PENYEDIAAN%20PAKAN%20ALAMI.pdf. Juni 2009. Setyadi, I., Anwar, Z.I., Yunus, & Kasprijo. 1997. Penggunaan jenis pakan alami dan buatan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau, Scylla serrata. J. Pen. Perik. Indonesia, III(4): 73–77. Watanabe, T. & Kiron, V. 1994. Prospects in larval fish dietetics. Aquaculture, 124: 223–251. Tamaru, C.S., Cholik, F., Kuo, J.C-M. & Fitzgerald J. JR. 1995. Status of the culture of milkfish (Chanos chanos), striped mullet (Mugil cephalus) and grouper (Epinephelus sp.). Reviews in Fisheries Science, 3(3): 249–273. Zacharia, S. & Kakati, V.S. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378-382.