Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
SUBSTITUSI HIJAUAN DENGAN LIMBAH NENAS DALAM PAKAN KOMPLIT PADA KAMBING (The Substitution of Forages with Pineapple Wastes in Complete Feed for Goats) SIMON P. GINTING, RANTAN KRISNAN dan ANDI TARIGAN Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box 1 Galang Sei Putih, Deli Serdang 20585
ABSTRACT It is important to keep searching for alternative feeds that are not competeitive with other animals in order to develop an efficient goat production system. Waste–products in the form of pressed-fleshy part and the shell of the pinneapple fruits are available from the processing of pineapples into pineapple juice. This waste products are potential alternative feeds in term of it quantity. The objective of this study is to evaluate the nutritive values (chemical compositions, intake, digestibility) and the potential to use as substitution of forages in goat diets. Intake and digestion studies were conducted using 20 male weaned goats. The animals were divided into two groups (10 animlas/group) and randomly allocated to forage diets or pineapple wastes. The animals were put into individual metabolism crates. To study the optimum level of forage substitution by the pineapple wastes, 25 male kids were divided inti five groups and randomly allocated to one of five feed treatments with pineapple waste substitution level of 0, 25, 50, 75, and 100%. Chemical analyses showed that it’s contents of NDF, ADF and organic matter are relatively high, being 57,3; 31,1 and 81,9%, respectively. The crude protein content is low (3,5%) and water content is high (85,8%). These figures indicates that these waste-products have potential as energy source. When fed as a sole feed, it is shown that the intake level is relatively low (293 g/d) which is approximately equals to 2,5% of body weight (BW). This intake level is lower than the recommended level of 3,0–3,5% BW. The coefficient of digestion of dry matter is also relatively low (53%). It is shown from the study that forages could be substituted by the pineapple wastes at 25, 50k, 75, or 100% in complete diets without significant effects on feed intake and daily gain. Feed intake and daily gain across the treatments ranged from 525–564 g/d and 62 – 66 g/d, respectively. Total substitution of forage by the pineapple wastes significantly lowered the feed efficiency as indicated by the higher g feed consumed/g ADG (12,2) in this treatment group as compared to the other treatment groups (8.7, 8.6, 9.2 and 9.2 for), 15, 50 and 75% substitution level, respectively). No significant differences in feed efficiency, however, observed among the 0, 25, 50 and 75% substitution levels. It is concluded that when used in a complete feed the pineapple wastes could be used as the basal feed to substitute forages at the recommended substitution level ranging from 25 to 75%. Key Words: Pinneapple Wastes, Nutritive Values, Forage Substitution, Goats ABSTRAK Pengayaan inventori bahan pakan yang selama ini tersedia untuk ruminansia termasuk kambing perlu dilakukan secara berkesinambungan agar lebih kompetitif. Salah satu bahan pakan alternatif yang belum dimanfaatkan adalah limbah pengolahan buah nenas manjadi sari minuman yaitu ampas nenas berupa campuran kulit nenas dan sisa perasan daging buah nenas. Dalam penelitian ini dievaluasi kandungan dan komposisi kimiawi, tingkat konsumsi sebagai pakan tunggal dan koefisien cerna bahan kering serta optimasi penggunaan ampas nenas sebagai substitusi rumput dalam pakan komplit. Studi tingkat konsumsi dan kecernaan dilakukan pada dua puluh ekor kambing yang dibagi menjadi dua kelompok (10 ekor/kelompok). Secara acak kepada masing-masing kelompok diberikan hijauan atau ampas nenas sebagai pakan tunggal. Studi optimamasi penggunaan ampas nenas sebagai bahan pengganti rumput dilakukan pada percobaan pakan dengan merancang lima formula ransum dengan tingkat substitusi rumput dengan ampas nenas sebesar 0, 25, 50, 75 dan 100%. Analisis komposisi kimiawi menunjukan bahwa ampas nenas memiliki kandungan NDF dan ADF yang tinggi, berturut-turut sebesar 57,3 dan 31,1%. Kandungan bahan organik relatif tinggi (81,2%). Kandungan bahan kering yang relatif rendah (14,2%) menunjukan perlunya penanganan untuk penyimpanan dan dan pengolahan sebagai pakan. Kandungan protein kasar relatif rendah (3,5%). Tingkat konsumsi ampas nenas dalam bentuk kering mencapai 293 g/hari atau 2,5% bobot hidup. Angka ini dibawah rekomendasi
604
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
umum tingkat konsumsi sebesar 3,0-3,5% bobot hidup. Koefisien cerna bahan kering termasuk rendah (53,3%). Substitusi rumput dengan ampas nenas tidak mempengaruhi konsumsi pakan. Konsumsi berkisar antara 525–564 g/hari. Pertambahan bobot hidup berkisar antara 62–66 g/hari dan tidak berbeda antar perlakuan (P>0,05). Efisiensi penggunaan ransum berkisar antara 8,7–12,2. Secara numerik ada kecenderungan efisiensi penggunaan pakan menurun dengan meningkatnya taraf substitusi. Namun, secara statistik penururnan nyata hanya pada taraf substitusi sebesar 100% (P<0,05). Disimpulkan bahwa dalam bentuk pakan komplit ampas nenas dapat digunakan sebagai pakan dasar pengganti hijauan dengan tingkat substitusi berkisar antara 25–75%. Kata Kunci: Ampas Nenas, Nilai Nutrisi, Substitusi Hijauan, Kambing
PENDAHULUAN
MATERI DAN METODE
Pemanfaatan sumber daya lokal, termasuk bahan pakan secara maksimal merupakan langkah strategis dalam mencapai efisiensi produksi kambing. Penentuan prioritas dalam upaya mengeksplorasi dan eksploitasi berbagai bahan pakan alternatf pada akhirnya perlu didasarkan kepada pertimbangan efisiensi ekonomis. Efisiensi ekonomis bahan pakan antara lain ditentukan oleh pola volume dan logistik ketersediannya serta tingkat kompetisi dengan pengguna lain. Dari berbagai industri pengolahan bahan baku primer asal pertanian menjadi produk olahan dihasilkan biomas berupa limbah atau hasil sisa yang memiliki potensi efisiensi ekonomis yang tinggi pada ruminansia (PRESTON and LENG, 2004). Hal ini disebabkan pola ketersediaan bahan sepanjang tahun, terkonsentrasi dan tidak bersaing dengan ternak lain, khususnya monogastrik. Industri pengolahan buah nenas (Annanas communus L.) menjadi sari minuman nenas (konsentrat) menghasilkan limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging buah. Potensi penggunaan limbah pengalengan nenas sebagai bahan pakan telah diteliti pada sapi (MULLER, 1978). Potensi komposisi kimiawi limbah nenas telah dievaluasi oleh HUTAGALUNG (1977), HARTADI (1986) dan SUSANTO (1995). Akan tetapi, komposisi kimiawi limbah nenas dapat bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas, kematangan buah, tingkat penyulingan serta proporsi bagian yang menyususn limbah nenas (MULLER, 1978). Disamping itu, potensi penggunaan limbah pengolahan nenas belum banyak dievaluasi pada kambing. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas nitrisi limbah pengolahan nenas pada kambing serta potensi pemanfaatannya sebagai pengganti hijauan sebagai sumber serat dalam pakan komplit.
Limbah pengolahan buah markisa diperoleh dari PT Damar Siput, berlokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Kandungan N, bahan kering dan abu ditentukan dengan metoda proksimat (AOAC, 1990). Kandungan energi kasar ditentukan menggunakan bom kalorimeter adiabatik. Kandungan serat deterjen netral (NDF) ditentukan menurut metode VAN SOEST et al. (1991). Serat deterjen asam (ADF) dianalisis menggunakan metoda (GOERING dan SOEST, 1970). Untuk menganalisis tingkat konsumsi dan kecernaan ampas nenas pada kambing dilakukan uji pakan (feeding trial). Digunakan 20 ekor kambing Kacang jantan dewasa dengan bobot hidup berkisar antara 16 dan 18 kg. Sebelum digunakan ternak diberi anti endoparasit (Wormex powder, Bremer Pharma, Germany) dan anti ekto-parasit (Ipomex). Ternak dikelompokan menjadi dua kelompok (10 ekor per kelompok) dan secara acak diberi perlakuan pakan yaitu ampas nenas atau rumput raja (Penisetum purpupoides) sebagai pakan tunggal. Ternak ditempatkan pada kandang metabolisma secara individual. Limbah nenas diberikan dalam bentuk kering (kadar air 10–13%). Pakan diberikan ad libitum (110–120% konsumsi hari sebelumnya). Konsumsi dicatat setiap hari hingga diperoleh tingkat konsumsi maksimal. Selanjutnya, koefisien cerna diukur dengan menampung feses selama lima hari berturutturut. Selama periode tersebut ternak diberi pakan sebanyak 90% dari potensi konsumsi untuk menjamin bahwa pakan dikonsumsi habis (tidak terdapat sisa), sehingga tercapai kondisi steady state. Feses ditampung, ditimbang lalu diambil sample sebanyak 10% (g/g), dan dikomposit per ternak untuk disimpan pada temperatur –25°C untuk analisa
605
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
selanjutnya. Urine ditampung dengan ember plastik yang telah diberi 10 ml HCL 30% (v/v), dan sample diambil sebanyak 10% (v/v), lalu dikomposit, kemudian dilarutkan dengan akuades menjadi 1,0 L untuk mencegah presipitasi garam. Optimasi penggunaan limbah nenas sebagai pakan dasar pengganti rumput dalam pakan komplit pelet dilakukan dengan menyusun lima formula ransum sbb: R1: Limbah Nenas (60%) + Hijauan (0%) + Konsentrat (40%) R2: Limbah Nenas (45%) + Hijauan (15%) + Konsentrat (40%) R3: Limbah Nenas (30%) + Hijauan (30%) + Konsentrat (40%) R4: Limbah Nenas (15%) + Hijauan (45%) + Konsentrat (40%) R5: Limbah Nenas (0%) + Hijauan (60%) + Konsentrat (40%) Digunakan hijauan pakan berupa campuran berbagai jenis rumput yang berasal dari areal perkebunan kelapa sawit atau karet. Komposisi bahan baku pakan kelima formula pakan tertera pada Tabel 1. Formula pakan disusun sedemikian rupa sehingga iso-energi (2600 kkal/kg BK) dan iso-protein (14%). Ampas nenas dan hijauan pakan dikeringkan dibawah sinar matahari, lalu digiling menggunakan
grinder. Seluruh bahan pakan kemudian dicampur merata secara manual sesuai dengan formula yang telah ditetapkan, lalu diproses menjadi pelet. Digunakan 25 ekor kambing Kacang jantan lepas sapih dengan bobot hidup berkisar antara 12 dan 14 kg. Ternak dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan bobot hidup (5 ekor per kelompok), dan secara acak dialokasikan kepada salah satu dari kelima perlakuan pakan. Kambing percobaan ditempatkan dalam kandang metabolisma (1,6 m x 0,55 m) secara individual. Ternak dibiarkan beradaptasi dengan perlakuan pakan selama dua minggu atau setelah konsumsi konstan, sebelum pengumpulan data dilakukan. Pakan komplit diberikan ad libitum yaitu 3,5-4,0% bobot hidup (bahan kering). Konsumsi pakan dicatat setiap hari dengan menimbang jumlah yang diberikan dan sisa. Ternak ditimbang setiap dua minggu selama 3 bulan masa pengamatan. Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan lima ulangan (SNEDECOR dan COCHRAN, 1980). Parameter yang diamati adalah: 1) konsumsi, 2) pertambahan bobot hidup, dan 3) efisiensi penggunaan pakan (EPR). Data dianalisis dengan analisa sidik ragam menggunakan General Linear Model (SAS, 1991). Apabila terdapat pengaruh perlakuan yang nyata (P<0,05), maka akan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal (STEEL dan TORRIE, 1980).
Tabel 1. Komposisi ransum perlakuan dengan kandungan kulit nenas berbeda dalam ransum Bahan Kulit nenas Rumput lapangan Urea Dedak Bungkil inti sawit Jagung giling Tepung ikan Bungkil kedelei Garam Ultra mineral Komposisi dalam bahan kering
606
R1 60 0 1,5 14,07 7,01 5,0 3,0 7,42 1,0 1,0
R2 45 15 1,3 7,95 15,27 5,0 3,0 5,49 1,0 1,0
Perlakuan Pakan1) R3 30 30 1,3 10,0 17,16 5,0 2,0 2,55 1,0 1,0
R4 15 45 1,5 10,0 20,5 5,0 1,0 0 1,0 1,0
R5 0 60 1,3 13,03 18,68 5,0 0 0 1,0 1,0
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimiawi ampas nenas Tabel 2. Seperti diduga, komposisi kimiawi (bahan organik dan energi kasar) mengindikasikan potensi ampas nenas sebagai sumber energi jika digunakan sebagai bahan pakan pada kambing. Kandungan bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian MULLER (1978), HUTAGALUNG (19770) dan HARTADI et al. (1986) yaitu berkisar antara 85–86%, namun sebandingkan dengan SUSANTO (1995). Kandungan protein kasar relatif lebih rendah dibandingkan dengan MULLER (1978), HUTAGALUNG (1977) dan SUSANTO (1995) yaitu berkisar antara 5,0– 7,2% namun sebanding dengan HARTADI et al. (1986). Perbedaan komposisi kimiawi ini dapat dibebakan oleh beberapa faktor seperti varietas, kematangan buah, tingkat penyulingan serta proporsi bagian yang menyususn limbah nenas. Tabel 2. Komposisi kimiawi ampas nenas hasil pengolahan buah nenas menjadi sari nenas (% bahan kering) Parameter Bahan kering Bahan organik Abu Nitrogen (N) Protein kasar (N x 6,25) Serat kasar Serat deterjen netral (NDF) Serat deterjen asam (ADF) Lemak kasar Energi kasar
Kandungan BK (%) 14,22 81,90 8,1 0,56 3,50 19,69 57,27 31,09 3,49 4481,2
Kandungan NDF termasuk moderat dibandingkan dengan dengan NDF pada beberapa jenis rumput yang berkisar antara 66,6–76,1% (NASRULLAH et al., 2003), Dibandingkan pada beberapa jenis rumput dengan kandungan N berkisar antara 5,6– 14,5% (NASRULLAH et al., 2003), kandungan N pada ampas nenas relatif lebih rendah. Dengan demikian, substitusi rumput dengan ampas nenas perlu diikuti dengan penggunaan bahan lain dengan kandungan protein lebih tinggi untuk memepertahankan protein ransum yang setara.
Konsumsi bahan kering, bahan organik dan NDF ampas nenas diberikan sebagai pakan tunggal lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan konsumsi rumput raja tertera pada Tabel 3. Bila diukur terhadap bobot hidup, maka tingkat konsumsi bahan kering hanya mencapai 2,5% bobot hidup. Angka ini dibawah rekomendasi KEARL (1982) untuk konsumsi bahan kering pakan kambing sebesar 2,8–3,2% bobot hidup. Rendahnya konsumsi dapat disebabkan kandungan N yang sangat rendah (ELLIS et al., 2000; COLEMAN et al., 2003) atau akibat NDF (WALDO, 1986; HADJIGEORGIOU et al., 2003). Selain itu, dalam penelitian ini ampas nenas diberikan dalam bentuk kering dengan kadar air berkisar antara 10–12%. Kondisi fisik ini kemungkinan berperan dalam menurunkan konsumsi pakan. Selama penelitian diamati bahwa untuk mencapai konsumsi maksimal dibutuhkan waktu adaptasi cukup lama dan bervariasi antar ternak yaitu berkisar antara 30–45 hari. Namun, pengamatan empiris menunjukan bahwa palatabilitas kulit nenas dalam bentuk segar cukup tinggi. Akan tetapi, kadar air ampas nenas segar juga relatif tinggi (70– 80%), sehingga akan mudah mengalami kerusakan bila tidak segera diproses. Oleh karena itu penelitian untuk mendapatkan kadar air optimal ampas nenas untuk mencapai konsumsi maksimal tanpa mengalami proses kerusakan akan bermanfaat bagi pemanfaatan bahan tersebut secara efisien. Tabel 3. Konsumsi dan kecernaan ampas nenas dan rumput raja yang diberikan kepada kambing sebagai pakan tunggal Parameter
Konsumsi, g/hari Ampas nenas
Rumput raja
a
430 ± 52,1b
a
382 ± 48,3b
a
271 ± 36,2b
Bahan kering
57,3 ± 11,5a
60,1 ± 9,2a
Bahan organik
60,2 ± 9,3a
63,6 ±8,8a
Bahan kering Bahan organik NDF
332 ± 49,2 279 ± 45,3 187 ± 27,1
Koefisien cerna, %
NDF
a
54,5 ± 12,6
46,4 ± 13,3b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan (P<0,05)
607
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik ampas nenas tidak berbeda (P>0,05) dengan rumput raja, sedangkan kecernaan NDF lebih tinggi (P<0,05) pada ampas nenas dibandingkan rumput Raja. Dibandingkan dengan NDF, maka ADF lebih berkorelasi dengan kecernaan suatu bahan pakan (REID et al., 1988; JUNG dan ALLEN, 1995). Kandungan ADF antara ampas nenas dengan rumput raja dalam penelitian ini relatif sebanding (31,09 vs. 39,10%). Hal ini kemungkinan menyebabkan tidak terdeteksinya pengaruh perbedaan tingkat kecernaan NDF terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kedua bahan. Konsumsi pakan pada kambing diberi ransum dengan beberapa tingkat substitusi hijauan dengan ampas nenas tertera padaTabel 4. Tidak terdapat perbedaan konsumsi pakan antar kelompok perlakuan (P>0,05), namun secara numerik konsumsi meningkat pada level substitusi antara 0–50%, lalu menurun pada substitusi 75 dan 100%. Data ini menunjukan bahwa palatabilitas ampas nenas yang terlihat lebih rendah jika diberikan sebagai pakan tunggal tidak terjadi apabila diberikan sebagai komponen bahan dalam pakan komplit. Keadaan ini dapat disebabkan karena tidak adanya seleksi oleh ternak akibat penggunaan pakan dalam bentuk pelet. Tingkat konsumsi ransum pada penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian BATUBARA et al. (2003) menggunakan ransum berbasis limbah kelapa sawit. Namun, lebih rendah 13-28% dibandingkan dengan konsumsi pakan berbasis bahan pakan konvensional (LALLO, 1996; JIA et al., 1995), walaupun perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh jenis dan bobot kambing yang digunakan. Namun bila diekspresikan terhadap bobot hidup, konsumsi ransum pada semua tingkat substitusi ampas nenas berkisar antara
antara 3,5–3,8% bobot hidup, lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi KEARL (1982) untuk kambing. Perbedaan tingkat substitusi hijauan dengan ampas nenas tidak mempengaruhi (P>0,05) pertambahan bobot hidup (PBHH) pada kambing, meskipun secara numerik PBHH cenderung menurun dengan meningkatnya taraf ampas nenas dalam campuran pakan. PBHH pada semua perlakuan pakan berkisar antara 62–66 g/hari. Tingkat pertambahan bobot hidup yang dicapai dalam penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian AKHIRANY (1998) dan BATUBARA et al. (2003) untuk ternak kambing kacang dengan bobot hidup awal antara 12–13 kg, namun mungkin belum mencerminkan potensi pertumbuhannya. PBHH pada kambing kacang muda dengan pakan komersial (protein 21,4% dan gros energi 3,9 Mkal/kg) mencapai 78,3 g (MARTAWIDJAJA et al., 1999). Efisiensi penggunaan ransum (EPR) yaitu rasio unit pakan dikonsumsi dengan unit PBHH (g pakan/g PBHH) tidak berbeda (P>0,05) antar kelompok yang mendapat ransum dengan tingkat substitusi hijauan oleh ampas nenas sebesar 0, 25, 50 dan 75%. EPR nyata menurun (P<0,05) pada kelompok yang diberi pakan dengan tingkat substitusi rumput oleh kulit nenas 100%. Secara numerik EPR optimum tercapai pada tingkat substitusi sebesar 25%, namun penggunaan tingkat substitusi sebesar 50 atau 75% masih dapat diterima, terutama pada kondisi ketersediaan hijauan yang sangat terbatas. Substitusi hijaun dengan ampas nenas sebesar 50 atau 75% mengakibatkan penurunan efisiensi penggunaan ransum sebesar 6,9% dibandingkan dengan tingkat substitusi sebesar 25%.
Tabel 4. Konsumsi ransum, pertambahan bobot hidup harian (PBHH) dan efisiensi penggunaan ransum (EPR) pada kambing diberi ransum dengan level substitusi rumput dengan ampas nenas berbeda Level substitusi (%)
Parameter 0
25
50
75
100
Konsumsi, g/hari
525
566
584
568
564
PBHH, g/hari
65,1
66,2
63,0
63,8
62,2
EPR
8,7a
8,6 a
9,2 a
9,2 a
12,2 b
Superskrip yang berbeda pada baris menunjukan perbedaan (P<0,05)
608
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
KESIMPULAN Komposisi kimiawi ampas nenas menunjukkan potensi sebagai sumber energi, sedangkan kandungan protein kasar sangat rendah. Pemanfaatan ampas nenas yang dikeringkan sebagai pakan dasar akan dibatasi oleh konsumsi yang rendah jika pemberiannya dilakukan secara tunggal. Rendahnya tingkat konsumsi ini diduga disebabkan oleh kandungan N yang rendah, kandungan NDF atau kadar air bahan yang terlalu rendah atau kombinasi ketiganya. Penggunaan ampas nenas sebagai pakan dasar menggantikan hijauan dapat dilakukan jika digunakan dalam bentuk pakan komplit. Tingkat substitusi optimal hijauan oleh ampas nenas adalah 25%, namun dapat direkomendasikan tingkat substitusi sebesar 50 atau 75% apabila ketersediaan hijauan terbatas. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analyses. 15th Ed. Association of Official Analythical Chemists, Washington, DC. BATUBARA LP, S.P. GINTING, K. SIMANIHURUK, J. SIANIPAR dan A. TARIGAN. 2003. Pemanfaatan limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit sebagai ransum kambing potong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29–30 September 2003 Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 106–109. COLEMAN, S.W., S.P. HART and T. SAHLU. 2003. Relationships among forage chemistry, rumination and retention time with intake and digestibility oh hay by goats. Small Rum. Res. 50: 129–140. ELLIS, W.C., D. POPPI and J.H. MATIS. 2000. feed intake in ruminants: Kinetics aspects. In: D’MELLO, J.P.F. (Ed.). Farm Animal Metabolism and Nutrition. CABI Publishing. GOERING, H.K. and P.J. VAN SOEST. 1970. Forage Fiber Analysis (Appartus, Reagents, Procedures and some Application). US Dep. Agric. Handb. HADJIGEOURGIOU, I.E., I.J. GORDON and J.A. MILNE. 2003. Comparative preference by sheep and goats for Graminaeae forages varying in chemical composition. Small Rum. Res. 49: 147–156
HARTADI, H., S. REKSOHADIPRODJO dan A.D. TILLMAN. 1986. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. HUTAGALUNG, R.I. 1977. Non tradisional feedstuffs for livestock in South East Asia. In: Feestuffs for Livestock in South East Asia. Malysian Society for Animal Production. JIA, Z.H., T. SAHLU, J.M. FERNANDEZ, S.P. HART and T.H. TEH. 1995. Effects of dietary protein level on performance of Angora and casmereproducing Spanish goats. Small Ruminant Research. The J. Int. Goat Assoc. Amsterdam: Elsevier. 16(2): 113–119. KEARL, L.C. 1982. Nutrient requirements of ruminants in developing countries. Int. Feedstuffs Institute, Utah University, Logan, USA. LALLO, C.H.O. 1996. Feed intake and nitrogen utilization by growing goats fed by-product based diets of different protein and energy levels. Small Ruminant Research. The J. Int. Goat Assoc. Amsterdam: Elsevier. 22(3): 193–204. MULLER, Z. 1978. Feeding potentials of pineapple wastes for cattle. World Animal Review 25: 25–29 NASRULLAH, M. NIIMI, R. AKHASI and O. KAWAMURA. 2002. Nutritive evaluation of forage plants grown in South Sulawesi, Indonesia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 16: 693– 701. PRESTON, T.R. and R.A. LENG. 2004. Challenges and opportunities for more sustainable use of local resources through livestock-based integrated farming systems. Proc. 11th Animal Science Conggress. Vol. II. AAAP Sicieties, 5–9th September 2004, Kuala Lumpur, Malaysia. SAS. 1991. SAS User’s Guide: Statistics. SAS Inst. Inc., Cary, NC. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. 2nd Ed. Mc Graw-Hill Book Co., New York. SUSANTO, H. 1995. Pengaruh jenis kapang dan lama fermentasi terhadap perubahan komposisi zat makanan limbah pengalengan nenas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. V
609
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
AN
SOEST, P.J., J.B. ROBERTSON and B.A. LEWIS. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber, and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci. 70: 2063.
WALDO, D.R. 1986. Effect of forage quality on intake and forage-concentrate interactions. J. Dairy Sci. 69: 617.
DISKUSI Pertanyaan 1. Bagaimana proses pengolahan limbah nenas yang dimaksud sebelum diberikan ke ternak? 2. Bagaimana kualitas karkas kambing yang diberi limbah sawit? 3. Apakah ransum komplit yang saudara susun ini lebih menguntungkan, dan apakah berlaku juga untuk kebun karet di Sei Putih? Jawaban 1. Bahan limbah nenas segar dari pabrik dikeringkan, digiling lalu di blending dengan bahan pakan lain dan dibentuk menjadi pelet menggunakan mesin. 2. Belum dilakukan analisis kualitas karkas, cakupan baru sampai taraf konsumsi, kecernaan dan potensi substitusi terhadap hijauan pakan. 3. Complete feed ditujukan untuk usaha produksi yang intensif. Ada peluang bahwa complete feed lebih efisien dengan pertimbangan efisien tenaga kerja dan tidak tergantung pada hijauan. Pada ekosistem tertentu pengembangan hijauan tidak memungkinkan sehingga penggunaan limbah nenas akan menjanjikan. Untuk ekosistem perkebunan karet tidak harus dengan complete feed
610