Konservasi Kawasan
Perairan Indonesia Bagi Masa Depan Dunia
1
Profil Konservasi Sumberdaya Ikan Kini dan Mendatang: Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Masa Depan Dunia Pengarah: M. Syamsul Maarif (Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil) Penulis: Yaya Mulyana dan Agus Dermawan Penyelaras Akhir: Suraji Pendukung: Subdit Identifikasi dan Pemetaan Konservasi Subdit Rehabilitasi Kawasan Konservasi Subdit Konservasi Ikan dan Pemanfaatan Kawasan Konservasi Subdit Konservasi Kawasan Perairan dan Taman Nasional Laut Foto: Peter Mous, cipto aji gunawan, Koleksi Dit Konservasi dan KTNL, Coremap II Rancang Grafis: HERI SUROSO Pencetakan Buku ini dibiayai oleh Satuan Kerja Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Diterbitkan oleh Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan Jl. Medan Merdeka Timur No. 16, Jakarta 10110 Telp./Fax. +62-21 352 2045 Email:
[email protected] www.dkp.go.id Cetakan pertama, 2008 ISBN 978-979-3556-65-9 Dipersilahkan mengutip sebagian atau keseluruhan buku ini dengan menyebutkan sumber sitasi. 2
3
Sekapur Sirih
K
onservasi kawasan perairan merupakan bagian dari upaya konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan pendekatan pengelolaan yang lebih spesifik, antara lain, karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di lain pihak, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan wewenang urusan–urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat. Makna konservasi sumberdaya ikan bukan saja perlindungan semata, namun secara seimbang melaksanakan upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan. Mengingat harapan pelestarian sumberdaya ikan terletak di jantung kawasan konservasi perairan, Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya melalui Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut sejauh ini telah melakukan pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi lembaga/instansi/Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir, terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi masyarakat yang lebih terbuka, upaya-upaya konservasi kawasan perairan tersebut telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah daerah dan masyarakat. Buku ini disusun untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan yang telah dilakukan utamanya terkait tugas pokok dan fungsi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Buku ini diawali dengan catatan kecil tentang bagaimana menjaga laut demi masa depan, bukan hanya untuk anakcucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem dunia, dilanjutkan dengan untaian refleksi kisah konservasi kawasan perairan, memaknai aturan konservasi, upaya harmonisasi konservasi kawasan perairan dan jenis ikan beserta penatakelolaannya, hingga kepada perkembangan konservasi pada masa kini serta diakhiri dengan menatap masa depan konservasi perairan. Beragam upaya dalam mengembangkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar konservasi perairan menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan dan kelestarian wilayah perairan Nusantara. Akhirnya, Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya buku ini, tak lupa terimakasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung mulai dari proses pengumpulan materi, penulisan hingga terselesaikannya buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-phak yang membutuhkannya. Jakarta, September 2008
Penulis
4
5
Pengantar
I
ndonesia merupakan negara kaya dengan berlimpah potensi sumberdaya yang teramat bernilai. Hampir 75 % dari seluruh wilayah Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan. Indonesia adalah negeri kepulauan, negeri bahari dengan 2,7 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Perairan laut Indonesia teramat kaya dan beragam sumberdaya hayati. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah Australia. Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies. The Coral Triangle tersebut meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua Nugini, Indonesia dan Solomon Islands. Posisi ini tentunya membuat terumbu karang Indonesia menjadi jauh lebih penting lagi, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia. Konservasi memegang peranan penting dalam mengimbangi kegiatan ekploitatif maupun terdegradasinya sumberdaya sebagai akibat dari berbagai aktivitas manusia. Upaya konservasi, khususnya sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan. Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian. Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting. Akhir kata, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Kami sampaikan selamat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku konservasi yang cukup memberi kesan tersendiri, semoga karya berharga ini mampu mengilhami dan memotivasi berbagai pihak dalam konservasi sumberdaya ikan untuk kesejahteraan generasi kini dan mendatang.
Jakarta, September 2008
Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M. Eng. Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
6
7
DAFTAR ISI Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Anak Cucu Kita 10 “Cobalah kita bertanya pada diri sendiri, mengapa Tuhan memberi dua pertiga luas negara kita adalah lautan.” Laksdya TNI (Purn) Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Menengok Kisah Konservasi Kawasan Perairan Indonesia
16
Memaknai Aturan Konservasi
36
Harmonisasi Pengelolaan Konservasi Kawasan Perairan dan Jenis Ikan
52
Kawasan Konservasi Perairan Pada Masa Kini
72
Menatap Masa Depan Konservasi Kawasan Perairan 8
92 9
Konservasi Kawasan
Perairan Indonesia
Bagi Anak Cucu Kita
P
ergilah ke kawasan perairan. Anda niscaya akan mendapati panorama yang unik, entah itu perairan yang berada di wilayah darat maupun perairan yang membatasi kawasan pesisir.Yang terakhir ini menyajikan belaian lembut pasir laut pada sepasang kaki Anda, sementara sepasang mata menikmati panorama lautan yang membentang berbatas cakrawala langit. Negara kita justru memiliki bentang laut seluas dua pertiga dari luas keseluruhan wilayah. Inilah rumah bagi terumbu karang yang cantik, berbagai jenis ikan, dan sumber daya hayati lainnya. Indonesia tercatat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang telah diakui oleh konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada tahun 1982. Wilayah yang luas itu dengan pantai sepanjang 95.186 kilometer dengan sekitar 17.480 pulau yang membentang pada garis katulistiwa dengan iklim tropis. Diapit oleh dua samudra (Samudra Hindia dan Pasifik) dan benua (Asia dan Australia, Laut Indonesia memiliki posisi yang strategis, yang dapat memberikan keuntungan ekonomi. Seiring pergeseran pusat ekonomi dunia, dari Poros Atlantik ke Asia Pasifik, kapal-kapal pengangkut internasional secara rutin melintasi perairan dalam Indonesia. Para ahli ekonomi memperkirakan bahwa potensi ekonomi jasa perhubungan laut mencapai 12 miliar dolar AS per tahun. Angka ini berdasarkan pada perhitungan, sejak 15 tahun terakhir negara kita mengeluarkan devisa lebih dari 10 miliar dolar per tahun untuk membayar armada pelayaran asing yang selama ini mengangkut 95 persen dari total barang untuk ekspor dan impor. Armada tersebut juga memobilisasi 45 persen dari total barang yang dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), yang meliputi Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut lainnya. Jalur laut Indonesia memang telah memegang peranan penting sejak zaman nenek moyang. Peninggalan pada zaman pra sejarah mengindikasikan adanya penguasaan teknologi pembuatan perahu dan kemampuan mengarungi lautan Nusantara dan singgah di kawasan sekitarnya. Pada masa Hindu-Buddha mulai menyebar di kepulauan Nusantara, kerajaan-kerajaan Nusantara pun melakukan kegiatan maritim aktif, baik intra-insular ataupun ekstra-insular, hingga ke India dan China. Kekayaan komoditas perdagangan dari sumber daya alam dan posisi geografis yang strategis kepulauan Nusantara, menjadikan wilayah ini berkembang sebagai jalur perdagangan dan transportasi penting. Laut juga menjadi saksi bagaimana pengorbanan para pahlawan kita saat berjuang merebut Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Pada tanggal 15 Januari 1962, suatu pertempuran terjadi di Laut Aru, Maluku. Saat itu, dua jenis kapal jenis perusak,
10
Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi melintasi wilayah perairan Indonesia, yang memiliki ekosistem terumbu karang yang indah. Saat ini berbagai pihak telah menyuarakan semangat pelestarian untuk melindungi sumber daya ikan yang kita miliki bagi anak cucu kita di masa mendatang.
pesawat jenis Neptune, dan Frely milik Belanda menyerang KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau milik Indonesia yang tengah berpatroli. Komodor Yos Sudarso yang memimpin armada Indonesia, yang saat itu berada di KRI Macan Tutul, berhasil melakukan manuver untuk mengalihkan perhatian musuh. Pihak musuh akhirnya hanya memusatkan penyerangan ke KRI Macan Tutul. Dua kapal lainnya selamat, sementara KRI Macan Tutul tenggelam beserta awaknya. Yos Sudarso menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, “Kobarkan semangat pertempuran.” Bagi para peneliti kelautan negara kita merupakan tempat penelitian yang sangat penting. Pasalnya, tiga lempengan kerak Bumi saling bertabrakan sehingga menjadikan topografi dasar laut Indonesia bervariasi. Bentuknya mulai dari kawasan paparan laut yang dangkal (< 200 meter) di Laut Jawa, hingga kawasan cekungan yang dalam di Laut Banda dan deretan palung laut yang memanjang dan ultra dalam (> 7.000 meter) di selatan Pulau Jawa. Kombinasi beragam kedalaman laut ini memberikan keuntungan dikaitkan dengan sirkulasi air laut yang mendukung ekologi dan menjadi habitat berbagai ikan bernilai ekonomis, beserta pasokan alami makanan ikan yang berkesinambungan. Pada Oktober 2002, Tim Ekspedisi Laut Dalam Indonesia-Jepang berhasil menyelam pada kedalaman lebih dari 2.000 meter di Palung Jawa. Menggunakan kapal selam riset Jepang, Shinkai 6500, para ilmuwan itu mencari jawaban ilmiah terhadap Patahan Sumatra, endapan gas metana di dasar laut, dan keberadaan biota laut dalam yang hidup tanpa cahaya matahari. Keindahan terumbu karang yang hidup di perairan dangkal negara kita berhasil memikat hati setiap penyelam,entah yang berasal dari dalam negeri maupun mancanegara. Di wilayah perairan terumbu karang yang jernih, hewan-hewan membekali diri mereka
11
Keindahan terumbu karang yang hidup di perairan dangkal negara kita berhasil memikat hati setiap penyelam, seperti yang ditemukan di dekat sebuah dermaga (halaman sebelah). Menjadi salah satu ikon penting perairan Indonesia, penyu adalah satwa laut yang membutuhkan perlindungan dari sejumlah ancaman masa kini (atas).
dengan warna-warna yang mencolok. Pada kawasan yang berlimpah cahaya matahari ini perubahan warna yang terjadi pada seekor ikan, misalnya ikan kambing-kambing (Pomacanthus imperator), juga berhasil memancing minat para peneliti dan olahragawan selam. Menghampar sepanjang kurang lebih 50.000 kilometer persegi, kawasan terumbu karang membentengi pulau-pulau Indonesia.Wilayah terumbu karang itu juga termasuk kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Kawasan itu memiliki luas terumbu karang sekitar 75.000 km2 yang mencakup Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Lebih dari 120 juta orang hidupnya sangat bergantung dari terumbu karang di kawasan tersebut. Hal ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk melakukan upaya konservasi terumbu karang di kawasan tersebut. Kawasan segitiga terumbu karang sendiri memiliki lebih dari 500 spesies karang. Hingga saat ini, kepulauan Raja Ampat merupakan lokasi dengan keanekaragaman hayati terumbu karang tertinggi di dunia dengan sekitar 537 jenis karang (CI, 2001). Jumlah jenis karang tersebut merupakan 75% jenis karang yang ditemukan di dunia. Akibat letaknya yang dekat dengan garis pantai dan mudah diakses masyarakat setempat, ekosistem terumbu karang mengalami tekanan yang hebat. Praktik penangkapan ikan menggunakan racun sianida dan bahan peledak merupakan contoh umum dalam kegiatan perusakan. Untuk itu, sudah sepantasnya kita menyelamatkan laut negara kita demi masa depan, bukan hanya untuk anak-cucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem dunia. w
12
13
14
15
Menengok Kisah
Konservasi Kawasan
Perairan Indonesia
M
embentang di garis khatulistiwa, perairan laut Nusantara menopang aneka kehidupan hayati. Lautan tropis seluas 5,8 juta kilometer persegi (km2) menutupi hampir 70 persen dari sekitar 7,8 juta km2 wilayah Indonesia. Samudera raya itu bersentuhan langsung dengan 17.480 pulau besar dan kecil yang membentuk bibir pantai tropis sepanjang 95.186 km. Perpaduan unik antara letaknya di pinggang Bumi, variasi iklim dengan interaksi lintasan arus dua samudera menjadikan bentang laut Nusantara kaya akan keanekaragaman sumber daya ikan dan lingkungannya. Ragam ekosistem bisa dijumpai, mulai dari ekosistem pantai, muara, mangrove, laut terbuka, padang lamun, terumbu karang hingga laut teluk. Dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, tersebar sekitar 4,5 juta hektar ekosistem mangrove yang membentengi daratan dari gempuran ombak. Selain itu, ekosistem yang ditumbuhi vegetasi Rhizophora, Avicennia, dan Sonneratia ini menjadi habitat bagi dua alam peralihan antara laut dan daratan. Di daratan, tumbuhan bakau menjadi rumah bagi burung air, amfibia, reptilia maupun primata, seperti bekantan, Bagi hewan akuatik, perairan mangrove menjadi tempat pemijahan dan asuhan untuk kelangsungan hidupnya. Pada kedalamannya, laut Indonesia memendam hamparan terumbu karang yang ditempati lebih dari 500 spesies dari 70 genera terumbu karang. Taman air dangkal ini membentuk relung-relung ekologi yang didiami ratusan ikan karang, alga, crustacea, moluska, mamalia, dan reptilia laut. Komunitas biota laut dan terumbu karang ini berpadu membentuk surga bawah laut yang indah. Berdampingan dengan ekosistem terumbu karang, terserak hampir sekitar 12 juta hektar ekosistem padang lamun. Ekosistem tumbuhan berbunga ini ibarat belantara laut yang dihuni sedikitnya 12 jenis lamun dari tujuh marga. Di sini hidup bermacam biota air, dari moluska, krustasea, cacing hingga ikan. Duyung, Dugong dugong, adalah mamalia laut yang hidupnya sangat tergantung pada kehadiran lamun. Hamparan lamun yang luas juga berfungsi sebagai penyaring sedimen dari daratan dan pelindung pantai. Topografi dasar samudera pun tak kalah menarik. Segala rupa dasar laut bisa dijumpai di Indonesia: paparan dangkal, palung laut, lereng landai dan curam hingga gunung api. Meski hening dan gersang, laut jeluk didiami beragam hidupan: ikan, teripang, cumi-cumi dan sebagainya. Mereka ini, salah satunya, berperan sebagai pemulung jasad organisme laut yang mati dan jatuh ke dasar samudera. Kekayaan hidupan laut yang melimpah itu sekaligus menyimpan keanekaragaman sumber daya ikan. Artinya, plasma nutfah perairan masih berpotensi besar untuk bisa
16
Pemanenan berlebihan serta caranya yang serampangan adalah ancaman lain yang bersifat langsung terhadap sumber daya laut. Penangkapan tanpa bersandar pada daya pulih biota perairan akan berdampak buruk bagi kelestarian hidupan laut. Cara lain yang memberikan dampak buruk adalah bahan peledak dan racun.
dimanfaatkan secara lestari di masa depan. Di sisi lain, seiring dengan melimpahnya keanekaragaman hayati beserta fungsi ekologi yang diembannya, secara tidak langsung mintakat perairan mengisyaratkan sebuah tantangan besar. Selain bermanfaat bagi kehidupan bangsa selama ratusan tahun, laut juga sedang menghadapi tekanan hebat dari dua sisi, dari kawasan daratan—polusi, limbah, dan sekaligus di perairan—pemanenan ilegal dan destruktif. Aktivitas terestrial telah mengirim bahan-bahan buangan yang mengancam kehidupan laut. Sumber pencemaran itu berasal dari kegiatan industri, pemukiman, perkotaan, pertambangan, pelayaran, pertanian dan budidaya perikanan. Begitu juga kegiatan manusia di tubir laut yang merombak kawasan pesisir, pantai, muara dan mangrove. Umumnya ancaman di pesisir berupa perluasan pemukiman, akitivas pariwisata bahari hingga konversi mangrove untuk keperluan lain. Pemanenan berlebihan serta caranya yang serampangan adalah ancaman lain yang bersifat langsung terhadap sumber daya laut. Penangkapan tanpa bersandar pada daya pulih biota perairan akan berdampak buruk bagi kelestarian hidupan laut. Pun, teknik tangkap dengan bahan beracun, bahan peledak dan pukat harimau menyebabkan efek sampingan bagi organisme lain. Tekanan-tekanan dari manusia itu, makin berdaya rusak tinggi jika dikaitkan dengan gejala pemanasan global. Bumi yang makin menghangat menyebabkan iklim tak lagi normal. Fenomena El Nino, misalnya, telah menyebabkan pemutihan karang dalam skala luas. Dengan demikian, diperlukan upaya konservasi untuk melindungi, melestarikan, dan memastikan pemanfaatan sumber daya ikan sejalan dengan kaidahkaidah pembangunan yang berkelanjutan.
17
Menjadi bagian dari segitiga terumbu karang dunia, periran di Raja Ampat menyajikan panoram yang indah nan menawan (halaman sebelah). Upaya melestarikan kawasan perairan membutuhkan dukungan sejumlah pihak, suatu kerja bersama yang berupaya menggalang semangat pengelolaan sumber daya ikan.
Kronik Pelestarian Perairan Nusantara Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam berinteraksi dengan samudera yang menjadi bagian penting dari kesatuan wilayahnya. Salah satu bentuk interaksi itu adalah pemanfaatan perairan, sekaligus pelestariannya, yang bisa dilihat jejaknya ke masa lampau. Namun sebelum menapaki babak demi babak, perlu dipahami bahwa kesadaran tentang konservasi perairan di Indonesia tumbuh selaras dengan gerak konservasi internasional. Zaman Kolonial Sebelum masuknya Belanda ke tanah air, masyarakat pesisir dan pulau kecil Nusantara telah akrab dengan alam perairan selama berabad silam. Bukti otentik kehidupan samudera bisa ditarik sampai abad VIII yang terlihat pada relief Jatakawadhana dan Gandawyuha bergambar perahu layar bercadik di Candi Borobudur. Salah satu bentuk pemanfaatan kawasan pesisir sebagai tambak garam ditengarai telah dilakukan sejak abad ke-13, di pantai utara Jawa bagian timur. Hal ini tercantum dalam kitab Kutaramanawa, undang-undang Majapahit, yang mengatur tentang pengelolaan air. Hingga kini, jejak kearifan lokal dalam mengelola sumber daya ikan dan lingkungannya masih bisa dilihat. Di Sulawesi Utara, misalnya, masyarakat Sangihe-Talaud memiliki tradisi eha laut sebagai masa jeda panen ikan selama tiga hingga enam bulan. Usai eha, dilakukan upacara mane’e, pola pemanenan ikan tradisional yang telah disepakati bersama oleh tetua adat. Di Sumatera, juga dapat dijumpai tradisi lubuk larangan, sebuah larangan menangkap ikan pada kawasan perairan dan jangka waktu yang ditentukan. Selain itu, jejak perlindungan perairan dari peninggalan salah satu kerajaan Nusantara,
18
19
Kutai Kertanegara, di Provinsi Kalimatan Timur sekarang, bisa menjadi bukti bentuk pemanfaatan perairan yang lestari. Selain mewariskan Cagar Alam Kerajaan Kutai— kini dikenal sebagai Taman Nasional Kutai, kerajaan ini juga memiliki Suaka Perikanan Danau Loa Kang dan Batu Bumbun. Zaman Perjuangan Kemerdekaan Era ini sangat dipengaruhi oleh geliat ilmu pengetahuan Barat yang menekankan eksplorasi sejarah alam dengan mengumpulkan temuan-temuan baru—hewan dan tumbuhan. Dengan demikian untuk melihat perkembangan konservasi perairan tak bisa dilepaskan dari gairah itu. Adalah G.E. Rumphius yang meretas jalan di bidang biologi, baik terestrial maupun perairan, lewat dua karyanya: d’Amboinsche Rareteitkamer, 1705, dan Herbarium Amboinense, 1741-1750. Dua risalah Rumphius, yang bisa dipandang sebagai bapak biologi laut Indonesia, itu memuat pertelaan flora-fauna Ambon dan sekitarnya. Sekitar pertengahan abad ke-19, tercatat perkembangan penting dalam ilmu soal ikan di Nusantara dengan Pieter Bleeker, seorang ahli ikan (ichthyologist), sebagai tokoh utamanya. Di samping ratusan risalah ilmiah tentang ikan, dia juga menghasilkan karya besar Atlas Ichthyologique. Selain itu, selama babak ini tercatat pula sejumlah penjelajahan ilmiah dari berbagai negara mengarungi ataupun melintasi perairan Indonesia. Seperti Ekspedisi Beagle antara 1832-1836 dari negara penguasa laut dunia, Inggris. Dari ekspedisi ini, pakar biologi Charles Darwin menciptakan teori evolusi bersama Alfred Russel Wallace. Tokoh terakhir ini dengan jeli menangkap perubahan fauna dari wilayah barat ke timur kepulauan Nusantara. Warisannya hingga kini dikenang sebagai Garis Wallace, sebuah batas maya fauna antara Bali dengan Lombok dan memisahkan Kalimantan dengan Sulawesi. Belanda, dengan Ekspedisi Sibolga pada 1899-1900, menelisik perairan timur Indonesia dan menemukan spesies-spesies baru. Salah satu hasil penyusuran Sibolga berupa peta dasar laut pertama bagi Indonesia. Tabel 1. Beberapa armada riset yang berlabuh di perairan Nusantara: Tahun
Ekspedisi
1817-1820 Physicienne 1822-1825 Coquille 1826-1829 Astrolabe 1832-1836 Beagle 1836-1837 Bonite 1872-1876 Challenger 1898-1899 Valdivia 1899-1900 Siboga 1906-1907 Planet 1929-1930 Snellius
Keterangan Prancis Prancis Prancis Inggris, dari hasil ekspedisi ini, Charles Darwin menciptakan teori evolusi. Prancis Inggris, mengitari Bumi yang meletakkan dasar-dasar bagi ilmu kelautan dunia. Jerman Belanda, menyusuri perairan timur Nusantara dan menemukan berbagai spesies baru biota bahari. Jerman Belanda, mengarungi perairan timur dengan fokus riset geologi laut.
Langkah pertama pelestarian alam sebenarnya bisa dirunut sampai 1714 ketika C. Chastelein menghibahkan 6 ha tanah di Banten untuk digunakan sebagai natuur
20
Kemitraan di wilayah regional untuk menyelamatkan kawasan periairan yang tak mengenal batas administrasi telah memberikan kepercayaan diri pada Indonesia untuk berbicara lebih banyak mengenai konservasi perairan. Penyelamatan ini tentu akan mendukung keberlanjutan sumber daya ikan.
reservaat atau cagar alam. Baru seabad lebih kemudian, tepatnya 1889, Direktur Kebun Raya Bogor mengikuti jejak Chastelein dengan mengesahkan cagar alam pertama di Cibodas, Jawa Barat. Cagar ini untuk melindungi hutan pegunungan yang masih perawan di daerah itu. Watak pelestarian masa ini memang berbentuk pencadangan areal tertentu untuk memastikan hewan dan tumbuhan yang hidup di dalamnya aman. Tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels, Undang-undang Perlindungan Mamalia dan Burung Liar, yang berlaku di seluruh wilayah Hindia Belanda. Ordonansi itu dipicu oleh kekhawatiran hilangnya burung cendrawasih akibat perburuan untuk diekspor ke daratan Eropa. Sementara itu, momen bersejarah bagi dunia perikanan terjadi pada 1904 kala Direktur Kebun Raya Bogor Dr. Koningsberger meresmikan Visscherij Station, Stasiun Perikanan, di Jakarta. Pada masa jayanya, stasiun ini dilengkapi kapal penelitian Gier untuk melakukan berbagai penelitian perikanan. Gagasan melestarikan alam makin menguat dengan berdirinya Nederlandsch Indische Vereeniging Tot Natuurbescherming, atau Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda pada 1912. Setahun kemudian, ketua pertama perkumpulan ini, Dr. S.H. Koorders bersama koleganya, mengajukan sejumlah 12 kawasan perlindungan: Pulau Krakatau, Gunung Papandayan, Ujung Kulon, Gunung Bromo, Nusa Barung, Alas Purwo, beberapa situ di daerah Banten, Kawah Ijen beserta dataran tingginya. Sejak organisasi ini berdiri, usaha pencagaran terus berlanjut. Tak lama kemudian, 1916, pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih urusan pelestarian alam dari perkumpulan tersebut. Dengan Staatsblad tahun 1916, No. 278 pemerintahan waktu itu berwenang menetapkan kawasan cagar. Pada tahun itu juga,
21
Menjadi salah satu tempat beraktivitas - ekonomi maupun sosial, pesisir memerlukan perhatian secara seksama. Kegiatan yang cenderung merusak dan tidak berkelanjutan dapat mengancam kelestarian kawasan yang mendukung ekosistem sekitar di masa depan. Inilah yang memerlukan perhatian.
Hindia Belanda mengatur perikanan mutiara dan bunga karang melalui Parelvisscherij en Sponsenvisscherijordonnantie (Staatsblad tahun 1916, No.157). Lantas, disusul Visscheri Jordonnantie (Staatsblad tahun 1920, No. 396) untuk melindungi ikan yang mencakup telur, benih ikan dan semua kerang-kerangan. Pasal 2 peraturan itu, misalnya, melarang penangkapan ikan dengan bahan beracun, bius ataupun bahan peledak. Pada 1919, Visscherij Station dikembangkan menjadi Laboratorium voor het Onderzoek der Zee, atau Laboratorium Penelitian Laut, dengan fasilitas akuarium laut yang terkenal pada zamannya. Masa ini bisa dijumpai beberapa peraturan yang melindungi satwa, seperti Dierenbeschermingsverordening (Staatsblad tahun 1931, No. 134) yang berlaku secara nasional. Pada saat hampir bersamaan, keluar Jachtordonantie 1931 (Staatsblad tahun 1931, No.133) yang mengatur tentang perburuan dan Jachtordonantie Java en Madoera 1940 (Staatsblad tahun 1940, No. 733) yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Selanjutnya, perlindungan alam diatur dengan Natuurbeschermingordonantie 1941 (Staatsblad tahun 1941, No. 167) menggantikan Natuur Monumenten en Wildressrvaten Ordonantie 1932 (Staatsblad tahun 1932, No. 17) yang menata soal cagar alam dan suaka margasatwa. Dalam pada itu, antara tahun 1942 hingga 1945-an, pendudukan Jepang di Indonesia hampir tidak ada usaha pelestarian, kecuali masih adanya kelonggaran bagi beberapa penelitian laut yang dilakukan oleh sarjana Belanda. Zaman Kemerdekaan - Masa Orde Lama Hingga kurang lebih dua dasawarsa pertama setelah merdeka, Indonesia masih mewarisi langkah-langkah konservasi dari Hindia Belanda. Lima tahun usai meraih
22
23
kemerdekaan, 1950, Laboratorium voor het Onderzoek der Zee diubah menjadi Lembaga Penyelidikan Laut (LPL), yang pada 1952 memiliki kapal riset Samudera. Meski belum ada sarjana Indonesia, Samudera meneliti perairan Indonesia secara teratur. Memasuki dasawarsa 1960-an, jumlah kapal riset maritim terus bertambah. Jalanidhi, 1963, dan Burudjulasad, 1966, adalah dua armada riset yang kian meneguhkan usaha penelitian laut. Tak kurang ada tiga ekspedisi ilmiah selama 1960-1970: Operasi Baruna I, 1964; Operasi Baruna II, 1966; dan Operasi Cendrawasih, 1967. Lompatan besar era ini ditandai dengan adanya konsep Wawasan Nusantara melalui Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, yang kemudian diperkuat dengan Undangundang (UU) No. 4 tahun 1960. Wawasan Nusantara menjamin bahwa mintakat laut dan daratan merupakan satu-kesatuan wujud yang tak terpisahkan: Negara Kepulauan Indonesia. Deklarasi itu juga memastikan seluruh sumber daya perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang masuk wilayah Indonesia dapat dikelola secara lestari. Secara bersamaan, pada dekade 1960-an di Bogor, kota pusat penelitian dan perlindungan alam selama masa Hindia Belanda, dibentuk Bagian Pengawetan Alam yang bernaung di bawah Kebun Raya Bogor; sementara itu, lembaga Jawatan Kehutanan memiliki Bagian Perlindungan Alam. Kedua lembaga itu kemudian digabung menjadi Bagian Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) yang dikelola oleh Jawatan Kehutanan. Dengan begitu, kewenangan Kebun Raya Bogor dalam bidang perlindungan alam juga berakhir.
Salah satu kawasan konservasi perairan di wilayah Kalimantan, Berau merupakan salah satu kisah sukses dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Kisah ini telah tercatat dalam sejarah konservasi perairan Indonesia dan menjadi acuan bagi wilayah lain yang akan mengadaptasi pola yang sama.
- Masa Orde Baru Dengan terus meningkatnya perhatian atas kelestarian alam—waktu itu lebih tertuju pada kelestarian hutan, konservasi di Indonesia terus mencari bentuk. Untuk mengurus perlindungan alam lebih serius, pada tahun 1971 dibentuk Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (Dit. PPA), menggantikan Bagian PPA, di bawah Direktorat Jenderal Kehutanan (Ditjen Kehutanan), Departemen Pertanian. Pada level internasional, tahun 1973 Indonesia ikut meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna), yang kemudian sah menjadi hukum nasional melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978. Sejak meratifikasi konvensi itu, Indonesia harus memisahkan otoritas keilmuan (scientific authority), yang dimandatkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan otoritas pengelolaan (management authority) dipegang oleh Departemen Kehutanan, dan berdasarkan PP No.60 tahun 2007, Departemen Perikanan dan Kelautan medapat mandat dalam otoritas pengelolaan konservasi sumber daya ikan. Artinya, langkah pengaturan perdagangan flora fauna langka, dari maupun ke negara kita dildasarkan menurut prosedur CITES. Rentang 1974-1983, dengan dukungan Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO), pemerintah melaksanakan Program Pengembangan Taman Nasional. Program ini untuk membangun sistem kawasan konservasi daratan dan perairan di seluruh Indonesia sekaligus menentukan skala prioritasnya. Momentum berharga berlangsung di Denpasar, Bali, waktu Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Taman Nasional Internasional III tahun 1982. Saat peristiwa ini, pemerintah meresmikan 10 taman nasional baru di Indonesia; Sejalan dengan makin meningkatnya kesadaran akan konservasi, setahun setelah konferensi di Bali, 1983, Departemen Kehutanan dibentuk dari hasil pemekaran
Departemen Pertanian. Dengan perubahan institusi itu, bidang konservasi sumber daya alam dipegang oleh Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang kini bernama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Pada periode yang sama, untuk mengurus masalah lingkungan secara khusus dibentuk juga Kementerian Negara Lingkungan Hidup—awalnya, Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH). Departemen Kehutanan, tahun 1984, saat itu melalui PHPA, menyiapkan sebuah rencana Sistem Kawasan Pelestarian Bahari Nasional yang berisi kerangka-kerja bagi berbagai aktivitas perlindungan perairan, dasar-dasar pemilihan dan penetapannya. Meskipun begitu, sejatinya, usulan pertama tentang kawasan pelestarian laut telah diperkenalkan semenjak tahun 1975; misalnya, untuk kawasan Kepulauan Seribu, yang baru berstatus sebagai cagar alam tahun 1982—sekarang taman nasional laut. Nilai penting sumber daya perairan dalam pembangunan nasional mulai dimasukkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988. Dalam dokumen ini, secara singkat dinyatakan bahwa kawasan pesisir, laut, daerah aliran sungai dan udara harus dikelola dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumber daya alamnya. Pengelolaan areal laut, secara khusus, harus ditingkatkan agar berdaya guna dan berkelanjutan. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem mendapat dukungan secara hukum dengan disahkannya UU No. 5 tahun 1990, yang mengatur seluruh aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari sumber daya hayati dan ekosistem. Menurut peraturan ini, konservasi dilakukan dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan,
24
25
sebaran kawasan konservasi perairan laut daerah di indonesia Berau, Kalimantan Timur Luas: 1.321.207 Ha Tahun: 2005 Indramayu, Jawa Barat Luas: 720 Ha Tahun: 2004
Alor, Nusa Tenggara Timur Luas: 21.850 Ha Tahun: 2002
Muna, Sulawesi Tenggara Luas: 27.936 Ha Tahun: 2004
Raja Ampat, Papua Barat Luas: 900.000 Ha Tahun: 2007
Pesisir Selatan, Sumatera Barat Luas: 733 Ha Tahun: 2006
Daftar Kawasan Konservasi Perairan Laut Daerah 1. Kawasan Wisata Laut P. Penyu, Pesisir Selatan, SUMBAR 2. Wilayah Pengelolaan Terumbu Karang Senayang Lingga, Kep Riau, RIAU 3. Kawasan Konservasi dan Wisata Laut P. Biawak dan sekitarnya, Indramayu, JABAR 4. Kawasan Wisata Laut Gili Sulat dan Gili Lawang, Lombok Timu, NTB 5. Konservasi Taman Wisata Bahari P. Gili Banta, Bima, NTB 6. Taman Laut Selat Pantar dan sekitarnya, Alor, Alor, NTT 7. Kawasan Konservasi dan Wisata Alam Laut Bengkayang (Pulau Randayan dan sekitarnya), Bengkayang, KALBAR 8. Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Berau, KALTIM 9. Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Laut Barat-Selatan dan 26
P. Sembilan, Kotabaru, KALSEL 10. Kawasan Wisata Laut Selat Tiworo, Muna, SULTRA 11. Kawasan Konservasi Laut Pulau Liwutongkidi (Buton), Buton, SULTRA 12. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Perairan dan Pesisir Distrik Abun, Sorong, PAPUA 13. Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro - Roban kabupaten Batang, Batang, JAWA TENGAH 14. Perairan Pulau Pinang, Siumat dan Simanaha (Pisisir) sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Simeulue, NAD 15. Pulau Kasiak sebagai Daerah Konservasi Penyu dan Kawasan Wisata Bahari, Pariaman, SUMATERA BARAT 16. KKLD Desa Ole’e, Bone Bolango, GORONTALO
17. KKLD:ayau-asia,teluk mayalibit,selat dampier,wayag-sayang-piay, misool selatan; 1 SML, Raja ampat, PAPUA 18. Kawasan Linau,Merpas, dan Sekunyit sebagai KKLD Kab.Kaur, Kaur, Bengkulu 19. kawasan konservasi perairan payau di Jorong Maligi, Pasaman barat, SUMBAR 20. Pesisir Tanjung cantik dan sekitarnya sebagai kawasan pelestarian plasma nuftah flora dan fauna, Nunukan, KALTIM 21 Wilayah Perairan laut Pesisir timur Kec.Gunung Kijang dan Kec. Bintan Timur, Perairan Kep. Tambelan sebagai KKLD Kabupaten Bintan, Bintan, KEP. RIAU 22 Marine Management Area, Batam, KEP. RIAU 23. KKLD kab. Kep. Mentawai (lokasi Desa Saibi Samukop,Saliguma dan desa Katurai, Kep. Mentawai, SUMBAR
24 Wilayah laut Bunguran Utara,wilayah laut pulau Tiga-Sedanau dan wilayah laut Pesisir Timur Bunguran sebagai Kawasan Konservasi Laut Kab. Natuna, Kab. Natuna, KEP. RIAU 25. KKLD Kab. Lampung Barat (Pantai muara Tembulih, Sukanegara, Gedung Cahya Kuningan, Pulau Betuah ), Lampung Barat, LAMPUNG 26. KKLD Kab. Sergai, sebagian P. Berhala, P. Sokong Nenek dan P.Sokong Siembah, Serdang Berdagai, SUMUT 27. Kawasan KLD Kab. Nias, Nias, SUMUT 28. KKLD Kab. Tapteng, Tapanuli Tengah, SUMUT 29. KKLD Kab. Banggai Kepulauan (Pulau Tolobundu, P. Bandang Besar, P. Makaliu, P. Lesampuang, P. Togong Sagu, P. Panteh, P. Maringkih, P. Pesopo, P.Sonit, P. Banggai), Banggai Kepulauan, SULTENG 30 Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Ciamis, Ciamis, JAWA BARAT 31 KKLD Kabupaten Kaimana, Kaimana, Papua Barat 27
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Tahun 1992, Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) dilaksanakan di Rio de Jeniro, Brasil. Salah satu hasil Konferensi yang sering dikenal sebagai Earth Summit ini adalah Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Berselang dua tahun, pemerintah mengesahkan konvensi ini melalui UU No. 5 tahun 1994. Konvensi itu dan UU No. 5 tahun 1990 menggeser paradigma pelestarian yang hanya bertumpu pada pencadangan area—suatu model pelestarian warisan Hindia Belanda—menjadi konservasi ekosistem, spesies dan genetik. Walaupun arah konservasi masih terfokus pada wilayah daratan, pada masa ini sejumlah kawasan konservasi yang mencakup perairan telah didirikan. Cagar Alam Taman Laut Banda, misalnya, telah disahkan oleh menteri pertanian sejak 1977 lewat keputusan No. 221/Kpts/Um/4/1977. Setelah itu, perlahan tapi pasti, sejumlah kawasan konservasi yang memasukkan gatra perairan terus disahkan. Sampai 1997, tak kurang seluas 2.600.000 ha perairan masuk dalam 24 kawasan konservasi, enam di antaranya berstatus taman nasional laut: Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Teluk Cendrawasih, Bunaken, Wakatobi, dan Taka Bone Rate. Dengan demikian, terlihat bahwa dalam satu dekade terakhir pemerintahan Orde Baru, antara 1988 sampai 1998, sebenarnya telah berkembang wacana tentang pentingnya pemanfaatan dan pelestarian sumber daya laut. Namun, hingga tahun 1998 bidang perikanan dan kelautan masih berada di Departemen Pertanian, sedangkan konservasi alam tetap di Departemen Kehutanan. - Masa Reformasi Wilayah perairan mulai digarap serius saat Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) dibentuk oleh pemerintahan pertama masa reformasi, yang sekarang menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Departemen ini memangku tugas di bidang kelautan, perikanan dan konservasi sumber daya ikan (SDI). Sesuai dengan Konvensi Keanekaragaman Hayati, DKP menekankan konservasi SDI pada tingkat ekosistem perairan, spesies dan genetik hidupan air. Pada tahap awal, DKP mengembangkan konsep konsep dan memfasilitasi upaya konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya dengan memasukkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kawasan konservasi hingga pengelolaannya oleh pemerintah daerah, kini dikenal sebagai kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Satu Dekade Reformasi Kian meluasnya kepedulian terhadap konservasi kawasan perairan memberi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk berkiprah banyak dalam pengelolaan sumber daya perairan. Pada skala internasional makin disadari peran ekologis perairan dalam menahan laju pemanasan global; sementara di dalam negeri, searah dinamika reformasi, terjadi banyak pergeseran dalam pembangunan nasional. Untuk tingkat nasional, di samping perangkat peraturan yang sudah ada, sejumlah peraturan diterbitkan untuk menjawab semangat konservasi SDI yang sedang bergairah. Dalam bidang perikanan, pemerintah membuat UU No. 31 tahun 2004 yang memandatkan DKP, salah satunya, untuk melakukan usaha konservasi ekosistem,
28
Spesies yang unik, mirip dengan pohon cemara, menghiasi ekosistem terumbu karang yang indah hingga menerbitkan keingintahuan para peneliti dan penyalam. Pemerintah pusat dan daerah, yang didukung oleh masyarakat, berupaya menyelamatkan salah satu kekayaan hayati yang menyokong peradaban sekitar.
jenis dan genetik ikan. Di dalam undang-undang ini, terdapat empat jenis kawasan konservasi: taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Dengan diterbitkan pula UU No. 27 tahun 2007 cakupan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau kecil meliputi ekosistem daratan pesisir (hingga batas administrasi wilayah kecamatan), dan ekosistem perairan laut sejauh 12 mil. Selanjutnya, diturunkan dalam sebuah peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menambah deretan penamaan kawasan konservasi. Saat ini paling tidak terdapat enam nomenklatur kawasan konservasi selain sempadan pantai yang notabenenya telah diatur dengan undang-undang tersendiri. Nama-nama kawasan itu adalah suaka pesisir, taman pesisir, suaka pulau kecil, taman pulau kecil, daerah perlindungan adat maritim, dan daerah perlindungan situs budaya maritim. Sejauh ini telah dideklarasikan kawasan konservasi perairan (KKP) oleh bupati/ wakil seluas lebih kurang 3,2 juta ha sehingga luas keseluruhan KKP Indonesia dengan yang diinisiasi oleh Dephut (5,5 juta ha) mencapai sekitar 8,7 juta ha. Selain itu tengah dilakukan proses kawasan perairan seluas 5.705.839,00 ha untuk KKP nasional di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, dan Laut Sulu, Nusa Tenggara Timur. Serempak melalui program COREMAP II (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), Marine and Coastal Resources Management Program (MCRMP) dan Coastal Community Development and Resources Management Project (COFISH), DKP juga memfasilitasi pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) dan daerah perlindungan mangrove (DPM) seluas 2.085,90 ha serta suaka perikanan (453,23 ha). Secara kelembagaan, untuk memudahkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut, DKP membentuk Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut di
29
Terletak di antara dua samudra dan pertemuan dua arus, perairan Indonesia secara rutin menjadi perlintasan mamalia laut dunia: paus (atas). Warna-warni ikan di ekosistem terumbu karang menjadi bagian penting untuk menunjang keberlanjutan ekosistem yang ada didekatnya - rantai makanan alami di muka Bumi.
bawah Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Lembaga ini untuk mewujudkan peningkatan dan penguatan pengelolaan di dalam dan sekitar KKP baik di tingkat nasional maupun lokal serta pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Untuk mewadahi peran pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya ikan, terutama setelah terbitnya UU No. 32 tahun 2004, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007. Peraturan terakhir ini memungkinkan pemerintah daerah, untuk mengembangkan KKP setingkat kabupaten ataupun provinsi, yang disebut dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Partisipasi pemerintah daerah dalam pelestarian bahari nampak dari banyaknya KKLD yang dideklarasikan pada masa ini. Sedikitnya, sampai pertengahan tahun 2008, terdapat 31 KKLD di Tanah Air yang mencakup luasan 3,9 juta ha; dan tak kurang 19 KKLD seluas 13,5 juta ha sedang menunggu untuk diresmikan. Seiring dengan usaha itu, dilakukan pula harmonisasi dengan berbagai sektor, dan pemangku kepentingan lainnya, antara lain dengan Departemen Kehutanan yang masih mengemban mandat yang mencakup kawasan konservasi perairan dan biota laut sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990. Sejumlah lokasi TWAL, CAL dan SML direncanakan pengelolaannya akan dialihkan ke DKP. Untuk menunjukkan kiprah Indonesia di tingkat internasional dalam konservasi perairan, pemerintah bertekad untuk membentuk KKP laut seluas 10 juta ha sampai 2010. Target ini kemudian ditegaskan kembali saat forum Konferensi Antarpihak Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/COP) di Brasil, Maret 2006, yang akan memperluas KKL hingga 20 juta ha pada akhir 2020.
30
31
Upaya konservasi bukan hanya ditunjukkan pada tingkat negara, tetapi masyarakat pesisir yang peduli akan lingkungan memberikan apresiasi yang sama - seperti membangun tempat penetasan telur penyu (atas). Di ekosistem terumbu karang terdapat ghostpipe fish dan gorgonian yang cantik (halaman sebelah).
Pemerintah, melalui DKP, terus mendorong inisiatif-inisiatif konservasi perairan pada tingkat regional. Program COREMAP, misalnya, merupakan bentuk kolaborasi para pemangku kepentingan dalam pengelolaan terumbu karang secara lestari. Pemerintah menyadari pentingnya konservasi perairan yang berwatak lintas batas yang juga meliputi aspek ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Untuk mewujudkan kesadaran itu, DKP memakai pendekatan pengelolaan KKL berbasis ekoregion (ecoregion). Bersama Malaysia dan Filipina, Indonesia telah bersepaham untuk mengembangkan jaringan pengelolaan kawasan ekoregion perairan Sulu–Sulawesi (Sulu–Sulawesi Marine Ecoregion/SSME). Begitu juga, bergandengan dengan Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, dikembangkan KKL untuk ekoregion di kawasan perairan Bismarck dan sekitarnya atau Bismarck Solomon Seas Ecoregion (BSSE). Dengan skala yang lebih luas, Indonesia juga menumbuhkembangkan jaringan Coral Triangle Initiative (CTI) yang melibatkan enam negara tersebut di atas ditambah Timor Leste. Semua langkah-langkah strategis skala regional tersebut dimaksudkan agar perairan Indonesia dapat berkontribusi positif atas semua masalah lingkungan dunia, seperti pemanasan global dan perubahan iklim. w
32
33
34
35
Memaknai Aturan
Konservasi
P
roses penyelarasan (harmonisasi) pengelolaan kawasan perairan dan konservasi jenis ikan dimungkinkan karena berbagai argumentasi dan latar belakang. Dasardasar berupa aturan-aturan yang pernah dibuat di masa silam menjadi pendukung utama mengapa pada akhirnya penyelarasan menjadi penting untuk dilakukan. Aturan mengenai perlindungan kawasan perairan Nusantara sendiri sebenarnya lahir puluhan tahun lalu dari kesadaran bangsa ini akan kekayaan alamnya. Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan terluas di dunia (tidak kurang dari 5,8 juta km2), Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk bisa menjaga sumber daya yang terkandung di dalamnya. Sejak Konvensi PBB untuk Hukum Kelautan (UNCLOS) 1982 ditetapkan dan kemudian diikuti lahirnya Undang-Undang No. 5 tahun 1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut. Dari aspek geografi inilah para ahli sejarah ekonomi memulai kajian nusantara. Salah satu kesimpulannya adalah peran perikanan sebagai salah satu industri di pesisir nampak masih sangat kecil (10% dari PDB Pertanian). Berdasarkan data yang dilaporkan peneliti Belanda van der Eng sektor ini masih berada di bawah sektor lainnya dalam kurun waktu lebih dari satu abad terakhir. Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen Ekplorasi Laut dengan Keppres 136 tahun 1999, atau kini disebut Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Potensi sumber daya alam yang besar dan daya serap tenaga kerja yang diperkirakan lebih dari 10 juta orang menjadikan sektor ini penting. Tahun lalu, produksi perikanan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/ tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1%. Fakta tersebut tidaklah mengherankan.Terletak pada pusat segi tiga terumbu karang (coral triangle), negeri ini dikaruniai wilayah pesisir dan lautan dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang begitu strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang memengaruhi massa air dari dua samudra, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya. Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut meliputi keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem. Karena itu, agar proses pengelolaannya sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dibutuhkan upaya yang lebih serius dan terukur terhadap potensi-potensi biodiversitas.Tujuannya agar bisa dirasakan manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, maupun budaya oleh
36
Semburat semangat menjelang pergantian hari menyajikan panorama unik khas kawasan pesisir topis. Keunikan yang berbalut keindahan itu menjadi modal penting bagi pengembangan ekonomi di sektor pariwisata, yang memerlukan keterampilan pengemasan dan promosi poduk akhir.
seluruh bangsa Indonesia. Atas dasar itulah maka dirumuskan seperangkat undang-undang yang terus bertambah dan disempurnakan dari tahun ke tahun menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan akan regulasi. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dipandang sebagai . Undang-undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik cakupan ruang maupun sumber daya alamnya. Dalam bagian penjelasan, disebutkan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk mengatur pelindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari SDA hayati. Selain mengatur sistem dan kekayaan sumber daya alam, undang-undang tersebut juga merumuskan kebijakan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya perangkat hukum ini ditujukan bagi peningkatan mutu kehidupan manusia. Secara lebih detail undang-undang ini mendefinisikan berbagai terminologi agar tidak terjadi miskonsepsi dalam implementasinya. Misalnya saja, dalam Pasal 1 ayat & disebutkan bahwa satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/ atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Tak sampai di situ, pasal ini memiliki penjelasan: ikan dan hewan ternak tidak termasuk satwa liar, tetapi digolongkan dalam pengertian satwa. Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan
37
Memberikan pemahaman mengenai proses penyelerasan pengelolaan kawasan perairan dan konservasi jenis ikan, Depertemen Kelautan dan Perikanan telah mendorong terbentuknya aturan perudangan yang mendukung proses itu. Berbagai pihak pun menjadi mitra dalam pelaksanaan penyelarasan kelola perairan.
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan melalui pemanfaatn secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan dasar pijakan dari upaya konservasi adalah UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang ini memuat aturan konservasi di kawasan hutan. Pasal 1 angka 2 undang-undang ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya Pasal 7 menyatakan bahwa hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Walaupun ketentuan konservasi ini masih berorientasi daratan namun prinsip-prinsip pengaturan mengenai konservasi secara analogi dimungkinkan untuk diterapkan pada kawasan konservasi di perairan, khususnya yang memberikan perlindungan hukum terhadap ekosistem yang menjadi habitat satwa langka. Namun, perangkat perundang-undangan yang khusus mengatur tentang kawasan perairan bukannya tidak ada. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan mengatur penetapan status hukum kawasan perairan. Secara khusus, undang-undang ini memberikan wewenang kepada menteri untuk menetapkan status suatu bagian perairan tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan perairan tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan ekosistemnya. Pasal 7 ayat (1) UU No 31 tahun 2004 ini menyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan rehabilitas
38
dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya, suaka perikanan, dan jenis ikan yang dilindungi. Pada ayat (5) disebutkan bahwa Menteri menetapkan jenis-jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Yang dimaksud dengan jenis ikan seperti disebutkan dalam ayat (5) tersebut adalah pisces (ikan bersirip); krustasea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya); moluska (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya); coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya); echinodermata (teripang, bulu babi dan sebangsanya); amfibia (kodok dan sebangsanya); buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya; mamalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya); algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut, semua termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi. Pasal lain yang memperkuat soal konservasi perairan adalah pasa 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk mengelola sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (1) disebutkan “pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.” Namun, bukan hanya pemerintah yang berkewajiban melakukan konservasi. Dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga secara implisit menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan itu meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Yang juga termasuk dalam kewenangan yang dimaksud pasal ini adalah pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap aturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. Pemerintah daerah juga mesti ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan di bidang konservasi memungkinkan daerah untuk mencadangkan kawasan konservasi perairan dan mengelola sesuai dengan kewenangannya. Aturan yang lebih spesifik tentang konservasi mungkin termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. PP ini merupakan pelaksanaaan dari Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengertian Kawasan Suaka Alam menurut peraturan ini adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. Serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Lalu, di mana perbedaan antara kawasan suaka alam dengan kawasan pelestarian alam? Jika melihat dua definisi tersebut terlihat bahwa di kawasan pelestarian alam, daratan maupun perairan, dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan pemanfaatan secara lestari (berkelanjutan) dengan memerhatikan daya dukung ekosistemnnya. Selanjutnya, kawasan suaka alam dibagi menjadi cagar alam dan suaka margasatwa, sedangkan
39
Perangkat perundang-undangan yang khusus mengatur tentang kawasan konservasi perairan bukannya tidak ada. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 dan PP Nomor 60 tahun 2007, mengatur penetapan status hukum kawasan konservasi perairan
kawasan pelestarian alam dibedakan menjadi taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Nomenklatur (penamaan) kawasan sebagaimana telah dijelaskan di atas secara analogi dapat dipersamakan dengan pengertian kawasan-kawasan yang termuat di dalam Undang-undang 31 tahun 2004 tentang perikanan. Sepanjang menyangkut urusan kelautan dan perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam rangka mendukung kesiapan pengelolaan sumber daya ikan, menetapkan suaka perikanan - pasal 7 ayat (1) dan huruf [q]. Aturan lainnya yang dijadikan pijakan untuk pengelolaan konservasi kawasan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam Pasal 1 butir 8, dituliskan bahwa pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa merupakan tanggung jawab menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan. Khusus pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, di mana pasal 1 butir 9 PP ini berbunyi ”pelaksanaan pengawetan dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan tanggung jawab menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.” Aturan domestik terbaru yang mengatur konservasi kawasan perairan, lebih khusus konservasi sumber daya ikan adalah Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan pasal 13 UU No 31/2004 tentang Perikanan. PP ini juga memberikan kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan kawasan konservasi perairan. Di samping itu, PP ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1) yang meliputi jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi. Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan yang dilindungi jika memenuhi beberapa kriteria, di antaranya: apabila mereka terancam punah, langka, daerah penyebaranya terbatas dan tingkat kemampuan reproduksinya rendah. Hal utama dari PP ini yang menjadi dasar terkuat dari proses penyelarasan urusan konservasi perairan adalah ketentuan bahwa Departemen/Kementerian yang bertanggung jawab di bidang perikanan ditetapkan sebagai otoritas pengelola konservasi sumber daya ikan. w
40
41
42
43
Membangun Kerja Sama Internasional
M
engingat wilayah perairan (laut) merupakan sistem yang tidak terpisah secara fisik dengan negara-negara lain, kerja sama internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara hukum di antaranya adalah Convention on International Trade of Endangered Species (CITES), Ramsar, dan Convention on Biological Diversity (CBD). Indonesia telah meratifikasi konvensi CITES yang ditandatangani di Washington, D.C. pada 1973 dan telah berlaku secara efektif sejak 1975. Konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional melalui ratifikasi Keputusan Presiden nomor 43 tahun 1978. Ketentuan CITES kemudian menjadi tanggung jawab bersama dalam pelaksanaannya, namun harus didasari oleh peraturan perundang-undangan nasional yang memadai. Dalam Article VIII CITES disebutkan bahwa setiap negara anggota Konvensi wajib mempunyai legislasi nasional (peraturan perundangundangan) yang memadai untuk pelaksanaan CITES dengan efeftif, yang dapat memberikan mandat kepada setiap negara anggota untuk menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola (Management Authorities) yang berkompeten untuk menerbitkan izin atau sertifikat atas nama Negara Pihak, dan satu atau lebih Otoritas Keilmuan (Scientific Authorities) untuk memberikan pendapat atau nasihat kepada otoritas pengelola. Konvensi lain yang terkait dengan konservasi adalah Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD), yang mengatur tentang konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkelanjutan, serta pembagian yang adil terhadap pemanfaatan genetik. Beberapa keputusan yang sangat terkait di antaranya adalah tentang konservasi pesisir, pantai, dan laut. Sementara itu, Konvensi Ramsar memberikan pedoman tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap lahan basah, termasuk jenisjenis yang ada di dalamnya. Upaya membangun jejaring kerjasama dalam konservasi sumberdaya ikan secara regional dan internasional telah dikembangkan di kawasan laut sulu Sulawesi, Bismarck Solomon maupun pada wilayah segitiga karang (the coral triangle) Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) merupakan suatu kawasan ekoregion laut dari segitiga terumbu karang (coral triangle) yang terletak di laut Sulu dan laut Sulawesi yang secara yurisdiksi masuk ke dalam wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Philipina. Ketiga negara sepakat untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pengelolaan Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 13 Februari 2004. Penandatanganan MoU Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion telah memberikan jalan bagi terbentuknya komite nasional tiga negara atau Tri-National Committee, suatu mekanisme yang akan mengawasi pelaksanaan kegiatan dalam kerangka kerjasama konservasi di kawasan ekoregional laut Sulu-Sulawesi. Konservasi perairan di wilayah ekoregion Bismarck dan sekitarnya, dilakukan melalui kerjasama antara tiga negara, yaitu Indonesia, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon, Salah satu fokus dalam kerjasama ini adalah konservasi Penyu Belimbing (Dermochelys
44
Memberikan sambutan dalam pertemuan mengenai kemitraan dalam penyelamatan penyu, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi telah memaparkan komitmen Indonesia melindungi aset bangsa yang amat berharga.
corlacea), yang merupakan penyu tertua dan endemik serta terancam punah. Kerjasama ini menjamin Penyu Belimbing dengan sebaran geografis paling luas untuk jenis reptil, untuk bebas bertelur, menetas, mencari makan dan bermigrasi di Ekoregion Laut Bismarck Solomon. BSSE merupakan habitat Penyu Belimbing dengan luasnya sekitar 2 juta km2, terbentang dari Semenanjung Vogelkop (Doberai) di Papua Nugini, Indonesia, melintasi wilayah kenegaraan dan Kepulauan Bismarck di Papua Nugini, sampai Kepulauan Makira di Kepulauan Solomon. Nota kesepahaman pembentukan jejaring BSSE dalam bidang konservasi dan pengelolaan Penyu Belimbing di Pasifik Barat (The Tri-National Pastnership for Western Pacific Leatherback Turtles) ditandatangani dan diresmikan di Bali pada tanggal 28 Agustus 2006. Coral Triangle Initiative atau CTI merupakan jejaring yang melibatkan enam negara yaitu Indonesia, Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Pada awal bulan September 2007, CTI telah mendapatkan perhatian dari negara-negara yang hadir dalam APEC Summit di Sydney, Australia. Coral Triangle Initiative ini dimaksudkan untuk: (1) penentuan bentang laut (seascapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan di setiap negara; (2) pengembangan jejaring kawasan konservasi laut; (3) pengelolaan perikanan berbasis eksositem dan pariwisata alam; dan (4) pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, pembangunan kapasitas dan pelibatan sektor swasta. Pengembangan kerjasama dan langkah strategis skala regional maupun internasional tersebut terus ditindaklanjuti dengan peran aktif dan langkah nyata untuk mendukung pelaksanaan konseravsi perairan di Indonesia serta berkontribusi positif terhadap penyelesaian masalah lingkungan dunia.
45
Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumber Daya Ikan
P
ertemuan puncak dunia mengenai pembangunan berkelanjutan di Johannesburg pada 2002 mendeklarasikan bahwa samudra, laut, pulau dan wilayah pantai merupakan satu komponen terpadu dan esensial dari ekosistem Bumi yang sangat penting bagi ketersediaan pangan global yang aman untuk menjaga kemamuran ekonomi dan kesejahteraan ekonomi banyak negara, terutama di negara-negara berkembang. Karena itu, guna memastikan pembangunan konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan membutuhkan koordinasi dan kerja sama yang efektif, termasuk pada tingkat globa dan regional di antara badan-badan yang berkepentingan. Arah kebijakan pembangunan lingkungan hidup dan sumber daya alam tersebut menunjukkan prinsip-prinsip yang sangat mendasar, dan harmonisasi antara keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya Pem-bangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi sebagai prioritas dan mengabaikan fungsi ekologi, sosial, dan budaya akan menimbulkan masalah-masalah yang pelik dan konflik sosial yang berkepanjangan. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk membangun dan mengembangkan kesimbangan fungsi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya harus dapat terimplementasikan dalam berbagai perangkat kebijakan maupun program pemerintah. Ini sesuai dengan Kebijakan Departemen Kelautan dan Perikanan, seperti tertuang dalam visinya, yaitu pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab bagi kesejahteraan anak bangsa. Sebagai pelaksanaan visi dan misi DKP, maka Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau kecil menetapkan visi, yakni pengelolaan kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Visi ini dijabarkan dalam lima misi, antara lain memfasilitasi terwujudnya penataan ruang untuk kepentingan dan kepastian hukum bagi pembangunan di wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau ekcil, memperbaiki sistem pengelolaan pesisir dan lautan untuk mewujudkan wilayah pesisir dan lautan yang bersih, sehat, produktif dan aman. Direktorat konservasi dan taman nasional laut, sebagai bagian dari Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil yang mengemban misi mengembangkan konservasi sumber-sumber daya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan yang berkelanjutan pada tingkat ekosistem, jenis, dan genetik, menetapkan strategi pengelolaan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya dengan mengembangkan kebijakan penyusunan/pengembangan pedoman, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, pengembangan pilot project, bimbingan teknis fasilitasi serta mengembangkan kerja sama nasional dan internasional di bidang konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya.
46
Membahas kebijakan dan strategi konservasi sumberdaya ikan yang telah disusun pada kesempatan, para pengambil keputusan menentukan pula program aksi beserta langkah kerja pelaksanaannya. Hasil-hasil ini yang akan diimplementasikan di lapangan.
Beberapa kebijakan dan strategi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, yang mengacu pada Rencana Strategis (Renstra) Ditjen KP3K tahun 2005-2009, di antaranya adalah mengembangkan strategi utama konservasi keanerkaragaman hayati laut, kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang, jejaring kawasan konservasi laut, serta berbagai panduan maupun pedoman sebagai pelaksanaan dari kebijakan dan strategi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya pada Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut bertujuan untuk mewujudkan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik. Semuanya dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumber daya ikan untuk kesejahteraan masyarakat. Target yang hendak disasar oleh kebijakan ini di antaranya adalah mewujudkan pengembangan kawasan konservasi perairan seluas 3,5 juta ha (tahun 2009), terlaksananya pengembangan konservasi jenis dan genetik di tiga wilayah biogeografi. Selain itu, sasaran yang hendak dicapai adalah rehabilitasi ekosistem sumber daya ikan dan lingkungannya di delapan provinsi, 15 kabupaten, dan 21 lokasi. Dengan berbagai program dan kebijakan yang diusung Departemen Kelautan dan Perikanan, serta dukungan aturan perundang-undangan, maka proses harmonisasi urusan konservasi kawasan perairan telah memberikan jalan terang dan benang merah, yakni bahwa pemisahan urusan konservasi terkait erat dengan kompetensi dan cakupan kebijakan. Dengan adanya penyelarasan, maka upaya konservasi akan berjalan efektif dan efisien, tanpa tumpang tindih kewenangan, apalagi konflik kepentingan. Semua demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
47
48
49
50
51
Harmonisasi Pengelolaan Konservasi Kawasan Perairan dan Jenis Ikan
E
kosistem perairan, baik kawasan perairan air tawar, perairan payau, atau perairan laut beserta seluruh komponen ekologi di dalamnya merupakan sebuah sistem yang kompleks. Sebagai contoh, kawasan konservasi di wilayah perairan saja mencakup kawasan pesisir dan lautan, termasuk tumbuhan dan hewan yang hidup dan berkembang di dalamnya. Selain itu, kekayaan laut juga meliputi peninggalan sejarah dan sosial budaya di bawahnya. Di luar sistem fisiknya, kawasan ini juga memiliki nilai penting dilihat dari sisi ekonomi, khususnya dalam pembangunan industri perikanan. Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa konservasi kawasan perairan berfungsi untuk meningkatkan produksi telur di dalam kawasan konservasi perairan hingga sepuluh kali lipat. Dengan konservasi, jumlah kelimpahan ikan bisa mencapai dua hingga sembilan kali lipat, ukuran rata-rata ikan juga membesar 33-300 persen, sedangkan keanekaragaman spesies di dalam kawasan konservasi laut lebih tinggi 30-50 persen dibandingkan bila tidak dilakukan langkah-langkah konservasi. Bersandar pada nilai fisik dan nilai ekonomi tersebut, prinsip-prinsip yang mesti diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan mesti mencakup keterpaduan, partisipasi, serta mesti melibatkan banyak pemangku kepentingan, dengan berfokus pada manajemen sumber daya perairan secara berkelanjutan. Lalu, sejauh mana sebuah kawasan bisa ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan? Tentunya kawasan tersebut harus mempunyai nilai dan kepentingan konservasi, setidaknya area tersebut harus memiliki keterwakilan ekosistem, memiliki kemampuan daya pulih, dan memiliki jenis ikan langka (endemik, dan/atau terancam punah). Sebuah kawasan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi juga bisa diajukan sebagai kawasan konservasi. Hal lainnya yang patut menjadi bahan pertimbangan bagi sebuah kawasan untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi adalah wilayah tersebut merupakan wilayah ruaya bagi biota perairan, mengandung aspek sosial-ekonomi regional dan pragmatis serta potensi biofisik lainnya. Yang tidak boleh dilupakan, kondisi biota dan fisik lingkungan perairannya masih alami. Masing-masing elemen tersebut membutuhkan strategi pengelolaan yang khas dan sistemis. Dengan begitu, para pemangku kepentingan yang terlibat juga perlu duduk bersama untuk merumuskan tugas dan tanggung jawab semua pihak. Dalam titik inilah istilah penyelarasan mencuat. Penyelarasan atau harmonisasi urusan bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan menjadi penting dilakukan untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan (sustainable).
52
Di luar sistem fisiknya, kawasan konservasi perairan juga memiliki nilai penting dilihat dari sisi ekonomi, khususnya dalam pembangunan perikanan. Aktivitas ekonomi inilah yang menjadi potensi besar negeri bahari untuk memberikan kemakmuran pada rakyat. KM Biawak sebagai salah satu sarana pengamanan di KKLD Indramayu.
Sampai saat ini, kewenangan urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan dilaksanakan oleh lebih dari satu instansi, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berbeda. Dengan sistem pengelolaan seperti itu, akan timbul tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Tumpang tindih wewenang ini lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan benturan kepentingan dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengaturan. Sebabnya jelas: perumusan dan pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh lebih dari satu otoritas. Kawasan konservasi perairan memerlukan pendekatan manajemen yang lebih spesifik, antara lain karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di sisi lain, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan wewenang urusan-urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan berkaitan sangat erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat. Selain itu, menurut undang-undang hukum laut internasional, laut merupakan sumber daya milik umum (public property) sehingga pengelolaannya memerlukan fleksibilitas dalam penetapan hukum di tingkat nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, hal ini sering menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam proses penentuan arah kebijakan konservasi sumber daya perairan. Jalan tengah yang perlu dilakukan adalah perumusan pembagian urusan secara lebih jelas agar tercipta keselarasan kerja, baik pada tahap pembuatan kerangka kebijakan dan pengaturan (policy and regulatory framework) maupun pada tahap implementasinya.
53
54
55
Evaluasi dan pemantauan, dilakukan secara terpadu melalui kunjungan lapang untuk melihat dari dekat capaian program yang telah dilaksanakan. Kunjungan seperti ini sekaligus memberikan perhatian dan dorongan kepada masyarakat yang tengah giat melakukan konservasi kawasan perairan.
Upaya tersebut mulai dilakukan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan RI dan Menteri Kehutanan RI pada tanggal 26 Desember 2006 tentang Pembentukan Tim Penyelarasan Urusan Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Kehutanan di Bidang Konservasi dan Pesisir. Tim ini bertugas menginventarisasi urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan yang perlu diselaraskan, termasuk merekomendasikan pembagian urusan dan kompetensi masing-masing departemen dalam urusan konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan. Pertemuan-pertemuan maraton antara pihak-pihak yang berkepentingan juga dilakukan setelahnya. Kurun waktu tahun selanjutnya (2002-2004), dilakukan upaya menindaklanjuti penguatan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia, khususnya di 6 lokasi TNL, dengan kegiatan pemantapan dan penyerasian program pengelolaan bersama di bidang kelautan dan perikanan. Sebagai implikasi kelembagaan dari pengaturan nasional yang berkembang dari Undang-undang No 5 tahun 1990 dan UU No 31 tahun 2004, juga sejalan dengan ketentuan Article VIII dan IX CITES, dua lembaga nasional bisa melaksanakan Konvensi CITES di Indonesia: Dephut bertindak sebagai otoritas pengelola jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar daratan, sedangkan DKP bertindak sebagai otoritas pengelola biota perairan dan/atau sumber daya ikan. Hal ini sangat dimungkinkan sebagaimana telah dilakukan di negara lain. Dengan pembagian tugas dan wewenang ini diharapkan tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan dalam konservasi sumber daya alam. Pemisahan ini juga merupakan konsekuensi logis dari dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
56
Upaya konservasi perairan, termasuk kawasan perairan darat, tidak saja dilakukan oleh pemerintah pusat, pengelola daerah mampu menunjukkan partisipasi aktif terhadap kearifan lokal yang mereka miliki. Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan telah memberikan contoh terhadap kearifan seperti lubuk larangan.
Wahid pada 1999. DELP kemudian berganti nama menjadi DKP yang tugas pokoknya mencakup bidang kelautan dan perikanan, termasuk pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan. Konservasi Kawasan Pengaturan konservasi kawasan mengacu pada tiga undang-undang, yaitu Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi SUmber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam kaitan dengan pendekatan tersebut, Departemen Kehutanan melalui Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) menyelenggarakan konservasi melalui penetapan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), baik di daratan maupun di perairan. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada status hukum yang disesuaikan dengan peruntukannya, yaitu: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, dan taman buru. Pengelolaan KSA dan KPA tersebut memasukkan wilayah perairan karena UU tidak membatasi ekosistem hanya pada bagian daratan saja. Selain itu, penetapan ekosistem perairan di dalam jaringan KPA dan KSA merupakan kebutuhan logis yang didasarkan pada kaidah ilmiah bahwa ekosistem perairan tersebut perlu diwakili dalam jaringan kawasan konservasi. UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 28 telah mengamanatkan penetapan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
57
Beraktivitas di wilayah perairan dangkal, para nelayan memerlukan pengetahuan lebih jauh mengenai cara tangkap yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (halaman sebelah). Peran pemerintah pusat dan daerah mengembangkan sektor pendidikan bahari sangat dinantikan oleh sejumlah warga (atas).
Saat ini pemerintah RI telah mencanangkan 10 juta ha kawasan konservasi perairan laut pada 2010 dan realisasi pencapaiannya diharapkan dapat dipercepat dengan UU tersebut. Hingga kini telah ditunjuk sekitar 8,7 juta ha kawasan konservasi perairan yang terdiri dari KSA dan KPA, dan KKP yang diinisiasi daerah dengan fasilitas DKP dan pemda. Pengembangan kawasan konservasi perairan ini secara khusus ditujukan untuk mendukung pengelolaan sumber daya ikan pada tataran konservasi ekosistem/ kawasan, konservasi jenis dan konservasi genetik ikan. Sejalan dengan upaya konservasi perairan yang bertumpu pada pilar tersebut, sebagai turunan UU 31 tahun 2004 telah terbit Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (PP 60 tahun 2007). Lalu, bagaimana program dan tindak lanjut upaya konservasi ke depan? Dalam jangka pendek, pengelolaan kawasan konservasi yang telah melembaga seperti Balai Taman Nasional yang dikelola Dephut dilaksanakan oleh Dephut. Untuk aspek perairan dan kelautan bisa lakukan kolaborasi antara Dephut dan DKP. Untuk kegiatan-kegiatan yang menjadi kepentingan bersama, Dephut dan DKP wajib berkoordinasi. Selanjutnya, DKP mengelola konservasi kawasan perairan untuk kawasan konservasi baru berdasarkan UU No 31 tahun 2004 dan PP No 60 tahun 2007 serta UU No 27 tahun 2007 yang difasilitasi DKP dan pemda, termasuk ketetapan untuk meningkatkan efisiensi, maka perlu ada penataan kelembagaan. Ke depannya, seluruh pengelolaan kawasan konservasi perairan mesti dilakukan oleh satu otoritas demi tercapainya efisiensi dan efektivitas.
58
59
Melestarikan kawasan perairan sekaligus menyelamatkan kehidupan di dalamnya. Satwa unik yang ditemukan dalam ekosistem terumbu karang dapat menjadi modal penting bagi pembangunan wisata bahari masa mendatang. Akan tetapi, kegiatan penggerak ekonomi itu harus memerhatikan kelestarian ekosistem.
Konservasi Jenis Dengan diberlakukannya UU 31/2004 yang mengamanatkan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan, maka penyelenggaraan konservasi sumber daya ikan (KSDI) di Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan sumber daya ikan agar berkelanjutan. Apabila UU ini dikaitkan dengan UU sebelumnya yakni UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai satwa yang dilindungi diatur dengan Peraturan Pemerintah, juga dengan terbitnya PP No 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang salah satunya menguraikan jenis satwa yang dilindungi, termasuk habitat perairan, maka ada titik persinggungan. Objek pengaturan yang bersinggungan khususnya menyangkut definisi ikan yang termasuk kategori mamalia perairan, reptilia perairan, dan pisces. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan jenis ikan, termasuk jenis ikan yang dilindungi, perlu juga mengacu pada ketentuan UU 31 tahun 2004 agar tidak timbul dualisme pengaturan. Sedangkan untuk penetapan status tumbuhan dan satwa yang dilindungi tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam pelaksanaannya dapat dipertimbangkan juga prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Langkah ke depan untuk konservasi jenis adalah menelaah kembali ketentuan hukum yang ada agar bisa diterima oleh CITES. DKP juga perlu membuat Non Detrimen Findings bagi seluruh spesies yang diperdagangkan. Dan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, DKP perlu mengembangkan magang bagi para personel DKP terkait pelaksanaan CITES.
60
Keterpaduan upaya konservasi perairan, tidak saja dilakukan oleh pemerintah pusat, pengelola daerah mampu menunjukkan partisipasi aktif terhadap kearifan lokal yang mereka miliki. Harmonisasi urusan konservasi antara DKP dan Dephut sebagai salah satu wujud nyata.
Budidaya perikanan memerlukan perhatian secara khusus, yang sekaligus mampu memicu aktivitas ekonomi masyarakat setempat. Penyebaran pengetahuan budidaya yang ramah lingkungan akan menghindarkan daya dukung ekosistem yang jenuh dan memastikan keberlanjutan sumber daya ikan.
61
Pembelajaran pengelolaan lingkungan yang baik pada suatu wilayah dapat dijadikan contoh untuk implementasi di wilayah lainnya. Kisah sukses akan terus bergulir dan diadapatasi demi mendukung capaian target luasan konservasi kawasan perairan di negara kita.
Meminimalkan risiko Sebuah proses pengalihan tanggung yang begitu besar pasti tidaklah mudah, apalagi menyangkut institusi/lembaga kenegaraan. Karena itu, proses pengalihan dilakukan secara bertahap untuk meminimalkan risiko yang mungkin muncul. Yang pertama dilakukan adalah membahas opsi-opsi penyelarasan urusan. Agar proses pengalihan dan pembagian wewenang konservasi tidak cacat hukum maka muncul opsi mengenai revisi peraturan perundang-undangan. Ini adalah pilihan yang paling berat dan biasanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga bisa menjadi beban bagi instansi yang berkepentingan. Kajian terhadap pilihan ini memperoleh kesimpulan bahwa dalam jangka pendek, revisi peraturan perundangundangan bukan merupakan pilihan yang bijaksana, terutama karena dapat diperkirakan akan memerlukan proses dan waktu serta biaya yang besar. Padahal negara sedang berada di tengah-tengah kesulitan anggaran. Namun, jika memang tidak dapat dihindari, singkronisasi peraturan perundangundangan dapat dilakukan melalui revisi terbatas terhadap pasal tertentu dari perangkat undang-undang yang berkaitan dengan konservasi perairan dan konservasi jenis. Pengaturan tentang jenis-jenis ikan yang dilindungi, termasuk jenis genetik ikan, berdasarkan Undang-undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan secara prinsip tidak akan menimbulkan dualisme kewenangan. Opsi kedua yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko adalah melakukan inventarisasi kegiatan-kegiatan yang sudah melembaga. Opsi ini tampaknya lebih rasional dan bisa segera dilaksanakan. Melalui inventarisasi kegiatan yang sudah melembaga diharapkan dapat segera diketahui secara objektif kewenangan-kewenangan apa saja yang telah dilaksanakan secara optimal dan telah dibentuk kelembagaannya. Sebaliknya melalui proses inventarisasi bisa pula diidentifikasi kewenangan-kewenangan yang dianggap belum optimal.
62
Melalui inventarisasi pelaksanaan urusan dan pengkajian efektivitasnya maka kewenangan bisa dipilah dan disesuaikan dengan tupoksi masing-masing, sehingga diharapkan tidak lagi terjadi tumpang tindih wewenang. Kajian terhadap pilihan kedua ini memperoleh kesimpulan bahwa inventarisasi wewenang di bidang konservasi yang telah dilaksanakan secara optimal merupakan opsi yang paling bijaksana dan dapat segera dilaksanakan. Opsi terakhir yang bisa dilakukan adalah bedol desa. Pengertian bedol desa di sini adalah pemindahan unit-unit kerja dan personil konservasi dari Departemen Kehutanan ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Opsi ini walaupun secara normatif kelihatannya mungkin untuk dilakukan, namun pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Setelah dilakukan inventarisasi pilihan-pilihan apa saja yang bisa diambil untuk meminimalkan masalah di kemudian hari, proses penyelarasan beranjak ke masalah inti: program dan rencana tindak lanjut. Untuk program konservasi kawasan, pengelolaan konservasi perairan yang sudah melembaga, seperti Balai Taman Nasional yang sudah dikelola Dephut tetap dikelola Dephut. Namun jika menyangkut aspek substantif kelautan dan perikanan perlu dilakukan kolaborasi pengelolaan dengan DKP. Kegiatan-kegiatan yang menjadi kepentingan bersama akan dikoordinasikan oleh kedua belah pihak. Dalam jangka panjang, perlu dipikirkan langkah-langkah perumusan dan pelaksanaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan oleh satu otoritas. Tujuannya jelas: peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan. Untuk rencana program konservasi jenis, konsentrasi utamanya adalah melaksanakan CITES bagi jenis ikan. Pelaksanaan CITES bisa menggunakan UU No 5 tahun 1990 yang dinilai telah memenuhi syarat pelaksanaan CITES. Penggunaan undang-undang lain mesti mendapat persetujuan dari CITES Legislation Project di sekretariat CITES. Apabila penilaian dari CITES dianggap tidak memenuhi syarat, maka negara anggota CITES akan mengembargo perdagangan jenis-jenis ikan dari Indonesia. Pada akhirnya, agar proses harmonisasi bisa berjalan lancar, konsekuensi logis yang harus ditanggung adalah persiapan kelembagaan dan pembiayaan untuk masa transisi. Dalam hal ini, DKP telah mempersiapkan delapan unit pelaksana teknis (UPT) di bidang kelautan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan perincian: enam Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL), dan dua Balai Konservasi Kawasan Perairan Nasional (BKKPN). Dengan berbekal persiapan konsep dan teknis pengelolaan serta pembagian urusan yang jelas dan sistematis, manajemen konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan di area perairan yang kompleks diharapk an bisa terlaksana dengan baik. Semoga. w
63
64
65
Sumber daya ikan menjadi nafas utama bagi masyarakat di kawasan pesisir, yang menyokong kehidupan ekosistem sekitar. Untuk menjamin keberlanjutan daya dukung lingkungan, sejumlah pihak telah menawarkan kemitraan dalam penyelamatan kawasan, yang berbasiskan masyarakat setempat.
66
67
Biota penghuni ekosistem terumbu karang, seperti crocodile fish, akan sangat menarik minat para peneliti dan penyelam (atas). Kegiatan penelitian dan pengambilan dokumentasi mengenai kekayaan perairan laut Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah pihak, termasuk LSM dan masyarakat (halaman sebelah).
Memberikan informasi kepada siapa saja yang mengunjungi kawasan konservasi, pemerintah daerah telah menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap pelestarian sumber daya ikan yang berada di wilayahnya. Komitmen itu juga ditunjukkan oleh Kabupaten Sorong yang melindungi wilayah pesisir Abun.
68
69
70
71
Kawasan Konservasi
Perairan Pada Masa Kini
K
esadaran akan pentingnya menjaga sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati perairan semakin tumbuh di seluruh dunia. Saat ini sudah 23 negara yang telah menetapkan lebih dari 100 kawasan konservasi laut (KKL) sebagai upaya konservasi kawasan perairan dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan perikanan dan memperbarui populasi ikan dan biota laut lainnya yang terancam punah. Mengapa kesadaran itu muncul? Beberapa kajian yang telah dilakukan secara komprehensif terhadap 80 KKL di dunia menunjukkan bahwa KKL yang dikelola dengan baik dan dilengkapi dengan rencana pengelolaan dan penegakan hukum telah memberikan manfaat positif bagi pengelolaan perikanan. Manfaat itu misalnya peningkatan populasi ikan dalam waktu relatif singkat, peningkatan jumlah spesies dan laju reproduksi biota laut lainnya. Manfaat yang didapat dengan adanya KKL utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik, seperti spillover, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan. Manfaat KKL kepada perikanan tersebut sangat tergantung kepada strategi tingkah laku spesies ikan target, dan desain dari KKL sendiri, termasuk lokasi, ukuran, dan bentuknya. Manfaat lainnya untuk perikanan yaitu adanya peningkatan stabilitas perikanan. Oleh karena itu, KKL berperan sebagai landasan dalam pengelolaan perikanan modern dengan strategi pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan berkelanjutan (Precautionary management), sehingga akan mengurangi fluktuasi tajam stok ikan yang berkaitan dengan perikanan tangkap dan dinamika lingkungan laut. Penelitian yang dilakukan olehWard dkk (Roberts & Hawkins 2000) menunjukkan bahwa ada keterkaitan erat antara pentingnya KKL sebagai alat untuk pengelolaan perikanan dalam menjaga dan meningkatkan produksi perikanan. Perjalanan panjang Memaparkan kondisi konservasi laut masa kini tidak akan pernah bisa terlepas dari jalinan upaya yang pernah terukir di masa lalu. Secara formal, konservasi laut, lebih khusus lagi konservasi sumber daya ikan Indonesia dirintis pada tahun 1960-an dan 1970-an dengan mulai berkiprahnya Indonesia dalam kancah internasional pasca-kemelut politik dalam negeri yang menguras perhatian segenap bangsa. Pada era ini, konservasi sumber daya ikan Indonesia diawali dengan becermin pada arus utama konservasi global saat itu, yakni melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap jenis-jenis hewan dan tumbuhan langka, termasuk jenis-jenis ikan.
72
Menyapa siapa saja yang menengoknya, seekor penyu juga memberikan peran unik dalam ekosistem perairan dangkal, seperti dalam terumbu karang (atas). Berbagai pihak berupaya melestarikan penyu dengan menawarkan sejumlah konsep dan program yang akan dijalankan dengan pola kemitraaan.
Namun, jauh sebelum era ini sebenarnya upaya-upaya pengembangan konservasi kawasan juga telah dimulai semenjak zaman penjajahan Belanda (1640-1942-an), walaupun fokus pengembangannya masih ke kawasan konservasi hutan. Kemudian setelah kemerdekaan di masa pemerintahan Orde Lama (1945-1967-an), juga setelah masa Orde Baru (1968-1998-an), berkembang pula kawasan-kawasan konservasi, termasuk untuk wilayah perairan. Sementara itu, untuk suaka perikanan yang diwarisi dari sistem kerajaan yang pernah ada di Indonesia, misalnya suaka perikanan Danau Loa Kang dan suaka perikanan Batu Bumbun, telah dikembangkan dan pernah mencapai puncak kesuksesannya sekitar 500 tahun yang lalu pada masa kerajaan Kutai Kertanegara di Provinsi Kalimantan Timur--sekarang. Sayangnya, suaka perikanan tersebut saat ini sudah hampir tidak terdengar lagi sejak dikelola oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 57 tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Pengelolaan kawasan konservasi mulai menemukan bentuknya kembali pada era 1980-an, di mana pengembangan konservasi tidak hanya berfokus pada jenis dan kawasannya saja, tetapi juga mulai masuk ke dalam isu keanekaragaman hayati (biodiversity). Hal ini dipengaruhi juga oleh arus utama konservasi global dengan hadirnya Convention on Biological Diversity (CBD) yang memandatkan negara-negara anggotanya untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, sayangnya isu biodiversitas ini masih mengutamakan kepentingan perlindungan aspek biologi dan lingkungannya saja, sedangkan masyarakat belum mendapat perhatian. Manusia masih dianggap sebagai bagian luar yang bukan merupakan satu kesatuan dengan lingkungan yang harus dilestarikan.
73
Menerobos perairan dangkal, cahaya mentari menjadi penyokong kehidupan pada ekosistem terumbu karang (halaman sebelah). Pembangunan resor wisata perlu memerhatikan penataan ruang agar dapat memnimilkan keruskana eksositem terumbu karang, yang memberikan nilai jasa lingkungan tak terkira.
Pada era 1990-an perkembangan konservasi sumber daya ikan di Indonesia mulai berubah. Di masa ini, masyarakat mulai kritis, dan menuntut agar tidak ada pembatasan akses terhadap kawasan-kawasan konservasi yang ditetapkan. Pihakpihak civil society mulai memikirkan konsep-konsep pengembangan konservasi kawasan yang juga memerhatikan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, baik yang berada di luar kawasan maupun di dalam kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak masyarakat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan konservasi di tanah air. Di tingkat global pun mulai banyak diperkenalkan metode pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat. Lantas di akhir era ini (1999) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) lahir dengan nama awal Departemen Eksplorasi Laut. DKP saat itu mulai melakukan pembenahan-pembenahan termasuk di dalamnya melakukan pengembangan konsep konservasi laut yang memperhitungkan semua kepentingan yang ada, mulai dari masyarakat sampai pada konsep pengelolaan kawasan konservasi oleh Pemerintah Daerah. Namun, sejalan dengan disahkannya Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan perubahan atas UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, terjadilah perubahan paradigma pembangunan. Wewenang Pemerintah Daerah semakin besar, termasuk untuk urusan konservasi. DKP sejak saat itu mulai mengimplementasikan sistem desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada Pemda dan masyarakat setempat, antara lain dalam mengembangkan KKL. Di depan para pejabat dari beberapa Negara, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Rokhmin Dahuri, mendeklarasikan target pengembangan KKL seluas 10
74
75
juta ha pada 2010, yang saat itu dirasakan sebagai janji yang ambisius. Namun, perkembangannya sangat signifikan, sehingga pada bulan Maret 2006 di Brasil, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui catatan sambutannya kembali mempertegas komitmen Indonesia dengan mendeklarasikan di depan sidang Pertemuan Para Pihak CBD bahwa Indonesia menargetkan kawasan konservasi laut seluas 10 juta ha pada 2010 dan diharapkan meningkat dua kalinya sepuluh tahun kemudian. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi senantiasa mempertegas komitmen tersebut dan sampai saat ini perkembagan capaian pencadangan kawasan konservasi perairan (laut) tersebut cukup menggembirakan. Hal ini merupakan tantangan bagi DKP dalam menangani KKL di Indonesia. Namun, isu agar upaya konservasi tidak melulu berpatokan pada luasnya kawasan mulai diembuskan kembali di tingkat global. Konservasi semestinya bukan hanya diukur dari luasnya kawasan melainkan juga harus melalui pengelolaan yang efektif dan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Di sisi lain, Pemerintah Daerah juga mendesak untuk membentuk kawasan konservasi laut daerah (KKLD) sebagai bentuk implementasi upaya konservasi laut yang desentralistis. Isu perubahan iklim akibat pemanasan global juga menjadi perhatian khusus dalam pengembangan konservasi sumber daya ikan oleh pemerintah Indonesia. Masyarakat dunia mulai bersuara bahwa laut berperan pula dalam perubahan iklim, mengingat di laut ada terumbu karang dan padang lamun yang berpotensi dalam penyerapan karbon. Di sisi lain keseimbangan kehidupan di laut juga berpengaruh akibat perubahan iklim. DKP juga tidak tinggal diam dalam menanggapi isu pemanasan global. Bersama berbagai pihak baik swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat sendiri, DKP mengembangkan berbagai inisiatif dan program nyata dari tingkat lokal sampai regional. Sebut saja program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) yang bekerja sama dengan berbagai pihak untuk pengelolaan terumbu karang secara lestari, antara lain, melalui dorongan bagi daerah untuk menyusun peraturan daerah maupun rencana strategis daerah tentang pengelolaan terumbu karang. Pemerintah daerah bersama masyarakat di wilayah COREMAP juga mengembangkan kawasan konservasi perairan (laut) di tingkat kabupaten/kota. Kawasan konservasi ini sebagai upaya rehabilitasi terhadap terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya serta untuk menjamin keberlanjutan sumber daya ikan. Di wilayah desa, secara partisipatif masyarakat membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL). Keberadaan DPL dalam sebuah KKL atau jejaring KKL adalah sebagai zona inti dari KKL.Wilayah DPL ini dapat berfungsi sekaligus sebagai tabungan ikan bagi masyarakat setempat Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Selain mengupayakan sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan yang bersifat desentralistis yang melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat, konservasi kawasan perairan yang berkelanjutan juga mesti efektif dan efisien. Karena itu, ide untuk mengembangkan jejaring (network) kawasan konservasi dirasakan semakin mendesak untuk diimplementasikan. Jaringan kawasan konservasi
76
dapat mengintegrasikan pengelolaan KKL berskala kecil dan besar di Indonesia, sehingga bisa membantu menyelesaikan masalah yang ada pada saat ini sekaligus sebagai antisipasi permasalahan yang akan muncul di masa mendatang. Jejaring merupakan keterkaitan antara kawasan konservasi laut yang mempresentasikan daya lenting (resilience) spesies dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan bersama. Dengan adanya jejaring, dapat tergambar keanekaragaman hayati di kawasan konservasi laut, sehingga keanekaragaman hayati terjaga dan terpelihara. Jejaring juga bisa memberikan model pemanfaatan kawasan konservasi laut yang mendukung ekosistem setempat. Sistem jejaring juga efektif dalam upaya memperluas kawasan konservasi laut. Model jejaring kawasan konservasi laut bisa dibagi menjadi dua kriteria: jejaring berdasarkan ekologis dan jejaring berdasarkan pengelolaan. Kriteria ekologis menunjukkan bahwa kawasan konservasi laut yang satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal ekologis (ekoregion), baik secara fisik maupun biologis. Sedangkan kriteria jejaring berdasarkan pengelolaan menunjukkan bahwa ada keterkaitan dalam hal pengelolaan kawasan konservasi laut, berupa sistem pengelolaan bersama yang melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder). Untuk itu, diperlukan suatu kelembagaan dan pendanaan untuk mengoordinasikan seluruh pemangku kepentingan. Poin yang juga patut dicatat adalah KKL sebaiknya tidak dimaknakan hanya sebagai no take zone (zona larangan tangkap) semata, tetapi juga merupakan sebuah keseimbangan antara upaya konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Setiap pemangku kepentingan dalam urusan konservasi laut mesti sadar bahwa konservasi bukan domain salah satu instansi atau pihak tertentu, melainkan domain dan semua pihak, dengan tanggung jawab yang proporsional. Efektivitas kawasan konservasi juga bisa terwujud jika pengelolaan KKL tidak bersifat keproyekan (project base). Sebagaimana lazimnya proyek, jika sudah selesai maka selesai pula tanggung jawab. Urusan konservasi sebaliknya, harus mengarah pada pengembangan program yang menjamin keberlanjutan dan kesinambungannya. Keberlanjutan bisa dicapai bila masyarakat setempat, yang sebenarnya merupakan faktor utama konservasi di tingkat daerah, juga memperoleh edukasi dan mendapatkan penghasilan alternatif. Penegakan hukum yang konsisten juga menjadi modal agar upaya konservasi kawasan perairan dapat berjalan lestari. Karena, berdasarkan pengalaman paling tidak ada tiga akar permasalahan yang menyebabkan kawasan konservasi laut kurang berkembang, yakni ketidaktahuan masyarakat, kemiskinan absolut, dan keserakahan serta arogansi kewenangan. Untuk mereduksi arogansi kewenangan ini, para pembuat kebijakan perlu mengembangkan mekanisme pengelolaan kolaboratif, di mana tanggung jawab pengelolaan sumber daya laut dipikul bersama oleh masyarakat setempat, pengguna sumber daya termasuk swasta, dan lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan pengelolaan kolaboratif juga perlu dikembangkan untuk mengeliminasi dampak pemekaran otonomi daerah yang berupa fragmentasi wilayah pengelolaan perikanan. Pendekatan ini juga diharapkan akan membantu upaya penegakan aturan perikanan di tingkat lokal. w
77
Makhluk Jurasik yang Nyaris Tersingkir
B
entuknya unik. Ukuran kepalanya jauh lebih kecil dibandingkan besaran badan yang diselimuti cangkang, seperti layaknya jenis reptilia. Para peneliti menyebut cangkang ini dengan dua jenis nama, tergantung pada bagian mana yang akan kita lihat. Pada bagian perut, mereka mengucapkan nama plastron, sementara sisi punggung dibilang karapas. Makhluk yang selalu berhasil membuat kita berpaling dan mengamatinya dengan seksama ini memiliki kulit bersisik dan bernapas dengan paruparu, meskipun dia hampir sepanjang waktu dihabiskan di dalam perairan. Dengan sejumlah ciri tadi, kami pikir Anda tak akan sulit menebak jenis makhluk hidup yang akan kami paparkan secara ringkas. Inilah penyu yang merupakan bentuk modern penghuni laut tertua yang berevolusi hingga berbentuk seperti yang sekarang kita kenal. Penyu laut, kadangkala dibilang kura-kura oleh sejumlah awam, termasuk satwa berdarah dingin, sebab suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan. Menurut informasi yang termuat dalam Penyu Sang Duta Laut yang diterbitkan oleh Conservation International Indonesia, penyu membutuhkan sekitar 25 tahun untuk menjadi dewasa dan siap bertelur. Selain itu, penyu tidak setiap tahun bertelur. Musim bertelur terjadi antara dua hingga lima tahun sekali. Dalam satu musim bertelur, penyu betina akan berkali-kali mendarat di pantai untuk bertelur. Ia akan menyimpan lebih dari 100 butir telur di dalam lubang pasir yang digalinya dan ditutup kembali dengan pasir itu dalam sekali pendaratan. Tujuan penimbunan telur-telur itu dengan pasir supaya terjadi masa inkubasi, yang membutuhkan waktu antara 45 hingga 60 hari, tergantung dengan jenis penyu. Setelah masa inkubasi, telur menetas menjadi tukik. Ketika menetas, tukik-tukik itu berlarian menuju perairan dari pasir putih yang lembut. Meskipun jumlahnya sangat banyak, para peneliti dan ahli penyu memperkirakan bahwa mungkin hanya satu dari seribu butir telur penyu yang mampu tumbuh menjadi penyu dewasa. Apa pasal? Telur penyu dan tukik saat ini mendapat tekanan yang luar biasa dari pemangsa alami dan aktivitas manusia. Yang terakhir ini mendapatkan sorotan tajam dari para peneliti dan ahli penyu. Karena itu untuk menjaga kestabilan tingkat populasi, penyu dapat hidup hingga lebih dari 100 tahun dengan masa reproduksi yang cukup panjang. Penyu yang hidup di perairan sub-tropis Australia dan perairan tropis, seperti di negara kita, mampu berenang hingga ribuan kilometer antara lokasi bertelur dan tempat mencari makan. Dalam hal ini, penyu juga memiliki keunikan lain: sejauhjauhnya melaut ke belahan samudera nan luas, seekor penyu betina akan selalu kembali dan bertelur di pantai yang sama tempat ia ditetaskan. Di negara kita terdapat sejumlah tempat bertelur penyu, seperti Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur; Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri, Jawa Timur; Pantai Perancah di Bali; Jamursbamedi, Pulau Sayang, dan Piai, Papua. Dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, enam di antaranya bertelur dan
78
mencari makan di perairan Indonesia. Keenam penyu tersebut adalah penyu lekang/abu-abu olivacea), penyu (Lepidochelys belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik penyu pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Eretmochelys imbricata) dan penyu di negara kita (Caretta caretta). Tentu, kehadiran membawa keuntungan bagi ekosistem perairan dangkal. Satwa ini bertugas untuk mencegah terjadinya dominasi jenis pemangsa tertentu sehingga spesies lainnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kita bisa ambil contoh, penyu hijau yang banyak ditemukan bertelur di sebagian besar pantai di wilayah pesisir Indonesia. Penyu hijau memakan lamun tua sehingga pertumbuhan lamun di perairan dangkal lebih terkendali. Dengan demikian, lamun muda yang lebih bernutrisi dapat berkembang biak dengan baik. Ini menguntungkan penghuni ekosistem lainnya, seperti ikan-ikan pemangsa ikan kecil dan udang renik yang hidup menempel pada lamun. Dalam dekade belakangan populasi penyu di habitat asli mengalami penurunan yang sangat tajam. Oleh karena itu, satwa ini dikenal sebagai biota laut langka. Pemerintah kita telah melakukan upaya melindungi populasi penyu di habitat aslinya. Perannya yang begitu besar dalam menyokong ekosistem perairan laut tentu dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Upaya penyelamatan penyu, termasuk menetapkan habitat peneluran dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi penyu dan turunannya sebagai biota perairan yang dilindungi, sebagai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penyu dan telur penyu merupakan satwa serta bagiannya yang dilindungi oleh Undang-undang No 5 tahun 1990 serta Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Di dalam lampiran peraturan pemerintah tersebut, penyu kembali ditegaskan sebagai satwa yang dilindungi, yang tidak boleh diperdagangkan, dimusnahkan, disimpan atau dimiliki telur dan atau sarangnya. Berkaitan dengan bidang perikanan, penyu termasuk kelompok reptil yang tergolong pada jenis ikan yang pengertian tersebut telah diatur menurut Undangundang No 31 tahun 2004 mengenai perikanan serta Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 mengenai konservasi sumber daya ikan. Pengaturan jenis ikan yang dilindungi itu telah di atur dalam pasal 23 dalam undang-undang tersebut. Kami hanya ingin menarik sebuah kesimpulan bahwa penyu yang memiliki arti penting bagi ekosistem dan makhluk purba yang masih dapat kita jumpai di wilayah perairan laut kita adalah satwa yang dilindungi. Semua itu telah diatur oleh undangundang yang terbit pada tahun 1990 dan peraturan pemerintah pada 1999. Undangundang No 31 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 bersifat lex specialist yang merupakan penguatan dan komplementer dari aturan sebelumnya.
79
Lika-liku Pembentukan Kawasan Konservasi Laut di Daerah
S
ebagai wujud konsistensi terhadap semangat otonomi daerah, DKP mendorong berkembangnya kawasan konservasi perairan (laut). Sejak 2002 hingga pertengahan tahun 2008 telah dicadangkan 31 KKLD yang tersebar di seluruh Tanah Air (lihat Tabel 1), meski hanya beberapa yang sudah diformalkan. Ada pun penamaan kawasan KKLD beragam, dan ada kecenderungan masyarakat menghindari istilah seperti perlindungan semata, untuk kawasan konservasi yang konotasinya laut harus ditutup sehingga dapat menimbulkan konflik dengan nelayan. Upaya pengembangan KKLD juga mendapat dukungan dari lembaga donor maupun LSM, seperti: Asian Development Bank, World Bank, The Nature Conservancy, Conservation International,
WWF Indonesia, Yayasan Kehati, Yayasan Terangi, dan lainnya yang telah memintal kerjasama dengan DKP. Meski DKP mempromosikan desentralisasi, namun masih ada persoalan. Saat ini desentralisasi hanya dipahami sebagai desentralisasi pada tingkat pemerintah daerah dan belum sampai pada tingkat masyarakat. Ketidakjelasan peran masyarakat dikhawatirkan akan menyebabkan meningkatnya konflik dengan nelayan sebagaimana marak terjadi pada kebanyakan KKP yang telah berdiri. Di sinilah dimensi perjuangan baru mesti dilakukan; perjuangan terhadap hak-hak nelayan yang dulunya mereka miliki namun hilang karena intervensi pihak luar atas nama konservasi. Proses desentralisasi juga efektif terhadap pengelolaan karena adanya rasa memiliki masyarakat terhadap hak-hak mereka: laut tempat mereka hidup.
80
81
Kisah Sukses KKLD Berau
K
abupaten Berau merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah laut kabupaten ini terdapat terumbu karang yang luas dengan kondisi yang cukup baik. Keragaman terumbu karang Berau diperkirakan tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat dan ketiga di dunia. Hutan mangrove ditemukan di Delta Berau dan di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat ditemukan seperti penyu, paus, lumba-lumba, duyung, dan beberapa spesies lainnya. Perairan Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di Indonesia. Selain itu, potensi perikanan dan pariwisatanya masih baik. Namun demikian, di kawasan pesisir dan laut Berau terdapat berbagai permasalahan seperti perusakan terumbu karang, penurunan populasi penyu, praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya. Dengan potensi sumber daya pesisir dan laut yang besar beserta permasalahannya, wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau perlu dikelola dengan baik dan tepat. Hal ini guna menjaga kelestarian dan berjalannya fungsi dari sumber daya tersebut sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan program pemerintah (DKP) yang tengah menggalakkan pembentukan KKL di berbagai daerah, Kab Berau menyambut baik upaya ini melalui pembentukan Kawasan Konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau). KKL Berau ditetapkan melalui Peraturan Bupati Berau tahun 2005. Hal ini sejalan dengan kewenangan Pemerintah Kab Berau melalui Peraturan Daerah No 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab Berau. Batas KKL ke arah darat ditetapkan sesuai dengan batas kawasan lindung hutan mangrove berdasarkan Perda No 3 tahun 2004. Luas KKL Berau sendiri sebesar 1.222.988 ha. Secara umum, tujuan pembentukan KKL Berau adalah untuk melindungi keanekaragaman laut, serta menjamin pemanfaatan sumber daya perikanan dan pariwisata bahari berkelanjutan di Kab Berau. Secara administratif Kab Berau merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Timur. Luas wilayahnya 3.426.070 ha dengan luas laut sekitar 1.222.988 ha. Kabupaten ini berbatasan dengan Kab Bulungan di sebelah barat dan utara, Selat Makassar di sebelah timur, dan Kab Kutai Timur di sebelah selatan. KKL Berau terletak Antara Pulau Panjang, Tanjung karangtigau dengan karang Baliktaba di utara, menghadap ke Selat Makassar ke arah timur dan Semenanjung Mangkalihat di sebelah selatan. Luas wilayah KKL meliputi seluruh wilayah pesisir dan laut termasuk kawasan mangrove, yaitu 1.222.988 ha, meliputi 7 kecamatan pesisir di atas, kecuali Kec Sambaliung. Untuk memudahkan pengelolaan, KKL Berau diusulkan menjadi 3 kawasan pengelolaan, yakni bagian utara, tengah, dan selatan. Kawasan bagian utara meliputi
82
Satwa yang berhasil melewati masa jurasik, penyu kerapkali menjadi target aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Reptil laut yang tak mengenal batas wilayah suatu negara ini telah memiliki jalur migrasi dan jelajah yang rutin untuk melanjutkan kehidupannya. Inilah yang perlu diperhatikan oleh kita.
wilayah laut, pulau-pulau kecil, terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di Kec Pulau Derawan dan Maratua. Bagian tengah meliputi wilayah laut dan hutan mangrove Kec Tabalr, Balatan Lempake, dan Talisayan. Sedangkan bagian selatan mencakup laut, pulau-pulau kecil, terumbu karang, lamun dan hutan mangrove di Kec Batu Putih dan Biduk-biduk. Zonasi pada KKL Berau mencakup kawasan yang dilindungi penuh (no take zones), terutama kawasan yang sangat penting untuk peningkatan stok ikan, seperti kawasan pemijahan dan proses-proses ekologis yang lain. Zonasi KKL juga mencakup kawasan pemanfaatan ekstraktif dan kawasan pemanfaatan terbatas. Zonasi itu ditujukan untuk perlindungan keanekaragaman hayati dengan menjamin pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pengguna lokal. Bekerja secara kolaborasi sebagai satu tim dalam pengembangan dan pengelolaan KKL Berau merupakan hal yang paling tepat dibandingkan bekerja sendiri-sendiri. Hal ini karena keterbatasan sumber daya masing-masing lembaga dalam mengelola wilayah yang demikian luas. Di Berau dibentuk suatu forum yang disebut Sekretariat Bersama Kelautan (Sekber) Berau. Forum ini berfungsi sebagai pusat koordinasi antar Lembaga Non-Pemerintah dan Pemerintah Kab Berau. Saat ini anggota Sekber Berau dari non-Pemerintah ada 6 (enam), yaitu Bestari, Kalbu, TNC, Mitra Pesisir, WWF, dan Kehati. Meski bukan tanpa masalah, kesuksesan model zonasi dan sistem kerja koalisi dan kolaboratif di KKL Berau merupakan langkah yang patut dicontoh oleh pengembanganpengembangan KKL di daerah lain.
83
Kawasan konservasi perairan tak hanya melestarikan kehidupan bawah laut tetapi sekaligus menyokong pembangunan perikanan laut yang berkelanjutan. Sumber daya ikan merupakan faktor utama bagi kaum nelayan untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di wilayah mereka.
Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Luas KKL Indonesia pada awal tahun 2005 sekitar 7,2 juta ha. Pada saat ini telah mencapai 8,7 juta ha. Tabel 3 memperlihatkan luasan masing-masing kawasan termasuk calon kawasan konservasi perairan yang dalam proses inisiasi. ���������������������������������������������� ��
������������
������ �������
�
�
���������������� ���������������������������� �������������������������������� ������������������������ ������������������������������ ������������� ��������������������������������������� ������������� ������������������������������������������������������� �������������� ����������������������� ��������������������������������������������� ������������
84
���������
� �� � �
������������ ���������� ���������� ����������
�� �� �
������������� ������������� ��������
� �
������ ������������
��
�������������
85
Manfaat Kawasan Konservasi Laut
I
ndonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas laut lebih besar daripada luas daratan. Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam, baik sumber daya alam yang dapat pulih seperti perikanan, hutan mangrove, terumbu karang, dan lainnya, maupun yang tidak dapat pulih seperti minyak, gas, dan bahan tambang. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang mengundang daya tarik berbagai pihak untuk memanfaatkannya. Sumber daya kelautan merupakan salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi pemanfaatannya sampai saat ini kurang memerhatikan kelestariannya. Akibatnya, terjadi penurunan fungsi, kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Sebagai contoh adalah degradasi ekosistem terumbu karang yang telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an. Hasil penelitian Pusat Penelitian Oceanografi LIPI tahun 2006 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5,23 %, baik 24,26 %, cukup 37,34 % dan yang kurang baik atau rusak sebesar 33,17 %. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan data pada tahun sebelumnya dimana yang sangat baik masih tercatat sebesar 5,8 %, baik 25,7 %, cukup 37,34 % dan kurang baik atau rusak sebesar 31,9 %. Data tersebut menunjukkan sebagian besar terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun sianida, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi. Pelaku perusakan tidak hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing. Dalam rangka mengatasi dergradasi sumber daya kelautan di Indonesia, diperlukan suatu desain pengelolaan yang komprehensif. Desain pengelolaan ini diharapkan dapat menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Desain pengelolaan tersebut adalah menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi kawasan konservasi laut (KKL). Desain pengelolaan ini telah diterapkan di banyak negara. Di beberapa tempat, KKL telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam melindungi keanekaragaman hayati pesisir dan laut, serta pengelolaan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, seperti perikanan tangkap dan pariwisata. Banyak contoh tentang dampak dari dibentuknya kawasan konservasi laut, Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut dalam mendukung perikanan berkelanjutan. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah no-take-zone memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih
86
Kawasan Konservasi Laut telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam melindungi keanekaragaman hayati pesisir dan laut, serta pengelolaan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, seperti perikanan tangkap dan pariwisata
beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Namun dampak langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit untuk dibuktikan di lapangan dan oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah dilaksanakan, banyak yang menggunakan model matematis alih-alih observasi lapangan untuk mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model menunjukkan bahwa perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan konservasi laut, dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang berkelanjutan dapat dimaksimalkan jika kurang lebih 30% habitat sepenuhnya dilindungi dari kegiatan penangkapan (Roberts & Hawkins 2000). Selain itu, Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari wilayah perlindungan bagi perikanan komersial. Selanjutnya, McClanahan 1994 dalam Robert&Hawkins (2000) juga menjelaskan bahwa dari 110 spesies yang tercatat di dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai di wilayah penangkapan. Beberapa cuplikan tentang dampak kawasan konservasi laut di wilayah Indo-Pasifik berdasarkan negara. Antara lain: Indonesia--Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan) (McClanahan et al. 2006); Papua New Guinea--Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk and Ahus) (McClanahan et al. 2006); Philipina--Biomassa predator ukuran besar meningkat 8 kali di wilayah perlindungan. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat (Russ & Alcala 1996, in Roberts & Hawkins 2000); Hawaii--Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kenya-Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat 10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine
87
National Park bila dibandingkan di wilayah perlindungan di mana penangkapan diizinkan (Watson & Ormond 1994, in Roberts & Hawkins 2000). KKL berbeda dengan sistem pengelolaan perikanan tangkap yang ada saat ini, seperti pengaturan armada, alat, dan hasil tangkap. KKL lebih memerhatikan ekosistem secara keseluruhan dibandingkan satu atau beberapa spesies yang bernilai ekonomis. Salah satu funsgi KKL adalah sebagai daerah perlindungan habitat dan spesies ikan. Dengan demikian KKL diharapkan dapat berfungsi sebagai bank sumber daya perikanan yang dapat mendukung peningkatan dan keberlanjutan pendapatan masyarakat, khususnya nelayan. Nilai penting kawasan konservasi bagi kepentingan ekonomi, khususnya dalam pembangunan perikanan, telah dilakukan berbagai penelitian di beberapa Negara, antara lain: Peningkatan produksi telur di dalam kawasan konservasi laut hingga 10 kali lipat, Kelimpahan jumlah ikan di dalam kawasan konservasi laut hingga 2 sampai 9 kali lipat, Peningkatan ukuran rata-rata ikan di dalam kawasan konservasi laut antara 33 – 300 %, Peningkatan keanekaragaman species di dalam kawasan konservasi laut antara 30 – 50 %, dan Peningkatan hasil tangkapan ikan di luar cagar alam antara 40 – 90 % (Sumardja, 2002). Pengelolaan KKL bersifat lebih adaptif sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah. Karakteristik initerlihat melalui zonasi yang memungkinkan diterapkannya tingkat pemanfaatan yang berbeda pada zona-zona yang berbeda. Pada zona larang ambil (no take zone) masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan wisata terbatas. Pemanfaatan untuk pariwisata bahari pada zona perikanan berkelanjutan mampu memberikan masukan devisa yang cukup signifikan. Sementara di zona lainnya bisa saja dimanfaatkan secara ekstraktif dengan penggunaan alat yang tidak merusak habitat ikan. Pemerintah, melalui DKP mencoba mengembangkan suatu pendekatan dengan memberikan tanggung jawab lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayah lautnya. Untuk itu pemerintah telah menetapkan kawasan-kawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Model pengelolaan seperti ini diberi nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD merupakan paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang sedang digalakkan secara nasional, selain kawasan konservasi nasional yang telah ada. Sebagaimana diatur dalam UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya untuk kawasan konservasi nasional, lebih lanjut, penetapan kawasan konservasi perairan juga diatur dalam UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan. Landasan hukum untuk KKLD diatur dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 18 UU ini dijelaskan salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksploitasi dan konservasi sumber daya alam di wilayahnya.
88
89
90
91
Menatap Masa Depan
Konservasi Kawasan Perairan
S
elepas memasuki Era Reformasi kawasan perairan Indonesia menyambut fajar baru bagi kelestariannya. Tidak sebatas pemanfaatan dan eksplorasi sumber daya, samudera mahaluas Nusantara juga sudah lama menunggu sentuhan pelestarian. Dengan demikian disadari dengan baik bahwa aspek konservasi perairan mencakup pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian. Di sisi lain, pelestarian gatra maritim juga harus bersifat holistik yang meliputi konservasi ekosistem, spesies dan genetik. Keseimbangan antara aspek pemanfaatan, perlidungan dan pelestarian di satu pihak, dengan konservasi yang holistik di sisi lain, merupakan paradigma konservasi perairan saat ini dan masa datang. Kelanggengan sumber daya perairan menjadi jaminan bagi generasi penerus untuk dapat memanfaatkannya. Berkaitan dengan hal itu, langkah-langkah konservasi laut di masa depan berkaitan erat dengan pengelolaan kawasan konservasi laut. Kawasan-kawasan konservasi perairan akan menjadi tandon plasma nutfah sumber daya laut masa depan. Kendati demikian, menatap masa depan konservasi perairan berarti pula memandang dua sisi yang saling berpautan: peluang dan tantangan. Dua hal ini bisa dirunut dengan melihat keadaan terkini. Prospek pertama konservasi kawasan perairan Indonesia datang dengan dibentuknya Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP). Harapan cerah pelestarian laut Indonesia berada pada upaya pengembangan lembaga ini. Institusi DKP memegang tanggung jawab sebagai otoritas pengelola (management authority) bagi seluruh aspek pelestarian laut maupun konservasi sumberdaya ikan. Tugas pokok dan fungsi DKP secara jelas diuraikan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 serta Keputusan Presiden No. 31 tahun 2001. Untuk mengurus konservasi secara tersendiri dibentuk Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (dit. KTNL) di bawah Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen KP3K). Hingga sewindu DKP berdiri, tercatat beberapa perkembangan dalam hal konservasi laut: mulai dari lahirnya sejumlah peraturan, pengembangan lembaga dan sumber daya manusia, hingga inisiatif-inisiatif kerjasama regional maupun internasional. Sejumlah capaian bidang penguatan kelembagaan dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya ikan, antara lain: terbentuknya 2 (dua) unit pelaksana teknis (UPT) konservasi sumber daya ikan di Ditjen KP3K, yang akan ditingkatkan menjadi enam unit pada 2009, serta Harmonisasi antar-departemen dalam urusan kawasan konservasi dan pesisir.
92
Dengan adanya departemen teknis tersendiri, semakin dipahami keperluan sumber daya manusia yang memadai. Tantangan ini menjadi pendorong bagi DKP untuk terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Salah satu jalan yang sudah ditempuh adalah pelatihan penyelaman dan monitoring kondisi sumberdaya perairan, Pembinaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan, pembinaan SDM dalam penanganan urusan CITES, serta pertemuan teknis mengenai konservasi baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga tersurat pada Rencana Strategis 2005-2009 Ditjen KP3K, yang akan meningkatkan sejumlah 250 personil sumber daya manusia, baik melalui pelatihan, pembinaan maupun pendidikan formal S-1, S-2 dan S-3. Masa depan konservasi kawasan perairan makin terang dengan adanya dukungan hukum: Undang-Undang No. 31tahun 2004, tentang perikanan dan Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dua perangkat hukum itu menjadi fondasi bagi kepastian pengelolaan konservasi perairan. Dengan begitu, upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tak lagi samar-samar. Secara rinci undang-undang yang pertama telah diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan (KSDI). Lahirnya peraturan pemerintah itu memberi kesempatan besar bagi Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) selaku pemegang mandat pengelolaan konservasi perairan. Peraturan pemerintah itu juga menjamin pemanfaatan yang berkelanjutan beragam jenis ikan sekaligus melestarikan kekayaan genetiknya. Sementara itu, turunan UU No. 27 tahun 2007 sedang dalam proses bagi penerapannya. Turunan organik UU 27/2007 terkait dengan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 17/MEN/2008. Beberapa hal tersebut memberi tengarai tentang kebutuhan untuk segera membuat kebijakan turunan dari undang-undang itu. Untuk lebih menjamin daya terap kedua undang-undang itu memang diperlukan turunannya pada tingkat peraturan pemerintah hingga keputusan menteri. Peraturan lanjutan yang lebih operasional dibutuhkan agar pelaksanaannya berlangsung efektif dan efisien. Untuk itu, selain peraturan-peraturan di atas, DKP juga telah dan sedang bekerja keras untuk menerbitkan beberapa keluaran kebijakan, antara lain: 1. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 38/Men/2004, tentang pedoman umum pengelolaan terumbu karang, 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 17/MEN/2008 tentang kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumber Daya Ikan di Perairan Daratan, 4. Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut, 5. Strategi Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut, 6. Pedoman Umum Identifikasi Kawasan Konsevasi Laut Daerah, 7. Pedoman Umum Penataan Batas Kawasan Konservasi Laut, 8. Pedoman Umum Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, 9. Pedoman Umum Restocking Ikan terancam Punah di Perairan Umum
93
10. Pedoman Pelaksanaan Dana Tugas Pembantuan 11. Penyiapan peraturan setingkat menteri sebagai turunan dari UU 31/2004, UU 27/ 2007 dan PP 60/2007.
Mengingat harapan pelestarian sumberdaya ikan terletak di jantung kawasan konservasi perairan, DKP sejauh ini telah melakukan pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi lembaga-lembaga Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir, terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi masyarakat yang lebih terbuka, upayaupaya konservasi perairan telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah daerah—provinsi dan kabupaten. Pemerintah pusat, melalui DKP berusaha untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah maupun masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan. Secara simultan, DKP bersama pemerintah daerah akan terus menggalang kerjasama dalam menginisiasi dan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Untuk keperluan sosialiasi dan pembinaan, misalnya, DKP telah mencetak materi dan informasi tentang kawasan konservasi laut daerah. Dari aspek legal, juga telah diterbitkan Pedoman Umum Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Terumbu Karang. Tak hanya itu, agar pengelolaan terumbu karang di daerah berjalan baik, juga telah dibuat Pedoman Umum Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Daerah. Disamping telah memfasilitasi pencadangan 31 KKLD dan inisiasi dua calon kawasan konservasi perairan nasional, juga terus dilakukan identifikasi dan pemetaan kawasan bakal kawasan konservasi perairan—laut dan perairan daratan. Target 10 juta ha kawasan konservasi perairan sampai saat ini telah tercapai seluas lebih dari 8,7 juta ha sehingga dengan segala daya upaya kekurangan seluas 1, 3 juta ha diharapkan terpenuhi pada tahun 2010. Perkembangan yang pesat dalam memenuhi cita-cita tersebut harus diimbangi dengan kesiapan fasilitas pendukung—seperti, lembaga, dana, sumber daya manusia dan infrastruktur, sehingga pengelolaannya berjalan baik. Sekurangnya, agar tata kelolanya berlangsung efektif, saat ini telah dibuat rencana pengelolaan bagi belasan lokasi KKLD. Seiring program COREMAP II, juga dilaksanakan rehabilitasi ekosistem sumber daya ikan di delapan provinsi dan 15 kabupaten/kota. Untuk melengkapi usaha pelestarian berbasis kawasan, juga dikembangkan konservasi spesies dan genetik. Salah satunya, langkah pengelolaan bagi spesies tertentu diantaranya: labi-labi, duyung, teripang, kuda laut, kima dan hiu di kawasan biogeografi oriental atau Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Hal itu dibuktikan dengan telah dibuatnya sejumlah pedoman umum pengelolaan bagi jenis-jenis biota laut, di antaranya: 1. 2. 3. 4. 5.
94
Pedoman Umum Pengelolaan Duyung, Pedoman Umum Pengelolaan Penyu, Pedoman Umum Pengelolaan Kuda laut, Pedoman Umum Pengelolaan Kima, dan, Pedoman Umum Pengelolaan Teripang.
95
Perairan nasional di masa datang akan lebih berperan nyata melalui kerjasama antarnegara, antar instansi pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik nasional maupun internasional. Dalam pengelolaan kawasan konservasi laut, pemerintah telah bekerjasama dengan sejumlah lembaga non pemerintah, seperti World Wide Fund for Nature (WWF), The Nature Conservancy (TNC), Conservation International (CI) Indonesia, Marine Aquarium Council (MAC), Yayasan Kehati, Yayasan Terangi serta berbagai organisasi non pemerintah lainnya. Untuk memadukan langkah-langkah pelestarian, juga dilakukan koordinasi bersama Komisi Nasional Konservasi Laut (Komnaskolaut) dan Komisi Nasional Lahan Basah. Kelompok-kelompok komunitas juga dibangun dalam berbagai bentuk mailing list maupun kelompok formal seperti Indonesian Coral Reef Society (INCRES). Kerjasamakerjasama lain di tingkat regional juga terus dilakukan, seperti yang telah dilakukan bersama beberapa negara: Malaysia, Filipina, Timor Leste, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini. Upaya konservasi perairan Indonesia juga ditunjukkan dengan melaksanakan dan/atau meratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan konservasi jenis ikan. Indonesia tetap memiliki komitmen untuk terus meningkatkan pelaksanaannya di dalam negeri. Untuk memenuhi kewajiban Konvensi Keanekaragaman Hayati, misalnya, DKP telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan konservasi pesisir dan laut, serta konservasi jenis ikan yang terancam punah dan atau dilindungi. Dengan beragam upaya dalam mengembangkan pelestarian tersebut di muka, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar pelestarian laut menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan dan kelestarian wilayah perairan Nusantara. w
Mengail ikan air tawar, para pemancing begitu menikmati aktivitas yang dikembangkan di perairan sungai (kiri). Apabila dikemas dengan baik kegiatan pemanfaatan lubuk larangan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Kita dapat melihat contoh tersebut di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
96
Ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi melintasi wilayah perairan Indonesia, yang memiliki ekosistem terumbu karang yang indah. Saat ini berbagai pihak telah menyuarakan semangat pelestarian untuk melindungi sumber daya ikan yang kita miliki bagi anak cucu kita di masa mendatang.
Bahan Bacaan Anonim. 2006. Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Laut. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Anonim. 2007. Membangun Konservasi Perairan untuk Perikanan Berkelanjutan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Anonim. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency. Jakarta. Balmford A., P. Gravestock, N. Hockley, C.J. McClean & C. M. Roberts 2004. The worldwide costs of marine protected areas. PNAS 101: 9694-9697 CCIF 2006. Seven year financial model PT Putri Naga Komodo, Sanur, Bali, Indonesia. CI. 2001. Raja Ampat Marine Rapid Assesment Program Report. Woshington DC USA. Conservation International IndonesiaI. 2004. Penyu Sang Duta Laut. Jakarta, Indonesia. Direktorat jenderal Kelautan, Peisisr dan Pulau-pulau Kecil, 2006. Rencana Strategik Pembangunan Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tahun 2005 – 2009. Direktorat jenderal Kelautan, Peisisr dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, DPI 2002. Fish Habitat Areas: Sustaining Queensland’s Fisheries. Brochure from the State of Queensland, Dept of Primary Industries. 6 p. Erdmann M.V., P.R. Merrill, M. Mongdong, I. Arsyad, Z. Harahap, R. Pangalila, R. Elverawati & P. Baworo 2004. Building Effective Co-Management Systems for Decentralized Protected Areas Management in Indonesia: Bunaken National Park Case Study. Natural Resources Management Program, Jakarta, Indonesia. 150 p. McClanahan T.R., M.J. Marnane, J.E. Cinner, & W.E. Kiene 2006. A Comparison of Marine Protected Areas and Alternative Approaches to Coral-Reef Management. Current Biology 16: 1408–1413 Mackinnon, K. 1992. Nature Treasurehouse The Wildlife of Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, dan M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas, Part II. Periplus Edition. Pacific Consultants International 2001. Study on Fisheries Development Policy Formulation. Volume I. White Paper. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403). 234 p. + Annexes Pet-Soede C., H.S.J. Cesar & J.S. Pet 1999. An economic analysis of blast fishing on Indonesian coral reefs. Environmental Conservation 26: 83-93 PISCO (2002) The science of marine reserves. http://www.piscoweb.org. 22 p Roberts CM, Hawkins JP. 2000. Fully Protected Marine Reserver: A Guide , WWF in Woshington DC USA. University of York, York. UK. Sumardja E. 2002. Kawasan Konservasi Laut (KKL): Kini Bukan Untuk Konservasi Saja. Bahan Presentasi pada WCPA Workshop di Bangkok Thailand. Sembiring, S.N. dan F. Husbani. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia : Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia /ICEL. Ward T, Eddie Hegeri, 2003. Wilayah Suaka Laut dalam Manajemen Perikanan Berbasis Ekosistem. Departemen Lingkungan Hidup dan Kelestarian Alam. Jakarta
97
98
99
100