PENERAPAN SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELARIKAN DIRI (STUDI DI LAPAS KLAS II.A GORONTALO)
FANDRI S. OHIHIYA Pembimbing I: JOHAN JASIN Pembimbing II: BAYU LESMANA TARUNA, Aturan mengenai sistem pemasyarakatan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan sebagai berikut: “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab” Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah Untuk megetahui penerapan sanksi terhadap narapidana yang melarikan diri. Untuk megetahui faktor apakah yang menghambat penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri. Pada penulisan skripsi ini digunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian yang berusaha mengidentifikasikan hukum dan melihat efektifitas hukum yang terdapat di dalam masyarakat, Pendekatan yuridis sosiologis dimaksudkan untuk mendapatkan telaah secara mendalam terhadap berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan masalah melarikan diri yang dilakukan oleh napi dan tahanan di LAPAS. Uraian diatas jelas bahwa peneliti menyimpulkan terhadap keberadaan penerapan sanksi bagi narapidanayang melarikan diri adalah sebagai berikut : Penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri adalah dengan tidak diperolehnya atau didapatkannya remisi ( pengurangan masa hukuman) serta akan dimasukan ke ruang isolasi serta karena telah melakukan pelanggaran dan konsekuensinya harus mendaptkan sanksi jika tidak di buat begitu maka mereka akan bertingkah sesuka hati dan Itu dilihat dari titik kesalahannya, jika kesalahannya besar maka sangsinya juga berat sehingganya jika dia mengulangi perbuatannya maka selama setahun ini tidak diberikan hak-hak. Faktor yang menghambat penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri antara lain : Aturan, Sarana dan Prasarana, Sakit, Masih adanya unsur balas dendam. Kata Kunci : Penerapan Sanksi, Narapidana
A. Pendahuluan Aturan mengenai sistem pemasyarakatan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan sebagai berikut: “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan
masyarakat
untuk
meningkatkan
kualitas
warga
binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.1 Sistem pemasyarakatan berazaskan Pancasila, sebagai falsafah Negara, sedangkan tujuannya disamping melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat
juga membina narapidana agar setelah selesai menjalani
pidananya dapat menjadi manusia yang baik dan berguna Hal tersebut semakin menarik mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan ancaman pidana bagi perbuatan tersebut. Penelitian mengenai hal ini dapat dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan, mengingat LAPAS adalah tempat dimana napi harus
1
Undang –Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
menjalani masa pidananya dan LAPAS sering dihadapkan pada permasalahan semacam ini. Sehubungan dengan itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai masalah tersebut dengan judul“Penerapan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melarikan Diri ” B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas, peneliti dapat merumuskan masalah diantaranya sebagai berikut: 1. Bagaimana Penerapan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melarikan Diri ? 2. Faktor apakah yang menghambat penerapan sanksi kepada narapidana yang melarikan diri ? C. Metode Penelitian Pada penulisan skripsi ini digunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian yang berusaha mengidentifikasikan hukum dan melihat efektifitas hukum yang terdapat di dalam masyarakat, Pendekatan yuridis sosiologis dimaksudkan untuk mendapatkan telaah secara mendalam terhadap berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan masalah melarikan diri yang dilakukan oleh napi dan tahanan di LAPAS. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di LAPAS Gorontalo Kelas II A, dengan alasan LAPAS Gororntalo Kelas II A merupakan salah satu LAPAS di Indonesia yang senantiasa dihadapkan pada masalah upaya melarikan diri yang dilakukan oleh napi dan tahanan, terlebih lagi, melalui penelitian awal yang
dilakukan penulis, diketahui bahwa tingkat hunian LAPAS Gorontalo Kelas II A tergolong tinggi bahkan melebihi daya tampung yang sesungguhnya.
2. Jenis dan Sumber Data Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, data-data tersebut meliputi: a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan. Sumber dari data primer ini adalah keterangan yang diperoleh secara langsung dari pihak-pihak yang bersangkutan, yang dalam hal ini adalah Pelaksana Harian Kepala Lembaga Pemasyarakatan (PLH KALAPAS) LAPAS Gorontalo Kelas II A dan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarkatan (KPLP) LAPAS Gorontalo Kelas II A. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data mengenai narapidana dan tahanan di LAPAS Gorontalo Kelas II A serta data mengenai pejabat struktural dan karyawan yang berada dalam struktur organisasi LAPAS Gorontalo Kelas II A 3. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti, dan mempunyai ciri atau karakteristik yang sama. Dalam hal ini yang menjadi populasi adalah seluruh pegawai LAPAS Gorontalo Kelas II A 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini menggunakan tekhnik purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan yang dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu yang dalam hal ini (PLH 1 orang dan KPLP LAPAS 1 orang, Narapidana 1 orang, Masyarakat dilingkungan sekitar lapas 1 orang Gorontalo Kelas II A) yang selanjutnya sampel pada penelitian ini dijadikan sebagai responden. D. Hasil dan Pembahasan 1). Penerapan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melarikan Diri. Keamanan dan tata tertib merupakan bagian dari pelaksanaan programprogram pembinaan. OIeh karena itu suasana aman dan tertib di Lembaga pemasyarakatan perlu diciptakan. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di Lembaga pemasyarakatan berdasarkan kepada Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu proses pembinaan, baru akan sempurna jika di dalam pelaksanaanya ditunjang oleh fasilitas-fasilitas pembinaan yang betul-betul memenuhi syarat. Penerapan hukuman disiplin terhadap narapidana yang rnelarikan diri, prosesnya adalah dimulai dari informasi dari petugas piket bahwa telah terjadi pelarian narapidana dan melaporkannya kepada Kepala Regu pengamanan
dan selanjutnya menyampaikan kepada Kepala KPLP, Kepala KpLp membuat laporan tertulis kepada Kalapas, kemudian Kalapas mengeluarkan SK kepada petugas KpLp melalui Kepala KPLP untuk mencari narapidana yang melarikan diri dengan bantuan instansi terkait, Jika tertangkap lalu diproses oleh Tim Pengamat pemasyarakatan dan seandainya ternyata terbukti bersalah, putusannya adalah menjalani tutupan sunyi selama maksimal l x 6 hari sesuai dengan maksud bunyi Pasal 47 undang-Undang Nomor 12 Tahun I995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Hal ini juga terkait dengan tanggungjawab kepala lapas atas keamanan dan ketertiban dilapas yang dipimpinnya dimana kepala lapas berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap warga binaan pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban dilingkungan lapas yang dipimpinnya2. Adapun jenis hukuman disiplin dapat berupa, antara lain : 1. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi narapidana atau anak pidana; dan/atau 2. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku3. Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disisplin atau menjatuhkan hukuman disiplin wajib :
2
Widja Priyatno. 2009. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. Hal. 118 3 Ibid. Hal 119
1. Memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang; dan 2. Mendasarkan tindakannnya pada peraturan tata tertib lapas4. Bagi narapidana atau anak pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam angka 1, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua) kali 6 (Enam) hari. Pada saat menjalankan tugasnya, petgas lapas diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan yang lain. Pegawai pemasyarakatan diperlengkapi dengan sarana dan prasarana lain sesuai dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada saat mulai berlakunya undang-undang pemasyarakatan semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pemasyarakatan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan perundangundangan yang baru berdasarkan undang-undang ini. 2). Faktor yang menghambat penerapan sanksi kepada narapidana yang melarikan diri. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak
4
Ibid. Hal.119
pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Sistem pemidanaan seharusnya berlandaskan pada filsafat pemidanaan yang sesuai dengan falsafah masyarakat dan bangsanya. Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Falsafah Pancasila sudah seharusnya sistem pemidanaan juga berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Meskipun demikian, penerapan sistem pemidanaan tersebut tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya berbagai masalah dalam pelaksanaan sanksi pemidanaan tersebut pada lembaga
pemasyarakatan.
Salah
satunya,
yakni
dengan
maraknya
pengrusakan, kerusuhan sampai pembakaran serta narapidana melarikan diri yang dilakukan oleh para narapidana terhadap lembaga pemasyarakatan, ini memberikan rasa was-was bagi aparat penegak hukum khususnya bagi petugas lembaga pemasyarakatan, hal ini dikarenakan bukan hanya permasalahan sepele seperti kerusakan listrik dan air. Kerusuhan ini juga menjadi puncak protes narapidana akibat dari perlakuan yang tidak adil dari petugas lapas. Pelaksanaan
penerapan
sanksi
pemidanaan
pada
lembaga
pemasyarakatan terutama bagi narapidana yang melarikan diri sangat ditentukan dengan jenis kasus yang terjadi. Dengan sifat ideal yang menghendaki adanya pembinaan pada narapidana, maka penerapan sanksi pemidanaan tersebut haruslah merujuk pada jenis kasus yang narapidana
tersebut lakukan, sehingga pembinaan tersebut akan berjalan secara efektif dan efisien. Berdasarkan Pasal 5 huruf a terhadap penjelasan atas undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang dimaksud dengan "pengayoman" adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. Adapun hasil wawancarapeneliti dengan salah seorang sipir dari lapas kelas II/a Gorontalo yakni bapak ismail Mustopa kepala seksi administrasi keamanan (Jum’at,15 Mei 2015), bahwa keberadaan lapas ini bisa memberikan suatu hal yang bisa tidak dimungkinkannya suatu perbuatan itu terjadi terutama bagi narapidana yang melarikan diri akan tetapi pada kenyataannya bahwa hal tersebut bisa dimungkinkan karena di sebabkan beberapa faktor yang menghambat penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri antara lain 5: 1. Aturan 2. Sarana dan Prasarana 3. Sakit 4. Masih adanya unsur balas dendam E. Kesimpulan 5
hasil wawancarapeneliti dengan salah seorang sipir dari lapas kelas II/a Gorontalo yakni bapak ismail Mustopa kepala seksi administrasi keamanan (Jum’at,15 Mei 2015)
Uraian diatas jelas bahwa peneliti menyimpulkan terhadap keberadaan penerapan sanksi bagi narapidanayang melarikan diri adalah sebagai berikut: 1.
penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri adalah dengan tidak diperolehnya atau didapatkannya remisi ( pengurangan masa hukuman) serta akan dimasukan ke ruang isolasi serta karena telah melakukan pelanggaran dan konsekuensinya harus mendaptkan sanksi jika tidak di buat begitu maka mereka akan bertingkah sesuka hati dan Itu dilihat dari titik kesalahannya, jika kesalahannya besar maka sangsinya juga berat sehingganya jika dia mengulangi perbuatannya maka selama setahun ini tidak diberikan hak-hak.
2.
Faktor yang menghambat penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri antara lain : Aturan, Sarana dan Prasarana, Sakit, Masih adanya unsur balas dendam.
F. Saran Sebagai saran peneliti terkait dengan keberadaan lapas yang menjadi tempat hunian bagi narapidana sekaligus terkait menyangkut penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri haruslah diterapkan aturan, antara lain : a.
Agar kiranya setiap penerapan sanksi bagi narapidana yang melarikan diri haruslah menjadi salah satu bagian yang memiliki peran penting terhadap adanya efekjera (Deteren Effect) dengan memperhatikan batasan-batasanya serta keberadaan dari peraturan hukum yang berlaku;
b.
Agar nantinya setiap hambatan-hambatan yang ada terutama bagi narapidana
yang
melarikan
diri
jangan
dijadikan
alat
untuk
memperlemah sistem pengawasan bagi narapidana yang melakukan perbuatan yang dianggap merugikan dirinya sendiri dan negara dengan menitik beratkan pada rasa perikemanusiaan dan perikeadlian. c.
Agar nantinya kedepan keberadaan lapas di Gorontalo harus sudah bertaraf sesuai dengan lapas yang ada di daerah-daerah berkembang karena hal ini di lihat karena pertumbuhan dan makin terlihat bertambahnya penduduk
Daftar Pustaka Bambang Poernomo, 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty Bambang Waluyo. 2008. Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta Barda Nawawi. 1996. Kebijakan legislatif dengan Pidana Penjara. Citra Adtya. Bandung. Bemmelen, van J.M. 1987.HukumPidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum. Bandung: Binacipta. Burhan Ashofa, 2001,Metode Penelitian Hukum,Cetakan ke-3, Rineka Cipta, Jakarta Djisman Samosir, 2012. Sekelumit tentang penologi dan pemasyarakatan, Nuansa Aulia. Bandung. Dwija Prayatno, 2007. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung Erdianto Effendi. 2014. Hukum Pidana Indonesia. Refika Aditama. Bandung. Edi Setiadi, Dian Andriasari, 2013. Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Hartono.2012. Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Ismu Gunadi, Joenadi Efendi, 2011, Cepat & Mudah memahami Hukum Pidana, Jakarta, Prestasi Pustaka. Mahrus Ali. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. Marpaung, Leden, 2005. Azas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Muladi dan BardaNawawi Arif, 1984.Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar komentarnya, Lengkap Pasal Demi Pasal,Bogor, Politeia. Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum,Cetakan ke-3, Ghalia Indonesia, Jakarta Sanusi Has, 1976. Pengantar penologi ( Ilmu Pengetahuan Tentang Pemasyarakatan Khusus Terpidana), Monora Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,cetakan ke-3, UI Press, Jakarta Soeroso, Sistem pemasyarakatan, Ceramah pada lokakarya evaluasi sistim pemasyarakatan. Tanggal 20-22 maret 1975. Diselenggarakan BPHN Bandung. Bina Cipta. Soedarto. 2007. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Team Prospect, 2008, Kumpulan Kitab Undang-undang Hukum KUH Perdata KUHP & KUHAP, WIPRESS, Jakarta,
Tolib Setiady, 2010.Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta. Bandung Teguh Prasetyo. 2010. Hukum Pidana. Rajawali Press. Jakarta. Wirjono Prodjodikoro. 2014. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. Widodo dan Wiwik Utami. 2014. Hukum Pidana dan Penologi “Rekonstruksi Model
Pembinaan
Berbasis
Kempetensi
Bagi
Terpidana
Cybercrime. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana,1996, Jakarta, Bumi Aksara Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun1985, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. Internet http://www.scribd.com/Kepmenkeh-Ri-Nomor.01.Pr.07.03Tahun1985Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan http://www.psychologymania.com/2012/10/pengertian-narapidana.html http://budimansudharma.com/peraturan-menteri-hukum-dan-ham-ri-no-6-tahun2013-tentang-tata-tertib-lapas-dan-rutan/dpuf http”//itetc.co.id//penyusunan-sop.php