INTENSIFIKASI PEMELIHARAAN KELINCI PENGHASIL DAGING MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TEMPE DAN ONGGOK TERFERMENTASI DALAM PAKAN KOMPLIT Usman Ali dan Badriyah ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengkaji penggunaan limbah industri tempe dan onggok terfermentasi (LITOF) dalam ransum kelinci. Materi penelitian adalah 30 ekor kelinci jantan New Zealand White berbobot badan 625,03 ± 36,72 gram. Metode penelitian percobaan dengan rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan tingkat penggunaan LITOF dalam ransum sebesar 0% ; 5% ; 10% ; 15% ; 20%. Variabel yang diamati yaitu konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, kecernaan pakan dan konversi pakan. Perbedaan respon antar perlakuan dianalisis dengan sidik ragam dan uji BNT.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penggunaan LITOF dalam ransum berpengaruh nyata terhadap performan kelinci. Rataan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan konversi pakan selama penelitian (35 hari) berkisar antara 4965,40 – 5186,11 g/ekor ; 680,65–758,46 g/ekor ; 54,12 – 59,14% ; 66,350 – 67,58% dan 6,54 – 7,68. Disimpulkan bahwa penggunaan LITOF sebanyak 15% dalam ransum memberikan optimasi pertumbuhan dan efisiensi pakan dalam intensifikasi pemeliharaan kelinci jantan. Kata Kunci: pakan lengkap, kelinci, LITOF, performans. ABSTRACT The aim of this research was to study potency and usage of soybean industrial waste and onggok fermented (SIWOF) in rabbit feed. The research used 30 male rabbits of New Zealand white, with 625.03 ± 36.72 gram average of body weiht. This research used experimental completely randomized design, with treatment of level given of SIWOF in diet: 0% ; 5% ; 10% ; 15% and 20%. Variable observed were feed intake, body weight gain, feed digestion, and feed conversion. The difference of response between treatments analyzed by ANOVA and BNT test. The result of research indicates that the usage of SIWOF in complete feed was significant for rabbit performance. The average of feed intake, body weight gain, dry material digestion and organic material digestion, and feed conversion during research (35 days) of each treatment are: 4965,40–5186,11 g/head ; 680,65–758,46 g/head ; 54,12 – 59,14% ; 66,350 – 67,58% ; and 6,54 – 7,68. Then it is concluded that giving of SIWOF 15% in feed to give optimation growth, and feed efficiency in intensification of male rabbit.
1
Keywords: complete feed, rabbit, SIWOF, performance. Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Islam Malang
PENDAHULUAN Dalam intensifikasi usaha peternakan, segala sesuatu kebutuhan ternak harus disediakan dalam kandang sehingga penyediaan pakan mutlak diperlukan. Pemilihan suatu bahan pakan sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan kandungan nutrisi saja tetapi sedapat mungkin menghindari dari kompetisi kebutuhan pangan manusia, harga murah serta cukup tersedia di sekitar lokasi peternakan sehingga dapat menekan biaya pakan karena porsi pakan mencapai 70% biaya total produksi peternakan. Kelinci sebagai salah satu komoditas ternak mudah berkembangbiak, tidak banyak membutuhkan modal, lahan dan kandang sempit serta sebagai hewan kesayangan sehingga kelinci perlu dikembangkan. Selain itu kelinci menghasilkan daging berprotein tinggi dan sedikit berlemak sehingga daging kelinci aman dari resiko kolestrol (Nugroho, 1982). Kelinci berbeda dengan ternak monogastrik lain dan termasuk pseudoruminan dengan digester mikrobial sekum seperti kuda sehingga tingkat toleransi terhadap pakan berserat diatas 12% dan protein rendah sebesar 12-15% relatif sama dengan standar protein pakan ruminansia.
Di daerah pinggiran kota Malang banyak dijumpai industri pangan seperti industri tahu, pembuatan tempe Sanan, tepung tapioka Kepanjen, keripek ubi kayu dan penggilingan padi sehingga limbahnya melimpah dan masih banyak dibuang begitu saja. Sebenarnya bahan limbah ini dapat bermanfaat sebagai pakan kelinci karena masih terdapat nutrien yang dibutuhkan ternak, selain itu harganya murah dan tidak bersaing dengan manusia. Campuran yang tepat limbah industri tempe dan onggok sangat cocok untuk pakan sumber energi, namun karena keduanya berupa limbah sehingga memiliki kandungan serat kasar tinggi. Agar campuran kedua bahan pakan tersebut lebih berdaya guna dan disukai kelinci maka perlu diolah terlebih dahulu melalui proses biofermentasi (Rahman, 1993). Penerapan biofermentasi menggunakan starter ragi tempe dan EM4 diharapkan menghasilkan enzim-enzim yang mampu bekerja secara sinergis dalam dekomposisi serat kasar dan anti nutrisi menjadi bahan metabolit, tambahan nitrogen sel, aneka enzim cerna dan produk pakan yang palatabel bagi kelinci karena aroma dan rasa yang khas. Selain itu produk limbah industri
2
tempe dan onggok terfermentasi (LITOF) merupakan bahan pakan yang relatif murah, sehingga penggunaannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas pakan, selain itu mampu mengurangi biaya pakan. Pakan kelinci diformulasi sedemikian rupa dari campuran limbah agroindustri kondisi kering udara: bungkil kelapa, pollard, bekatul, bungkil kedelai, ampas tahu, mineral dan LITOF sampai mencapai standar nutrisi yang dibutuhkan kelinci terutama protein. Hal ini harus diikuti dengan manajemen pemberian pakan dan air minum secara ad libitum dan terkontrol untuk mencapai efisiensi pakan. Ransum yang diberikan pada ternak tidak semua nutriennya tercerna dan terserap sempurna, penggunaan protein yang efisien dapat dilihat dari tingkat daya cerna protein pakan yang diberikan. Hal ini tidak terlepas dari kandungan serat kasar bahan pakan, apabila kandungan serat kasar dalam bahan pakan tinggi dapat mengurangi
R0 R1 R2 R3 R4
tingkat kecernaan dan penggunaan nutrisi pakan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan produk biofermentasi limbah industri tempe dan onggok diformulasi mencapai isoprotein dalam ransum terhadap optimalisasi pertumbuhan, konsumsi pakan, kecernaan nutrien dan konversi pakan pada kelinci.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 5 perlakuan diulang 3 kali, setiap unit percobaan diisi 2 ekor kelinci jantan. Perlakuan penelitian adalah tingkat penggunaan campuran limbah industri tempe dan onggok terfermentasi (LITOF) dalam ransum kelinci jantan disusun sebagai berikut:
Ransum tanpa penggunaan LITOF Penggunaan 5% LITOF dalam ransum Penggunaan 10% LITOF dalam ransum Penggunaan 15% LITOF dalam ransum Penggunaan 20% LITOF dalam ransum
Materi penelitian adalah kelinci New Zealand White berkelamin jantan sebanyak 30 ekor, umur 80 hari dengan bobot badan kelinci sebesar 625,03 ± 36,72 gram yang diperoleh dari peternakan kelinci di Kota Batu Malang.
Bahan pakan yang digunakan meliputi bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil jagung, pollard, bekatul, kulit kacang, molasis, konsentrat sapi perah, ampas tahu, mineral garam dapur dan kapur serta campuran limbah industri tempeonggok terfermentasi (LITOF).
3
Semua bahan pakan dibuat kering udara untuk memudahkan grinding dan pencampuran dalam formulasi ransum. Kandang yang digunakan sistem panggung per petak berukuran 60 x 60 x 50 Cm3, dan setiap petak dilengkapi tempat pakan dan tempat minum.
Komposisi bahan pakan dalam ransum diformulasi sedemikian rupa sesuai perlakuan menjadi isoprotein sebesar 15,10% dan serat kasar diatas 12%. Secara lengkap kandungan nutrisi pakan sebagai berikut.
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Ransum Perlakuan Kandungan Nutrisi ( %) Bahan kering (%) Energi Metabolis (kkal/kg) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Pospor (%)
R0 84,50 2931 15,10 4,35 12,92 0,77 0,89
Data yang diperoleh dianalisis ragam menurut petunjuk Yitnosumarto (1993) untuk mengetahui pengaruh penggunaan produk biofermentasi limbah industri tempe dan onggok dalam ransum terhadap konsumsi pakan, kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan dan konversi pakan pada kelinci
Perlakuan (%) R1 R2 84,78 85,18 2958 2986 15,10 15,10 3,75 3,54 13,21 13,46 0,78 0,79 0,90 0,92
R3 85,94 3014 15,10 3,32 13,68 0,80 0,94
R4 86,44 3023 15,10 3,15 13,92 0,81 0,96
jantan. Perbedaan pengaruh perlakuan diuji menggunakan Uji BNT sekaligus untuk memilih perlakuan optimum. Secara
skematis
alur
adalah
sebagaimana
penelitian
tertera
pada
Gambar 1 sebagai berikut:
4
Limbah agroindustri (gamblong dan kulit biji kedelai)
Penyiapan media biakan ragi tempe dan EM4.
Biofermentasi Limbah Agroindustri secara fakultatif anaerob
Formulasi pakan dengan level LITOF: 0% , 7,5% ; 15,0% ; 22,5% dan 30% dalam ransum
Uji khemis pakan Uji Biologis pakan pada Kelinci
Gambar 1. Skema Alur Penelitian
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
kelinci jantan New Zealand White lepas sapih disajikan pada Tabel 2.
Hasil penelitian diperoleh Tabel 2. Rataan konsumsi rataan konsumsi pakan, kecernaan pakan, kecernaan pakan (KcBK, pakan, pertambahan bobot badan KcBO), PBB dan konversi (PBB) dan konversi pakan pada pakan kelinci selama 35 hari penelitian. Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Konsumsi (g/ekor) 4965.40a 5067.29a 5086.99a 5104.66ab 5186.11b
Kecernaan %KcBK %KcBO 54.12a 66.35a 54.28a 66.56ab 55.01ab 66.91ab 58.38ab 67.38 b 59.143b 67.58 b
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa tingkat penggunaan campuran limbah industri tempe dan onggok terfermentasi dalam ransum kelinci jantan berpengaruh sangat nyata (p 0,01) terhadap konsumsi pakan. Peningkatan level penggunaan LITOF maka konsumsi pakan meningkat. Hal ini disebabkan kualitas (kecernaan pakan) dan palatabilitas pakan meningkat sehingga kelinci akan mengkonsumsi pakan sampai dengan kebutuhan nutrisi pakan tercukupi. Menurut Sumoprastowo (1986) bahwa jumlah kebutuhan nutrisi kelinci tergantung pada umur, tujuan produksi serta laju kecepatan pertumbuhan ternak. Rataan konsumsi pakan (gram/ ekor) kelinci jantan selama 35 hari penelitian masing-masing perlakuan R0 = 4965.40a ; R1= 5067.29a ; R2= 5086.99a ; R3= 5104.66ab dan R4 = 5186.111b. Hasil
PBB (g/ekor) 758.46b 743.44ab 734.67ab 722.59ab 680.65a
Konversi pakan 6.549a 6.818a 6.927ab 7.073ab 7.638 b
uji BNT menunjukkan bahwa konsumsi pakan terendah adalah pada perlakuan R0 yakni pakan kontrol tanpa penggunaan LITOF, sedang pakan perlakuan lain maka konsumsi ransum meningkat terus sampai kebutuhan nutrien tercukupi, walaupun nilai energi dalam pakan relatif meningkat. Menurut Arora (1983) pakan yang berkualitas dan palatiltas tinggi akan meningkatkan laju aliran pakan dalam sistem digesti sehingga konsumsi pakan meningkat pula. Nilai konsumsi pakan pada R0 masih sama dengan R1, R2, R3 dan berbeda dengan R4, tetapi R3 masih sama dengan R4. Agar kebutuhan nutrien tercukupi, maka ternak harus mampu mengkonsumsi pakan berdasarkan bahan keringnya. Selain itu kapasitas lambung ternak terbatas sedang setiap pakan mempunyai densitas yang berbeda tergantung bahan kering atau kebasahan bahan pakan, maka pakan harus berkualitas dan cukup bergizi. Pada ransum
6
dengan densitas bahan kering rendah dan tidak dapat mencapai volume yang lebih besar dibanding kemampuan penampungan lambung, sehingga usaha untuk meningkatkan konsumsi ransum sesuai dengan kebutuhan nutrien dan energi per hari menjadi terbatas. Kebutuhan bahan kering pakan bagi ternak monogastrik mencapai 3-4% dari bobot badan, sedangkan kebutuhan nutrien bagi ternak tergantung dari jenis ternak, umur dan bobot badan, fase tumbuh, produksi, serta lingkungan pemeliharaan. Semakin besar bobot badan, produksi dan pada pertumbuhan cepat maka kebutuhan nutrien pakan lebih banyak. Menurut Reksohadiprodjo (1984) kelinci berbobot badan 2,5 kg membutuhkan pakan basah 120 gr atau sebesar 4,8% bobot badan kelinci. Tillman, Hartadi, Reksohadiprodjo, Prawirokusumo dan Lebdosoekojo (1986) menyatakan bahwa bertambahnya nilai kecernaan pakan dan rendahnya densitas bahan kering dapat meningkatkan konsumsi pakan. Selain itu kecepatan laju makanan pada organella pencernaan, akan mempercepat pula pengosongan lambung sehingga menyebabkan kelinci akan meningkatkan konsumsi pakan untuk menyesuaikan kebutuhan nutrisi dan energinya. Lebih lanjut pakan yang berkualitas biasanya mempunyai palatabilitas tinggi, hal ini juga akan meningkatkan konsumsi pakan bagi ternak (Rakhmani, 2005). Kecernaan pakan dalam bahan kering (KcBK) dan bahan organik
(KcBO) diukur secara invivo yaitu pengurangan bahan kering atau bahan organik pakan terkonsumsi dengan jumlah bahan kering atau bahan organik dalam feses dibagi konsumsi BK atau BO dikali 100%. Pengambilan data konsumsi pakan dan jumlah feses ini dilakukan selama satu minggu terakhir penelitian karena dianggap proses pencernaan dan metabolisme tubuh sudah stabil. Hasil analisa ragam, menunjukkan bahwa tingkat penggunaan LITOF dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pakan kelinci. Hasil penelitian diperoleh bahwa kecernaan pakan meningkat seiring dengan penggunaan LITOF dalam ransum, hal ini mungkin disebabkan adanya peran starter yang digunakan dalam fermentasi dan kandungan serat kasar dalam pakan relatif sama dengan batas toleransi serat untuk kelinci. Menurut Reksohadiprodjo (1984) batas toleransi kelinci terhadap serat pakan lebih tinggi daripada unggas mencapai 20%, sedang Ensminger, Oldfield, and Heinemann (1995) sebesar 12% hampir sama dengan ruminansia. Hal ini karena peran mikroba sekum yang dominan sebagai tempat terjadinya pencernaan mikrobial yang dapat mencerna serat kasar seperti aktivitas mikroba dalam rumen-retikulum bagi ternak ruminansia. Adapun nilai rataan kecernaan bahan kering (%KcBK) masing masing perlakuan adalah R0 = 54,12a ; R1 = 54,28a ; R2 = 55,01ab ; R3 = 58,38ab ; R4 = 59,143b sedangkan
7
pada kecernaan bahan organik pakan(%KcBO) adalah R0 = 66,35a ; R1 = 66,56ab ; R2 = 66,9ab ; R3 = 67,38b ; R4= 67,58b. Data kecernaan baik kecernaan bahan kering atau bahan organik pakan menunjukkan adanya peningkatan seiring dengan peningkatan penggunaan LITOF dalam ransum. Hal ini berarti kualitas pakan pada R0, R1 , R2, R3 dan R4 meningkat, yang disebabkan peran mikroba dalam probitik yang dapat mendegradasi serat kasar secara optimal. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan pakan yaitu jenis ternak, umur, kualitas pakan, bentuk fisik dan tingkat pemberian pakan (Tillman dkk.,1986). Lebih lanjut Arora (1983) menyatakan bahwa ternak ruminansia dan kelinci dengan sekum yang besar dan dihuni mikroba dapat mencerna serat kasar sehingga pakan berserat lebih lama tinggal untuk dicerna secara mikrobial. Hal ini berbeda dengan unggas, kandungan serat kasar yang tinggi dalam pakan akan mempercepat laju keluar karena sulit dicerna dan membawa nutrisi lain sehingga mengurangi efisiensi pakan. Nilai kecernaan bahan organik lebih besar dibanding kecernaan bahan kering pakan lebih menguntungkan bagi kelinci karena bahan organik mengandung makronutrien seperti protein, lemak, dan karbohidrat mudah tercerna sebagai bahan metabolit bagi ternak. Pencernaan mikrobial pada kelinci terjadi di sekum yang terletak di bagian organella belakang dekat usus besar maka nutrien hasil pencernaan tidak banyak terabsorpsi sempurna ke
dalam tubuh sehingga efisiensi pakan tidak besar dan dibuang bersama feses. Hal ini sesuai pendapat Prawirokusuma (1994) bahwa kelinci mempunyai sekum besar yang volumenya mencapai 42% dari total organella pencernaan dan dihuni banyak mikroba sehingga dapat mengkonversi hijauan menjadi protein mikroba, mensintesis vitamin B dan mencerna serat menjadi energi yang berguna, tetapi karena dinding usus belakang ini kurang permiabel maka feses kelinci masih bergizi tinggi. Feses kelinci lembek mengandung PK sebesar 37,5%, dan secara alami kelinci akan mengkonsumsi kembali feses lembek ini yang dikenal sifat coprophagy, sifat ini sebenarnya menguntungkan proses pencernaan bagi kelinci (Blakely dan Bade, 1992). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat penggunaan LITOF dalam ransum berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap pertambahan bobot badan kelinci jantan lepas sapih. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi terutama serat kasar dan kualitas ransum terkonsumsi berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot badan kelinci menurun seiring dengan peningkatnya penggunaan LITOF dalam ransum complete feed. Nilai rataan PBB kelinci (gram/ekor) selama 35 hari pada masing-masing perlakuan yaitu: R4= 680,65a ; R3 = 722,59ab ; R2 = 734,67ab ; R1 = 743,44ab ; dan R0 = 758,46b. Hasil uji BNT menunjukkan bahwa diperoleh rataan PBB tertinggi
8
pada perlakuan R0 yang tidak berbeda dengan R1, R2, dan R3, tetapi berbeda dengan perlakuan R4 yang menggunakan pakan LITOF 20%. Apabila diperhatikan bahwa kualitas pakan pada R0 lebih baik terutama kandungan serat kasar rendah dibandingkan perlakuan lain sehingga menghasilkan PBB lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Davies (1982) bahwa PBB ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan, jenis kelamin, spesies ternak, manajemen dan temperatur lingkungan. Tingginya PBB pada perlakuan R0 dapat disebabkan oleh jumlah konsumsi nutrien pakan terutama protein melebihi kebutuhan nutrien untuk hidup pokok, dimana kelebihan nutrien ini digunakan untuk produksi atau pertumbuhan. Dengan konsumsi nutrien cukup berlebih walau kecernaan relatif sama antar perlakuan maka ketersediaan bahan metabolit tubuh pada R0 lebih besar sehingga dapat meningkatkan PBB kelinci. Hal ini sesuai pendapat Anggorodi (1985) bahwa produk metabolisme makanan digunakan untuk hidup hidup dan kelebihannya untuk produksi atau pertumbuhan ternak. Menurut Prawirakusuma (l994) pemberian nutrien pakan terutama protein kasar sudah diatas kebutuhan hidup pokok maka dapat meningkatkan produktifitas ternak, sedang pemberian protein berlebihan tidak ekonomis karena harga protein mahal. Selain itu nilai PBB kelinci dipengaruhi umur, semakin bertambah umur maka pertumbuhan
kelinci makin rendah. Menurut Reksohadiprodjo (1984) pertumbuhan kelinci berkisar antara 15,1-41,5 gram/ekor/hari dan dibedakan menjadi beberapa fase tumbuh yaitu PBB sedang pada umur 0-3 minggu, PBB cepat umur 3-8 minggu, PBB menurun umur 8-14 minggu, dan PBB rendah sebesar 16,5 pada umur 14 minggu sampai 5 bulan, kelinci siap dipotong. Secara nominal bahwa PBB kelinci selama penelitian berkisar 19.45 - 21,67 gram/ekor/hari, hal ini menunjukkan bahwa status kelinci jantan pada fase pertumbuhan cepat dengan umur lepas sapih berkisar 1,5 bulan. Hasil sidik ragam penggunaan LITOF dalam ransum menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap konversi pakan kelinci jantan lepas sapih. Adanya pengaruh signifikan pada konversi pakan, mungkin disebabkan oleh kualitas pakan berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi (1985) bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya konversi pakan yaitu kualitas pakan, galur dan manajemen pemberian pakan. Selain itu nilai konversi pakan tergantung tingkat konsumsi pakan dan PBB, dimana kedua variabel tersebut berkaitan dengan kualitas pakan. Rataan nilai konversi pakan meningkat seiring dengan bertambahnya penggunaan LITOF dalam ransum, hasil uji BNT diperoleh nilai konversi pakan kelinci jantan lepas sapih selama penelitian yaitu: R0= 6,549a, R1= 6,818ab , R2= 6,927ab , R3= 7,073ab , R4= 7,638b. Rataan konversi pakan terendah pada
9
perlakuan R0 tidak berbeda dengan R1, R2, dan R3, sedang respon konversi pakan tertinggi pada perlakuan R4 tetapi tidak berbeda dengan R2, dan R3. Secara kuantitatif bahwa nilai konversi pakan dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi pakan dibandingkan nilai PBB. Pada konversi pakan rendah berarti kualitas pakan lebih baik, karena ternak dengan mengkonsumsi pakan sedikit dapat meningkatkan PBB tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Usman dan Susilowati (2006) bahwa pakan yang berkualitas akan digunakan seefisien mungkin ternak menjadi produksi atau pertumbuhan maksimal sehingga konversi pakannya rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa konversi pakan merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan pakan, dengan semakin rendah konversi pakan berarti penggunaan pakan lebih efisien. Selain itu kandungan serat kasar tinggi bagi kelinci akan mengurangi efisiensi pakan, karena pada kelinci meskipun mampu mentolelir dan mencerna serat kasar pada sekumnya tetapi tidak terabsorpsi sempurna dalam tubuh sehingga menghasilkan konversi pakan besar. Dengan meningkatnya kandungan serat kasar maka nutrien akan banyak terbuang bersama feses sehingga nutrien untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh akan berkurang. Ketidakseimbangan nutrisi dalam ransum juga akan menurunkan kualitas pakan yang berakibat pada ketidak seimbangan
jumlah konsumsi pertambahan bobot badan.
dengan
KESIMPULAN DAN SARAN Disimpulkan bahwa semakin banyak penggunaan limbah industri tempe dan onggok terfermentasi dalam ransum dapat menurunkan pertumbuhan dan efisiensi pakan kelinci jantan. Penggunaan produk LITOF 15% dalam ransum memberikan nilai optimum pada konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan efiseinsi pakan. Kemudian disarankan untuk mendapatkan optimasi pertumbuhan dan efisiensi pakan dalam intensifikasi pemeliharaan kelinci jantan dapat menggunakan produk LITOF 15% dalam ransum.
DAFTAR PUSTAKA Arora, S.P. l983. Microbial Digestion in Ruminants. India Council Agricultural Research, New Delhi. Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Garuda Pustaka Utama. Jakarta. Blakelly, J. and D.H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi I. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta. Davies, H.L. l982. A Course Manual in Nutrition and Growth. AUIDP Hedges and Bell Pty Ltd., Melbourne.
10
Ensminger, M.E., J.E. Oldfield, and W.W. Heinemann, 1995. Feed and Nutrition. The Ensminger Publishing Company, Clovis, California. Nugroho, H. 1982. Beternak Kelinci Secara Modern. Penerbit Eka Offset, Semarang. Prawirakusuma, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, BPFE, Yogyakarta. Rahman 1993. Pengantar Ilmu Fermentasi. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Rakhmani, S. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan dari Limbah Pertanian Melalui Fermentasi. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor Reksohadiprodjo, S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE, Yogyakarta. Sumoprastowo, R.M. 1986. Beternak Kelinci Idaman. Bharata
Karya Aksara, Sinar Baru, Bandung. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo, 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta Usman, A. dan Susilowati, S. 2006. Uji Kecernaan Bahan Kering dan Konversi Pakan Complete Feed yang Menggunakan Campuran Onggok dn Isi Rumen Sapi pada Penggemukan Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Ilmiah Dinamika Rekasatwa. Vol 2(1) hal. 12 – 25. Fakultas Peternakan, Universitas Islam Malang. Yitnosumarto, S. l993. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Universitas Brawijaya, Program MIPA, Malang.
11