1297
Pengangkutan krablet kepiting bakau sistem kering (Muhamad Yamin)
PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING Muhamad Yamin*) dan Sulaeman**) *) Balai Riset Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Depok 16436 E-mail:
[email protected] **) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
ABSTRAK Pengangkutan krablet kepiting bakau biasanya dilakukan menggunakan kantong berisi air seperti pada pengangkutan ikan. Pengangkutan model ini tentunya tidak efisien karena membutuhkan banyak tempat, rawan kebocoran, lebih sulit dalam penanganan dan lebih berat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara pengangkutan krablet kepiting bakau yang lebih efektif dan efisien. Penelitian dilakukan menggunakan 1000 krablet kepiting bakau berumur 2 minggu dan berukuran kurang dari 1 cm serta berasal dari satu cohort. Perlakuan yang diberikan adalah pengangkutan krablet kepiting menggunakan kain putih yang dibasahkan dengan air laut dan rumput laut (Gracilaria sp.) segar yang selanjutnya dimasukkan dalam kantung plastik. Masing-masing perlakuan dimasukkan 200 dan 300 krablet tanpa ulangan dan diangkut selama lebih dari 5 jam. Hasil penelitian menunjukkan kepiting yang diangkut dengan kain basah maupun rumput laut mengalami kematian kurang dari 2% Krablet dengan pelindung rumput laut mengalami kematian lebih sedikit (1%) dibanding rumput laut (2%). Sedangkan krablet kepiting yang mengalami moulting selama pengangkutan berkisar 1-3%. KATA KUNCI:
pengangkutan, krablet kepiting, Scyla sp., sintasan, moulting.
PENDAHULUAN Kepiting bakau (Scylla sp.) merupakan salah satu krustase yang banyak diminati masyarakat serta memiliki nilai jual cukup tinggi (Hill, 1982; Kasprijo et al, 1996). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Budidaya kepiting bakau sebagai salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya Indonesia yang perlu mendapat percepatan peningkatan produksi untuk ekspor (program PROPEKAN) karena kepiting memiliki daya saing dan bernilai tinggi (Huda & Koeshendrajana. 2009). Menurut data statistik KKP tahun 2009, nilai produksi kepiting bakau baru mencapai 0.01 persen dari total produksi perikanan budidaya nasional yang mencapai 16,3 rilyun. Di pasar dalam negeri harga kepiting bakau dapat mencapai Rp. 40.000-100.000 perkilogram. Sementara di luar negeri harga kepiting bakau berkisar 6.10 U$ - 10.5 U$ per kg tergantung gradenya (Anonim, 2011). Pasar kepiting bakau saat ini sangat besar baik di dalam maupun luar negeri. Pasar ekspor kepiting bakau Indonesia mencakup Amerika, Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa. Namun sampai saat ini produksi dalam negeri belum mampu memenuhi semua permintaan tersebut karena keterbatasan produksi. Sebagai gambaran, kebutuhan kepiting untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya saja mencapai lebih dari 6 ton perhari atau lebih dari 150 ton/bulan (Nasir, 2006). Sementara kebutuhan kepiting bakau Amerika Serikat mencapai 450 ton setiap bulan (Anonim, 2011). Saat ini pasokan kepiting bakau masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam yakni mencapai 61.6% dan baru sebesar 38.4% yang dihasilkan dari budidaya (Anonim, 1999). Lebih lanjut, sebagian besar benih yang digunakan dalam budidaya kepiting pun berasal dari hasil tangkapan di alam dan bukan hasil pembenihan. Selain masih sulit untuk produksi benih, juga kurangnya pengetahuan tentang sistem penanganan pasca pembenihan termasuk model transportasi yang tepat dan efisien bagi krablet kepiting merupakan faktor penyebab timbulnya masalah tersebut. Kepiting bakau dapat ditemukan di seluruh kepulauan besar di Indonesia. Daerah-daerah penghasil kepiting bakau tersebar
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1298
Tabel 1. Daerah penghasil kepiting bakau dan nilai produksinya
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pulau / Provinsi Sumatera Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Riau Bangka Belitung Lampung Jawa Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali - Nusatenggara Nusa Tenggara Barat Kalimantan Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimatan Timur Sulawesi Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Maluku - Papua Maluku Papua Jumlah
Nilai Produksi (Satuan Rp. 1000) 42,884,150 25,362,810 15,406,290 1,104,800 675 33.525 59,111,122 8,547,790 16,062,142 34,501,190 75 75 40,978,340 2,348,494 716.645 37,913,201 27,232,800 9 27,223,800 12,795,000 11,300,000 1,495,000 183,076,412
Sumber: Anonim (2009)
mulai dari pulau Sumatera sampai Papua (Tabel 1). Sentra budidaya kepiting bakau di Indonesia diantaranya Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Anonim, 2010). Tingginya pengambilan kepiting bakau di alam telah menyebabkan terjadinya overfishing di beberapa daerah sentra penghasil kepiting bakau. Salah satu contoh adalah di perairan muara sungai Cenranae-Sulawesi Selatan, dimana selama Juni sampai September 1997 telah terjadi penurunan populasi kepiting bakau akibat penangkapan berlebih (Gunarto et al. 1999). Selanjutnya Taufik & Zafran (1997) melaporkan bahwa beberapa kepiting yang tertangkap sedang matang gonad atau sedang bertelur. Harga kepiting tersebut relatif lebih mahal dibanding yang tidak sedang bertelur. Untuk menjamin kelestarian kepiting bakau di Indonesia serta mengurangi risiko terjadinya overfishing maka peningkatan produksi kepiting bakau dari hasil budidaya serta mengurangi pengambilan kepiting di alam perlu dilakukan. Tentunya ketersediaan benih kepiting merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dalam kegiatan budidaya kepiting di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pembenihan kepiting sudah berhasil dilakukan diantaranya di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros (Yamin et al., 2007; Yamin & Sulaeman, 2008). Demikian pula riset untuk penggelondongan dan pembesaran kepiting di tambak (Sulaeman & Yamin, 2008) telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Selanjutnya dari segi pengangkutan krablet kepiting menggunakan kantung plastik yang diisi air telah diperoleh hasil yang cukup baik yaitu 97% (Sulaeman el al., 2008). Cara tersebut masih kurang efisien karena jumlah air yang diberikan cukup banyak. Diperkirakan bila volume air yang diberikan dapat kurangi, maka biaya pengangkutan dapat ditekan lebih dari 50%.
1299
Pengangkutan krablet kepiting bakau sistem kering (Muhamad Yamin)
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara pengangkutan krablet kepiting bakau yang lebih efektif dan efisien yaitu dengan sistem kering. Dengan sistem kering diharapkan akan mengurangi tingginya bobot pengangkutan krablet kepiting yang disebabkan oleh banyaknya air yang diberikan. BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan 1000 kepiting bakau muda (crablet), Scyla paramammosain yang berukuran rata-rata kurang dari 1 cm dan berasal dari satu cohort hasil pembenihan di Hatcheri BRPBAP, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Penelitian menggunakan 4 kantung plastik yang diisi
Gambar 1. Model pengangkutan krablet kepiting bakau dengan sistem kering media (shelter) sebagai berikut: a) dua kantung berisi media kain berwarna putih yang dibasahkan dan b) dua kantung berisi media rumput laut basah. Masing-masing media dimasukkan 200 dan 300 krablet kepiting. Individu yang digunakan berlaku sebagai ulangan (Gambar 1). Penelitian diawali dengan memasukkan benih kepiting (crablet) dengan jumlah dan media shelter sesuai dengan perlakuan ke dalam kantung plastik bening. Selanjutnya ke dalam kantung-kantung tersebut diberi oksigen murni, diikat rapat dan disimpan dalam kotak sterofoam. Pada bagian luar kantong diberi es balok lalu ditutup rapat. Pengangkutan dilakukan menggunakan kendaraan mobil yang diawali dari Kabupaten Barru menuju Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Panjang waktu dari pemaketan sampai dikeluarkan dari kantong adalah lebih dari 5 jam. Setiba di lokasi tujuan, krablet kepiting dikeluarkan dari kantong dan disimpan dalam wadah plastik. Penghitungan jumlah sintasan krablet kepiting yang hidup dan mati dilakukan secara manual. Parameter yang diamati:adalah jumlah krablet kepiting yang mati, hidup dan moulting. Sebagai data pendukung dilakukan pengamatan perilaku krablet saat dimasukkan dan setelah dikeluarkan dari kantong. Tabel 2. Sintasan krablet kepiting bakau yang diangkut dengan menggunakan media kain dan rumput laut
Jenis shelter Kain Kain Rumput laut Rumput laut
Sebelum pengangkutan Ind./kantung 300 200 300 200
Sesudah pengangkutan Mortalitas 6 4 2 2
Moulting 5 6 3 5
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1300
HASIL DAN BAHASAN Hasil pengamatan pengaruh shelter kain dan rumput laut terhadap sintasan (survival rate) krablet kepiting bakau ditampilkan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa shelter rumput laut sebagai media transportasi kepiting bakau memberikan hasil rata-rata kematian krablet yang lebih sedikit (1%) dibanding menggunakan shelter kain basah (2%). Namun demikian, hasil dari kedua perlakuan ini menunjukkan hasil kematian krablet yang lebih sedikit dibanding pengangkutan dengan sistem basah (menggunakan media air). Sulaeman et al., (2008) melaporkan bahwa kematian krablet kepiting bakau yang diangkut dengan sistem basah (kantong berisi air) mencapai 3% pada kepadatan 50 ind./L dan meningkat mencapai 12% pada kepadatan 150 ind./L. Dari hasil ini terlihat bahwa penggunaan shelter rumput laut basah dan kain basah cukup efektif menekan kematian krablet saat pengangkutan dan memberikan hasil yang lebih baik dibanding sistem basah. Lebih rendahnya kematian krablet kepiting pada pengangkutan dengan media rumput laut dan kain basah diduga disebabkan karena rumput laut dan kain basah dapat berfungsi sebagai pelindung krablet kepiting bakau dari benturan dan goncangan selama pengangkutan. Berbeda dengan sistem kering, pengangkutan dengan sistem basah menyebabkan krablet terkumpul di tengah kantung karena tidak adanya media untuk memegang. Bila terjadi goncangan seperti saat mobil berjalan atau direm, maka besar kemungkinan terjadi tumbukan/benturan antar krablet tersebut. Hal lain yang mungkin terjadi adalah antar krablet terjadi saling serang karena tidak adanya shelter untuk berlindung atau melarikan diri. Pada perlakuan kantong yang berisi rumput laut, Gracilaria sp. krablet-krablet kepiting langsung memegang atau bersembunyi diantara talus. Talus-talus rumput laut juga digunakan oleh krablet tersebut untuk berlindung atau melarikan diri dari serangan krablet lainnya. Kepiting bakau bersifat suka menyerang dan saling memangsa (kanibal) (Sulaeman & Yamin, 2008; Sulaeman et al., 2008). Sifat agresif dan kanibalisme ini sudah ada bahkan sejak masih stadia larva khususnya fase megalopa. Adanya rumput laut berfungsi sebagai pelindung dan alat bantu untuk menghidar dari serangan kepiting lainnya. Sulaeman & Yamin (2008) melaporkan bahwa penggunaan rumput laut dapat meningkatkan sintasan pada pembesaran kepiting bakau di tambak. Sementara penggunaan kain basah sebagai sedia shelter dalam pengangkutan kepiting bakau mampu meningkatkan sintasan krablet kepiting bakau dengan cara yang berbeda. Krablet kepiting yang berada diantara lapisan kain basah (Gambar 1) tidak dapat bergerak bebas dan cenderung menjadi diam. Bahkan walaupun antara satu krablet dengan lainnya diletakkan saling menumpuk, tidak terlihat saling serang khususnya setelah diletakkan kain di atas mereka. Dapat dikatakan bahwa krablet kepiting bakau yang diletakkan diantara kain akan menjadi kurang agresif. Hal yang sebaliknya terjadi saat krablet dikeluarkan dari kain. Sesaat setelah dikeluarkan dari kain dan diletakkan di wadah baskom, krablet menjadi agresif dan segera menyerang krablet lainnya. Pemindahan ke tempat/ lokasi pembesaran harus segera dilakukan untuk menghindari terjadinya kematian krablet. Kain basah nampaknya cukup efektif sebagai pengganti air dan mempertahankan kondisi tubuh krablet kepiting bakau agar tetap lembab selama waktu pengangkutan. Kepiting bernafas menggunakan insang yang terlindung dalam oleh ruang (chamber) di dalam karapas (O’Mahoney & Full, 1984; Gannon & Henry, 2004; Hawkins & Jones, 1982). Saat berada di luar air, maka ruang ini akan menahan air dan menjaga insang kepiting tetap basah sehingga kepiting dapat bertahan cukup lama di luar air. Dalam hal efektivitas dari kedua shelter pasca dikeluarkan dari kantong dapat dijelaskan sebagai berikut: krablet akan lebih mudah dipisahkan dari shelternya bila menggunakan shelter kain dibanding shelter rumput laut. Hal ini disebabkan karena krablet kurang dapat memegang shelter kain sehingga dapat dengan mudah lepaskan. Sebaliknya krablet kepiting dapat dengan mudah memegang thalus rumput laut yang berukuran kecil. Ditambah lagi bentuk talus yang tidak beraturan dan membentuk bongkahan dapat menyebabkan krablet tersembuyi di dalamnya. Oleh karena itu pemisahan krablet dari rumput laut harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan capit-capit kepiting yang berukuran kecil terlepas dari badannya. Faktor lainnya penyebab mudahnya pemisahan krablet dari kain adalah warna. Warna kain yang putih kontras dengan warna krablet yang lebih gelap
1301
Pengangkutan krablet kepiting bakau sistem kering (Muhamad Yamin)
mudah untuk membedakan krablet dari kain dengan cepat. Berbeda dengan rumput laut yang juga berwarna gelap, dapat menyamarkan warna krablet apalagi dengan ukurannya yang cukup kecil. Diperlukan ekstra ketelitian untuk menemukan membedakan krablet dari thalus rumput laut. Moulting adalah proses pergantian karapas kepiting dengan karapas yang baru. Dari ukurang krablet sampai berumur satu tahun, kepiting mengalami sekitar 17 kali moulting. Dalam pengangkutan kepiting bakau, jenis shelter terlihat memberikan pengaruh terhadap moulting krablet. Krablet yang diberi shelter rumput laut lebih sedikit yang mengalami moulting dibandingkan dengan shelter kain walaupun tidak terlalu besar (Tabel 1). Diduga kedua perlakuan ini tidak memberikan pengaruh yang cukup besar untuk memacu proses moulting krablet. Moulting yang terjadi lebih bersifat spontan dan bukan karena faktor luar. Setiap kali moulting tubuh kepiting akan bertambah besar 1/3 kali ukuran semula. Waktu moulting akan semakin lama seiring dengan pertambahan usia kepiting demikian sebaliknya semakin muda kepiting maka proses moulting nya semakin cepat. Krablet yang mati selama proses pengangkutan umumnya adalah krablet yang sedang moulting. Krablet yang sedang moulting cenderung menjadi lebih rentan karena karapasnya menjadi lunak (Sulaeman & Yamin, 2008) dan mudah diserang oleh kepiting lainnya. Demikian pula apa bila terjadi benturan selama proses pengangkutan atau saat dikeluarkan dari dalam kantong maka kepiting yang sedang moulting mudah tergencet dan mati. Faktor lain diduga sebagai penyebab kematian krablet adalah gagal moulting karena karapasnya tertahan oleh kain. Kain basah yang mengapit tubuh krablet diduga menahan lepasnya karapas dari tubuh krablet saat proses moulting. Krablet membutuhkan cukup banyak energi untuk melepaskan karapas dan membentuk karapas baru. Tertahannya karapas akan menyebabkan kepiting kehilangan banyak energi yang pada akhirnya berakibat buruk bagi krablet itu sendiri. KESIMPULAN Pengangkutan krablet kepiting bakau dengan sistem kering yaitu menggunakan shelter rumput laut dan kain basah memberikan hasil cukup baik dengan sintasan mencapai lebih dari 95%. Krablet yang moulting selama proses pengangkutan merupakan salah satu penyebab kematian selama proses pengangkutan. Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan shelter dalam pengangkutan krablet kepiting bakau maka perlu dilakukan uji coba dengan berbagai tingkat kepadatan krablet dan berbagai teknik pelipatan kain basah. Peletakkan kain dengan tepat akan dapat menjaga kondisi krablet, melindungi krablet dari serangan krablet lainnya dan meningkatkan efektivitas tempat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rusli, Zakaria dan staf teknisi di Hatcheri BRPBAP-Barru atas bantuan selama kegiatan penelitian. Penelitian ini dibiayai oleh APBN Tahun Anggaran 2008. DAFTAR ACUAN Anonim, 2011. Kepiting Bakau sebagai Salah Satu Potensi Daerah Kalimantan. (http://bisnisukm.com/ kepiting-bakau-sebagai-salah-satu-potensi-daerah-kalimantan.html). Visited, 7 Juli 2011. Anonim, 1999. Statistik Perikanan Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta. 61 hlm. Anonim, 2010. Komoditas Budidaya Air Payau Indonesia. http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=266:komoditas-budidaya-air-payauindonesia&catid=117:berita&Itemid=126. visited 7 Juli 2011. Gannon, A. T. and Henry, R. P. 2004. Oxygen and carbon dioxide sensitivity of ventilation in amphibious crabs, Cardisoma guanhumi, breathing air and water. Comparative Biochemistry and Physiology, Part A 138; p111–117 Gunarto, Daud, R. dan Usman. 1999. Kecenderungan penurunan populasi kepiting bakau di perairan muara Sungai Cenranae, Sulawesi Selatan ditinjau dari analisis parameter sumber daya. J. Penel. Perikanan Indonesia, V(3): 30-37.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1302
Hawkins, A.J.S. and Jones, M.B. 1982. Gill area and ventilation in two mud crabs, Helice crassa Dana (Grapsidae) and Macrophthalmus hirtipes (Jacquinot) (Ocypodidae), in relation to habitat. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology.Vol. 60 (2-3): 103-118 Hill, B.J. 1982. Distribution of juvenile, sub adult and adult Scylla serrata (Crustacea: Portunidae) on tidal flats in Australia. Mar. Biol. 69:117-120. Huda, H. M. dan Koeshendrajana, S. 2009. Perikanan Budidaya : Sebuah Model Optimasi Produksi Perikanan Nasional. Prosiding Seminakel Hangtuah 23 April 2009. Kaspirijo, Yunus, M., Marzuqi, Sutarmat, T., dan Setyadi, I. 1996. Pengaruh proporsi asam lemak hewani dan nabati pada pakan buatan terhadap pematangan gonad dan pemijahan kepiting bakau Scylla serrata. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, II(4): 30-35 Anonim, 2009. Statistik Perikanan Budidaya. Statistik Budidaya Tambak. Kementerian Kelautan dan Perikanan. http://statistik.kkp.go.id/index.php/statistik/c/9/0/0/Statistik-Budidaya-Tambak/ ?pulau_id=&subentitas_id=57&view_data=2&tahun_start=2008&tahun_to=2011&tahun=2009&filter=Lihat+Data+%C2%BB. Nasir, M. 2006. Tarakan dan Timika Punya Kepiting, Jakarta punya restoran. Harian Kompas. 28-102006. O’Mahoney, P. M. and Full, R. J. 2004. Respiration of Crabs in Air and Water. Camp. Biochem. Phvsiol. Vol.19A, No. 2, pp. 275-282. Sulaeman dan Yamin, M. 2008. Polikultur kepiting bakau (Scylla paramamossain) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa) di tambak. Teknologi Perikanan Budidaya, 2008. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hlm. 193-198. Sulaeman, Yamin, M. dan Parenrengi, A. 2008. Pengangkutan krablet kepiting bakau (Scylla paramammosain) dengan kepadatan berbeda. Jurnal Riset Akuakultur. Vol. 3 (1): 99-104. Taufik, I dan Zafran, 1997. Uji daya hambat berbagai jenis bakteri terhadap perkembangan Vibrio harveyi pada pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla serrata). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. III (1): 36-43 Yamin, M., Sulaeman dan Syamsulbahri. 2007. Pengaruh air rendaman kayu sepang (Caesalpinia sappan L.) terhadap larva kepiting bakau (Scylla serata) pada bak terkontrol. Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan, 2007. Badan Riset Kelautan Perikanan. hlm. 137-143. Yamin, M. dan Sulaeman, 2008. Pengaruh Saponin terhadap krablet kepiting bakau, Scylla paramammosain. Teknologi Perikanan Budidaya, 2008. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hlm. 179-183.