ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA
PUPUT FITRI RACHMAWATI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2009
Puput Fitri Rachmawati C24053089
RINGKASAN Puput Fitri Rachmawati. C24053089. Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan M. Mukhlis Kamal. Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang bernama garis Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara Kalimantan dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis hewan di bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia sedangkan di bagian timur berhubungan dengan spesies Australia. Oleh karena itu terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan timur Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, salah satunya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia. Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap variasi biofisik terutama suhu dan salinitas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai jenis dan penyebaran kepiting bakau di perairan Indonesia, informasi mengenai variasi karakter morfometrik dan meristik berdasarkan spesies kepiting bakau, serta sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kepiting bakau di perairan Indonesia. Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan hasil tangkapan nelayan di 14 lokasi pengambilan sampel, mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya). Data yang diukur ialah data karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau, yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), tinggi tubuh (T), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb), panjang cheliped sebelah kiri dan kanan (PCL dan PCR), panjang profundus sebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), tinggi cheliped sebelah kiri dan kanan (TCL dan TCR), berat tubuh (B), jumlah duri frontal margin (SO), serta jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR). Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situ dan di laboratorium yang bertempat di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data meliputi distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas, hubungan lebar karapas-berat, analisis komponen utama
(principal component analysis), dan analisis biplot. Analisis data dibantu dengan menggunakan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation, MINITAB 14.0 dan SAS 9.1. Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor, keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan warna karapas, bentuk alur “H”, bentuk duri frontal margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masingmasing spesies. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar kepiting bakau di seluruh lokasi penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh pola pertumbuhan isometrik sedangkan sebagian kecilnya dipengaruhi oleh pola pertumbuhan allometrik negatif. Kemudian masing-masing spesies kepiting bakau memiliki puncak pemijahan dan rekruitmen yang berbeda-beda berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas, tetapi seluruhnya berlangsung sepanjang tahun. Berdasarkan analisis komponen utama, diketahui bahwa masing-masing spesies (Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica) memiliki perbedaan karakter morfometrik dan meristik di setiap lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi penelitian. Karakter morfometrik dan meristik pada ketiga spesies saling berkorelasi positif dan memiliki nilai keragaman yang bervariasi. Setiap spesies kepiting bakau memiliki ukuran yang bervariasi. Kesimpulan yang diperoleh ialah terdapat perbedaan karakter morfometrik dan meristik ketiga spesies kepiting bakau di setiap lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi penelitian berdasarkan analisis komponen utama. Selain itu, ketiga spesies tersebut menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi perairan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dan penyebaran tersebut tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace.
ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA
PUPUT FITRI RACHMAWATI C24053089
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi
: Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia
Nama
: Puput Fitri Rachmawati
NIM
: C24053089
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui: Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc NIP. 19680914 199402 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Ujian: 15 September 2009
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau di Perairan Indonesia”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, September 2009
Penulis
vii
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc. selaku pembimbing I atas kesabaran, bimbingan, masukan, dan wawasan yang berarti bagi penulis, serta atas izin beliau, penulis dapat bergabung dengan proyek penelitian ini.
2.
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc. selaku pembimbing II sekaligus pembimbing akademik atas kesabaran, masukan, arahan, dan wawasan kepada penulis hingga penulisan skripsi ini selesai, serta atas izin beliau, penulis dapat bergabung dengan proyek penelitian ini.
3.
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. selaku dosen penguji Departemen yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.
4.
Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasi’ah, atas semua do’a, dukungan, dan kasih sayang yang tidak pernah terputus kepada penulis, serta adik-adikku, Diwa dan Helmi atas keceriaan, dukungan, dan kasih sayang.
6.
Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium Bio Makro I (BIMA I), Supriyadi, S. Pi., serta staf Tata Usaha MSP yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.
7.
Naila Faiqotul Muna, teman seperjuanganku selama penelitian yang telah banyak membantu. Teman-teman MSP 41, MSP 43, dan MSP 42 (Pungky, Endah, Ebith, Avie, Silfi, Lenggo, Erys, Eka, Guse, Awan, Moro, Didi, Mecin, Puni, Shiro, Pipit, Irma, Lenny, Wati, “Trio Kutai”, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu) atas bantuan dan kebersamaan yang tak terlupakan.
8.
Keluarga besar Darmaga Regency B19 & B24 (Ka Hage, Ayu, Laras, Eno, Zeni, Tyas) atas keceriaan dan canda tawa, serta Reri, Icha, dan Ayu yang telah banyak memberikan semangat dan nasehat selama penulisan skripsi ini.
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang, pada tanggal 12 Mei 1987 dari pasangan Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasi’ah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN Adiarsa 3 Karawang (1999), SLTPN 2 Karawang (2002) dan SMAN 1 Karawang (2005). Pada tahun 2005, Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten luar biasa mata kuliah Avertebrata Air (2007/2008 dan 2008/2009), Biologi Perikanan (2007/2008 dan 2008/2009), dan Sumberdaya Perikanan (2008/2009). Selain itu, penulis juga aktif di berbagai organisasi, diantaranya sebagai Sekretaris II (2007/2008) dan Sekretaris I (2008/2009) Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER), serta anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Karawang (PANATAYUDA) pada tahun 2006-2007. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Penelitian dan berhasil didanai DIKTI pada tahun 2006 yang berjudul “Penggunaan lendir ikan lele (Clarias batrachus) sebagai obat alternatif Hipertensi” Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Mersitik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia“.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xv
1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................
1 1 2 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla ....................................................... 2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau ......................... 2.1.2. Morfologi kepiting bakau ................................................... 2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau ................................. 2.1.4. Daur hidup kepiting bakau ................................................. 2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau .................................................................... 2.2. Hutan Mangrove ........................................................................... 2.2.1. Pengertian hutan mangrove ................................................ 2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove ............... 2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia ................................ 2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove ........................................................................... 2.3. Garis Wallace ............................................................................... 2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan .................................................................................
4 4 4 6 10 13 14 15 15 16 18 21 21 22
3. METODOLOGI ................................................................................. 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 3.2. Metode Kerja ................................................................................ 3.3. Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau ......................................... 3.4. Analisis Data ................................................................................ 3.4.1. Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas .................. 3.4.2. Hubungan lebar karapas-berat ........................................... 3.4.3. Analisis komponen utama (principal component analysis) . 3.4.4. Analisis biplot....................................................................
24 24 24 29 30 30 30 31 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian .................. 4.2. Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting Bakau ........................................................................................... 4.3. Identifikasi Karakter Morfologi Sederhana ...................................
33 33
x
35 41
4.3.1. Scylla serrata ...................................................................... 4.3.2. Scylla tranquebarica ........................................................... 4.3.3. Scylla oceanica ................................................................... 4.4. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau ............................................... 4.5. Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan Genus Scylla ................................................................................. 4.5.1. Scylla serrata ...................................................................... 4.5.2. Scylla tranquebarica ........................................................... 4.5.3. Scylla oceanica ................................................................... 4.6. Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting Bakau ........................................................................................... 4.7. Pengelolaan Kepiting Bakau ..........................................................
43 44 46 47
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 5.2. Saran .............................................................................................
66 66 66
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
67
LAMPIRAN .............................................................................................
70
xi
52 52 56 58 61 64
DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador .....
10
2. Daerah penyebaran spesies Scylla di dunia .............................................
11
3. Luas hutan mangrove di Indonesia .........................................................
19
4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur .................................
26
5. Karakter meristik yang kepiting bakau diukur ........................................
26
6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian ..................
34
7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata ......................
48
8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica ...........
49
9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica ...................
51
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) serta cheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi & Watanabe 2001) ..................................................................................
5
2.
Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998) ...................
8
3.
Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998) ..................
9
4.
Daerah penyebaran kepiting bakau menurut Keenan (FAO 1998)........
12
5.
Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp.) (Smith et al. 2004 in Butar-Butar 2006) ...............................................................................
14
Peta penyebaran mangrove di Indonesia (warna hijau kehitaman) (Reef at risk 1999 in Fisheries Businnes Center 2009) ........................
20
7.
Garis Wallace (Southchinasea 2009) ...................................................
22
8.
Lokasi pengambilan sampel kepiting bakau di Perairan Indonesia (peta dimodifikasi dari www.hino.co.id/peta-indonesia-simplfy.gif)....
25
Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal ..............................
27
10. Karakter morfometrik pada chela ........................................................
27
11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan)
27
12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi) (FAO 1998).........................................................................................
30
13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrata berdasarkan lokasi pengambilan sampel..................................................................
36
14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebarica berdasarkan lokasi pengambilan sampel ..................................................................
36
15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanica berdasarkan lokasi pengambilan sampel..................................................................
37
16. Scylla serrata (jantan) .........................................................................
44
17. Scylla tranquebarica (jantan) ..............................................................
45
18. Scylla oceanica (jantan) ......................................................................
46
19. Grafik sebaran nilai b Scylla serrata....................................................
49
20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica.........................................
50
21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica .................................................
51
22. Grafik score plot Scylla serrata ...........................................................
54
23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia..................................................
55
6.
9.
xiii
24. Grafik score plot Scylla tranquebarica ................................................
57
25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia.......................................
58
26. Grafik score plot Scylla oceanica .......................................................
59
27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia ...............................................
60
28. Grafik biplot Scylla serrata .................................................................
61
29. Grafik biplot Scylla tranquebarica ......................................................
62
30. Grafik biplot Scylla oceanica ..............................................................
63
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Contoh sampel kepiting bakau yang telah dinomori..............................
71
2.
Alat yang digunakan selama penelitian.................................................
71
3.
Proses pengukuran kepiting bakau saat di lapangan..............................
72
4.
Data sheet parameter karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau ...................................................................................................
73
5.
Data mentah karakter morfometrik dan meristik selama penelitian .......
94
6.
Distribusi frekuensi panjang karapas tiap spesies kepiting bakau ..........
96
xv
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang beriklim tropik. Iklim tropik tersebut menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang dipengaruhi oleh massa air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya, salah satunya adalah ekosistem mangrove (Dahuri 2003). Selain itu, Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang bernama garis Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara Kalimantan dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis hewan di bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia sedangkan di bagian timur berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia 2008). Oleh karena itu terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan timur Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, termasuk kepiting bakau. Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia. Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan variasi biofisik yang besar.
Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut
beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap faktor abiotik terutama suhu dan salinitas. Kepiting bakau merupakan hewan pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-scavenger), sehingga merupakan salah satu komoditas sumberdaya perikanan
yang
sangat
potensial
dikembangkan
di
Indonesia
karena
pembudidayaannya tidak sulit. Selain itu, Indonesia memiliki sekitar 3,5 juta Ha hutan mangrove (pada tahun 1996) yang merupakan habitat dari kepiting bakau (Dahuri 2003). Kepiting bakau biasanya ditangkap dengan menggunakan perangkap
2 bambu (wadong) dan jaring angkat (lift net atau disebut juga pintur) (Sulistiono et al. 1994). Kepiting bakau tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri tetapi juga diminati konsumen luar negeri. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau banyak dikonsumsi masyarakat terutama kepiting yang sedang bertelur karena rasa dagingnya yang enak. Kepiting bakau juga mengandung protein yang sangat tinggi dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Kordi 1997). Studi mengenai kepiting bakau hingga saat ini sudah meliputi aspek reproduksi, makanan dan kebiasaan makan, serta aspek lainnya yang berkaitan dengan hutan mangrove yang merupakan habitat kepiting bakau.
Penelitian
mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau masih minim, terutama studi mengenai aspek morfometrik-meristik kepiting bakau sebagai dasar identifikasi spesies. Penelitian yang telah dilakukan baik di Indonesia maupun luar negeri, diantaranya adalah bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat (Siahainenia 2008); kualitas habitat kepiting bakau Scylla serrata, S. oceanica, S. tranquebarica di hutan mangrove RPH Cibuaya, Karawang (Sirait 1997); permasalahan identifikasi spesies kepiting bakau genus Scylla (Brachyura: Portunidae) (Fushimi & Watanabe 2001); pengelolaan dan ekologi kepiting bakau Scylla spp. (Le Vay 2001); penangkapan kepiting bakau berbasis akuakultur (Shelley 2008); dan analisa multifaktor kepiting bakau Scylla serrata (Brachyura: Portunidae) yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara (Overton et al. 1997). Minimnya informasi mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau dapat menjadi faktor penghambat dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaannya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai sumberdaya kepiting bakau terutama mengenai aspek yang terkait dengan informasi dasar biologi perikanan seperti karakteristik morfometrik-meristik yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar identifikasi spesies.
1.2. Rumusan Masalah Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis, yang bernama garis Wallace, yang membentang di antara Kalimantan dan Sulawesi serta di antara Bali dan Lombok. Garis Wallace memisahkan distribusi flora dan fauna terestrial di Indonesia, dimana
3 pada bagian barat garis Wallace berhubungan dengan spesies di Asia, sedangkan pada bagian timur garis Wallace berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia 2008). Hingga saat ini, belum diketahui apakah hal tersebut berpengaruh pada fauna air, salah satunya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu hewan yang berasosiasi dengan hutan bakau (mangrove) dan memiliki distribusi yang luas di perairan Indonesia. Namun, berdasarkan data hasil tangkapan yang berasal dari Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP 2006), hasil tangkapan kepiting bakau di daerah Jawa bagian utara selama kurun waktu 3 tahun (2003 sampai 2005) menurun dari 41 ton/tahun menjadi 24 ton/tahun. Selain peningkatan eksploitasi kepiting bakau, eksploitasi habitat dan perubahan lingkungan menjadi faktor-faktor penyebab menurunnya populasi kepiting bakau. Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan terjadi perubahan variasi morfometrik sehingga akan berdampak pada penurunan keanekaragaman kepiting bakau di perairan Indonesia. Berdasarkan kenyataan ini, diperlukan suatu kajian mengenai keanekaragaman populasi kepiting bakau. Kajian tersebut diteliti melalui analisa variasi morfometrik dan meristik.
Analisa karakter morfometrik-meristik kepiting bakau dapat
digunakan sebagai acuan dasar bagi pengelolaan sumberdaya hayati kepiting di Indonesia sehingga diperoleh pemanfaatan kepiting bakau yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestariannya.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
perbedaan
karakteristik
morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai
jenis dan penyebaran kepiting bakau di perairan Indonesia, informasi mengenai variasi karakter morfometrik dan meristik berdasarkan spesies kepiting bakau, serta sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kepiting bakau di perairan Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla 2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6 subfamili, yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphrynae, Catoptrinae, Podopthalminae, dan Portuninae. Moosa et al. (1985) memperkirakan bahwa terdapat sekitar 234 jenis kepiting yang tergolong ke dalam subfamili Portuninae di wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di wilayah Indonesia. Portunidae tergolong ke dalam kelompok kepiting perenang (swimming crab) karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan (Portunus, Charybdis, dan Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam, yaitu kepiting (Jawa), katang nene (Maluku Tengah), dan ketam batu (Sumatera). Di mancanegara, kepiting bakau pun memiliki nama yang beragam yaitu kepiting batu (Malaysia) (Oong 1966 in Siahainenia 2008), kepiting lumpur atau mud crab (Australia), kepiting samoa (Hawaii), alimango (Philipina), tsai jim (Taiwan), serta nokoro gozami (Jepang) (Cowan 1984 in Siahainenia 2008). Aiyun & Siliang (1991) dan Sukarya (1991) in Sulistiono et al. (1994), mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut: Filum Kelas Ordo Sub ordo Infra ordo Famili Sub famili Genus Spesies
: Arthropoda : Crustacea : Decapoda : Pleocyemata : Brachyura : Portunidae : Portuninae : Scylla (de Haan) : Scylla serrata (Forskal) Scylla tranquebarica (Dana) Scylla oceanica (Fabricious)
Hingga saat ini, pengidentifikasian spesies kepiting bakau masih kontroversi. Beberapa tahun yang lalu, hanya terdapat satu spesies yang dikenal sebagai genus Scylla (Fuseya 1998 in Fushimi & Watanabe 2001). Akan tetapi, saat ini para
5 peneliti telah melaporkan bahwa genus Scylla memiliki beberapa spesies (Estampador 1949 in Fushimi & Watanabe 2001). Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001), mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain.
Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari
ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada tahun 1949. Karakteristik morfologi dari rostrum dan gigi anterolateral serta cheliped pada kepiting bakau dapat dilihat sebagai berikut: Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama; Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri; Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Selain itu terdapat pembeda lainnya, yaitu jumlah duri pada cheliped carpus dan corak pada pleopod pertama yang terdapat pada ketiga spesies kepiting bakau. Perbedaan dari ketiga spesies kepiting bakau di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) serta cheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi & Watanabe 2001).
6 Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) juga mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan klasifikasi Estampador. Perbedaan nyata tersebut ditemukan pada 3 dari 17 loci sampel dan jarak genetik relatifnya pun telah dihitung antara ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Ketiga spesies kepiting bakau yang diklasifikasikan oleh Estampador berdasarkan ciri morfologis memiliki kesamaan dengan hasil percobaan di atas. Akan tetapi, analisis genetik memperlihatkan bahwa Scylla serrata dan Scylla tranquebarica berkorelasi lebih dekat dibandingkan dengan Scylla oceanica.
Informasi tersebut diperoleh dari
investigasi mutakhir yang menyatakan bahwa ketiga spesies kepiting bakau benarbenar berbeda dan dapat dibedakan.
Selanjutnya Klinbunga et al. (2001) in
Watanabe et al. (2002) melakukan studi dengan menggunakan sampel dari Thailand dan menyatakan bahwa telah ditemukan tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisa RAPD dari DNA genom, ketiga spesies kepiting bakau (S. serrata, S. tranquebarica, S. oceanica) tersebut sesuai dengan kriteria yang telah dijabarkan oleh Estampador. Berdasarkan perbedaan tersebut, penulis menggunakan identifikasi kepiting genus Scylla berdasarkan deskripsi morfologi dari Estampador yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica karena telah diuji oleh berbagai ahli di bidangnya.
2.1.2. Morfologi kepiting bakau Menurut Moosa (1981) in Siahainenia (2008) untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari tiga jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya digunakan dalam taksonomi kepiting bakau. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis famili Portunidae adalah sebagai berikut dan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3: a. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian yang ada di atasnya. b. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks (rostrum). c. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks. d. Bentuk sudut postero-lateral tubuh.
7 e. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama dari pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung (pleopod). f. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod. g. Bentuk mulut terutama maxiliped III. h. Bentuk bagian ruas dasar antena (basal antennal joint). Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong ke dalam famili Portunidae adalah: karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatbulatan, karapas umumnya berukuran lebih lebar daripada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya, dan memiliki tepi antero-lateral karapaks dengan jumlah duri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podopthalminae) sampai sembilan buah. Kemudian memiliki dahi lebar serta terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah, antena (antennulae) kecil terletak menyerong atau melintang, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terurtama pada dua ruas terakhir (terdapat beberapa genus yang tidak berbentuk demikian) (Moosa et al. 1985). Menurut Kasry (1996) kepiting bakau memiliki karapaks berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan, pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depan karapas di antara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal sapit kanan lebih besar daripada sapit kiri dengan warna kemerah-merahan pada masing-masing ujung sapit. Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan satu kaki perenang, di mana kaki perenang tersebut terdapat pada bagian ujung perut dan ujung kaki perenang ini dilengkapi dengan alat pendayung. Selanjutnya Sulistiono et al. (1992) in Mulya (2000) menyatakan bahwa secara umum karapas berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastric (pencernaan) dan cardiac (jantung) jelas, empat gigi triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting bakau betina berbentuk sedikit membulat. Akan tetapi ketiga spesies kepiting bakau
8 S. serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica memiliki morfologi yang berbedabeda, perbedaan morfologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 2. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998).
9
Gambar 3. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998).
10 Tabel 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp) menurut Estampador. Warna dan ciri Scylla serrata Scylla oceanica morfologis Coklat merah Hijau keabuWarna seperti karat abuan karapaks Tidak ada Pada capit dan Sumber semua kaki pigmen jalan polygonal Tidak dalam Dalam Bentuk alur ”H” pada karapaks Tumpul Tajam Bentuk duri depan Duri tidak ada Kedua duri jelas Bentuk duri dan berubah dan runcing pada menjadi vestigial fingerjoint Melimpah pada Hanya pada Bentuk hepatic area karapaks rambut/setae Sumber: Estampador (1949) in Siahainenia (2008).
Scylla tranquebarica Hijau buah zaitun
Scylla serrata var. paramamosain Coklat kehijauan
Hanya pada bagian terakir kaki jalan Dalam
Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki Relatif tidak begitu dalam
Tajam
Sedang
Kedua duri jelas dan satu agak tumpul -
-
-
Menurut Moosa et al. (1985) kepiting bakau genus Scylla di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata dan S. serrata var. paramamosain ditemukan meliang di daerah mangrove.
Selanjutnya, Kathirvel & Srinivasagam (1992) menyatakan bahwa
morfologi dari Scylla oceanica dan Scylla tranquebarica memiliki kesamaan, yaitu kedua spesies Scylla ini dapat tumbuh dengan ukuran yang sangat besar, keduanya tidak hidup meliang, dan memiliki dua duri tajam pada sisi terluar cheliped carpus. Variasi warna yang terdapat pada karapas dari kedua spesies ini disebabkan oleh perbedaan letak geografis. Sedangkan spesies Scylla serrata memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan S. oceanica dan S. tranquebarica, hidupnya meliang, serta hanya memiliki satu duri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus.
2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropik atau pada perairan berkondisi tropik. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indopasifik, mulai dari pantai selatan dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, pulau-pulau di lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, negara-negara ASEAN, Jepang,
11 Taiwan, serta Filipina. Kemudian kepiting bakau pun ditemukan di pulau-pulau Lautan Pasifik mulai dari Kepulauan Hawaii sampai ke Selandia Baru dan Australia (Kasry 1996).
Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di
perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Pemusatan daerah pengusahaan kepiting bakau berkaitan dengan habitat yang masih baik, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada, Teluk Bima), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Nimfor) (Asmara 2004). Secara representatif, kepiting bakau genus Scylla memiliki daerah sebaran yang luas yaitu di sepanjang Indo-Pasifik Barat, dimana daerah penyebaran dari maisng-masing spesies dapat dipisahkan secara jelas menurut Keenan (Tabel 2 dan Gambar 4). Scylla serrata (S. oceanica Estampador) memiliki daerah penyebaran paling luas, yang meliputi Samudera Hindia bagian Barat hingga ke Kepulauan Pasifik Selatan. S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador) dan S. olivacea (S. serrata Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terfokus di Laut Cina Selatan yang memanjang sampai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian Barat. Sementara itu, S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terbatas, kebanyakan berada di Laut Cina Selatan dan Laut Jawa (Le Vay 2001 dan Keenan et al. 1998 in Watanabe et al. 2002).
Tabel 2. Daerah penyebaran spesies Scylla di dunia. Spesies S. serrata
S. paramamosain S. olivacea
S. tranquebarica
Daerah Penyebaran Indo-Pasifik Barat: Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina, Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat), Taiwan, Jepang. Laut Cina Selatan: Kamboja, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong; Laut Jawa: Kalimantan, Jawa Tengah. Samudera Hindia: Pakistan hingga Australia Barat; Laut Cina Selatan: Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak hingga Cina Selatan; Samudera Pasifik: Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria. Samudera Hindia: Pakistan hingga Malaysia; Laut Cina Selatan: Sarawak, Singapura; Samudera Pasifik: Filiphina.
Sumber: Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001).
12
Gambar 4. Daerah penyebaran kepiting bakau di dunia menurut Keenan (FAO 1998).
Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan mangrove, terutama daerah estuari. Selanjutnya, terdapat kondisi yang membedakan distribusi lokal dan kelimpahan keempat spesies kepiting bakau secara kompleks, Hill (1975;1978); Hill et al. (1982) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan kepiting bakau bergantung pada stadia perkembangan kepiting bakau. Kepiting bakau juvenil hingga ukuran karapaks 8 cm biasanya melimpah pada daerah intertidal, sedangkan kepiting bakau subadult dan dewasa berada di daerah subtidal. Chandrasekaran & Natarajan (1994) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa juvenil baru kepiting bakau akan lebih memilih berada di lingkungan perairan yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau akan beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk
13 melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan kembali ke perairan hutan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur dengan organisme makanan yang berlimpah. Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V), megalopa, kepiting muda, dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting muda akan kembali ke pantai atau kawasan bakau untuk mencari makan dan tempat berlindung yang aman.
2.1.4. Daur hidup kepiting bakau Potensi reproduksi kepiting bakau sangat tinggi, menurut Arriola (1940) in Moosa et al. (1996) satu induk kepiting bakau dapat memijahkan telur dua juta telur. Daur hidup kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa melalui beberapa tingkat perkembangan, antara lain tingkat zoea, tingkat megalopa, tingkat kepiting muda, dan tingkat kepiting dewasa (Gambar 5) (Ong Kah Sin 1964; Motoh et al. 1977 in Moosa et al. 1985). Sedangkan menurut Estampador (1949) in Moosa et al. (1985) perkembangan kepiting bakau terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap embrionik, tahap larva, dan tahap postlarvae. Menurut Ong Kah Sin (1964); Motoh et al. (1977) in Moosa et al. (1985) dalam perkembangan dari tingkat zoea ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu 3-4 hari, dan untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari. Dalam perkembangan tingkat zoea menuju tingkat megalopa, terdapat lima kali pergantian kulit (moulting). Ukuran panjang tubuh dari setiap tingkatan dari setiap pergantian kulit (moulting) zoea ialah 1,15 mm (zoea tingkat 1); 1,51 mm (zoea tingkat 2); 1,93 mm (zoea tingkat 3); 2,40 mm (zoea tingkat 4), dan 3,45 mm (zoea tingkat 5). Selanjutnya dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari dengan salinitas 31 ± 2 ppt, sedangkan jika dilakukan pada salinitas 21-27 ppt akan diperlukan waktu 7-8 hari. Kepiting bakau hanya memiliki satu tingkat perkembangan megalopa dan kuran panjang karapas dan lebar karapas pada tingkat megalopa ialah 2,18 mm dan 1,52 mm. Menurut Smit et al. (2004) in Butar-Butar (2006) waktu yang diperlukan kepiting dewasa yang siap memijah adalah antara 18 hingga 24 bulan, dimana
14 kepiting dewasa akan memijah pada bulan-bulan yang memiliki suhu perairan lebih hangat.
Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp) (Smit et al. 2004 in ButarButar 2006).
2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau Parameter fisika
dan
kimia
adalah
faktor
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu, pH, kedalaman air saat pasang surut, serta substrat dasar. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda bergantung pada stadia daur hidupnya. Untuk mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau diperlukan pengetahuan mengenai parameter fisika dan kimia di mana organisme ini berada (Mulya 2000). Kasry (1996) menyatakan kisaran salinitas yang dapat ditolerir kepiting bakau cukup luas. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15‰ dan lebih besar dari 30‰. Hill (1978) in Mulya (2000) menyatakan bahwa S. serrata mampu mentolerir perairan dengan salinitas hingga 60‰. Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa keempat spesies Scylla pada stadia larva atau juvenil memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Scylla serrata lebih dominan berada di perairan dengan salinitas 34‰ dan berada di daerah mangrove yang tergenang oleh air laut selama hampir sepanjang tahun sedangkan
15 spesies lainnya lebih banyak berada di perairan dengan salinitas 33‰ di daerah estuari yang tergenang air laut secara periodik. Selanjutnya, suhu air mempengaruhi pertumbuhan (moulting), aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau (Hill 1982 in Mulya 2000). Fieder dan Haesman (1978) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Menurut Baliao (1983) in Siahainenia (2008) disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Dinyatakan pula bahwa kepiting bakau akan tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisara suhu 23 o
C – 32 oC. Wahyudi dan Ismail (1987) in Mulya (2000) menyatakan bahwa kepiting
bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Pendapat ini didukung oleh La Sara (1994) in Mulya (2000) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi perkawinan. Kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan Ismail (1987) in Mulya (2000) berpendapat bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kedalaman 30 cm – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan pada kedalaman 30 cm – 125 cm di muara sungai. Kepiting bakau menuju perairan dangkal pada waktu siang hari (Hill 1980 in Mulya 2000). Menurut Snedaker dan Getter (1985) in Siahainenia (2008) habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau terutama dalam melangsungkan perkawinan.
2.2. Hutan Mangrove 2.2.1. Pengertian hutan mangrove Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis ”mangue” dan bahasa Inggris ”grove”. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan, rumput-rumputan, maupun semak belukar yang tumbuh di laut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan
16 untuk individu-individu jenis mangrove tersebut (Macnae 1969 in Pramudji 2004). Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, serta kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut. Umumnya hutan mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada kawasan pesisir di daerah yang terlindung dari hempasan ombak dan ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material, misalnya di daerah pesisir teluk, muara sungai, delta, dan estuari (Pramudji 2004).
2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting, seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang-surut. Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasit. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), apiapi (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xyclocarpus), tengar (Ceriops), dan buta-buta (Exoecaria). Dikarenakan sifat lingkungan hutan mangrove yang keras, misalnya karena genangan pasang-surut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan berlumpur tebal dan anaerobik, maka pohon-pohon mangrove telah beradaptasi baik secara morfologi maupun fisiologi (Nontji 2007). Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi oleh air tawar serta terlindung dari hempasan ombak. Oleh karena itu, magrove banyak tumbuh di kawasan pesisir yang terlindung. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mempertahankan eksistensinya mangrove memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim (Smith 1987 in Pramudji 2004). Kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap lingkungan tersebut adalah adaptasi terhadap salinitas dan suhu udara yang tinggi dengan cara memiliki daun yang tebal, kuat, serta sel khusus untuk menyimpan garam; adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah dengan cara memiliki bentuk perakaran yang khas; serta adaptasi terhadap substrat (sedimen) dengan cara memiliki struktur
17 perakaran yang mampu menahan dan mengendapkan bahan organik (Pramudji 2004). Besarnya daya adaptasi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas mempengaruhi terjadinya pemintakatan atau zonasi pada kawasan hutan mangrove. Pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan perbedaan salinitas tersebut adalah sebagai berikut (Pramudji 2004): a. Zona garis pantai, yaitu kawasan hutan mangrove yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki lebar sekitar 10-75 meter dari garis pantai. Jenis mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi ini adalah Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina, dan Soneratia alba. b. Zona tengah, yaitu kawasan hutan mangrove yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki substrat berupa lumpur liat. Pada zona ini umumnya ditemukan jenis Rhizopora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris, dan Lumnitzera littorea. c. Zona belakang, yaitu kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis mangrove yang tumbuh pada pada zona ini adalah Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta, dan Heritiera littoralis. Sedangkan pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang dominan mulai dari arah laut ke darat berturut-turut adalah zona Avicennia, zona Rhizophora, zona Bruguiera, dan zona Nypa (Arief 2003 in Pramudji 2004). Menurut Pramudji (2004), hutan mangrove memiliki beberapa fungsi penting berdasarkan aspek ekologinya, yaitu: a. Sebagai sumber nutrisi (nursery ground), karena didalamnya terjadi proses biologi yang dimanfaatkan oleh berbagai biota laut. b. Sebagai tempat penghasil oksigen. c. Sebagai tempat memijah (spawning ground), pembesaran, mencari makan (feeding ground) serta habitat dari berbagai biota laut, yaitu ikan, udang, kepiting, dan kerang-kerangan. d. Sebagai tempat berlindung dan berkembangnya hewan-hewan darat, seperti burung, kelelawar, kera, buaya, biawak, dan ular.
18 e. Sebagai sumber plasma nutfah dan genetika. f. Sebagai pelindung pantai dari abrasi, banjir, serta bencana gelombang pasang tsunami. g. Membantu dalam perluasan tanah dengan membentuk teras-teras pantai di kawasan pesisir, karena akar mangrove mampu menahan sedimen yang terbawa aliran sungai. h. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke daratan, serta mampu berperan sebagai filter untuk menyerap air limbah industri maupun air limbah rumah tangga. Selain itu hutan mangrove juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat pesisir, manfaat tersebut antara lain adalah sebagai penyedia keperluan rumah tangga, misalnya: kayu bangunan, kayu, dan arang; sebagai area tambak udang dan ikan; sebagai bahan baku kertas, penyamak kulit, dan kayu lapis untuk industri; sebagai tempat penghasil benih ikan, udang, kepiting, dan kerang; serta sebagai kawasan ekowisata bagi masyarakat maupun sebagai tempat penelitan dan pendidikan (Pramudji 2004).
2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia (Nontji 2007). Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar namun pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut turun menjadi 2,49 juta hektar (Pramudji 2004). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7% , pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Pulaupulau tersebut memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara (Pramudji 2004). Sebaran dan luas hutan mangrove di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
19 Tabel 3. Luas hutan mangrove di Indonesia. Provinsi Sumatera: Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa dan Bali: DKI Jakarta dan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali Kalimantan: Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
Luas (ha) 20.000 30.750 1.800 184.400 4.050 231.025 <2.000 11.000
<5.000 13.577 500 <500
40.000 20.000 66.650 266.800
Nusa Tenggara: NTB NTT
4.500 20.700
Sulawesi: Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan
4.833 17.000 29.000 34.000
Maluku:
100.000
Irian Jaya:
1.382.000
Indonesia:
2.490.085
Sumber: Parry (1996) in Pramudji (2004).
Akan tetapi, saat ini luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penambahan, hal ini dikarenakan adanya penanaman kembali lahan mangrove di bekas tambak. FAO (2007) menyatakan luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 2.900.000 ha.
Gambar 6. Peta penyebaran mangrove di Indonesia (warna hijau kehitaman) (Reef at Risk 1999 in Fisheries Businnes Center 2009).
20
20
21
2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove Kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsurangsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke laut untuk memijah. Sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di perairan hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove, demikian pula dengan dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuaria untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia 2008). Ekosistem mangrove merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove karena terbawa arus laut dan pasang sehingga akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987 in Siahainenia 2008). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland Departement of Industries 1989 in Siahainenia 2008). Lebih lanjut dikemukakan oleh Pagcatipunan (1972) in Siahainenia (2008) yang menyatakan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri atau bersembunyi di lubang hingga karapaksnya mengeras. Hutching & Saenger (1987) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di perairan sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
2.3. Garis Wallace Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia sedangkan pada bagian timur berhubungan dengan spesies
22
Australia. Garis ini dinamakan atas nama Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan tersebut pada saat melakukan kunjungan ke Hindia Timur pada abad ke19.
Garis Wallace membentang melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo
(Kalimantan) dan Sulawesi serta antara Bali (sebelah barat) dan Lombok (sebelah timur).
Keberadaan garis Wallace pun tercatat oleh Antonio Pigafetta dalam
catatannya mengenai perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku dan tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada tahun 1521. Kemudian garis Wallace diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber dan diberi nama garis Wallace-Weber.
Batas penyebaran flora dan fauna Asia ini
ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna (Wikipedia 2008).
Gambar 7. Garis Wallace (Southchinasea 2009).
2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan Afrianto et al. (1996) menyatakan bahwa morfometrik ialah ukuran dalam satuan panjang atau perbandingan ukuran bagian-bagian luar tubuh organisme, sedangkan meristik adalah sifat-sifat yang menunjukkan jumlah-jumlah bagianbagian tubuh luar, seperti jumlah jari-jari sirip (pada ikan), yang digunakan untuk penentuan klasifikasi. Ukuran dalam morfometrik adalah jarak antara satu bagian ke
23
bagian tubuh lainnya dan biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter. Karakter morfometrik dapat memberikan informasi mengenai perbedaan antar spesies, termasuk variasi spesies Crustacea. Contohnya variasi interspesifik pada dua spesies Procambarus spp. (crayfish di Meksiko), yang kemudian diketahui merupakan dua spesies simpatrik (Allegrucci et al. 1992 in Overton et al. 1997); analisa multivariat kepiting bakau Scylla serrata yang berasal dari empat lokasi negara di Asia Tenggara, yang kemudian diketahui merupakan tiga grup yang berbeda berdasarkan karakter morfometrik dan meristiknya (Overton et al. 1997); pengklasifikasian tiga spesies kepiting bakau genus Scylla di Thailand dan Laut Andaman menggunakan analisis morfometrik, yang kemudian diketahui memiliki tiga spesies yang berbeda (Sangthong & Jondeung 2006). Selain itu, analisis karakter morfometrik dan meristik pun dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada organisme lain, contohnya ikan dan udang Penaeus monodon (Imron 1998). Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki
tiga
mendeskripsikan
manfaat
yaitu
pola-pola
membedakan
keragaman
jenis
morfologis
kelamin antar
dan
spesies,
spesies,
dan
mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik. Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 in Imron 1998).
3. METODOLOGI
3.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli
2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau yang telah ditangkap oleh nelayan di masing-masing lokasi pengambilan sampel dengan menggunakan metode pengambilan contoh acak sederhana (PCAS), dimana jumlah sampel yang diambil sesuai dengan yang ada pada saat itu tanpa melihat spesiesnya. Menurut Boer (2001), teknik pengacakan dapat mengurangi faktor subjektivitas pelaksana percobaan dalam memilih dan mengatur perlakuan atau ulangan pada satuan percobaan. Lokasi pengambilan sampel yang dicakup berjumlah 14 lokasi, yaitu Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya).
Lokasi
pengambilan sampel tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situ dan di laboratorium. Sampel kepiting bakau dimasukkan ke dalam ice box dan selanjutnya di bawa ke Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Data yang digunakan merupakan data primer.
3.2.
Metode Kerja Sampel kepiting bakau diambil dengan cara membeli langsung dari nelayan
yang menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove pada masing-masing lokasi penelitian. Alat yang digunakan pada saat menangkap kepiting bakau ialah pancing, bubu, dan jaring. Kepiting bakau yang diambil mewakili berbagai ukuran kepiting bakau jantan dan betina dan dianalisis di Laboratorium Biologi Makro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Sampel kepiting bakau yang terkumpul akan diukur secara mofometrik, yang meliputi 10 karakter utama seperti yang dilakukan Clark et al. (2001) terhadap genus Carcinus (Portunidae). Karakter
Gambar 8. Lokasi pengambilan sampel kepiting bakau di Perairan Indonesia (peta dimodifikasi dari www.hino.co.id/ peta-indonesia-simplfy.gif).
25
25
26
morfometrik dan meristik yang diukur tertera pada Tabel 4, Tabel 5, Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.
Tabel 4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur. No. 1.
Karakter Morfometrik Lebar karapas (L)
2.
Panjang karapas (P)
3.
Tinggi karapas (T)
4. 5.
Optical groove widths Panjang chela sebelah kanan (PCR) Tinggi chela sebelah kanan (TCR) Panjang profundus chela sebelah kanan (PCR) Panjang chela sebelah kiri (PCL) Tinggi chela sebelah kiri (TCL) Panjang profundus chela sebelah kiri (PCL)
6. 7. 8. 9. 10.
Keterangan Jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah kanan dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri (horizontal) Jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi bawah karapas Panjang garis tegak antara karapas dengan abdomen Jarak duri frontal margin di antara mata Panjang capit (hand) sebelah kanan mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kanan Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus sebelah kanan Panjang capit (hand) sebelah kiri mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kiri Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus sebelah kiri
Tabel 5. Karakter meristik kepiting bakau yang diukur. No. 1. 2. 3.
Karakter Meristik Jumlah duri frontal margin Jumlah duri anterolateral margin sebelah kanan Jumlah duri anterolateral sebelah kiri
Keterangan Jumlah duri frontal margin yang berada di antara kedua mata kepiting Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kanan karapas Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kiri karapas
Berikut ini merupakan langkah kerja saat melakukan pengukuran. Pertamatama, dilakukan penomoran kepiting menggunakan kertas label dimana sebelumnya telah dibersihkan dari lumpur dan air menggunakan tissue (Lampiran 1). Lalu dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen kepiting tersebut, dimana jantan memiliki bentuk abdomen yang mengerucut sedangkan betina memiliki bentuk abdomen yang melebar.
27
Gambar 9. Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal (Keterangan: 1 (lebar karapas); 2 (panjang karapas); 3 (Optical groove widths ); 4 ( tinggi karapas); 5 (Duri anterolateral kiri); 6 (Duri anterolateral kanan); 7 (duri frontal margin)).
Gambar 10. Karakter morfometrik pada chela (Keterangan: 8 (PPR); 9 (PCR); 10 (TCR); 11 (PPL); 12 (PCL); 13 (TCL)).
Gambar 11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan).
28
Kemudian, bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan dengan ketelitian 10 gram dan pengukuran tinggi karapas dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 1 mm. Selanjutnya dilakukan pengukuran aspek morfometrik dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm serta pengukuran aspek meristik secara visual (Lampiran 2 dan 3). Seluruh data tersebut dicatat pada data sheet yang telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 4 dan 5). Setelah proses pengukuran selesai, dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi spesies, dengan cara dilakukan pengamatan terhadap dua duri tajam yang berada pada bagian cheliped carpus, warna karapas, bentuk alur “H”, corak pada pleopod, serta bentuk duri pada frontal margin. Penulis menggunakan klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau berdasarkan Estampador karena hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara para ahli mengenai jenis-jenis kepiting bakau. Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001) mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filiphina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan kaki, gigi anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Serene (1952) in Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan bahwa eksistensi keempat spesies kepiting bakau yang ditemukan di Vietnam sesuai dengan penemuan Estampador. Akan tetapi, Stephenson dan Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan bahwa keempat spesies tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau. Selanjutnya Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) melakukan studi mengenai variasi genetik di 3 loci pada kepiting bakau dan menyatakan bahwa ketiga spesies tersebut benar-benar berbeda dan dapat dibedakan sesuai dengan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Fushimi & Watanabe (2001), membuat sebuah revisi mengenai genus Scylla dengan menggunakan spesimen yang berasal dari Laut Merah dan beberapa lokasi di Indo-Pasifik, menggunakan 2 metode genetik yang independen, allozyme elektrophoresis, dan
29
sequencing of two mitochondrial DNA genes (Sitokrom oksidase I dan 16s RNA) yang bekerja pada masing-masing spesies. Keenan et al. (1998) in Fushimi & Watanabe (2001), menyatakan bahwa terdapat 4 spesies dengan menggunakan kriteria morfologi tetapi keempatnya berbeda secara istilah. Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) melakukan analisis morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran geografis kepiting bakau yang luas.
Fuseya pun melakukan uji karakteristik
morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica benarbenar dapat dibedakan. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada tahun 1949.
3.3. Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau Proses pengidentifikasian kepiting bakau menggunakan klasifikasi yang digunakan Estampador, di mana kepiting bakau dibedakan menjadi 3 spesies berdasarkan perbedaan karakter morfologisnya, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau (FAO 1998) adalah sebagai berikut: a. Cheliped carpus hanya memiliki setidaknya 1 duri yang tidak pernah tajam; warna tubuh biasanya agak keorangean atau kekuningan ........................... c – d b. Cheliped carpus memiliki 2 duri tajam; warna tubuh biasanya hijau hingga ungu ........................... e c. Frontal margin bergigi tajam; duri pada ujung carpus tajam ............................................................
Scylla tranquebarica
d. Frontal margin bergigi tumpul membundar; duri pada ujung carpus hampir tereduksi ......................
Scylla serrata
e.
Frontal margin bergigi tajam; duri pada cheliped carpus kebanyakan tajam; warna karapas hijau atau hijau-olive; pleopod biasanya bercorak (jantan dan betina) ............................................................... Scylla oceanica
30
Gambar 12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi) (FAO 1998).
3.4.
Analisis Data
3.4.1. Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas Analisis data dilakukan terhadap sebaran frekuensi panjang dan lebar karapas kepiting bakau untuk mendapatkan selang kelas, nilai tengah, dan frekuensi dengan menggunakan program Microsoft Excel dalam hal perhitungannya.
Langkah-
langkah dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah sebagai berikut: a.
Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data panjang dan lebar karapas dari jumlah total kepiting bakau.
b.
Menentukan jumlah kelas.
c.
Menentukan wilayah data (c); c = nilai maksimum – nilai minimum.
d.
Menentukan lebar kelas; lebar kelas = c/jumlah kelas.
e.
Menetukan batas atas kelas dan batas bawah kelas setiap selang kelas.
f.
Mendaftarkan seluruh batas kelas untuk setiap selang kelas.
g.
Menentukan nilai tengah setiap selang kelas.
h.
Menjumlahkan frekuensi panjang dan lebar karapas yang telah ditentukan berdasarkan masing-masing selang kelas.
i.
Memplotkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya.
31
3.4.2. Hubungan lebar karapas-berat Data yang digunakan pada analisis pada hubungan lebar karapas-berat ialah data gabungan kepiting jantan dan betina pada masing-masing lokasi penelitian. Analisis hubungan lebar karapas-berat menggunakan rumus hubungan panjang-berat pada kepiting (Hartnoll 1982): W = a Lb Keterangan:
W L a b
= berat = lebar karapas = intersep (perpotongan kurva hubungan panjangberat dengan sumbu y) = penduga pola pertumbuhan panjang-berat
Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan: Log W = Log a + b Log L Y = a +b x Untuk menguji nilai b digunakan uji t, dengan hipotesis: H0 : b = 1, hubungan lebar karapas-berat adalah isometrik H1 : b ≠ 1, hubungan lebar karapas-berat adalah allometrik, yaitu: • Allometrik positif (b > 1), pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. • Allometrik negatif (b < 1), pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan berat.
b1 − b0 Sb1 = nilai b (dari hubungan panjang-berat) =1 = simpangan koefisien b t hitung =
Keterangan:
b1 b0 Sb1
Kemudian, bandingkan antara nilai thitung dengan nilai ttabel dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya, kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: thitung > ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis nol (H0) Penulis menggunakan bantuan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation Version dan Microsoft Excel dalam hal perhitungannya.
32
3.4.3. Analisis komponen utama (principal component analysis) Sepuluh karakter morfometrik dianalisis dengan menggunakan program Principal Components Analysis (PCA). Berdasarkan hasil analisis dari program PCA, didapatkan suatu komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total dengan menggunakan sedikit komponen utama saja.
Penggunaan komponen utama sering disarankan
untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah (Sartono et al. 2003). Selain itu, hasil plot antar komponen utama (grafik score plot) dapat digunakan untuk untuk menentukan banyaknya penggerombolan secara sederhana. Penulis menggunakan bantuan software MINITAB 15.0 dalam hal perhitungan PCA.
3.4.4. Analisis biplot Analisis perbandingan karakter morfometrik yang telah ditentukan bertujuan untuk melihat karakter morfometrik yang memiliki keterkaitan dengan karakter lainnya. Biplot merupakan teknik statistik deskriptif dimensi ganda yang dapat disajikan secara visual dengan menyajikannya secara simultan segugus objek pengamatan dan peubah dalam suatu grafik pada suatu bidang datar sehingga ciriciri peubah dan objek pengamatan serta posisi relatif antara objek pengamatan dan peubah dapat dianalisis.
Biplot dapat menunjukkan hubungan antar peubah
kemiripan relatif antar objek pengamatan, serta posisi relatif antara objek pengamatan dengan peubah (Jolllife 1986 & Rawling 1988 in Sartono et al. 2003). Perhitungan dalam analisis biplot, Penulis dibantu dengan menggunakan software SAS 9.1. Salah satu informasi yang didapat melalui analisis bilpot adalah untuk mengetahui korelasi antar peubah, dimana dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi digambarkan dengan dua buah garis dengan arah yang sama (membentuk sudut sempit).
Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi
negarif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan (membentuk sudut tumpul).
Sedangkan dua peubah yang tidak
berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis yang membentuk sudut mendekati 90o (Sartono et al. 2003).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Bintan (Kep. Riau), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Samarinda dan Pontianak (Kalimantan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Maros dan Bone (Sulawesi), Teluk Bintuni dan Jayapura (Papua). Kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian berasal dari para nelayan setempat yang menangkap kepiting bakau dengan menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Lokasi penangkapan kepiting bakau berada di perairan hutan mangrove maupun di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Pemilihan daerah penelitian berdasarkan lokasi sebaran hutan mangrove di Indonesia, dimana kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran (Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Menurut Pramudji (2004) sebaran hutan mangrove mencakup hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), Maluku, serta Irian Jaya (Papua). Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor, keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan dan dapat dilihat pada Tabel 6.
34
Tabel 6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian. No.
Daerah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pidie Jambi Bintan Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Pontianak Maros Bone Teluk Bintuni Jayapura Total
Jumlah data (ekor) Scylla spp. Scylla Scylla serrata tranquebarica (gabungan ketiga spesies) 83 11 64 12 9 5 36 36 49 20 21 54 24 24 23 23 30 10 14 98 2 29 30 1 61 29 12 75 55 5 55 4 6 14 6 1 625 229 177
Scylla oceanica 8 3 5 8 6 6 67 29 20 15 45 7 219
Berdasarkan Tabel 6, jumlah sampel kepting bakau (Scylla spp.) tertinggi berasal dari Samarinda yaitu 98 ekor atau 15,68% dari jumlah total sampel, sedangkan jumah sampel terendahnya berasal dari Bintan yaitu 5 ekor atau 0,8% dari jumlah seluruh sampel. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel. Berdasarkan jumlah sampel yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi penelitian, spesies Scylla serrata mendominasi di 5 lokasi, yaitu Jambi, Cilamaya, Ambulu, Maros, dan Bone. Sedangkan spesies Scylla tranquebarica mendominasi di 3 lokasi, yaitu Pidie, Blanakan, dan Mataram. Kemudian spesies Scylla oceanica mendominasi di 6 lokasi, yaitu Bintan, Samarinda, Pontianak, Teluk Bintuni, dan Jayapura. Jumlah sampel Scylla serrata terbanyak berasal dari Bone, yaitu sebanyak 55 ekor atau 24,02% dari jumlah total sampel S. serrata, sedangkan jumlah sampel terendah berasal dari Bintan dan Pontianak, dimana pada kedua lokasi tidak
35
ditemukan S. serrata pada saat pengambilan sampel. Selanjutnya, jumlah sampel S. tranquebarica terbanyak berasal dari Pidie, yaitu sebanyak 64 ekor atau 36,16% dari jumlah total sampel S. tranquebarica. Jumlah sampel S. tranquebarica terendah berasal dari Jambi, Bintan, Cilamaya, dan Ambulu, dimana pada keempat lokasi tersebut tidak ditemukan S. tranquebarica pada saat pengambilan sampel. Kemudian, jumlah sampel S.oceanica terbanyak berasal dari Samarinda yaitu 67 ekor atau 30,59% dari jumlah total sampel S. oceanica, sedangkan jumlah sampel terendahnya berasal dari Ambulu dan Cilamaya, dimana pada kedua lokasi tidak ditemukan S. oceanica pada saat pengambilan sampel. Tidak ditemukannya kepiting bakau dari setiap spesies di beberapa daerah penelitian bukan berarti kepiting tersebut tidak menempati habitat di daerah tersebut, karena distribusi sebaran kepiting bakau ketiga spesies tersebut mencakup hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Akan tetapi, tidak adanya beberapa spesies kepiting bakau di beberapa lokasi penelitian diduga oleh lokasi penangkapan kepiting bakau, karena para nelayan biasanya melakukan penangkapan di dua tempat, yaitu di perairan hutan mangrove dan di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Hal tersebut berkaitan dengan habitat ketiga spesies kepiting bakau, di mana S. serrata biasanya berada di perairan hutan mangrove dengan cara meliang (burrow), sedangkan S. tranquebarica dan S. oceanica biasanya berada di perairan pesisir di sekitar area hutan mangrove. Menurut Moosa et al. (1985) jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata ditemukan meliang di daerah mangrove.
4.2.
Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting Bakau Distribusi frekuensi panjang karapas dapat digunakan untuk mengetahui
modus, ukuran karapas tertinggi dan terendah dari spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah. Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian pada setiap daerah memiliki frekuensi yang berbeda-beda, dan dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan Lampiran 6.
34-44 45-55 56-66 67-77 78-88 89-99 100-110
Selang kelas panjang karapas (mm)
36
Bone
Maros
Pidi
Jambi Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Jayapura Teluk Bintuni
Daerah penelitian
106-118 93-105 80-92 67-79 54-66 41-53
Selang kelas panjang karapas (mm)
Gambar 13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrata berdasarkan lokasi pengambilan sampel.
Pidi
Blanakan Gebang Mataram Kalimantan Samarinda Barat
Bone
Maros
Jayapura
Teluk Bintuni
Daerah penelitian
Gambar 14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebarica berdasarkan lokasi pengambilan sampel.
80-92 93-105 106-118 67-79 54-66 41-53
Selang kelas panjang karapas (mm)
37
Samarinda Kalimantan Pidi Barat
Bintan
Jambi
Blanakan Gebang Mataram Bone
Maros
Jayapura Teluk Bintuni
Daerah penelitian
Gambar 15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanica berdasarkan lokasi pengambilan sampel.
Berdasarkan Gambar 13, terdapat 7 selang kelas panjang karapas Scylla serrata.
Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas 67-77 mm,
dengan frekuensi S. serrata tertinggi berasal dari daerah Bone yaitu 31 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. serrata adalah 34 mm yang berasal dari daerah Bone, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 107 mm yang berasal dari Teluk Bintuni. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Bone, Maros, Pidie, Jambi, dan Cilamaya berturut-turut ialah 34-77 mm dan 67-140 mm, 46-86 mm dan 64-105 mm, 43-70 mm dan 33-98 mm, 69-86 mm dan 82-118 mm, serta 46-92 mm dan 67-163 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Mataram berturut-turut adalah 52-96 mm dan 76-134 mm, 61-106 mm dan 69-164 mm, 54-100 mm dan 76-150 mm, serta 64-90 mm dan 90-129 mm. Selanjutnya S. serrata di daerah Samarinda, Jayapura, dan Teluk Bintuni berturut-turut memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 73-87 mm dan 95-118 mm, 80-87 mm dan 110-124 mm, serta 90-107 mm dan 127-146 mm.
38
Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla serrata yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Bone. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi, dimana proses reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan.
Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan
pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al. 1985 in Le Vay 2001). Waktu penangkapan S. serrata di wilayah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, Jambi, Teluk Bintuni, dan Jayapura berkisar pada bulan Juli-November 2008. Selanjutnya waktu penangkapan S. serrata di wilayah Pidie, Maros, Bone, dan Mataram berkisar pada bulan Februari hingga Maret 2009. Kathirvel dan Srinivasagam (1992) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau di India memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan April-Juni dan September-Februari serta memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara 85-129 mm. Selain itu, proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun, dengan puncak pada bulan Desember-Oktober. Berdasarkan hal di atas, S. serrata yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Sedangkan S. serrata yang berada di daerah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Jambi yang ditangkap pada bulan Juli-Agustus 2008 dan S. serrata yang berasal dari Pidie, Maros, Bone, dan Mataram, yang ditangkap pada bulan Februari-Maret 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 14, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla tranquebarica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas 67-79 mm, dengan frekuensi S. tranquebarica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 21 ekor.
Ukuran panjang karapas terendah S. tranquebarica adalah 41 mm yang
berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Teluk Bintuni.
39
Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Pidie, Blanakan, Gebang, Mataram, dan Pontianak berturut-turut ialah 41-69 mm dan 58103 mm, 64-100 mm dan 90-142 mm, 64-97 mm dan 90-135 mm, 62-104 mm dan 87-150 mm, serta 99 mm dan 144 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Samarinda, Bone, dan Maros berturut-turut adalah 57-76 mm dan 80-106 mm, 45-75 mm dan 62-110 mm, serta 45-69 mm dan 62-102 mm. Selanjutnya S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 90 mm dan 132 mm serta 91115 mm dan 126-164 mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan SeptemberNovember 2008. Kemudian waktu penangkapan di daerah Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Februari-Mei 2009.
Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses
reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al. 1985 in Le Vay 2001). Selanjutnya Le Vay et al. (pers. obs.) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau S. tranquebarica di Vietnam memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan September-Oktober. Selain itu S. tranquebarica di Jawa bagian Utara memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara 80-90 mm pada saat matang gonad dan proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun. Berdasarkan hal di atas, S. tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. tranquebarica yang berada di daerah Pidie, Maros, Bone, Kalimantan
40
Barat, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Februari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 15, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla oceanica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas 80-92 mm, dengan frekuensi S. oceanica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 45 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. oceanica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Jayapura. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. oceanica di daerah Samarinda, Pontianak, Pidie, Bintan, dan Blanakan berturut-turut ialah 62-102 mm dan 83-150 mm, 74-95 mm dan 111-144 mm, 41-61 mm dan 59-89 mm, 79-99 mm dan 123-136 mm, serta 61-93 mm dan 86-130 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang karapas dan lebar karapas S. oceanica di daerah Gebang, Mataram, Bone, dan Maros berturut-turut adalah 65-88 mm dan 91-127 mm, 70-91 mm dan 97-134 mm, 41-67 mm dan 62-90 mm, serta 44-87 mm dan 65-118 mm. Selanjutnya S. oceanica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 79-115mm dan 115-159 mm serta 60-110 mm dan 110-158 mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla oceanica yang berasal dari Jayapura memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. oceanica di daerah Jambi, Samarinda, Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan Agustus-Desember 2008, serta Maret dan Mei 2009 untuk daerah Samarinda dan Teluk Bintuni (pengambilan sampel kedua kali di kedua lokasi tersebut). Kemudian waktu penangkapan di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Januari-Mei 2009. Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan.
Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan
41
pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al. 1985 in Le Vay 2001). Berdasarkan hal di atas, S. oceanica yang berasal dari Jambi yang ditangkap pada tanggal 31 Agustus 2008 , Jayapura yang ditangkap pada bulan September , Samarinda yang ditangkap pada bulan November 2008, serta Teluk Bintuni yang ditangkap pada bulan November-Desember 2008, dimana pada bulan-bulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. oceanica yang berada di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Teluk Bintuni, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Januari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Selanjutnya berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dari ketiga spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa ukuran panjang dan lebar karapas tertinggi berasal dari spesies Scylla oceanica dengan selang kelas panjang karapas 41-118 mm, sedangkan ukuran terendah berasal dari spesies Scylla serrata dengan selang kelas panjang karapas 34-110 mm. Kemudian, berdasarkan perbandingan ukuran panjang dan lebar karapas pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertinggi. Hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi habitat dan kelimpahan makanan yang akan mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, di mana kondisi hutan mangrove di Teluk Bintuni masih lebat dan bagus, serta belum banyak campur tangan manusia. Sehingga keadaan tersebut mempengaruhi kelimpahan makanannya.
Menurut Pramudji
(2004) Pulau Papua memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara. Keadaan tersebut mengakibatkan tingginya kelimpahan makanan di muara sungai yang merupakan area hutan mangrove dan habitat kepiting bakau.
4.3.
Identifikasi Karakter Morfologi Hingga saat ini, pada pelaksanaan proses identifikasi dan klasifikasi kepiting
bakau masih terdapat perdebatan di antara para ahli mengenai pembagian jumlah
42
spesies kepiting bakau. Menurut Stephenson & Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) keempat spesies kepiting bakau tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau. Akan tetapi Stephenson dan Campbell tidak secara spesifik menyebutkan kondisi lingkungan yang dapat membuat perbedaan morfologi dari ketiga spesies kepiting bakau tersebut. Sedangkan menurut Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001) kepiting bakau diklasifikasikan menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filipina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan pleopod, gigi anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Selanjutnya terdapat ahli lainnya, yaitu Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) yang melakukan analisis morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica benar-benar dapat dibedakan dan karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador. Kemudian dilakukan penelitian genetika kepiting bakau di mana informasi genetik merupakan hal penting dalam mengindentifikasi ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Pada bulan Juni 1994 hingga Mei 1995, Fuseya dan Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) telah mengumpulkan dan mengindentifikasi 342 kepiting bakau yang berasal dari 7 lokasi (Danau Hamana dan Okinawa (Jepang), Bali dan Cilacap (Indonesia), Chantaburi dan Surat Thani (Thailand), dan Madagaskar). Fuseya dan Watanabe mengklasifikasi kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica, berdasarkan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Watanabe et al. (2002) melakukan revisi spesies kepiting bakau menjadi empat spesies.
Hal ini berdasarkan analisis mt-DNA
43
kepiting bakau yang menyatakan bahwa terdapat empat spesies dalam genus Scylla, yaitu S. serrata (S. oceanica Estampador), S. olivacea (S. serrata Estampador), S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador), serta S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador). Akan tetapi Klinbunga et al. (2000) in Watanabe et al. (2002) melakukan riset genetika terhadap kepiting bakau yang berasal dari Thailand dan menyatakan bahwa terdapat tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisis RAPD dari genomik DNA kepiting bakau. Ketiga spesies tersebut adalah Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan kriteria Estampador. Berdasarkan riset para ahli di atas, Penulis menggunakan identifikasi dan klasifikasi berdasarkan Estampador pada tahun 1949, yaitu Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama. Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri. Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan warna karapas, bentuk alur “H”, bentuk duri frontal margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masingmasing spesies.
4.3.1. Scylla serrata Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata termasuk ke dalam kelompok “Mamosain”, di mana spesies tersebut hidup meliang di area hutan mangrove, berwarna coklat kehitaman, dan tidak memiliki corak pada pleopodnya.
Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992)
Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kemerahan dengan bentuk alur “H” tidak dalam dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 16, diketahui bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kehitam-hitaman dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam. Menurut Moosa et al. (1985) S. serrata termasuk kelompok yang
44
berwarna
dasar
hijau-merah-kecoklatan.
Warna
karapas
pada
S.
serrata
berhubungan dengan habitatnya, yaitu hidupnya meliang di daerah mangrove (Moosa et al. (1985); Kathirvel & Srinivasagam (1992)).
Bentuk duri frontal
margin tumpul dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah satu dan tidak tumpul serta pleopod pada S. serrata tidak bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat merah seperti karat dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tumpul, serta tidak memiliki duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) yang berubah menjadi vestigial.
Gambar 16. Scylla serrata (jantan).
4.3.2. Scylla tranquebarica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla tranquebarica termasuk ke dalam kelompok “Banhawin”, di mana spesies tersebut
45
berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Begitu pula dengan Scylla oceanica, kedua spesies ini memiliki ciriciri yang hampir mirip, kecuali pada bagian alur “H” dan duri pada cheliped carpus, dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Scylla tranquebarica (jantan).
Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 17, terlihat bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dengan salah satu duri berduri tajam, sedangkan duri lainnya agak tumpul serta pleopod pada S. tranquebarica bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas hijau buah zaitun dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta bentuk kedua duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) jelas, dimana salah satunya agak tumpul. Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa kepiting bakau genus Scylla
46
di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka.
4.3.3. Scylla oceanica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica termasuk ke dalam kelompok “Banhawin”, sama halnya dengan Scylla tranquebarica, di mana spesies tersebut berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya.
Sedangkan menurut
Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan, dengan bentuk alur “H” yang dalam, serta memiliki corak pada kaki jalan dan pleopodnya, dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Scylla oceanica (jantan)
47
Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 18, terlihat bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dan berduri tajam serta pleopod pada Scylla oceanica bercorak. Hal di atas sesuai dengan deksripsi yang dijelaskan oleh Moosa et al. (1985).
Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla
oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta memiliki bentuk duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) keduanya tajam.
4.4. Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan panjang, volume, dan bobot terhadap perubahan waktu (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991). Di dalam manajemen sumberdaya perikanan, analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota di suatu populasi pada waktu tertentu dan untuk membandingkan kondisi biota di daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi manejemen yang berbeda. Organisme yang tidak mempunyai kerangka luar (eksoskeleton), ukuran panjang berubah secara kontinu.
Akan tetapi pada Crustacea yang memiliki
kerangka luar, terutama kepiting bakau, pertumbuhan menjadi suatu proses yang diskontinu. Di dalam fase pertumbuhan kepiting bakau, terdapat suatu rangkaian lepas cangkang (molt atau ecdysis) yang dipisahkan oleh suatu rangkaian antar ganti cangkang (intermolt). Pada saat fase antar ganti cangkang, karapas tubuh menjadi keras dan pertumbuhan terbatas sedangkan pada saat fase lepas cangkang, karapas yang lama dilepaskan sehingga penambahan pertumbuhan terjadi sangat cepat dengan periode waktu yang relatif pendek sebelum karapas yang baru menjadi keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada crustacea meliputi dua faktor, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi ukuran, jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan cacat tubuh. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor ekstrinsik adalah ketersediaan makanan, suhu lingkungan, dan parasit (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991).
48
Kajian pertumbuhan masing-masing spesies kepiting bakau di beberapa daerah yang meliputi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dapat dilihat pada Tabel 7, 8, 9 serta Gambar 19, 20, dan 21. Di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla serrata yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 7 dan Gambar 19.
Tabel 7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata.
Lokasi
Pidie
Jumlah (ekor)
Ukuran lebar karapas (mm)
Regresi Lebar karapas-panjang Lebar karapas-berat karapas R2
r
b
R2
r
b
0.976
0.646
0.804
0.335
11
33-98
0.469
0.685
Jambi
9
82-118
0.821
0.906
2.300
0.836
0.914
0.465
Cilamaya
36
67-163
0.693
0.833
1.772*
0.608
0.78
0.473
Blanakan
20
76-134
0.467
0.683
3.530*
0.93
0.964
0.667
Gebang
17
69-164
0.680
0.825
2.115*
0.763
0.874
0.526
Ambulu
23
76-150
0.904
0.951
2.870*
0.961
0.981
0.651
Mataram
5
90-129
0.315
0.561
3.167
0.955
0.977
0.62
Bone
55
67-140
0.560
0.748
1.640*
0.628
0.792
0.548
Maros
29
64-105
0.913
0.955
3.097*
0.895
0.946
0.747
Teluk Bintuni
4
127-146
0.558
0.747
3.209
0.762
0.873
0.737
Jayapura
6
110-124
0.021
0.145
-0.335
0.828
0.91
0.431
Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H0
Berdasarkan Tabel 7, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla serrata di beberapa daerah ialah pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Sama halnya dengan pola pertumbuhan kepiting bakau menurut Hartnoll (1982) di mana pola pertumbuhannya ialah allometrik.
Akan tetapi terdapat beberapa S. serrata yang memiliki pola
pertumbuhan isometrik, di mana pertambahan lebar karapas sama dengan dibandingkan pertambahan berat.
Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar
karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R2 tertinggi berasal dari Maros, yaitu sebesar 0,913 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 91,3%.
49
4
Frequency
3
2
1
Mean =2.2128 Std. Dev. =1.1581 N =11 0 -1.0000
0.0000
1.0000
2.0000
3.0000
4.0000
Nilai b
Gambar 19. Grafik sebaran nilai b Scylla serrata.
Berdasarkan pada Gambar 19, diketahui bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b sebesar 2,2128. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan lebar karapas-berat
dan
hubungan
lebar
karapas-panjang
karapas
dari
Scylla
tranquebarica yang berasal dari 8 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 8 dan Gambar 20.
Tabel 8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica. Regresi Lokasi
Jumlah (ekor)
Ukuran lebar karapas (mm)
Lebar karapas-berat
Lebar karapas-Panjang karapas
R2
r
b
R2
r
b
Pidi
64
58-103
0.827
0.909
2.703*
0.810
0.900
0.609
Blanakan
21
90-142
0.752
0.867
1.097
0.590
0.768
0.309
Gebang
24
90-135
0.746
0.864
3.190*
0.915
0.957
0.623
Mataram
12
87-150
0.829
0.910
3.197*
0.777
0.882
0.592
Samarinda
29
80-106
0.725
0.852
2.706*
0.913
0.955
0.692
Maros
12
62-102
0.772
0.879
2.990*
0.706
0.840
0.590
Bone
5
62-110
0.983
0.992
2.163*
0.997
0.999
0.631
Teluk Bintuni
4
126-164
0.960
0.980
3.721*
0.978
0.989
0.664
Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H0
50
Berdasarkan Tabel 8, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla tranquebarica di beberapa daerah memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, akan tetapi S. tranquebarica di Blanakan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R2 tertinggi berasal dari Bone, yaitu sebesar 0,983 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 98,3%.
3
Frequency
2
1
Mean =2.7209 Std. Dev. =0.7989 N =8 0 1.0000
1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
3.5000
4.0000
Nilai b
Gambar 20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica.
Kemudian berdasarkan pada Gambar 20, terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai ratarata b sebesar 2,7209. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla oceanica yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 9 dan Gambar 21.
51
Tabel 9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica. Regresi Jumlah (ekor)
Lokasi
Ukuran lebar karapas (mm)
Lebar karapas-panjang karapas
Lebar karapas-berat R2
r
b
R2
r
b
Pidie
8
59-89
0.786
0.887
2.526
0.941
0.970
0.640
Jambi
3
83-110
0.999
1.000
2.866
0.955
0.997
0.563
Blanakan
8
86-130
0.963
0.981
2.667*
0.987
0.993
0.655
Gebang
6
91-127
0.967
0.984
3.696*
0.987
0.993
0.655
Mataram
4
97-134
0.942
0.971
2.534
0.977
0.988
0.555
Samarinda
66
83-150
0.482
0.694
1.984*
0.870
0.933
0.604
Pontianak
29
111-144
0.488
0.699
2.794*
0.927
0.963
0.614
Maros
20
65-118
0.671
0.819
2.162*
0.532
0.729
0.846
Bone
15
62-90
0.898
0.948
2.827*
0.872
0.934
1.025
Teluk Bintuni
45
110-158
0.764
0.874
3.461*
0.672
0.820
0.671
Jayapura
7
115-159
0.779
0.882
3.640*
0.897
0.947
0.835
Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H0
3
Frequency
2
1
Mean =2.8325 Std. Dev. =0.5635 N =11 0 1.5000
2.0000
2.5000
3.0000
3.5000
4.0000
Nilai b
Gambar 21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica.
Berdasarkan Tabel 9, pada hubungan lebar karapas-berat, sebagian besar Scylla oceanica memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Akan tetapi, S. oceanica yang berasal dari Pidie, Jambi, dan Mataram memiliki pola pertumbuhan isometrik, artinya pertambahan lebar karapas sama dengan pertambahan berat.
52
Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Kemudian berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R2 tertinggi berasal dari Gebang, yaitu sebesar 0,967 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 96,7%.
Selanjutnya pada Gambar 21 terlihat bahwa nilai b yang berasal dari
hubungan lebar karapas-berat S. oceanica memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b kurang dari 3, yaitu 2,8325.
4.5. Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan Genus Scylla Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data hingga mendapatkan suatu komponen utama yang dapat menggambarkan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Variabel yang digunakan dalam AKU hanya 10 karakter morfometrik kepiting bakau Scylla spp. yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb), panjang cheliped sebelah kanan dan kiri (PCR dan PCL), panjang profundus sebelah kanan dan kiri (PPR dan PPL), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCR dan TCL). Karakter meristik yang meliputi jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR) tidak digunakan dalam AKU, hal tersebut dikarenakan jumlah duri dari ketiga karakter meristik hampir sama pada setiap sampel kepiting sehingga memiliki keragaman yang mendekati nol.
4.5.1. Scylla serrata Berdasarkan hasil perhitungan Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 91,3% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan
53
eigen value (akar ciri pertama) sebesar 10,041 yang juga merupakan ragam komponen utama. Selain itu diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik S. serrata yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometriknya. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,295P + 0,289L + 0,294T + 0,302B + 0,290P.orb + 0,311Pcr + 0,302Ppr + 0,306Tcr + 0,311Pcl + 0,302Ppl + 0,314Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri komponen utama pertama, terlihat bahwa nilai setiap karakter morfometrik S. serrata bernilai positif artinya keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu tinggi chela sebelah kiri (TCL), hal ini dikarenakan karakter tersebut memiliki hubungan korelasi paling dekat dengan komponen utama pertama. Kemudian, terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,1% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. serrata dan memiliki eigen value (nilai akar ciri atau ragam) sebesar 0,563. Berdasarkan besaran persentase total keragaman dari dua komponen utama diperoleh satu komponen utama, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. serrata yang bernilai 91,3% dibandingkan dengan komponen utama kedua yang bernilai 5,1%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan penggerombolan S. serrata menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22, yang menampilkan kemiripan Scylla serrata di setiap daerah, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. serrata antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Scylla serrata di beberapa lokasi penelitian memiliki perbedaan pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil (garis berwarna merah) pada Gambar 22, misalnya S. serrata yang berasal dari Blanakan memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda dan Mataram tetapi berbeda dengan S. serrata yang berasal dari Jambi dan Ambulu. Menurut Overton et al. (1997) terjadinya perbedaan karakter morfometrik pada kepiting bakau disebabkan oleh
54
adanya pengaruh lingkungan perairan di sekitar hutan mangrove yang dapat mempengaruhi sifat fenotip dari kepiting bakau. Selain itu, faktor suhu pun dapat menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik kepiting bakau walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi iklim pada suatu daerah. Hal ini pun berlaku pada kepiting bakau jenis S. tranquebarica dan S. oceanica.
Gambar 22. Grafik score plot Scylla serrata.
Overton et al. (1997) menyatakan terdapat perbedaan kepiting bakau yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara, yaitu Klong Ngao, Ranong, Thailand; Teluk Ban Don, Surat Thani, Thailand; Can Gio, Vietnam Selatan; serta Sematan, Sarawak, Malaysia Timur. Kepiting bakau yang diteliti memiliki dua sifat fenotif, yaitu kepiting bakau tipe “black” dan “white” berdasarkan nama lokalnya. Khusus kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don terdapat kedua jenis kepiting (“black” dan “white) yang simpatrik, artinya kedua jenis kepiting tersebut hidup dalam habitat yang sama tetapi tidak melakukan perkawinan antar spesies. Berdasarkan keempat lokasi tersebut, diketahui terdapat tiga kelompok berbeda berdasarkan kemiripan karakter pada masing-masing lokasi. Kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) memiliki kemiripan dengan kepiting bakau dari
55
Sematan (Malaysia) dengan sifat fenotif “black”. Kemudian, kepiting bakau yang berasal dari
Teluk Ban Don (Thailand) dengan sifat fenotif “black’ memiliki
kemiripan dengan kepiting bakau yang berasal dari Can Giao (Vietnam) dengan sifat fenotif “white”.
Sedangkan kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao
(Thailand) yang memiliki sifat fenotif “white’ dan “black” membentuk kelompok tersendiri. Berdasarkan Gambar 22 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan satu sama lainnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Jambi, Cilamaya, Bone, Blanakan, Jayapura, Gebang, Ambulu, Mataram, dan Samarinda) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni).
Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui
bahwa penyebaran Scylla serrata di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidie, Jambi, Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Samarinda). Distribusi S. serrata yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla serrata di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Australia Barat), Laut Cina Selatan (Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak, hingga Cina Selatan), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria) (Keenan et al. 1998 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut seperti tampak pada Gambar 24.
Gambar 23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia (FAO 1998).
56
4.5.2. Scylla tranquebarica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 92,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,181 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian, diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik yang dapat menggambarkan secara umum keseluruhan karakter morfometrik S. tranquebarica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,311P + 0,310L + 0,307T + 0,304B + 0,303P.orb + 0,3Pcr + 0,299Ppr + 0,286Tcr + 0,298Pcl + 0,293Ppl + 0,306Tcl. Berdasarkan vektor ciri yang bernilai positif pada setiap karakter morfometriknya, keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu panjang orbital (P.orb atau optical groove width) berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,9% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. tranquebarica dan memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,647. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman kedua komponen utama, diperoleh satu komponen utama saja yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. tranquebarica dengan persentase sebesar 92.6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 5.9%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. tranquebarica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 24, yang menampilkan kemiripan Scylla tranquebarica di setiap daerah secara sederhana,
dimana
garis
berwarna
merah
menggambarkan
kemiripan
S.
tranquebarica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar.
57
Gambar 24. Grafik score plot Scylla tranquebarica.
Kepiting bakau Scylla tranquebarica di beberapa lokasi penelitian memiliki pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 24, misalnya S. tranquebarica yang berasal dari Pidi dan Maros memiliki kemiripan tetapi berbeda dengan S. tranquebarica yang berasal dari Samarinda dan Bone. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian Overton et al. (1997). Selanjutnya, berdasarkan Gambar 24 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Samarinda, Bone, Blanakan, Gebang, Mataram, Pontianak, dan Jayapura) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla tranquebarica di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipisahkan oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat) menjadi satu kelompok. Distribusi S. tranquebarica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla tranquebarica di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Malaysia), Laut Cina Selatan (Singapura dan Sarawak), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina) (Keenan et al. 1998
58
in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut, seperti pada Gambar 25.
Gambar 25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia (FAO 1998).
4.5.3 Scylla oceanica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 94,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,408 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari S. oceanica yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometrik S. oceanica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,296P + 0,305L + 0,303T + 0,295B + 0,298P.orb + 0,302Pcr + 0,295Ppr + 0,303Tcr + 0,309Pcl + 0,306Ppl + 0,304Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri dari setiap karakter morfometrik S. oceanica yang bernilai positif, keseluruhan karakter morfometrik tersebut dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi, terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh, yaitu panjang chela sebelah kiri (Pcl), hal ini berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 3,2% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. oceanic serta memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,348. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman dari kedua komponen utama, diperoleh satu komponen
59
utama saja, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. oceanica sebesar 94,6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 3,2%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. oceanica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 26, yang menampilkan kemiripan Scylla oceanica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. oceanica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar
Gambar 26. Grafik score plot Scylla oceanica.
. Berdasarkan Gambar 26, dikeahui bahwa terdapat perbedaan pada karakter morfometrik Scylla oceanica di beberapa lokasi penelitian. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 26, misalnya S. oceanica yang berasal dari Maros memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda tetapi berbeda dengan S. oceanica yang berasal dari Blanakan dan Gebang. Selanjutnya berdasarkan Gambar 26, terdapat dua kelompok besar berdasarkan kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidi, Bone, Maros, Jambi, Samarinda, Blanakan, Gebang, dan Mataram) serta kelompok 2 (Bintan, Kalimantan Barat,
60
Jayapura, dan Teluk Bintuni).
Selanjutnya dapat diperoleh suatu gambaran
mengenai penyebaran kepiting bakau S. oceanica yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kedua kelompok besar di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, Jayapura, dan Teluk Bintuni) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Jambi, Bintan, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyebaran spesies S. oceanica di dunia (Gambar 27).
Gambar 27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia (FAO 1998).
Berdasarkan Gambar 27, distribusi S. oceanica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla oceanica di dunia, yang menyebar mulai dari Indo-Pasifik Barat (Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina), Taiwan, Jepang, hingga ke Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat) (Keenan et al. 1998 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut.
4.6. Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting Bakau Analisis biplot digunakan untuk mengetahui keeratan antara karakter meristik dan morfometrik kepiting bakau, yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb) panjang cheliped sebelah kiri dan kanan (PCL dan PCR),
61
panjang profundus sebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCL dan TCR) pada kepiting bakau. Selain itu, analisis biplot digunakan pula untuk mengetahui keragaman setiap karakter dan nilai peubah karakter untuk mengetahui keunggulan karakter tersebut. Analisis biplot dari Scylla serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 28, Gambar 29, dan Gambar 30.
5 Sam ar i nd
4 3
P cr P cl M at ar am T cr P P pr pl
2
Tcl PL Bl anakan
1
or b P T SO G ebang R SCL
0 bi Bone Pi diJam
Tel . Bi nt
-1
M ar os
B
Jayapur a Am bul u Ci l am aya
-2 - 10
0
10
20
30
Di m ensi on 1 ( 99. 1% )
Gambar 28. Grafik biplot Scylla serrata.
Berdasarkan Gambar 28, dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCR, PPR, TCR, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar karakter kurang dari 90o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan.
Nilai
keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah dimana semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar.
Karakter meristik SO, SCR, dan SCL
memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai dari karakter tersebut hampir sama di setiap daerah. Sedangkan keragaman karakter morfometrik lainnya memiliki keragaman yang tinggi. Scylla serrata yang berasal dari Pidie, Jambi, Maros, Cilamaya, Ambulu dan Bone memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan spesies S. serrata dari daerah lainnya. S. serrata yang berasal dari Samarinda, Mataram,
62
Blanakan, dan Subang memiliki ukuran yang hampir sama. Kemudian, S. serrata dari Teluk Bintuni dan Jayapura memiliki ukuran yang relatif lebih besar dan dapat digambarkan oleh berat badannya yang besar. Ketiga hal di atas berkenaan dengan sudut yang dibentuk antara suatu lokasi dengan karakter morfometrik atau meristiknya, jika sudut yang dibentuk lebih dari 90o maka ukuran kepiting di daerah tersebut di atas ukuran rata-rata karakter morfometrik atau meristiknya begitu pula jika sebaliknya.
5 L
4 3
P pl T M at arB a lm anakan
1
Sam ar i nd
PprPcr Tcr
Bone
-1
Jayapur a
T cl G e b ng o ra b P S O S C R L
0
-2
Kal bar
Pcl P
2
B
M ar os Pi di
-3 Tel . Bi nt
-4 - 10
0
10
20
30
Di m ensi on 1 ( 99. 4% )
Gambar 29. Grafik biplot Scylla tranquebarica.
Berdasarkan Gambar 29, di atas dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar variabel kurang dari 90o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan. Sedangkan karakter PPR, PCR, dan TCR saling berkorelasi negatif dengan karakter P, L, T, B, PCL, PPL, dan TCL berdasarkan sudut antar variabel lebih dari 90o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya akan mengalami penurunan. Akan tetapi, hubungan di antara karakter PPR, PCR, dan TCR saling berkorelasi positif. Nilai keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah di mana semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar. Karakter meristik SO, SCR, dan SCL memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai
63
dari karakter tersebut hampir sama di setiap daerah. Sedangkan keragaman karakter morfometrik lainnya memiliki keragaman yang tinggi, terutama keragaman berat tubuh. Scylla tranquebarica yang berasal dari Pidie, Maros, dan Bone memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan spesies S. tranquebarica dari daerah lainnya yang memiliki ukuran yang hampir sama, kecuali S. tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni. S. tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran yang relatif lebih besar yang dapat digambarkan oleh berat badannya yang besar.
4 Pcr 3 2 M ar os
1 0
Sam ar i nd Pcl M at ar am L Ppr Kal bar Ppl P P ocr rb T T Bi nt an Tcl Bl anS aO kan SCR L
Jam bi
-1
G ebang
Tel . Bi nt B
Pi di
-2
Bone -3
Jayapur a
-4 - 10
0
10
20
30
Di m ensi on 1 ( 98. 9% )
Gambar 30. Grafik biplot Scylla oceanica.
Berdasarkan Gambar 30, dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCR, PPR, TCR, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar variabel kurang dari 90o atau saling berhimpitan, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan.
Nilai keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah dimana
semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar. Karakter meristik SO, SCR, dan SCL memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai dari karakter tersebut hampir sama di setiap daerah.
64
Sedangkan keragaman karakter morfometrik lainnya memiliki keragaman yang tinggi, terutama keragaman berat tubuh. Hal ini berkaitan dengan nilai berat tubuh pada setiap sampel yang bervariasi. Scylla oceanica yang berasal dari Pidie, Jambi, dan Maros memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan spesies S. oceanica dari daerah lainnya yang memiliki ukuran yang hampir sama, kecuali S. oceanica yang berasal dari Gebang, Jayapura, dan Teluk Bintuni yang memiliki ukuran yang relatif lebih besar dan dapat digambarkan oleh berat badannya yang besar. Hal di atas berkaitan dengan sudut yang dibentuk antara suatu daerah dengan karakter morfometrik atau meristiknya, jika sudut yang dibentuk lebih dari 90o maka ukuran kepiting di daerah tesebut di atas ukuran rata-rata karakter morfometrik atau meristiknya begitu pula jika sebaliknya.
4.7. Pengelolaan Kepiting Bakau Berdasarkan distribusi ketiga spesies kepiting bakau yang menyebar di seluruh perairan Indonesia dan penyebarannya tidak dipengaruhi oleh garis Wallace, dapat dijadikan alternatif penambahan stok kepiting bakau jika populasi kepiting bakau di suatu daerah mengalami penurunan.
Introduksi kepiting bakau dapat
dilakukan, karena adanya kemiripan kepiting bakau dibeberapa lokasi penelitian berdasarkan karakter morfometriknya. Selanjutnya setiap spesies kepiting bakau memiliki habitat, distribusi, musim puncak pemijahan, musim puncak rekruitmen, dan ukuran lebar karapas saat matang gonad pertama kali yang berbeda-beda, sehingga diperlukan pengelolaan kepiting bakau yang berkelanjutan, yang didasarkan pada jenis kepiting bakau yang berbeda-beda. Pengelolaan tersebut harus sesuai dengan pengelolaan berdasarkan ekologi, di mana perlu adanya interaksi antara lingkungan (baik biotik maupun abiotiknya), kegiatan penangkapan, kebijakan pemerintah, serta sumberdaya perikanannya, yaitu kepiting bakau, agar lingkungan yang merupakan habitat kepiting bakau tetap lestari. Perlunya peraturan yang efektif dan selektif di setiap daerah dapat menjadi cara yang tepat untuk pengelolaan kepiting bakau yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
Selain itu, perlunya dukungan dan peran serta masyarakat dan
pemerintah setempat dalam membuat peraturan, seperti terdapat closed season
65
ketika puncak pemijahan dan puncak rekruitmen dan open season ketika puncak pemijahan dan rekruitmen selesai, hal ini berkaitan dengan pertambahan populasi kepiting bakau yang berkelanjutan.
Menurut Ewel (2007) yang melakukan
penelitian kepiting bakau di Kep. Hawaii, pengelolaan yang tepat untuk kepiting bakau agar tetap lestari ialah dengan cara membentuk marine protected area, pelarangan penangkapan kepiting bakau betina, serta pembatasan penangkapan kepiting bakau selama beberapa bulan. Adanya regulasi penangkapan yang sesuai di setiap daerah dapat menjadi cara yang terbaik untuk menjaga kelestarian kepiting bakau. Sementara itu teknologi untuk budidaya benih kepiting bakau sangat diperlukan, karena selama ini benih yang digunakan untuk budidaya kepiting masih berasal dari alam dengan tingkat eksploitasi yang semakin meningkat setiap tahunnya, sehingga mengancam populasi kepiting bakau di samping menurunnya luasan hutan mangrove.
Terakhir, diperlukan suatu pemantauan yang berkala
terhadap setiap peraturan yang berlaku sehingga dapat meningkatkan proses pengelolaan kepiting bakau yang berkelanjutan.
66
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau di 14 lokasi penelitian, terdapat tiga spesies kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica yang dapat dibedakan berdasarkan warna karapas, bentuk alur “H”, bentuk duri frontal margin, bentuk dan jumlah duri pada cheliped carpus, serta corak pada pleopod. Ketiga spesies ini menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi perairan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dan penyebarannya tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakter morfometrik dan meristik ketiga spesies kepiting bakau di setiap lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi penelitian berdasarkan analisis komponen utama. Kemudian untuk sarana pengelolaannya, dapat dilakukan introduksi masing-masing spesies kepiting bakau yang memiliki kemiripan karakter morfometrik dan meristik jika di suatu daerah mengalami penurunan stok kepiting bakau. Serta diperlukan suatu pengelolaan kepiting bakau yang berkelanjutan di setiap daerah agar populasi kepiting bakau tidak punah dan variasi keanekaragamannya pun terjaga.
5.2 Saran Perlu dilakukan suatu kajian yang lebih mendalam pada aspek genetik, seperti pengujian DNA kepiting bakau dari setiap lokasi penelitian atau lokasi lainnya di perairan Indonesia, sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil analisis karakter morfometrik dan meristik agar hasilnya dapat lebih akurat.
67
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto E, Rivai SA, Liviawaty E, Hamdhani E. 1996. Kamus istilah perikanan. Kanisius. Yogyakarta. 148 p. Anggraini E. 1991. Regenerasi alat gerak, pertambahan bobot tubuh pasca lepas cangkang, dan kajian morfometrik kepiting bakau (Scylla serrata, Forskal) di Rawa Payau Muara Sungai Cikaso, Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 111 hlm. Asmara H. 2004. Analisis beberapa aspek reproduksi kepiting bakau (Scylla serrata) di perairan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hlm. Boer M. 2001. Perancangan percobaan. Laboratorium Model dan Simulasi, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perairan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. vi + 46 p. Butar-Butar H. 2006. Keterkaitan kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp.) dengan ketersediaan makanan alami di kawasan hutan mangrove (studi kasus di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi) [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hlm. Clark FP, M Neale, PS Rainbow. 2001. A morphometric analysis of regional variation in Carcinus Leach, 1814 (Brachiura: Portunidae: Carcininae) with particular reference to the status of the two species C. Maenas (Linnaeus, 1785) and C. Estuarii Nardo, 1847. Journal of Crustacean Biology 21(1): 288-303. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. xxxiii + 412 p. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Data produksi berdasarkan jenis ikan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2003 hingga tahun 2005. [terhubung berkala]. http://dkp.go.id/SIMPATIK [16 Juni 2006]. Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. vii + 112 p. Ewel K. 2007. Mangrove crab (Scylla serrata) populations may sometimes be best managed locally. Journal of Sea Research 59(2008): 114-120. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1998. p. 10461128. In: Carpenter KE, Niem VH (eds). FAO species identification guide for
68
fishery purposes, the living marine resource of the Western Central Pasific, vol 2: cephalopods, crustaceans, holothurians, and sharks. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2007. The world’s mangroves 1980-2005. [terhubung berkala]. http://fao.org. [6 November 2009]. Fisheries Bussines Center. 2009. Peta Indonesia (batimetri, elevasi, sebaran mangrove dan terumbu karang). [terhubung berkala]. http://perikanandiy.info/pustaka/img_1.gif. [30 Maret 2009]. Fushimi H dan Watanabe S. 2001. Problems in spesies identification of the mud crab Genus Scylla (Brachyura: Portunidae). Fisheries Science: 9-13. Hartnoll RG. 1982. Growth. p. 111-195. In: Bliss DE, Abele LG (eds). The biology of crustacean vol. II: embryology, morphology, and genetic. Academis Press, New York. Hino. 2009. Peta Indonesia. [terhubung berkala]. http://hino.co.id/peta-indonesiasimplfy.gif [27 Agustus 2009]. Imron. 1998. Keragaman morfologis dan biokimiawi beberapa stok keturunan udang windu (Penaeus monodon) asal laut yang dibudidayakan di tambak [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 hlm. Kasry A. 1996. Budidaya kepiting dan biologi ringkas. Bhratara Niaga Media. Jakarta. x + 93 p. Kathirvel M, Srinivasagam S. 1992. Taxonomy of the Mud Crab, Scylla serrata (Forskal), from India. p. 127-132. In: Angell CA, editor. The mud crab, a report on the seminar convened in Surat Thani, Thailand, 5-8 November 1991. Bay of Bengal Programme. Madras. Kordi M. 1997. Budidaya Kepiting dan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang: Dahara Prize. vii + 272 p. Le Vay. 2001. Ecology and management of mud crab Scylla spp. p. 101-111. Asian Fisheries Science. Proceedings of the International Forum on the Culture of Portunid Crabs: Manila, Philiphines 2001Asian Fisheries Society. Manila. Moosa MK, Aswandy I, Kasry A. 1985. Kepiting bakau Scylla serrata (Forskal, 1775) dari Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. v + 16 p. Mulya MB. 2000. Kelimpahan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp.) serta keterkaitannya dengan karakteristik biofisik hutan mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur, Propinsi Sumatera Utara [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hlm.
69
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. viii + 372 p. Overton JL, Macintosh DJ, Thorpe RS. 1997. Multivariate analysis of the mud crab Scylla serrata (Brachyura: Portunidae) from four locations in Southeast Asia. Marine Biology, 128: 55-62. Pramudji. 2004. Mangrove di pesisir Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sangthong P, Jondeung A. 2006. Classification of three mud crab morphs in the genus Scylla using morphometric analysis. Nat. Sci, 40: 958-970. Sartono B, Affendi FM, Syafitri UD, Sumertajaya IM, Angraeni Y. 2003. Modul teori, analisis peubah ganda. Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. vi + 317 p. Shelley C. 2008. Capture-based aquaculture of mud crabs (Scylla spp.). p. 255-269. In: A. Lovatelli, P.F. Holthus (eds). Capture-based aquaculture. Global overview. FAO Fisheries Technical Paper No. 508. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Siahainenia L. 2008. Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 289 hlm. Sirait JM. 1997. Kualitas habitat kepiting bakau Scylla serrata, S. oceanica, S. tranquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya, Karawang [skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 92 hlm. Southchinasea. 2009. Wallace Line. [terhubung berkala]. http://southchinasea.org/ miranda2/wallacebig.jpg. [6 April 2009]. Sulistiono, Watanabe S, Tsuchida S. 1994. Biology and Fisheries of Crabs in Segara Anakan Lagoon. p. 65-76. In: Takashima F, Soewardi K (eds). Ecological Assesment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java, Maret 1994. NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture, JSPS-DGHE Program. Tokyo. Watanabe S, Fuseya R, Sulistiono. 2002. Crab Resources and Fisheries Management in Japan. p. 31-38. In: Sulistiono, Rahardjo MF, Zairion, Brodjo M, Watanabe S, Yokota M (eds). Procceding of the JSPS-DGHE International Seminar Science in Tropical Area – towards the Integrated Sustainable Fisheries in Asia, Bogor, 20-21 August 2001. Bogor Agricultural University. Bogor. Wikipedia. 2008. Garis Wallace. [terhubung berkala]. http://id.wikipedia.org/ wiki/Garis_Wallace [14 Maret 2008].
70
71
Lampiran 1. Contoh sampel kepiting bakau yang telah dinomori.
Lampiran 2. Alat yang digunakan selama penelitian.
Keterangan (dari kiri ke kanan): penggaris, kertas label, spidol, timbangan, tissue, jangka sorong.
72
Lampiran 2. Proses pengukuran kepiting bakau saat di lapangan.
.
No.
P (mm)
L (mm)
T (mm)
B (gr)
Pcr Ppr Tcr Pcl Ppr Tcl ∑SCL
∑SCL
Pcl (mm)
: panjang chela sebelah kanan : panjang profundus sebelah kanan : tinggi chela sebelah kanan : panjang chle sebelah kiri : panjang profundus sebelah kiri : tinggi chela sebelah kiri : jumlah duri pada karapas sebelah kiri mata
PARAMETER MORFOMETRIK DAN MERISTIK Species: Sex : Pcr Ppr Tcr Porb (mm) ∑SO ∑SCR (mm) (mm) (mm)
Keterangan: P : panjang badan L : lebar badan T : tebal badan B : berat Porb : panjang/jarak 2 mata ∑SO : jumlah duri antara 2 mata ∑SCR : jumlah duri pada karapas sebelah kanan mata
Location: Date :
Lampiran 4. Data sheet parameter karakter morfometrik-meristik kepiting bakau.
Ppl (mm)
Tcl (mm)
Ket.
73
73
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Jenis
1
No.
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
Tanggal
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Asal daerah
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
No.
F
M
M
M
M
M
F
M
F
F
F
M
F
M
M
F
F
F
F
F
F
M
F
Sex
81
90
78
79
65
73
52
74
52
75
61
62
73
61
46
52
54
52
53
67
56
61
72
P (mm)
116
122
110
97
90
96
77
98
67
92
89
87
163
83
70
74
80
71
80
101
79
90
104
L (mm)
41
45
41
39
35
33
28
33
21
33
32
30
40
31
24
27
29
26
27
37
29
33
38
T (mm)
220
370
270
150
130
130
110
150
90
140
90
110
180
140
80
90
100
80
80
180
100
140
200
B (gram)
26
43
28
30
22
26
19
29
18
26
22
23
26
24
17
19
20
21
22
22
24
22
26
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
70
97
79
70
56
58
44
65
38
57
53
56
45
58
38
43
47
44
47
59
46
61
64
P cr (mm)
36
51
47
41
32
34
25
39
20
34
31
33
25
34
23
25
27
26
30
34
27
35
39
P pr (mm)
26
35
35
34
21
25
16
31
13
23
19
22
13
25
16
18
17
19
18
22
17
24
34
T cr (mm)
mengalami perubahan jumlah akibat faktor lain (jumlahnya tidak stabil pada setiap kepiting bakau).
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
60
94
75
69
57
53
43
63
38
52
53
52
57
57
38
40
44
43
44
56
50
55
62
P cl (mm)
35
49
45
38
32
30
25
38
23
29
32
29
34
33
24
25
26
24
26
33
29
33
37
P pl (mm)
Penjelasan tambahan: Karakter meristik yang meliputi ∑ SO, ∑ SCR, dan ∑ SCL seharusnya memiliki jumlah yang stabil, akan tetapi terindikasi
Lampiran 5. Data mentah karakter morfometrik dan meristik selama penelitian.
38 24
31
28
25
22
15
28
12
19
19
19
21
23
15
16
16
12
17
21
17
21
22
T cl (mm)
74
74
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
Jenis
24
No.
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
12/07/2008
Tanggal
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Cilamaya, Karawang
Asal daerah
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
37
36
35
34
33
32
31
30
29
27
26
25
24
No.
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
F
F
F
F
F
F
F
M
F
M
F
M
F
Sex
78
73
71
78
95
86
72
79
69
75
52
66
68
77
65
85
80
71
54
69
66
65
58
63
73
79
68
87
P (mm)
113
106
95
109
131
124
106
115
99
107
76
92
100
104
94
126
115
106
83
88
97
95
85
95
99
94
98
120
L (mm)
43
40
37
42
49
45
40
41
37
41
29
34
34
38
32
45
43
37
30
31
34
35
32
35
40
35
37
43
T (mm)
260
250
240
280
500
380
250
250
210
280
90
160
190
210
17
280
210
190
90
90
120
130
100
120
180
140
170
230
B (gram)
27
25
24
28
38
29
25
29
25
26
20
24
25
33
18
30
28
26
22
22
25
23
22
24
30
28
21
36
P orb (mm)
6
6
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
82
79
74
80
110
91
78
69
77
78
45
64
72
74
69
70
66
64
50
52
61
58
55
57
59
59
60
72
P cr (mm)
49
48
42
48
63
55
47
40
47
48
28
38
45
42
43
40
41
37
30
30
34
34
32
34
31
32
38
41
P pr (mm)
35
32
29
33
42
40
31
29
32
32
17
26
31
33
25
26
26
24
18
17
20
21
21
19
20
24
24
28
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
70
78
71
77
100
90
77
69
77
76
44
61
72
71
62
70
62
63
48
50
53
54
55
56
70
56
64
73
P cl (mm)
39
47
42
47
62
55
47
40
48
48
27
36
46
38
39
40
40
37
29
29
30
31
33
32
36
31
40
39
P pl (mm)
29
31 30
31
40
37
29
29
29
30
15
23
31
29
25
25
23
23
16
16
19
19
20
18
28
21
28
22
T cl (mm)
75
75
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
Jenis
52
No.
22/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
21/07/2008
18/07/2008
18/07/2008
18/07/2008
18/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
13/07/2008
Tanggal
Ambulu, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Asal daerah
1
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
13
12
11
10
9
8
7
6
4
3
2
1
19
18
17
16
No.
M
M
F
M
F
F
M
M
M
F
M
F
F
F
F
F
M
F
F
F
F
F
F
F
F
M
M
M
Sex
89
106
81
78
79
66
71
61
87
64
67
64
84
90
82
90
95
65
63
67
75
96
95
92
86
81
82
77
P (mm)
130
164
110
115
104
94
100
93
120
90
91
89
120
134
120
130
135
95
89
96
110
137
136
135
134
117
116
114
L (mm)
48
54
44
42
36
36
37
36
45
33
37
35
47
50
51
53
47
35
32
35
40
42
52
54
47
44
44
44
T (mm)
410
480
280
280
150
150
150
160
400
170
180
140
260
340
300
350
500
120
100
120
170
300
360
350
320
290
290
330
B (gram)
30
35
28
28
24
25
25
24
29
28
30
28
36
38
35
41
40
29
28
32
27
31
32
34
31
28
29
27
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
99
92
70
76
58
53
61
59
86
66
66
57
68
79
72
80
108
62
62
64
90
100
94
100
74
80
76
81
P cr (mm)
59
58
40
48
33
31
38
31
53
35
38
33
38
45
39
45
63
35
34
34
45
50
47
50
45
47
45
48
P pr (mm)
40
40
25
32
23
17
24
23
40
30
27
22
28
32
32
33
50
26
23
23
29
38
37
39
30
33
34
37
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
94
84
68
76
54
53
62
56
85
60
64
54
69
74
66
78
107
58
57
58
68
82
76
81
72
79
81
76
P cl (mm)
55
53
39
48
32
31
38
30
52
31
35
29
38
38
34
43
60
31
30
30
39
48
47
50
44
47
47
48
P pl (mm)
39
23 39
32
22
21
22
21
40
28
25
20
26
29
29
29
45
21
20
21
26
32
32
34
25
31
34
35
T cl (mm)
76
76
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
Jenis
81
No.
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
22/07/2008
Tanggal
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Ambulu, Cirebon
Asal daerah
10
9
8
6
5
4
3
24
22
21
20
19
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
No.
M
F
M
M
M
M
M
F
F
F
F
M
F
M
F
M
M
F
M
F
M
M
F
M
M
M
M
M
Sex
74
66
70
86
79
78
78
81
84
100
72
64
89
62
71
60
60
69
58
60
58
61
65
61
54
86
60
96
P (mm)
100
83
98
118
110
110
105
120
120
150
104
83
124
91
105
94
86
93
80
87
82
90
94
82
76
125
82
132
L (mm)
33
30
31
41
36
36
40
43
45
55
41
39
46
37
37
36
32
44
34
39
34
39
39
36
36
51
34
50
T (mm)
120
80
100
190
160
170
160
270
260
500
160
120
280
110
180
100
90
180
100
100
90
90
110
120
80
400
110
440
B (gram)
23
21
20
27
25
25
29
30
28
32
24
23
30
22
24
26
27
25
20
20
21
21
28
27
27
30
20
25
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
54
40
50
62
62
67
61
75
68
79
55
52
79
55
43
61
46
60
52
49
60
48
58
61
61
81
51
93
P cr (mm)
32
24
30
40
38
40
32
45
38
48
31
30
40
30
23
35
26
34
29
29
37
29
32
35
34
49
28
55
P pr (mm)
21
12
20
27
25
28
22
30
30
31
24
22
39
25
20
26
20
26
23
20
23
19
25
23
27
41
21
38
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
52
49
50
65
62
66
60
64
67
82
62
53
61
54
37
45
45
57
51
44
51
44
54
57
60
83
50
98
P cl (mm)
31
29
30
38
37
40
31
37
39
51
33
30
34
32
19
23
26
33
28
22
27
25
29
33
33
49
29
59
P pl (mm)
22
19 19
26
24
28
21
24
28
32
22
21
22
22
17
14
19
20
19
16
21
19
22
22
25
43
18
T cl (mm)
77
77
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. serrata
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
Jenis
110
No.
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
15/09/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
31/08/2008
Tanggal
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jayapura, Papua
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Jambi, SumSel
Asal daerah
13
11
10
9
8
7
5
4
1
18
17
15
13
11
10
9
7
6
5
4
3
2
1
15
14
13
12
11
No.
F
F
M
M
F
M
M
M
M
M
F
F
M
M
M
F
F
M
F
M
M
F
F
M
M
M
M
M
Sex
100
88
114
110
85
91
60
95
110
95
110
83
96
80
115
97
79
80
87
90
83
85
84
81
70
69
76
78
P (mm)
130
123
164
153
125
126
133
138
158
134
159
125
133
111
150
139
115
110
124
132
111
121
115
110
92
82
103
105
L (mm)
51
45
56
53
41
45
48
50
58
46
52
40
47
42
50
48
38
42
45
47
44
43
43
38
32
31
34
36
T (mm)
400
310
780
750
280
370
420
610
940
460
540
280
450
270
690
350
180
270
290
400
350
270
250
180
110
90
140
170
B (gram)
35
32
35
40
30
35
32
35
40
32
36
28
32
30
36
33
28
30
30
32
32
32
30
26
22
22
24
25
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
83
73
135
120
85
100
101
105
127
71
78
69
75
70
110
69
63
70
74
82
73
68
64
59
49
49
58
63
P cr (mm)
46
43
80
70
55
63
56
65
80
45
43
38
45
40
65
40
38
38
42
48
47
38
38
34
30
30
34
38
P pr (mm)
30
25
62
50
25
50
44
54
65
37
30
27
31
30
46
28
23
32
26
28
38
26
22
22
18
20
22
25
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
88
71
0
118
70
0
95
109
135
73
84
67
82
68
106
67
64
68
69
76
76
65
67
61
52
47
56
61
P cl (mm)
50
41
0
70
42
0
55
62
80
48
49
38
47
38
60
38
39
38
38
48
45
36
38
35
32
28
33
37
P pl (mm)
30
0 29
54
22
0
38
52
63
32
35
25
37
28
46
27
25
28
24
34
37
25
26
26
22
18
22
21
T cl (mm)
78
78
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
No.
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
10/11/2008
10/11/2008
10/11/2008
10/11/2008
10/11/2008
10/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
01/11/2008
Tanggal
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Babo, Papua
Asal daerah
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
4
3
2
1
8
7
6
5
4
1
21
18
17
15
14
No.
F
M
F
F
F
F
M
M
F
F
F
F
M
M
M
F
M
F
F
M
M
F
M
M
M
M
F
M
Sex
82
82
80
79
90
72
78
83
70
73
79
72
80
78
102
70
100
100
87
100
115
97
97
90
100
96
90
90
P (mm)
122
115
119
116
130
117
112
119
101
110
117
107
114
102
145
83
144
146
132
140
160
127
135
127
151
136
126
130
L (mm)
40
42
39
36
45
39
40
43
36
39
40
37
41
35
49
37
50
50
45
42
56
43
52
45
49
47
45
46
T (mm)
180
250
160
140
220
100
210
250
130
170
280
130
230
170
420
140
440
410
310
490
1020
280
650
540
640
560
310
360
B (gram)
30
30
28
28
30
26
28
30
25
26
27
27
24
35
36
27
35
35
33
35
40
32
35
34
38
35
33
33
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
72
100
67
61
80
67
86
94
66
70
70
55
83
71
106
63
113
88
75
100
140
71
114
96
122
110
70
80
P cr (mm)
43
59
38
35
48
38
50
55
38
40
43
35
53
44
64
38
65
51
45
60
85
42
70
56
70
65
40
45
P pr (mm)
31
50
26
24
32
24
42
45
25
25
27
25
37
29
49
24
50
32
27
43
70
25
55
42
50
55
25
35
T cr (mm)
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
67
92
65
69
72
61
84
88
62
64
67
52
86
78
101
60
103
85
75
88
128
65
105
110
100
93
74
73
P cl (mm)
41
55
37
40
42
36
50
55
37
38
40
30
55
48
62
37
60
50
43
55
82
40
65
65
60
50
40
45
P pl (mm)
24
24 44
28
25
22
35
38
23
26
23
21
38
33
45
21
43
34
30
40
62
24
45
50
45
45
29
29
T cl (mm)
79
79
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
No.
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
07/01/2009
07/01/2009
07/01/2009
07/01/2009
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
21/12/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
20/11/2008
Tanggal
Bintan, Riau
Bintan, Riau
Bintan, Riau
Bintan, Riau
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Asal daerah
5
4
3
1
13
12
11
10
9
8
6
5
4
3
2
1
31
30
29
28
27
26
25
23
22
21
20
19
No.
M
F
F
M
M
M
M
F
M
F
M
M
F
M
M
F
M
F
M
M
M
F
F
M
M
M
F
F
Sex
81
79
86
99
83
87
81
76
80
91
97
80
86
98
88
93
69
83
68
71
70
80
86
84
87
73
80
76
P (mm)
124
123
125
136
119
127
117
110
117
133
137
113
126
136
122
139
92
121
93
100
99
112
128
123
119
95
116
113
L (mm)
45
41
45
48
42
44
41
39
42
46
49
41
43
49
44
48
36
43
34
37
33
40
44
45
43
38
40
39
T (mm)
390
250
340
420
280
350
260
230
280
300
460
270
280
450
370
370
160
220
150
190
110
200
230
290
280
120
170
150
B (gram)
30
29
30
35
30
19
29
30
30
32
35
31
30
29
33
34
25
28
25
27
28
27
30
30
32
27
28
26
P orb (mm)
6
6
6
6
6
4
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
95
77
80
95
83
80
74
73
87
78
102
81
75
105
79
90
65
73
63
64
65
68
75
91
87
70
70
62
P cr (mm)
53
43
44
53
50
50
45
44
55
45
63
46
45
63
42
55
37
43
38
39
40
39
47
55
50
42
40
37
P pr (mm)
42
30
30
41
33
37
26
22
34
31
42
34
29
45
35
35
28
33
26
27
29
25
31
43
42
32
28
28
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
104
70
73
90
80
87
86
70
81
73
100
79
73
104
84
85
59
68
57
62
62
66
65
82
87
67
65
57
P cl (mm)
63
44
47
57
51
52
54
41
49
43
63
47
44
60
40
51
35
40
34
35
38
38
37
55
50
40
40
33
P pl (mm)
47
28 21
31
30
35
33
26
33
28
46
30
27
40
40
31
25
25
22
24
23
23
26
39
36
27
24
22
T cl (mm)
80
80
Jenis
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
No.
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
07/01/2009
Tanggal
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Bintan, Riau
Asal daerah
32
31
30
28
25
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
1
6
No.
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
F
Sex
41
48
47
51
61
64
67
49
52
62
51
51
65
51
46
66
51
45
57
50
49
49
48
43
47
68
57
86
P (mm)
59
73
65
75
80
90
93
68
71
94
71
74
90
70
76
97
71
60
82
70
72
73
72
58
65
98
80
131
L (mm)
20
29
25
26
31
34
35
24
26
34
27
27
33
27
24
36
27
23
31
21
27
27
27
21
29
38
31
45
T (mm)
30
50
50
60
100
120
120
40
70
140
70
70
120
70
60
110
70
50
100
60
70
70
70
40
50
180
100
310
B (gram)
18
20
20
22
27
29
27
20
22
26
22
23
28
22
21
29
23
20
25
22
22
22
21
20
21
28
26
32
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
40
48
45
47
63
63
67
48
43
59
48
50
67
48
44
75
54
43
57
47
50
53
48
41
43
70
57
80
P cr (mm)
25
30
28
29
39
38
42
33
24
35
28
31
38
28
28
52
34
25
36
29
31
33
30
25
25
48
33
46
P pr (mm)
16
18
16
16
25
23
27
15
18
25
16
14
26
18
16
30
19
15
29
18
19
19
18
14
15
29
15
31
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
35
46
43
53
58
60
64
41
46
60
49
51
63
42
42
72
49
41
53
45
48
49
46
38
44
67
60
80
P cl (mm)
22
29
26
32
36
37
39
23
35
38
31
31
39
23
22
45
29
24
32
27
29
30
27
23
27
41
37
48
P pl (mm)
11
14 15
20
20
20
24
19
16
21
17
17
23
15
19
28
16
13
19
16
16
16
15
12
16
27
23
32
T cl (mm)
81
81
Jenis
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
No.
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
Tanggal
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Asal daerah
61
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
40
39
38
37
36
35
34
33
No.
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
M
M
M
M
M
F
M
M
M
Sex
50
50
63
57
48
46
59
65
55
47
51
57
47
46
67
51
61
60
58
60
61
52
48
58
69
70
56
52
P (mm)
79
69
89
83
69
66
70
90
81
64
74
84
67
67
95
73
85
84
86
85
89
33
68
82
103
98
82
73
L (mm)
30
26
33
30
26
25
27
34
32
24
28
31
25
25
36
26
34
32
31
32
31
27
29
30
38
37
31
27
T (mm)
60
60
110
90
60
60
70
130
100
60
80
100
60
60
150
60
120
100
110
120
110
70
40
90
190
200
100
70
B (gram)
23
22
26
24
21
22
20
30
24
20
23
25
22
22
29
23
26
28
24
27
25
23
22
27
32
30
25
22
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
5
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
45
47
59
54
45
45
45
59
53
43
45
45
45
45
60
50
59
57
57
61
61
48
40
55
62
77
57
53
P cr (mm)
27
28
36
34
28
27
28
36
32
27
26
27
27
27
35
31
37
35
35
37
32
32
25
26
34
48
36
33
P pr (mm)
15
14
21
19
16
16
17
20
19
14
14
15
16
16
23
17
21
20
21
22
22
17
12
21
25
31
21
19
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
49
50
55
50
43
42
44
64
50
46
49
52
43
43
59
47
54
53
53
59
56
46
38
50
64
73
53
49
P cl (mm)
31
32
33
30
26
25
27
40
31
29
30
32
25
25
34
29
32
32
33
36
35
30
23
29
37
43
33
30
P pl (mm)
18
17 17
16
14
13
14
24
16
16
18
19
14
14
21
16
18
17
19
20
18
15
18
16
21
28
19
16
T cl (mm)
82
82
Jenis
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
No.
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
13/02/2009
Tanggal
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Pidi, Aceh Timur
Asal daerah
93
91
90
89
88
87
86
85
84
83
82
79
78
77
76
75
74
73
72
71
70
69
67
66
65
64
63
62
No.
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
Sex
65
46
45
53
53
61
57
55
51
50
60
46
47
53
60
61
50
46
43
51
56
56
47
41
52
41
56
51
P (mm)
90
79
66
80
72
91
83
77
75
76
86
63
63
79
84
80
72
66
59
71
78
80
66
62
73
58
63
70
L (mm)
34
26
24
28
28
34
36
30
28
26
31
24
27
30
31
29
26
19
21
28
29
30
24
22
28
21
23
24
T (mm)
140
50
50
70
60
110
90
90
70
50
90
40
50
60
80
80
50
50
40
70
90
90
50
40
80
30
40
40
B (gram)
28
20
20
22
22
25
24
24
20
20
22
21
20
23
25
24
21
20
20
22
26
24
22
19
24
19
21
24
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
7
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
68
45
44
40
50
58
55
52
43
48
52
45
42
51
58
52
47
41
37
45
55
50
43
40
46
39
40
44
P cr (mm)
43
26
28
25
30
36
35
34
26
31
32
28
26
32
37
32
30
26
22
25
34
29
26
25
27
23
23
26
P pr (mm)
28
14
16
13
18
22
20
19
15
19
20
16
14
19
21
18
19
16
12
14
19
16
15
14
15
12
13
14
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
64
47
41
40
38
53
46
50
46
45
51
41
41
50
54
50
43
37
40
47
50
53
41
39
49
41
31
46
P cl (mm)
39
29
25
24
23
31
28
31
29
29
30
23
23
31
31
32
27
23
25
28
30
32
25
24
30
25
17
30
P pl (mm)
21
14 15
13
11
17
14
16
18
19
17
13
12
16
17
17
14
13
13
16
16
19
13
13
16
14
9
18
T cl (mm)
83
83
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
279
280
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298
299
300
301
302
303
304
305
Jenis
278
No.
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
Tanggal
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Asal daerah
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
No.
M
F
M
M
F
F
F
M
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
F
M
M
M
M
M
F
M
F
M
Sex
47
53
46
46
57
65
59
45
49
50
46
51
61
61
73
63
65
63
60
65
59
56
62
59
69
53
60
63
P (mm)
79
75
64
67
79
92
82
64
69
72
64
71
89
85
104
83
94
86
84
89
67
78
85
87
101
80
82
91
L (mm)
24
27
23
24
30
32
31
23
25
26
23
25
31
31
39
28
31
32
32
32
25
28
32
30
37
27
30
30
T (mm)
40
60
30
40
70
90
90
40
40
40
40
60
90
90
180
90
90
100
90
100
60
80
120
90
150
70
100
80
B (gram)
21
23
20
21
25
25
25
19
20
23
22
24
25
27
31
26
28
28
26
26
22
25
26
25
29
24
26
26
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
45
50
43
44
53
63
52
43
46
46
46
47
58
57
74
59
66
62
53
60
44
56
67
54
61
52
54
54
P cr (mm)
28
30
25
27
33
42
32
28
30
28
30
29
37
36
47
38
42
38
27
39
24
34
45
34
38
31
31
34
P pr (mm)
15
17
15
15
17
23
18
13
15
19
15
15
20
21
27
22
24
22
18
24
16
22
26
17
22
19
18
20
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
43
46
42
43
53
55
50
44
43
43
43
51
52
55
70
58
62
58
50
58
43
52
64
56
61
46
58
59
P cl (mm)
26
28
25
26
33
34
30
25
26
26
27
31
33
35
43
36
39
36
30
36
26
32
41
35
38
27
37
39
P pl (mm)
13
18 15
13
17
19
15
14
13
13
13
19
18
18
29
19
21
19
16
20
13
18
24
20
19
15
20
22
T cl (mm)
84
84
Jenis
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
No.
306
307
308
309
310
311
312
313
314
315
316
317
318
319
320
321
322
323
324
325
326
327
328
329
330
331
332
333
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
Tanggal
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Asal daerah
59
58
57
56
55
54
53
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
38
37
36
35
34
33
32
31
30
No.
M
M
M
F
M
F
F
M
F
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
M
F
M
F
M
M
M
M
Sex
81
60
86
62
58
51
48
53
53
50
80
48
64
50
59
50
50
52
44
53
59
68
46
87
60
59
70
47
P (mm)
118
84
105
95
84
72
70
75
73
68
104
67
88
70
81
72
70
74
65
78
72
95
66
81
80
85
100
62
L (mm)
41
29
38
30
27
26
25
27
26
25
32
24
33
26
30
21
25
26
21
27
24
35
24
29
30
31
37
24
T (mm)
180
70
160
90
60
50
50
70
50
50
110
40
100
40
90
50
50
50
30
60
50
120
40
80
80
90
140
40
B (gram)
31
26
32
27
24
23
22
24
22
23
31
22
28
22
24
24
22
23
20
23
22
29
21
24
25
25
29
21
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
75
59
77
57
53
48
44
51
46
47
83
45
57
48
50
48
49
51
45
49
47
62
40
53
56
53
66
42
P cr (mm)
45
37
47
36
33
29
26
32
29
29
53
27
33
28
30
31
31
32
28
30
30
41
25
36
34
33
41
25
P pr (mm)
27
21
30
21
18
18
13
18
17
15
35
17
23
19
16
18
17
18
15
17
16
22
13
16
20
18
21
12
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
70
53
71
54
55
46
45
47
45
42
76
44
59
48
51
46
45
47
42
48
45
62
39
52
55
47
68
43
P cl (mm)
44
33
41
28
34
27
28
28
28
26
48
25
33
28
31
30
28
34
26
30
28
38
24
31
33
26
41
27
P pl (mm)
26
25 18
19
21
15
15
15
19
14
31
14
20
16
18
15
16
16
13
16
13
20
12
19
17
16
26
15
T cl (mm)
85
85
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
No.
334
335
336
337
338
339
340
341
342
343
344
345
346
347
348
349
350
351
352
353
354
355
356
357
358
359
360
361
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
02/03/2009
Tanggal
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Maros, Sulawesi
Asal daerah
26
25
24
23
21
20
19
18
17
15
14
13
12
11
10
9
7
6
5
4
3
2
1
64
63
62
61
60
No.
F
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
M
F
M
M
M
M
M
M
M
F
Sex
67
65
47
49
75
60
74
53
45
66
50
43
42
73
62
68
43
65
65
69
67
70
67
56
70
60
48
61
P (mm)
97
94
69
71
103
88
108
75
67
91
70
63
65
105
98
93
66
92
87
97
93
95
96
80
97
68
75
88
L (mm)
35
34
22
24
36
32
39
25
22
34
24
20
20
37
32
37
21
32
33
35
35
35
36
29
36
30
25
29
T (mm)
130
140
60
50
130
120
210
70
50
160
60
40
40
160
130
160
40
140
130
140
190
190
170
60
140
90
40
70
B (gram)
28
27
19
19
31
26
31
23
19
29
20
19
18
31
27
29
19
28
25
29
29
30
29
24
28
25
25
27
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
66
67
45
46
82
60
66
40
43
60
47
41
38
63
55
67
40
65
61
60
76
78
70
53
76
63
47
58
P cr (mm)
39
44
28
29
52
38
36
17
24
35
29
26
23
36
31
42
25
39
35
34
51
47
42
32
46
38
28
36
P pr (mm)
21
25
15
14
31
25
26
18
15
21
18
14
13
21
19
24
18
24
22
20
33
34
27
20
32
24
14
21
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
59
63
45
45
77
57
60
50
42
67
45
38
36
58
57
64
26
60
57
56
69
73
67
52
72
57
49
55
P cl (mm)
34
38
28
28
47
35
33
31
25
42
28
23
22
34
31
39
12
36
34
34
42
45
40
31
44
36
30
35
P pl (mm)
18
17 21
15
28
20
20
14 18
24
15
13
12
18
23
21
11
20
20
18
26
28
22
16
27
19
16
18
T cl (mm)
86
86
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
363
364
365
366
367
368
369
370
371
372
373
374
375
376
377
378
379
380
381
382
383
384
385
386
387
388
389
Jenis
362
No.
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
Tanggal
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Asal daerah
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
45
44
43
42
41
40
39
38
37
35
34
33
32
31
30
29
28
No.
F
M
M
M
F
F
M
F
M
F
F
F
F
M
M
F
F
F
M
M
M
F
M
M
M
M
M
M
Sex
59
67
55
41
57
68
42
67
63
72
60
61
68
34
71
72
74
61
62
66
68
60
63
68
52
52
73
64
P (mm)
83
84
78
62
82
91
63
95
98
105
83
84
94
67
99
102
103
88
98
92
92
90
90
95
76
70
100
86
L (mm)
30
29
28
21
31
35
20
34
32
36
29
30
35
35
36
37
38
32
34
36
35
32
33
34
25
26
37
32
T (mm)
100
80
80
40
110
140
40
140
130
170
100
120
130
90
190
160
170
120
130
150
150
120
150
150
60
70
170
120
B (gram)
25
22
23
19
26
30
18
29
27
30
26
26
30
27
28
29
30
28
27
29
28
25
28
27
22
22
30
26
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
54
56
53
38
52
61
38
60
61
62
54
55
59
63
75
65
61
53
60
62
65
59
65
69
51
49
69
60
P cr (mm)
32
36
33
23
32
38
23
35
40
36
32
35
34
38
46
38
35
30
37
36
39
34
40
41
31
30
40
38
P pr (mm)
19
20
21
15
17
21
14
23
24
20
18
22
19
22
30
24
20
20
23
22
24
23
23
26
19
16
28
23
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
53
51
48
37
58
58
39
56
58
63
53
52
58
63
72
60
63
51
59
56
64
55
64
65
47
47
57
58
P cl (mm)
31
30
30
23
34
35
24
33
35
35
31
31
33
39
42
35
36
30
37
30
39
34
38
38
28
28
31
36
P pl (mm)
17
16 17
13
21
19
14
18
20
22
16
17
20
25
26
19
22
17
20
26
21
19
27
21
16
14
24
20
T cl (mm)
87
87
Jenis
S. oceanica
S. serrata
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
No.
390
391
392
393
394
395
396
397
398
399
400
401
402
403
404
405
406
407
408
409
410
411
412
413
414
415
416
417
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
04/03/2009
Tanggal
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Bone, Sulsel
Asal daerah
4
3
2
1
81
80
79
78
77
76
75
74
73
72
71
70
69
68
67
66
65
64
63
62
61
60
59
58
No.
F
F
F
F
M
M
M
M
F
M
F
M
F
F
M
F
M
M
F
F
F
F
F
F
F
F
F
M
Sex
81
90
94
84
60
77
71
65
67
72
70
70
61
75
72
61
45
46
73
72
60
55
65
70
70
75
77
45
P (mm)
122
134
144
124
82
92
97
94
92
94
94
97
86
140
96
85
62
71
102
103
88
76
94
100
100
110
105
64
L (mm)
41
46
48
43
31
35
34
34
34
35
36
35
30
37
36
32
23
24
38
37
32
28
33
36
35
39
37
23
T (mm)
150
330
420
260
110
160
140
140
120
170
160
160
110
170
190
150
50
50
160
150
100
80
130
130
150
180
170
50
B (gram)
33
37
34
36
27
27
30
29
27
30
28
28
26
32
30
25
20
21
21
30
25
24
30
29
29
32
31
20
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
77
84
87
78
52
61
61
63
58
69
65
65
55
69
71
54
40
41
60
64
55
49
58
62
65
66
60
38
P cr (mm)
46
50
55
47
30
37
37
38
35
42
40
36
32
41
41
32
25
25
35
37
32
28
32
36
37
40
38
23
P pr (mm)
25
31
28
26
21
25
21
25
18
26
22
26
19
22
31
21
14
13
20
23
21
17
20
21
24
21
21
12
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
73
79
92
77
54
59
60
63
58
71
61
66
52
57
65
51
39
46
59
62
51
48
56
60
55
65
60
37
P cl (mm)
44
48
56
48
32
36
34
39
33
42
36
39
31
28
39
29
23
28
33
36
29
28
32
35
30
40
34
21
P pl (mm)
33
33 26
28
18
21
18
22
20
30
20
24
18
23
25
18
12
16
21
20
17
16
18
19
18
23
20
14
T cl (mm)
88
88
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
No.
418
419
420
421
422
423
424
425
426
427
428
429
430
431
432
433
434
435
436
437
438
439
440
441
442
443
444
445
12/03/2009
12/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
05/03/2009
Tanggal
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Kalbar
Asal daerah
2
1
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
No.
F
F
M
F
M
M
M
F
F
M
F
F
M
F
F
M
F
M
M
M
M
M
M
M
M
F
F
F
Sex
70
68
81
87
74
90
92
94
90
86
80
88
84
94
99
80
87
85
95
92
81
81
81
81
87
91
91
92
P (mm)
97
99
116
130
111
132
135
137
135
124
121
132
122
135
144
116
129
124
139
134
116
116
121
116
127
135
133
137
L (mm)
36
37
41
45
39
45
48
47
46
44
41
46
45
50
54
40
45
43
48
47
42
41
41
41
47
45
47
47
T (mm)
140
140
120
290
240
300
420
390
310
320
240
300
360
360
440
260
310
340
440
360
260
270
270
260
430
320
340
360
B (gram)
31
30
35
35
33
38
40
39
38
37
32
38
36
37
39
34
34
35
38
37
36
35
34
35
37
36
36
36
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
64
63
80
76
92
95
99
82
81
77
75
81
106
86
88
83
81
102
105
92
82
89
82
86
113
76
83
84
P cr (mm)
37
39
47
47
56
59
58
47
50
48
45
48
65
52
53
49
49
62
64
56
51
53
50
55
70
46
51
52
P pr (mm)
21
22
31
26
37
39
40
30
31
26
25
32
41
31
36
30
30
42
37
38
33
34
27
34
48
27
30
33
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
66
62
75
80
84
86
91
86
76
90
70
75
92
73
82
77
76
96
98
88
75
82
83
77
98
82
78
78
P cl (mm)
39
37
45
45
50
51
54
48
45
55
42
45
55
41
51
46
47
58
60
54
45
48
50
45
59
49
47
48
P pl (mm)
24
29 19
29
32
35
35
31
28
38
23
27
37
28
32
27
25
40
35
33
31
31
30
29
43
31
26
29
T cl (mm)
89
89
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
No.
446
447
448
449
450
451
452
453
454
455
456
457
458
459
460
461
462
463
464
465
466
467
468
469
470
471
472
473
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
Tanggal
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Asal daerah
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
14
13
12
11
9
7
5
4
3
No.
F
F
F
F
F
F
M
M
F
M
F
F
F
M
F
F
M
M
M
M
F
F
F
M
M
F
M
F
Sex
66
73
76
74
73
66
97
72
77
57
66
68
72
70
67
71
64
70
70
68
68
66
71
68
68
68
66
66
P (mm)
99
103
99
104
102
96
150
105
112
80
90
103
102
103
101
99
91
96
103
97
98
95
101
98
95
101
93
98
L (mm)
35
39
34
35
37
35
35
37
37
30
33
31
37
37
34
35
33
32
34
35
35
35
41
34
33
36
34
34
T (mm)
110
140
140
140
150
120
160
180
140
80
110
110
160
160
120
130
110
100
140
160
120
110
160
130
100
120
150
130
B (gram)
29
31
28
31
31
29
34
30
32
26
29
32
31
32
29
31
30
29
30
32
29
29
31
30
31
31
31
30
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
62
64
61
67
68
60
65
83
67
53
59
51
64
70
65
55
63
66
74
80
62
63
65
71
56
66
73
60
P cr (mm)
38
37
36
38
43
35
40
51
39
35
35
32
39
41
38
32
38
38
44
48
35
38
40
43
34
39
45
35
P pr (mm)
21
23
22
21
24
21
22
36
25
18
17
16
23
26
23
16
22
23
29
35
19
23
24
26
21
23
27
21
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
58
61
59
62
65
59
66
75
64
50
61
57
63
69
62
63
68
60
68
73
58
59
62
65
69
61
76
63
P cl (mm)
34
35
35
33
37
35
39
46
40
30
35
35
37
41
37
38
42
34
41
44
33
35
37
39
40
36
46
37
P pl (mm)
19
19 20
22
19
28
25
30
21
16
20
21
20
22
21
22
26
19
25
30
17
18
20
24
25
20
31
23
T cl (mm)
90
90
Jenis
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
No.
474
475
476
477
478
479
480
481
482
483
484
485
486
487
488
489
490
491
492
493
494
495
496
497
498
499
500
501
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
Tanggal
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Asal daerah
62
61
60
59
58
57
56
55
54
53
52
51
50
49
48
47
46
45
44
43
42
41
40
39
38
37
36
35
No.
F
M
F
M
F
F
F
M
F
F
F
M
F
F
M
M
F
F
F
M
M
F
F
F
F
F
M
F
Sex
65
68
68
70
71
72
68
68
67
68
73
71
69
71
63
68
64
76
70
70
72
73
75
72
69
73
59
63
P (mm)
98
98
100
100
108
101
105
102
96
96
108
103
101
101
94
100
93
104
103
101
106
109
115
103
102
104
83
90
L (mm)
34
34
35
35
36
37
36
34
35
35
38
37
36
37
32
34
28
39
36
35
37
31
37
37
35
38
30
32
T (mm)
140
130
120
130
140
120
120
100
120
110
150
150
140
140
90
110
100
150
120
100
160
120
130
150
150
170
80
90
B (gram)
30
31
29
30
32
31
30
29
29
31
31
31
29
31
28
29
28
32
31
30
30
31
32
31
28
31
26
27
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
7
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
63
67
66
72
64
54
61
66
63
58
73
72
60
64
68
69
58
65
68
69
69
65
67
56
65
68
56
57
P cr (mm)
37
38
39
43
39
29
36
41
38
34
44
43
35
38
43
41
33
38
40
43
42
39
40
33
39
41
33
35
P pr (mm)
22
25
24
26
21
23
23
23
23
19
25
28
21
21
26
26
21
23
25
26
25
21
22
17
23
25
19
19
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
59
55
63
67
69
61
59
60
57
56
69
67
57
61
68
67
57
63
62
65
66
66
63
67
61
63
54
55
P cl (mm)
35
29
37
40
40
35
35
35
33
33
41
41
32
35
43
41
34
37
37
39
41
40
37
40
36
38
31
32
P pl (mm)
18
21 22
22
25
19
20
21
19
18
22
24
18
20
27
23
19
22
20
23
22
23
21
22
20
19
16
17
T cl (mm)
91
91
Jenis
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. serrata
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. serrata
S. serrata
S. tranquebarica
No.
502
503
504
505
506
507
508
509
510
511
512
513
514
515
516
517
518
519
520
521
522
523
524
525
526
527
528
529
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
Tanggal
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Samarinda, KalTim
Asal daerah
21
19
16
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
74
73
72
71
69
68
67
66
65
64
63
No.
F
M
F
M
M
F
M
M
F
M
F
?
M
M
M
F
M
M
F
F
F
F
F
M
F
F
F
M
Sex
81
68
87
69
91
71
90
70
69
69
86
63
70
72
72
62
104
62
69
74
73
75
63
65
71
70
72
67
P (mm)
120
95
129
96
134
104
125
98
98
94
109
95
99
104
97
87
150
90
102
104
102
106
94
93
109
108
103
97
L (mm)
44
36
45
36
45
41
48
41
35
36
38
31
36
38
38
33
52
31
37
38
38
38
32
33
36
35
37
35
T (mm)
260
180
240
190
320
160
360
220
110
150
160
110
120
240
210
110
740
100
160
120
110
160
110
90
130
120
130
130
B (gram)
34
29
36
34
36
30
35
29
28
30
25
27
31
32
31
28
42
27
31
31
30
31
26
28
30
31
31
29
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
74
63
80
74
100
67
100
80
60
65
61
59
67
72
74
58
126
65
66
62
64
70
55
60
68
62
63
67
P cr (mm)
43
37
45
45
59
43
63
47
35
41
36
34
40
46
44
35
78
39
40
35
37
42
34
35
40
36
35
40
P pr (mm)
27
26
27
32
39
27
43
33
22
28
17
21
26
28
30
21
53
25
21
20
21
23
19
20
24
21
22
23
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
74
71
80
70
94
62
98
76
58
63
65
55
66
80
70
54
125
59
63
64
64
63
55
47
59
55
62
69
P cl (mm)
44
46
48
45
59
36
60
40
33
39
38
33
40
49
43
31
78
35
36
37
37
36
33
27
34
33
37
42
P pl (mm)
24
29 30
27
35
22
39
28
20
24
21
19
23
33
23
17
50
20
19
21
22
19
17
19
20
18
19
26
T cl (mm)
92
92
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. serrata
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. serrata
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
No.
530
531
532
533
534
535
536
537
538
539
540
541
542
543
544
545
546
547
548
549
550
551
552
553
554
555
556
557
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
12/03/2009
Tanggal
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Mataram, NTB
Asal daerah
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
37
36
35
34
33
32
31
29
28
26
25
24
23
22
No.
M
M
M
M
F
M
M
M
F
M
M
M
M
F
F
F
F
F
F
F
M
F
F
F
F
M
M
F
Sex
95
93
110
92
91
90
94
105
97
107
107
101
86
102
76
74
84
70
84
86
70
71
73
77
81
64
70
86
P (mm)
140
136
157
134
137
131
133
146
145
154
146
143
125
152
97
118
119
99
126
108
100
100
103
113
116
90
97
131
L (mm)
48
48
53
46
48
45
46
53
50
54
53
53
43
52
35
39
44
37
42
39
34
38
38
40
42
34
34
45
T (mm)
450
470
830
420
390
420
430
800
430
870
730
660
300
430
130
180
250
140
310
170
150
170
170
160
170
130
140
270
B (gram)
43
43
50
44
39
40
41
45
44
46
46
46
40
46
27
31
35
29
33
30
30
29
29
32
34
27
27
36
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
79
106
123
94
85
88
92
123
87
80
105
127
85
84
58
65
73
60
80
67
64
63
60
67
68
59
65
82
P cr (mm)
47
62
71
53
49
50
52
72
50
138
60
72
50
52
33
37
44
35
49
37
39
39
34
42
39
36
41
52
P pr (mm)
34
45
57
35
31
29
39
54
34
63
49
56
32
32
20
20
28
23
31
24
22
24
19
26
26
23
25
29
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
82
92
131
96
81
90
87
127
84
126
116
120
73
89
56
65
71
58
78
65
69
61
64
67
67
58
60
80
P cl (mm)
55
60
82
58
50
59
56
78
49
77
73
72
40
55
34
38
41
33
48
38
43
37
38
39
39
34
40
47
P pl (mm)
38 36
60
37
29
39
35
62
29
55
51
50
26
35
17
24
25
20
28
21
23
20
22
22
23
21
21
32
T cl (mm)
93
93
Jenis
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. serrata
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
No.
558
559
560
561
562
563
564
565
566
567
568
569
570
571
572
573
574
575
576
577
578
579
580
581
582
583
584
585
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
15/05/2009
Tanggal
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Bintuni, Papua
Asal daerah
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
23
22
21
20
19
18
17
16
15
No.
M
F
F
F
M
F
F
F
M
F
F
M
M
F
F
M
M
F
M
M
M
M
F
M
F
M
M
M
Sex
71
71
94
100
88
93
90
88
86
74
64
76
80
79
84
80
96
87
99
94
89
85
95
109
93
84
97
93
P (mm)
101
101
138
142
125
130
132
129
123
111
90
110
114
118
125
115
134
129
138
132
130
128
140
153
136
120
135
139
L (mm)
37
38
50
52
45
49
48
46
44
40
33
42
40
42
45
41
51
45
53
46
44
40
51
52
49
42
50
45
T (mm)
180
170
350
400
340
310
330
280
350
190
120
250
260
210
240
250
540
270
600
450
385
280
360
810
370
290
470
420
B (gram)
30
28
37
38
35
35
36
35
34
31
26
32
32
30
33
31
39
34
40
42
38
38
43
50
41
40
45
43
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
10
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
10
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
72
59
80
82
86
68
70
67
89
62
58
80
71
69
50
71
105
70
115
100
92
83
73
133
82
81
86
89
P cr (mm)
42
32
46
47
49
40
43
38
55
37
34
47
47
40
27
46
62
41
65
60
54
45
40
80
48
42
47
55
P pr (mm)
29
23
32
34
36
26
31
24
38
23
23
33
29
27
19
31
44
27
45
41
33
31
25
62
32
35
37
39
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
8
9
9
8
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
70
60
77
79
89
71
75
67
86
60
52
78
71
63
68
80
105
65
106
96
80
82
83
122
74
80
80
83
P cl (mm)
43
38
46
48
55
44
45
40
53
37
32
47
46
40
42
45
61
41
68
61
49
47
50
82
46
49
50
53
P pl (mm)
27
28 21
29
34
30
27
27
34
20
18
30
26
23
27
27
42
24
45
37
28
30
30
56
28
30
30
35
T cl (mm)
94
94
Jenis
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. oceanica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
No.
586
587
588
589
590
591
592
593
594
595
596
597
598
599
600
601
602
603
604
605
606
607
608
609
610
611
612
613
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
Tanggal
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Blanakan, Subang
Asal daerah
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
No.
F
M
M
F
F
M
M
M
M
M
M
M
F
F
F
M
F
F
F
F
M
F
M
M
F
M
M
M
Sex
72
84
69
84
91
83
97
79
66
73
90
89
81
72
90
83
89
95
92
88
69
66
62
61
76
75
81
71
P (mm)
103
118
95
121
132
116
134
111
91
105
125
123
122
106
131
115
135
140
132
130
20
97
92
86
111
105
114
100
L (mm)
38
45
36
46
48
43
52
41
36
43
46
51
42
37
48
41
48
50
48
47
48
35
33
32
42
40
42
37
T (mm)
190
360
190
340
370
350
670
250
110
220
430
420
270
190
360
340
400
380
340
280
50
130
110
100
180
210
250
200
B (gram)
28
31
28
33
35
32
39
31
27
30
31
38
33
31
38
36
37
37
36
36
25
27
26
26
31
31
33
28
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
60
87
61
73
74
86
103
79
60
63
91
98
66
55
77
95
77
80
73
66
43
57
59
54
66
79
90
75
P cr (mm)
35
51
37
42
43
50
60
48
37
38
53
57
38
31
44
55
45
49
44
37
26
33
35
31
40
44
53
44
P pr (mm)
21
42
24
32
32
38
49
31
25
26
38
45
27
24
26
36
34
33
30
24
16
20
21
19
25
31
38
36
T cr (mm)
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCL
63
88
61
62
73
82
99
81
49
61
93
93
66
61
70
85
75
78
79
69
43
56
57
54
65
72
82
74
P cl (mm)
40
56
38
40
45
50
63
51
31
39
58
61
41
39
46
56
49
48
47
42
27
35
35
33
39
43
49
47
P pl (mm)
23
21 36
23
29
34
44
33
18
23
39
38
22
22
28
35
26
28
27
28
14
19
22
20
21
27
32
28
T cl (mm)
95
95
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. oceanica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
S. tranquebarica
614
615
616
617
618
619
620
621
622
623
624
625
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
30/05/2009
Tanggal
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Gebang, Cirebon
Asal daerah
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
No.
M
F
F
M
F
M
F
M
M
M
F
F
Sex
84
83
87
88
69
65
64
85
71
69
80
81
118
122
130
127
100
91
90
120
98
100
117
118
L (mm)
1.
Selang kelas (mm) 34-44 45-55 56-66 67-77 78-88 89-99 100-110
45
44
47
46
37
33
34
46
38
36
43
43
T (mm)
370
330
370
380
100
120
120
360
220
200
260
290
B (gram)
32
32
33
35
27
26
25
34
30
27
31
30
P orb (mm)
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
∑ SO
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
∑ SCR
92
71
68
80
56
51
57
71
67
63
71
65
P cr (mm)
57
42
40
43
33
28
35
42
42
40
43
39
37
27
27
40
15
18
23
26
27
24
28
22
T cr (mm)
9
9
9
10
9
9
9
7
9
9
9
9
∑ SCL
Teluk Bintuni 0 0 0 0 0 2 2
P pr (mm)
Nilai Frekuensi (ekor) tengah (mm) Pidi Jambi Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Jayapura 39 1 0 0 0 0 0 0 0 0 50 2 0 8 1 0 1 0 0 0 61 6 0 10 2 6 11 1 0 0 72 2 4 10 8 5 3 7 1 0 83 0 5 7 7 6 4 1 1 6 94 0 0 1 2 6 3 1 0 0 105 0 0 0 0 1 1 0 0 0
Scylla serrata
Lampiran 6. Distribusi frekuensi panjang karapas tiap spesies.
Jenis
No.
P (mm)
55
40
41
51
35
33
34
57
43
39
43
42
P pl (mm)
34
25
25
33
20
32
19
41
28
23
23
26
T cl (mm)
Maros Bone 0 1 12 3 8 20 4 31 1 0 0 0 0 0
85
64
66
80
56
62
55
90
70
61
67
66
P cl (mm)
96
96
3.
2.
Selang kelas (mm) 41-53 54-66 67-79 80-92 93-105 106-118
0 0 0 0 1 0
Kalimantan Barat 0 8 21 0 0 0
1 2 2 0 0 0
7 4 1 0 0 0
Kalimantan Barat 0 0 1 24 4 0
0 0 0 1 3 2
Teluk Bintuni
Teluk Bintuni 0 1 1 20 18 5
0 0 0 1 0 0
Samarinda Bone Maros Jayapura
Frekuensi (ekor)
Nilai Frekuensi (ekor) tengah (mm) Pidi Bintan Jambi Blanakan Gebang Mataram Bone Maros Jayapura 47 6 0 0 0 0 0 12 6 0 60 2 0 1 3 2 0 2 11 0 73 0 1 1 0 2 3 1 0 1 86 0 3 1 4 2 3 0 3 1 99 0 1 0 1 0 0 0 0 3 112 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Scylla oceanica
Nilai tengah Blanakan Gebang Mataram (mm) 47 0 0 0 60 1 1 1 73 9 6 7 86 7 16 5 99 4 1 1 112 0 0 0
Scylla tranquebarica
Selang kelas (mm) 41-53 54-66 67-79 80-92 93-105 106-118
Samarinda 0 8 45 11 3 0
39 22 3 0 0 0
Pidi
97
97