Kandungan dan Laju Reduksi Limbah Nitrogen pada Sistem Budidaya Kepiting Bakau di Alam dan Bak Terkontrol Endang Jamal Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Pattimura Jl. Mr. Chr. Soplanit Kampus Poka, Ambon, 97234 Email:
[email protected]
Abstract Endang Jamal. 2011. The Content and Reduction Rate of Nitrogen Waste of the Mud Crab Culture in the Natural and Under Controlled Systems. Konferensi Akuakultur Indonesia 2011. This research was aimed to compare the ammoniac and nitrite content and their reduction rate of crab culture in natural and under controlled system. Randomized block design was used in this experiment. The measurement of ammoniac and nitrite content were taken in three periods of times which were at 4 hours, 17 hours and 23 hours after feeding (fresh fish). Data was analyzed using one way anova. The result showed that the nitrite content (0,05±0,06 mg NO2-N/L) was higher than ammoniac content (0,02±0,02 mg NH3-N/L) of the two culture systems, though there were not any significant statistically (P>0,05). The reduction rate of ammoniac and nitrite were about 5x10-4 mg/L/hour to 1.8x10-3 mg/L/hour in the two culture systems, but they have contrast pattern. Ammoniac reduced 4 times faster than nitrite in the natural culture system, but nitrite reduced 4 times faster than ammoniac in under controlled culture system. This information could be considered in measures of management approach of both types of nitrogen waste in the two culture system. Keywords: Ammoniac and nitrite content, Naturally and under controlled culture system, Reduction rate
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kandungan limbah amoniak dan nitrit dan laju reduksinya pada sistem budidaya kepiting bakau di alam dan bak terkontrol. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Pengukuran amoniak dan nitrit diambil pada periode waktu yaitu 4 jam, 17 jam dan 23 jam setelah pemberian pakan ikan segar. Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam satu arah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan rata-rata nitrit (0,05±0,06 mg NO2N/L) lebih tinggi daripada amoniak (0,02±0,02 mg NH3-N/L) pada kedua sistem budidaya, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Laju reduksi amoniak dan nitrit relatif sama yakni berkisar antara 5x10-4 s.d 1,8x10-3 mg/L/jam, namun memiliki pola berlawanan pada kedua sistem budidaya yakni amoniak empat kali lebih cepat tereduksi daripada nitrit pada sistem budidaya di alam, sebaliknya nitrit empat kali lebih cepat tereduksi daripada ammoniak pada bak terkontrol. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pendekatan manajemen limbah amoniak dan nitrit pada kedua sistem budidaya tersebut. Kata kunci: Kandungan amoniak dan nitrit, Sistem budidaya alami dan terkontrol, Laju reduksi
Pendahuluan Kepiting Bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditi perikanan yang sangat potensial dan cukup prospektif untuk dikembangkan seiring dengan meningkatnya permintaan pasar kepiting bakau. Kelezatan daging dan telur kepiting bakau dengan nilai protein yang mencapai 65,7 %-82,6 % dan lemak sekitar 0,9 %-8,2 % dari bobot kering menyebabkan kepiting bakau sangat disukai, baik di dalam maupun di luar negeri (Muskar, 2002; Tupan dkk., 2005; Sihainenia, 2008). Kulit kepiting bakau kering juga dapat digunakan sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan dan lainlain. Namun, produksi kepiting Indonesia saat ini baru mencapai 0,16 % atau berada pada peringkat kedua terendah dari produksi komoditas utama perikanan budidaya Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, 2009). Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi usaha budidaya kepiting bakau untuk meningkatkan produksi dan kesinambungan. Dalam budidaya kepiting bakau, kualitas air merupakan masalah utama dalam sistem budidaya intensif karena mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan kepiting bakau. Salah satu 442
parameter kualitas air yang menjadi perhatian utama di dalam sistem budidaya perairan adalah limbah nitrogen (NH4+ dan NO2-) (Colt dan Amstrong dalam Avnimelech, 1999). Sumber nitrogen pada sistem budidaya perairan 90 % berasal dari pakan dan 5 % berasal dari sumber air budidaya itu sendiri (Lawson, 1995; Avnimelech, 1999; Jackson et al., 2003). Fraksi nitrogen terlarut terdiri atas nitrogen organik terlarut (DON, nitrit dan nitrat) dan total nitrogen ammonia (TAN, ammonium + amoniak) (Jackson et al., 2003). Amoniak dan nitrit merupakan fraksi nitrogen yang bersifat toksik dan dapat membahayakan organisme budidaya ataupun organisme akuatik pada konsentrasi tertentu (Montoya et. al., 2002). Amoniak merupakan produk akhir katabolisme protein pada krustase dan juga dihasilkan dari ekskresi organisme budidaya dan mineralisasi dari detritus organik, seperti pakan yang tidak termakan dan feses (Chin dan Chen, 1987; Lin dan Chen, 2001, Montoya et al., 2002). Amoniak sangat toksik terhadap organisme akuatik karena mudah terdifusi oleh membran sel dan mudah larut dalam lemak (Chin dan Chen, 1987; Frias-Espericueta et al., 1999). Tingginya kandungan amoniak pada lingkungan budidaya akan menyebabkan ekskresi amoniak dari tubuh organisme budidaya berkurang, sebaliknya kandungan amoniak meningkat di dalam darah dan jaringan akibatnya pH darah akan meningkat dan berdampak buruk bagi reaksi enzim, stabilitas membran, transpor oksigen, level hemolymp dan asam amino bebas dan kerusakan jaringan bahkan dapat menyebabkan kematian (Chen dan Lin, 1992; Chen et al., 1994; Lawson, 1995). Beberapa penelitian tentang kandungan limbah nitrogen pada sistem budidaya telah dilakukan pada sistem budidaya udang di tambak antara lain Briggs and Funge-Smith (1994) dan Jackson et al., (2003), namun terbatas pada pembelajaan nitrogen, sedangkan informasi tentang nitrifikasi pada sistem akuakultur jarang dan terbatas (Montoya et al., 2002). Pada sistem budidaya kepiting bakau seperti keramba yang ditempatkan di alam (sistem budidaya terbuka) dan di bak-bak terkontrol (sistem budidaya semi terbuka) diduga nitrifikasi dapat berbeda sebagai akibat kondisi spesifik (Montoya et al., 2002). Oleh karena itu, penelitian ini menguji kandungan dan laju reduksi limbah amoniak dan nitrit pada sistem budidaya kepiting bakau di alam dan bak terkontrol.
Materi dan Metode Kondisi Sistem Budidaya dan Organisme Kepiting Bakau Sistem budidaya kepiting bakau terdiri dari kurungan bambu (di alam) berukuran 90 cm x 80 cm x 75 cm dan dibagi sebanyak 6 kotak berukuran 30 cm x 40 cm x 75 cm yang ditancapkan ke dasar perairan sedalam 20 cm dan dipengaruh pasang surut. Untuk bak terkontrol digunakan bak fiber berukuran 244 cm x 61 cm x 122 cm yang disekat menjadi 6 kotak berukuran 30 cm x 40 cm x 75 cm dan dilengkapi dengan sistem air mengalir dan aerasi. Selain itu, setiap pagi dilakukan penyiponan sisa pakan di dasar bak. Setiap kotak berisi 1 ekor kepiting bakau (Scylla serrata) berukuran berukuran 490,2±66,1 g. Selama pemeliharaan kepiting bakau diberikan pakan ikan segar dengan dosis 10% dari bobot tubuh sekali sehari yakni pada jam 17.00 WIT karena bersifat nokturnal. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Kelompok (perlakuan) terdiri atas sistem budidaya di alam (kurungan bambu) dan terkontrol (bak fiber) serta variabel yang diamati adalah kandungan amoniak dan nitrit yang diukur pada jam 21.00 atau 4 jam sesudah diberikan pakan, jam 10.00 WIT (17 jam sesudah diberikan pakan) dan jam 16:00 WIT (23 jam setelah pemberian pakan) dan ulangan sebanyak tiga kali selama periode pemeliharaan. Pengambilan dan Analisis Data Kandungan amoniak dan nitrit diukur dari 5 ml sampel air yang diberikan masing-masing reagen kemudian dikocok dan didiamkan selama 1 jam. Selanjutnya amoniak diukur dengan spektrofotometer, sedangkan nitrit diukur menggunakan colori meter. Laju reduksi kedua jenis 443
limbah nitrogen (mg N/L/jam) dihitung dari selisih kandungan akhir (mg N/L) dengan kandungan awal (mg N/L) dibagi waktu (jam). Perbedaan kandungan dan laju reduksi amoniak dan nitrit pada kedua sistem budidaya diuji secara statistik menggunakan analisis sidik ragam satu arah pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil dan Pembahasan Kandungan dan laju reduksi amoniak dan nitrit pada sistem budidaya kepiting bakau di alam dan di bak terkontrol ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kandungan dan laju reduksi amoniak dan nitrit pada sistem budidaya di alam dan bak terkontrol (nilai rata-rata, n=6).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa limbah nitrit merupakan jenis limbah nitrogen yang dominan yakni berkisar antara 0,04-0,05 mg NO2-N/L pada kedua sistem budidaya, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Selain itu, kedua sistem budidaya memiliki kecenderungan kandungan dan laju reduksi limbah nitrogen yang berbeda. Kandungan dan laju reduksi amoniak lebih tinggi di alam sebaliknya nitrit lebih tinggi di bak terkontrol, namun tidak berbeda secara statistik (P>0,05). Kandungan rata-rata tertinggi amoniak di alam sebesar 0,03 mg NH3-N/L dan nitrit di bak terkontrol sebesar 0,05 mg NO2-N/L, sedangkan laju reduksi tertinggi kedua jenis limbah nitrogen relatif sama yakni rata-rata 1,8 x 10-3 mg N/L/jam atau empat kali besar daripada kecepatan terendahnya (5x10-4 mg/L/jam) pada kedua sistem budidaya kepiting bakau. Kecenderungan dominasi kandungan limbah nitrit pada kedua sistem budidaya juga dijumpai pada sistem budidaya udang di tambak yakni kandungan nitrogen organik telarut (DON) 37-43 % dari total nitrogen lebih tinggi daripada total nitrogen ammonia (TAN) 12-21 % dari total ammonia (Jackson et al., 2003). Kondisi ini berlawanan dengan kondisi perairan alami umumnya yakni amoniak lebih tinggi dibandingkan nitrit (Lawson, 1995; Montoya et al. 2002). Pada perairan Teluk Ambon Dalam dijumpai kandungan amoniak lebih tinggi daripada nitrit dengan nilai berturut-turut adalah 0,011±0,05 mg NH3-N/L dan 0,006±0,07 mg NO2-N/L (Sina, 2011). Menurut Montoya et al. (2002) pada perairan estuari dan ekosistem pesisir, produksi baketri heterotrop dan kebutuhan nitrogen bakteri lebih tinggi dari tingkat pengambilan NH 4+-N maksimum (8,0 x 10-13 mg N/sel/hari) sehingga bakteri juga menggunakan komponen nitrogen organik seperti asam amino bebas dan protein terlarut (Montoya et al., 2002). Pada sistem akuakultur bakteri heterotrop juga menggunakan nitrogen organik pada detritus berupa partikel sisa pakan dan feses dengan tingkat pengambilan detritus sebesar 1x10-8 %/sel/jam (Holliaugh dan Azam dalam Montoya et al., 2002). Dengan demikian lebih tingginya amoniak pada sistem budidaya di alam cenderung sama dengan kondisi di alam, sedangkan lebih tingginya nitrit di bak terkontrol cenderung sama dengan sistem budidaya umumnya. 444
Lebih tingginya nitrit pada sistem budidaya umumnya dan lebih khusus pada bak terkontrol diduga berhubungan dengan sediaan nitrogen organik yang hanya bersumber dari input pakan (Lawson, 1995; Avnimelech, 1999; Jackson et al., 2003). Lebih jauh dikatakan Avnimelech (1999) bahwa pada sistem budidaya dengan aerasi yang tinggi, amoniak teroksidasi dengan cepat menjadi nitrit dan nitrat. Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah kelompok bakteri yang berperan dalam nitrifikasi yang menggunakan mekanisme pernapasan berbeda, yakni oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri aerobik seperti Nitrosomnas dan Nitrosococcus sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilaksanakan oleh bakteri fakultatif seperti Nitrobacter (Lawson, 1995; Vymazal dalam Montoya et al., 2003), sehingga diduga peran bakteri fakultatif lebih dominan dan mempercepat reduksi nitrit pada sistem budidaya di bak terkontrol akibat oksigen terlarut yang lebih rendah daripada sistem budidaya di alam (Loppies, 2008). Lebih jauh Montoya et al. (2002) menyatakan bahwa bakteri lebih lambat menggunakan nitrit dibandingkan amoniak untuk memperoleh energi bagi pertumbuhan. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa laju reduksi limbah nitrogen berbanding lurus dengan kandungannya pada kedua sistem budidaya. Lebih tingginya kandungan dan laju amoniak pada sistem budidaya di alam diduga dipengaruhi oleh pola nitrifikasi di alam. Beberapa faktor lingkungan seperti kandungan oksigen terlarut dan pH yang lebih tinggi cenderung meningkatkan pembentukan amoniak sebagai akibat hasil dekomposisi komponen nitrogen organik, meskipun komunitas fitoplankton yang juga bersaing dalam pengambilan nitrogen anorganik (TAN) dengan cepat (Lawson, 1995; Jackson, et al., 1999; Montoya et al., 2002). Sebaliknya lebih tingginya nitrit pada sistem budidaya di bak terkontrol diduga dipengaruhi oleh sediaan komponen nitrogen rganik yang terbatas dibandingkan sistem budidaya di alam. Faktor lainnya diduga turut mengontrol kandungan dan laju reduksi nitrogen dalam sistem budidaya adalah rasio karbon/nitrogen dimana pemberian pakan karbohidrat akan diikuti pengambilan nitrogen dari air melalui sintesis protein mikroba (Avnimelech, 1999). Secara umum, kandungan kedua jenis limbah nitrogen yang dijumpai pada penelitian ini masih perlu dikaji lebih jauh batas toleransinya untuk budidaya kepiting bakau. Kandungan amoniak dalam penelitian ini (0,03 mg NH3-N/L) telah melebihi batas yang dikemukakan oleh Meade, 1989 (≤ 0,02 mg/L); Colt dalam Lawson, 1995 (≤ 0,01 mg/L), namun masih jauh di bawah ambang batas kandungan amoniak yang dikemukakan oleh Romimohtarto, 1980 (≤ 0,30 mg/L) dan Syarifuddin, 2004 (≤ 0,5 mg/L). Sedangkan nitrit pada penelitian ini (0,05 mg/L) adalah telah mencapai ambang batas maksimum menurut Syarifuddin (2004) sebaliknya masih jauh dari ambang batas yang dikemukakan oleh Meade (1989) yakni 0,1 mg/L. Jumlah nitrit dalam aliran darah sangat dipengaruhi oleh konsentrasi klorida, sehingga kandungan nitrit yang tinggi dengan kandungan klorida yang rendah dapat mengurangi aktivitas makan, rendahnya konversi pakan, ketahanan tubuh menjadi rendah serta kematian (Lawson, 1995). Semakin tinggi rasio klorida:nitrit semakin berkurang masalah keracunan (sekurang-kurang Cl: NO2 > 6:1) (Tucker dan Robinson dalam Lawson). Oleh karena itu, toksisitas nitrit tidak menimbulkan masalah pada air payau, namun perlu diwaspadai pada level budidaya dengan kepadatan yang lebih tinggi. Kesimpulan Kandungan dan laju reduksi amoniak lebih tinggi pada sistem budidaya di alam, sebaliknya nitrit lebih tinggi pada sistem budidaya di bak terkontrol, namun secara umum nitrit merupakan jenis limbah nitrogen yang dominan pada sistem budidaya kepiting bakau baik di alam maupun bak terkontrol. Kandungan limbah nitrogen pada penelitian ini tergolong berada dibawah ambang batas maksimum atau rendah karena intensitas budidaya yang kecil. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan intensitas budidaya yang lebih tinggi untuk mengetahui efek intensitas dan daya dukung kedua sistem budidaya. Informasi ini penting sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan limbah nitrogen pada sistem budidaya kepiting bakau di alam dan bak terkontrol.
445
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Kepala Balai Budidaya Laut Ambon yang telah memberikan fasilitas untuk penelitian ini dan Fredly Loppies dan Sina, mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka Avnimelech, Y. 1999. Carbon/nitrogen ratio as control in element in aquaculture systems. Aquaculture, 176:227-235. Briggs, M. R. P. and Funge-Smith, S. J. 1994. A nutrient budget of some intensive marine shrimp ponds in Thailand. Aquaculture and Fisheries Management, 25: 789-811. Burford, M. A., Thompson, P. J., McIntosh, R. P., Bauman, R. H. dan Pearson, D. C. 2003. Nutrient and microbial dynamic in high-intensity, zeo-exchange shrimp ponds in Belize. Aquaculture, 219: 393-411. Jackson, C., Preston, N., Thompson, P. J. and Burford, M. 2003. Nitrogen budget and effluent nitrogen components at an intensive shrimp farm. Aquaculture 218: 397-411. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. 2009. http://www.dpi.gld.gov.au/fishweb/2454.html. [19 Pebruari 2007]. Kir, M., Kumlu, M. dan Eroldogan, O. T. 2004. Effect of temperature on acute of ammonia to Pannaeus semiculatus juveniles. Aquaculture, 241: 479-489. Lawson, T. B. 1995. Fundamental of Aquacultural Egineering. An International Thomson Publishing Company. USA. Loppies, F. 2011. Kualitas Air Pemeliharaan Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Tipe Wadah berbeda. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Meade, J. W. 1989. Aquaculture Management. New York: Van Nostrand Reinhold. Montoya, R.A., Lawrence, A.L. Grant, W. E. dan Velasco, M. 2002. Simulation of inorganic nitrogen dynamics and shrimp survival in an intensive culture system. Aquaculture Research 33, 81-94. Muskar, F. Y. 2006. Fajar Online: Pallime dan Budidaya Kepiting. http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=28740. [16 Pebruari 2007]. Romimohtarto, K. 1985. Kualitas Air Dalam Budidaya Laut. Sea Farming Workshop Report-Bandar Lampung. FAO Corporate Document Repository. Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sina. 2011. Kualitas Air Sebelum dan Sesudah Klorinasi. Laporan PKL Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Syarifuddin. 2004. Budidaya Kepiting Sangkak (Soft shell crab) sebagai Primadona yang menjanjikan . Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Tupan, Ch., Pr. Uneputty dan J. Mamesah. 2005. Hubungan kepadatan Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan karakteristik habitat pada Hutan Mangrove Perairan Pantai Desa Passo, Ambon. Jurnal Ichthyos, Vol. 4, No. 2. pp. 81-86.
446