RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF2α DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN DINI PADA DOMBA GARUT (Ovis aries)
BAGUS SETIAWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT BAGUS SETIAWAN. The Responses of Estrous to PGF2α Injection and The Study of Fetus Development through Ultrasonography used as a Diagnosis of Early Pregnancy in Garut Sheep (Ovis aries). Under direction of Amrozi. This study was done to observe estrous characteristic after PGF2α injection and to determine the earliest day of pregnancy diagnosis in garut sheep (n=3) using transrectal ultrasonography. The sheep were estrous induction was done by injection of PGF2α on luteal phase. The onset and duration of estrous were observed by using a teaser. Pregnancy was determined by isoechogenic or hyperechogenic visualization surrounded by hypoechogenic which is fetus implantation. Onset of estrous was 35±28.7 hours and duration of estrous was 33±13.6 hours. Early pregnancy was detected on days 22 (22.3±0.6 days). Development of fetus was followed by increasing the diameter and thickness of uterus. The Diameter of uterus increased from days 22 (1.8±0.7 cm) until days 42 (5.6±1.1 cm), and the thickness of uterus increased from days 22 (0.8±0.1 cm) until days 42 (2.1±0.5 cm). The placentom appeared on days 34 (0.8±0.2 cm) and developed significantly until days 56 (2.7±0.5 cm; P<0.05). It could be concluded that the earliest pregnancy diagnosis showed positive sign on days 12 and the fetus was observed on days 22. Keywords: garut sheep, pregnancy, transrectal ultrasonography. .
RINGKASAN BAGUS SETIAWAN. Respon Estrus setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi Perkembangan Fetus menggunakan Ultrasonografi sebagai Dugaan Kebuntingan Dini pada Domba Garut (Ovis aries). Dibimbing oleh AMROZI. Domba garut merupakan ternak yang sangat potensial sebagai bagian dari sektor usaha peternakan nasional. Domba ini mempunyai keunggulan dalam kemampuan adaptasi, memiliki bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya, dapat melahirkan anak lebih dari satu (prolific) dan tidak mengenal musim kawin. Domba garut jantan yang baik performansinya digunakan sebagai domba seni ketangkasan, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Manajemen peternakan domba di Indonesia masih dilakukan secara tradisional khususnya pada pemeriksaan kebuntingan. Hal ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi ditunggu-tunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak. Kehilangan waktu untuk menghasilkan anak menunjukan potensi reproduksi domba tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin. Diharapkan dengan induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut dengan ultrasonografi dapat memberikan informasi yang lebih baik dan akurat dalam penentuan status kebuntingan, sehingga mampu meningkatkan populasi domba di Indonesia. Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas. Kegiatan penelitian terdiri atas: 1.) induksi estrus menggunakan PGF2α guna mendapatkan domba betina dalam keadaan estrus pertama pada waktu yang relatif bersamaan; 2.) pengamatan estrus dan perkawinan; dan 3.) pengamatan kebuntingan dan pertumbuhan fetus dengan ultrasonografi. Induksi estrus dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost, Norbrook, UK) secara intramuskuler pada fase luteal. Pengamatan estrus dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik setiap hari setelah penyuntikan PGF2α. Pengamatan estrus dilakukan dengan mempelajari tingkah laku estrus domba. Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba dikawinkan secara alami. Pengamatan ultrasonografi dilakukan pada domba yang telah difiksasi dalam kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan aman. Feses yang dapat mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk mengurangi iritasi mukosa rektum dan memperoleh gambaran ultrasonografi yang baik probe dilumuri dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam mengarahkan probe untuk mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri teramati maka probe diarahkan untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus, uterus dan plasentom dengan mengamati gradasi warnanya. Pada monitor
ultrasonografi, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan warna abuabu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). Panjang fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor. Diameter dan ketebalan dinding uterus serta diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Panjang fetus, diameter uterus, tebal uterus dan diameter plasentom diuji dengan one sample t-test (SPSS 16.0). Hasil pengamatan induksi estrus menunjukkan bahwa onset estrus berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2α dan lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam. Pada hasil pengamatan ultrasonografi kebuntingan domba garut, vesikel embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20. Berdasarkan hasil pengamatan, awal ditemukannya fetus pada hari ke-22 kebuntingan (22,3±0,6 hari). Hasil pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan interval waktu yang telah ditentukan selama periode kebuntingan, menunjukkan pola yang cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus, dan tebal uterus. Diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi tidak untuk tebal uterus dan panjang fetus. Dalam pengamatan kebuntingan terjadi peningkatan panjang fetus dari hari ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42 (3,6±0,4 cm). Hal ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan fetus saat kebuntingan. Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya diameter uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm), dan tebal uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Plasentom teramati pada kebuntingan ke-34, plasentom menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat secara signifikan sampai akhirnya pertumbuhannya tidak signifikan (relatif konstan) setelah hari ke-56. Diameter plasentom hari ke-34 sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56 (2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm). Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus berkisar antara 35±28 jam, lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal fetus terdeteksi pada umur kebuntingan 22 hari dengan panjang 0,6±0,2 cm. Kata kunci: domba garut, kebuntingan, transrektal ultrasonografi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
RESPON ESTRUS SETELAH PENYUNTIKAN PGF2α DAN STUDI PERKEMBANGAN FETUS MENGGUNAKAN ULTRASONOGRAFI SEBAGAI DUGAAN KEBUNTINGAN DINI PADA DOMBA GARUT (Ovis aries)
BAGUS SETIAWAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi : Respon Estrus Setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi Perkembangan Fetus Menggunakan Ultrasonografi Sebagai Dugaan Kebuntingan Dini pada Domba Garut (Ovis aries) Nama
: Bagus Setiawan
NIM
: B04070051
Disetujui
drh. Amrozi, Ph.D Ketua
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2010 ini ialah reproduksi, dengan judul Respon Estrus setelah Penyuntikan PGF2α dan Studi Perkembangan Fetus menggunakan Ultrasonografi sebagai Dugaan Kebuntingan Dini pada Domba Garut (Ovis aries). Terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Amrozi, Ph.D selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011 Bagus Setiawan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 17 Agustus 1989 dari ayah Sunarwoto dan ibu Isnaeni Wahyuningsih. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gadingrejo dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota UKM Uni Konservasi Fauna IPB tahun 2007-2009, tahun 2008/2009 menjabat sebagai wakil ketua UKM Bola Voli IPB, tahun 2009/2010 menjabat sebagai ketua umum Himpunan Minat Profesi Ruminansia Fakultas Kedokteran Hewan, menjadi asisten mata kuliah Ektoparasit tahun ajaran 2010/2011 dan menjabat sebagai pengurus Sorcherry Riding Club tahun 2009/2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR …………………………………………………... xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………...
xii
PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1 Latar Belakang ………………………………………………....
1
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 4 Domba Garut …………………………………………………...
4
Induksi Estrus ………………………………………….............
6
Pemeriksaan Kebuntingan ……….…...………………………... 6 Ultrasonografi (USG) …………………………………………..
8
BAHAN DAN METODE ……………………………………………… 10 Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………..
10
Hewan Percobaan ……………………………………………....
10
Peralatan ………………………………………………………..
10
Induksi Estrus …………………………………………………..
10
Pengamatan Estrus dan Perkawinan …………………………… 10 Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus …………....
11
Analisis Data …………………………………………………… 12 HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………... 13 Pengamatan Estrus dan Perkawinan …………………………… 13 Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus …………....
14
KESIMPULAN ……………....……………………………………...…
19
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 20 LAMPIRAN ……………………………………………………………
23
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Domba garut jantan dan domba garut betina ………………………….. 4 2 Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram ……………………………………… 8 3 Metode pengamatan ultrasonografi ……………………………………. 12 4 Ultrasonografi korpus luteum ………………………………………….. 14 5 Hasil gambaran ultrasonografi kebuntingan domba …………………... 15 6 Rataan perkembangan dari panjang fetus, diameter uterus, dan tebal uterus pada domba garut selama kebuntingan …………………………. 16 7 Rataan perkembangan dari diameter plasentom pada domba garut selama kebuntingan ……………………………………………………. 17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tabel pengamatan gejala dan tingkah laku estrus …………………… 24 2 Hasil analisis statistik one sample t-test dengan SPSS …………….... 25
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba garut yang kita kenal sebenarnya adalah hasil persilangan antara domba lokal, domba merino dari Australia dan domba kaapstad dari Afrika (Setiadi 2010). Domba ini banyak dipelihara oleh masyarakat petani di pedesaan Jawa Barat. Domba ini banyak dipelihara karena mempunyai kemampuan adaptasi yang baik dalam berbagai kondisi lingkungan, sehingga domba ini cocok untuk dikembangkan di tempat lain, termasuk di luar Pulau Jawa. Domba ini merupakan domba yang memiliki tingkat produktifitas tinggi yaitu dapat melahirkan anak lebih dari satu (prolific) setiap siklus kelahirannya, apalagi domba ini juga tidak mengenal musim kawin sehingga dapat melakukan perkawinan sepanjang tahun. Keunggulan lain dari domba ini adalah memiliki bobot badan rata-rata di atas domba lokal Indonesia lainnya. Herman (1993) menyebutkan bahwa domba garut dengan pakan baik bobotnya dapat mencapai 60 sampai 80 kg pada domba jantan dan 30 sampai 40 kg pada domba betina. Selain itu, orientasi pasar domba garut juga mengarah ke pasar kesenangan atau hobi yang memunculkan sebuah arena seni ketangkasan domba garut. Mulyono (2003) menyatakan bahwa domba garut jantan yang baik performansinya digunakan sebagai domba seni ketangkasan. Adanya seni ketangkasan ini menjadi ajang kompetisi sekaligus untuk menyeleksi bibit domba unggulan, sehingga domba ini mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan domba lokal lain. Saat ini, situasi yang terjadi adalah semakin berkurangnya populasi domba garut. Penurunan populasi ini merupakan akibat dari laju pemotongan yang tidak terkendali, termasuk juga adanya pemotongan domba betina produktif (Setiadi 2010). Walaupun tidak ada data pasti mengenai jumlah domba garut, diperkirakan seorang petani hanya memiliki 10 ekor domba garut (Priatna 2011). Dinas Peternakan Jawa Barat juga mencatat populasi domba pada tahun 2008 sekitar 5.311.836 ekor dari 9.605.000 ekor total populasi domba di Indonesia (BPS 2009). Sutian (1990) menyebutkan bahwa aspek ekonomi dari usaha peternakan domba sangat dipengaruhi oleh kehilangan waktu untuk menghasilkan anak. Hal
ini sering terjadi di domba-domba betina yang diduga bunting tetapi ditunggutunggu sampai beberapa bulan kebuntingan tidak juga melahirkan anak. Melihat potensi yang ada pada domba ini, pengembangan peternakan domba tentunya dapat ditingkatkan. Peningkatan populasi domba ini diharapkan juga dapat mengurangi impor daging sapi dan bisa membuka peluang untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Setiadi (2010) menyebutkan bahwa beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Thailand ingin mengimpor domba ini karena banyak keunggulan yang dimiliki. Efisiensi waktu perkawinan dan informasi sedini mungkin mengenai status kebuntingan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi usaha pengelolaan dan pengembangbiakan domba garut. Penelitian reproduksi domba garut di Indonesia masih sangat terbatas khususnya mengenai pemeriksaan kebuntingan dini menggunakan ultrasonografi. Haibel (1990) yang diacu dalam Ali dan Heyder (2007) menyatakan bahwa estimasi dari diagnosa kebuntingan dan umur kebuntingan penting dalam mencapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Pada negara-negara maju penghasil ternak domba, penggunaan sarana diagnostik ultrasonografi sudah menjadi alternatif pilihan, mengingat keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan adanya diagnosa kebuntingan yang sedini mungkin (Sutian 1990). Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez dan Hafez 2000) atau kebuntingan yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Dengan mengetahui kebuntingan sedini mungkin, maka domba yang tidak bunting dapat segera dikawinkan kembali, sehingga potensi reproduksi domba dapat dimanfaatkan secara optimal. Manfaat lain yang bisa diperoleh diantaranya pemberian pakan terhadap domba bunting dapat tercukupi, sehingga tingkat kelangsungan hidup anaknya lebih terjamin serta pemotongan terhadap domba bunting dapat dihindari. Induksi estrus dan pemeriksaan kebuntingan dini menggunakan ultrasonografi diharapkan mampu meningkatkan populasi domba garut. Melihat permasalahan dan potensi yang ada pada pengembangan reproduksi domba garut, mengetahui manfaat penggunaan ultrasonografi dalam bidang reproduksi dan belum tersedianya informasi-informasi yang cukup mengenai
pemeriksaan kebuntingan dini domba garut maka dilakukan penelitian untuk mengamati respon estrus setelah penyuntikan PGF2α dan pemeriksaan kebuntingan dini setelah perkawinan alami pada domba garut (Ovis aries) dengan metode ultrasonografi.
TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Secara taksonomi domba termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries. Dari sisi genetik domba memiliki jumlah kromosom sebanyak 54 buah (Hafez dan Hafez 2000). Domba garut merupakan hasil persilangan antara domba lokal, domba merino (Australia) dan domba kaapstad (Afrika) (Setiadi 2010). Domba garut merupakan nama lain yang lebih populer dari domba priangan (Mulyono 2003).
a
b Gambar 1 Domba garut jantan (a) memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dan domba garut betina (b) tidak memiliki tanduk. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit cembung serta memeliki mata yang kecil.
Bentuk umum tubuh domba ini relatif besar dengan badan berbentuk persegi panjang. Ciri khas domba ini terletak pada pangkal ekornya yang terletak agak lebar dengan ujung runcing dan pendek. Dahi domba ini lebar dengan kepala pendek dan profil sedikit cembung, bermata kecil dan memiliki tanduk besar melingkar ke belakang dengan bentuk bervariasi. Tanduk besar merupakan ciri kegagahan domba jantan, sedangkan domba betina kalaupun memiliki tanduk biasanya berukuran kecil. Warna rambut domba ini bervariasi, mulai dari putih,
cokelat, hitam atau campuran ketiganya. Domba ini memiliki daun telinga yang pendek yang berbeda dibanding daun telinga jenis domba lokal lainnya. Kuping pendek ini dalam tatanan bahasa Sunda disebut ngedaun hiris. Walaupun ada domba garut yang berkuping panjang, sesuai standar sertifikasi nasional tidaklah boleh lebih dari 8 cm dan disebut kuping rumpung (Setiadi 2010). Secara umum, sistem beternak domba garut saat ini masih dilakukan secara tradisional terutama dalam manajemen reproduksinya. Peternak masih banyak kehilangkan waktu untuk menghasilkan anak. Hal pertama yang harus diperbaiki adalah ketepatan waktu perkawinan. Syarat agar terjadi kebuntingan pada domba betina yang dikawinkan adalah domba betina harus berada dalam kondisi estrus. Sebenarnya sudah ada beberapa metode yang diterapkan dalam menentukan waktu perkawinan yang dijelaskan oleh Setiadi (2010) seperti pengamatan siklus estrus, penggunaan pejantan pengusik dan perkawinan koloni, tetapi metode ini masih perlu di tingkatkan lagi efisiensinya. Estrus domba betina muncul pada pagi hari dan mencapai puncaknya antara siang sampai malam hari. Oleh karena itu metode pengamatan siklus estrus yang mengandalkan tampilan visual ini akan kurang berhasil apabila peternak kurang teliti atau lalai dalam melakukan pengamatan. Kemudian penggunaan metode pejantan pengusik mungkin jauh lebih mudah dilakukan dibandingkan metode pengamatan siklus estrus. Metode ini dilakukan dengan cara meliarkan sekelompok domba betina pada suatu lahan penggembalaan setiap pagi dan sore hari yang diikutkan juga domba jantan. Apabila terdapat domba betina yang sedang estrus, domba jantan akan mendekati dan mengawani domba betina secara alami. Meskipun begitu metode ini masih memiliki kelemahan mengingat puncak estrus domba betina berlangsung antara siang sampai malam hari. Metode terakhir yang sering digunakan adalah metode koloni. Metode ini dilakukan dengan memasukkan seekor domba jantan ke dalam sekelompok induk domba betina yang berjumlah 10 sampai 15 ekor, sehingga bila ada domba yang estrus bisa langsung dikawini oleh pejantan saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai terlewati 1 sampai 2 siklus estrus, sehingga masih ada waktu yang terbuang dan hasilnya belum tentu maksimal.
Dengan melihat permasalahan yang ada, dirasa perlu sebuah upaya pengaturan siklus estrus guna memperbaiki efisiensi dalam perkawinan yaitu dengan cara melakukan induksi estrus. Dengan induksi estrus dimungkinkan untuk memprediksi waktu munculnya estrus sesuai dengan yang kita kehendaki. Induksi Estrus Induksi estrus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi manajemen perkawinan, sehingga angka kebuntingan dapat ditingkatkan. Dasar fisiologis induksi estrus adalah hambatan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) dari adenohipofise yang menghambat pematangan folikel de graaf, atau penyingkiran korpus luteum (CL) secara mekanik manual atau secara fisiologis dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Preparat yang paling mutakhir dipakai dalam induksi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk Prostaglandin F2α (PGF2α) karena sifat luteolitiknya. PGF2α dikenal sebagai suatu vasokonstriktor dan pemberian PGF2α menyebabkan hambatan pengaliran darah secara drastis melalui CL beberapa spesies. Pengurangan pengaliran darah yang lama dapat menyebabkan lisisnya CL (Toliehere 1977). Plumb (1999) juga menjelaskan bahwa PGF2α merupakan agen luteolisis yang digunakan dalam menginduksi estrus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Wildeus (2000) yang menjelaskan bahwa PGF2α berfungsi dalam pengaturan siklus estrus dengan mengakhiri fase luteal melalui pelisisan CL. Penjelasan yang sama juga dinyatakan oleh DeJarnette (2004) bahwa diproduksinya PGF2α berfungsi dalam melisikan CL. Setelah domba berhasil dikawinkan, selanjutnya yang harus dilakukan adalah pemeriksaan kebuntingan sedini mungkin. Hal ini dilakukan untuk menentukan apakah domba betina yang sudah dikawinkan berhasil bunting atau tidak. Pemeriksaan Kebuntingan Kebuntingan dini adalah kebuntingan yang dimulai dari periode ovum sampai terbentuknya embrio atau fetus (Hafez & Hafez 2000) atau kebuntingan yang terjadi kurang dari 60 hari (Manan 1981). Masa kebuntingan domba normalnya berlangsung sekitar 150 hari, masa kebuntingan tersebut bervariasi bergantung ras dan individunya. Herediter memberi pengaruh penting terhadap masa kebuntingan (Hafez dan Hafez 2000). Toelihere (1977) juga menyatakan
bahwa masa kebuntingan ditentukan secara genetik walaupun dapat dipengaruhi juga oleh faktor maternal, foetal dan lingkungan. Pada saat awal kebuntingan domba, pertumbuhan folikel antral tertekan dan CL terlihat jelas di ovarium (Bartlewski 2000). Pada saat bunting CL tetap bertahan yang menghasilkan progesteron dalam memelihara kebuntingan. Hafez dan Hafez (2000) juga menyatakan bahwa pada trimester pertama pemeliharaan kebuntingan bergantung pada CL, yang selanjutnya dilanjutkan oleh plasenta. Selama permulaan masa kebuntingan, plasenta juga bertambah besar melalui proliferasi aktif dari sel-sel trofoblas. Kemudian pada pertengahan kebuntingan plasenta mencapai ukuran yang hampir maksimal, yang bertepatan dengan pertumbuhan cepat fetus dan sesudah itu akan menetap relatif konstan (Toelihere 1977). Sampai saat ini metode pemeriksaan kebuntingan yang digunakan peternak di Indonesia hanya sebatas mengamati adanya estrus ulang dan melakukan palpasi per kutan. Metode ini terdapat kelemahan pada ketepatan dan kepekaan dalam mendeteksi kebuntingan dini termasuk dalam menentukan jumlah fetus yang dikandung. Beberapa metode lain yang sudah digunakan diantaranya adalah melakukan pemeriksaan imunologi, palpasi uterus melalui laparotomi dan teknik radiografi (x-ray). Semua ini memang telah berhasil digunakan dan memberi keuntungan, tetapi di dalam penggunaannya masih sangat terbatas. Metode pemeriksaan kebuntingan dini yang paling modern digunakan saat ini adalah ultrasonografi (USG). Penggunaan USG sudah terbukti keakuratannya dan kepraktisannya dalam mendeteksi kebuntingan dini. Sutian (1990) menyebutkan beberapa keunggulan dari USG antara lain adalah alat ini bersifat non-invasif atau tidak menimbulkan trauma fisik pada organ tubuh yang diperiksa, tidak memberikan efek samping terhadap pasien ataupun pemeriksa, dapat digunakan untuk memeriksa pada semua umur dan dalam kondisi apapun, tidak memerlukan ruangan dan persiapan khusus sehingga cocok untuk digunakan di lapangan serta mudah, cepat dan tepat dalam penggunaannya. Manfaat langsung yang dapat diperoleh peternak dari pemeriksaan kebuntingan dini antara lain: 1.) tingkat kesuburan ternak dapat dimonitor; 2.) pemotongan terhadap ternak produktif atau bunting dapat dihindari; 3.) pemberian
pakan terhadap ternak yang bunting dapat tercukupi dan 4.) bagi domba yang tidak produktif dapat segera dikawinkan kembali. Ultrasonografi (USG) Instrumen ultrasonografi (USG) modern merupakan sebuah peralatan yang sangat canggih. USG memakai prinsip echo, sebuah gambar dapat dihasilkan dan ditampilkan dari pengamatan yang berhubungan dengan impedensi akustik dari jaringan sorotan USG dan kedalaman dari jaringan. Alat ini bekerja dengan efek piezoelektrik, sebuah kristal di dalam transduser (probe) yang memberikan bentuk atau gambar ketika diberikan voltase elektrik yang tinggi pada USG (Goddard 1995). Transduser yang sering digunakan memiliki frekuensi 3,5 sampai 7,5 MHz dan untuk pemeriksaan transrektal pada domba biasanya menggunakan frekuensi 5,0 sampai 7,5 MHz (Hafez dan Hafez 2000). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Doize et al. (1997) dan Martinez et al. (1998) juga menggunakan transduser dengan frekuensi 5,0 MHz. Sedangkan penelitian Schrick & Inskeep (1993) dan Romano & Christians (2008) menggunakan transduser yng berfrekuensi lebih tinggi yaitu 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi pada transduser biasanya berdasarkan kedalaman jaringan dan metode yang digunakan. Teknik gambaran USG yang sekarang digunakan adalah real time B-mode, yang biasa dipakai untuk ternak ruminansia kecil (Fowler & Wilkins 1980, Tainturier et al. 1983 a dan b, diacu dalam Kahn 2004). Teknik ini memberikan gambaran dua dimensi dari potongan melintang sebuah jaringan. Teknik ini menampilkan gambaran berupa warna putih, abu-abu dan hitam serta memunculkan adanya pergerakan dari beberapa jaringan (Hafez dan Hafez 2000).
Gambar 2 Tiga jenis echo yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram (DesCoteaux et al. 2006), sistem Bmode menghasilkan tampilan warna hitam dan putih (grey scale).
Dalam mendeskripsikan gambaran USG terdapat tiga istilah yaitu hyperechogenic, isoechogenic dan hypoechogenic. Dennis et al. (2010)
menjelaskan bahwa hyperechogenic menghasilkan echo yang kuat dari jaringan yang memunculkan gambaran yang terang (putih) seperti pada tulang dan mineral, isoechogenic menghasilkan sedikit echo dari jaringan yang memunculkan gambaran abu-abu (grey) seperti jaringan fibrosa atau lemak dan hypoechogenic menghasilkan sangat sedikit echo atau tidak ada echo sama sekali yang memunculkan gambaran gelap (hitam) seperti pada cairan. Gambaran atau warna yang ditampilkan pada hasil ultrasonografi diukur berdasarkan jumlah gelombang suara yang dapat diterima kembali oleh transduser, semakin banyak gelombang suara yang diterima maka semakin terang pula (putih) gambaran yang dimunculkan pada monitor USG, sebagai contoh jaringan yang keras seperti tulang akan banyak memantulkan gelombang suara, sehingga gelombang suara yang diterima kembali oleh transduser akan banyak pula.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011 di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB). Hewan Percobaan Penelitian menggunakan 3 ekor domba garut betina, umur produktif dengan siklus estrus yang normal. Domba-domba dipelihara di dalam kandang yang terpisah dengan domba jantan. Pakan rumput diberikan 3 kali sehari dan konsentrat diberikan pagi dan sore serta air minum diberikan secara tidak terbatas. Peralatan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah ultrasonografi (Aloka SSD-500 real time, B-Mode, Japan) yang dilengkapi dengan linier probe 7,5 MHz (Aloka, UST-588U-5, Japan). Probe dimodifikasi dengan menambahkan tangkai sehingga dapat digunakan secara transrektal dan memungkinkan digerakkan dari luar. Hasil pengamatan berupa foto dicetak dengan printer termal (Aloka, Tokyo, Japan). Induksi Estrus Induksi estrus dilakukan dengan penyuntikan 5 mg PGF2α (Noroprost, Norbrook, UK) secara intramuskuler pada fase luteal. Fase luteal ditentukan melalui pengamatan USG pada ovarium domba yang ditandai dengan adanya CL. Pengamatan Estrus dan Perkawinan Pengamatan estrus dilakukan dengan menggunakan pejantan pengusik setiap hari setelah penyuntikan PGF2α. Pengamatan estrus dilakukan dengan mempelajari tingkah laku estrus domba. Hasil pengamatan dikuantitaskan dalam skor, yaitu: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan; skor 2 domba menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan pejantan; dan skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali (Toliehere 1977). Onset estrus dimulai dari skor 2 sampai 3 dan lamanya estrus dimulai dari onset estrus sampai hilangnya gejala-gejala estrus yang ditunjukkan dengan skor 1. Pengamatan pertama dilakukan 14 jam setelah penyuntikan PGF2α.
Estrus ditandai dengan karakteristik induk domba diam dan siap dinaiki ketika pejantan pengusik didekatkan. Jika tanda tersebut telah nyata, induk domba dikawinkan secara alami. Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus Pengamatan USG dilakukan pada domba yang telah difiksasi dalam kandang jepit sehingga dapat diamati dengan tepat dan aman. Feses yang dapat mengganggu pengamatan dikeluarkan dari rektum. Untuk mengurangi iritasi mukosa rektum dan memperoleh gambaran USG yang baik probe dilumuri dengan gel. Gambaran vesika urinaria digunakan dalam mengarahkan probe untuk mendapatkan kornua uteri. Setelah kornua uteri teramati maka probe diarahkan untuk memperoleh gambaran yang baik dari fetus, uterus dan plasentom dengan mengamati gradasi warnanya. Kebuntingan dini ditentukan berdasarkan waktu paling awal fetus teramati menggunakan ultrasonografi yaitu pada saat fetus menempel (implantasi) pada dinding uterus. fetus dikatakan menempel (implantasi) apabila posisinya telah difiksir dan kontak fisik dengan organ induk (uterus) telah terjadi (Toelihere 1977). Pada monitor USG, gambaran fetus, uterus dan plasentom menunjukkan warna abu-abu atau putih (isoechogenic/hyperechogenic), sedangkan amnion dan lumen uterus memberikan warna hitam (hypoechogenic). DesCoteaux et al. (2006) mendeskripsikan gambaran ultrasonografi menjadi tiga yaitu putih (hyperechogenic), abu-abu (isoechogenic) dan hitam (hypoechogenic). Panjang fetus diukur dari dahi sampai ke pangkal ekor, metode ini sama dengan yang dilakukan Ali dan Hayder (2007). Diameter dan ketebalan dinding uterus serta diameter plasentom diukur pada sumbu terpanjangnya. Penelitian Doize et al. (1997) juga mengukur plasentom berdasarkan sumbu terpanjangnya. Pengamatan USG pertumbuhan fetus dimulai pada hari ke-12 setelah perkawinan. Motode ini dilakukan sesuai dengan pendapat Toelihere (1977) yang menyatakan permulaan perkembangan serta pertautan blastosis domba terjadi secepat-cepatnya pada hari ke-10 dan masih dapat digoyahkan ke luar dari uterus 16 sampai 17 hari sesudah perkawinan dan sekitar 11 sampai 16 hari (Hafez dan Hafez 2000).
Gambar 3 Metode innduksi estruss dengan pennyuntikan PGF F2α (H-5) paada fase luteaal, pengamattan estrus dann perkawinan (H-4-H0) dann pemeriksaann ultrasonograafi kebuntinggan dan pertum mbuhan fetus mulai H+12 sampai s H+77.
Penggamatan US SG dilakukkan 2 hari sekali sampaai fetus teraamati dan waktu w dari kebunntingan dinii dapat ditentukan. Settelah itu penngamatan ddilakukan 10 0 hari kemudian untuk mennghindari teerjadinya keematian fettus karena ppengaruh kontak fisik dan stres saat pengamatan p , selanjutny ya pengamaatan dilakukkan 4 hari dan d 7 hari sekalii. Analisis Data D Panjjang fetus, diameter uterus, u teball uterus dann diameter plasentom diuji dengan onne sample t--test (SPSS 16.0).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Estrus dan Perkawinan Hasil pengamatan induksi estrus (Tabel 1) menunjukkan bahwa onset estrus berkisar 35±28,7 jam dari penyuntikan PGF2α dan lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa onset estrus terjadi 16,22±9,18 jam (Herdis 2005) dan pada hari ke-2 setelah penyuntikan PGF2α menurut Partodihardjo (1979). Perbedaan onset estrus dapat terjadi karena perbedaan bobot badan domba pada setiap penelitian. Penelitian Tambayong (1993) yang diacu dalam Hastono dan Bintang (2008) didapatkan bahwa domba garut dengan tubuh kurus onset estrusnya lebih singkat dibandingkan dengan domba yang bertubuh sedang. Onset estrus pada domba dengan tubuh kurus yang lebih singkat, diduga karena masa hidup korpus luteum tidak selama pada domba yang bertubuh sedang. Bobot badan juga memberikan korelasi terhadap lamanya estrus. Hasil penelitian Hastono dan Bintang (2008) menyatakan bahwa lama estrus mengalami peningkatan sesuai dengan besarnya bobot badan. Sesuai dugaan yang diambil dari penelitian Hastono dan Bintang (2008), hal ini dapat terjadi karena pelepasan estrogen pada domba yang bertubuh sedang lebih lama dibandingkan dengan domba yang bertubuh kurus. Hafez dan Hafez (2000) menuliskan lamanya estrus normal pada domba sekitar 24-36 jam dan hasil penelitian Herdis (2005) berkisar 24-31 jam. Tabel 1 Induksi estrus pada domba garut Domba
Onset Estrus (jam)
Lama Estrus (jam)
A
24
38
B
68
18
C
14
44
Waktu perkiraan
35±28 jam
33±13 jam
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan USG terlebih dahulu pada ovarium domba untuk memastikan fase luteal pada siklus estrus domba dengan
mengamati keberadaan CL. Dengan diketahuinya fase luteal, penyuntikan PGF2α berhasil memunculkan estrus sehingga aplikasinya lebih efesien dari metode sebelumnya yang melakukan dua kali penyuntikan PGF2α dalam induksi estrus domba karena tidak diketahuinya fase dari siklus estrus (Wildeus 2000). CL
FL
UT Gambar 4
Ultrasonografi korpus luteum (CL) pada ovarium domba garut. CL memberikan gambaran isoechogenic, folikel (FL) hipoechogenic dan uterus (UT) isoechogenic.
Induksi estrus menggunakan PGF2α akan efektif apabila dilakukan pada fase luteal siklus estrus domba, karena PGF2α menyebabkan regresi CL. DeJarnette (2004) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α dalam induksi estrus tidak efektif jika bukan pada fase lutel. Pengamatan Kebuntingan dan Pertumbuhan Fetus Pada hasil pengamatan USG kebuntingan domba garut (gambar 5), vesikel embrionik terlihat dan terus berkembang dari hari ke-12 sampai hari ke-20, serta fetus baru terlihat pada hari ke-22. Tanda awal dari kebuntingan adalah adanya cairan embrionik di dalam uterus. Buckrell (1988) menyatakan bahwa visualisasi hipoechogenic mulai terlihat dalam vesikel embrionik pada kebuntingan 14-19 hari. Berdasarkan hasil pengamatan, fetus ditemukannya pada hari ke-22 kebuntingan (22,3±0,6 hari). Romano & Christians (2008) menyatakan bahwa diagnosa positif dari kebuntingan domba suffolk terlihat pada hari ke-16 dan sensitifitas maksimal serta prediksi negatif terlihat pada kebuntingan 20 hari. Penelitian Ali dan Hayder (2007) mendapatkan fetus dan vesikel amnion domba ossimi pertama kali pada hari ke-25,38±1,2. Pada ultrasonografi deteksi kebuntingan dini kambing boer dapat dipercaya saat umur 26 hari setelah
perkawinan (Rivas et al. 2005). Fetus pertama terlihat pada kebuntingan antara 25 hari sampai 30 hari kebuntingan, adakalanya lebih awal (Kahn 2004). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Ishwar (1995) bahwa kebuntingan dini domba dan kambing dapat dideteksi pada umur 25 hari. Fetus terdeteksi pada kebuntingan domba 20 hari, tatapi lebih akurat pada hari ke-25 (Schrick dan Inskeep 1993). V
V
V
V P 12 hari
14 hari
38 hari
F
22 hari
20 hari U
24 hari F
42 hari
18 hari F
F
V
F
16 hari
PT
49 hari
A
34 hari PT
56 hari
Gambar 5 Ultrasonografi kebuntingan domba garut. Hari ke-12 sampai hari ke-20 hanya terlihat cairan hypoechogenic dari vesikel embrionik (V). Keberadaan fetus (F) baru terlihat pada hari ke-22 dari tampilan isoechogenic sampai hyperechogenic dikelilingi oleh tampilan hypoechogenic cairan embrionik. Uterus berada di atas hyperechogenic dasar pelvis (P). Hari ke-24 fetus masih berkembang, hari ke-34 mulai terlihat amnion (A) mengelilingi fetus seperti lapisan tipis isoechogenic, dan hari ke-38 umbilikal (U) hyperechogenic terlihat seperti penggantung fetus. Hari ke-42 gambaran fetus tidak begitu jelas karena posisinya semakin ke abdomen. Kemudian pada hari ke-49 dan hari ke56 plasentom (PT) mulai mendominasi lumen uterus, plasentom yang berbentuk konkaf ditemukan menghadap ke fetus.
Dengan metode yang sama hasil diagnosa positif kebuntingan dini domba garut lebih cepat beberapa hari dibandingkan dengan beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya, hal ini diduga karena perbedaan waktu implantasi antar ras atau spesies. Menurut Forrest et al. (1975) yang diacu dalam Sugana (1988) disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fetus adalah sifat keturunan, konsumsi nutrisi induk, umur kebuntingan atau umur fetus, hormon yang dihasilkan oleh plasenta, serta faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan
kelembaban nisbi. Pada metode yang berbeda yang dilakukan Haibel dan Perkins (1989) yaitu menggunakan pengamatan transabdominal USG didapatkan hasil bahwa fetus domba suffolk diketahui umur kebuntingannya pada hari ke-43 sampai hari ke-96. Hasil diagnosa positif kebuntingan dini menggunakan metode ini jauh lebih lama, karena memang fetus baru akan menuju ke bagian bawah abdomen sekitar umur kebuntingan 42 hari (gambar 5). Pengamatan pertumbuhan fetus berdasarkan interval waktu yang telah ditentukan selama periode kebuntingan (Gambar 6), menunjukkan pola yang cenderung meningkat pada panjang fetus, diameter uterus dan tebal uterus. Pada saat kebuntingan dini diameter uterus mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi tidak untuk tebal uterus dan panjang fetus. Dalam pengamatan kebuntingan terjadi peningkatan panjang fetus dari hari ke-22 (0,6±0,2 cm) sampai hari ke-42 (3,6±0,4 cm). Martinez et al. (1998) mendapatkan bahwa panjang fetus kambing awal terdeteksi saat berukuran 0,53±0,3 cm dan mencapai 3,42 cm di hari ke-40 kebuntingan. Evans dan Sack (1973) yang diacu dalam Kahn (2004) menyatakan bahwa panjang fetus domba dan kambing mencapai 4 cm pada hari ke-40.
Ukuran (cm)
6 4 2 0 22
‐2
24
34
38
42
Waktu pengamatan setelah perkawinan (H0)
Gambar 6 Rataan perkembangan dari panjang fetus (bulat), diameter uterus (kotak) dan tebal uterus (segitiga) pada domba garut (n=3) selama kebuntingan, hari ke-22 merupakan awal fetus terdeteksi. Diameter uterus mengalami perkembangan yang signifikan (P<0,05), sedangkan panjang fetus dan tebal uterus perkembangannya tidak signifikan.
Pertambahan panjang fetus juga diikuti dengan bertambahnya diameter uterus, dari hari ke-22 (1,8±0,7 cm) sampai hari ke-42 (5,6±1,1 cm) dan tebal uterus hari ke-22 (0,8±0,1 cm) sampai hari ke-42 (2,1±0,5 cm). Kahn (2004) menyatakan bahwa vesikel dari uterus terus meningkat dari hari ke-20 (1 cm)
hingga hari ke-30 (2 cm). Kemudian Toelihere (1977) menuliskan bahwa sesudah implantasi massa jaringan uterus bertambah besar secara progresif dan selama periode pemuaian uterus, pertumbuhan uterus berkurang sedangkan isinya bertambah secara cepat. Plasentom mulai teramati pada kebuntingan ke-34 (Gambar 7), plasentom menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat secara signifikan sampai umur kebuntingan ke-56 hari, selanjutnya pertumbuhannya tidak signifikan lagi (relatif konstan) sampai hari ke-77 yang diduga bertujuan untuk memberikan ruang yang cukup untuk pertumbuhan fetus pada pertengahan kebuntingan yang
ukuran (cm)
ukurannya semakin membesar. 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 34
38
42
49
56
63
70
77
Waktu Pengamatan (hari)
Gambar 7 Rataan perkembangan dari diameter plasentom pada domba garut (n=3) selama kebuntingan, hari ke-34 merupakan awal plasentom terdeteksi. Plasentom berkembang signifikan dari hari ke-34 sampai ke-56 (P<0,05) dibanding hari ke-56 sampai ke-77.
Diameter plasentom hari ke-34 sekitar 0,8±0,2 cm sampai hari ke-56 (2,7±0,5 cm) dan hari ke-77 (3,3±0,4 cm). USG transrektal dalam pengukuran plasentom, ukurannya meningkat sangat cepat selama umur kebuntingan 70 sampai 90 hari pada domba dan kambing (Doize et al. 1997). Plasentom ukurannya terus bertambah sampai hari 82.73 ± 7.7 (Ali dan Hayder 2007). Fetus yang terus berkembang akan sulit teramati menggunakan metode transrektal USG. Hal ini disebabkan letak fetus yang semakin ke bawah karena pertambahan bobot fetus. Kahn (2004) menjelaskan bahwa selama pertengahan kebuntingan plasentom menjauh dari fetus dan mendominasi pada gambaran USG.
Pengamatan USG secara transrektal dapat digunakan hanya untuk mendiagnosa umur kebuntingan dini, selanjutnya umur kebuntingan ditentukan berdasarkan pengamatan pada diameter plasentom.
KESIMPULAN Induksi estrus dan pertumbuhan fetus selama kebuntingan dini pada domba garut diperoleh hasil sebagai berikut: onset estrus setelah penyuntikan PGF2α berkisar antara 35±28 jam, lamanya estrus berkisar antara 33±13,6 jam dan awal fetus terdeteksi pada umur kebuntingan 22 hari dengan panjang 0,6±0,2 cm.
DAFTAR PUSTAKA Ali A, Hayder M. 2007. Ultrasonographic assessment of embryonic, fetal and placental development in Ossimi sheep. Small Rumin Res 73: 227-282. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. http://www.bps.go.id. (25 Juni 2011).
Populasi
Ternak
2000-2008.
Bartlewski PM, Beard AP, Rawlings NC. 2000. Ultrasonographic study of ovarian function during early pregnancy and after parturition in the ewe. Theriogenology 53: 673-689. Buckrell BC. 1988. Applications of ultrasonography in reproduction in sheep and goats. Theriogenology 29: 71-84. Dennis R et al. 2010. Handbook of Small Animal Radiology and Ultrasound: Techniques and Differential Diagnoses. Edinburgh: Elsevier. hlm 341-347. DeJarnette M. 2004. Estrus synchronization: a reproductive management tool. http://www.selectsires.com (13 Agustus 2011). DesCoteaux L, D Carriere P, Durocher J. 2006. Ultrasonography of the reproductive system of the cow: basic principles, practical uses and economic aspects of this diagnostic tool in dairy production. http://www.ivis.org. (13 April 2006). Doize F, Vaillancourt D, Carabin H, Belanger D. 1997. Determination of gestational age in sheep and goat using transrectal ultrasonographic measurement of placentomes. Theriogenology 48: 449-460. Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. Wallingford: Cab International. hlm 1-4. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals Ed Ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. hlm 110-111; 172-180; 395-404. Haibel GK, Perkins NR. 1989. Real-time ultrasonic biparietal diameter of second trimester Suffolk and Finn sheep fetuses and prediction of gestational age. Theriogenology 32: 863-869. Hastono, Bintang IAK. 2008. Hubungan antara bobot badan dengan onset berahi dan lama berahi pada kambing kacang. Anim Prod 10: 147-150. Herdis. 2005. Optimalisasi inseminasi buatan melalui aplikasi teknologi laserpunktur pada domba garut (Ovis aries) [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. hlm 95-98.
Herman R. 1993. Perbandingan pertumbuhan, komposisi tubuh dan karkas antara domba priangan dan ekor gemuk [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. hlm 4-9. Ishwar AK. 1995. Pregnancy diagnosis in sheep and goats: a review. Small Rumin Res 17: 37-44. Kahn
W. 2004. Veterinary Reproductive Ultrasonography. Hannover: Schlutersche Verlacsgesellschaft mbH & Co. KG. hlm 187-266.
Manan D. 1981. Pengembangan metoda diagnosa kebuntingan dini pada domba secara mini laparotomi dan palpasi intra abdominal [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. hlm 1-2. Martinez MF, Bosch P, Bosch RA. 1998. Determination of early pregnancy and embryonic growth in goats by transrectal ultrasound scanning. Theriogenology 49: 1555-1565. Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Bogor: Penebar Swadaya. hlm 8-12. Partodihardjo. 1979. Beberapa aspek penggunaan prostaglandin dalam penelitian reproduksi domba priangan [abstrak]. Di dalam: Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan; Bogor, 5-8 Nov 1979. Bogor: Lembaga Penelitian Peternakan. hlm 5. Abstr no 260-269. Plumb DC. 1999. Veterinary Drug Handbook Ed Ke-3. US: Iowa State University Pr. hlm 261-264. Priatna R. 25 April 2011. Domba garut plasma nutfah indonesia. Dalam: Kompas. Rivas PGR, Sohnrey B, Holtz W. 2005. Early pregnancy detection by real-time ultrasonography in Boer goat. Small Rumin Res 58: 87-92. Romano JE, Christians CJ. 2008. Early pregnancy diagnosis by transrectal ultrasonography in ewes. Small Rumin Res 77: 51-57. Schrick FN, Inskeep EK. 1993. Determination of early pregnancy in ewes utilizing transrectal ultrasonography. Theriogenology 40: 295-306. Setiadi AR. 2010. Saya Untung Anda Untung. Yogyakarta: Lily Publisher. hlm 18; 17-21. Sugana N. 1988. Tumbuh kembang fetus dan organ reproduksi induk domba priangan selama kebuntingan [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, IPB. hlm 5-11.
Sutian W. 1990. Diagnosa kebuntingan dini dan perkiraan jumlah fetus pada domba dengan ultrasonografi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. hlm 1-3; 65-67. Toelihere MR. 1977. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Jakarta: UI-Pr. hlm 184185; 187-191; 260-264; 266-267; 275-276. Wildeus S. 2000. Current concepts in synchronization of estrus: sheep and goats. J Anim Sci 77: 1-14.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel pengamatan gejala dan tingkah laku estrus Domba A
Waktu Pengamatan
(Hari Ke-)
6.30
12.30
16.30
1
1
1
3
2
3
3
3
3
3
1
1
4
1
1
1
Domba B
Waktu Pengamatan
(Hari Ke-)
6.30
12.30
16.30
1
1
1
1
2
1
1
1
3
1
3
3
4
3
1
1
Domba C
Waktu Pengamatan
(Hari Ke-)
6.30
12.30
16.30
1
3
3
3
2
3
3
1
3
1
1
1
4
1
1
1
Parameter pengamatan estrus: skor 3 domba diam berdiri bila dinaiki pejantan, skor 2 domba menggoyang-goyangkan ekornya dan atau domba mendekati serta memperhatikan pejantan dan skor 1 domba tidak menunjukkan ketertarikkan sama sekali (Toelihere 1977). Pengamatan pertama dilakukan 14 jam setelah penyuntikan PGF2α.
Lampiran 2 Hasil analisis statistik one sample t-test dengan SPSS Pertumbuhan Kotiledon hari ke-34 sampai hari ke-56 Test Value = 0 95% Confidence Interval of the
t diameter kotiledon
df
8.132
3
Sig. (2-
Mean
tailed)
Difference
.004
Difference Lower
38.00000
23.1297
Upper 52.8703
Pertumbuhan Kotiledon hari ke-56 sampai hari ke-77 Test Value = 0 95% Confidence Interval of the
t diameter kotiledon
3.413
df 2
Sig. (2-
Mean
tailed)
Difference
.076
6.33333
Difference Lower -1.6521
Upper 14.3187