STUDI WISATA 2014
Hauraki Gulf Marine Park, Selandia Baru
8 Tulisan Inspiratif Laporan Perjalanan Praktisi Konservasi Kawasan Perairan Indonesia
PENDAHULUAN Salah satu upaya pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah mengusahakan industri pariwisata berbasis masyarakat. Berkembangnya industri pariwisata pada sebuah KKP diharapkan dapat menghasilkan sumber dana berkelanjutan yang mampu mensejahterakan masyarakat sebagai pengelolanya. Selain itu, pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat adalah modal yang amat kuat dalam menjaga kelestarian ekosistem di wilayah tersebut. Indonesia sebagai negara maritim masih belum banyak memanfaatkan KKP secara optimal. Idealnya, pemanfaatan KKP akan berdampak pada pengelolaan yang lebih efektif sekaligus meraih target konservasi kawasan perairan dan ekosistem yang berkelanjutan. Tidak hanya memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, tetapi juga pemerintah daerah dan stakeholder terkait. Sudah seharusnya pemanfaatan KKP untuk industri pariwisata dinyatakan secara eksplisit di bagian awal dokumen rencana pengelolaan. Dengan demikian sejalan dengan pengelolaan KKP, pembangunan industri wisata berbasis masyarakat sudah dapat dimulai. Dalam kenyataannya, pengembangan industri pariwisata pada KKP memakan waktu yang lama, melibatkan banyak sektor serta proses yang kompleks. Dengan potensi keindahan sekaligus keunikan ekosistem yang ada pada KKP, seharusnya menjadikan wilayah tersebut sebagai tujuan wisata favorit dan menarik minat wisatawan yang banyak. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berbanding terbalik – beragam keunikan keindahan alam dan ekosistem yang ada tersebut tidak menjadikan daerah tersebut maju pariwisatanya. Diperlukan upaya sistematis, terencana, dan masif untuk mengubah kawasan potensial KKP menjadi magnet wisata berbasis masyarakat yang ramai dikunjungi dan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat serta stakeholder terkait. MPAG hadir sebagai salah satu wujud dukungan USAID kepada pemerintah Indonesia di bidang pengelolaan KKP. Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk memiliki setidaknya 20 Juta hektar KKP pada tahun 2020 dengan pengelolaan yang efektif. Dukungan MPAG melalui kegiatan yang diimplementasikan oleh 5 (lima) LSM anggota konsorsiumnya mengajak para pengambil keputusan terkait untuk ikut serta dalam studi wisata pengelolaan efektif KKP ke negara Selandia Baru pada pertengahan Agustus 2014. Secara khusus studi wisata tersebut dirancang bagi para pengambil keputusan pada tingkat daerah dan kementerian. Tujuan utamanya adalah memberikan inspirasi dan wawasan baru bagi peserta dalam pembuatan kebijakan atau regulasi yang mampu mendukung pemanfaatan KKP untuk industri pariwisata. Dengan melihat secara langsung, diharapkan proses awal dapat segera diinisiasi di daerah masing masing. Selain laporan perjalanan buku ini menyajikan kumpulan tulisan dari anggota konsorsium MPAG tentang beberapa hal praktis dan menarik yang layak diaplikasikan segera. Terdapat 8 (delapan) hal penting yang dituangkan dalam bentuk tulisan
2
menarik dan inspiratif untuk segera diterapkan di Indonesia. Tulisan-tulisan yang ada mencoba mengkaitkan kemungkinan penerapan praktik-praktik terbaik di Indonesia. seperti penerbitan peraturan atau regulasi di KKP. Sementara itu, pengambil kebijakan di tingkat kementerian dapat menjadikan buku ini sebagai masukan yang tak kalah berharganya. Sehingga upaya untuk mendorong pemanfaatan KKP untuk industri wisata berbasis masyarakat dapat berjalan lebih sistematis dan efektif. Pada buku ini, Muhamad Korebima dari Coral Triangle Centre yang ikut bersama rombongan menyoroti tentang bagaimana Cagar Alam dan Kawasan Suaka yang relatif terproteksi masih dapat dimanfaatkan untuk pariwisata. Pulau Tiritiri menjadi contoh dari pemanfaatan ini. Selanjutnya, masih di kawasan suaka tadi, pembangunan pusat riset dan pendidikan. Keduanya kemudian justru merupakan komponen penting di obyek wisata. Rudyanto dari MPAG sendiri terkesan dan membagikan informasi tentang bagaimana peran dan mobilisasi relawan dalam menunjang operasional kawasan sehari-hari. Hal yang relatif baru di Indonesia. Potensi pengembangan wisata alternatif yaitu birdwatching yang memanfaatkan kawasan pulau pulau kecil diangkat oleh Mirza Pedju dari The Nature Conservancy. Mirza tertarik untuk melihat bagaimana peran masyarakat sipil memegang peran yang menentukan dalam proses pengembangan industri wisata. Perspektif dari para pengusaha lokal di kawasan wisata. Berbisnis yang tetap menguntungkan meskipun regulasi yang sangat ketat dan pasar yang terbatas. Ari Soemadisastro mencatat bagaimana implementasi dari pengelolaan kolaboratif yang dipraktekan disana. Tentu saja konsep ini dapat diadopsi dan diterapkan di Indonesia karena regulasi di tingkat nasional sudah disiapkan melalui peraturan menteri KP. Kebersihan lokasi, hal kecil yang tidak luput dari perhatiannya dan tulisannya diharapkan memberikan masukan penting bagi pengelola kawasan di daerah. Terakhir kami ucapkan selamat membaca dan mengambil manfaat sebesar mungkin dari kumpulan 8 tulisan studi perjalanan di negara Selandia Baru tentang pengelolaan KKP. Salam, Pahala Nainggolan Chief of Party MPAG-USAID
Studi Wisata 2014 –
3
Pengembangan Industri Pariwisata di Kawasan Konservasi Cagar dan Suaka Pulau Tiritiri Matangi
1
Muhammad Korebima
Dalam pemahaman yang
berkembang di Indonesia, kawasan konservasi yang tergolong cagar alam atau suaka marga satwa hanya diperuntukkan bagi upaya perlindungan, pelestarian dan pengawetan keanekaragaman hayati semata. Wilayah ini dapat dianggap tertutup bagi kegiatan industri pariwisata. Seolah-olah tabu untuk diakses wisatawan, apalagi untuk tujuan pembangunan infrastruktur pariwisata.
4
Beberapa cagar alam yang ada di Auckland, Selandia Baru memperlihatkan keadaan sebaliknya. Kawasan konservasi semacam cagar alam ternyata dapat dimanfaatkan oleh industri pariwisata, baik bahari (cagar alam laut atau suaka marga satwa laut) dan pariwisata alam darat (cagar alam dan suaka margasatwa darat). Cagar alam laut seperti Goat Island, Long Bay Marine Reserve dan Tiritiri Matangi adalah contoh yang memperlihatkan keberhasilan perpaduan antara perlindungan habitat dan species dengan industri wisata skala kecil di sekitar kawasan. Suaka margasatwa Pulau Tiritiri Matangi dapat dianggap sebagai salah satu contoh keberhasilan upaya konservasi untuk mengembalikan kondisi habitat seperti sedia kala. Dimasa lalu pulau ini merupakan habitat bagi beberapa hewan endemik
Selandia Baru. Kemudian imigran dari kawasan Eropa berdatangan dan merubahnya menjadi daerah pertanian dan peternakan. Saat menjadi kawasan pertanian dan peternakan hampir sebagian besar spesies asli pulau ini baik satwa maupun tumbuhan yang ada musnah. Penggunaan pestisida, introduksi spesies asing dan pemusnahan habitat asli adalah penyebab utama kepunahannya. Upaya awal untuk mengembalikan pulau ini ke kondisi aslinya mulai dilakukan oleh beberapa ilmuwan dan aktivis pemerhati lingkungan pada sekitar tahun 1970. Usaha yang panjang ini termasuk negosiasi yang alot, baik dengan pemerintah, pemilik dan penyewa lahan. Upaya untuk restorasi sendiri dilaksanakan sejak tahun 1984 sampai tahun 1994 dengan penanaman kembali tanaman-
tanaman endemik. Termasuk juga tanaman yang berasal dari pulau ini atau yang berasal dari wilayahwilayah lain di Selandia Baru. Di samping itu, dilakukan juga rehabilitasi satwa-satwa endemik di pulau ini. Hewan endemik yang berasal dari luar Selandia Baru juga ikut direhabilitasi dan dikembangkan dengan mengikuti aturan ilmiah yang sangat ketat. Setelah lebih dari 30 tahun proses restorasi dan rehabilitasi habitat maupun satwa-satwanya, kondisi Tiritiri Matangi pulih kembali. Hampir seperti kondisi semula sebelum pertanian dan peternakan dikembangkan. Seiring dengan keberhasilan proses rehabilitasi dan restorasi kawasan, perhatian khalayak terhadap kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata alam mulai tumbuh kembali. Minat untuk mengunjungi pulau ini semakin tinggi. Kebutuhan dana pengelolaan yang cukup besar
Studi Wisata 2014 –
5
membuat para pengelola pulau mulai memikirkan bahwa wilayah ini tidak saja sebagai salah tujuan wisata, tetapi juga sebagai wilayah konservasi habitat dan biota penghuninya. Akhirnya Pemerintah melalui Departement of Conservation membuka kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata.
Pada awalnya tidak tersedia akses transportasi regular bagi wisatawan. Tentu saja, karena pulau ini sejak diubah menjadi kawasan suaka marga satwa tidak dihuni lagi oleh penduduk kecuali beberapa peneliti dan seorang jagawana. Akses transportasi ke pulau dibangun bekerjasama
6
dengan pengusaha kapal feri yang biasa melayani transportasi antar pulau dan semenanjung di dalam wilayah Hauraki Bay. Meskipun pulau ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan di setiap akhir pekan, pihak pengelola menerapkan aturan sangat ketat, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Tidak diperbolehkan membangun fasilitas penginapan apapun. Hanya tersedia bangunan untuk toilet, pusat studi dan informasi kawasan serta sebuah situs sejarah tua berupa mercusuar dan bangunan pendamping yang telah berdiri sejak ratusan tahun silam. Untuk menjaga kebersihan wilayah pulau, secara sengaja tidak disediakan tempat sampah sama sekali. Ini sangat menarik.
Setiap wisatawan yang datang dan menghasilkan sampah dilarang membuangnya disini. Mereka harus membawa kembali sisa sampah mereka saat keluar dari pulau ini. Dengan demikian beban pengelolaan sampah dapat berkurang dan pulau ini terhindar dari permasalahan yang diakibatkan oleh sampah. Aturan ketat berikutnya yang diberlakukan bagi wisatawan saat berkunjung adalah keadaan steril. Untuk mencegah masuknya penyakit atau spesies mikro yang bisa mengancam kehidupan di dalam eksosistem, wisatawan harus benar-benar steril sebelum memasuki pulau ini. Sebelum menaiki kapal feri yang akan mengantar ke pulau ini, wisatawan harus membersihkan
alas kaki (sepatu atau sandal) yang dipakai. Begitu juga saat kembali dari sana. Pengelola juga mengatur pembatasan jumlah pengunjung per hari dan per tahun. Saat ini hanya 175 orang per hari dan maksimal setahun 35 ribu orang. Pengaturan ini dibuat setelah mempertimbangkan daya dukung kawasan baik dari segi ekologi maupun aspek SDM pengelola. Padahal kawasan Tiritiri Matangi memiliki lebih dari 200 relawan. Banyak kawasan konservasi mengalami kendala dalam pembiayaan. Penyediaan dana untuk pengelolaan kawasan konservasi apalagi yang bertipe suaka atau cagar alam. Akibatnya
Studi Wisata 2014 –
7
banyak kawasan konservasi jenis ini tidak terkelola dengan baik. Sumber pendanaan hanya bergantung pada pendanaan pemerintah yang umumnya sangat kecil. Dapat diduga, pengelolaan kawasan minim dana akan mengakibatkan perlindungan dan pelestarian habitat tidak efektif sama sekali. Pengembangan kegiatan wisata berupa pembukaan akses terbatas dan ketat terhadap pemanfaatan potensi wisata di dalam kawasan dapat menjadi pilihan yang rasional. Tujuan utamanya tentu untuk mendukung pembiayaan pengelolaan kawasan. Tiritiri Matangi berhasil menerapkan pola tersebut. Berdasarkan informasi pengelola,
8
dana pengelolaan terbesar berasal dari penerimaan tiket masuk wisatawan yang kini sudah mencapai 80% dari total anggaran pengelolaan kawasan. Pengelolaan sebuah kawasan konservasi khususnya yang bertipe cagar atau suaka bertujuan untuk melindungi dan melestarikan ekosistem yang ada. Pemanfaatan kawasan, bila dilakukan dengan tepat ternyata justru dapat menyediakan dukungan bagi pembiayaan pengelolaan. Pada akhirnya, dengan ketersediaan sumber dana ini pengelolaan dapat dilakukan dengan optimal dan mencapai tujuannya.
• Kawasan konservasi berupa suaka atau cagar memiliki pontensi wisata yang besar dalam menyediakan sumber pendanaan yang mandiri dan berkelanjutan
wisata di dalam kawasan konservasi menjadi hal penting dalam mengakomodir berbagai kepentingan para pihak yang berada di sekitar kawasan.
• Pengembangan wisata di dalam kawasan konservasi harus mempertimbangkan aspek pelestarian dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, habitat dan ekosistemnya.
• Kawasan konservasi mampu memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat dan berbagai pihak di samping fungsi pelestarian dan perlindungan. Selain itu juga dapat memberikan dampak berupa kesadaran dan perubahan perilaku wisatawan untuk mendukung upaya perlindungan dan pelestarian terhadap kawasan.
• Diperlukan regulasi yang ketat dan konsistensi untuk penerapan regulasi dalam pengembangan wisata pada kawasan konservasi karena sifat kawasan yang khusus. • Kontribusi dan peran berbagai pihak dalam mengembangkan kebijakan pengembangan
Studi Wisata 2014 –
9
Pusat Riset dan Pendidikan di Kawasan Suaka Perairan atau Cagar Alam Perairan
2
Muhammad Korebima
Kegiatan pendidikan dan
penelitian merupakan bagian dari upaya pengelolaan suatu kawasan. Rencana Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang ideal senantiasa mencantumkan kedua kegiatan ini. Pendidikan mencakup juga upaya penyadaran untuk perubahan perilaku. Demikian juga kegiatan penelitian atau riset yang hasilnya diharapkan dapat mendukung pengelolaan yang lebih efektif. Saat ini masih jarang ditemukan kawasan konservasi yang memiliki pusat riset (research center) dan pusat pendidikan (education center). Meskipun kedua kegiatan ini sangat penting untuk mendukung upaya pelestarian dan perlindungan terhadap habitat. Keberadaan pusat riset kawasan dan pusat
10
pendidikan di sekitar kawasan tidak hanya memainkan peran sebagai pusat penelitian dan penyadartahuan bagi masyarakat tapi juga bisa berfungsi sebagai salah satu obyek wisata yang menyediakan berbagai informasi bagi pengunjung kawasan Pengembangan pusat pendidikan dan penelitian dapat dilakukan dengan dukungan berbagai pihak baik pihak swasta, LSM, universitas atau komunitas. Berbagai program pendidikan konservasi dan lingkungan serta penelitian bisa dilakukan bersama dan hasilnya disebar luaskan pada para pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat umum dan wisatawan. Keberadaan pusat riset dan pendidikan dalam kawasan sekaligus menjadi salah satu obyek wisata dapat ditemui selama perjalanan studi ini, yaitu Peter Blake Marine Education & Recreation Centre yang berada di Long Bay Marine Reserve dan Goat Island Marine Discovery Center yang berlokasi di Goat Island Marine Reserve.
Peter Blake Marine Education and Recreation Center Sebagai lembaga nirlaba (nonprofit) yang banyak memfokuskan diri pada pendidikan lingkungan, Peter Blake Marine Education and Recreation Center menyediakan beragam program pendidikan lingkungan dan konservasi untuk semua tingkatan usia. Program-programnya didesain untuk periode satu hari hingga beberapa minggu. Untuk program-program yang lebih panjang lembaga ini juga menyediakan fasilitas berupa asrama atau akomodasi bagi pesertanya. Beberapa fasilitasnya terkait dengan program kerjasama dengan Suaka Alam Tiritiri Matangi, Long Bay – Okura Marine Reserve dan Whangaparaora Peninsula. Pendidikan lingkungan untuk
anak sekolah usia dini merupakan fokus utama mereka dalam membangun kesadaran dan membentuk karakter cinta lingkungan dan perilaku peduli lingkungan. Hal yang menarik adalah lokasinya yang berada di sekitar kawasan konservasi justru memudahkan akses untuk untuk pembelajaran di lapangan bagi siswa atau peserta didik dan latih mereka. Di samping pendidikan lingkungan, mereka juga menyediakan program terkait
Studi Wisata 2014 –
11
pengelolaan dan pemanfaatan limbah terutama yang berada atau ditemukan di sekitar kawasan. Aspek menarik lainnya dari pusat pendidikan ini adalah program untuk orang dewasa berupa pelatihan keterampilan membuat cindera mata kerajinan tangan yang kemudian dijual ke pengunjung di Long Bay – Okura Marine Reserve atau disalurkan serta dipasarkan pada beberapa kawasan konservasi lain di Hauraki Bay. Peserta latih didik yang ingin belajar atau mengembangkan keterampilan dikenakan biaya sesuai program yang diambil. Terkait pembiayaan peserta,
12
lembaga ini juga melakukan subsidisi silang bagi peserta didik yang kurang mampu di samping juga mendapat dukungan dari donor terkait. Meskipun lebih berperan sebagai lembaga pendidikan, namun kehadirannya di dalam kawasan konservasi juga memberikan daya tarik wisata bagi pengunjung kawasan. Meskipun belum menjadi salah satu daya tarik utama, tetapi pada musim liburan pusat pendidikan ini banyak mendapatkan kunjungan wisatawan. Lembaga ini juga menawarkan kegiatan interaktif langsung dengan peserta dalam bentuk program sehari kunjungan atau penyewaan fasilitas seperti kano atau perahu layar kecil disertai mentoring cara penggunaannya. Penerimaan yang diterima sebagian besar dialokasikan membiayai program pendidikan lingkungan dan sebagian kecil untuk membantu pengelolaan kawasan.
Goat Island Marine Discovery Center Merupakan lembaga penelitian kelautan yang dibangun berbagai pihak dengan penggerak utama University of Auckland serta sebagai bagian dari marine research at the Leigh Marine Laboratory. Salah satu donor utamanya adalah Edith Winstone Blackwell Foundation yang mendonasikan sebagian besar dananya untuk melengkapi fasilitas yang ada. Pusat penelitian maritim ini memberikan banyak informasi kepada pengunjung tentang konservasi laut dan berbagai informasi biota laut dan keterkaitannya dengan habitat dan lingkungannya. Keberadaannya tidak saja memberikan edukasi bagi pengunjung kawasan konservasi Goat Island, tetapi juga mengajak mereka berinteraksi dan mempelajari perilaku biota dibantu tenaga pendidik dan relawan. Dukungan informasi juga diberikan oleh marine
research at the Leigh Marine Laboratory yang selalu mengupdate hasil riset dalam kawasan konservasi Goat Island serta di beberapa kawasan konservasi laut lainnya yang ada di Hauraki Bay. Untuk menarik pengunjung, marine center ini dilengkapi berbagai fasilitas yang interaktif dan menarik seperti ruang display, aquarium, perpustakaan,
mini theater, serta toko cindera mata mini. Keberadaan marine center ini menjadi semacam obyek wisata alternatif dalam kawasan konservasi selain obyek utama seperti wisata bahari berupa selam, snorkeling dan wisata pantai. Dengan jumlah pengunjung yang mencapai ratusan ribu orang dalam setahun, penerimaan
Studi Wisata 2014 –
13
marine center ini cukup untuk membiayai berbagai program yang mereka miliki maupun berkontribusi juga untuk pengelolaan kawasan. Jadi jelas bahwa keberadaan marine education center dan marine center serta marine research center memiliki peran yang penting. Pertama membantu otoritas pengelola kawasan memberikan data dan informasi untuk mendukung kebijakan pengelolaan. Kedua sebagai pusat edukasi pengunjung dan masyarakat pada umumnya untuk semua tingkatan usia. Ketiga, menjadi obyek wisata edukatif yang memberikan pemahaman pengetahuan tentang konservasi secara umum dan kawasan secara khusus.
14
Keempat, berkontribusi bagi pendapatan untuk membantu pembiayaan pengelolaan kawasan sehingga sebuah kawasan benar-benar mandiri.
Pembelajaran terhadap keberadaan Education Center dan Marine Center Dalam Kawasan Konservasi
Ada beberapa hal penting yang bisa diperoleh jika sebuah kawasan memiliki education center dan marine center: • Dapat difungsikan sebagai pusat informasi yang mudah diakses oleh semua stakeholders termasuk khalayak umum. Informasi yang dapat disediakan: terkait keberadaan, fungsi dan potensi kawasan
serta upaya konservasi yang di lakukan di dalam kawasan. • Lebih mendekatkan para pengunjung, pemerhati lingkungan serta khalayak umum lainnya untuk dapat berinteraksi secara langsung dan memahami pentingnya keberadaan sebuah kawasan bagi lingkungan atau ekosistem sekitarnya. • Bisa dikembangkan menjadi obyek penting dalam sebuah kawasan. Keduanya dapat memberikan kontribusi bagi pengelolaan kawasan melalui kunjungan dan program yang dirancang interaktif dan edukatif.
3
Relawan, Nyawa Bagi Kawasan Konservasi Tiritiri Matangi Rudyanto
Lepas dari besar kecilnya kontribusi berupa nilai finansial, tidak diragukan lagi relawan memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan yang sifatnya “sosial”. Selandia Baru adalah negara terdepan dalam hal kontribusi yang diberikan oleh para relawan. Berdasarkan hasil studi tentang kegiatan sektor nirlaba tahun 2008 di Selandia Baru, tenaga kerja di sektor ini 67% terdiri dari relawan atau setara dengan 133.799 posisi penuh waktu. Total kontribusi para relawan tersebut diperkirakan bernilai 270 juta jam kerja atau sekitar NZD 3,3
Studi Wisata 2014 –
15
milyar (hampir Rp 33 triliun) bagi organisasi-organisasi nirlaba. Gerakan massal seperti itu memberi dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat. Menjadi relawan adalah sebuah kewajaran, dan itu dilakukan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, ras dan lapisan usia. Organisasiorganisasi nirlaba yang bergerak di bidang hak asasi manusia, keagamaan, pendidikan, olah raga dan rekreasi, kebudayaan, lingkungan, kesejahteraan hewan (animal welfare), dan pengembangan masyarakat, menempati urutan teratas dalam “meraup keuntungan” dari gerakan kesukarelawanan ini.
16
Pulau Tiritiri Matangi Suaka Margasatwa terbuka Pulau Tiritiri Matangi yang terletak dalam kawasan Taman Laut Teluk Hauraki, adalah salah satu sektor yang menikmati keuntungan dari relawan. Bahkan, kelompok relawan bisa dikatakan nyawa bagi kawasan konservasi ini. Pulau Tiritiri Matangi terletak di Teluk Hauraki sekitar 30 km di Timur Laut kota Auckland. Pulau seluas 2,2 km2 ini merupakan suaka margasatwa bagi hewanhewan asli Selandia Baru (terutama burung). Walaupun pulau ini adalah suaka margasatwa, tetapi pulau ini bisa dikunjungi secara terbatas. Pulau ini setiap harinya hanya boleh dikunjungi oleh 175 orang dan tidak boleh lebih dari 35 ribu orang per tahun. Saat ini, pengunjung ke Tiritiri Matangi diperkirakan sebanyak 30 ribu orang per tahun dengan masa puncak pada musim panas. Sejak tahun 1840 hingga tahun 1940, Pulau Tiritiri Matangi dijadikan lahan pertanian yang menghabiskan hampir seluruh tumbuhan dan hewan asli di Pulau ini. Restorasi pulau ini baru mulai dilakukan pada tahun
1984, walaupun Pulau ini resmi menjadi kawasan lindung pada tahun 1970, dengan melibatkan relawan. Pulau ini secara resmi dikelola oleh Department of Conservation (DoC), yang menempatkan 2 orang penuh waktu dan 1 orang paruh waktu di Tiritiri Matangi. Jumlah tersebut amat sangat jauh dari memadai jika mengingat tugas yang harus dilakukan serta besarnya “tekanan” pengunjung yang harus dihadapi. Untuk itulah dalam pengelolaan Pulau Tiritiri Matangi ini DoC bekerjasama dengan kelompok relawan. Kerjasama ini mutlak dilakukan karena DoC memiliki keterbatasan dana dan tenaga disamping kelompok relawan ini telah memiliki sejarah yang panjang dalam pelestarian lingkungan Pulau Tiritiri Matangi. Saat ini kelompok relawan ini diorganisir dalam kelompok yang dinamai “Supporters of Tiritiri Matangi” dengan jumlah anggota terdaftar lebih dari 1.600 orang. Sejak didirikan pada tahun 1988, Supporters of Tiritiri Matangi telah berhasil, bersama-sama dengan DoC, untuk menanami kembali 2/3 Pulau Tiritiri
Studi Wisata 2014 –
17
Matangi dengan tumbuhan asli Selandia Baru serta mereintroduksi hewan-hewan asli Selandia Baru. Supporters of Tiritiri Matangi juga mendirikan dan merawat Visitor Center, gudang penyimpanan peralatan, jalan setapak, serta menyediakan peralatan dan kendaraan. Selain itu Supporters of Tiritiri Matangi juga bertugas untuk membantu DoC dalam
penyuluh tentang pentingnya pelestarian alam khususnya tentang pentingnya Pulau Tiritiri Matangi. Saat ini kelompok Supporters of Tiritiri Matangi memberikan kontribusi finansial langsung untuk pengelolaan sebesar NZD 200 ribu, dari total anggaran sebesar NZD 250 ribu (sisanya berasal dari DoC) atau sebesar 80% dari total biaya pengelolaan. Angka tersebut
bio-security, menjaga pulau dari masuknya hewan dan tumbuhan eksotis (hewan dan tumbuhan yang bukan hewan dan tumbuhan asli Selandia Baru), perawatan hewan dan tumbuhan liar di pulau, menjadi pemandu untuk pengunjung (setiap orang dikenakan NZD 5 untuk jasa pemanduan), mencari dana “tambahan” bagi pengelolaan pulau, dan yang terpenting adalah menjadi
belum termasuk “harga” waktu dan tenaga yang disumbangkan oleh para relawan, karena sebagai relawan mereka tidak menerima uang sama sekali bahkan mereka harus membayar NZD 25 per tahun per orang (untuk pelajar dan anakanak NZD 13) untuk menjadi relawan yang tergabung dalam Supporters of Tiritiri Matangi. Uang bagi kontribusi finansial tersebut didapat dari berbagai
18
sumber selain dari biaya pendaftaran untuk menjadi relawan. Sumber terbesar adalah dari toko yang menjual makanan dan suvenir yang menghasilkan nyaris separuh dari total pendapatan Supporters of Tiritiri Matangi sebesar lebih dari NZD 370 ribu. Sementara jasa pemanduan menjadi sumber terbesar kedua. Saat ini Supporters of Tiritiri Matangi memiliki sekitar 200 pemandu.
Motivasi para Relawan Relawan yang menjadi anggota Supporters of Tiritiri Matangi berasal dari beragam latar belakang dan usia. Motivasi mereka untuk menjadi relawan juga berbeda-beda, dari sekadar mengisi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat, hingga ke alasan yang lebih filosofis seperti mereka melihat ada harapan akan sesuatu yang baik di Pulau ini di tengah dunia yang kacau balau. Beberapa dari mereka juga menjadikan “kerja” sebagai relawan ini untuk mencari pengalaman dan menjadi batu loncatan untuk masuk ke pasar
tenaga kerja formal. Di Selandia baru, ini adalah hal yang wajar dilakukan. Jika jawaban motivasi sebagai pengisi waktu luang dan terwujudnya dunia yang lebih baik banyak disampaikan oleh para pensiunan, profesional yang tampaknya mapan, dan para pelajar (non-mahasiswa), maka motivasi menjadi relawan sebagai batu loncatan banyak disampaikan oleh anak-anak muda yang dalam waktu dekat akan memasuki dunia kerja formal.
Studi Wisata 2014 –
19
Apa yang diperlukan ? Pada dasarnya untuk menjadi relawan yang diperlukan hanya waktu dan kemauan untuk bekerja, disamping biaya keanggotaan yang besarnya relatif kecil. Beberapa sektor memang memerlukan kecakapan khusus, misalnya untuk menjadi pemandu atau bekerja dengan alat berat. Sudah menjadi kewajaran di Selandia Baru, justru dengan menjadi relawanlah mereka bisa mendapatkan pelatihan dan kecakapan yang sangat berguna bagi pengembangan diri mereka. Untuk menjadi pemandu misalnya, seseorang diminta menguasai dan memiliki sertifikat P3K. Baru kemudian relawan
20
tersebut diberikan pelatihan tentang pemanduan dan “magang” pada pemandu paling tidak sebanyak 8 kali pemanduan. Setelahnya mereka akan dibolehkan menjadi pemandu di bawah pengawasan hingga dirasa telah memiliki kemampuan yang memadai untuk memandu sendiri. Untuk menjadi relawan yang menggunakan alat berat, relawan harus memiliki lisensi penggunaan alat berat serta memiliki asuransi terkait dengan
pekerjaan tersebut. Sebagai relawan “perawat” hewan-hewan asli pulau, tidak ada keahlian khusus yang diminta, tetapi mereka harus memahami dan hapal prosedur standar dalam penyiapan pakan dan perawatan bird-feeder untuk burung pemakan madu. Untuk menjadi relawan di bidang ini, ada pelatihan khusus yang dapat diikuti oleh para calon relawan.
Dukungan bagi relawan Karena sebagai relawan mereka tidak menerima imbalan/upah atau ongkos-ongkos pengganti sama sekali (bahkan harus mengeluarkan uang), maka ada beberapa usaha jasa yang kemudian membantu para relawan untuk menjalankan tugasnya. Untuk Supporters of Tiritiri, perusahaan 360 Discovery Cruises tidak menarik bayaran bagi relawan yang hendak bertugas atau pulang bertugas ke/dari Pulau Tiritiri Matangi. Ongkos tiket pergi-pulang dari Auckland ke Pulau Tiritiri Matangi
dengan menggunakan kapal 360 Discovery Cruises adalah NZD 69 untuk orang dewasa (manula NZD 61,50) dan anak-anak (hingga 15 tahun) NZD 37. Saat ini tercatat paling tidak ada 63 perusahaan/kelompok yang memberikan donasi bagi Supporters of Tiritiri, baik dalam bentuk dana maupun barang. Ini belum termasuk sumbangan dari individu.
Studi Wisata 2014 –
21
Pembelajaran Menjadi relawan bagi kegiatan sosial, dapat dikatakan telah menjadi budaya bagi warga negara Selandia Baru. Hal serupa juga bisa ditemukan di kegiatankegiatan sosial dan keagamaan di Indonesia walaupun keragaman latar belakang para relawan belum banyak. Selain itu, Indonesia juga memiliki para relawan yang terorganisir seperti dari Palang Merah Indonesia, dan para relawan (walaupun jumlahnya masih sangat kecil) dari kelompok-kelompok penyayang binatang (Animal Welfare). Ada pula relawan yang sifatnya individu dan hanya muncul pada keadaan darurat (bencana alam misalnya). Beberapa Taman Nasional di Indonesia telah memiliki kelompok relawan, walaupun pada kenyataannya justru pengelola kawasan yang memberikan dana bagi kelompok tersebut (bukan sebaliknya). Kemampuan para relawan di Tiritiri Matangi
22
untuk mengorganisir diri, dan menghimpun sumber daya sehingga mampu membantu kawasan konservasi di mana mereka bekerja adalah hal yang patut dipelajari. Dengan kemampuan ini kelompok relawan memiliki kekuatan tawar yang sangat besar jika pemerintah (DoC) akan merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan konservasi. Kelompok ini sangat signifikan
pendapatnya serta merupakan stakeholder kunci yang ikut dalam operasional pengelolaan. Para relawan yang bekerja datang dari berbagai macam latar belakang, tingkat ekonomi, pendidikan, ras dan usia. Hal ini membuat para relawan memiliki perspektif yang berbeda-beda sebagai kelompok. Keberagaman ini membuat kelompok relawan memiliki kemampuan untuk “menembus” berbagai macam kelompok masyarakat. Hal ini sangat penting bagi kegiatan penyuluhan tentang pentingnya konservasi alam. Walaupun para relawan ini tidak menerima bayaran apapun, tetapi faktor “what’s in it for me”, masih berperan besar bagi para relawan untuk menentukan di mana mereka hendak memberikan tenaga dan waktunya. Kecintaan pada sesuatu dan/atau kemungkinan tempat yang mereka tuju bisa menjadi batu loncatan bagi karir mereka di masa depan menjadi pertimbangan utamanya.
Pengamatan Burung, Kegiatan Wisata Alternatif di Pulau-Pulau Kecil
4
Rudyanto
Indonesia merupakan wilayah
dengan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil yang dapat dikembangkan untuk tempat berwisata. Bagi pelaku industri wisata tentu fakta ini bukanlah hal yang baru. Potensi wisata Indonesia yang selalu dibanggakan berkaitan dengan jumlah pulau dan panjang pantai, keragaman hayati dan keragaman budaya yang ada. Wisata seperti berlayar dan dayung, memancing, berenang, selam, berselancar atau sekadar berjemur di pantai adalah kegiatan yang menjadi unggulan bagi wisata perairan.
Studi Wisata 2014 –
23
Beberapa macam kegiatan wisata memiliki potensi yang besar, tetapi belum banyak dilakukan oleh para pelaku industri wisata di Indonesia saat ini. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, justru telah mulai dirambah oleh para pelaku industri wisata dari luar Indonesia yaitu wisata mengamati burung (birdwatching). Ada begitu banyak pulau-pulau kecil, terutama di kawasan Timur Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi lokasi tujuan wisata birdwatching. Pada kunjungan ke Pulau Tiritiri Matangi di Selandia Baru, yang merupakan pulau kecil, dapat dilihat bagaimana kegiatan birdwatching dikelola dengan baik. Dalam hal keanekaragaman burung, Selandia baru memiliki 226 jenis burung, 84 jenis diantaranya hanya dapat dijumpai di Selandia Baru. Paling tidak ada 69 jenis burung Selandia Baru yang terancam punah. Penyebab utama keterancaman tersebut,
24
disamping kehilangan habitat adalah masuknya spesies yang bukan spesies asli Selandia Baru (invasive species). Hal tersebut merupakan ancaman serius tidak hanya bagi burung, tetapi juga bagi semua keragaman hayati asli Selandia Baru. Karena itu, Selandia Baru memberlakukan kontrol keamanan biologi (biosecurity) yang sangat ketat untuk mencegah masuk dan menyebarnya spesies asing di Selandia Baru. Sejarah dan keadaan alam Selandia Baru menyebabkan tidak ada mamalia pemangsa burung di Selandia Baru. Kedatangan manusia, dan hewan peliharaannya seperti anjing dan kucing serta tikus yang menjadi “penumpang gelap” kapal-kapal pengangkut , menyebabkan banyak jenis burung asli Selandia Baru menjadi terancam punah dan bahkan ada yang punah. Saat ini tercatat ada 86 jenis burung di Selandia Baru yang telah punah,
19 diantaranya punah sejak manusia datang ke Selandia Baru. Upaya penyelamatan burungburung yang saat ini terancam punah gencar dilakukan di Selandia Baru dan pulau-pulau kecil menjadi lokasi ideal bagi upaya penyelamatan ini. Salah satu pulau yang diperuntukkan untuk penyelamatan burung-burung asli Selandia Baru adalah Pulau Tiritiri Matangi. Pulau ini menjadi tempat bagi upaya penyelamatan 12 spesies burung asli dan hanya bisa dijumpai di Selandia Baru (spesies endemik Selandia Baru) dengan membawa 12 spesies tersebut ke pulau ini. Ini menjadikan Pulau Tiritiri Matangi sebagai rumah bagi 19 spesies burung endemik Selandia Baru (7 spesies endemik lainnya, datang sendiri ke pulau ini).
dipindahkan/relokasi ke pulaupulau lain di Selandia Baru. Secara sepintas, apa yang dilakukan ini seperti layaknya program perlindungan dan rehabilitasi spesies terancam punah saja. Tetapi ternyata ada efek samping yang terjadi dari program ini. Program ini ternyata menarik perhatian publik dan menarik perhatian para birdwatcher. Spesies endemik memiliki “nilai lebih” bagi para birdwatcher, apalagi jika spesies tersebut berstatus terancam punah (Dalam kategori IUCN, spesies dikatakan terancam punah jika masuk ke dalam salah satu kategori Vulnerable, Endangered atau Critical/Critically Endangered). Maka jika ada burung endemik dengan status Critical sama halnya dengan memasang label “MUST SEE” bagi para birdwatcher. Tidak heran jika kemudian Pulau Tiritiri Matangi ramai dikunjungi oleh para birdwatcher dari seluruh penjuru dunia, walaupun pulau ini adalah bagian dari sebuah Marine Park.
Spesies endemik Selandia Baru tersebut, dapat berkembang biak dengan sangat baik di Pulau Tiritiri Matangi sehingga saat ini sudah ada yang mulai
Selain para birdwatcher, masyarakat umum juga tertarik dengan cerita sukses program konservasi burung endemik Selandia Baru di Pulau Tiritiri
Studi Wisata 2014 –
25
Matangi. Karena itu, para pengelola pulau dan beberapa relawan Tiritiri Matangi dibekali dengan kemampuan sebagai guide birdwatching dan interpretasi alam yang mampu menerangkan tidak hanya tentang burung yang dilihat tetapi juga hubungannya dengan keadaan alam di sekitarnya. Bagaimana dengan di Indonesia saat ini? Dengan 1.615 jenis burung, Indonesia adalah negara terkaya ke-empat di dunia dalam hal keanekaragaman jenis burung setelah Peru, Columbia dan Brazil. Dari jumlah jenis tersebut, 419 jenis diantaranya hanya dapat dijumpai di Indonesia saja. Indonesia juga memiliki 132 spesies burung yang terancam punah (urutan kedua di dunia setelah Brazil). Dengan keanekaragaman burung, endemisitas dan tingkat keterancaman yg begitu besar, para pengamat burung Asia dan Eropa saat ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu arena pengamatan. Tidak ada angka pasti berapa jumlah birdwatcher (pengamat burung) yang datang ke Indonesia dengan tujuan
26
untuk birdwatching. Beberapa perusahaan ternama di bidang ini datang ke Indonesia beberapa kali (5-10 trip) dalam setahun tetapi masih dalam skala sangat kecil di mana jumlah peserta dalam satu rombongan biasanya tidak lebih dari 10 orang dengan masa tinggal rata-rata 20 hari (kecuali untuk custom tour). Peserta tour ini harus membayar sekitar US$5.000-US$6.000 per orang di luar asuransi dan tiket penerbangan ke dan dari Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1990-an, beberapa tour khusus pengamatan burung dari Inggris, Belanda, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Jepang mulai masuk ke Indonesia dan terbukti perjalanan ke Indonesia sangat populer. Pada beberapa
perusahaan, semua tour ke Indonesia hingga akhir tahun 2015 telah penuh terisi. Sementara itu, sejak akhir tahun 1990-an, hobi birdwatching mulai tumbuh di Indonesia. Bukubuku panduan lapangan untuk birdwatching dan identifikasi jenis mulai terbit pada saat itu. Kelompok-kelompok pengamat burung juga mulai tumbuh dan keluar dari sekadar lingkungan kampus atau sekolah. Walaupun belum sepopuler rekreasi bersepeda atau lari, para birdwatcher ini sudah dapat ditemui di seluruh Indonesia. Hanya saja, saat ini belum ada pelaku wisata yang secara serius melihat potensi besar ini, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.
Peluang ini seharusnya dapat ditangkap oleh para pengelola pulau-pulau kecil apalagi yang memiliki keanekaragaman burung yang tinggi seperti di Sahendaruman, Pulau Sangihe, memiliki 6 spesies yang hanya dapat dijumpai di Kepulauan Sangir-Talaud dan 5 diantaranya terancam punah. Perusahaan BirdTour Asia menawarkan paket birdwatching ke tempat ini dengan harga US$6.000 per orang (di luar tiket pesawat). Pulau-pulau lain yang juga diminati adalah pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua yang kaya dengan spesies burung endemik dan terancam punah.
Studi Wisata 2014 –
27
Di tengah antusiasme Pemerintah Daerah dalam pencadangan serta pengelolaan kawasan konservasi, maka selain pelestarian keanekaragam hayati di laut juga dapat dihubungkan dengan pembangunan wisata birdwatching di daratan yang terkait terutama di pulau-pulau kecil. Berkembangnya wisata ini berfungsi ganda. Pertama ia akan membuka akses yang lebih mudah ke pulau-pulau tersebut. Kedua, pemanfaatan kawasan konservasi tidak hanya yang berkaitan langsung dengan air tetapi juga daratan. Pada akhirnya dapat berkontribusi bagi pengembangan ekonomi wilayah tersebut. Selanjutnya, pendapatan dari wisata ini adalah sumber daya bagi proses pengelolaan kawasan sehari-hari. Harus diakui, tidak sama dengan dengan Selandia Baru, hambatan terbesar yang dialami
28
di Indonesia untuk menjelajahi pulau-pulau tersebut adalah infrastruktur transportasi. Untuk akomodasi seperti penginapan bukanlah faktor penting. Pada umumnya para birdwatcher tersebut sudah menyiapkan diri untuk tinggal dengan fasilitas sangat dasar, bahkan untuk berkemah sekalipun adalah hal yang biasa bagi para birdwatcher yang fanatik. Akan tetapi ketersediaan akses ke lokasi yang mudah adalah hal yang tidak bisa “ditawar” dan merupakan prasyarat utama untuk mengembangkan wisata ini. Selain transportasi, hal lain yang menjadi hambatan adalah jumlah serta kualitas teknis para pemandu. Saat ini, jumlah pemandu birdwatching (yang profesional) di Indonesia masih
amat sangat sedikit selain regenerasi yang juga praktis tidak ada. Misalnya untuk pengamatan burung Cendrawasih. Setelah kepergian Kris Tindige pada tahun 2007, Indonesia tidak lagi memiliki pemandu handal untuk mengamati cendrawasih. Pengembangan sumber daya manusia untuk menjadikannya sebagai pemandu handal butuh waktu yang panjang. Pemandu wisata birdwatching dituntut untuk mampu memberikan informasi yang secara teknis harus tepat serta dibutuhkan oleh para wisatawan. Jadi selain pengetahuan teknis, kemampuan menyampaikan dalam pelbagai bahasa pengantar juga merupakan bagian yang harus dikembangkan bagi pengembangan kapabilitas pemandu lokal.
wisatawan birdwatching untuk menikmati objek wisatanya dan bukannya “repot” mengurus perijinan untuk masuk ke setiap kawasan konservasi. Selain itu, hal ini juga dapat memperlama masa tinggal para birdwatcher di Indonesia. Misalnya, saat ini para birdwatcher hanya mengunjungi pulau Komodo saja, dan karena minimnya informasi tidak meneruskan perjalanannya ke Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor yang juga merupakan gudang spesies endemik dan terancam punah. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah di tingkat Propinsi, dapat berperan sebagai pihak yang menyatukan dan mempromosikan tujuan wisata birdwatching tersebut dalam satu paket birdwatching ke Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, yang perlu juga diperhatikan adalah promosi bersama. Untuk kegiatan birdwatching, adalah keharusan bagi para pengelola kawasan konservasi untuk berjejaring dengan kawasan konservasi lainnya agar jejaring kawasan konservasi sebagai daerah tujuan wisata birdwatching bisa dihimpun dalam satu paket dan ini memudahkan calon
Dalam hal wisata birdwatching ini, peluang memang besar untuk Indonesia, demikian juga dengan pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan. Adalah inisiatif Pemerintah Daerah (Kabupaten, Kota dan Propinsi) yang menjadi faktor penentu terbesar dalam mengembangkan wisata birdwatching sebagai wisata alternatif di pulau-pulau kecil.
Studi Wisata 2014 –
29
Peran Masyarakat Sipil Dalam Pengembangan Pariwisata dan Rekreasi di Kawasan Konservasi Laut
5
Mirza Pedju
Selandia Baru pada beberapa
hal mirip dengan Indonesia. Salah satunya adalah negara yang terdiri dari banyak pulau atau kepulauan. Kota Auckland misalnya. Kota ini menunjukkan pemanfaatan laut dan pesisir untuk kegiatan rekreasi dan wisata yang sangat tinggi. Bahkan kegiatan tetap dilakukan meskipun dalam musim dingin. Masyarakat Selandia Baru, terutama mereka yang tinggal di kota Auckland, sangat mencintai wilayah pesisir
30
dan lautnya. Secara sederhana dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan/klub dan eventevent olahraga, rekreasi, dan wisata yang terkait dengan wilayah pesisir dan laut seperti: triathlon, ocean swimming, berlayar, kayak, berselancar, whale watching, memancing dan menyelam. Bahkan untuk kegiatan wisata dan rekreasi yang tidak harus bersentuhan langsung dengan laut sekalipun juga terjadi disekitar laut dan/ atau pulau – pulau kecil, seperti:
nature walk, bird-watching, dan camping. Keberadaan kawasan konservasi laut Taman Laut Teluk Hauraki di Auckland memberikan keuntungan tambahan bagi masyarakat kota tersebut. Dengan adanya dukungan infrastruktur yang memadai di darat dan laut, akses menuju lokasi menjadi sangat mudah. Namun demikian, seperti kebanyakan kawasan konservasi laut lainnya, di Taman Laut Teluk Hauraki juga didapati banyak tantangan dan permasalahan seperti: degradasi lingkungan laut dan pesisir; belum adanya arahan dari pemerintah pusat mengenai pengelolaan yang terpadu dan jelas; terbatasnya dana untuk pengelolaan kawasan; dan berbagai macam konflik kepentingan sektoral. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pelbagai kelompok masyarakat di Auckland untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Taman Laut Teluk Hauraki. Semua ini merupakan wujud kontribusi masyarakat
dalam proses pengembangan pariwisata dan rekreasi . Dampak positif langsung terlihat pada kegiatan industri pariwisata dan rekreasi. Secara tidak langsung terlihat pada perkembangan sektor pendidikan, olahraga, ekonomi dan budaya. Setelah mengamati peran masyarakat di sana, pembelajaran menarik yang dapat ditarik dari kunjungan ini adalah kemungkinan mereplikasikannya di Indonesia. Bagaimana masyarakat di Indonesia dapat aktif terlibat (atau dilibatkan) dalam pengembangan pariwisata dan rekreasi berkelanjutan pada suatu kawasan konservasi laut. Apabila ini dapat diwujudkan dengan baik, dampak positifnya akan berlipat ganda dan tidak terbatas pada pencapaian tujuan
Studi Wisata 2014 –
31
konservasi, pariwisata, dan rekreasi saja. Kontribusi masyarakat sipil Salah satu bentuk kecintaan dan apresiasi masyarakat Auckland terhadap alam laut dan pesisir dapat dilihat antara lain di museum maritim Selandia Baru. Disana tercatat sejarah yang menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk masyarakat dan lingkungan di pesisir dan laut Selandia Baru. Dimulai dari datangnya suku Polinesia sekitar 700-an tahun lalu dengan perahu layar sederhana. Kemudian pelaut Eropa seperti James Cook pada tahun 1769. Dari fakta sejarah dapat dilihat bagaimana pentingnya peranan transportasi laut di Selandia Baru. Peran penting transportasi laut salah satunya disebabkan oleh kondisi transportasi darat yang relatif
32
terbatas, setidaknya pada waktu itu. Namun sampai saat ini kebanyakan masyarakat Selandia Baru masih memiliki semangat membangun wilayah pesisir dan lautnya. Masyarakat berjuang keras untuk memastikan akses mereka ke wilayah pesisir dan laut terbuka dan bebas. Untuk itulah pemerintah daerah dan pusat tidak memungut bayaran dari pengunjung baik untuk karcis masuk maupun biaya parkir mobil misalnya. Secara terorganisir maupun tidak, berbagai kelompok masyarakat secara mandiri berupaya dan bersinergi untuk memberikan jasa sosial bagi masyarakat dan lingkungan di wilayah Taman Laut Teluk Hauraki. Contohnya dapat dilihat dari keberadaan sebuah klub olahraga dan rekreasi berlayar (Sailing club)
di wilayah Torbay (Auckland Utara), yang dikelola secara swadaya oleh relawan setempat. Klub ini didirikan dengan tujuan memberikan akses dan kesempatan bagi banyak orang, terutama anak-anak, untuk belajar berlayar dari usia muda. Diharapkan pengenalan olah raga dan rekreasi layar sejak dini dapat mengembangkan kecintaan dan pengetahuan mereka terhadap laut dan pesisir. Hal ini merupakan wujud upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Upaya sejenis ditunjukkan oleh organisasi nirlaba yang bernama Marine Education and Recreation Centre/MERC (www.merc.org.nz). Kegiatannya berlokasi di wilayah yang berbatasan langsung dengan area larang ambil (marine reserve) Longbay- di Auckland
Utara). MERC didirikan untuk untuk memberikan pendidikan dasar tentang lingkungan laut dan pesisir melalui kegiatan rekreasi dan kegiatan outdoor. Sasaran utamanya adalah kelompok anak dan remaja yang berasal dari keluarga yang tidak mampu atau berasal dari wilayah sekolah dari
Studi Wisata 2014 –
33
tingkatan ekonomi terbatas. Kelompok masyarakat lainnya yang berkontribusi adalah para ilmuwan. Kelompok ilmuwan berkontribusi dalam pembentukan dan menjaga wilayah larang ambil untuk kawasan laut di sekitar pulau Goat. Diawali pada tahun 1960-an kawasan konservasi ini dibentuk pada tahun 1974,
untuk wilayah seluas 550-an hektar. Meskipun pada waktu pendiriannya mendapat banyak hambatan, namun kini area tersebut sudah menjadi bukti dan cerita sukses mengenai pentingnya membentuk dan melindungi wilayah larang ambil. Pengembangbiakan ikan dan hewan laut lainnnya serta ekosistem laut pada umumnya kini menjadi tujuan wisata dan
34
rekreasi utama pada saat musim panas. Semua karena daya tarik biota laut yang terjaga dengan baik di wilayah yang diinisiasi oleh kelompok ilmuwan. Kontribusi lain dari kelompok masyarakat yang disebut ilmuwan juga dapat dilihat di pulau Tiritiri. Pulau ini awalnya adalah wilayah pertanian yang sangat intensif. Kemudian, atas prakarsa para ilmuwan lokal disana, pulau ini dirubah menjadi kawasan konservasi untuk melindungi burung-burung dan vegetasi asli Selandia Baru. Saat ini kawasan konservasi Pulau Tiritiri dikelola oleh Departemen Konservasi dibawah wewenang pemerintah pusat. Dukungan operasional datang dari kelompok masyarakat yang disebut sebagai kelompok
relawan (volunteer). Pulau ini sudah menjadi tujuan wisata yang menarik di Auckland. Kesadaran dan kepedulian yang tinggi untuk menjaga kelestarian alam lingkungan laut dan pesisir juga ditunjukkan oleh kelompok masyarakat lainnya. Para pelaku bisnis wisata dan rekreasi di kawasan Taman Laut Teluk Hauraki. Mereka menyadari bahwa nilai tambah dan jual Selandia Baru ada pada persepsi dunia (atau pasar) yang melihat negara ini memiliki lingkungan yang bersih, segar dan utuh. Tidaklah sulit bagi para pelaku bisnis ini untuk mematuhi peraturan. Namun mereka terlibat lebih jauh. Kelompok pelaku wisata terlibat langsung dalam pengawasan lingkungan. Secara konkrit mereka menginisiasi kegiatan pengamatan paus dan lumbalumba oleh para kapal pembawa wisatawan pengamat paus – terutama lumba-lumba di jalur yang padat lalu lintas lautnya. Hasil pengamatan ini segara diinformasikan ke pengatur lalu lintas laut. Tujuannya agar
kapal yang akan melalui wilayah tersebut diinformasikan supaya lebih berhati-hati terhadap keberadaan paus dan lumba – lumba yang terdeteksi saat itu. Merespons kontribusi masyarakat, pihak pemerintah pusat Selandia Baru dan pemerintah daerah juga bersinergi untuk pengembangan wilayah dalam bentuk penerbitan kebijakan yang mendukung. Selain membangun infrastruktur berupa fasilitas wisata dan rekreasi, pemerintah daerah Auckland, misalnya, memberikan ‘peppercorn rental policy’. Kebijakan ini berupa penyewaan lahan di kawasan wisata yang super murah untuk dimanfaatkan kelompok masyarakat. Saat ini lahan tersebut digunakan oleh kelompok masyarakat Torbay
Studi Wisata 2014 –
35
sailing club dan MERC . Untuk memperkuat tata kelola kawasan, sudah dibentuk forum perwakilan para pihak terkait yang diberikan mandat oleh undang-undang untuk memberikan masukan tersebut kepada Parlemen di Selandia Baru agar kawasan ini terkelola secara efektif dan berkelanjutan. Dalam forum ini kelompok masyarakat termasuk ilmuwan, pelaku bisnis, relawan dan perwakilan pemerintah ikut serta merumuskan serta menyelesaikan masalah yang timbul disana. Keaktifan kelompok masyarakat dalam pengembangan wisata dan rekreasi di kawasan konservasi laut Taman Teluk Hauraki adalah wujud dari suatu konstruksi sosial yang
36
berdampak positif bagi pengelolaan pariwisata dan rekreasi di kawasan tersebut. Bahkan dampaknya juga dapat dirasakan di sektor lainnya, seperti industri penyewaan yacht atau pembuatan light boat serta olahraga berlayar. Sebagai catatan, negara Selandia Baru dengan populasi kurang dari 5 juta atau kurang dari setengah populasi kota Jakarta, adalah world leader pada sektorsektor ini. Yacht/Boat builder dari Selandia Baru memiliki craftmanship yang sangat tinggi dan atlet-atlet layar dari negara ini kerap menjuarai lomba-lomba bergengsi berlayar di dunia. Di sektor lainnya seperti budaya dan ekonomi, terlihat jelas dengan tumbuhnya kegiatan rekreasi dan wisata inovatif dan berkelanjutan. Contohnya
adalah Lomba layar America’s Cup yang diselenggarakan pada awal tahun 2000-an di Auckland. Event olahraga yang meriah ini, memotivasi kota Auckland untuk menata daerah pelabuhannya sehingga lebih menarik dan ramah untuk dikunjungi masyarakat. Mereka juga membangun Museum Maritim yang mengapresiasi sejarah kemaritiman yang menarik untuk wisatawan dan pelajar sekolah
di kota tersebut, kesemua hal tersebut memicu tumbuhnya pusat rekreasi dan wisata baru yang menarik di pinggir laut kota Auckland. Kompleksnya masalah pengelolaan kawasan konservasi laut dan pesisir dapat dilihat
di Taman Laut Teluk Hauraki. Keberadaan kegiatan pariwisata dan rekreasi di kawasan konservasi laut dan pesisir menambah kompleksitas pengelolaan. Pihak pengelola kawasan konservasi laut dan pesisir dan pemimpin forum Teluk Hauraki mengakui bahwa banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang masih belum selesai. Namun demikian, pelajaran yang baik dan dapat diambil adalah peranan dan inisiatif kelompok masyarakat madani di Auckland melalui keterlibatan langsung mereka melalui kegiatan rekreasi dan wisata di laut dan pesisir di Hauraki Gulf. Peranan ini membentuk konstruksi sosial yang terlihat pada penghargaan atau apresiasi, rasa kepemilikan, serta rasa tanggung jawab yang besar kepada lingkungan saat ini dan generasi masa mendatang. Konstruksi sosial masyarakat ini juga berdampak positif pada pengembangan dan inovasi untuk pengelolaan dan tata kelola kawasan konservasi laut dan pesisir; industri wisata dan rekreasi laut dan pesisir yang berkelanjutan; dan untuk sektorStudi Wisata 2014 –
37
sektor lainnya. Pengembangan kawasan konservasi untuk kegiatan wisata dan rekreasi di Indonesia perlu melibatkan kelompok masyarakat secara nyata dan dimulai sejak awal. Di Auckland kegiatan rekreasi adalah jelas milik masyarakat setempat yang menikmati alam laut dan pesisir, dan jumlah pelaku rekreasi ini sangat tinggi. Setiap kota dan kabupaten di Indonesia
38
perlu menyadari pentingnya manfaat rekreasi alam laut dan pesisir, terutama bagi warganya. Perlu diberikan akses seluasluasnya bagi setiap masyarakat untuk terlibat di kegiatan rekreasi tersebut sehingga akan mendorong/memfasilitasi proses konstruksi sosial yang berdampak positif. Adanya sebuah kawasan konservasi laut dan pesisir di sebuah kota atau kabupaten adalah aset positif bagi Pemda setempat dan merupakan suatu kesempatan baik untuk memulai atau memilihara konstruksi sosial masyarakat melalui kegiatan rekreasi dan wisata.
Motivasi Pelaku Bisnis Rekreasi dan Pariwisata Laut dan Pesisir Berkelanjutan
6
Mirza Pedju
P
ada kunjungan studi banding USAID – MPAG semua peserta mendapat kesempatan bertemu, mendengar, dan berdiskusi dengan para pelaku bisnis di kawasan konservasi laut dan pesisir ini. Di Selandia Baru, hampir sebagian besar perusahaan atau korporasi masuk dalam kategori usahakecil-menengah/UKM (atau small-medium-enterprise/SME). Di sini yang tergolong sebagai UKM adalah usaha yang dikelola oleh 2-3 orang (untuk ukuran kecil) sampai dengan hanya belasan orang (untuk ukuran menengah). Jarang ditemui sebuah UKM di Selandia Baru yang didukung sampai dengan puluhan karyawan atau tenaga kerja. Dalam pertemuan dan diskusi langsung dengan mereka, terungkap banyak tantangan
dan pembatasan yang mereka hadapi dalam melakukan usaha. Salah satunya adalah ketatnya peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Peraturan tersebut merupakan salah satu dari implementasi kebijakan pemerintah untuk melindungi dan menjaga keamanan manusia serta lingkungan. Salah satu bentuk peraturan yang dibuat adalah terkait dengan penerbitan izin usaha. Izin diterbitkan setelah serangkaian persyaratan
Studi Wisata 2014 –
39
dipenuhi. Izin dikeluarkan baik oleh Departemen Konservasi maupun pemerintah daerah kota Auckland. Selain izin, pengusaha juga harus dilindungi dalam bentuk jaminan asuransi yang memadai. Asuransi ini diperlukan untuk melindungi usaha mereka. Jaminan juga diperlukan dalam bentuk modal usaha yang mencukupi untuk memulai dan menjalankan usahanya. Yang menarik mengapa para pelaku bisnis tetap datang dan berinvestasi disana, meskipun regulasi yang sangat ketat dan berat. Lebih mengesankan lagi beberapa pelaku bisnis bahkan masih dapat menyisihkan keuntungannya untuk menjaga lingkungan di kawasan ini sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR). Beberapa pelajaran yang patut diingat untuk kemungkinan diterapkan atau dimulai penerapannya di Indonesia adalah sebagai berikut: Ada kesamaan karakterisktik antara beberapa pelaku bisnis di Taman Laut Teluk Hauraki yang membuat mereka bertahan, dan bahkan berhasil mendirikan bisnis di kawasan dan negara yang sebenarnya tidak mudah ini. Karakter yang sama adalah
40
membangun sinergi dengan stakeholder yang penting ini. Beberapa keterbatasan atau pembatasan bagi pelaku usaha disana antara lain: Pada saat musim dingin bisnis menjadi lebih berat bagi sea kayak tour operator, glass bottom boat tour, dan dive operator. Operasi bisnis mereka praktis mati suri selama musim ini. Dengan demikian, sepanjang tahun operasi bisnis mereka hanya berjalan efektif untuk empat sampai enam bulan saja. Hanya operator whale watching (wisata observasi paus dan lumba-lumba) yang masih beroperasi di musim dingin, meskipun itu juga tergantung pada kondisi cuaca. Jelas iklim negara Selandia Baru adalah tantangan utama bagi para pelaku bisnis outdoor di kawasan Taman Laut Hauraki. Regulasi yang amat ketat
dalam bentuk kewajiban untuk memiliki pelbagai sertifikasi. Untuk memulai usaha bisnis outdoor di Selandia Baru, semua pemilik bisnis harus memiliki asuransi yang memadai. Dengan demikian bila terjadi kecelakaan dan klaim dari pengunjung dapat ditanggung oleh asuransi. Untuk dapat dikatakan layak mendapatkan sertifikat asuransi, pelaku bisnis harus memiliki beberapa izin dan/atau sertifikat lain dari pelbagai pihak. Salah satunya pemerintah lokal kota Auckland lalu beberapa izin dari Departemen Konservasi (karena usaha mereka dilakukan dalam kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah pusat). Mereka juga harus dapat menunjukkan outdoors mark (semacam sertifikat kelayakan melakukan bisnis petualangan yang dilakukan di luar ruangan). Sertifikat ini menunjukkan bahwa operator wisata luar ruang ini mampu
dan professional. Sertifikat lain yang harus diperoleh adalah pest-free operator. Sertifikat ini menunjukkan bahwa bisnis mereka bebas dari bio-pest yang dapat merusak ekosistem alam. Untuk mereka yang menyediakan jasa katering makanan kepada para tamunya, mereka juga harus memiliki sertifikat higenis dari kota Auckland. Sertifikat ini memberikan jaminan kesehatan atau hieginitas dari setiap makanan yang dijual di tempat ini. Modal untuk berusaha bila dibiayai oleh pinjaman bank dikenakan bunga bank yang sangat tinggi untuk setiap pinjaman. Rata rata berkisar diatas 21% per-tahun. Khusus untuk pebisnis baru atau pemula, selain bunga tinggi, bank akan meminta jaminan atau kolateral untuk pinjaman yang diberikan. Kolateral atau jaminan ini bisa berupa rumah tinggal dan sebagainya.
Studi Wisata 2014 –
41
Faktor lain yang membuat bisnis menjadi lebih sulit disini adalah letak geografis Selandia Baru yang berada di ujung selatan dunia. Artinya bagi target pasar yang ada di Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang dan Cina, maka mereka harus menempuh puluhan jam perjalanan pesawat yang mahal dan melelahkan. Melihat begitu berat dan banyaknya kewajiban pengusaha untuk menjalankan bisnis mereka disini, hal menarik yang timbul adalah bagaimana mereka bisa mensiasati kondisi tersebut. Pertanyaan lanjutannya adalah hal apa yang membuat mereka tertarik untuk tetap berbisnis di lokasi sekarang. Kenapa mereka tetap tertarik untuk berbisnis dengan tingkat kesulitan dan resiko yang tinggi? Mungkin ini adalah karakteristik orang Selandia Baru yang sangat menggemari outdoor dan mencintai alam laut dan pesisir mereka. Jelas, sebagai pebisnis mereka tidak akan melakukan bisnis tersebut apabila rugi, tetapi kami tidak melihat keuntungan yang luar biasa besar dari usaha mereka. Pemilik dive operator di Goat island marine reserve mengatakan bahwa keputusan mereka untuk
42
berinvestasi di bisnis diving dan snorkelling di Taman Laut Teluk Hauraki Gulf disebabkan satu hal: “I want to earn happy dollar” - “ingin mendapatkan pendapatan yang memuaskan batinnya.” Lebih lanjut pebisnis tersebut mengatakan bahwa dia merasa prihatin melihat menurunnya ukuran ikan di sekitar tempat tinggalnya sebelum ditetapkannya zona larang ambil beberapa dekade sebelumnya. Sedangkan pelaku bisnis whale-watching (melihat paus dan lumba-lumba) dengan senang hati menginvestasikan keuntungan bisnisnya ke dalam upaya restorasi alam laut dan pesisir, dan bersama – sama pelaku bisnis serupa membuat sebuah jaringan yang menginformasikan ke otoritas
pelabuhan dan konservasi mengenai lokasi paus dan lumba-lumba yang mereka temui di jalur lintas laut Teluk Hauraki untuk menghindari tertabraknya satwa yang terancam tersebut. Pemerintah Selandia Baru bersama dengan stakeholder bisnis pariwisata dan rekreasi mengetahui posisi brand (citra) negara mereka yang akan ditempatkan di pasar utama wisatawan mereka seperti Eropa Barat, Amerika, dan Jepang; dan juga untuk pasar baru yang sangat potensial yaitu China dan negara berkembang di Asia lainnya. Brand yang dijual oleh Selandia Baru adalah negara mereka sebagai tempat yang ”pure and clean” (atau bersih dan asli). Brand ini penting karena Selandia Baru harus memposisikan negara mereka dengan cermat dan memiliki keunggulan komparatif dengan
pesaing mereka seperti Australia yang lebih besar dan kurang lebih memiliki kebudayaan yang tidak jauh berbeda dan juga daya tarik lingkungan alam yang menawan. Untuk itu, Selandia Baru berusaha keras dan cermat agar produk wisata dari negara itu memiliki keunggulan dan keunikan yang hanya didapat disana agar para wisatawan rela datang dari tempat yang jauh ke negara tersebut. Dan untuk menjaga kualitas produk
wisata yang ”pure and clean” tersebut, Pemerintah Selandia Baru memastikan semua pelaku bisnis wisata dan rekreasi di negara itu patuh kepada peraturan dan memiliki sertifikasi yang menjamin keamanan dan keselamatan manusia dan ekosistem. Selandia Baru belajar dari pengalaman buruk tentang
Studi Wisata 2014 –
43
kecelakaan yang dialami petualang wisata dan rekreasi di alam terbuka. Untuk mereka berita turis yang mengalamai kecelakaan dan bahkan jika mengalami kematian sewaktu melakukan kegiatan wisata akan menjadi ancaman besar bagi kredibilitas industri wisata negara tersebut. Sertifikasi outdoor’s mark merupakan sebuah jaminan bahwa pelaku usaha bisnis tersebut memiliki kemampuan dasar yang
menjamin keselamatan jiwa setiap individu yang melakukan kegiatan wisata dan rekreasi di alam terbuka. Pest free operator, ini adalah sebuah jaminan bahwa kegiatan yang dilakukan di alam terbuka tidak akan menularkan hama yang akan merusak ekosistem asli di Selandia Baru. Selandia Baru belajar dari sejarah mereka bahwa datangnya manusia ke negara tersebut telah mengakibatkan punahnya
44
binatang dan tumbuhan asli, dan terancamnya integritas ekosistem dalam waktu yang sangat lama. Untuk menghindari tersebarnya hama (atau pest) ke lingkungan alam mereka, tour operator dan wisatawan diminta melakukan prosedur tertentu seperti membersihan sepatu sebelum memasuki taman nasional, dilarang memberikan makanan kepada ikan atau burung di dalam kawasan konservasi, dll. Seorang pemuda yang juga pemilik bisnis sea kayak di Selandia Baru mengatakan pada presentasinya bahwa pada awalnya dia merasakan kesulitan atas banyak nya tantangan dan perizinan yang harus ia tempuh sebelum memulai bisnisnya. Namun kemudian ia menyadari bahwa produk wisata yang ia jual harus memiliki kualitas yang tinggi dan memberikan tingkat keamanan dan kepuasan bagi
para pelanggan atau wisatawan yang menggunakan jasa bisnisnya. Sama seperti pelaku bisnis pariwisata dan rekreasi lainnya, pemuda tersebut paham atas pentingnya menjaga keamanan manusia dan alam untuk reputasi dan keberlanjutan bisnis dia sendiri. Negara Selandia Baru yang memiliki populasi kecil (sekitar 5 juta jiwa) dan terletak jauh dari sumber wisatawan dunia kelihatannya sangat tangguh dan cukup berhasil dalam menjual brand negara mereka sebagai tempat yang “pure and clean”. Brand ini didukung oleh keseriusan mereka dalam mengkoordinasikan upaya untuk menjaga keamanan dan keselamatan manusia dan alam melalui sertifikasi yang ketat bagi semua pelaku bisnis pariwisata dan rekreasi. Mereka pernah mengalami kegagalan di masa lalu ketika terjadi kecelakaan pada manusia (atau wisatawan dan pelaku rekreasi) yang menimbulkan cedera bahkan kematian. Juga mereka belajar dari masa lalu mereka tentang keteledoran mereka memperkenalkan flora dan fauna eksotik yang berdampak buruk kepada
ekosistem alam. Pelaku bisnis pariwisata dan rekreasi juga tidak hanya mengejar keuntungan profit tinggi dalam waktu sekejap, melainkan juga untuk mendapatkan kepuasan batin yang mereka dapatkan menjalankan bisnis di alam yang segar dan terjaga dengan utuh. Pelaku bisnis tersebut mengetahui dan menyadari pentingya keselamatan manusia dan alam untuk keberlangsungan bisnis mereka.
Studi Wisata 2014 –
45
Pelajaran untuk Indonesia
P
emerintah Indonesia dan stakeholder terkait di sektor pariwisata dan rekreasi, terutama pelaku bisnis, selayaknya telah menyepakati dan mendorong tersebarnya citra Indonesia yang baik di mata dunia. Pencitraan tentang apa yang ingin dikembangkan sangat penting untk memandu seluruh stakeholder dalam aktivitas mereka. Bila tidak menjangkau seluruh dunia, setidaknya untuk pasar negara atau wilayah
tertentu saja. Khusus untuk wisata alam laut dan pesisir, sudah tidak waktunya lagi mendorong menawarkan pariwisata ”triple S” yaitu Sun,
46
Sand and Sea – Matahari, Pasir, dan Pantai. Triple S ini sudah tidak lagi cukup untuk membuat negara ini kompetitif. Adanya kawasan konservasi laut dan pesisir seharusnya menjadi aset tambahan bagi Pemerintah pusat dan daerah. Bila dapat dilakukan identifikasi keunikan dari satu daerah dibandingkan dengan daerah yang lainnya. Sehingga dapat ditunjukkan dengan jelas perbedaan antara satu kawasan konservasi dengan lainnya. Pelajaran dari Selandia Baru menunjukkan bahwa ada suatu kesadaran dari lintas sektor di kalangan pemerintah dan
pelaku bisnis tentang brand yang mereka tawarkan. Mereka kemudian sadar dan konsisten untuk mengembangkan brand tersebut yang diiringi dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas produk atau jasa yang diasosiasikan dengan Brand tersebut. Jadi ketika mereka mengatakan bahwa Selandia Baru adalah negara yang “pure and clean” mereka harus konsisten menjaga citra atau brand yang mereka jual. Untuk menjunjung tinggi brand ini dibutuhkan berbagai persyaratan yang tidak mudah dan juga biaya yang tinggi.
mereka untuk melakukan bisnis yang mereka kerjakan walaupun penghasilan dan keuntungan bisnis yang mereka dapatkan tidaklah terlalu tinggi dan tentunya tidak dapat langsung dinikmati dalam waktu sekejap.
Brand ini didukung oleh pelaku bisnis yang melihat keunggulan komparatif Selandia Baru dalam menjalankan usaha wisata alam terbuka terutama di wilayah laut dan pesisir. Ini yang memotivasi
Studi Wisata 2014 –
47
7
Pengelolaan Kolaboratif: Sebuah Keniscayaan Bagi Para Pemangku Kepentingan di Teluk Hauraki, Selandia Baru Arisetiarso Soemadinoto
Apa yang muncul di benak
kita ketika melihat sebuah teluk, meski dikelilingi oleh daratan yang dipadati permukiman, dengan kapal berbagai ukuran, seperti kapal pesiar dan kapal kargo dan tanker berukuran besar berlalu lalang, tetap terllihat indah? Dari kacamata praktisi pengelolaan kawasan konservasi perairan, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana caranya mengelola kawasan teluk seperti itu agar tampak cantik di tengah keramaian dan keruwetan kegiatan ekonomi? Pertanyaan yang sama muncul ketika dengan mata-kepala sendiri melihat Teluk Hauraki yang berada di ‘depan’ Auckland, kota terbesar dan terpadat di Selandia Baru. Dari kamar hotel tempat menginap, ke arah manapun mata memandang, kita akan disuguhi oleh daratan berbukit penuh 48
permukiman tertata rapih yang mengelilingi Teluk Hauraki di satu sisi, dan sekumpulan pulau-pulau kecil berwarna biru keabu-abuan nun jauh di sisi lain Teluk. Lalu di tengah Teluk, tampak perahuperahu pesiar dan kapal-kapal berukuran besar yang membawa entah minyak atau barang lainnya lalu-lalang memasuki Teluk sebelum berlabuh di Pelabuhan Auckland. Yang membuat mata kita juga nyaman memandang adalah letak
pelabuhan yang berdampingan dengan kompleks gedunggedung tempat kegiatankegiatan ekonomi urban dan permukiman tepi pantai yang asri dan berhadapan langsung dengan marina tempat kapalkapal pesiar berlabuh. Jauh berbeda dari pemandangan yang biasa kita jumpai di Indonesia bila mengunjungi kawasan di sekitar pelabuhan yang hampir selalu berkesan kumuh dan tidak bersahabat. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pariwisata dan rekreasi bisa berkembang begitu pesat di sebuah Teluk yang dipadati oleh berbagai kegiatan seperti itu? Apalagi kegiatan rekreasi dan wisata yang populer adalah yang berhubungan dengan olahraga seperti berperahu-layar (sailing) dan berperahu-dayung (kayaking). Belum lagi wisata
lain yang bertema konservasi seperti pengamatan paus (whale-watching), pengamatan lumba-lumba (dolphin-watching), serta pengamatan burung (birdwatching). Dari kacamata orang yang datang dari negara yang penuh kerumitan seperti Indonesia, beragamnya kegiatan yang mengambil tempat di Teluk Hauraki sebetulnya bukan hal yang baru karena penggunaan satu kawasan perairan oleh beragam pihak juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Contoh nyata adalah Teluk Jakarta. Seperti
Studi Wisata 2014 –
49
Teluk Hauraki, Teluk Jakarta juga digunakan untuk berbagai macam kegiatan oleh beragam pihak. Yang membuatnya berbeda dari Teluk Hauraki adalah ketiadaan sebuah lembaga yang mencoba untuk memaduserasikan semua kegiatan dan para-pihak yang berkepentingan dengan Teluk Jakarta. Seolah-olah secara alamiah kerumitan yang ada di Teluk Jakarta akan dengan sendirinya bisa menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan, sosial, ekonomi dan politik yang dihadapinya. Selain itu, Teluk Jakarta masih dipandang oleh para-pihak sebagai ajang persaingan pemanfaatan daripada sebagai ajang pemanfaatan secara bersama yang bersifat saling menguntungkan bagi para-pihak yang berkepentingan dengannya.
50
Jalan panjang menuju pengelolaan kolaboratif Sebelum menjadi seperti sekarang, ada sejumlah peristiwa penting yang terjadi di kawasan Teluk Hauraki di masa lalu. Beberapa peristiwa ini dipercaya menjadi cikal-bakal dan pemicu berdirinya Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Marine Park) beserta upaya pengelolaannya secara kolaboratif. Teluk Hauraki didirikan pada tahun 1967 dengan sebutan Taman Maritim Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Maritime Park). Boleh dibilang tidak ada sebuah rezim pengelolaan yang khusus didirikan untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Teluk Hauraki pada saat itu, meski secara tradisional Kementerian Kelautan sudah mengurus soal-soal perikanan di Teluk tersebut, Kementerian Transportasi Laut mengurus
lalu-lintas kapal komersial dan pelabuhan, dan perguruan tinggi menggunakannya sebagai tempat penelitian. Status sebagai Taman Maritim ini bertahan sampai tahun 1990 ketika diputuskan untuk mengelola Teluk Hauraki secara resmi karena banyaknya pemangku-kepentingan yang memanfaatkannya. Perlu waktu 10 tahun lagi sebelum akhirnya Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Marine Park) didirikan pada tahun 2000 melalui Akta Taman Laut Teluk Hauraki (Hauraki Gulf Marine Park Act). Salah satu tonggak penting bagi Teluk Hauraki adalah didirikannya Cagar Laut (Marine Reserve) tertua di Selandia Baru, yaitu Pulau Kambing (Goat Island), pada tahun 1975 oleh pakar dari Universitas Auckland, Dr. Bill Ballantine. Pendirian ini kemudian diikuti dengan pendirian lima cagar laut yang tersebar di Teluk Hauraki. Peristiwa penting lainnya adalah pendirian Departemen
Konservasi pada tahun 1987 menyusul diberlakukannya Akta Konservasi pada tahun yang sama. Departemen ini bertanggungjawab untuk melestarikan warisan alam dan sejarah Selandia Baru agar memberikan manfaat dan dapat dinikmati oleh penduduk Selandia Baru. Teluk Hauraki menjadi fokus karena di teluk ini dapat dijumpai beragam jenis paus dan burung yang statusnya dilindungi, baik secara nasional maupun internasional. Peristiwa penting lainnya adalah kerusakan lingkungan besar-besaran yang terjadi di Teluk Hauraki akibat kegiatan eksploitasi sumberdaya hayati oleh manusia. Yang paling merusak adalah berkembangnya industri perikanan yang mengakibatkan penangkapanberlebih (overfishing) dan penurunan drastis produksi perikanan dalam kurun tiga dekade. Produksi perikanan kakap merah yang mencapai 10 ribu ton per tahun pada tahun 1970an turun menjadi sekitar 400
Studi Wisata 2014 –
51
sampai 800 ton saja per tahun pada tahun 2000an. Industri perikanan yang menangkap ikan dengan menggunakan pukat sangat merusak lingkungan Teluk dan ditengarai sebagai penyebab utama tidak pernah pulihnya populasi udang barong (lobster). Menurut para pakar, cadangan (stock) ikan saat ini hanya seperempat dari tingkat sebelum kedatangan orang Eropa ke Selandia Baru pada awal abad ke-19. Eksploitasi lain yang juga tidak kalah merusaknya adalah pengerukan dasar laut untuk memanen kerang hijau yang mencapai puncaknya pada tahun 1961 dimana 15 juta ekor kerang diambil dan menimbulkan kerusakan yang tidak pernah terpulihkan bahkan setelah 40 tahun. Pengerukan telah merusak habitat dasar perairan sehingga tidak memungkinkan pepulasi kerang hijau untuk kembali dan pulih. Hal lain yang juga memperparah kerusakan adalah masuknya nitrogen dalam jumlah besar ke dalam perairan Teluk yang berasal dari lahan-lahan pertanian dan peternakan. Belum lagi sampah tersangkut atau terserak di pantai yang mencapai volume 450.000 liter per tahun. 52
Terakhir, tetapi tidak kalah pentingnya, adalah keberadaan beragam mamalia laut di Teluk Hauraki. Diperkirakan terdapat 25 species mamalia laut yang dapat dijumpai di Teluk Hauraki, dan sekitar sepertiga dari species mamalia laut dunia diketahui tinggal atau mengunjungi teluk ini. Paus yang dilaporkan terlihat dan/atau bermigrasi melalui perairan Teluk meliputi, antara lain, Paus Baleen, Paus Bungkuk dan Paus Biru Selatan. Salah satunya, yaitu Paus Bryde (Balaenoptera brydei), yang jumlahnya diperkirakan antara 100–200 ekor di Teluk Hauraki, sering mengalami kecelakaan dan kematian karena ditabrak oleh atau bertabrakan dengan kapal, terutama kapal tanker, yang berlalu-lalang di perairan Teluk.
Mengapa pengelolaan secara kolaboratif? Beragam peristiwa di atas, baik secara tunggal maupun bersama, telah memicu dan memacu kesadaran bersama para pemangku-kepentingan untuk menyelamatkan lingkungan Teluk Hauraki. Pertanyaannya, bagaimana upaya tersebut dapat dilakukan? Bagaimana caranya agar para pemangku-kepentingan Teluk Hauraki dengan kepentingannya masing-masing yang berbeda dapat bekerja sama untuk menyelamatkan Teluk Hauraki?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Akta Taman Laut Teluk Hauraki Tahun 2000 menyarankan sebuah pendekatan pengelolaan secara terpadu yang melibatkan sebanyak mungkin pemangkukepentingan. Pendekatan yang kurang-lebih serupa dengan konsep pengelolaan kolaboratif ini dipandang sebagai sebuah pilihan yang harus diambil mengingat begitu banyaknya pemangkukepentingan Teluk Hauraki. Maka dibentuklah Forum Teluk Hauraki yang bertujuan dan diberi mandat untuk mempromosikan dan memfasilitasi pengelolaan terpadu, perlindungan dan peningkatan Teluk Hauraki. Forum sendiri tidak mengelola Teluk Hauraki secara teknis tetapi lebih berperan sebagai wadah yang memastikan para pemangku kepentingan saling “menenggang rasa” dan mempertimbangkan dalam melakukan kegiatankegiatannya. Jadi kesepakatan antar-pihak karena kesadaran para pihak lah yang sebenarnya terjadi. Pada awalnya, sebelum Forum Teluk Hauraki terbentuk, daftar pihak yang mengklaim sebagai
Studi Wisata 2014 –
53
pemangku kepentingan mencapai jumlah yang sangat banyak, yaitu 20 ribu! Dalam proses pembentukan forum, jumlah ini kemudian menurun drastis menjadi sekitar 400, sebelum akhirnya diperas menjadi tinggal 14 orang. Proses pembentukan forum sendiri berjalan tidak biasa karena sifatnya yang bottom-up dan sangat partisipatif (tidak ada ‘jalan belakang’ atau pembajakan putusan kebijakan di tengah jalan), serta hanya orang-orang yang memiliki pendukung terbanyak saja (setelah melalui kampanye singkat) yang dipilih menjadi anggota forum. Anggota forum terdiri dari orangorang yang mewakili pemerintah pusat (Kementerian Konservasi, Perikanan/Industri Primer dan Urusan Maori), pemerintah daerah (Dewan Kota Auckland, Dewan Daerah Waikato dan dewandewan distrik), dan perwakilan dari masyarakat adat Maori (tangata whenua). Selain itu, para pemangku-kepentingan lainnya adalah pihak swasta, terutama yang bergerak dalam bidang pariwisata dan transportasi untuk pariwisata dan rekreasi, dan perusahaan penangkapan ikan, Kementerian Perikanan, otoritas pelabuhan, dan perusahaan kapal transportasi laut berukuran besar, badan promosi pariwisata Selandia Baru, LSM dan organisasi masyarakat setempat. Dari perspektif konservasi dan pemanfaatan kawasan,
54
keberadaan forum ini sangat menguntungkan bagi kegiatan pariwisata dan rekreasi berkelanjutan. Teluk Hauraki memiliki lima Suaka Laut dan 25 Taman Daerah (Regional Park – mungkin serupa dengan Taman Pesisir di Indonesia). Suaka Laut dikelola seluruhnya oleh Departemen Konservasi, sementara Taman Daerah sebagian ada yang dikelola oleh Dewan Kota Auckland (Auckland City Council) dan Dewan Daerah Auckland (Auckland Regional Council – mungkin setingkat
dengan pemerintah daerah Kabupaten di Indonesia). Yang unik, beberapa Suaka Laut ini letaknya berdampingan langsung dengan Taman Daerah, seperti di Suaka Laut Pulau Kambing (Goat Islands Marine Reserve). Dengan keberadaan forum, dapat dibangun beragam kerjasama yang saling menguntungkan. Beberapa di antaranya adalah: • Pemulihan lingkungan pulau kecil Tiritiri Matangi dan konservasi burung di pulau tersebut yang dilakukan secara bersama oleh Departemen Konservasi bekerjasama dengan organisasi masyarakat Supporters of Tiritiri Matangi (SoTM). Departemen Konservasi yang anggarannya terbatas tetap dapat mencapai tujuantujuan kerja konservasinya
karena memperoleh dukungan dari SoTM dalam pelaksanaan kegiatan konservasi dan pariwisata, sementara SoTM dapat menggalang pendanaan sekaligus dukungan dari masyarakat luas untuk melaksanakan kerja-kerja konservasinya. Lebih jauh lagi, kerjasama ini juga mendorong kerjasama antara SoTM dengan pihak swasta (operator kapal cepat) yang menjamin akses dari Auckland sepanjang tahun dan sebaliknya mendukung operasi kapal sepanjang tahun. • Kerjasama antara Departemen Konservasi dengan Dewan Kota atau Dewan Daerah Auckland dalam mengamankan dan mengelola Suaka Laut yang berdampingan dengan Taman Daerah. Kerjasama ini saling menguntungkan karena keduanya juga memiliki jumlah petugas ranger yang terbatas, sehingga pendanaan dan kegiatankegiatannya dapat dilakukan secara bersama. • Kerjasama antara masyarakat setempat dengan Departemen Konservasi, perguruan tinggi
Studi Wisata 2014 –
55
dukungan dari masyarakat luas terkait dengan upayanya melestarikan kawasan perairan Pulau Kambing.
(Universitas Auckland) dan masyarakat adat Maori dalam memanfaatkan Suaka Laut Pulau Kambing. Departemen Konservasi memperoleh keuntungan karena para-pihak lainnya yang menyelenggarakan pengamanan dan pengelolaan kawasan. Masyarakat adat Maori setempat mendapatkan pemasukan uang secara langsung dan tidak-langung dari lokasi parkir menuju kawasan yang terletak pada tanah adat dan kunjungan wisatawan. Masyarakat setempat memperoleh keuntungan ekonomi dari kegiatan layanan pariwisata dan rekreasi yang mereka selenggarakan. Perguruan tinggi dapat mengamankan tempat penelitiannya dari gangguan manusia/pengunjung sementara pada saat yang bersamaan juga memperoleh
56
Meskipun demikian, tidak berarti semuanya berjalan dengan lancar dan tampak selalu indah. Sebetulnya masih banyak persoalan yang dihadapi oleh Teluk Hauraki. Selain tabrakan antara Paus Bryde dengan kapal yang masih sering terjadi, kondisi habitat dasar laut Teluk masih jauh dari pulih, dan pencemaran sebagai akibat dari kegiatan manusia di darat juga merupakan ancaman serius bagi Teluk Hauraki. Sebuah studi yang wajib dilakukan oleh Forum Teluk Hauraki pada tahun 2011 menunjukkan bahwa indikatorindikator lingkungan teluk masih menunjukkan kecenderungan memburuk atau stabil tetapi pada kondisi yang belum membaik. Dari segi pemanfaatan, meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke obyek-obyek wisata dan rekreasi di Teluk Hauraki juga merupakan ancaman bila tidak dikelola.
Pembelajaran apa yang bisa kita ambil ?
Apa yang terjadi di Teluk
Hauraki di masa lalu dan saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dari yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Pemangku kepentingan yang memanfaatkan kawasan juga tidak jauh berbeda, dan masalah-masalah yang dijumpai juga mirip. Dari sejarah pengelolaannya tampak bahwa pengelolaan Teluk Hauraki sebetulnya belum terlalu panjang dan dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan sejarah perkembangan kawasan konservasi perairan, laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Ketika bicara tentang pengelolaan kolaboratif ternyata untuk negara semaju Selandia Baru istilah ini tidak banyak dikenal orang, dan orang yang pernah mendengarnya atau mengetahuinya pun memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Pendekatan bottom-up untuk membentuk Forum Teluk Hauraki yang melibatkan semua pemangku-kepentingan secara penuh baru dilakukan pada kurun tahun 2000an. Kata kuncinya mungkin terletak pada bagaimana menyampaikan pesan penting yang pada gilirannya akan mendorong kesadaran para pemangku kepentingan untuk menangani masalah (lebih) besar yang dihadapi oleh sebuah kawasan secara bersama. Pesan tersebut Studi Wisata 2014 –
57
seyogianya disampaikan oleh sebuah lembaga yang memang mewakili semua pemangku kepentingan, dalam hal ini Forum Teluk Hauraki. Persoalannya, di Indonesia yang namanya forum sering tidak dapat berjalan dengan lancar karena sifatnya yang cair. Mungkin di Indonesia harus dalam bentuk kelembagaan lain yang sifatnya lebih otoritatif sehingga akan didengar dan dipatuhi oleh banyak pihak agar pengelolaan kolaboratif dapat berjalan seperti yang direncanakan. Perlu ditekankan di sini bahwa dalam membangun pengelolaan kolaboratif perlu waktu, kesabaran dan komitmen. Hal-hal ini sering luput dari perhatian kita dan tidak banyak yang mau meluangkan waktu dan komitmen untuk kerja-kerja yang kompleks dan penuh tantangan. Kelihatannya perlu dipikirkan insentif seperti apa yang dapat diterapkan untuk menggalang orang-orang yang mau meluangkan waktu dan komitmennya. Proses yang memerlukan waktu lama diantisipasi dengan mendorong masing-masing pemangku kepentingan untuk segera
58
bekerjasama secara langsung pada tingkat pelaksanaan. Lebih jauh lagi karena pengelolaan kolaboratif bukan sebuah pendekatan yang pasti cocok untuk semua (fits for all), maka pengelolaan kolaboratif yang dibangun di suatu tempat sewajarnya disesuaikan dengan keragaman budaya, politik, ekonomi dan lingkungan di tempat tersebut. Oleh karena itu, yang namanya saling-belajar secara berkesinambungan merupakan kata kunci lain yang perlu diperhatikan oleh para pelaku pengelolaan kolaboratif.
8
Kebersihan dan Pengembangan Pariwisata dan Rekreasi di Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Arisetiarso Soemadinoto
Apa yang terlintas di pikiran
anda ketika berkunjung ke suatu tempat lalu kita tidak menjumpai sampah yang berserakan atau mencium bau tidak enak yang berasosiasi dengan sampah? Jawaban pertama, kita tidak berada di Indonesia. Jawaban kedua, (kemungkinan besar) pihak pengelola memiliki sistem penanganan dan pengolahan sampah yang sangat baik. Bagaimana kalau pertanyaannya dibalik menjadi: apa yang terlintas di pikiran anda ketika berkunjung ke sebuah tempat wisata yang sangat populer tetapi semrawut dan sampah berserakan dimana-
mana? Jawaban pertama, dinas atau pengurus kebersihan tempat wisata tersebut kewalahan dengan sampah yang dihasilkan oleh para wisatawan dan pengunjung yang datang berkunjung. Jawaban kedua, para wisatawan dan pengunjung tidak menghargai tempat wisata yang dikunjunginya dan orang-orang lain yang juga mengunjungi tempat tersebut. Penulis, yang mendapat kesempatan untuk mengunjungi sebuah negara yang terletak nun jauh di belahan bumi selatan, yaitu Selandia Baru, bersama
Studi Wisata 2014 –
59
dengan rombongan Study Tour “Pemanfaatan Konservasi Perairan untuk Pariwisata” yang didukung oleh Marine Protected Areas Governance (MPAG) Program dari USAID Mission to Indonesia, mengamati bahwa yang namanya kebersihan di Selandia Baru ini tidak terbatas untuk menjaga estetika/keindahan saja tetapi juga untuk menjaga kesehatan wisatawan dan pengunjung! Tanpa kebersihan mustahil rasanya pariwisata dan rekreasi di Selandia Baru bisa berkembang sukses seperti sekarang.
Kebersihan sumber kemakmuran! Sewaktu kecil, penulis sering mendengar peribahasa “bersih pangkal sehat” dan “hemat pangkal kaya”. Peribahasa pertama maksudnya adalah kesehatan berawal dari kebersihan, jadi kalau kita menjaga kebersihan penyakit tidak akan datang. Untuk
60
yang kedua, seseorang bisa menjadi kaya bila dia hemat. Untuk kasus Selandia Baru, kelihatannya dua peribahasa tersebut dapat digabung menjadi “bersih pangkal makmur” yang maksudnya kebersihan, kalau diterapkan secara all out alias menyeluruh, akan menjadi dan mendatangkan kemakmuran. Bagaimana tidak, bagi semua kegiatan pariwisata dan rekreasi kebersihan adalah prasyarat utama. Secara kasat-mata bersih dan kebersihan menyumbang kepada estetika alias keindahan yang menjadi alasan wisatawan datang berkunjung atau melakukan kegiatannya. Sulit membayangkan sebuah obyek wisata dikatakan indah kalau sampah berserakan dimanamana, atau sekelompok penyelam dapat menikmati kegiatan selamnya karena terumbu karang yang ingin dilihatnya dipenuhi oleh sampah dan jumlah sampah yang terlihat lebih banyak daripada ikannya. Di Auckland, kebersihan sudah terlihat sejak pertama kali kami
menginjakkan kaki di bandara. Kebersihan yang sama juga di tempat-tempat perbelanjaan dan toko atau warung. Kebersihan tidak terbatas pada yang kasat mata saja, tetapi yang tak-kasat matapun harus dipenuhi! Yang tidak kasat mata adalah standar higienis dari layanan pariwisata. Peran pemerintah kota besar sekali dalam memberikan
sertifikasi kebersihan higienis dari layanan atau restoran atau jasa pembuatan makanan. Tidak hanya di kota besar seperti Auckland, di semua tempat yang dikunjungi warung atau tempat makan memiliki sertifikat Kelas A (tertinggi) agar boleh beroperasi. Ketika mengunjungi salah satu warung seperti Alfamart di Indonesia, terpampang jelas di belakang sang kasir sertifikat Kelas A. Secara tak-kasat mata, ada hal-hal lain yang tak kalah pentingnya. Perairan yang bersih dapat digunakan oleh wisatawan untuk berenang, dan makanan yang bersih (apalagi enak) akan
Studi Wisata 2014 –
61
memastikan wisatawan tidak terkena sakit perut atau apalagi penyakit saluran pencernaan yang kronis. Tentunya bukan iklan yang bagus bila wisatawan setelah berenang di suatu pantai kemudian kembali ke rumah atau negaranya dengan gatal-gatal atau penyakit kulit yang sulit sembuh; apalagi bila wisatawan tersebut kemudian juga terkena sakit perut. Pada tahun 1990-an Bali pernah tidak dikunjungi oleh wisatawan dari Jepang selama berbulanbulan karena serombongan wisatawan dari negara Matahari
Terbit tersebut terkena diare dan kolera. Di negara-negara yang sadar-kebersihan tak-kasat mata, pantai-pantai yang badan airnya tercemar oleh mikroba akan segera ditutup dari kegiatan
62
berenang yang pada gilirannya akan menghentikan kegiatan rekreasi dan pariwisata karena tidak ada wisatawan yang datang karena tidak bisa berenang atau sekedar berjemur! Pada gilirannya, masyarakat dan pengusaha setempat yang akan menderita karena usaha mereka tidak bisa berjalan, dan ujung-ujungnya pemerintah juga menderita karena tidak ada pemasukan melalui pajak. Bagaimana kebersihan bisa menjadi sumber kemakmuran di Selandia Baru, bisa dilihat dari contoh berikut. Secara kasat mata kebersihan memberikan rasa nyaman karena sebuah tempat menjadi tampak indah karena kebersihannya. Semua tempat rekreasi dan apalagi kawasan konservasi yang dikunjungi oleh rombongan Study Tour nyaris tanpa sampah dan tidak ada bau tidak sedap yang menyebabkan orang enggan untuk datang kembali. Salah satunya adalah Suaka Laut Long Bay (Long Bay Marine
Reserve). Suaka yang memiliki lebar 0,5 km dan panjang 5 km boleh dibilang nyaris sempurna karena bersih secara alami. Maksudnya, pantai Long Bay memang diseraki oleh serasah dan potongan kayu yang hanyut tetapi tidak ada sampah buatan manusia seperti plastik. Hal serupa juga teramati di kawasan-kawasan konservasi lainnya seperti Pulau Tiritiri Matangi dan Suaka Laut Pulau Kambing (Goat Island Marine Reserve).
Hal yang sangat menarik sekaligus unik adalah prinsip “bawa pulang sampahmu” (bring home your rubbish) sehingga di kawasankawasan yang sudah disebutkan sebelumnya, tidak ada tempat sampah bagi wisatawan dan pengunjung. Tampaknya budaya malu dan tenggang-rasa menghormati orang lain yang kuat menjadikan program ini dapat berjalan dengan baik. Selama kunjungan, tampak bahwa
Studi Wisata 2014 –
63
para pengunjung dan wisatawan lokal membawa pulang sampah dari kegiatan mereka.
Di Suaka Laut Long Bay yang merupakan tempat rekreasi umum, kunjungan oleh orangorang yang membawa anjing peliharaannya sangat dibatasi. Hanya pada waktu tertentu saja pada sore hari dan hari tertentu mereka boleh masuk dengan membawa anjing peliharaannya
64
dan diawasi ketat oleh para Park Rangers agar tidak mengotori kawasan. Untuk itu, para pemilik anjing harus memungut dan membawa sendiri kotoran anjing untuk dibuang di tempatnya kalau tidak mau kena denda! Di tempat lainnya, Tiritiri Matangi, sebuah pulau yang dikembangkan menjadi surga bagi para penggemar burung dan pencinta jalan-kaki, hal serupa juga diterapkan. Di pulau tersebut diterapkan prinsip “tak ada tempat sampah” (no bins) dan “tak ada sampah” (no rubbish) karena semua sampah harus dibawa sendiri oleh pengunjung ketika keluar dari pulau. Dari tulisan ringkas ini jelas bahwa kebersihan adalah modal dasar untuk
mengembangkan pariwisata dan rekreasi. Semuanya tentu saja membutuhkan proses dan kerjasama antar berbagai pihak, termasuk perubahan tingkah laku dan gaya hidup bersih dan tidak merusak atau mengotori lingkungan.
Studi Wisata 2014 –
65
Muhammad Korebima
Rudyanto
Coral Triangle Centre
MPAG
Korebima adalah penggiat konservasi di bidang pengembangan masyarakat dan konservasi laut yang telah bekerja pada berbagai proyek konservasi selama lebih dari 10 tahun dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional bidang konservasi kelautan terdepan, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Rudyanto adalah penggiat konservasi sejak pertengahan tahun 80an. Ia menamatkan pendidikan S1nya di Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran dan kemudian bekerja di beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian alam seperti Asian Wetland Bureau / Wetlands International, BirdLife International, The Nature Conservancy dan Rare.
Dirinya mendapatkan kesempatan memperdalam ilmu komunikasi, budaya, dan media dari beasiswa Ford Foundation di Coventry University, Inggris untuk mendukung perannya di lapangan dan kelembagaan dalam mengedukasi, membangun komunikasi, dan melahirkan masyarakat sadar konservasi. Saat ini Korebima bekerja sebagai Banda Marine Protected Area (MPA) Coordinator, Coral Triangle Center sejak tahun 2012 hingga saat ini – melengkapi pengalaman dan dedikasi yang tinggi pada upaya pelestarian kawasan konservasi perairan di berbagai kawasan Indonesia Timur.
66
Ia memperoleh the Chevening Award dari pemerintah Inggris dan melanjutkan pendidikan S2nya di Graduate Research Center of Environment, Development and Policy, University of Sussex, UK. Saat ini, Rudyanto bekerja sebagai Conservation Coordinator di Marine Protected Areas Governance yang merupakan program bantuan yang didanai oleh USAID untuk mendukung Pemerintah Indonesia mencapai target untuk mengelola secara efektif kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar pada tahun 2020.
Mirza Pedju
Ari Soemodinoto
Mirza Pedju, memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu pengetahuan lingkungan (BSc Environmental Science) dan pengelolaan lingkungan dan bisnis (Master in environmental and business management).
Ari Soemodinoto saat ini bekerja sebagai Conservation Leverage Manager pada Program Kelautan TNC Indonesia. Memperoleh gelar PhD dari Monash University, Australia, dengan disertasi tentang dampak pengembangan pariwisata di kawasan lindung terhadap hubungan dan kolaborasi antara unit pengelola dan masyarakat setempat.
The Nature Conservancy.
Mirza sudah lebih dari 15 tahun berkecimpung dalam kegiatan pelestarian lingkungan, khususnya untuk bidang laut dan pesisir di Indonesia dan terlibat dalam beberapa proyek kawasan konservasi laut seperti TN Komodo dan TN Wakatobi dengan pengalaman kerja bersama perusahaan konsultan lingkungan, pariwisata, dan NGO lingkungan. Terkait dengan pariwisata lingkungan, Mirza terlibat sebagai CSR program manager untuk Banyan Tree Bintan selama 3 tahun, dan sekarang sedang menyusun skripsi S3 untuk MPA tourism di Selandia Baru. Mirza juga berperan sebagai Conservation Manager untuk The Nature Conservancy – Indonesia Marine Program.
TNC Indonesia
Disamping minat terhadap ekowisata dan pariwisata bahari, penulis juga bekerja pada bidang evaluasi atau kajian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi laut; perencanaan tindak konservasi dan pariwisata bahari; dan penguatan kapasitas dalam bidang konservasi laut dan pariwisata bahari.
Studi Wisata 2014 –
67
Marine Protected Areas Governance (MPAG) adalah program bantuan USAID yang bertujuan mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seluas 20 juta hektar pada tahun 2020, serta mengelolanya secara efektif dan berkelanjutan. Program MPAG merupakan implementasi dukungan pemerintah Amerika Serikat dalam rangka United States Coral Triangle Initiative (USCTI). Dalam konteks nasional, program MPAG mendukung Goal 3 National Plan of Action (NPOA) Indonesia, yaitu: Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Terbentuk dan Terkelola Secara Efektif. MPAG merupakan bagian dari Marine Resources Program (MRP) dan kelanjutan dari program Coral Triangle Support Partnership (CTSP) Indonesia. Program ini dirancang bersama direktorat terkait di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah daerah untuk memastikan bahwa dukungan MPAG selaras dengan kebijakan pemerintah. Program kegiatan MPAG juga diimplementasikan melalui konsorsium LSM, yang terdiri atas Conservation International (CI), Coral Triangle Center (CTC), The Nature Conservancy (TNC), Wildlife Conservation Society (WCS), dan WWF Indonesia.
INFORMASI 68
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: Marine Protected Areas Governance (MPAG) Jl. Ciragil 2 no.8 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12180 Tel : (021) 293 29420 Email :
[email protected]