PENGARUH KOMBINASI SUHU DAN SALINITAS TERHADAP KEMATANGAN TELUR KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI BAK-BAK PERCOBAAN ENDANG TRI WAHYURINI, S.Pi.,M.Agr ABSTRAK Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan jenis kepiting yang mempunyai nilai ekonomis penting baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Kepiting ini merupakan salah satu produk perikanan payau yang sangat potensial serta mempunyai prospek masa depan yang baik untuk dikembangkan. Kesukaan orang makan kepiting terutama kepiting betina yang sedang bertelur, menuntut upaya penyediaan kepiting betina dalam kondisi matang telur dalam jumlah yang tidak sedikit. Upaya untuk merangsang pematangan telur dapat dilakukan antara lain dengan mengoptimalkan kondisi media pemeliharaan. Informasi tentang pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap pematangan telur kepiting bakau belum diketahui dan diteliti. Atas dasar itulah maka penulis melakukan penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Dasar Universitas Islam Madura , pada bulan Juni- Juli 2013. Dari perhitungan uji wilayah berganda Duncan, menunjukkan hasil bahwa perlakuan dengan suhu 27 oC lebih memberikan nilai rata-rata IKG lebih besar yaitu 23,425 persen Sedangkan untuk perlakuan dengan salinitas 29 ppt menghasilkan nilai rata-rata IKG terbesar yaitu 25,859 persen. Untuk interaksi antar perlakuan diperoleh nilai rata-rata IKG terbesar pada perlakuan Ab (27 oC; 29 ppt) IKG = 13,373 persen, kemudian Ba (30 oC; 26 ppt) IKG = 7,565 persen dan diikuti Ac (27 oC; 32 ppt) IKG = 5,109 persen; Aa (27 oC; 26 ppt) IKG = 4,942 persen; Bb (30 oC, 29 ppt) IKG = 3,866 persen dan Bc (30 oC, 32 ppt) IKG = 3,237 persen Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat stadia telur ternyata memiliki nilai IKG yang tinggi pula. Interaksi antar perlakuan juga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap IKG. Hal ini karena suhu dan salinitas merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan kematangan telur kepiting bakau (Scylla serrata). Sehingga bila kedua faktor tersebut dikombinasikan jelas akan memberikan pengaruh yang sangat nyata. Dari uji wilayah berganda Duncan, pada perlakuan suhu yang berpengaruh terbaik adalah perlakuan B (30oC) dengan nilai rata-rata pertumbuhan 1,13 persen, lalu didikuti perlakuan A (27oC) nilai pertumbuhannya adalah 0,6 persen. Sedangkan untuk interaksi antar perlakuan diperoleh analisa dengan uji wilayah berganda Duncan seperti pada Tabel 14, menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah Ba (30 oC; 26 ppt) dan disusul Bb, Aa, Ac, Ab dan Bc. Dalam hal ini perlakuan Bb, Ac, Ab dan Bc memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan lebar karapas. Kata Kunci: Suhu dan Salinitas, kematangan telur dan kepiting bakau. PENDAHULUAN Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan jenis kepiting yang mempunyai nilai ekonomis penting baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Untuk memenuhi kebutuhan ekspor kepiting yang terus meningkat, maka peningkatan produksi kepiting hanya dimungkinkan melalui usaha budidaya (Anonymous, 1994).
Kepiting ini merupakan salah satu produk perikanan payau yang sangat potensial serta mempunyai prospek masa depan yang baik untuk dikembangkan. Dagingnya lezat dengan kandungan gizi yang sejajar dengan crustacea lain seperti udang (Penaeus sp), menyebabkan jenis kepiting ini disukai masyarakat, sehingga banyak diminati baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri (Mardjono, 149
Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol 14, No. 2, Juli 2014
Anindiastuti, Hamid, Djunaidah dan Satyantini, 1994). Menurut Arifin (1993), berdasarkan data statistik perikanan, permintaan kepiting bakau bertelur baik dipasar domestik maupun pasar internasional, cenderung menunjukkan peningkatan yang berarti. Hal ini dapat dimaklumi mengingat binatang yang berkulit keras ini selain memiliki rasa gurih dan enak juga bernilai gizi tinggi. Bagian tubuhnya yang bisa dimakan mengandung 65,72 protein, 7,5 mineral dan 0,88 persen lemak Bahkan kandungan protein telurnya lebih tinggi yaitu 88,55 persen, mineral 3,2 persen dan lemak 8,16 persen sehingga tidak mengherankan apabila harga kepiting bakau bertelur penuh menjadi 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan kepiting bakau tak bertelur untuk ukuran yang sama. Dijelaskan oleh Sulaeman (1993) bahwa produksi kepiting bertelur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu kepiting betina yang tidak bertelur atau bertelur belum penuh melalui usaha intensif. Hal ini tentunya akan memberikan nilai tambah bagi petani. . Kesukaan orang makan kepiting terutama kepiting betina yang sedang bertelur, menuntut upaya penyediaan kepiting betina dalam kondisi matang telur dalam jumlah yang tidak sedikit. Upaya untuk merangsang pematangan telur dapat dilakukan antara lain dengan mengoptimalkan kondisi media pemeliharaan. Menurut Kasry (1994) kepiting betina beruaya ke perairan laut untuk mencari kondisi yang sesuai terutama terhadap suhu dan salinitas. Tossin (1992) mengatakan kepiting yang telah mengalami kopulasi dan semakin matang telurnya akan terus beruaya ke laut untuk memijah. Penelitian tentang suhu dan salinitas terhadap kelulushidupan kepiting bakau dewasa telah banyak dilakukan. Menurut Kasry (1984) dalam Soedarsono (1995) pada hasil penelitiannya mengenai perbedaan salinitas medium pemeliharaan kepiting bakau yaitu pada salinitas tinggi 30-31 ‰ diperoleh hasil yang bagus dibanding pada salinitas 25150
27 ‰. Akan tetapi informasi tentang pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap pematangan telur kepiting bakau belum diketahui dan diteliti. Atas dasar itulah maka penulis melakukan penelitian ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan telur jenis crustacea adalah manipulasi hormon, pakan dan lingkungan atau media hidup. Kepiting muda akan tetap berada di sekitar perairan pantai sampai betina kopulasi dan semakin matang telurnya semakin beruaya ke laut untuk memijah. Pemeliharaan induk dilakukan dalam salinitas normal 30-32 ‰ dengan suhu normal 26,5 oC – 27oC (Suprapto,1992). Menurut Waterman (1960) kemungkinan tinggi rendahnya salinitas berpengaruh pada mekanisme kontrol pemijahan. Selain itu Saleh, Arifin, Sumartono,Purnama, Suryati dan Supita (1992) menyatakan bahwa menaikkan suhu dapat digunakan untuk merangsang kematangan gonad dan kesuburan telur. Menurut penelitian Suprapto (1992) bahwa pemeliharaan induk dan larva kepiting Bakau diperoleh hasil tertinggi pada salinitas 30-31 ‰ dengan suhu air 28oC - 29oC. Sedangkan berdasarkan penelitian Ong (1964), Brick (1974), Heasman (1980), Kasry (1985), Hendratmo (1987) dalam Tossin (1992) salinitasnya 0-34 ‰, suhu air 24,5-29,4oC. Informasi lain menyatakan kepiting bakau bertelur dan larva ditemukan jauh dari pantai, mereka hidup dalam kondisi lingkungan yang cukup stabil. Beberapa penelitian mengatakan bahwa larva tingkat pertama tahan hidup pada salinitas tinggi Yaitu sekitar 30 ‰ dan temperatur tinggi 26oC -30 oC Hill (1974),Chen dan Jeng (1980) dalam Pollock and Quinn (1984). Soim (1996) lebih lanjut mengatakan untuk memproduksi kepiting bakau bertelur penuh diperlukan air pemeliharaan dengan salinitas 26-30 ‰ dan suhunya 24 oC -27 oC.
Endang Tri W., Pengaruh Kombinasi Suhu dan Salinitas terhadap Kematangan
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan penelitian ini adalah berapa kombinasi suhu dan salinitas yang sesuai untuk mempercepat kematangan telur kepiting bakau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kombinasi suhu dan salinitas yang optimal terhadap kecepatan pematangan telur kepiting bakau (Scylla serrata) pada media pemeliharan. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi kombinasi suhu dan salinitas yang sesuai terhadap media pemeliharaan kepiting bakau (Scylla serrata) bertelur. Hipotesis Diduga dengan pemberian kombinasi suhu dan salinitas yang berbeda dapat meningkatkan pematangan telur pada kepiting bakau (Scylla serrata). Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Dasar Universitas Islam Madura, pada bulan Juni- Juli 2013. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Menurut Suryabrata (1988) tujuan dari penelitian eksperimen yaitu untuk menyelidiki kemungkinan saling terjadi hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimen dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan. Sedangkan teknik pengambilan datanya dilakukan dengan cara observasi langsung yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti luas, sebenarnya tidak terbatas pada pengamatan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung ( Hadi, 1986).
Prosedur Penelitian a. Persiapan - Melakukan persiapan tempat yaitu di Laboratorium Dasar Universitas Islam Madura. Mempersiapkan alat-alat yang digunakan untuk penelitian. - Mempersiapkan bak-bak percobaan sekaligus memasang alat-alat yang digunakan. Menyiapkan media pemeliharaan berupa air laut dengan salinitas 32 ppt. - Memperlakukan air laut tersebut dengan cara menambah air tawar hingga mencapai salinitas 26, 29, dan 32 ppt dengan menggunakan rumus VI CI = V2 C2, agar diperoleh media pemeliharaan yang sesuai dengan perlakuan penelitian. Mempersiapkan kepiting Bakau dewasa yang memenuhi syarat penelitian. b. Pelaksanaan Penelitian Penelitian diawali dengan mempersiapkan bak percobaan yang telah diisi dengan media pemeliharaan yang salinitasnya 26,29, dan 32 ppt. - Perlakuan diberikan pada masingmasing bak percobaan yaitu dengan kombinasi suhu dan salinitas (27 oC, 26 ppt; 27oC, 29 ppt; 27oC, 32 ppt, 30oC,26 ppt; 30oC, 29 ppt, 30oC, 32 ppt). - Kepiting bakau uji Siap dimasukkan ke dalam bak-bak percobaan untuk mendapat perlakuan. - Selanjutnya bak percobaan tersebut ditutup dengan terpal dan dipasang termostat agar suhu air media dapat dipertahankan pada ukuran tertentu sesuai dengan perlakuan. - Pengamatan kematangan gonad dilakukan setiap lima hari sekali dengan cara visual dan mikroskopis. - Pengamatan visual dilakukan pada morfologinya, yaitu ditandai oleh pembangkakan karapas dan bila bagian perut sedikit ditekan maka akan terlihat telur-telurnya yang berwarna merah. - Pengamatan mikroskopis dilakukan pada masa akhir pemeliharaan, lalu dengan menggunakan penjepit kecil 151
Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol 14, No. 2, Juli 2014
massa telur diambil untuk diamati di bawah mikroskop. - Pengukuran berat tubuh dan lebar karapas juga dilakukan setiap lima hari sekali. - Selama pemeliharaan selalu dilakukan pengamatan-pengamatan yang meliputi aktor suhu, salinitas, pH dan DO. - Selain itu penggantian air media pemeliharaan dilakukan setiap dua hari sekali sebesar 50 persen. Analisis Data Analisis data untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap hewan uji dilakukan dengan menggunakan analisis keragaman atau sidik ragam (uji F) dengan taraf kepercayaan 95-99 persen. Apabila dari F hitung ternyata hasilnya menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (**) atau berbeda nyata (*), maka dilanjutkan dengan melakukan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dan uji wilayah berganda Duncan untuk mengetahui perlakuan yang terbaik. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Indeks Kematangan Gonad (IKG) Berdasarkan hasil penelitian pemberian kombinasi suhu dan salinitas
pada pemeliharaan kepiting bakau (Scylla serrata) pada masing-masing perlakuan menunjukkan adanya perkembangan kematangan telur. Pada akhir pemeliharaan, terdapat perkembangan telur pada stadia dua dan tiga. Tingkat stadia telur yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Tingkat Stadia Telur Kepiting Pada Akhir Penelitian. Perlakuan Salinitas Suhu Salinitas 1 2 3 A a II II II b III III III c II II II B
a b c
II II II II
Kontrol
II II II II
II II II II
Selanjutnya dilakukan pengukuran IKG dengan cara membandingkan antara berat telur dengan berat tubuh kepiting. Berat telur dan besarnya IKG dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3,
Tabel 2. Data Berat (gram) Telur Kepiting Bakau Selama Penelitian. Perlakuan Ulangan o Suhu ( C) Salinitas (ppt) 1 2 3 A = 27 a = 26 14,18 11,86 10,11 b = 29 31,86 25,57 44,93 c = 32 11,35 10,43 12,32 B = 30
Kontrol
Perlakuan Suhu (oC) A= 27
152
a = 26 b = 29 c = 32
18,98 10,32 6,68 8,66
17,30 10,48 8,64 7,01
15,12 8,69 9,87 6,70
Tabel 3. Data IKG (%) Kepiting Bakau Selama Penelitian. Ulangan Salinitas (ppt) 1 2 3 a = 26 5,835 4,815 4,176 b = 29 13,286 11,239 15,595 c = 32 4,939 4,345 6,045
Endang Tri W., Pengaruh Kombinasi Suhu dan Salinitas terhadap Kematangan
B= 30
a = 26 b = 29 c = 32
9,033 3,699 2,577 3,697
Kontrol Dari perhitungan statistic IKG hasil analisa sidik ragam seperti pada Tabel 4. Pada selang kepercayaan 99 persen menunjukkan bahwa perlakuan
7,229 4,153 3,454 3,186
6,374 3,776 3,680 2,782
yang diberikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap IKG, baik perlakuan suhu, salinitas maupun interaksi antar perlakuan.
Tabel 4. Analisa Sidik Ragam IKG No
Sumber Keragaman
db
Jk
1
Perlakuan 5 210,560 Kombinasi Faktor I 1 59,391 Faktor II 2 38,336 2 Faktor interaksi I 2 112,833 dan II Acak 12 15,690 3 Total 17 226,520 Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata Dari perhitungan uji wilayah berganda Duncan, menunjukkan hasil bahwa perlakuan dengan suhu 27 oC lebih memberikan nilai rata-rata IKG lebih besar yaitu 23,425 persen (Tabel 5). Sedangkan untuk perlakuan dengan salinitas 29 ppt menghasilkan nilai ratarata IKG terbesar yaitu 25,859 persen (Tabel 6). Untuk interaksi antar perlakuan diperoleh nilai rata-rata IKG terbesar pada perlakuan Ab (27 oC; 29 ppt) IKG = 13,373 persen, kemudian Ba (30oC; 26 ppt) IKG = 7,565 persen dan diikuti Ac (27oC; 32 ppt) IKG = 5,109 persen; Aa (27 oC; 26 ppt) IKG = 4,942 persen; Bb (30oC, 29 ppt) IKG = 3,866 persen dan Bc (30 oC, 32 ppt) IKG = 3,237 persen (Tabel 7).
KT
F. hitung
42,112
-
59,391 19,168
F. Tabel 5%
1%
45,44**
4,75
9,33
56,416
14,66**
3,88
6,93
1,307
43,164**
3,88
6,93
Tabel 5. Analisis Uji Wilayah Berganda Duncan Untuk Suhu Terhadap IKG Perlakuan B A Notasi B = 14,668 a A = 23,425 8,757** b Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata. Tabel 6.
Perlakuan c= 12,,520 a= 18,761 b= 25,859
Analisis Uji Wilayah Berganda Duncan Untuk Salinitas Terhadap IKG
c 12,483** 26,678**
a 14,195**
b -
Notasi a b bc
Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata.
153
Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol 14, No. 2, Juli 2014
Tabel 7. Analisis Uji Wilayah Berganda Duncan Untuk Interaksi Antar Perlakuan Terhadap IKG Perlakuan Bc Bb Aa Ac Ba Ab Bc = 3,237 Bb = 3,866 0,62 Aa = 4,942 1,705 1,077 Ac = 5,109 1,873 1,244 0,168 Ba = 7,565 4,328 3,699 2,623 2,456 Ab = 13,373 10,136 9,507 8,431 8,264 5,808 Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat stadia telur ternyata memiliki nilai IKG yang tinggi pula. Hal ini didukung oleh Efendi (1997) bahwa dengan nilai gonado somatic indeks akan didapatkan señalan dengan perkembangan gonad, indeks itu akan semakin bertambah besar dan nilai tersebut akan mencapai batas kisaran maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Tingkat perkembangan gonad dapat ditentukan dengan dua cara yaitu secara mikroskopis dan pengamatan lapang (dengan menggunakan tandatanda umum serta usuran gonad). Penilaian perkembangan gonad yang hanya berdasarkan pada ciri-ciri morfoligis saja kurang efektif dan informatif, oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan penilaian secara mikroskopis melalui jaringan gonad. Gambar telur hasil perlakuan dan jeringan telur dapat dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan penelitian Fudjaya, Toelihere, Sjafei dan Purwantara (1996) dalam Anonymous (1996), semakin besar IKG maka telru semakin matang. Kisaran tingkt kematangan telur dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kisaran Tingkat Kematangan Telur Kepiting Bakau Tingkat Indek Ovarium (%) Kematangan Telur I 0,2 – 0,9 II 1,0 – 9,0 III 9,1 – 24 Apabila didasarkan pada kisaran indek ovarium diatas, ternyata besarnya 154
Notasi A a a a b bc
nilai IKG yang diperoleh dalam penelitian termasuk berada dalam kisaran tersebut. Dari perlakuan yang diberikan ternyata suhu berpengaruh sangat nyata terhadap IKG. Hal ini karena suhu merupakan salah satu faktor yang mampu merangsang kepiting untuk akktifitas reproduksinya, kepiting betina akan bertelur pada suhu yang sesuai dengan naluri kehidupannya. Oleh karena itu terjadi pengaruh yang nyata pada perlakuan suhu tersebut. Dari analisis regresi antara suhu dengan IKG diperoleh hubungan exponensial dengan persamaan Y = 1582.9e-0,156 x dengan nilai R2 = 1. Grafik regresi antara suhu dengan IKG terdapat pada Gambar 3. Menurut Kasry (1994) perubahan suhu sangat berperan dalam kecepatan metabolisme lainnya. Suhu berpengaruh terhadap laja perkembangan embrionik, pergerakan, pertumbuhan dan reproduksi.
Grafik Hubungan Suhu dengan IKG
Indek Kematangan Gonad (IKG) (%)
25.000 20.000
Y = 1582.9 e-0,156 x
15.000 Series1 10.000 5.000 27
30 Suhu (0 C)
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Suhu dengan IKG Perlakuan salinitas menunjukkan pengauh sangat nyata terhadap besarnya IKG. Salinitas merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang kehidupan organisme air, terutama metabolismenya. Perubahan salinitas akan menyebabkan tekanan osmose, densitas maupun faktor-faktor lain dan kondisi ini tentu sangat mempengaruhi kehidupan kepiting sebagai salah satu biota air. Salah satu aktifitas organisme yang terpengaruh
oleh salinitas ini adalah sistem reproduksinya. Hal ini menurut Waterman (1960) kemungkinan tinggi rendahnya sailinitas berpengaruh pada mekanisme kontrol pemijahan. Dari analisis regresi antara salinitas dengan IKG diperoleh hubungan eksponensial dengan persamaan Y = 257,77 e -0,0674x, dengan nilai R2 = 0.3096. Grafik regresi antara salinitas dengan IKG terdapat pada Gambar 4.
Grafik Hubungan antara Salinitas dengan IKG
Indek Kematangan Gonad (%)
30.000
Y = 257,77 e-0,0674x
25.000 20.000 15.000
Series1
10.000 5.000 26
29
32
Salinitas (ppm)
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Salinitas dengan IKG Interaksi antar perlakuan juga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap IKG. Hal ini karena suhu dan salinitas merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi kecepatan kematangan telur kepiting bakau (Scylla serrata). Sehingga bila kedua faktor tersebut dikombinasikan jelas akan 155
Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol 14, No. 2, Juli 2014
memberikan pengaruh yang sangat nyata. Menurut Lockwood (1967) dalam Hutapea (1993) bahwa pada crustacea jeringan-jaingan bukan asli, berfungsi dalam menghasilkan hormon, yaitu, Yorgan meghasilkan Gonado Stimulating Hormona (GSH) yang berperan dalam proses pematangan gonad X-organ menghasilkan Gonado Inhibiting Hormone (GIH) yang berperan dalam menghambat perkembangan gonad melalui penghambatan aktivitas Y-organ. Jika pada ablasi mata bertujuan untuk menghilangkan X-organ agar produksi GIH menurun sehingga GSH dapat dilemas dari otak dan toraksik ganglion (Wyban and Sweeney, 1991) dalam Hutapea (1993), maka pada pemberian kombinasi suhu dan salinitas pada media
pemeliharaan bertujuan untuk meningkatkan jumlah GSH sehingga dapat mengimbangi pangaruh GIH. Sehingga GSH akan banyak terlepas dan terjadi stimuasi pematangan gonad. Pertumbuhan Pertumbuhan diketahui dengan menggunakan dua parameter yaitu dengan membandingkan antara berat tubuh awal dan akhir serta selisih lebar karapas pada awal dan akhir pemeliharaan. Lebar karapas kepiting bakau selama penelitian terdapat pada Lampiran 5. Dari analisis sidik ragam perlakuan tidak mempengaruhi berat tubuh, meskipun pada kenyataannya tetap terjadi pertumbuhan yang berbedabeda. Besarnya pertumbuhan mutlak dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Data Pertumbuhan Mutlak Kepiting Bakau Selama Penelitian (gram). No Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata 1 2 3 1 Aa -1 0,6 2,8 2,4 0,8 2 Ab -0,5 2,3 0,4 2,2 0,73 3 Ac -0,3 0,5 3,8 4 1,33 4 Ba 1,1 -6,4 1,1 -4,4 -1,4 5 Bb 0,7 2,2 0,9 3,8 1,26 6 Bc -1,5 8,2 3,2 9,9 3,3 Total 18,1 Berdasarkan hasil perhitungan statistik (Lampiran 6) diperoleh hasil analisis sidik ragam seperti pada Tabel 10. Pada perlakuan suhu ternyata memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan yaitu pada selang
kepercayaan 95 persen, sedangkan untuk perlakuan salinitas dan interaksi antar perlaakuan tidak menunjukkan bahwa perlakuan mempengaruhi pertumbuhan.
Tabel 10. Analisis Sidik Ragam Pertumbuhan Mutlak Kepiting Bakau Uji Selama Penelitian F. Tabel Sumber No db JK KT F. Hit Keragaman 5% 1% 1 Perlakuan 5 22,7 4,4542 Kombinasi Faktor I 1 19,46 19,46 7,95* 4,75 9,33 Faktor II 2 0,045 0,0225 0,0092ns 3,88 6,93 Faktor 2 2,765 1,382 0,565ns 3,88 6,93 Interaksi I dan II 2 Acak 12 29,36 2,446 3 Total 17 51,63 Keterangan : * = Berbeda nyata ns = Tidak berbeda nyata 156
Namun setelah dilakukan uji wilayah berganda Duncan (Tabel 11), ternyata tidak menunjukkan perbedaan hasil. Hal ini berarti perlakuan suhu tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan mutlak kepiting Bakau uji. Ssitem metabolisme tubuh pada salinitas perlakuan masih dalam kisaran normal. Tabel 11. Daftar Uji Wilayah Berganda Duncan Suhu terhadap Pertumbuhan Perlakuan A B Notasi A = 2,866 a B = 3,166 0,3ns a Keterangan : ns = Tidak berbeda nyata
Apabila dilihat hubungan suhu dengan pertumbuhan mutlak melalui analisis regresi maka diperoleh hubungan yang eksponensial. Hasil persamaannya yaitu Y = 1169,9 e-0,0332x, dengan nilai R2 = 1. Grafik hubungan antara salinitas dengan pertumbuhan mutlak seperti pada Gambar 5 berikut ini.
Pertumbuhan Mutlak (%)
Grafik Hubungan Antara Suhu dengan Pertumbuhan Mutlak Y = 1,1699 e0,0332x
3.200 3.100 3.000
Series1
2.900 2.800 2.700 27
30 Suhu (0 C)
Gambar 5. Grafik hubungan antara suhu dengan pertumbuhan mutlak. Parameter pertumbuhan yang sangat nyata, sedangkan perlakuan dilihat dari lebar karapas, ternyata salinitas tidak berpengaruh dan interaksi setelah melalui perhitungan statistik antar perlakuan berpengaruh menunjukkan pengaruh yang nyata. nyata, seperti dalam analisa sidik Untuk perlakuan suhu berpengaruh ragam (Tabel 12). Tabel 12. Analisa Sidik Ragam Lebar Karapas Terhadap Pertumbuhan kepiting Bakau uji Selama Penelitian. F. Tabel Sumber No db JK KT F. Hit Keragaman 5% 1% 1 Perlakuan 5 0,84 0,168 Kombinasi Faktor I 1 0,4566 0,456 14,709* 4,75 9,33 Faktor II 2 0,14 0,070 2,258ns 3,88 6,93 Faktor 2 0,244 0,122 3,935* 3,88 6,93 Interaksi I dan II 2 Acak 12 0,38 0,031 3 Total 17 1,22 Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata * = Berbeda nyata ns = Tidak berbeda nyata 157
Dari uji wilayah berganda Duncan pada perlakuan suhu yang berpengaruh terbaik adalah perlakuan B (30oC) dengan nilai rata-rata pertumbuhan 1,13 persen, lalu o didikuti perlakuan A (27 C) nilai pertumbuhannya adalah 0,6 persen (Tabel 13). Tabel 13. Hasil Analisa Uji Wilayah berganda Duncan Perlakuan Suhu Terhadap pertumbuhan. No Perlakuan A B Notasi 1 A = 0,6 - A 2 B = 1,13 0,53** - B
Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata Sedangkan untuk interaksi antar perlakuan diperoleh analisa dengan uji wilayah berganda Duncan seperti pada Tabel 14, menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah Ba (30oC; 26 ppt) dan disusul Bb, Aa, Ac, Ab dan Bc. Dalam hal ini perlakuan Bb, Ac, Ab dan Bc memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan lebar karapas.
Tabel 14. Analisa Uji wilayah Berganda Duncan Untuk Interaksi Antar Perlakuan Terhadap pertumbuhan kepiting Bakau Uji Selama Penelitian. No Perlakuan Bc Ab Ac Aa Bb Ba Notasi 1 Bc=0,06 a 2 Ab=0,16 0,1ns a 3 Ac=0,16 0,1ns a 4 Aa=0,26 0,2ns 0,1ns 0,1ns a ns ns ns ns 5 Bb=0,33 0,627 0,167 0,167 0,067 a 6 Ba=0,73 0,667** 0,567** 0,567** 0,467** 0,4** b Keterangan : ** = Berbeda sangat nyata * = Berbeda nyata ns = Tidak berbeda nyata Nilai pertumbuhan mutlak yang rendah disebabkan karena menurunnya nafsu makan kepiting selama pmeliharaan, karena kepiting dalam kondisi bertelur. Dalam Anonymous (1992), disebutkan bahwa nafsu makan kepiting akan berkurang saat kepiting sedang bertelur dan puncaknya setelah telur keluar, kepiting sperti berpuasa. Selain itu dijelaskan pula olah, Kuntijo, Arifin,Supranto (1994), disamping faktor makanan, pertumbuhan juga dipengaruhi oleh suhu dan kualitas air lainnya. Selama penelitian suhu air adalah konstan sehingga hal ini jelas akan mempengaruhi pertumbuhan, Lebih lanjut Brotowijoyo, et al., (1995) menjelaskan bahwa kepiting yang dipelihara pada suhu konstan, pertumbuhnnya lebih lambat dibanding dengan kepiting yang dipelihara pada suhu alam sesuai dengan variasi musiman.
Dengan demikian diketahui hasil metabolisme yang sebelum waktu pemijahan dipergunakan untuk pertumbuhan kemudian pada saat gonad (telur) berkembang, hasilnya metabolisme dipergunakan untuk pertambahan berat gonad (telur). Sedangkan dengan melihat terjadinya pertambahan lebar karapas maka dimungkinkan kepiting Bakau tersebut akan mengalami moulting. Hal ini dijelaskan oleh Warner (1997) dalam Anonymous (1992), bahwa pertambahan usuran panjang dan lebar hanya dapat terjadi pada saat kepiting melakukan ganti kulit yang dikenal dengan moulting atau exdysis. Dari perlakuan suhu yang diberikan ternyata menunjukkan hasil berbeda nyata terhadap pertambahan lebar karapas. Dengan demikian sesuai dengan penjelasan Kasry (1994), bahwa suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan. Lebih tegas lagi Waterman 158
Endang Tri W., Pengaruh Kombinasi Suhu dan Salinitas terhadap Kematangan
(1960), menyatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi moulting dan mengontrol proses moulting. Kualitas Media Pemeliharaan Hasil pengamatan parameter kualitas air media pemeliharaan selama penelitian seperti pada Tabel 15. Dari
hasil pengukuran parameter tersebut menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan layak bagi kehidupan kepiting Bakau bertelur dan hal ini tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya.
Tabel 15. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Selama Penelitian. Parameter Perlakuan T (0C) S (ppt) pH DO (ppm) Aa 27 26 6,8 – 7,3 5,0 – 6,5 Ab 27 29 6,5 – 7,8 5,7 – 6,3 Ac 27 32 7–8 6,6 – 6,4 Ba 30 26 6,9 – 7,5 5,2 – 6,2 Bb 30 29 7–8 6,5 – 6,8 Bc 30 32 6,7 – 7,4 6,1 – 6,6 K 24 - 26 30 - 31 7-8 6,1 – 6,6 Acuan 26 – 300C 26 – 34 ppm 7,2 – 7,8 > 4 ppm (Pollock & Quin,1984) (Soim, 1996) (Soim, 1996) (Kordi, 1997) KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan disimpulkan sebagai berikut : Suhu dan salinitas media pemeliharaan serta interaksi antar keduanya sangat nyata mempengaruhi kecepatan kematangan telur kepiting bakau (Scylla serrata)yang dipelihara. Ternyata pada interaksi antara suhu dan salinitas (270C dan 29 ppt) memberikan nilai IKG tertiggi yaitu sebesar 13,373 persen. Parameter koalitas air yang lain selama penelitian masih layak bagi kehidupan dan pertumbuhan kepiting bakau bertelur yaitu DO sebesar 5,0 – 6,8 ppm dan pH-nya 6,5 – 8.
--------------, 1992. Warta Balitdita. No 2, Volume 4. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Brotowidjoyo.M.D, Tribawono.D dan Mulbyantoro.E, 1996. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Anonymous, 1991. Produksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Bertelur Skala Rumah Tangga, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
---------------, 1994. Komoditas Ekspor Potensial. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. --------------, 1996. Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan Vol.IV, No.11, Des. Fakultas Peternakan. Fakultas Kelautan dan Fakultas Perikanan. Universitas Hasanudin. Ujung Pandang. Arifin.S, 1993. Budidaya Kepiting Bakau Bertelur dengan Keramba Apung. Techner No. 8, Th. II, Juli. Jakarta.
Effendy.I, 1997. Biologi Perikanan. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta. Hadi. S, 1986. Metodologi Riset. Yayasan Penerbit Fakultas Phisiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 159
Jurnal Manajemen Agribisnis, Vol 14, No. 2, Juli 2014
Hutapea. J.H, 1993. Pengaruh Injeksi Ekstrak Torasik Ganglion dan Otak Lobster Panulirus, sp. Betina Matang Gonad Terhadap Pematangan Gonad Udang Windu (Penaeus monodon) Fab. Prosiding/ Puslitbangkan/No.40/1996.Jakarta. Kasry. A, 1994. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bhatara. Jakarta. Kuntijo, Arfin, Z dan K. P. Suprapto., 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Balai Budidaya Air Payau. Direktorat Jenderal Perikanan Jepara. Mardjono. M, Anindiastuti, N. Hamid, I. S. Djunaidah dan W. H. Sayantini., 1994. Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau. Direktorat Jenderal Perikanan Jepara. Richter dan Rustidja., 1985. Pengantar Ilmu Produksi. Nuffic. Universitas Brawijaya Malang. Soedarsono. P, et.al., 1995. Optimalisasi Salinitas dan Kepadatan untuk Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) Prosiding Penelitian. Hasil Penelitian Ilmu Kelautan. Direktorat Pembinaan Sarana Akademis Bogor. Sulaeman., 1993. Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Suprapto. D, 1992. Budidaya Kepiting (Scylla serrata) dan rajungan (Portunus pelagicus). Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. Tossin. M. R, 1992. Pengaruh Penurunan Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Megalopa Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal). Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 160
Waterman. T. H, 1960. The Physiology of Crustacea. Departemen of Zoology. Yale Univesity. New york. Amerika.