1
NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN UMUM
(Studi Terhadap Tiga Narapidana Kategori Bandar dan Pengedar di Lapas Kelas IIA Pekanbaru)
Oleh Riky Novarizal, S.Sos., M.Krim Dosen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Riau Jl. Kaharudin Nasution KM.11, No.113 Marpoyan Simpang Tiga Pekanbaru
Abstrack In accordance with the concept of the correctional system aims to make inmates as good citizens and responsible in order to return the society and protect the public against the possibility of repeated criminal acts by inmates, as well as an application of the values contained in Pancasila. So the researchers wanted to see how the Lapas Kelas IIA Pekanbaru prison officers treat prisoners narcotics in the coaching concept, the condition number of inmates in prisons narcotics cases dominate both the Lapas Kelas IIA Pekanbaru. In conducting the study researchers used a descriptive method with qualitative approach, the primary data source is derived from narcotics informant inmate who is serving a criminal mob in Lapas Kelas IIA Pekanbaru, to collect data using observation, library research, and in-depth interviews. The results of the study researchers found treatment of inmates with drug dealers and traffickers category is treated the same as other crimes inmates both in placement and other treatments, but it is also done differently in the health care category where current inmates and drug dealers are having a reaction sakau or hooked in the Lapas Kelas IIA Pekanbaru which is common prison. Inmates with drug dealers and traffickers categories aware of any specific rules concerning the treatment of prisoners at high risk narcotics although not implemented in the general prison Pekanbaru Riau, so therefore the behavior of inmates category narcotics dealers and dealers do informal agreements with Lapas Kelas IIA Pekanbaru officers in dealing with compliance their needs. Keyword: Inmate Narcotic, Prisons and Lapas Class IIA Pekanbaru
2
Latar Belakang Lembaga
dibina dan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi perbuatannya yang melanggar hukum sehingga pada akhirnya mereka dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif dan produktif dalam pembangunan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Pemasyarakatan
merupakan tahapan akhir dari Sistem Peradilan
Pidana.
Lembaga
Pemasyarakatan itu sendiri memiliki peran yang penting, karena lembaga tersebut merupakan
tempat
penghukuman
dan
sekaligus pembinaan bagi mereka yang dinyatakan
bersalah
pengadilan.
Narapidana
menjalani
hukuman
Pemasyarakatan
oleh
putusan
yang di
sedang Lembaga
hendaknya
tidak
dipandang atau diperlakukan sebagai orang yang terhukum saja. Sebagai orang-orang
Diterapkannya
yang dinyatakan bersalah dan melanggar
sistem
hukum serta bertingkah laku menyimpang
Pemasyarakatan,
dari norma-norma dan nilai-nilai sosial
meninggalkan
yang berlaku di masyarakat, terhadap
Perubahan ini bukan hanya perubahan
mereka perlu dilakukan pembinaan agar
istilah saja, tetapi juga suatu perubahan
setelah kembali ke masyarakat tidak
yang mendasar. Dalam sistem kepenjaraan,
melakukan kembali perbuatannya. Pada
yang ditekankan adalah unsur pembalasan
saat seperti inilah diharapkan petugas
dan
Lembaga Pemasyarakatan dapat berperan
penderitaan dan penyiksaan. Berbeda,
dalam melakukan pembinaan.
dengan sistem pemasyarakatan yang lebih
Bertolak dalam pasal 1 ayat (2)
sistem
penjeraan
menekankan
Indonesia
yang
pada
kepenjaraan.
berujung
pada
pengayoman
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995,
pembinaan
yang
berwujud
tentang pemasyarakatan, dinyatakan:
bimbingan
dan
pembinaan
“Bahwa sistem pemasyarakatan adalah sebagai suatu wahana dan tatanan serta cara pembinaan berdasarkan Pancasila, yang dilaksanakan secara terpadu antara petugas sebagai pembina, yang
telah
dan
pemberian dibidang
jasmaniah dan rohaniah sampai pada terwujudnya
integrasi
masyarakat.
dengan
Lahirnya
pemasyarakatan
sistem
membawa
Indonesia memasuki pembinaan
sehat
Bangsa
era baru dalam
narapidana.
Tujuan
dari
3
pembinaan
narapidana
adalah
supaya
Perkembangan
kasus
kejahatan
setelah kembali ke masyarakat, narapidana
narkotika yang terjadi di masyarakat,
tidak melakukan pelanggaran hukum lagi,
berkontribusi
serta dapat berperan aktif dan kreatif dalam
narapidana
pembangunan (Harsono, 1995:40).
pemerintah dalam hal ini Kementerian
Narapidana
narkotika
menjadi
kasus
meningkatnya
tersebut
di
Lapas,
Hukum dan HAM menetapkan beberapa
fokus perhatian dari peneliti, dimana
lapas
narapidana
narapidana
narkotika
terhadap
narkotika,
karena
tersebut
sangat
yang
lebih
psikotropika berbeda dengan narapidana
komprehensif dan berkelanjutan dimana
kasus kriminal pada umumnya, terutama
selain dikatakan sebagai pelanggar hukum,
dalam pembinaannya harus lebih spesifik.
mereka juga dikatakan sebagai orang yang
Cesare Beccaria (2008) mengatakan dalam
sakit
narkotika.
bukunya Dei delitti e delle pene (On
Kejahatan narkotika merupakan salah satu
crimes and Punishment), pidana harus
kejahatan extraordinary crime yang perlu
cocok
penanganan khusus dan maksimal. Jika
should fit the crime).
diperlukan
pembinaan
akibat
penggunaan
pada tindak kejahatan yang konvensional
kasus
penanganan
dengan
narkotika
kejahatan
Penyalahgunaan
dan
(punishment
narkotika
dan
mungkin pada proses yang sudah berjalan
psikotropika merupakan persoalan yang
di Lapas dapat di terima, meskipun masih
cukup kompleks mulai dari proses hukum
banyak terdapat kekurangan. Adam Sutton
hingga
menulis tentang Drugs and dangerousness
Persoalan hukum karena terkait dengan
pada
buku
Undang-undang Nomor 5 tahun 1997
Dangerous Offender (Pratt, 2001:165-180).
tentang Psikotropika dan Undang-undang
Sutton berpendapat:
nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
era
Neo-liberal
dalam
“bahwa kejahatan penyalahgunaan obatobatan (drugs) merupakan kejahatan yang serius membahayakan masyarakat (social order), untuk itu diperlukan mekanisme kontrol sosial dan system penghukuman yang tepat guna mengendalikan kejahatan tersebut”
proses
pemulihan
Undang-Undang pemerintah
karena
ini
korbannya.
dibuat berbagai
oleh macam
pertimbangan yang meliputi pandangan bahwa kejahatan dibidang narkotika baik itu meliputi penyalahgunaan, peredaran, produksi narkotika dan prekursor narkotika (peredaran narkotika antar negara) semakin berkembang dan memerlukan penanganan lebih khusus pula.
4
Di satu sisi pelanggaran terhadap kedua Undang-Undang tersebut merupakan
penanggulangan penyalahgunaan narkotika tersebut.
tindak pidana dan disisi lain korban
Narapidana kasus narkotika yang
ketergantungan terhadap narkotika dan
berada di Lapas Umum tentunya berhak
psikotropika wajib menjalani pengobatan
mendapatkan pembinaan dan perlakuan
dan perawatan (rehabilitasi). Berdasarkan
yang adil, karena mereka bukan hanya
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
objek melainkan juga subyek yang tidak
tentang Narkotika pasal 54, 55 dan 56 serta
berbeda dengan manusia lainnya yang
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07
sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan
Tahun
Menempatkan
atau kekhilafan yang dapat dikenakan
Pemakai Narkoba Ke Dalam Panti Terapi
pidana, sehingga tidak harus diberantas.
dan Rehabilitasi, yang mewajibkan bagi
Pembinaan yang mereka dapatkan berupa
korban penyalahgunaan narkoba untuk
pembinaan jasmani dan rohani, serta
mengikuti terapi dan rehabilitasi dan tidak
dijamin
boleh dipenjara, untuk itu dibutuhkan
menjalankan
tempat terapi dan rehabilitasi yang secara
dengan pihak lain maupun keluarga, dan
profesional dapat dipertanggungjawabkan.
lain sebagainya. Prinsip-prinsip perlakuan
Undang-undang
yang lebih manusiawi tercermin dalam
2009
pemerintah
Tentang
menunjukkan
berniat
serius
bahwa
hak-hak
menangani
usaha-usaha
bahaya penyalahgunaan narkotika dan
narapidana,
komitmennya
memulihkan
untuk
membedakan
mereka
ibadahnya,
untuk
berhubungan
pembinaan terutama
terhadap
dalam
kedudukannya
rangka sebagai
perlakuan antara korban penyalahgunaan
anggota masyarakat yang berfungsi penuh
narkotika
dengan
dan memenghormati nilai-nilai dan norma
pengedar, bandar atau produsen narkotika
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
secara ilegal. Berdasarkan Undang-Undang
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-
No 12 tentang pemasyarakatan juga terlihat
undang Nomor 12 Tahun 1995 tetang
dengan adanya Lapas Narkotika yang
Pemasyarakatan,
disediakan khusus bagi pelanggar hukum
mengenai hak-hak narapidana, merupakan
kejahatan narkotika. Namun keberadaan
dasar
dari
diperlakukan dengan baik dan manusiawi
(residen/pengguna)
Lapas
Narkotika
dan
Panti
khususnya
bahwasanya
tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
terpadu. Kondisi ini menjadi tantangan
Tentunya Lapas Umum menjadi harapan
bagi
sementara
membina menjadi narapidana yang sudah
permasalahan
pembinaan
harus
dalam
petugas
sistem
narapidana
14
Rehabilitasi Narkotika belum menyeluruh
dari
satu
Pasal
pemasyarakatan
yang
untuk
5
pulih dari tindakan kriminal untuk tidak
belum terealisasi dan panti rehabilitasi
kembali lagi melakukan perbuatan yang
sebagai upaya penanganan bagi pengguna
salah.
dan pencandu narkotika juga masih dalam Berangkat dari konsep ideal yang
tahap wacana. Melihat kondisi tersebut
telah disampaikan di atas, peneliti melihat
sangat mengawatirkan setelah melihat pada
kondisi nyata di Provinsi Riau sebagai
kondisi
lokasi
peningkatan
dilakukannya
penelitian
ini
bahwa
Riau
dalam
mengalami
penyalahgunaan
khususnya Kota Pekanbaru, dimana tidak
narkotika baik itu dari kualitas maupun
tersedianya Lapas khusus narkotika untuk
kuantitas. Berikut kondisi penyalahgunaan
melakukan
narkotika di Provinsi Riau:
proses
pembinaan
terpadu
Tabel A: Jumlah Kasus Penyalahgunaan Narkoba Di Provinsi Riau Tahun 20062011 No Tahun Kasus Tersangka 2006 375 kasus 548 tersangka 1 2007 458 kasus 675 tersangka 2 2008 389 kasus 423 tersangka 3 2009 568 kasus 841 tersangka 4 2010 523 kasus 728 tersangka 5 2011 592 kasus 840 tersangka 6 2012 607 kasus 812 tersangka 7 Sumber: BNP Riau Melihat data yang di miliki oleh
840 tersangka dan 2012 dengan 607 kasus
BNP (Badan Narkotika Provinsi) Riau di
dan 812 tersangka. Melengkapi data diatas,
atas, terlihat bahwa penyalahgunaan dan
pernyataan dari Kepala BNP Provinsi Riau
peredaran narkotika adalah masalah serius.
Bambang
Terjadi
mengatakan:
peningkatan
setiap
tahunnya,
dimana pada tahun 2006 terdapat 375 kasus dengan tersangka 548 orang, ditahun berikutnya 2007 terdapat 458 kasus dengan 675 tersangka, 2008 terdapat 389 kasus dan
423
tersangka,
2009
kasus
penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Riau dengan 841 tersangka yang telah terjaring, pada tahun berikutnya 2010 terlihat 523 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 728 orang, pada tahun 2011 jumlah kasus mencapai 590 dan terlibat
Setiawan
di
Pekanbaru
“Di bandingkan dengan angka pengguna narkoba secara nasional yang mencapai lebih dari empat juta jiwa, Riau dikategorikan sebagai salah satu provinsi dengan jumlah konsumen narkoba terbesar. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat terdapat 110.000 pecandu atau penyalahguna narkotika dan obat-obatan terlarang yang berada di berbagai wilayah kabupaten dan kota di
6
Riau. Jumlah ini jauh meningkat bila dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, karena angka penyalahgunaan narkoba (saat itu) masih kurang dari 100.000 jiwa (Senin 2/9/2013: MetrotvNews).
Perkembangan
penyalahgunaan
narkotika yang terjadi di Riau khususnya Pekanbaru,
berkontribusi
terhadap
meningkatnya jumlah narapidana kasus narkotika di Lapas Kelas IIA Pekanbaru, Berikut data penghuni Lapas Kelas IIA Pekanbaru:
Tabel A: Data Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru (per tgl 11-Maret-2013) No Jenis Kejahatan Narapidana Tahanan 1 Pembunuhan 29 Orang 6 Orang 2 Pencurian 164 Orang 108 Orang 3 Perampokan 21 Orang 9 Orang 4 Penipuan 18 Orang 7 Orang 5 Narkotika 444 Orang 23 Orang 6 Korupsi 23 Orang 31 Orang 7 Kepabeanan 0 Orang 0 Orang 8 KUHP/Pidana 2 Orang 1 Orang 9 Psikotropika 8 Orang 0 Orang 10 Teroris 0 Orang 0 Orang 11 Perlidungan Anak 133 Orang 16 Orang 12 Kehutanan 1 Orang 5 Orang 13 Hak Cipta 0 Orang 0 Orang 14 Kekerasan dalam Rumah Tangga 7 Orang 1 Orang 15 Senjata Tajam 0 Orang 4 Orang 16 Lain-lain 261 Orang 270 Orang Jumlah 1592 Sumber: Lapas Kelas IIA Pekanbaru (2013)
lihat
Pada tabel yang diatas dapat kita
kemungkinan diulanginya tindak pidana
bahwa
oleh
penyalahguna
narkotika
narapidana,
serta
merupakan
mencapai 444 orang untuk narapidana dan
penerapan dari nilai-nilai yang terkandung
23 orang tahanan yang sedang menjalani
dalam
proses sidang pengadilan, sedangkan untuk
memprihatinkan
adalah
kasus penyalahguna psikotropika sebanyak
peredaran
gelap
narkoba
8 orang narapidana. Sesuai dengan konsep
Lembaga
Pemasyarakatan,
sistem
seolah-olah
pemasyarakatan
bertujuan
Pancasila.
Fakta
Lembaga
yang
sangat
maraknya di
dalam sehingga
Pemasyarakatan
menjadikan narapidana sebagai warga
telah berfungsi sebagai lembaga tempat
negara yang baik dan bertanggung jawab
memasyarakatkan
agar dapat kembali kemasyarakat dan
penyalahgunaan narkoba (Sianipar: 2008).
melindungi
masyarakat
terhadap
pengedaran
dan
7
Pekanbaru
menjadi
perhatian
Dan (2) Bagaimana narapidana narkotika
peneliti, dimana terjadi peningkatan yang
menyikapi perlakuan yang diberikan oleh
luar biasa pada penyalahgunaan narkotika
Lembaga
setiap tahunnya dapat dilihat dari data yang
Pekanbaru?
Pemasyarakatan
Kelas
IIA
diperoleh peneliti dari Badan Narkotika Provinsi Riau dan berkontribusi terhadap jumlah
penghuni
Lapas
Kelas
Kerangka Pemikiran
IIA
Kerangka pemikiran atau kerangka
Pekanbaru terutama pada kasus kejahatan
teoritis
narkotika. Dalam menangani banyaknya
menjelaskan gejala atau hubungan antar
narapidana yang menghuni Lapas tersebut,
gejala yang menjadi perhatian, atau suatu
apalagi bila dikumpulkan bersama dengan
kumpulan teori dan model literatur yang
narapidana kasus lainnya, tentu akan
menjelaskan hubungan dalam masalah
menjadi masalah bagi Lapas Kelas IIA
tertentu (Silalahi, 2006;84). Kerangka
Pekanbaru
teoritis disusun melalui telaah literatur
didalam
pengayoman
menjalankan
melalui
pendidikan,
merupakan
merupakan
logical
upaya
untuk
construct
yang
rehabilitasi dan integrasi sesuai dengan
digunakan untuk menjelaskan masalah
asas pemasyarakatan. Sebab Lapas Kelas
yang telah dirumuskan dengan demikian
IIA Pekanbaru masih menjadi upaya akhir
suatu fenomena sosial dapat dijelaskan
dalam
(Silalahi, 2006;86).
penanggulangan
terhadap
penyalahguna narkotika, hal ini karena
Menurut
Donald
Clemmer
belum tersedianya panti rehabilitasi khusus
(1970:479) yang dimaksud prisonization
bagi penyalahguna narkotika di Pekanbaru.
adalah
Jika Lapas gagal dalam membina para penyalahguna narkotika yang berada di lapas tersebut dalam upaya merehabilitasi mereka,
maka
kemungkinan melakukan
akan
untuk kesalahan
sangat mereka yang
besar kembali sama.
Berdasarkan uraian diatas, mengerucut beberapa
pertanyaan
yang
kerangka
pemikiran
peneliti
“ The term of prisonization to indicate The taking on in greater orless degree of the folk ways, mores, customs, and the culture of the penintentiary”
menjadi untuk
menyusun ini: (1) Bagaimana perlakuan terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru?
Selanjutnya
Clemmer
mengemukakan ciri-ciri prisonisasi sebagai berikut: 1. Special Vocabulary, adanya sejumlah kata
atau
digunakan
istilah dalam
khusus
yang
berkomunikasi,
8
lahirnya istilah khusus ini disebabkan
pemidanaan adalah adanya prisonization
adanya
process
proses
belajar
dalam
dari
sesama
Pemasyarakatan); yaitu cara hidup, moral,
ataupun
kebiasaan, dan kultur umum yang dapat
mengkombinasikan beberapa kata
diserap oleh seseorang narapidana dalam
agar tidak diketahui orang luar.
jalinan interaksi sosial. Adanya perubahan
pertukaran
kata
narapidana
2. Social
Stratification,
dalam
penjara
(Lembaga
adanya
visi mengenai pidana penjara dari konsep
perbedaan latar belakang kehidupan
yang tradisional kearah yang lebih bersifat
narapidana dan jenis kejahatan yang
manusiawi, tidak memberikan pengaruh
dilakukan mengakibatkan munculnya
yang berarti terhadap misi resosialisasi dan
stratifikasi yang dapat dibedakan
rehabilitasi, bahkan sebaliknya Clemmer
menjadi kelompok elit, kelompok
mengistilahkan penjara sebagai sekolah
menengah, dan kelompok narapidana
kejahatan (prison as schools crime), atau
yang terbelakang.
dengan meminjam istilah Ramsey Clark,
3. Primary Group, adanya kelompok
bahwa penjara dapat dianggap sebagai
utama yang anggotanya terdiri dari
pabrik kejahatan (prison as factories of
beberapa
crime).
orang
narapidana
saja
terutama bagi narapidana yang lebih mengutamakan tindak kriminal. 4. Leadership,
adanya
Apa yang dikemukakan tersebut, bahwa dengan adanya berbagai subculture
seorang
pada akhirnya akan menimbulkan berbagai
pemimpin dalam kelompok utama
gesekan dalam kehidupan narapidana,
yang berfungsi sebagai mediator
sehingga akan berlaku hukum rimba, siapa
dalam
yang
berhubungan
dengan
kelompok lainnya yang lebih besar. Berbagai pelaksanaan
kendala proses
dalam
pemasyarakatan
kuat
dialah
yang
menang
(Weda,1996:121). Sykes dan Messinger (1962) mengemukakan bahwa munculnya kebudayaan
narapidana
suatu
seringkali menjadi penghambat utama. Hal
respon
tersebut, terutama muncul dari unsur-unsur
penyesuaian diri yang disebabkan oleh
pelaku proses pemasyarakatan, seperti
hukum
unsur
bergerak)
narapidana,
unsur
petugas
terhadap
sebagai
penjara itu
problem-problem
(hilang sendiri,
dengan
semua
pemasyarakatan, dan unsur masyarakat.
kefrustasian
Senada dalam hal ini, seperti dikemukakan
(deprivasi).
oleh beberapa ahli, antara lain, Donald
mengungkapkan kesakitan kesakitan akibat
Clemer
pidana penjara (social captives), yaitu :
(1970),
menyoroti
dampak
dan
kemerdekaan
kerugian-kerugiannya
Lebih
lanjut
Sykes
9
1) Kehilangan kepribadian (Loos of
terulang kembalinya suatu perbuatan bagi terjadinya pelanggaran hukum atau pidana.
personality); 2) Kehilangan rasa aman (Loos of
Dalam hal perlakuan atau pembinaan terhadap para pelanggar hukum di dunia
security); 3) Kehilangan
kemerdekaan
bisa
individual (Loos of liberty); 4) Kehilangan
terdapat berbagai macam pendekatan yang
kebebasan
berkomunikasi (Loos of personal communication); 5) Kehilangan pelayanan (Loos of good and service); 6) Kehilangan hubungan heterosexual (Loos of heterosexual); 7) Kehilangan harga diri (Loos of prestige); dan 8) Kehilangan rasa percaya diri (Loos of belief and creativity);
Di sisi lain, semakin jauh seorang narapidana mengidentifikasikan dirinya ke dalam sub budaya kepenjaraan, maka akan semakin survife baginya untuk tetap dapat bertahan dalam kesakitan-kasakitan akibat pidana penjara (hilang kemerdekaan); dan pada akhirnya efektifitas dari penjatuhan pidana sebagai upaya penjeraanpun relatif tidak akan terwujud. Dengan survife-nya narapidana didalam kehidupan di dalam
digunakan,
disampaikan
oleh
seperti Siegel
halnya
yang
(2000:600)
berikut ini: “There are many approaches to tratment. Some, based on a medical mocel, rely heavily on counseling and clinical therapy. Others attempt to prpare inmates for reintegration into the community; they rely on work release, vocational training, and educational opportunities. Terjemahan bebas: “Terdapat banyak pendekatan dalam pembinaan. Berdasarkan pada model medis beberapa pendekatan itu sangat mengandalkan pada konseling dan terapi klinis. Pendekatan lain berupaya mempersiapkan para narapidana untuk reintegrasi ke dalam masyarakat; pendekatanpendekatan lain ini mengandalkan pada pemberian pekerjaan, pelatihan ketrampilan, dan peluang pendidikan”.
Lembaga Pemasyarakatan, maka dapat diasumsikan
bahwa
setelah
selesai
menjalani masa pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, perubahan
relatif
sikap/perilaku
tidak yang
ada secara
siginifikan berperan dalam pencegahan
Selain
itu
E.
Gofman
(1961)
berpendapat Lapas merupakan salah satu institusi total, Istilah institusi total (total institution) diperkenalkan Erving Goffman dalam karyanya yang berjudul Asylums:
10
Essays on the Social Institution of Mental
Tahapan-tahapan Perlakuan Terhadap
Patients and Other Inmates. Buku ini
Narapidana Narkotika Menurut Harry
terdiri dari serangkaian makalah tentang
Elmer Barnes dan Nengley K. Teeters
orang-orang yang ditempatkan di institusi
Dalam
mengembalikan
kembali
total. Maksudnya, adalah tempat-tempat
narapidana narkotika diperlukan upaya-
yang memisahkan penghuninya dari dunia
upaya yang lebih tepat dan efektif, dimana
luar dengan pintu terkunci dan tembok
harapan yang ingin di capai adalah pertama
tinggi. Termasuk institusi total adalah
memulihkan kembali rasa harga diri,
rumah sakit jiwa, penjara, sekolah asrama,
percaya diri, kesadaran serta tanggung
dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut
jawab terhadap masa depan diri, keluarga
juga diistilahkan asylum (suaka).
maupun
Menilik tujuan yang hendak dicapai maka
pemenuhan
hak
dasar
para
masyarakat
atau
lingkungan
sosialnya. Kedua memulihkan kembali kemampuan untuk dapat melaksanakan
narapidana menjadi suatu yang tidak dapat
fungsi
dihindarkan. Hal tersebut sangat penting
masyarakat. Dan ketiga adalah selain
untuk
dalam
penyembuhan
secara
fisik
juga
melaksanakan sistem pemasyarakatan yang
penyembuhan
keadaan
sosial
secara
berdasarkan
asas-asas
menyeluruh. Harry Elmer Barnes dan
Asas-asas
Nengley K. Teeters (1996:465-481) dalam
pemasyarakatan yang dimaksud adalah
bukunya New Horizons in Criminology
(Dirdjosisworo, Soedjono, 1984):
menjelaskan beberapa tahap dalam proses
menjadi
perhatian
pada
pemasyarakatan.
1. Pengayoman. 2. Persamaan
sosialnya
memberikan perlakuan
dan
pelayanan.
secara
tahapan
wajar
proses
di
terhadap
memperlakukan narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan, berikut uraian
3. Pendidikan dan Pembimbingan. 4. Penghormatan
harkat
dari prosesnya: dan
martabat manusia.
a. Admission of the Prisoner b. Historical Types Of Classification
5. Kehilangan
kemerdekaan
c. A Centralized Authority Necessary
merupakan
satu-satunya
d. The
penderitaan. 6. Terjaminnya
Classification
or
dignotis
Clinic hak
untuk
tetap
e. The Clinic Personnel
berhubungan dengan keluarga dan
f. The Treatment Staff and Immunity
orangorang tertentu.
g. Summary Apraisal of Classification Procedure
11
h. Psychotherapy
and
Group
Konsep
individualisasi
perlakuan
ini
Counseling in the Re-Socialization
sejatinya bukan satu hal yang baru. Dalam
Process
UU
No.
12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan telah mengatur tentang hal ini. Pada pasal 12 ayat (1) huruf d
Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu
disebutkan
proses yang harus dilalui dalam suatu
pembinaan,
penelitian agar hasil yang diinginkan dapat
melakukan
tercapai. Dalam metode penelitian, cara
narapidana
yang
berdasarkan
akan
digunakan
dalam
bahwa salah
dalam satu
rangka
dasar
penggolongan di
dalam
jenis
dalam terhadap
lapas
kejahatan.
adalah Adanya
mengumpulkan data sangat penting karena
penggolongan atas dasar jenis kejahatan ini
akan mempengaruhi hasil penelitian. Jika
sebenarnya mengandung makna bahwa
cara yang digunakan tidak sesuai atau
jenis kejahatan (tindak pidana) yang
kurang tepat maka hasil penelitian bias saja
dilakukan
berbeda dari apa yang diharapkan.
berpengaruh
Dalam
melakukan
penelitian
peneliti menggunakan metode deskriptif
oleh
(pembinaan)
pada
narapidana pola
yang seharusnya
akan
perlakuan mereka
jalani selama berada di dalam penjara.
dengan pendekatan kualitatif, sumber data
Maksud dari perlakuan Lembaga
utama berasal dari informan narapidana
Pemayarakatan Kelas IIA Pekanbaru yang
narkotika yang sedang menjalani masa
sama ini adalah tidak terdapat perlakuan
pidana di Lapas Kelas IIA Pekanbaru,
yang berbeda atau khusus dan kegiatan
untuk mengumpulkan data menggunakan
yang membedakan antara narapidana kasus
teknik
dan
narkotika dengan narapidana kasus-kasus
wawancara mendalam. Metode penelitian
kejahatan lainnya, seperti narapidana kasus
yang
narkotika berada pada sel yang sama
observasi,
digunakan
studi
pustaka,
dalam
penelitian
mencakup beberapa hal yaitu: pendekatan
dengan
kasus
narapidana
kasus
penelitian, teknik pengumpulan data, dan
perampokan, pembunuhan dan lain-lain.
teknik analisis data.
Dan dari data yang diperoleh oleh peneliti setiap kegiatan-kegiatan yang disiapkan
Penggabungan
Blok
dan
Ruangan
Dengan Kasus Kejahatan yang Lain Didalam
UU
telah
oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru selalu sama dengan narapidana
diatur
kasus kejahatan yang lain, informasi ini
bagaimana perlakuan terhadap narapidana,
diperoleh dari hasil wawancara dengan
disebut sebagai individualisasi perlakuan.
12
narapidana Oki dan Leo. Seperti yang di
masih belum bisa di terapkan. Bagaimana
ungkap oleh Oki sebagai berikut:
dengan penggolongan pelaku tindak pidana
“…dan untuk blok berbaur aja bang dengan penghuni lainnya di dalam lapas ni, dan untuk blok pun gak ada pemisahan jenis kejahatannya, semua narapidana di gabung dengan Narapidana kasus kejahatan yang lain. Kecuali untuk kasus korupsi bang, orang tu beda bloknya, khusus korupsi dan orang tu agak bedalah bang servisnya. Sebenarnya blok narkoba ada bang, cuma orangnya banyak kali gak sesuai lagi dengan tempatnya jadi digabung juga sebagian dari narapidana narkotika dengan narapidana kasus lainnya…”
narkotika
Tidak jauh dari keterangan dari
dan
tersebut
pada
Bab
II,
menunjukkan bahwa setiap perbuatan dan kedudukan pelaku tindak pidana narkotika memiliki sanksi yang berbeda. Hal ini tidak terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan dari perbuatan pelaku tindak pidana narkotika tersebut. Dengan kondisi para narapidana narkotika bercampur dengan pelaku-pelaku kejahatan lainnya didalam satu sel ini berdasarkan
keterangan
narapidana
narkotika Oki dan Leo, situasi ini semakin memperburuk keadaan dalam pembinaan baik bagi narapidana kasus narkotika sendiri maupun bagi narapidana kasus kejahatan yang lain. Pemisahan kategori jenis
kejahatan
merupakan
hal
informan sebelumnnya yakni Oki, Leo
mendasar yang harus dilakukan oleh pihak
juga menyampaikan hal yang tidak juah
Lapas Kelas IIA Pekanbaru. Bagaimana
berbeda, yakni tidak adanya penanganan
yang telah diatur di dalam Peraturan
terhadap kami (narapidana narkotika) yang
Direktur Jenderal Pemasyarakatan No.
khusus. Dimana sejak masuk ke lapas
PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23
pakanbaru, Leo mengungkapkan tidak
April 2010 mengenai Prosedur Tetap
adanya pemisahan jenis kejahatan di setiap
Perlakuan
blok
atau
Baik
Resiko
Tinggi.
itu
kejahatan
Dijelaskan juga di dalam Handbook on
yang
termasuk
Classification, disiapkan pada tahun 1941
kedalam kejahatan extraordinary crime.
oleh American Correctional Association
Permasalahan
menyatakan:
konvensional
sel.
Narapidana
maupun
ini
disebabkan
daya
tampung dari bangunan Lapas Kelas IIA Pekanbaru sendiri sudah tidak mampu dan melebihi kapasitas, sehingga upaya untuk memisahkan golongan jenis kejahatan
Classification implies not only, a thorough analysis of the individual and the factors in his background and environment, which
13
influenced his personal development but also a procedure by which this information can be utilized as the basis for a well rounded. integrated program for him, looking toward his improvement as a social being...Classification includes not only diagnosis but also the machinery by which a program fitted to an offender's needs is developed, placed in operation and modified as conditions require. Dia klasifikasi
atas
Perlakuan
Jika melihat perbedaan dari setiap golongan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan
di
latar
narkotika tanpa izin dan pengawasan, atau dikenal sebagai pengguna, yang meliputi perbuatan pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri;
perkembangan
pribadinya
upaya hanya
dan
mempengaruhi tetapi
juga
prosedur dengan mana informasi ini dapat dimanfaatkan berpengetahuan
sebagai luas
dasar
untuk
program
terpadu
untuk dia, memandang ke arah perbaikan sebagai makhluk sosial. Klasifikasi tidak hanya mencakup diagnosis tetapi juga mesin dimana program dilengkapi dengan
dimodifikasi membutuhkan.
dalam
operasi
sebagai
narkotika
atau
perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan
dan kondisi
untuk
dijual,
menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam
jual
beli,
menukar,
menyerahkan/menerima
narkotika,
membawa,
menguasai,
mengirim,
mengangkut,
mengekspor,
mengimpor,
menyalurkan atau mentransit narkotika; serta sebagai produsen, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi,
menanam,
memelihara,
memiliki, menyimpan, atau menyediakan Narkotika. Narapidana
kebutuhan pelaku yang dikembangkan, ditempatkan
mengedarkan
dikenal sebagai pengedar, yang meliputi
belakang
yang
Republik
garis besar yaitu perbuatan menggunakan
tidak
lingkungan,
Undang-undang
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 secara
analisis mendalam tentang individu dan faktor-faktor
Narapidana
Narkotika yang Pencandu (Sakaw)
menjelaskan
menyiratkan
Terhadap
narkotika
yang
menggunakan narkotika apalagi jika sudah tergolong
pecandu,
perlu
dilakukan
pengobatan medis dan mental. Dalam upaya mengembalikan narapidana yang terlibat kasus narkotika perlu dilakukan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh pihak Lapas
sesuai
dengan
harapan
yang
diinginkan, perlu kita ingat kembali bahwa
14
membina
penyalahguna
narkotika
ini
Dalam
upaya
mengembalikan
bukanlah hal yang mudah bahwa baik itu
narapidana yang terlibat kasus narkotika
pengedar maupun pengguna murni perlu
perlu dilakukan tahapan-tahapan yang
penanganan khusus seperti apa yang telah
dilakukan
kita sepakati bahwa narkotika merupakan
bagaimana
tindakan kejahatan yang sangat berbahaya
narapidana narkotika yang mengalami
atau sering kita sebut sebagai extra-
reaksi seperti adiksi atau lebih sering kita
ordinary crime. Dalam hal perlakuan atau
sebut sakaw. Dan dalam situasi ini,
pembinaan terhadap para pelanggar hukum
diperolah informasi bahwa pihak Lapas
di
lebih
dunia
terdapat
berbagai
macam
oleh
pihak
Lapas
penanganan
melakukan
seperti terhadap
pembiaran
terhadap
pendekatan yang bisa digunakan, seperti
narapidana narkotika yang mengalami
halnya yang disampaikan oleh Siegel
sakaw, ini berdasarkan ketarangan Oki saat
(2000) berikut ini:
di wawancara:
“There are many approaches to tratment. Some, based on a medical mocel, rely heavily on counseling and clinical therapy. Others attempt to prpare inmates for reintegration into the community; they rely on work release, vocational training, and educational opportunities. Terjemahan bebas: “Terdapat banyak pendekatan dalam pembinaan. Berdasarkan pada model medis beberapa pendekatan itu sangat mengandalkan pada konseling dan terapi klinis. Pendekatan lain berupaya mempersiapkan para narapidana untuk reintegrasi ke dalam masyarakat; pendekatanpendekatan lain ini mengandalkan pada pemberian pekerjaan, pelatihan ketrampilan, dan peluang pendidikan”.
“…awal-awal masuk pernah sakaw juga aku bang, kena siram malammalam, udah besok paginya baru aku dikasih obat penenang bang sama orang lapas bang. Ini seharusnya tidak terjadi apabila Lapas memiliki kesiapan yang matang dalam bidang medis, namun ini masih jauh dari harapan sebab setelah peneliti juga melakukan observasi, Lapas
Kelas IIA
Pekanbaru tidak memilki kesiapan medis yang memadai seperti ruangan, alat-alat medis dan petugas spesialis kesehatanpun belum maksimal yang terlihat pada bab IV. Hal ini juga dibahas oleh Harry Elmer Barnes dan Nengley K. Teeters (1996:465481) tentang bagaimana dan tahapan proses
seharusnya
narapidana pemasyarkatan
narkotika seperti:
memperlakukan di The
lembaga Clinic
15
Personnel,
The
Immunity,
Treatment
Summary
Classification
Staff
and
kasus yang tepat perawatan terhadap
Apraisal
of
kelainan mental yang ini semua memiliki
and
dampak yang positif terhadap narapidana
Procedure
Psychotherapy, Group Counseling in the
narkotika.
Re-Socialization Process. Dengan harapan narapidana yang mengalami adiksi dapat di
Perlakuan
tanggulangi oleh pihak Lapas dengan cepat
Narapidana Tertentu
dan efektif.
Istimewa
Social
Terhadap
Stratification
yang
dikemukakan oleh Clamer sebagai ciri-ciri Kondisi ini juga dirasakan sama
dari penjara yakni adanya perbedaan latar
oleh narapidana Leo, bagaimana Leo
belakang kehidupan narapidana dan jenis
menjelaskan Lapas Kelas IIA Pekanbaru
kejahatan yang dilakukan mengakibatkan
masih terdapat banyak kekurangan, berikut
munculnya
kutipan wawancaranya:
dibedakan
menjadi
kelompok
menengah,
“...Kalaupun ada penyuluhan jarang kali bang, Cuma ada sekitar 2 kalilah selama aku disini. Kalau petugas lapas juga gak ada perlakuan yang beda, kalau ada yang sakit palingan di obati, tapi kalau ada yang sakau baru di bawa kerumah sakit kadang-kadang dibiarkan aja bang…”
stratifikasi
yang
dapat
kelompok dan
elit,
kelompok
narapidana yang terbelakang; ini terlihat di Lapas Kelas perlakuan
IIA Pekanbaru, dimana
yang
berbeda
terhadap
narapidana yang memiliki kemampuan secara
financial
bisa
mendapatkan
kesempatan-kesempatan yang melanggar hukum, dan ini terjadi kesepakatan antara narapidana dan petugas Lapas.
Diharapkan Lapas dan petugas mampu melakukan tindakan penanganan bagi para narapidana narkotika yang sakit atau sakaw yang memerlukan pengobatan dan
penanganan
spesialis
harus
dipindahkan ke lembaga-lembaga khusus atau ke rumah sakit sipil yang semestinya ada koordinasi. Jika mampu pelayananpelayanan medis yang diharapkan ini mencakup
pelayanan
psikiatri
untuk
diagnosis-diagnosis, dan dalam kasus-
Berdasarkan sejumlah keterangan diatas, berikut peneliti tampilkan tabel bagaimana bentuk perlakuan oleh petugas yang diterima oleh narapidana narkotika di Lapas Kelas IIA Pekanbaru dan seperti apa respon
narapidana
narkotika
tersebut
terhadap perlakuan oleh petugas Lapas yang
mereka
peroleh
berdasarkan
keterangan oleh tiga orang narapidana narkotika yang menjadi informan pada penelitian ini, berikut penjelasannya:
16
Tabel C: Bentuk-bentuk Perlakuan Petugas terhadap Narapidana Narkotika di Lapas Kelas IIA Pekanbaru Narapidana Bagaimana Perlakuan Prosedur Tetap Perlakuan No Narkotika Petugas Narapidana Resiko Tinggi Oki (Pengedar) 1. Berada satu satu blok 1. Penerimaan, Penempatan, 1 dengan jenis kejahatan lain dan Admisi Orientasi 2. Pengabaian saat kondisi 2. TPP, Wali sakaw 3. Tahap Pembinaan 3. Kesepakatan untuk tamping 4. Surat Menyurat, Telepon & 4. Kesepakatan menggunakan Komunikasi, dan Kunjungan telfon genggam 5. Perawatan Kesehatan 6. Klasifikasi Pengamanan Leo (Pengedar) 1. Berada satu satu blok 2 dengan jenis kejahatan lain 7. Penggeledahan 8. Kesatuan Pengamanan, 2. Pengabaian saat kondisi Pemindahan, dan sakaw Pengawalan 3. Kesepakatan untuk tamping 9. Penanggulangan Gangguan 4. Kesepakatan menggunakan dan Ketertiban telfon genggam 10. Alat Bantu Pengamanan TJ 1. Perlakuan Ekslusif 3 11. Tindakan Disiplin, (Pengedar/bandar) 2. Penyelundupan Narkotika Penentuan Hukuman 3. Keluar masuk Lapas dengan Disiplin mudah 12. Pengawasan Eksternal 13. Penilaian Internal Sumber: Modifikasi Peneliti (2014) Setelah
melihat
bagaimana
perlakuan petugas terhadap narapidana
terhadap barang-barang narapidana seperti alat komunikasi.
narkotika di Lapas Kelas IIA Pekanbaru, sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengenai Prosedur Tetap
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data,
Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi. Ada
diperoleh
beberapa
beberapa prosedur yang tidak berjalan
penelitian
tentang
sesuai peraturan yakni penempatan dan
narapidana narkotika di Lapas Kelas IIA
pemisahan
tahapan
Pekanbaru berdasarkan studi terhadap tiga
pembinaan bagi narapidana narkotika,
orang narapidana kasus narkotika yang
perawatan
memiliki latar belakang penyalahgunaan
jenis
kejahatan,
kesehatan
bagi
narapidana
kesimpulan perlakuan
hasil
terhadap
narkotika yang menggunakan, pengamanan
narkotika yang berbeda, sebagai berikut:
dan
1. Perlakuan
pengawasan
terhadap
narapidana
terhadap
narapidana
narkotika yang dengan mudah melakukan
narkotika dengan kategori bandar dan
transaksi narkotika, dan penggeladahan
pengedar di perlakukan sama dengan narapidana kasus kejahatan lainnya
17
baik
didalam
perlakuan
penempatan
lainnya,
tetapi
dan juga
2. Terhadap terjadinya tindak pidana yang
dilakukan
oleh
narapidana
dilakukan berbeda pada perawatan
berupa peredaran narkotika di dalam
kesehatan dimana saat narapidana
Lapas,
kategori bandar dan pengedar tersebut
meningkatkan sistem keamanan dan
mengalami
mengkordinasikan
reaksi
sakau
atau
pihak
Lapas
harus
dengan
lebih
pihak
ketagihan di dalam Lapas Kelas IIA
kepolisian untuk menindak lanjuti
Pekanbaru yang merupakan Lapas
kasus tersebut.
umum.
3. Provinsi Riau segera membangun
2. Narapidana narkotika dengan kategori bandar
dan
adanya
pengedar
aturan
mengetahui
khusus
tentang
Panti melihat
Rehabilitasi kenyataan
Narkotika
jika
perkembangan
penyalahgunaan narkotika dan apa
perlakuan narapidana narkotika resiko
yang
tinggi meskipun tidak terlaksana di
Pemasyarakatan Kelas IIA Pekanbaru
Lapas
yang
umum
sehingga
Pekanbaru
karena
itu
Riau, perilaku
terlihat
kualahan
di
dalam
Lembaga
menangani
narapidana narkotika.
narapidana narkotika kategori bandar dan pengedar melakukan kesepakatan-
DAFTAR PUSTAKA
kesepakatan informal dengan petugas Lapas Kelas IIA Pekanbaru dalam mengatasi
pemenuhan
kebutuhan
mereka.
Saran 1. Lapas Kelas IIA Pekanbaru segara melakukan penambahan jumlah SDM yang memiliki kemampuan, keahlian ataupun
meningkatkan
kompetensi
petugas yang sudah ada terutama dalam posisi tenaga medis yang dibutuhkan
dalam
penanganan
terhadap narapidana narkotika serta sarana
dan
mendukung.
prasarana
yang
Buku: Atmasasmita, Romli. (1983). Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, Armico, Bandung. Barnes, Harry Elmer & Nengley K Teeners. (1996). New Horizons In Criminology. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Ltd. Clemmer, Donald. (1970). The Sociology of The Punishment & Correction. Edited by Norman Johnston, Jhon Wrlyandsons, New York : Inc NeyYork. Dirdjosisworo, Soedjono, 1984, Sejarah dan Azas-azas Penologi (pemasyarakatan), Armico, Bandung. Goffman, Erving. (1961). Asylums: EssaysontheSocial Institutionof
18
Mental Patients and Other Inmates. New York: Penguin Books. Harsono C.I. (1995). Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan. Mustofa, Muhammad. (2007). Metodologi Penelitian Kriminologi. FISIP UI Press, Cetakan Kedua. Poernomo, Bambang. (1986). Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta, Liberty. Priyatno, Dwidja. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama, Bandung. Siegel, Larry. J. (2000). Criminology. USA: Library Of Congress Cataloging-Publication Data. Simon, Josias. (2012). Budaya Penjara, CV.Karya Putra Darwati, Bandung. Simon dan Sunaryo. (2011) Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung: Lubuk Agung. Sykes, Gresham. (1962). The Sociology of Punishment & Correction. second Edition. Edited by Norman Johnston, Leonard Savitz, Marvin E. Wolfgang, New York, London, Sidney, Toronto : John Wiley and Sons.Inc, Weda, Leonard. (1958). Justice, Punisment, treatment, The Corectional Process, The Free Press. Weda, Made Darma. (1999). Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta.
Dokumen: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2003). Panduan Umum Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Jakarta. Sejarah Pemasyarakatan (dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan), Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Jakarta, 2004. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2004) 40 Tahun Pemasyarakatan-Mengukir Citra Profesionalisme, Cetakan Pertama. Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor: KP.10.13./3/1/ Tahun 1974, tanggal 08 Pebruari 1974 tentang Pemasyarakatan sebagai proses. Sahardjo. (2003), Pohon Beringin pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Universitas Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Keputusan Menteri Kehakiman No. M 02.PR.08.03 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02.PK.04.10 Tahun1990 tentang Pola Pembinaan Tanggal 10 April 1990.
19
Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, 2004, Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Jakarta. Pusat Pencegahan lakhar BNN, Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas/ Rutan (Jakarta, 2009).