KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI PERAIRAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG
TESIS
Oleh ROSMANIAR
067030020/BIO
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI PERAIRAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh ROSMANIAR 067030020/BIO
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI PERAIRAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG : Rosmaniar : 067030020 : Biologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, MSc)
Ketua
Ketua Program Studi
(Dr. Dwi Suryanto, M.S)
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)
Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal lupus : 17 September 2008 Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 17 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc
Anggota
: 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS 2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D 3. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Penelitian mengenai Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang telah dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2008. Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan dan setiap stasiun dilakukan 30 kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan bubu dan indentifikasi dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian didapatkan kepiting bakau sebanyak 2 spesies yakni Scylla oceanica dan Scylla serrata yang berasal dari 1 genus. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada spesies Scylla serrata sebesar 4,70 ind/m2 (stasiun III) dan terendah sebesar 2,32 ind/m2 (stasiun II). Nilai indeks keanekaragaman kepiting bakau berkisar antara 0,52 – 0,61 dan keseragaman (ekuitabilitas) (E) berkisar 0,74 – 0,88. Indeks distribusi Scylla oceanica berkelompok dan Scylla serrata berkelompok. Hasil analisis korelasi dengan uji Pearson, antara kepadatan kepiting bakau dengan faktor fisik kimia, orthofosfat, koefisien korelasi searah sangat nyata (+) 1,000**. Sedangkan salinitas berkorelasi berlawanan (-) 0, 995. Dengan mengacu kepada baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan dengan Surat Keputusan No. 51 Tahun 2004 didapatkan bahwa hasil pengukuran parameter faktor fisika kimia air ini masih berada dalam ambang batas ditolerir dan layak untuk kehidupan kepiting mangrove. Kata kunci: Kepiting bakau, Faktor fisik kimia, Ekosistim pantai.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
The research of “The Density and Distribution of Mangrove Crab’s (Scylla spp) and its correlation to chemical and physic water factors in Pantai Labu Estuary, Deli Serdang District, Pantai Labu Sub district was done on January until March 2008. The sample was taken in three ways research system, each system is holding in 30 times. The taking sample system decided by using Purposive Random Sampling. Sampling was taken by using Crab’s net 30’s and identified in laboratory of Natural and Environmental Resources Management Mathematic and Natural Science Faculty of North Sumatra University. The result showed by getting two species of mangrove crab found. Those species are: Scylla oceanica and Scylla serrata comes from one gent. Scylla serrata had the highest density in 4,70 ind/m2 and getting in third way system while the lowest density in 2,32 ind/m2 getting in second way system. The diversity index prints of mangrove crabs between 0,52 – 0,61 and equitabilities (E) is between 0,74-0,88. The final result of correlation analysis of Pearson test between density of Scylla seratta and chemical factor. The comrades of correlation of orthofosfat coefficient is clear (+) 1,000**, while salinity of contrast correlation (-) 0,995. Dealing to basic quality of water the sea which decided by the minister of environment in decree No. 51/2000. In this statement get the result of parameter measurement of the chemical and physic water factor is still tolerant rate and appropriate for the life of mangrove crabs. Key word: Mangrove Crab, Chemical and physic water factor, Ecosystem shore
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang, atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik dan Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, dan Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan hasil penelitian ini: Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan dan Dosen Penguji. 2. Prof. Dr. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D sebagai Dosen Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan hasil penelitian ini. 3. Seluruh Dosen dan Pengajar di Sekolah Pascasarjana Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
4. Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Bappeda Sumatera Utara Medan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 5. Suami Jonatas Marpaung yang tercinta, dan anak-anak tersayang David Junior, Bronson, Puji Aprilia dan Tommy Clinton. 6. Ayahanda Lettu Pol (Purn) MB. Siallagan dan Ibunda E. Br Hutapea dan abang Salmon Marpaung SH, Dr. Bolovian Siallagan yang mewakili semua abang dan adik Ipda Pol Agusman Siallagan, Pince Marpaung. 7. Bapak Drs. H. Paimin, Kepala SMA Negeri 19 Medan dan semua guru keluarga besar SMA Negeri 19 Medan yang telah memberikan dorongan kepada penulis. 8. Teman-teman dalam tim penelitian dan adik-adik mahasiswa S1 Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi kasih-Nya dalam kita mengejar ilmu dan semoga hasil ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih
Medan, Juli 2008 Penulis
Rosmaniar 067030020
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Padang Sidimpuan, Sumatera Utara pada tanggal 12 Februari 1961. Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut: 1. Sekolah Dasar (SD) Negeri Bangun Bandar Dolok Masihul Kabupaten Deli Serdang dari tahun 1967-1973. 2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang dari tahun 1973-1976. 3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, dari tahun 1976-1980. 4. Tingkat Sarjana (S1) Jurusan Biologi IKIP Negeri Medan, dari tahun 1980-1984 (Memperoleh gelar Dra). 5. Tahun 2006 mendapat kesempatan belajar pada Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Biologi, dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan. Riwayat pekerjaan adalah sebagai berikut: 1. Dari Tahun 1985-1987 sebagai pengajar di SMP dan SMA Swasta Mariana Medan. 2. Dari tahun 1988-1990 sebagai CPNS/PNS guru pada SMA Negeri Indrapura, Kabupaten Asahan. 3. Dari tahun 1990-2004 sebagai guru PNS pada SMA Negeri 9 Medan. 4. Dari tahun 2004 sampai sekarang sebagai PNS guru SMA Negeri 19 Medan.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ................................................................................................
i
ABSTRACT..............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP...................................................................................
v
DAFTAR ISI.............................................................................................
vi
DAFTAR TABEL.....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
x
I
: PENDAHULUAN..................................................................
1
1.1
Latar Belakang ..............................................................
1
1.2
Permasalahan ................................................................
4
1.3
Tujuan Penelitian ..........................................................
4
1.4
Manfaat ........................................................................
5
II : TINJAUAN PUSTAKA.........................................................
6
2.1
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp)
6
2.1.1
Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla spp) ...........
6
2.1.2 Ciri-ciri Morfologi Kepiting Bakau ..................
7
2.1.3 Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp) ....................
8
2.1.4 Perbedaan Morfologi Jantan dan Betina Kepiting Bakau (Scylla spp) .............................
10
2.2
Habitat dan Perkembangannya Kepiting Bakau ...........
11
2.3
Siklus Hidup Kepiting Bakau .......................................
12
2.4
Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp).........................
13
2.5
Makanan dan Kebiasaan Makan ...................................
14
2.6
Ekologi Wilayah Pesisir................................................
15
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
2.7
Parameter Fisik, Kimia Air dan Substrat terhadap Perkembangan Kepiting Bakau.....................................
16
III : DESKRIPSI AREA ................................................................
24
3.1
Deskripsi Area...............................................................
24
3.2
Deskripsi Stasiun Pengamatan ......................................
24
IV : BAHAN DAN METODE ......................................................
26
4.1
Tempat dan Waktu Penelitian .......................................
26
4.2
Metode Penelitian .........................................................
26
4.3
Pengambilan Sampel.....................................................
26
4.4
Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan dan Substrat..........................................................................
27
Analisis Data .................................................................
31
V : HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................
35
4.5
5.1
Analisa Faktor Fisik Kimia Perairan.............................
35
5.2
Jenis-Jenis Kepiting Hasil Penelitian............................
45
5.3
Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran FK (%) .............
48
5.4. Nilai Kepadatan Relatif (KR%) dan Frekuensi Kehadiran (FK%) ..........................................................
50
5.5
Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman ............
52
5.6
Indeks Similaritas..........................................................
53
5.7
Nilai Distribusi Morista ................................................
54
5.8 Analisis Korelasi antara Beberapa Parameter Abiotik Perairan terhadap Indeks Kepadatan Kepiting Bakau...
55
VI : KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................
58
6.1
Kesimpulan ...................................................................
58
6.2
Saran .............................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
60
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
2.1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) .................................
10
4.1. Satuan dan Tempat Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan .............................................................................
31
5.1. Faktor Fisik Kimia Perairan, Rata-rata, Nilai yang Diperoleh pada Setiap Sasiun Penelitian di Perairan Muara Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.........................................................
35
5.2. Klasifikasi Kepiting Bakau Hasil Penelitian ..........................
45
5.3. Hasil Penangkapan Kepiting Bakau........................................
47
5.4. Nilai Kepadatan Populasi (KP ind/m2), Kepadatan Relatif (KR%) dan Frekuensi Kehadiran (FK%) di Setiap Stasiun Pengamatan Penelitian ...........................................................
48
5.5. Nilai KR dan FK dan Nilai Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang Terdapat pada Masing-masing Stasiun Penelitian .............................................................................
51
5.6. Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’) pada Setiap Pengamatan Penelitian ................................................
52
5.7. Indeks Similaritas (IS) Antar Stasiun Penelitian....................
54
5.8. Nilai Indeks Distribusi Morista pada Seluruh Pengamatan pada Ketiga Stasiun Penelitian ...............................................
54
5.9. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Kepadatan Populasi Kepiting Bakau dengan Faktor-faktor Lingkungan................
55
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
2.1.
Morfologi Kepiting Bakau (Dilihat dari Dorsal) .............
7
2.2.
Morfologi Kepiting Bakau (Dilihar dari Ventral)............
8
2.3.
Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp)....................................
9
2.4.
Perbedaan Kepiting Jantan dan Kepiting Betina..............
11
2.5.
Siklus Hidup Kepiting Bakau...........................................
12
5.1.
Scylla Oceanica................................................................
46
5.2.
Scylla serrata ...................................................................
46
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
A.
Peta Lokasi Penelitian ..................................................................
65
B.
Badan Kerja Metode Winker untuk Pengukuran DO...................
66
C.
Bagan Kerja Metode untuk Pengukuruan BOD5 ..........................
67
D.
Prosedur Analisa Sampel Air .......................................................
68
E.
Hasil Analisa Laboratorium .........................................................
70
F.
Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut Kep.Men. LH. No. 51/2004 ..................................................................................
71
G.
Contoh Sketsa Bubu Kepiting ......................................................
73
H.
Stasiun Tempat Penelitian ............................................................
74
I.
Gambar Bubu Kepiting ................................................................
75
J.
Tabel Hasil Penangkapan pada Ketiga Stasiun Pengamatan........
76
K.
Contoh Hasil Perhitungan ............................................................
77
L.
Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS versi 14.00.....
79
M.
Foto Hasil Penelitian ...................................................................
80
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
I. PENDAHULUAN
1.5 Latar Belakang Kawasan Pantai Labu, merupakan daerah estuaria dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan, air asin dari laut selat Malaka dan air tawar dari sungai Pantai Labu. Lingkungan muara sungai dari pantai tersebut terdiri dari vegetasi mangrove. Pada daerah tertentu di muara Pantai Labu didapati areal pemukiman penduduk dan aktivitas perekonomian diantaranya kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya), pertanian dan pariwisata. Selain dimanfaatkan untuk perekonomian, wilayah pesisir juga digunakan sebagai tempat membuang limbah dari berbagai aktivitas manusia, baik dari darat maupun di kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan tersebut memberikan dampak yang tidak diharapkan dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Namun wilayah pesisir juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemaran yang bersumber dari aktivitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut. Akibat penangkapan ikan oleh nelayan juga memberikan sumbangan bahan pencemaran yaitu karena tumpahan minyak dari tambatan kapal nelayan. Menurut Miller (1995) buangan yang mengandung minyak, baik disengaja maupun tidak disengaja akibat penambangan dan pengangkutan menimbulkan penurunan kualitas
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
air laut secara fisik maupun biologis. Menurut Dahuri (2004) pencemaran dapat berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan pembangunan seperti tambak dan pemukiman. Berbagai kegiatan-kegiatan tersebut merupakan sumber pencemaran di Pantai Labu, berakibat pada organisme perairan, terutama bentos diantaranya adalah kepiting atau hewan Arthropoda. Ditinjau dari sudut pandang ekologi, kawasan pesisir merupakan sebuah ekosistem alami yang terbentuk puluhan tahun yang silam. Di samping fauna juga terdapat berbagai flora seperti bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicenna sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), tengar (Ceriops sp), buta-buta (Exoecaria sp) yang umumnya dijumpai di pesisir Indonesia. Adanya tumbuhan mangrove memberi perlindungan dan dukungan bagi kehidupan fauna di dalamnya (Dahuri, 2004). Fauna mangrove hidup pada substrat dengan cara berendam dalam lubang lumpur, berada di permukaan substrat, ataupun menempel pada perakaran pepohonan. Ketika air surut mereka turun untuk mencari makan. Peristiwa pasang surut membantu terjadinya proses dekomposisi melalui pelapukan. Menurut Kasry (1996), hutan mangrove adalah merupakan tempat berpijah (spawning ground), mencari makan (feeding ground), pembesaran (nursery ground), dan tempat perlindungan. Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan spesies yang khas di kawasan hutan mangrove (Soim, 1999). Menurut Macnae (1968) dalam Sulaeman et al. (1993), kepiting bakau hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Ketersediaan berbagai jenis biota laut seperti kepiting, ikan, udang, kerang dan berbagai jenis lainnya terdapat pada ekosistem hutan tropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara serta dipengaruhi oleh pasang surut dengan variasi lingkungan yang besar dari hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dan berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan. Telah disadari bahwa kawasan hutan mangrove bukan sekedar penghasil sumberdaya hutan, tetapi juga sangat berperan dalam menunjang sumberdaya perikanan. Nontji (2005) dan Mulya (2000) menyatakan salah satu hasil perikanan pantai bernilai ekonomi tinggi dan mendiami ekosistem mangrove adalah kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomi tinggi karena sangat digemari masyarakat dan termasuk salah satu diantara komoditas perikanan penting di wilayah Indo Pasifik. Hewan ini memiliki daging dan telur dengan kandungan protein yang cukup tinggi (Delman, 1972 dalam Noor et al, 1992). Selain itu pada kawasan Pantai Labu ini terjadi konflik kepentingan berupa pengkonversian lahan, menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan kawasan hutan mangrove, sehingga berdampak terjadinya perubahan fungsi ekologis maupun ekonomisnya. Berkembangnya pangsa pasar kepiting bakau baik di dalam maupun di luar negeri adalah suatu tantangan untuk meningkatkan produksi secara berkesinambungan. Bila hal ini terus berlangsung tanpa dicari alternatif pencegahannya, akan berakibat terjadinya degradasi kawasan yang secara tidak langsung berdampak terhadap penurunan populasi kepiting bakau di kawasan muara Pantai Labu sehingga akan susah dicari dan ditemukan di masa mendatang. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Penelitian mengenai kepiting bakau masih sedikit dilakukan, informasi mengenai keberadaannya seolah hilang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan informasi dan data-data mengenai aspek ekologis terutama menyangkut kehidupan kepiting bakau yang terkait dengan aspek budidaya di masa depan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisik kimia di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.
1.6 Permasalahan 1. Bagaimana hubungan berbagai aktifitas masyarakat terhadap kepadatan dan distribusi kepiting bakau di perairan Pantai Labu, khususnya di daerah aliran tambak, muara, dan mangrove. 2. Bagaimana hubungan sifat fisik kimia perairan, terhadap kepadatan dan distribusi kepiting bakau khususnya di daerah aliran tambak muara dan mangrove.
1.7 Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
1.8 Manfaat Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai informasi awal mengenai kepadatan kepiting bakau (Scylla spp) dan distribusinya serta hubungannya dengan faktor fisik dan kimia air di kawasan muara Pantai Labu. 2. Sebagai masukan bagi instansi terkait dalam mengelola hutan mangrove dan usaha budidaya kepiting bakau (Scylla spp)
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) Kepiting bakau (Scylla spp) di berbagai daerah dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat Jawa mengenalnya dengan nama kepiting saja, sedangkan Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama kepiting batu, kepiting cina dan kepiting hijau. Kepiting bakau juga lebih dikenal dengan nama kepiting lumpur (Kasry, 1996).
2.1.1
Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla spp) Famili Portunidae merupakan famili kepiting bakau yang mempunyai lima
pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk pipi dan melebar pada ruas terakhir. Klasifikasi kepiting bakau (Scylla spp) menurut (Kasry, 1996) adalah sebagai berikut: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustaceae
Subkelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub Ordo
: Branchyura
Famili
: Portunidae
Sub Famili
: Lipilinae
Genus
: Scylla
Spesies
: Scylla spp
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
2.1.2
Ciri-ciri Morfologi Kepiting Bakau Deskripsi kepiting bakau (Scylla spp) menurut Moosa et al. (1985), karapas
pipih atau agak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tepi anterolateral bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra orbital, bergigi dua sampai enam buah, sungut kecil (antennulae) terletak melintang atau menyerong, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama dua ruas terakhir, dan mempunyai tiga pasang kaki jalan. Morfologi kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.
Carapace
Sumber: www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm Gambar 2.1. Morfologi Kepiting Bakau (Dilihat dari Dorsal)
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Sumber: www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm Gambar 2.2. Morfologi Kepiting Bakau (Dilihat dari Ventral)
2.1.3
Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp) Moosa, et al, (1985) membagi genus Scylla spp dalam tiga spesies dan satu
varian, antara lain Scylla serrata (First crab), Scylla oceanica (dana), Scylla transquabarica (Fatricius) dan Scylla serrata var paramamosin. a. Scylla serrata, warna hijau coklat sampai kemerah-merahan seperti karat. b. Scylla oceanica, warna kehijauan menuju keabu-abuan hampir seluruh bagian tubuh kecuali bagian perut. c. Scylla transquebarica, berwarna kehijauan buah zaitun agak hitam dengan sedikit garis coklat pada kaki renangnya. d. Scylla serrata varparamamosain warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keungu-unguan/keabu-abuan.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Ketiga spesies dan satu varian dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai berikut:
Scylla oceanica
Scylla serrata
Scylla tranquebarica
Scylla serrata var paramamosin
Gambar 2.3. Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp)
Dalam membedakannya, Estampador (1949) dalam Watanabe, et al, (1996) mempergunakan warna, bentuk seperti huruf H pada karapas, bentuk bergigi depan karapas, bentuk duri pada fingerjoint dan berbentuk rambut (setae) sebagai faktor pembeda utama. Kasry (1996) membuat ciri-ciri kepiting bakau adalah karapas berwarna sedikit kehijauan, di antara kiri kanan tungkai matanya terdapat enam buah duri, capit kanannya lebih besar dari capit kiri dan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu pasang kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen, dilengkapi alat pendayung. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 2.1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) Spesifikasi Warna
Scylla Scylla Scylla oceanica tranquebarica serrata Hijau Hijau buah Hijau coklat menuju hijau zaitun merah keabu-abuan seperti karat
Scylla serrata varparamamosin Coklat abu-abu
Bentuk seperti huruf H pada karapas
Dalam
Dalam
Tidak begitu Tidak begitu dalam dalam
Bentuk gerigi depan karapas
-
-
Tumpul
Sedang
Bentuk duri pada fingerjoint
Kedua duri jelas dan satu agak tumpul
Kedua duri jelas dan satu agak tumpul
Duri tidak ada berubah menjadi vestigral
-
Bentuk rambut/setae
Melimpah pada karapas
-
Hanya pada daerah hepetik
-
2.1.4
Perbedaan Morfologi Jantan dan Betina Kepiting Bakau (Scylla spp) Menurut Moosa et al. (1985), dalam membedakan jenis kelamin kepiting
bakau jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Pada kepiting jantan tempat di mana organ kelamin menempel pada bagian perutnya berbentuk segi tiga agak meruncing, dan kepiting betina bentuk organ kelaminnya cenderung berbentuk segi tiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Selain dengan memperhatikan bentuk perutnya, untuk membedakan antar kepiting jantan dan kepiting betina dapat dilakukan dengan melihat ruas-ruas abdomennya, pada kepiting jantan ruas abdomennya sempit sedangkan pada kepiting betina lebih lebar, seperti pada Gambar 2.4. berikut:
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Betina
Jantan
Sumber: www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm Gambar 2.4. Perbedaan Kepiting Jantan dan Kepiting Betina
2.2 Habitat dan Perkembangannya Kepiting Bakau Menurut Kasry (1996) kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai keperairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya berusaha kembali ke perairan pantai, muara, sungai, atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri. Arriola (1940) dan Hill (1974) dalam Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan bakau dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke laut menjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedang kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian perairan berlumpur yang makanannya berlimpah. Menurut Kordi (1997) kepiting diperkirakan menghasilkan dua ribu sampai delapan ribu telur tergantung dari ukuran dan umur dari kepiting betina yang memijah. Pemijahan kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, namun kegiatan bertelur pada setiap perairan tidak semua pemijahan berlangsung pada dasar
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
perairan yang dalam dan mengikuti periode bulan, khususnya bulan-bulan yang baru dengan jarak ruaya yang tidak lebih dari satu kilometer dari pantai.
2.3 Siklus Hidup Kepiting Bakau Menurut Budiraharjo, et al. (1991), pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah kepiting mampu menghasilkan jutaan telur. Menurut Boer, et al. (1993) kepiting bakau (Scylla spp) terjadi beberapa fase dalam pertumbuhannya, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa. Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut masa pemijahan sampai megalova, seperti Gambar 2.5 berikut ini:
Sumber: www.dpi.qld.gov.au/extra/pdf/fishweb/mudcrab.pdf Gambar 2.5. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Menurut Kasry (1996) berdasarkan daur hidup kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25OC-27OC dan salinitas 290/00-330/00 dan secara gradual salinitas dan suhu air ke arah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalova yang memasuki muara sungai dapat mentolerir salinitas air yang rendah (10-240/00). Tingkat zoea berlangsung lebih kurang 3-4 hari berganti kulit sebelum menjadi tingkat selanjutnya. Tingkat megalova berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29-33% sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Bila salinitas air lebih rendah (210/00-270/00), periode megalova di alam bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water).
2.4 Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) Menurut Kasry (1996), kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi tropis. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan. Mozambik, terus ke Iran, Pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, pulau-pulau di Lautan Hindia, negara-negara ASEAN, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan, dan Philipina. Juga ditemukan di Lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai di Utara sampai ke Selandia Baru dan Australia di Selatan. Pada umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan mangrove sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau atau mangrove Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
crabs (Kordi, 1997). Kepiting bakau merupakan kepiting yang bisa berenang dan hampir terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove juga daerah tambak air payau atau muara sungai. Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dari anak-anaknya berusaha kembali ke perairan pantai, muara, sungai, atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri (Kasry, 1996).
2.5 Makanan dan Kebiasaan Makan Dalam hutan mangrove biasanya kepiting bakau yang lebih besar menyerang kepiting yang lebih kecil, dan melumpuhkannya dengan merusak umbai-umbai, kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan dan mengambil bagianbagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Menurut Arriola (1940) dalam Moosa et al. (1985) kepiting bakau adalah organisme pemakan segala bangkai (omnivorous – scavenger) dan pemakan sesama jenis (cannibal). Hill (1976) dan Hutching dan Sesanger (1987) menyatakan kepiting bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan krustase. Selanjutnya Hutching dan Sesanger (1987) mengatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumathphore). Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkan menyerang musuh dengan ganas dan merobek makanannya. Menurut Kasry (1996) sobekan-sobekan makanan
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
tersebut dimasukkan ke mulut dengan menggunakan kedua sapitnya. Waktu makan kepiting bakau tidak tertentu, tetapi malam hari lebih aktif mencari makanan daripada siang hari karena kepiting tergolong hewan nokturnal yang aktif di malam hari. Sirait (1997) mengatakan larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva tingkat zoea. Makanan terdiri dari berbagai jenis organisme planktonik seperti diatom, chlorella, rotifer, larva echinodermata, larva berbagai moluska dan cacing.
2.6 Ekologi Wilayah Pesisir Menurut Supriharyono (2000) batasan wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia yaitu batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atas batasan terluar dan daerah paparan benua. Ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi oleh erosi aliran air tawar maupun proses kegiatan manusia baik berupa penggundulan hutan dan pencemaran. Nybakken (1992) mengatakan, perbedaan antara pesisir pantai dengan perairan lepas pantai benar-benar mencolok. Produktivitas perairan pantai sepuluh kali produktivitas perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan terutama oleh tingginya kadar zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan perairan lepas pantai. Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal. Kawasan pesisir pantai merupakan sebuah habitat peralihan antara darat dan perairan laut maupun sungai. Pada kawasan ini terdapat Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
berbagai hutan mangrove terumbu karang dan rumput laut. Kawasan ini berada diantara daratan dan lautan, karena menunjukkan ciri-ciri berbeda dengan daratan (Ongkosongo, et al. 1990). Dari sebagian besar garis pesisir pantai Sumatera merupakan hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan nama kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur. Fauna dalam endapan berlumpur menunjukkan keragaman yang cukup besar. Makhluk yang paling banyak terdapat pada hamparan lumpur adalah kepiting bakau (Mackinnon, et al. 2000).
2.7 Parameter Fisik, Kimia Air dan Substrat terhadap Perkembangan Kepiting Bakau Kepiting bakau di hutan mangrove menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pertumbuhan dan penyebaran hidupnya. Untuk dapat mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau perlu diketahui pertumbuhan kepiting bakau dari parameter fisik kimia air dan substrat dimana organisme itu berada, antara salinitas, suhu (suhu air), derajat keasaman (pH), kandungan oksigen terlarut (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan kandungan bahan organik (Kasry, 1996).
2.7.1
Salinitas Salinitas acapkali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya ialah
jumlah berat semua garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (permil, garam per mil) (Nontji, 2005). Menurut Hill (1976), salinitas
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat moulting. Queensland Departement of Primary Industries (1989), melaporkan walaupun kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau, belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersanilitas rendah. Kasry (1996), mengatakan sebaliknya kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 150/00– 290/00 walaupun belum diketahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya. Queesland Departement of Primary Industries (1989) menyebutkan perubahan salinitas mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme kepiting bakau (Scylla spp) dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas. (Anwar et al. 1984) menyatakan, kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. (Soim, 1999) kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-300/00 atau digolongkan ke dalam air payau.
2.7.2
Derajat Keasaman (pH) Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH.
Pada umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral (Odum, 1998). Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) dalam Sirait (1997) kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu daerah yang bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Soim (1999) mengatakan pH yang sesuai untuk kepiting berkisar antara 7,2-7,8, sedangkan menurut Kasry (1996), pH yang baik untuk kepiting adalah 7,0-8,0.
2.7.3
Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO) Silih bergantinya masuknya air laut dan air tawar ke dalam perairan estuaria,
bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya dan pencampurannya oleh angin, biasanya menyebabkan persediaan oksigen cukup di dalam perairan tersebut (Nybakken, 1992). Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali, dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh suhu. Kelarutan maksimum oksigen dalam air terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,6 mg/liter O2 (Barus, 2001). Menurut Kordi (1997), kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter.
2.7.4
Biochemical Oxygen Demand (BOD) Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang
dihasilkan dalam waktu lima hari. Jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
mencapai kurang lebih 70% (Wardhana, 2001). Karena kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahanbahan organik yang ada dalam perairan tersebut, maka nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik, apabila konsumsi oksigen selama periode lima hari berkisar sampai 5 mg/liter O2. Apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10-20 mg/liter O2 menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik tinggi (Bower, et al. 1990).
2.7.5
Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik di perairan. Pengukuran COD dilakukan karena dalam bahan sering ditemukan bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara biologis dan hanya dapat diuraikan secara kimiawi. Kadar COD yang tinggi dapat mempengaruhi berkurangnya mikroorganisme perairan (Bower, 1990).
2.7.6
Nitrit (NO2 – N) Stickney (1979) berpendapat bahwa nitrit merupakan bentuk nitrogen yang
tidak disukai setelah amoniak dalam sistem budidaya perairan. Perairan yang tercemar biasanya mengandung nitrit hingga 2 mg/l, selain itu kadar nitrit antara 0,5 – 5 mg/l membahayakan kehidupan organisme.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
2.7.7
Nitrat (NO3 – N) Nitrat adalah zat nutrisi yang merupakan produk akhir dari penguraian
mikroorganisme. Mikroorganisme mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat, penguraian ini dikenal sebagai nitrifikasi (Borneff, 1982)
2.7.8
Fosfat Fosfat merupakan nutrient yang paling penting dalam menentukan
produktivitas perairan. Keberadaan fosfat di perairan dengan segera dapat diserap oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita (Stickney, 1979).
2.7.9
Suhu Menurut Nontji (2005), suhu merupakan faktor yang banyak mendapat
perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhu dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik di dalam laut serta kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Menurut Hill et al. (1989) dan Queensland Department of Primary Industries (1989), suhu mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20oC dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan berhenti. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu untuk dewasa menjadi singkat. Menurut Hill
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
et al. (1989) bahwa di Perairan Estuaria St. Lucia Afrika Selatan, kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 24oC-28oC, di perairan hutan mangrove ujung Alang, Cilacap kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 26,5oC-35oC (Hutasoit, 1991).
2.7.10 Kecerahan Selama periode pasang surut maupun pada periode pasang naik menunjukkan bahwa adanya perbedaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu, di mana pada waktu pasang surut pengaruh daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih rendah sedangkan pada waktu pasang naik laut memiliki kecerahan lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi perairan, juga dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi permukaan perairan sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya (Nontji, 2005).
2.7.11 Pasang Surut Pasang surut terjadi karena interaksi antara gaya tarik (gravitasi) matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi dan sistem bulan. Akibat gaya-gaya ini, air samudera tertarik ke atas, naik turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal (Nybakken, 1992).
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
2.7.12 Padatan Terlarut Total atau Total Dissolved Solid (TDS) Nilai Padatan Terlarut Total mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu contoh air, semakin tinggi jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparansi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air (Levinton,1982). Semakin tinggi zat-zat padat terlarut dalam air akan mengakibatkan kekeruhan. Kekeruhan dapat terjadi karena organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan ekstrak senyawa-senyawa organik, serta tumbuh-tumbuhan (Barus, 1996).
2.7.13 Kadar Minyak dan Lemak Menurut Miller (1995) tinggi-rendahnya kadar minyak di perairan dipengaruhi oleh arus air laut dan banyaknya pencemaran yang terjadi di sekitar pantai dari hutan mangrove. Bila diperhatikan kadar minyak yang ditemukan baik pada periode pasang surut maupun pada periode pasang naik berfluktuasi.
2.7.14 Kandungan Bahan Organik Substrat di sekitar hutan mangrove didominasi oleh lumpur. Hal ini kemungkinan ada hubungan dengan sifat kepiting, di mana pada substrat ini kepiting lebih mudah membenamkan diri. Di samping substrat lumpur kemungkinan lebih banyak mengandung sumber makanan, seperti jenis-jenis organisme sesil (Gunarto, 1987). Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Menurut Anwar et al. (1984) hutan mangrove merupakan ekosistem produktivitas yang cukup tinggi. Noor et al. (1992) menyatakan kebanyakan produktivitas mangrove masuk ke dalam sistem energi sebagai bahan pelapukan atau bahan organik yang mati. Substrat mangrove memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sekitar 62% di samping itu juga menghasilkan detritus yang banyak.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
III. DISKRIPSI AREA
3.3 Deskripsi Area Kawasan Muara Pantai Labu terletak di Desa Pantai Labu Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara secara geografis berada 30o40,9” LU dan 98o54’30,7” BT. Sebelah Utara Muara Pantai Labu, berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Sergai, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Beringin, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis (Badan Pusat Statistik, 2005). Penelitian ini dilakukan di kawasan Muara Pantai Labu, sebagian besar di Muara Sungai dan di daerah perairan mangrove di mana sepanjang pantai ditumbuhi vegetasi mangrove. Perairan ini banyak dipergunakan untuk kegiatan masyarakat seperti tempat permukiman, pertambakan, dan tempat pertambatan kapalkapal nelayan (Peta Lokasi dapat dilihat di Lampiran A).
3.4 Diskripsi Stasiun Pengamatan Titik olah (objek) penelitian ditentukan di kawasan Perairan Pantai Labu. Ditetapkan 3 stasiun pengamatan, antara lain: 1. Stasiun I, tambak dijadikan sebagai aliran dari pembuangan limbah tambak udang dan tempat pemberhentian kapal-kapal nelayan dan tempat pemukiman penduduk. Tipe substrat dasarnya berlumpur.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Stasiun II, berada di sekitar muara Sungai Pantai Labu, tepatnya berada pada sekitar daerah pariwisata, dengan tipe substrat dasarnya berlumpur dan pasir halus. 3. Stasiun III, berada di sekitar kawasan mangrove yang tepatnya pada perairan hutan mangrove di sepanjang pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Tipe substrat dasarnya berlumpur.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
IV. BAHAN DAN METODE
4.6 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Perairan Pantai Labu Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Maret 2008.
4.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk penentuan lokasi dan dalam pengambilan sampel dengan menggunakan Purposive Random Sampling pada tiga stasiun pengamatan antara lain: Stasiun I di daerah aliran tambak dan pemukiman dan penambatan kapal nelayan, Stasiun II di kawasan muara sungai, Stasiun III di kawasan hutan mangrove.
4.8 Pengambilan Sampel Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan terlebih dahulu ditetapkan sampel. Pengambilan sampel kepiting bakau dilaksanakan dengan memakai perangkap kepiting bakau yang disebut dengan bubu, dengan ukuran tinggi 14 cm dan garis menengah lingkaran 42 cm (luas bubu 0,4884 m2). Gambar sketsa bubu pada Lampiran G. Dasar umpannya berupa ikan belanak. Pada setiap stasiun pengamatan, masing-masing stasiun dipasang 30 bubu sebagai ulangan. Pemasangan bubu
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
dilakukan 9 jam, mulai jam 20.00 WIB sampai jam 05.00 WIB. Sampel yang didapat dikelompokkan menurut ciri-ciri morfologi yang sama dan dihitung jumlah dari masing-masing jenis. Setiap jenis kepiting bakau diambil beberapa ekor sebagai sampel, lalu dimasukkan ke plastik yang berisi larutan formalin 10% sebagai pengawet dan diberi label. Identifikasi dilakukan Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Departemen Biologi Fakultas Matematik Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan acuan Watanabe (1996).
4.9 Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan dan Substrat Setelah diperoleh sampel kepiting bakau (Scylla spp), pengukuran parameter fisik kimia perairan dan substrat dilakukan di lapangan. Untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil sampel substrat, lalu di kering anginkan, dan dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dianalis berdasarkan persentase ukuran butiran. Pengukuran dilakukan sesuai komposisi penempatan bubu. 1. Suhu Sampel air diambil dari dasar perairan dengan menggunakan ember, dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur suhu dengan menggunakan termometer air raksa dengan memasukkannya ke dalam air selama ± 10 menit kemudian skalanya dibaca.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Kecerahan Kecerahan diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping seechi tidak kelihatan dan diukur panjang talinya yang masuk ke dalam air. 3. Jenis Substrat Jenis Substrat ditentukan dengan cara mengambil sampel substrat dari dasar perairan, dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk ditentukan fraksi substratnya. 4. pH (Derajat Keasaman) pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut. 5. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan metode winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler, dilakukan pengukuran oksigen terlarut (Lampiran B). 6. BOD5 Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Analisis BOD5 dilakukan di Laboratorium PSDAL Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara (Lampiran C).
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
7. Chemical Oxygen Demand (COD) Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. 8. Kandungan Organik Substrat Diukur dengan menggunakan metoda analisis abu, substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 g dan dimasukkan ke dalam oven suhu 45oC sampai beratnya konstan (2-3 hari). Substrat yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu 45oC agar substrat benar-benar kering. Substrat ditimbang 25 g dan diabukan dalam tanur dengan suhu 700oC selama 3,5 jam. Substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus: KO =
A− B ×100% A
dengan : KO
= Kandungan Organik
A
= Berat Konstan Substrat
B
= Berat Abu
Analisis di Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. 9. TDS (Total Disolved Solute) Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan ember, lalu air diukur dengan menggunakan Conductivity meter.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
10. Kandungan Amoniak (N-NH3) Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran amoniak dilakukan dengan metoda spektofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. 11. Kandungan Nitrat (N-NO3) Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran nitrat dilakukan dengan metoda spektofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. 12. Kandungan Nitrit (N-NO2) Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran nitrit dilakukan dengan metoda spektofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. 13. Kandungan Klorida (Cl) Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran klorida dilakukan dengan metoda titrimetri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. 14. Kandungan Minyak dan Lemak Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran kandungan minyak dan lemak dilakukan dengan metoda Partisiravitimetri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
15. Kandungan Fosfat Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Kandungan fosfat diukur dengan metoda spektrofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Satuan dan tempat pengukuran parameter fisik kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Satuan dan Tempat Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter
Metode dan Alat Ukur
Lokasi
1. Suhu (oC) 2. Kecerahan (cm)
Potensiometer, Thermometer Visual (Keping Seechi)
Lapangan Lapangan
Salinometer pH meter/kertas indikator Metode Winkler/Trimetri Metode Winkler/Tirimetri Refluks-Titrimetri Titrimetri Partisi-Gravimetri Spektrofotometri Spektrofotometri Spektrofotometri Timbangan elektronik Gravimetri Spektrofotometri
Lapangan Lapangan Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Fisik
Kimia
3. Salinitas (0/00) 4. pH (mg/l) 5. DO (mg/l) 6. BOD (mg/l) 7. COD (mg/I) 8. Klorida (Cl-) 9. Minyak (mg/l) 10. N-NH3(mg/l) 11. N-NO2 (mg/l) 12. N-NO3 (mg/l) 13. TDS (mg/l) 14. KO Substrat (%)(w/w)
15. Ortofosfat (mg/l)
4.10
Analisis Data Jenis kepiting bakau dan masing-masing jenis dihitung kepadatan, kepadatan
relatif, frekwensi, kehadiran, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas, analisis korelasi dan indeks distribusi Morista sebagai berikut:
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
1. Kepadatan
K =
ni A
Dengan : K = Kepadatan suatu jenis
Ni = Jumlah Individu suatu jenis A = Luas Area
(Brower et al. 1990)
2. Kepadatan Relatif KR =
ni ×100% ∑N
Dengan : ni = Jumlah individu
∑N
= Total seluruh individu
(Brower et al. 1990)
3. Frekwensi Kehadiran (FK) FK =
Jumlah Individu Suatu Jenis ×100 Jumlah Plot yang Ditempati Suatu Jenis
Dengan : FK 0 – 25%
= Sangat Jarang
25 – 50%
= Jarang
50 – 75%
= Banyak
> 75%
= Sangat Banyak
(Krebs, 1985)
4. Indeksi Keanekaragaman Shanon – Wienner (H’)
H' =
s
∑ pi ln pi i =1
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dengan : H = Indeks Keanekaragaman Shannon – Wienner Pi
= ni/N (Perbandingan Jumlah Individu suatu Jenis dengan Seluruh
Jenis)
Ln = Logaritma Natural 5. Indeks Ekuitabilitas (E)
E =
H H max
Dengan : H1 Hmax
= Indeks Keanekaragaman Shannon – Wienner (H1) = Indeks Keanekaragaman Maximum (Odum, 1998)
6. Indeks Similaritas (IS)
IS =
2C ×100% a+b
Dengan : IS = Indeks Similaritas A = Jumlah Spesies pada Lokasi A B = Jumlah Species pada Lokasi B C = Jumlah Spesies yang sama pada Lokasi A dan B 7. Indeks Distribusi Morista
⎡ ∑ x2 − ∑ x ⎤ ⎥ 1 = N⎢ 2 ⎢⎣ (∑ x ) − ∑ x ⎥⎦ Dengan : N
= Jumlah Seluruh Plot
X
= Jumlah Individu pada Setiap Plot
1–0
= Distribusi Spesies tersebut Random/Acak
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
1>0
= Distribusi Spesies tersebut Berkelompok
1<0
= Distribusi Spesies tersebut Seragam Bengen, 1998 dalam Mulya, 2000
8. Analisis Korelasi (r)
Analisis korelasi (r) dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi pearson dengan metode program SPSS VER 14.00
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.3 Analisis Faktor Fisik Kimia Perairan
Hasil yang diperoleh dari data-data penelitian yang telah dilakukan bahwa rata-rata nilai faktor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada Tabel 5.1. berikut: Tabel 5.1. Faktor Fisik Kimia Perairan, Rata-rata, Nilai yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Muara Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Parameter
Fisika Suhu Kecerahan Kimia COD BOD5 N – NH3 N – NO2 N – NO3 Orthofosfat Klorida Minyak + Lemak Kandungan Organik Substrat TDS Salinitas pH air Oksigen Terlarut Tipe Substrat
I
Stasiun II
III
Baku Mutu
c cm
29,6 3,5
32,1 12,6
30,1 11,6
28 – 32 3-5
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l %(w/w)
122,6 4,4 1,0685 1,1656 12,0388 0,2039 17,963 2,5 10,04
74,4 4,1 1,6887 0,0824 5,5090 0,1875 19,241 1,5 0,80
52,8 4,2 1,0300 0,0423 4,3920 0,2599 18,034 0,25 12,50
<80 20 -1 -1 0,008 0,015 1 -
mg/l 0 /00 mg/l mg/l
79 30 7,2 7,4 Lumpur
65,3 87,3 31 28 8,03 8,1 7,38 8,16 Pasir Lumpur Lumpur
20-80 28-34 7 – 8,5 >5
Satuan 0
Keterangan: Stasiun I di sekitar kawasan aliran tambak; Stasiun II di kawasan muara; Stasiun III di kawasan mangrove
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.1.1 Suhu
Suhu pada ketiga stasiun berkisar antara 29,6 0c – 32,1 0c. Tingginya suhu pada Stasiun II disebabkan adanya aktivitas penduduk seperti penggunaan kapal bermesin yang digunakan sebagai sarana transportasi, di samping itu di stasiun tersebut terdapat sedikit kanopi sebagai naungan dari vegetasi mangrove, sehingga panas matahari langsung ke badan air. Rendahnya suhu pada Stasiun I disebabkan adanya angin laut dan pasang surut. Perubahan suhu cenderung untuk mempengaruhi biota secara keseluruhan karena berkaitan dengan tingkat kelarutan oksigen. Suhu pada ketiga stasiun penelitian sesuai bagi kehidupan biota pada perairan tersebut. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Odum (1994) menyatakan suhu ekosistem aquatik dipengaruhi intensitas matahari, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutup vegetasi) dari pepohon yang tumbuh di sekitarnya.
5.1.2
Kecerahan
Kecerahan dari hasil penelitian pada ketiga stasiun berkisar antara 3,5 cm12,6 cm. Rendahnya kecerahan pada Stasiun I disebabkan terjadinya pembuangan limbah domestik dari pemukiman dan lalu lintas/penambatan kapal-kapal nelayan dan kawasan tersebut dekat dengan budidaya pertambakan yang kondisi substratnya berlumpur, apabila terjadi pengadukan terjadi pengeruhan. Tingginya kecerahan pada Stasiun II disebabkan percampuran air tawar dan air laut yang cepat. Nybakken (1992) menyatakan adanya zat-zat yang tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.1.3
Chemical Oxygen Demand (COD)
Nilai COD yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 52,8 mg/l–122,6 mg/l. Tingginya kadar COD pada Stasiun I dipengaruhi oleh degradasi bahan organik maupun anorganik yang berasal dari aktivitas masyarakat yang berupa buangan domestik dan tambatan kapal nelayan. Limbah yang dihasilkan tersebut tidak terolah dengan baik. Hasil degradasi mikroba yang terakumulasi di perairan akibat COD yang berlebihan pada perairan akan berpengaruh terhadap menurunnya kandungan oksigen terlarut (DO) sehingga akan berpengaruh terhadap menurunnya kualitas air Peavy (1986). Rendahnya nilai COD pada Stasiun III karena jauh dari pemukiman dan masih bersifat alami.
5.1.4
Biochemical Oxygen Demand (BOD5)
Nilai BOD5 yang terdapat pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 4,1– 4,4 mg/l . Perbedaan nilai BOD5 tersebut pada setiap stasiun penelitian disebabkan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun yang berhubungan dengan defisit oksigen, karena oksigen dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5 pada Stasiun I disebabkan banyaknya aktivitas dari masyarakat yang berpotensi menimbulkan limbah organik yang merupakan substrat utama hidupnya berbagai mikroba sehingga aktifitas penguraian membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang besar untuk biodegradasi senyawa organik. Rendahnya BOD5 pada Stasiun II disebabkan oleh
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
sedikitnya bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Menurut Wardana (1995) peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air mengandung oksigen yang cukup. Saeni (1991), menyatakan Kandungan BOD5 yang berlebihan akan berpengaruh terhadap menurunnya oksigen terlarut di perairan serta berdampak langsung terhadap peningkatan COD.
5.1.5
Amoniak (N–NH3)
N-NH3 hasil pengamatan menunjukkan bahwa amoniak air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 1,0300 mg/l–1,6087 mg/l. Tingginya amoniak pada Stasiun II disebabkan oleh adanya akumulasi limbah organik berupa nutrisi lemak terutama protein yang berasal dari sisa-sisa jasad renik dari organisma air baik yang berasal dari aliran tambak maupun aliran sungai yang bersatu pada stasiun tersebut, selain itu tingginya kandungan organik ini juga dipengaruhi oleh limbah rumah tangga warga sekitar yang bermukim menetap di daerah sekitar stasiun tersebut, dan pengaruh pH perairan. Rendahnya amoniak pada Stasiun III disebabkan oleh dekat pantai, pasang surut dan naik, guguran daun yang mengendap ke dasar air dan ditahan oleh perakaran hutan mangrove. Menurut Borneff (1987) dalam Barus (2004) kandungan limbah domestik pada umumnya terdiri dari tiga jenis zat nutrisi yaitu karbohidrat, lemak, protein. Produk penguraian karbohidrat dianggap tidak mempunyai masalah yang serius bagi ekosistem perairan, karena berbagai jenis bakteri dan jamur dapat mengkonsumsinya. Hal yang menimbulkan masalah adalah
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
produk dari penguraian zat nutrisi lemak terutama protein. Selanjutnya ditegaskan bahwa keberadaan amoniak juga dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akan semakin meningkat konsentrasi amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisma air.
5.1.6
Nitrit (N–NO2)
N-NO2 berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kadar Nitrit pada ketiga stasiun penelitian berkisar 0,0423 mg/l–1,656 mg/l. Rendahnya kadar nitrit pada Stasiun III disebabkan karena pada stasiun tersebut ditumbuhi mangrove dan tumbuhan air yang mensuplai oksigen yang cukup bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sehingga pada stasiun ini tidak terjadi akumulasi nitrit. Tingginya kadar Nitrit pada Stasiun I disebabkan oleh adanya akumulasi limbah organik berupa nutrisi lemak terutama protein yang berasal dari sisa-sisa jasad renik dari organisme air baik yang berasal dari aliran tambak, aliran pelabuhan kapal nelayan, aliran sungai, limbah rumah tangga warga yang bermukim menetap di sekitar stasiun tersebut dan pengaruh pH perairan.
5.1.7
Nitrat (N–NO3)
Berdasarkan hasil pengamatan kadar nitrat berkisar antara 4,3920 mg/l– 12,0388 mg/l, tingginya kadar nitrat pada Stasiun I disebabkan tidak adanya mangrove dan tanaman air pada stasiun tersebut yang dapat menyerap nitrat sebagai zat nutrisi untuk perkembangan tumbuhan, sehingga terjadi akumulasi nitrat. Pada
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
badan air terjadi oksidasi nitrit menjadi nitrat dengan adanya mikroorganisme dan oksigen, peristiwa ini dikenal dengan proses Nitrifikasi. Menurut Rheinheimen et al. (1988) dalam Barus (2004) Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Rendahnya kadar Nitrat pada Stasiun III disebabkan karena hutan mangrove dan tanaman air yang bertumbuh baik yang dapat menyerap nitrat sebagai zat nutrisi dan perkembangan tumbuhan (hutan mangrove dan tanaman lainnya).
5.1.8
Orthofosfat
Berdasarkan hasil pengamatan nilai kandungan fosfat yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,1875 mg/l–0,2599 mg/l. Tingginya kadar fosfat pada Stasiun III tersebut mungkin disebabkan tipe sedimen pada stasiun tersebut mengandung fosfat sehingga dapat menyediakan fosfat yang cukup, dan fosfat ini juga berasal dari atmosfer. Rendahnya orthofosfat pada Stasiun II karena dalam ekosistem air fosfor kurang mengandung fosfat sehingga tidak dapat menyediakan fosfat yang cukup. Menurut Barus (2004) dalam ekosistem air fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik seperti orthofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisma. Fosfor berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terinfiltrasi ke dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka. Selain itu dapat berasal dari atmosfer dan bersama dengan curah hujan masuk ke dalam perairan. Baku mutu mentolerir sebesar 0,015 mg/l. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.1.9
Klorida
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kadar klorida pada ketiga stasiun penelitian berkisar 17,963 mg/l–19,241 mg/l. Tingginya kadar klorida pada Stasiun II tersebut diduga berasal dari atmosfer dan limbah organik yang berasal dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar stasiun pengamatan. Rendahnya kadar klorida pada Stasiun I disebabkan daerah substrat berlumpur. Kadar klorida pada setiap stasiun pengamatan masih dapat ditolerir oleh organisme air bersifat allochton, dan perairan di lokasi penelitian dapat dikatakan belum tercemar. Menurut Barus (2004) konsentrasi klorida dari air yang lebih dari 30 mg/l merupakan indikasi adanya pencemaran.
5.1.10 Minyak dan Lemak
Nilai kandungan minyak dan lemak yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,25 mg/l-2,5 mg/l. Tingginya kadar minyak dan lemak pada Stasiun I dipengaruhi oleh adanya aktivitas masyarakat seperti pertambakan, penggunaan kapal mesin sebagai alat transportasi, pembuangan sampah rumah tangga dan perikanan yang menghasilkan limbah organik. Rendahnya kadar minyak dan lemak pada Stasiun III disebabkan lebih dekat ke laut dan angin yang berasal dari laut serta pasang surut dan naik yang mengakibatkan percampuran air dengan udara semakin besar. Menurut Wardhana (2001), peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses yang mudah terjadi apabila air mengandung oksigen yang cukup.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.1.11 Kandungan Organik Substrat
Nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,8%-12,50%. Tingginya kadar organik pada Stasiun III disebabkan adanya sumber bahan organik dari guguran daun vegetasi mangrove pada stasiun tersebut. Rendahnya kandungan organik substrat pada Stasiun II karena tidak adanya sumber bahan organik, seperti guguran daun vegetasi mangrove di sekitar stasiun tersebut. Di samping itu tidak ada akar mangrove yang menahan bahan organik agar tidak terbawa arus. Menurut Nontji (2005), guguran daun bakau merupakan sumber bahan organik yang penting dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7 – 8 ton/tahun. Selanjutnya Djaenuddin et al. (1994) menyatakan kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substart/tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut: < 1%
= sangat rendah
1%-2%
= rendah
2,01%-3%
= sedang
3,01%-5%
= tinggi
>5%
=
sangat tinggi
5.1.12 TDS
Pengukuran TDS pada ketiga stasiun penelitian berada pada kisaran 65,3 mg/l-87,3 mg/l. Tingginya TDS disebabkan stasiun ini hutan mangrove dapat menyimpan air laut cukup lama karena kurang mendapat pengaruh aktivitas manusia. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Rendahnya TDS pada Stasiun II karena adanya pencampuran air tawar dan air laut yang cukup bebas. Menurut PP No.82 Tahun 2001 kadar tertentu dari TDS akan dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan yang berakibat terhadap menurunnya aktivitas fotosintesis disebabkan faktor jauh atau dekatnya kawasan dengan jenis pantai atau daratan yang mengalami pergolakan arus dasar gelombang laut yang pecah dan mengikis daratan sehingga mempengaruhi kawasan perairan itu berada.
5.1.13 Salinitas
Nilai salinitas pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 280/00-310/00. Tingginya salinitas pada Stasiun II disebabkan lokasinya lebih dekat ke arah air laut, dan rendahnya salinitas air pada Stasiun III karena pada kawasan hutan mangrove ada keseimbangan percampuran air tawar dengan air laut. Menurut Nybakken (1992) adanya penambahan air tawar yang mengalir masuk ke perairan laut muara menurunkan nilai salinitas. Supriharyono (2000) menyatakan muara merupakan perairan yang berhubungan bebas dengan air laut, dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Dengan penetrasi, air laut menjadikan salinitas berkisar antara 320/00-350/00 dan suhu 200c-300c.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.1.14 pH air
Kisaran pH yang diukur pada stasiun pengamatan antara 7,2–8,1. Dari hasil nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian dapat dikatakan bahwa pH perairan masih sesuai kehidupan organisme laut. pH air tertinggi pada Stasiun III (kawasan hutan mangrove) 8,1 disebabkan daerah ini merupakan daerah hutan bakau yang tidak mendapat pengaruh aktivitas manusia sehingga pH air tidak mengalami penurunan dari kondisi awal. Rendahnya pada Stasiun I (kawasan tambak) 7,2 disebabkan adanya penambahan bahan organik yang berasal dari pembuangan limbah organik akibat aktivitas masyarakat di kawasan tersebut. Menurut Barus (2004), nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut berkisar antara 6,7–8,2.
5.1.15 Oksigen Terlarut (DO)
Kisaran kandungan oksigen terlarut pada ketiga stasiun penelitian adalah antara 7,38–8,16. Tingginya DO pada Stasiun III ada hubungannya dengan letaknya yang lebih dekat ke laut dan angin yang berasal dari laut, serta pengaruh pasang surut yang mengakibatkan percampuran air dengan udara semakin besar. Rendahnya DO pada Stasiun II berhubungan dengan tingginya suhu perairan pada stasiun tersebut. Menurut Sastrawijaya (1991), bahwa suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih sesuai bagi kehidupan biota.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.4 Jenis-Jenis Kepiting Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian diperoleh jenis kepiting bakau (Scylla spp) yang digolongkan berdasarkan urutan taksonominya seperti digambarkan pada Tabel 5.2. berikut ini. Tabel 5.2. Klasifikasi Kepiting Bakau Hasil Penelitian Filum
Kelas
Ordo
Famili
Arthropo da
Crustacea
Decapoda
Portunidae
Genus
scylla
Species
Scylla oceanica Scylla serrata
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dapat 2 species kepiting bakau (Scylla spp) dengan ciri morfologi sebagai berikut: 1.
Scylla oceanica
Hasil pengamatan yang diperoleh dari penelitian bahwa tubuh kepiting bakau species Scylla oceanica mempunyai bentuk badan bundar dan tebal berukuran ± 8 – 20 cm. Tubuhnya berwarna coklat kehijau-hijauan. Bentuk H pada karapaks dalam dan kedua duri pada fingerjoint jelas dan runcing, seta melimpah pada daerah karapaks dan bentuk gerigi pada karapaks tidak tajam. Capit bagian atas lebih panjang dibandingkan capit bagian bawah dan mata agak menonjol keluar untuk lebih jelas dapat dilihat seperti Gambar 5.1. berikut ini:
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Gambar 5.1. Scylla oceanica
2.
Scylla serrata
Kepiting bakau jenis Scylla serrata yang didapati dari hasil penelitian mempunyai bentuk badan bundar dan tebal, berukuran ± 7 – 16 cm. Tubuhnya berwarna coklat tua dan bentuk H karapaks tidak begitu dalam. Tidak memiliki duri pada fingerjoint, seta hanya terdapat pada daerah hepatik dan bentuk gerigi pada karapaks tajam. Kedua bagian atas dan bawah capit berukuran sama besar dan mata tidak menonjol keluar seperti terlihat Gambar 5.2. berikut ini.
Gambar 5.2. Scylla serrata
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan hasil penelitian hanya didapati 2 species kepiting bakau, yakni S. oceanica dan S. serrata hal ini menunjukkan terjadinya penurunan species kepiting bakau di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Karena hasil penelitian Mulya (2000) yang dilakukan di daerah Karang Gading Langkat diperoleh 3 species kepiting bakau yakni S. oceanica, S. serrata dan S. tranquebarica. Terjadinya penurunan species ini kemungkinan disebabkan kondisi lingkungan di perairan Pantai Labu yang kurang optimal bagi pertumbuhan kepiting bakau yang menyebabkan hanya 2 species kepiting bakau yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di lokasi penelitian. Menurut Kordi (1997) bahwa parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, DO, BOD dan bahan organik memberi pengaruh terhadap kepiting bakau. Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran J) dalam lingkungan pertambakan, muara sungai dan pada hutan mangrove masih didapat 2 species kepiting bakau yaitu S. serrata dan S. Oceanica Individu ditemukan seperti Tabel 5.3. Tabel 5.3. Hasil Penangkapan Kepiting Bakau No 1.
I
Lokasi (Pertambakan)
2.
II
(Muara)
3.
III (Hutan Mangrove)
Spesies S. Oceanica S. Serrata S. Oceanica S. Serrata S. Oceanica S. Serrata
Jumlah Individu 17 39 12 34 19 69
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.5
Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran FK (%)
Tabel 5.4. Nilai Kepadatan Populasi (KP ind/m2), Kepadatan Relatif (KR%) dan Frekuensi Kehadiran (FK%) di Setiap Stasiun Pengamatan Penelitian Stasiun
I KP
KR
II
III
FK
KP
KR
FK
KP
KR
FK
53,33
0,82
26,11
30
1,30
21,63
60
86,67
2,32
73,89
83,33
4,71
78,37
100
140
3,14
100
113,33
6,01
100
160
Spesies Scylla oceanica 1,16 30,37 Scylla 2,66 69,63 serrata Jumlah 3,82 100
Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Kepadatan Populasi (KP), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi kehadiran (FK) yang ditunjukkan pada Tabel 5.4 bahwa pada Stasiun I (kawasan aliran tambak) terdapat 2 species yaitu S.oceanica dan S. serrata. Species yang memiliki nilai tertinggi didapati pada species S. serrata. Tingginya nilai kepadatan populasi dan kepadatan relatif dan frekuansi kehadiran dari species S.serrata pada Stasiun I disebabkan karena stasiun ini memiliki nilai kandungan organik yang cukup tinggi, yaitu sebesar 10,04%, substrat berlumpur, suhu sebesar 29,90c, salinitas perairan 300/00, pH air sebesar 7,4 serta hasil BOD5, sebesar 4,4 mg/l (Tabel 5.4) keadaan air menunjukkan bahwa Stasiun I masih sesuai sebagai habitat kepiting bakau. Menurut Wilch (1952) dalam Widhiastuti, et al. (1994), pH untuk mendukung kehidupan organisme perairan berkisar antara 5,0-8,0.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Cole (1983) menyatakan bahwa bahan organik yang terlarut dalam perairan selain merupakan sumber nutrisi yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan hewan bentos dan mempengaruhi habitat alami biota laut, sehingga turut mempengaruhi habitat jumlah kepiting bakau yang ditemukan. Pada Stasiun I kawasan tambak didapati 2 spesies yaitu S. oceanica dan S. serrata. Jenis species oceanica yang memiliki nilai terendah Pada Stasiun II (kawasan muara) hanya didapatkan 2 species yaitu S. oceanica dan S. serrata. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan kepiting seperti tipe substrat dasar perairan berupa pasir berlumpur, serta nilai kandungan organik yang sangat rendah yaitu sebesar 0,80% (Tabel 5.4). Rendahnya kandungan organik pada Stasiun II tersebut disebabkan karena pada daerah tersebut memiliki tipe substrat dasar pasir berlumpur dan vegetasi mangrove yang kecil, serta daerah ini telah dijadikan kawasan pariwisata. Menurut Nybakken (1992) daerah perairan pesisir pantai dengan substrat dasar yang banyak mengandung pasir atau sedimen yang lebih besar dan minimnya vegetasi mangrove yang terdapat hidup di sini pada umumnya mengandung sedikit bahan organik. Minimnya bahan organik dalam suatu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan hewan bentos, diantaranya kepiting. Terdapatnya species S. oceanica dan S. serrata pada Stasiun II dengan substrat dasar pasir berlumpur dan kadar organik yang sangat rendah (0,80%) menunjukkan bahwa kedua species ini memiliki kisaran toleransi yang cukup tinggi
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
terhadap kondisi fisik kimia perairan pada Stasiun II ini bila dibandingkan dengan jenis lainnya. Pada Stasiun III (kawasan mangrove) didapati 2 species yaitu species S. serrata dan S. oceanica. S. serrata merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan Stasiun I dan II. Dilihat dari hasil pengukuran parameter lingkungan abiotik (fisik kimia), seperti nilai suhu sebesar 30,20C, salinitas 280/00 serta tipe substrat dasarnya berlumpur, nilai pH air sebesar 8,1 serta kecerahan sebesar 11,6 cm dan BOD5 sebesar 4,2 mg/l, dengan jumlah kandungan organik pada kawasan ini paling tinggi sebesar 12,50% (Tabel 5.4) sehingga sumber makanannya lebih banyak. Oleh karena itu kondisi perairan pada Stasiun III sangat sesuai untuk kehidupan biota laut pada umumnya. Menurut Nontji (2005), hutan mangrove memiliki perairan yang sangat penting di sepanjang pesisir pantai dan dapat menopang kehidupan di sekitarnya. Didapatkannya species S. serrata yang memiliki kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi pada Stasiun III ini disebabkan karena stasiun memiliki faktor fisik kimia lingkungan yang sesuai untuk kehidupannya. Pada stasiun tersebut, juga memiliki nilai kandungan organik yang sangat tinggi yaitu sebesar 12,50% (Tabel 5.4).
5.6 Nilai Kepadatan Relatif (KR%) dan Frekuensi Kehadiran (FK%)
Menurut Krebs (1985) bahwa masing-masing kedua spesies ini yaitu S. oceanica pada Stasiun I dan II KR >25% pada Stasiun III KR >10% dan FK pada Stasiun I dan III didapati FK >50% tetapi pada Stasiun II FK sebesar >25%. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Sedangkan spesies S. serrata mempunyai kepadatan relatif (KR%) >50%, dan frekuensi kehadiran (FK%) >75%. Seperti terlihat pada Tabel 5.5 berikut ini. Tabel 5.5. Nilai KR dan FK dan Nilai Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang Terdapat pada Masing-masing Stasiun Penelitian
I
No Species
KR (%) FK (%)
1. 2.
Scylla oceanica Scylla serrata
Stasiun II KR (%) FK (%)
III KR (%) FK (%)
30,37
53,33
26,11
30
21,63
60
69,63
86,67
73,89
83,33
78,37
100
Tabel 5.5. menunjukkan bahwa S.serrata didapatkan pada ketiga stasiun penelitian dengan nilai KR dan FK yang termasuk besar. Hal ini menunjukkan bahwa S. serrata merupakan kepiting yang memiliki kisaran toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan perairan di daerah pesisir dan dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada ketiga stasiun penelitian, sedangkan S.oceanica kurang perkembangannya dan keadaan ini menujukkan bahwa jenis ini memiliki kisaran toleransi yang kurang mendukung dan hanya didapatkan lebih berkembang biak populasinya pada Stasiun I dan III. Menurut Suin (2003) suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan suatu organisme apabila organisme tersebut memiliki nilai KR >10% dan FK >25%. Berdasarkan hal tersebut bahwa S. oceanica sudah dapat juga disebut memiliki kisaran toleransi.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
5.5 Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman Tabel 5.6. Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’) pada Setiap Pengamatan Penelitian Stasiun
I II III
Indeks Keanekaragaman (H’) Keseragaman (E’) 0,61 0,88 0,57 0,83 0,52 0,75
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian pada Tabel 5.6. Indeks keanekaragaman pada ketiga stasiun penelitian masih tergolong rendah karena hanya dua spesies yang didapati yaitu kepiting bakau S.oceanica dan S.serrata namun dari ketiga
stasiun
berbeda-beda
indeks
keanekaragamannya.
Tingginya
indeks
keanekaragaman pada Stasiun I karena faktor keadaan lingkungan, khususnya salinitas yang sesuai untuk pertumbuhan kepiting bakau dan tidak ada spesies yang mendominasi. Menurut Soim (1999), kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 100/00-300/00 atau digolongkan ke dalam air payau. Rendahnya indeks keanekaragaman pada Stasiun III disebabkan karena hanya dua spesies kepiting bakau yang diteliti yaitu species S.oceanica dan spesies S.serrata, dan didapati yang mendominasi kawasan ini lebih banyak spesies S. serrata, hanya sedikit spesies S. oceanica. Menurut Krebs (1985) jika indeks keanekaragaman 0
6,907 maka indeks keanekaragamannya tinggi. Berdasarkan ukuran Krebs tersebut, maka indeks keanekaragaman pada ketiga Stasiun (I, II dan III) termasuk golongan rendah.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Menurut Kordi (1997) bahwa parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, pH, DO, BOD, COD dan kandungan organik dapat memberi pengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau. Odum (1994) juga menyatakan bahwa nilai Shannon Weener (H’) adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila indeksnya semakin tinggi, maka tingkat keanekaragaman tinggi. Indeks keseragaman (E’) pada ketiga stasiun berkisar antara 0,75-0,88. Menurut Krebs (1985) indeks keseragaman antara 0-1. Jika nilai keseragaman mendekati 0 maka keseragaman rendah dan penyebaran jenis tidak merata serta ada kecenderungan mendominasi suatu jenis. Jika indeks keseragaman mendekati 1 maka keseragaman tinggi yang menunjukkan tidak ada jenis yang mendominasi. Dari ketiga stasiun tersebut (0,75; 0,82; 0,88) berarti menunjukkan indeks keseragaman tinggi. Berdasarkan indeks keseragaman tersebut lokasi perairan penelitian dikategorikan sebagai ekosistem yang ideal bagi kehidupan berbagai jenis kepiting bakau.
5.6 Indeks Similaritas
Berdasarkan hasil penelitian dari ketiga stasiun penelitian diperoleh indeks similaritas (kesamaan) kepiting bakau antara stasiun penelitian seperti Tabel 5.7 berikut ini.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Tabel 5.7. Indeks Similaritas (IS) Antar Stasiun Penelitian Stasiun 1 2
I -
II 100% -
III 100% 100%
Dari Tabel 5.7. menunjukkan bahwa indeks similaritas (kesamaan) antara Stasiun I dan II sebesar 100%, Stasiun I dan III 100% dan Stasiun II dan III sebesar 100%. Stasiun yang kemiripannya lebih besar Stasiun I dan III jenis kepiting bakau S.serrata yang didapatkan memiliki kesamaan tergolong tinggi. Menurut Krebs (1985) Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan kepiting bakau yang hidup di dua tempat yang berbeda.
5.7 Nilai Distribusi Morista Tabel 5.8. Nilai Indeks Distribusi Morista pada Seluruh Pengamatan pada Ketiga Stasiun Penelitian No 1 2
Species Scylla oceanica Scylla serrata
Indeks Distribusi 0,48 0,68
Keterangan Distribusi genus beraturan Distribusi genus beraturan
Dari Tabel 5.8. menunjukkan bahwa nilai indeks Distribusi Morista (Id) setiap jenis spesies berkisar antara 0,48-0,68. Bengen (1998) menyatakan indeks distribusi genus random, bila Id = 1, dan bila Id>1 distribusi berkelompok, dan bila Id<1 adalah distribusi genus beraturan. Keseluruhan nilai indeks distribusi hasil penelitian dapat dikategorikan distribusi genus beraturan. Kepiting bakau untuk jenis S.oceanica dan S.serrata, indeks distribusi genusnya beraturan disebabkan hewan ini memilih hidup pada
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
habitat yang paling sesuai di dasar perairan dan mangrove baik sesuai dengan faktor fisik kimia perairan, dan tersedianya makanan yang cukup banyak. Menurut Suin (2002) bahwa faktor fisik kimia yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan hewan yang hidup di dalamnya sangat menentukan hewan tersebut hidup beraturan.
5.8 Analisis Korelasi antara Beberapa Parameter Abiotik Perairan terhadap Indeks Kepadatan Kepiting Bakau
Berdasarkan hasil pengukuran faktor-faktor fisik-kimia yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian dan selanjutnya dikorelasikan dengan indeks kepadatan kepiting bakau, maka diperoleh nilai indeks korelasi seperti pada Tabel 5.9 berikut ini. Tabel 5.9. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Kepadatan Populasi Kepiting Bakau dengan Faktor-faktor Lingkungan Parameter Suhu Kecerahan COD BOD NH3 NO2 NO3 Orthofosfat Klorida Minyak Kandungan Organik TDS Salinitas pH DO
r -0,533 0,193 -0,566 0,039 -0,726 -0,581 -0,726 1000** 0,646 -0,772 0,815 0,907 - 0,995 0,357 0,979
Ket : (+) = arah korelasi searah (–) = arah korelasi berlawanan (**) = berpengaruh sangat nyata
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dari hasil uji korelasi Pearson antara beberapa parameter faktor-faktor fisik kimia lingkungan perairan seperti suhu, salinitas, COD, N-NO2, N-NO3, Minyak dan Lemak, terhadap indeks kepadatan kepiting bakau didapatkan arah korelasi berlawanan (-), dan arah korelasi searah (+) kecerahan, BOD, Orthofosfat, klorida, kandungan organik, TDS, pH, DO. Arah korelasi searah (+) menunjukkan terjadinya hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia dengan nilai kepadatan populasi, artinya semakin tinggi nilai faktor fisik kimia perairan maka nilai kepadatan populasi semakin besar, sedangkan arah korelasi berlawanan (-) menunjukkan terjadinya hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai kepadatan populasi. Dari Tabel 5.9. tersebut menunjukkan hasil uji korelasi Pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya. Orthofosfat berkorelasi searah sangat nyata dengan nilai kepadatan populasi kepiting bakau, di mana semakin tinggi nilai orthofosfat maka semakin tinggi nilai kepadatan kepiting bakau. Ortofosfat adalah merupakan nutrisi di dalam perairan. Apabila orthofosfat tinggi, maka phytoplankton dan tumbuhan air lainnya meningkat dan hal ini akan menyebabkan peningkatan populasi organisme konsumen, sehingga ketersediaan nutrisi kepiting meningkat maka kepiting bakau meningkat. Salinitas arah korelasi berlawanan dengan nilai kepadatan populasi kepiting bakau, artinya semakin tinggi tingkat salinitas maka semakin rendah tingkat kepadatan populasi kepiting bakau. Kepiting bakau hidup di daerah mangrove, salinitas mangrove adalah payau berkisar 0,5‰-30‰. Kalau terjadi peningkatan Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
salinitas di luar batas kisaran toleransi kepiting bakau akan menyebabkan populasinya menurun, sedangkan apabila terjadi penurunan nilai salinitas yang masih dalam batas toleransi kepiting bakau maka populasinya meningkat.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.3 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan jenis kepiting bakau yang didapatkan dari hasil penelitian sebanyak 2 spesies, yakni: Scylla oceanica dan Scylla serrata dari Filum (Arthropoda), Kelas (Crustacea), Ordo (Decapoda), Famili (Portunadea), Genus (Scylla). 2. Kepadatan populasi kepiting bakau aliran tambak 3,82 ind/m2, muara sungai 3,14 ind/m2, dan hutan mangrove 5,99 ind/m2. Kepadatan relatif Scylla oceanica 30,36% dan Scylla serrata 69,64% pada aliran tambak, dan muara sungai Scylla oceanica 26,11% dan Scylla serrata 73,89%. Kepadatan relatif pada hutan mangrove species Scylla oceanica 21,53% dan Scylla serrata 78,47%. Frekuensi kehadiran di aliran tambak pada Scylla oceanica 53,33% dan Scylla serrata 86,66%, pada muara sungai Scylla oceanica 30% dan Scylla serrata 83,33%, dan untuk hutan mangrove Scylla oceanica 60% dan Scylla serrata 100%. 3. Indeks diversitas Shanon Wienner (H’) atau indeks keanekaragaman kepiting bakau pada ketiga stasiun berkisar antara 0,52 – 0,61 dan indeks keseragamannya berkisar antara 0,74 – 0,88.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
4. Indeks distribusi Morista pada Scylla oceanica 0,48 disebut genus distribusi beraturan, dan Scylla serrata 0,68 distribusi genus beraturan. 5. Dari tiga lokasi penelitian didapatkan kesamaan jenis kepiting bakau (Scylla spp) dan Scylla serrata mendominasi di ketiga lokasi penelitian. 6. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa Orthofosfat sangat berpengaruh nyata berkorelasi searah (+) 1.000**. Hal ini memberikan hubungan sangat nyata terhadap kepadatan kepiting bakau. 7. Dari hasil laboratorium faktor fisik kimia didapati bahwa kualitas air laut di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang masih tergolong baik berdasarkan baku mutu.
6.4 Saran
1. Agar dilakukan penelitian yang lebih intensif dengan menggunakan jumlah stasiun pengamatan yang lebih bervariasi sehingga didapatkan hasil yang lebih optimal. 2. Agar dilakukan penelitian yang lebih luas terhadap semua jenis kepiting bakau (Scylla spp) dan jenis kepiting lainnya.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Ariola, F.J. 1990. A. Preliminare Study of the Life Histori Larvae Story of Scylla serrata (Forskalk). Phil.J.Sci. 73:43-456. Allert, C. dan S.S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Anwar, J., Damanik, S.J. Hisyam, N dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera, Yogyakarta: Gadjah Mada. University Press. Hlm. 127-148. Anonimus. 1998. Surat Keputusan No. 02/MENKLH/I.1998 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Budidaya Perikanan). Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. 4 halaman. Barus T.A. 1996. Metode Ekologi untuk Menilai Ekologi Suatu Perairan Lotik Medan. Program Studi Biologi FMIPA USU. Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi, Studi tentang Ekosistem Sungai dan Danau, Departement Biologi FMIPA USU. Medan. Barus T.A 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Program Studi Biologi FMIPA USU. Medan. Badan Pusat Statistik. 2005. Kecamatan Batang Kuis/Kecamatan Percut Sei Tuan. Baliao, D.D, E.M. Rodrigues and D.D. Gerochi, 1981. Culture of the Mud Crab Scylla serrata (Forskal) at Different Stocking Densities in Brackish Waterpond SEAF DEC, Quar, Res Repout 5: 10 – 14. Bengen, B.g. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multi Dimensi, Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Brotowidjoyo, M.D. Joko T. dan Eko M. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budi Daya Air. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Boer,D.R., Zafran, A. Pareurengi dan T. Ahmad.1993 Studi Pendahuluan Penyabit Kunang-Kunang pada Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Jakarta. Hlm. 40. Borneff, J. 1982. Nitrat, Nitrit, Nitrosamine in Gewassern. – Stand der Kenntnisseund der Forschung. – Deutsche Forschungsgemeinschaft. – Mitteilung III der Kommision fur Wasserforschung in Verbindung mit der
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kommision zur Prupung von Lebensmittelzusats – und Inhaltsstoffen. –Verlag – Chemie, Weinheim. Bower, J.Z Yerrold, C. Von Ende, 1990. Field and Laboratory Methods for General Zoologi : Third Edition. W.M.C. Brown Publiser United States of America. P. Hlm. 160 – 162. Budiraharjo,R. Basuki & Suwarsono. 1991. Studi tentang Biaya, Penerimaan dan Pemasaran Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) di Sefera Duahan Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hlm. 41. Cole, G.A.1983. Buku Teks Limnologi, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Hlm. 73-78. Dahuri, R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu: Cetakan Ketiga Penerbit Pradaya Pramita. Jakarta. Djaenuddin, D. Basumi, S. Hardjowigeno, H. Subagyo, M. Suharni, IS Mangun, CS, 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Jurnal Penelitian Pertanian. Hlm. 35. Estampador, E.P. 1949. Studies on Scylla (Crustacee: Portunidal) I Devision of Genus. Philippines Journal Science. Fuseya & Watanabe, S. 1996. Problem In Spesies Inditification of the Mud Crab Genus Scylla (Branchyura: Portunidaer). [03 Juli 2008]. Gunarto, 1987. Pemeliharaan Kepiting Bakau (Scylla serrata) pada Berbagai Tingkat Garam dalam Kondisi Laboratorium. Journal Penelitian Budidaya Pantai Vol 8 No. 4 Jakarta. Hlm. 86. Hutasoit, B. 1991. Telaah Segi-Segi Ekologi Kepiting Bakau. Fakultas Perikanan IPB Bogor. Hutching, B. dan P. Sesanger, 1987. Ecology of Mangrove. University of Queenland Press. St. Lucia, London. Hill, B.J., D.L. Fowler and M.J. Van Den Avyle. 1989. Blue Crab. Fish and Wilkdlife Service. U.S. Army Corps of Engineering Coastal Ecology Group and U.S. Departement of The Interior Washington D.C.18p. Hill, B.J. 1976. Natural Food Foregint Clearance Rose and Activity of the Mud Crab, Scylla serrata: Mar Biol. 34: 109-116. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata. Jakarta. Kordi, G.H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistim Polikatur. Dahara Press. Semarang. Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analisis of Distribution and Abudance. Third Edition, Harper & Row Publisher. New York. Levinton, J.S. 1982. Merine Ekology: Prentice Hall, Inc. America. P. 235-269. Macnae, W. 1968. A. General Accound of The Fauna and Flora of Mangrove Swamp and Forest in the Indo West Pacific Region in Marine Biology. Volume 6.1968. Eds SFS. Russel. SM. Yonge Academic Press. London and New York.p. Hlm: 73-270. Mackinon, K. Hatta, G., Halim, H. 2000. Ekologi Kelautan. Halindu Press. Jakarta. Michael. P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Alih Bahasa Yanti R. Koestoer. Universitas Indonesia. Jakarta. Miller, Connel, D.W.G.J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Alih Bahasa oleh Y.R. Koestoer. Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Moosa, M.K., I. Aswandy dan A. Karsy. 1985. Kepiting Bakau – Scylla serrata (Forskal) dari Perairan Indonesia. LON – LIPI. Jakarta. Mulya, M.B. 2000. Keanekaragaman dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) dan Keterkaitannya dengan Karakteristik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading. Jurnal Penelitian Pertanian. Sumatera Utara. Nabiel Makarim, 2004. Baku Mutu Air Laut, untuk Biota Laut, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 51 Tahun 2004. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Noor, G.R, Khazali, M. Suryadipura, I.N.N. 1992. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI – IP.Bogor. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Ahli Bahasa oleh H. Mohammad Eidman. PT. Gramedia. Jakarta.
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Ongkosongo, O.S.R, Soewati, S. Anuir, H.H, Zamzani, N.P. Tugaswati, T. 1990. Pesisir dan Lautan. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta. Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Keempat. Alih Bahasa Oleh Thahjono FMIPA – IPB Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Peavy, H.S : D.R Rowe and G. Tchobanoglous. 1986. Environmental Enginering. Mc. Graw Hill-Book Company. New York. Peraturan Pemerintah. No. 82 Tahun 2001. Tanggal 14 Desember 2001 – Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Departemen Kelautan R.I. Jakarta. Queensland Department of Primary Industries, 1989. Life Cycle of Mud. Crab (Scylla serrata) QDPI Leaflet QL 84002 Brisbane lp. Saeni, M.S 1991. Dampak pada Kualitas Air. PPLH Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. Sesanger, P dan B. Hutching, 1987. Ecology of mangrove. University of Queenland Press. St. Lucia, London, New York. 388p. Sirait J.M.1997. Preferensi Kepiting Bakau terhadap Kualitas Air (http=//mypage, tileks.com/nexxcafe/preferensi – kepiting bakau.thm). 20 Nop. 2005. Sinambela, M. 1994. Keanekaragaman Makrozoobenthos Sebagai Indikator Koalitas Sungai Babura. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Soim. A. 1999. Pembesaran Kepiting. Penerbit Swadane. Jakarta. Suin, 2002. Metode Ekologi. Penerbit Universitas Andalas. Padang. Sulaiman, Tjoronge, M dan Hanafi, A. 1993. Pembesaran Kepiting Bakau Scylla serrata, dengan konstruksi Tambak Berbeda. Journal Penelitian Budidaya Pantai. Vol.9 No. 1. Hlm. 12. Sulistiono. N., Watanabe, S. Yokota and R. Fusera. 1996. The Fishing Gears and Methods of The Mud Crab in Indonesia Cancer (S). Hlm. 23-26 (In Japanese). Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia. Jakarta. Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008
Stickney, R.R. 1979. Principles of Warmwater Aquaculture – John Wiley dan Sons, Toronto. Wardhana, W.A 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta Wardhana, A.W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan Edisi Revisi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Watanabe, S,S. Tsuchica, R. Fuseya, K. Soewandi and Zairion, 1996. The Crab Recources Around The Mangrove Forset. Fisheries Faculty, University of Tokyo and IPB 169 p. Wahyuni, I.S. dan Sunaryo, 1981. Beberapa Catatan tentang: Scylla serrata (Forskal) di Daerah Muara Dua, Segara Anakan, Cilacap. Makalah pada Kongres Nasional Biologi V di Semarang, 26-28 Juni, 8p. Wahyuni, I.S. dan W. Ismael, 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan Kepiting Bakau (Scylla serrata, (Forskal) di Perairan Tanjung Pasir. Journal Penelitian Perikanan Laut 38 – p.59-68. Tanggerang. Widhiastuti, RS. Rahayu, dan M.Z. Sofian, 1994. Keanekaragaman Fauna Kelas Gastropoda di Perairan Sungai Deli Kotamadia Medan. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara. Medan (www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm) (www.dpi.qld.gov.au/extra/pdf/fishweb/mudcrab.pdf)
Rosmaniar : Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di…, 2008 USU e-Repository © 2008